Anda di halaman 1dari 22

PEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM

Adalah fitrah manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya baik secara lahiriah maupun batiniah. Hal ini mendorong manusia untuk senantiasa berupaya memperoleh segala sesuatu yang menjadi keperluannya. Pemenuhan keperluan lahiriah ialah apabila terpenuhinya keperluan dasar (basic needs) Tapi manusia tidak berhenti sampai disitu, bahkan cenderung terus berkembang keperluan-keperluan lain yang ingin dipenuhi. Segala keperluan itu seolah-olah boleh diselesaikan dengan dikumpulkannya Harta sebanyak-banyaknya. Maka apa sebenarnya hakikat harta dan bagaimana pandangannya dalam Islam? A. PENGERTIAN HARTA Istilah HARTA, atau al-mal dalam al-Quran maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang. Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur nilai ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang. Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/ adat) yang berlaku di tengah masyarakat.As-Suyuti berpendapat bahwa istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya. Dengan demikian tempat bergantungna status al-mal terletak pada nilai ekonomis (al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah dalam harta tergantung pada besar ekcilnya anfaat suatu barng. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta.

Pengertian Harta Milik:

Menurut para ulama pengertian harta milik ialah suatu yang dapat dikuasai atau dimiliki dan dapat dimanfaatkan sesuai syariah dalam kondisi normal Dalam hal konsep harta dalam pandangan syariat harus memiliki tiga unsur; 1. Dapat dimiliki atau di kuasai. Batasan yang diberikan Islam sangat jelas tentang kepemilikan dan penguasaan terhadap harta. Islam telah

mengajarkan agar manusia dalam berusaha dan bekerja mencari harta harus sesuai dengan syariat atau dengan cara yang halal, karena harta yang diperoleh dari cara yang haram sesungguhnya harta tersebut adalah bukan miliknya dan tidak bisa dimilikinya. Islam juga telah mengajarkan agar manusia itu berusaha atau . 2. Dapat dimanfaatkan. Bahwa harta yang dimiliki itu dapat dimanfaatkan, terkadang manusia cenderung membeli suatu benda yang itu sedikit pun tidak bermanfaat dan menjadi mubadzir. Sifat mubadzir ini sangat dibenci oleh ajaran Islam, artinya harta itu akan terdefinisi (hak kepemilikan) dalam pandangan Islam apabila harta atau kekayaan tersebut tidak berubah fungsi menjadi mubadzir. 3. Dalam memanfaatkannya harus sesuai dengan syariat. Syariat Islam tidak saja menetapkan di saat mencari harta harus menghindarkan dari hal yang melanggar syariat tetapi dalam hal memanfaatkannya pun harus sesuai dengan ketentuan syariat. Berarti syarat harta itu menjadi milik seseorang adalah apabila digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan oleh syariat, dan apabila dimanfaatkan untuk kepentingan yang bertentangan syariat maka harta tersebut menyebabkan siksa di akhirat. Disimpulkan kepemilikan terhadap harta dalam pandangan Islam adalah mulai dari cara mencari harta, jenis harta yang dimiliki (harus dapat dimanfaatkan) dan pemanfaatannya harus sesuai dengan koridor syariat Islam dan apabila bertentangan dengan syarat tersebut sesungguhnya harta itu tidak dapat didefinisikan sebagai miliknya. Harta Milik dan Hak Asasi

Usahakan sendiri atau yang diwarisi atau diterima dari orang lain, tidak menghilangkan kenyataan bahwa bumi ini pada awalnya diberikan kepada seluruh umat manusia. Bahwa harta benda ditentukan untuk semua manusia, tetap tinggal prioritas pertama, juga apabila kesejahteraan umum menuntut untuk menghormati hak atas milik pribadi dan penggunaannya. Pemilik-pemilik barang-barang pakai dan konsumsi harus mempergunakannya, dengan tahu batas, dan menyisihkan bagian terbaik untuk para tamu, penderita sakit, dan kaum miskin. Pemerintah mempunyai hak dan kewajiban mengatur penggunaan hak milik secara halal demi kesejahteraan umum. Harta Milik Orang lain Pencurian yang bererti mengambil harta milik orang lain dengan melawan kehendak pemiliknya. Bukanlah pencurian, kalau orang dapat mengandaikan persetujuan pemilik, atau kalau penolakannya bertentangan dengan akal budi atau dengan peruntukan barang-barang untuk semua orang. Jadi seorang haruslah bersikap baik dan sopan dimana pun dia berada, karena seorang muslim harus menjadi contoh dan suri teladan bagi semua umat.

