Anda di halaman 1dari 8

makalah kepemilikan dan akad

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepemilikan dalam islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. pengertian nisbi
disini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah
kepemilikan yang sebenarnya( real) sebab dalam konsep islam yang memiliki segala sesuatu di dunia ini
hanyalah Allah SWT dialah pemilik tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya . Apa yang
kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu " diberikan"
atau " dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep
islam, harta dan kekayaan yang dimiliki mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan
khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan
kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya. Namun
pemanfaatan dan pengunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh pemilik riil Allah
SWT . Kesan ini dapat kita tangkap umpamannya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat
wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.

Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan
“Kepemilikan”.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan tentang kepemilikan!

2. Jelaskan tentang akad!

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hal-hal tentang kepemilikan.

2. Untuk mengetahui hal-hal tentang akad.

BAB II

PEMBAHASAN
Ø KEPEMILIKAN

A. Pengertian kepemilikan

Kata milik berasal dari bahasa arab al-milk yang berarti penguasaan terhadap Allah. Al-milk juga berarti
sesuatu yang dimiliki(harta).milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui
oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat
melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali adanya halangan syara’.[1]

Milik secara bahasa, sebagaimana dikatakan oleh Raghib al Ashfihani adalah : “Pembelanjaan ( alokasi
harta ) dengan dasar legal formal berupa perintah dan larangan yang berlaku ditengah masyarakat.[2]

Milik atau hak milik sebagaimana yang dianut dalam KUH. Perdata pasal 570 adalah : “Hak untuk
menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan
itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum
yang telah ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak
orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi
kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang, dan dengan pembayaran ganti rugi.[3]

Milik menurut pendapat para ahli fiqh sebagaimana yang didefinisikan oleh al Qurafi adalah : “Hukum
syariat yang terkandung dalam suatu benda atau dalam suatu yang dimanfaatkan yang dituntut adanya
pemberdayaan bagi siapapun yang menguasainya dengan cara memanfaatkan barang yang dimiliki itu”.

Menurut ulama’ syar’i kepemilikan dalam syari’ah islam adalah kepemilikan atas sesuatu sesuai dengan
aturan hukum yang mana seseorang mempunyai hak untuk bertindak dari apa yang dimiliki sesuai jalur
yang benar, dan sesuai dengan hukum

Hak milik (kepemilikan) dalam Islam, adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan
oleh Allah, di mana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta
tersebut sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki
oleh manusia baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.

B. Sebab-sebab kepemilikan

Seseorang dapat memiliki hak milik terhadap sesuatu barang dikarenakan sebab-sebab sebagai berikut:

1. Ihraz al-Mubahah

Adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki oleh orang
lain. Al-Mubahat sendiri adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (di kuasai
oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Misalnya air yang masih berada
dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan, pohon kayu di hutan, dan sebagainya.
Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk dimiliki sebatas kemampuan masing-masing.
Perbuatan menguasai harta bebas ini untuk tujuan pemilikan. Dengan demi kian, upaya pemilikan suatu
harta melalui Ihraz al-Mubahat harus memenuhi dua syarat. Pertama, tidak ada pi hak lain yang
mendahului melakukan Ihraz al-Mubahat. Kedua, penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan
dimiliki.

Dalam masyarakat bernegara konsep ihraz al-Mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas pada harta
benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara
bebas. Demi melindungi kepentingan publik (maslahat al-Ammah), negara atau penguasa berhak
menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai oleh
negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam,
dan lain sebagainya. Dengan demikian, seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan, tidak
boleh menguasai atau memiliki tanah dan kebun milik negara kecuali dengan izin, serta tidak boleh
berburu satwa langka dan lain sebagainya.[4]

2. Al-Tawalladu Minal Mamluk

Adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya. Artinya setiap peranakan atau segala sesuatu
yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya. Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada
harta benda yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain/ baru). Misalnya binatang
yang bertelur, berkembangbiak, menghasilkan air susu, begitu juga dengan kebun yang menghasilkan
buah-buahan dan lainnya.