B. PANDANGAN ISLAM MENGENAI HARTA Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk

melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.

Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut : 1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. 2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(AlAlaq: 6-7). 3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28) 4. harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134). Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (amal) atau mata pencaharian (Maisyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267) Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah (HR Ahmad). Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain(HR Thabrani) jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat mencari rezki (HR Thabrani). Keempat, dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (atTakatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7) Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (alBaqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-

Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad). C. KEPEMILIKAN HARTA Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah mengandung tujuan sebagai jaminan emosional agar harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri. Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus, yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri. Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Quran menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum. Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan negara. Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang

pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa secara keseluruhan.

D. KEPEMILIKAN DALAM ISLAM 1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam "Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai

kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk

memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya. Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya. Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang. Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).

2. Jenis-jenis Kepemilikan Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan

yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan

mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Keduadua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.

3. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu: (1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan,

(2) akad, (3) penggantian dan (4) turunan dari sesuatu yang dimiliki. Penjelasan (1) Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut. Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya. b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya." (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya. Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu : a) kepemilikan karena menghidupkan tanah mati. b) kepemilikan karena berburu atau memancing c) rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya. d) kepenguasaan atas barang tambang. Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut

madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.

Sumber: Tazkiaonline. Oleh : Ikhwan Abidin Basri, MA

http://www.ekonomisyariah.org/

Fungsi Harta Milik Tiap-tiap masyarakat mempunyai sistem ekonominya sendiri, yang tergambar di dalamnya falsafah, aqidah, sistem nilai dan pandangannya terhadap individu dan masyarakat, terhadap harta dan fungsinya, persepsinya tentang agama dan dunia, kekayaan dan kemiskinan. Sehingga semua itu mempengaruhi produktivitas, kekayaan dan berkaitan dengan cara untuk memperoleh, pendistribusian dan penyimpanannya. Untuk mengambil suatu pemikiran tentang kaidah-kaidah utama. Di antara sebagai berikut: 1. Harta dinilai sebagai suatu kebaikan dan kenikmatan jika berada ditangan orang-orang shalih. 2. Harta adalah milik Allah, sedangkan manusia hanyalah dipinjami dengan harta itu. 3. Dakwah untuk menumbuhkan etos kerja yang baik adalah merupakan ibadah dan jihad. 4. Haramnya cara kerja yang kotor. 5. Diakuinya hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya. 6. Dilarang bagi seseorang untuk menguasai benda-benda yang sangat diperlukan oleh masyarakat. 7. Dilarangnya pemilikan harta yang membahayakan orang lain. 8. Pengembangan harta tidak boleh membahayakan akhlaq dan mengorbankan kepentingan umum. 9. Mewujudkan kemandirian (eksistensi) ummat.

10. 10. Adil dalam berinfaq. 11. 11. Wajibnya takaful (saling menanggung) di antara anggota masyarakat. 12. 12. Memperdekat jarak perbedaan antar strata (tingkat) sosial di tengah masyarakat. Sikap terhadap Harta Milik Kita sering lupa bahwa apa yang kita miliki hanyalah titipan dari Tuhan. Di balik itu sebenarnya ada tanggung jawab, ada amanah, bahkan ada sebagian darinya milik orang lain yang harus kita salurkan kembali. Oleh karenanya, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam menyikapi harta benda. Harta adalah anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Tuhan untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti. Harta adalah amanah dari Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan. Kehendak Tuhan terhadap Harta Milik Harta benda yang dititipkan kepada kita juga demikian. Harta adalah ujian. Yang jadi ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga merupakan ujian. Bagi yang berharta, ada kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan terhadap harta itu. Keluarga, anak, dan harta benda adalah hiasan hidup. Dengannya, hidup menjadi indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya, serta lupa kepada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu sebenarnya merupakan titipan dan ujian. Konsep Kepemilikan Islam memiliki pandangan yang khas mengenai masalah harta dimana semua bentuk kekayaan pada hakekatnya adalah milik Allah SWT. Demikian juga harta atau kekayaan di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk semua manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia sesuai dengan kehendak Allah SWT. Pandangan ini bertolak belakang secara diametral dengan pandangan

kapitalisme maupun sosialisme yang keduanya berakar pada pandangan yang sama yaitu materialisme. Menurut pandangan kapitalisme bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang adalah merupakan hak milik mutlak baginya yang kemudian melahirkan pandangan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi manusia (HAM). Dimana manusia bebas menentukan cara memperoleh dan memanfaatkannya. Dari pandangan inilah yang mendorong manusia berusaha menciptakan suatu metode atau teknologi produksi yang modern untuk dapat memperoleh keuntungan dan pendapatan yang sebesar-besarnya. Pada sisi lain Islam juga tidak selaras dengan pandangan sosialisme yang tidak menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui adanya hak milik individu. Semua kekayaan adalah milik negara dan negara akan memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Individu akan diberikan sebatas yang diperlukan dan dia akan bekerja sebatas kemampuannya. Alat-alat produksi dikuasai negara dan elit politik menguasai fasilitas-fasilitas publik sehingga dari sini kemudian mendorong munculnya praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian bagi negara dan rakyat. Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan yang berbeda dengan pandangan kapitalisme dan sosialisme. Islam tidak mengenal adanya kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam mengatur cara perolehan dan pemanfaatan kepemilikan. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu : 1. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah) 2. Kepemilikan Umum (Milkiyah Ammah) 3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah) Penjelasan masing-masing jenis kepemilikan adalah sebagai berikut : a. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah) adalah idzin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu 1) Bekerja (al-amal), 2) Warisan (al-irts), 3) Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (ithau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, 5) Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah. Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja

(al-amal) meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati (ihyau al-mawat), mencari bahan tambang, berburu, pialang (makelar), kerjasama mudharabah, musyaqoh, pegawai negeri atau swasta. b. Kepemilikan Umum (Milkiyah Ammah) adalah idzin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupa sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan, barang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dsb, dan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dsb. c. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah) adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah (pampasan perang), fai, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ushr, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahlli waris dan tanah hak milik negara.

Islam dan Hak Pemilikan Harta December 11th, 2008 Noor Amin Ahmad Kolum, Lita'arafu 962 views 7 Comments Saya masih ingat nasihat saya kepada rakan-rakan di kampus yang giat menjalankan perniagaan Multi-Level-Marketing (MLM). Mereka sering menggunakan mafhum hadis sembilan per sepuluh rezeki itu ada dalam perniagaan. Mereka menguatkan lagi hujah kepentingan menjadi kaya dengan mafhum hadis kefakiran menghampiri kekufuran. Jujurnya, saya tidak tahu status hadis tersebut sama ada