Prinsip tawallud tidak berlaku pada benda mati yang tidak bersifat produktif seperti rumah, perabotan
rumah dan uang. Keuntungan (laba) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya tidak
berdasarkan tawallud karena rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur,
apalagi beranak.[5]

3. Al-Khalafiyah

Adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Al-
Khalafiyah dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh
orang lain, misalnya dalam hal hukum waris. Dalam hukum waris, seorang ahli waris menggantikan
posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya (tarikah). Kedua, penggantian
benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin (pertanggungan) ketika seseorang merusak
atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika seseorang
mengenakan atau menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.

4. Al-Aqd

Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan ketentuan yang menimbulkan pengaruh
terhadab obyek akad. Akad jual beli, hibah, wasiat, dan sejenisnya merupakan sumber kepemilikan yang
paling penting. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat, dan paling luas berlaku dalam
kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.
Akad dilihat dari sebab kepemilikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ‘uqud jabariyah dan tamlik
jabari. Uqud jabariyah (akad secara paksa) adalah akad yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan
secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan menj ual harta untuk mel unasi hutang.
[6]

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa seseorang bisa menjadi pemilik atas suatu harta. Pemilikan ini
merupakan kekhususan atau keistimewaan (al-Ihtishash) bagi seseorang untuk secara bebas mengambil
tindakan hukum terhadap miliknya. Namun bagaimana pun juga ihtishash, tersebut tidak bersifat
mutlak, terutama jika dihadapkan pada benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Islam menggariskan bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, setiap
harta yang dimiliki oleh individu, terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi seperti zakat dan
shadaqah. Selain itu, terdapat juga hak publik, sehingga kebebasan seseorang dalam bertindak terhadap
milik pribadinya dibatasi atau tidak boleh melanggar hak publik yang berkaitan dengan kepentingan
umum.

C. Macam-macam kepemilikan

Menurut pandangan Islam bahwa kepemilikan itu dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
diantaranya:

a) Kepemilikan penuh (milk-tam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan terhadap benda atau harta
yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan secara hukum.

b) Kepemilikan materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada
penguasaan materinya saja.

c) Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada
pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan secara hukum untuk menguasai harta itu.

d) Kepemilikan umum/ Negara, yang tercakup dalam jenis kepemilikan ini ialah semua kekayaan yang
tersebar diatas dan perut bumi diwilayah Negara tersebut. Pengkaitan kepemilikan Negara dengan
kepemilikan umum tidak terlepas dari nilai guna terhadap benda-benda yang ada bagi kepentingan
semua orang tanpa diskriminatif dan memang ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan sosial.

e) Kepemilikan khusus, kepemilikan semacam ini dimaksudkan agar manusia memiliki hak atas harta,
hasil usaha, hak pemanfaatan, dan hak membelanjakan sesuai dengan fungsinya.

Adapun jenis-jenis kepemilikan khusus yaitu:

1) Kepemilikan pribadi

Merupakan kepemilikan yang manfaatnya hanya berkaitan dengan satu orang.

2) Kepemilikan perserikatan
Merupakan kepemilikan yang manfaatnya dapat digunakan oleh beberapa orang yang dibentuk dengan
cara tartentu, seperti kerjasama yang melibatkan beberapa orang tanpa melibatkan sekelompok orang
lainnya.

3) Kepemilikan kelompok

Merupakan kepemilikan yang tidak boleh dimiliki secara perorangan, atau kelompok kecil orang, namun
pembagiannya harus didasarkan pada persebaran terhadap banyak pihak.

Ø AKAD

A. Pengertian dan Dasar Hukum Akad

Kata akad berasal dari kata al-aqd berarti mengikat, menyambung, atau menghubungkan. Dalam hukum
Indonesia, akad sama dengan perjanjian. Akad menurut bahasa artinya ikatan atau persetujuan,
sedangkan menurut istilah akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang
menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Contohnya:
akad jual beli, akad sewa menyewa, akad pernikahan. Dasar hukum dilakukan akad adalah QS. Al-
Maidah ayat 1, yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-
hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu hukumnya
wajib.