sahih atau sebaliknya. Nasihat saya pada mereka mudah iaitu Saya harap jika kalian bersandar dengan mafhum hadis berkenaan, kita juga sedar bahawa Nabi s.a.w. tidak berpesan tentang itu sahaja. Saya tidak ada masalah dengan perniagaan kerana sedar bahawa Rasulullah s.a.w dan isterinya Siti Khadijah juga berniaga. Ini termasuk para sahabat Baginda s.a.w. yang lain terutama Abdul Rahman bin Auf. Sudah tentu sebagai umat Islam kita akan berpandukan persoalan halal dan haram serta berniaga mengikut pertimbangan hukum. Prinsipnya, Islam tidak menolak perniagaan dan pemilikan harta. Ulama terkemuka As-Syeikh Yusof al-Qardhawi pernah menulis dalam Ciri-Ciri Unggul Masyarakat Islam Yang Kita Idamkan sebagaimana yang diterjemah oleh Ustaz Mohammad Zaini Yahya dalam Ciri Kesembilan iaitu Bab Ekonomi dan Harta bahawa Islam sebagai agama fitrah mengiktiraf hak pemilikan harta. Menurut kupasan beliau hak pemilikan harta menjamin kebebasan dan kemanusiaan. Ujarnya hamba tidak boleh memiliki apa-apa tetapi orang merdeka boleh dan haiwan tidak memiliki sebaliknya manusia boleh memiliki dan ini sesuai dengan fitrah dan Islam tidak menentang fitrah. Saya tersentuh apabila beliau menguatkan lagi pandangan ini dengan kenyataan Keadilan bukanlah dengan menghalang manusia memiliki hasil, kerja dan usahanya untuk diberikan kepada orang lain yang malas dan tidak melakukan sebarang kerja. Sebaliknya keadilan ialah dengan memberi peluang kepada semua orang untuk bekerja dan memiliki. Apabila seseorang itu mempunyai keistimewaan lantaran kepintaran, kesungguhan, ketekunan dan kesabarannya, ia berhak mendapat balasan yang setimpal dengan usahanya. Oleh kerana Abdul Rahman bin Auf r.a. adalah sahabat paling kaya, saya fikir sikap beliau wajar dicontohi. Beliau berhijrah ke Mekah bersama Muhajirin yang lain tanpa harta dan kediaman dan antara perkara terawal dilakukannya ialah dengan bertanyakan pasar kepada Saad Ibnu al-Rabi saudaranya dari kaum Ansar yang dipilih Rasulullah s.a.w.. Dengan modal yang diperolehi dari sedekah Saad, Abdul Rahman menjadi hartawan terkaya di kalangan umat Islam pada waktu itu.

Kekayaan Abdul Rahman bin Auf r.a. dikongsi kepada fakir miskin dan mereka yang memerlukan. Ini adalah contoh terpuji yang patut diamalkan peniaga. Dengan dasar pemilikan harta yang tidak dihalang dengan cukai yang besar oleh pemerintahan Baginda s.a.w., mereka berpeluang menjadi kaya dan mengambil alih tanggungjawab membantu mereka yang memerlukan terutama dari kalangan fakir miskin untuk meneruskan kehidupan selaras dengan perintah agama Islam. Islam mendorong individu memiliki harta dan melindunginya serta mewariskannya. Dr. Yusof Qardhawi dalam perenggan lain menjelaskan bahawa pemilikan individu mendatangkan kebaikan yang banyak kepada manusia dan ekonomi dengan bertambahnya produktiviti. Beliau menunjukkan perbezaan dengan sistem pemilikan bersama seperti yayasan dan sebagainya yang dinamakan sektor awam yang menunjukkan produktiviti rendah lantaran tidak wujudnya dorongan dan kekuatan pengawasan yang timbul dari pemilikan khusus. Sebagai muslim, Dr. Yusof Qardhawi menasihatkan umat Islam berpegang kepada dua syarat penting pemilikan individu iaitu: (1), Ia mesti diperolehi melalui jalan yang halal dan diakui syarak, dan (2) Mestilah tidak bertentang dengan kepentingan umum. Jika tidak ia mesti dirampas secara rela atau tanpa rela dan digantikan dengan sesuatu yang adil. Dalam tajuk yang lain beliau menjelaskan tentang penolakan Islam terhadap ihtikar iaitu monopoli harta yang diperlukan oleh umum. Ini bersandar daripada hadis sahih yang diriwayatkan Muslim dan lain-lain iaitu Tidak ada yang berihtikar melainkan orang yang berdosa. Dalam erti kata yang lain kita tidak boleh membina kekayaan sambil meruntuhkan orang lain. Saya sering menekankan kepada sahabat-sahabat muslim yang lain bahawa prinsip asas Libertarian adalah lebih cocok dengan Islam berbanding idea ekonomi Sosialisme. Hanya saja dalam kupasan yang lebih dalam, kita sebagai muslim harus jelas aspek hukum dan perkara ini sangat terbuka untuk didebatkan dalam kelompok libertarian. Di Malaysia, merujuk kepada hujah dokongan terhadap Pasaran Bebas oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam satu ucapannya semasa dialog dengan aktivis Muslim di Minaret Institute idea Sosialisme lebih mendapat tempat bersandarkan

rujukan sejarah bahawa ia wacana popular yang dekat dengan detik sebelum dan selepas Kemerdekaan. Saya suka untuk mengajak umat Islam di Malaysia meninjau jauh ke zaman Kesultanan Melayu Melaka di mana Pasaran Bebas telah menjadikan rantau ini tersohor dan 0

Beberapa Hak yang Sama antara Wanita dan Lelaki 1. Hak Kepemilikan Harta

Islam menetapkan bahwa wanita mempunyai hak pemilikan harta sebagaimana lelaki. Allah Ta'ala berfirman dalam QS An Nisaa' ayat 32 yang artinya: "Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan". "Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapanya dan kerabatnya, baik sedkit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan" (An Nisaa':7). Dari dua ayat di atas dapat difahami bahwa wanita mempunyai hak pemilikan terhadap harta, baik yang didapatkan dari hasil usahanya sendiri mahupun diperolehnya dalam waris. Dalam perolehan waris ini tidak ada perbedaan apakah dia masih anak-anak atau sudah dewasa. Mereka berhak mendapatkan harta peninggalan kedua ibu-bapa serta kerabatnya. Hanya saja bagi anak-anak,

diserahkan kepada walinya (paman/saudara lainnya) untuk dikelola dan kemudian diserahkan kepadanya ketika ia sudah dewasa. Firman Allah SWT dalam An Nisaa' ayat 2: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar".

"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa" (Al An'aam:152). Disamping itu Islam juga mewajibkan zakat bagi lelaki dan wanita yang mempunyai harta. Dan ini berlaku bagi seluruh jenis zakat, tidak ada pengecualian, bahkan perhiasan wanita pun harus dikeluarkan zakatnya. Firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah ayat 110: "Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat". "Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka, dengan zakat itu kamu menghasilkan dan mensucikan mereka" (QS. At Taubah:103). Sabda Nabi SAW: "Aku telah diperintahkan memerangi manusia, sampai mereka mempersaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad itu adalah utusan-Nya. Mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat. Maka apabila mereka telah

melakukannya, terpeliaharalah dariku darah dan hartanya kecuali dengan hak Islam, dan hisabannya diserahkan pada Allah SWT". (HR. Imam Bukhori dan Muslim). "Seseorang wanita datang kepada Rasulullah saw bersama putrinya. Pada tangan putrinya terdapat gelang emas yang tebal. Rasulullah saw bertanya

kepadanya:'Apakah telah engkau keluarkan zakatnya? Wanita itu menjawab:'Belum'. Rasulullah saw bersabda:'Apakah engkau akan berbahagia bila Allah SWT kelak pada hari kiamat memberimu dua buah gelang yang terbuat dari api neraka? Kemudian wanita itu membuka gelangnya dan memberikannya kepada Rasulullah saw sambil berkata:'Keduanya untuk Allah dan Rasul-Nya'(HR Abu Daud). "Bersedekahlah wahai wanita-wanita, walaupun dari perhiasan kalian". Ketika mendengar nasihat Rasulullah saw diatas, Zainab, istri Abdullah bin Mas'ud berkeinginan untuk mengeluarkan zakat perhiasannya kepada suaminya karena suaminya miskin. Kemudian Zainab menanyakan kepada Rasulullah saw apakah sah kalau isteri mengeluarkan zakat kepada suaminya. Rasulullah saw menjawab

bahwa zakat wanita kepada suaminya sah. Bahkan wanita tersebut mendapatkan dua pahala. Pertama pahala karena kekeluargaan, kedua pahala karena