B. Rukun Akad

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul, sedangkan menurut ahli-ahli
hukum Islam kontemporer, unsur yang membentuk akad dan menjadi rukun akad itu adalah sebagai
berikut:

a. Para pihak yang membuat akad. Dua orang atau lebih yang melakukan akad.

b. Pernyataan kehendak para pihak akad (ijab qabul). Dengan demikian ijab qabul adalah suatu
perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau
lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
c. Objek akad (ma’qud ‘alaih), benda-benda yang diakad, seperti benda-benda yang dijual dalam akad
jual beli.

C. Syarat Akad

Syarat dalam akad adalah sebagai berikut :

a. Syarat orang yang bertransaksi antara lain: berakal, baligh, mumayis dan orang yang dibenarkan
secara hukum.

b. Syarat barang yang diakadkan antara lain: bersih, dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan
akad dan barang itu diketahui keberadaannya.

c. Syarat sighat: dilakukan dalam satu majlis, ijab dan qabul harus ucapan yang bersambung, ijab dan
qabul merupakan pemindahan hak dan tanggung jawab.

D. Macam-Macam Akad

Ada beberapa macam akad antara lain:

a. Akad lisan, akad terjadi apabila ijab dan qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.

b. Akad isyarat, apabila seseorang tidak mungkin menyatakan ijab dan qabul dengan perkataan karena
bisu, maka akad dapat menggunakan isyarat.

c. Akad tulisan, akad yang dilakukan secara tertulis, seperti perjanjian pada kertas bersegel atau akad
melalui akta notaris.

d. Akad perantara utusan (wali), akad dilakukan melalui utusan atau wakil kepada orang lain agar
bertindak atas nama pemberian mandat.

e. Akad ta’ati (saling memberikan), akad yang berjalan secara umum.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Milkiyah menurut bahasa berasal dari kata milku artinya sesuatu yang berada dalam kekuasaanya,
sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu harta atau barang yang secara hukum dapat dimilik
oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada orang
lain. Adapun menurut ulama fikih adalah kekhususan seorang pemilik terhadap sesuatu untuk
dimanfaatkan, selama tidak ada penghalang syar’i. Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang
penguasanya dapat melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dan dapat
dinikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak.

Hikmah Kepemilikan:

a. Terciptanya rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Terlindungnya hak-hak individu secara baik.

c. Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.

d. Timbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.

Kata akad berasal dari kata al-aqd berarti mengikat, menyambung, atau menghubungkan. Dalam hukum
Indonesia, akad sama dengan perjanjian. Akad menurut bahasa artinya ikatan atau persetujuan,
sedangkan menurut istilah akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang
menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan.

Hikmah akad dengan disyariatkannya akad dalam muamalah, antara lain:

a. Munculnya pertanggung jawaban moral dan materi.

b. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.

c. Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.

d. Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.

e. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Ascarya, Akad dan Produk Bank syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Basyir. Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2000.

Ghazaly. Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010.

Ghofur Anshori. Abdul, filsafat hukum hibah dan wasiat di Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011.

Kementerian Agama Islam RI, Fikih kurikulum 2013 MA kelas X. Jakarta: Kementerian Agama, 2014.

Rahman. Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,

Nasrun Harun. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007 . cet. Ke-2.

Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra Insani
Press.2004.

Muhamad, Alimin. Etika Dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE. 2004.

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).

[1] Nasrun Harun.Fiqih Muamalah.Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007 . cet. Ke-2. hlm. 31.

[2] Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra
Insani Press.2004. hal 58.

[3]Muhamad, Alimin. Etika Dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE. 2004.
hal 150

[4]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hal:15

[5]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hal:16

[6]Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press, 2002). Hal: 20

Anda mungkin juga menyukai