bersedekah(diringkas dari Riwayat Bukhori Muslim). Kesimpulan yang dapat kita ambil dari ayat-ayat dan beberapa hadis diatas adalah bahwa wanita dalam Islam diberi kebebasan mempunyai hak milik terhadap kekayaan, baik harta itu diperoleh dari warisan kedua orang tuanya, pemberian suaminya, hadiah dari saudara-saudaranya ataupun dari usahanya sendiri. Karena itulah para wanita juga wajib zakat apabila harta bendanya telah sampai nishab (ukuran) dan haulnya (masa), sebagaimana laki-laki, sekalipun kekayaan wanita tersebut hanya perhiasan. Hanya saja dalam Islam hak pemilikan harta ini diatur oleh syara', mana harta yang boleh dimiliki individu dan mana yang tidak boleh, serta bagaimana cara pemilikan harta yang dibolehkan sebagai pemilikan yang sah menjadi milik seseorang dan mana yang tidak. Di dalam Islam, pada hakekatnya semua harta kekayaan di bumi ini adalah milik Allah SWT. Oleh karena itu apabila seseorang ingin memiliki harta tertentu harus mendapat izin dari Allah SWT. Karena hanya Dia-lah yang berhak memberi wewenang pemilikan. Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Nizhomul Iqtishody fil Islam menjelaskan bahwa syariat Islam telah menetapkan tiga jenis pemilikan: yaitu pemilikan individu, umum dan daulah (negara). 1.1. Pemilikan Individu Setiap individu baik pria maupun wanita boleh memiliki harta melalui sebabsebab pemilikan yang telah dibolehkan oleh syara'. Sebab yang sudah merupakan fitrah manusia membutuhkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu syara' membolehkan manusia untuk memiliki harta demi pemenuhan kebutuhannya. Hanya saja syara' mengatur cara-cara pemilikan harta oleh individu, agar setiap individu dapat memanfaatkan rizki yang telah disiapkan Allah SWT di bumi ini secara adil, tidak menimbulkan kerusakan dan kedzoliman pada pihak-pihak tertentu seperti orang-orang lemah. Kalau manusia dibiarkan, maka akan berlaku hukum rimba "siapa yang kuat ia yang akan mendapatkan'.

Oleh karena itu kepemilikan individu ditetapkan oleh syara' kepada individu untuk memiliki (mempunyai hak kuasa untuk memiliki zat, manfaat dan mengembangkannya) harta melalui jalur tertentu yang telah ditetapkan oleh syara'. Berdasarkan kajian terhadap hukum-hukum syara' yang menetapkan kepemilikan individu terhadap harta, ada lima sebab kepemilikan individu yaitu : 1. 2. 3. Bekerja Waris Hak hidup (hak individu yang tidak mampu mendapatkan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya) 4. 5. Pemberian daulah kepada rakyat Harta yang didapat secara cuma-cuma seperti

:hibah,hadiah,wasiat,diyat.mahar(bagi wanita) dan harta temuan 1.2. Pemilikan Umum Jenis pemilikan umum yang kedua adalah pemilikan umum,yang telah ditetapkan oleh Allah SWT menjadi milik bersama kaum muslimin. Setiap individu boleh memanfaatkannya,tetapi dilarang memilikinya. Ada tiga macam sumberdaya alam yang termasuk katagori ini, yaitu : a. fasilitas umum yang merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat sehari-hari, dan akan menimbulkan kesulitan jika tidak ada, misalnya air. Sabda rasulullah SAW tentang pemilikan bersama : " Masyarakat bersyarikat dalam tiga macam sumber daya alam yaitu air,padang penggembalaan dan api (bahan bakar seperti kayu,minyak dan lain-lain."(HR. Abu Ubaid) Bentuk kepemilikan ini tidak terbatas pada tiga macam sumberdaya tersebut, melainkan mencakup segala sesuatu yang diperlukan masyarakat. Juga

setiap alat yang menhasilkan ketiga macam sumberdaya tadi, misalnya pompa air, PLTA,tiang-tiang beserta kabelnya dan lain-lain. b. Sumberdaya alam yang tabiatnya menghalang pemilikan individusecara perorangan seperti laut, sungai, jalan raya, lapangan masjid,kereta api dan lain-lain. c. Bahan tambang yang tak terbatas baik diperut bumi atau permukaanya, seperti emas,besi,perak,garam,platina dan lain-lain. Tidak ada hak istimewa bagi individu atau suatu perusahaan untuk

mengekploitasi, mengolah serta memonopoli pendistribusian hasil-hasilnya. Barang tambang ini harus tetap menjadi milikbersama kaum muslimin. Aktivitas eksplorasi dan eksploitasi dikelola sendiri oleh negara atau dikontrakkan kepada kontraktor. Produknya dijual atas nama kaum muslimin dan pendapatannya disimpan di baitul mal. 1.3. Pemilikan Negara

Pemilikan negara adalah setiap tanah atau bangunan yang disana terdapat hak yang menjadi milik bersama seluruh kaum muslimin akan tetapi tidak termasuk dalam katagori pemilikan umum. Oleh karena itu pemilikan negara adalah benda/area yang biasanya dapat dimiliki oleh individu , namun karena dalam benda/area tersebut terdapat hak bersama seluruh kaum muslimin, maka pengelolaan,pemeliharaan serta pengaturannya diserahkan kepada daulah atau khalifah. Khalifahlah yang berhak mengatur dan mengelola setiap sesuatu yang berkaitan dengan hak kaum muslimin secara keseluruhan, seperti padang pasir,gunung,pantai,tanah mati yang belum digarap dantidak dimiliki

seseorang,departemen,kantor,sekolah dan lain-lain. Negara berhak memberikan sebagian dari apa yang dimilikinya , yang pada umumnya boleh dimiliki oleh individu, baik berupa tanah atau bangunan. Khalifah boleh memberikan hak penggarapan saja tanpa hak milik atau sekaligus memilikinya. Dalam hal ini khalifah sebagai kepala negara bebas memutuskan apa saja yang dianggap penting untuk kaum muslimin.

Dari penjelasan diatas jelaslah nahwa islam memberikan hak kepada wanita untuk memiliki harta . dan waris hanyalah salah satu dari sekian sebab pemilikan harta yang bisa diakses pria maupun wanita. Oleh karena itu sekalipun ada perbedaan pembagian waris antara wanita dan pria pada posisi tertentu, tidaklah akan menyebabkan wanita menderita dan kekurangan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebab pemenuhan kebutuhan hidupnya selalu dijamin melalui sumber nafkah dari suami,ayah atau saudara laki-laki dan ahli waris lainnya (baca: kemiskinan masalah siapa). Bahkan harta wanita yang ia peroleh dari mahar, waris atau yang lain, tetap menjadi miliknya sendiri dan ia boleh membelanjakan menurut kehendaknya (sebatas yang dibolehkan syara'). Sebab wanita tidak wajib menafkahi siapapun termasuk dirinya. Dengan demikian darimana alasan orang-orang yang membenci islam ,untuk mengatakan bahwa perbedaan pembagian waris dalam islam menjadi penunjang berat beban kemiskinan wanita muslimah. Sehingga mereka merasa perlu membuat penafsiran ulang hukum waris dan menyetarakan pembagiannya antar pria dan wanita. Hukum syara'lkah yang harus disesuaikan dengan keinginan manusia atau manusia yang harus menyesuaikan keinginannya dengan hukum syara? Kalau begitu, apa fungsi risalah (Alquran dan sunnah) diturunkan untuk manusia? Bukankah risalah itu menjadi petunjuk bagi manusia? Firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah ayat 2: "Kitab (Al Qur'an) ini, tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa." 2. Hak Mendapatkan Pendidikan

Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abi Musa ra, beliau berkata bahwa Nabi saw bersabda: "Perumpamaan petunjuk dan ilmu, yang Allah mengutusku untuk

menyampaikannya, seperti hujan lebat jatuh ke bumi. Bumi itu ada yang subur, menghisap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumputan yang

banyak. Ada pula yang keras, tidak menghisap air sehingga tergenang. Maka Allah memberi manfaat dengan dia kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak), dan untuk bercocok tanam (bertani). Dan ada pula hujan yang jatuh ke bagian lain, yaitu di atas tanah yang menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama (Diin). Yang mau memanfaatkan apa yang aku disuruh Allah untuk

menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya. Dan begitu pula perumpamaan orang-orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya." Dalam hadits tersebtu Rasulullah menyerupakan penerimaan dan penolakan manusia terhadap petunjuk dan ilmu. Seperti penerimaan tanah terhadap air hujan, ada yang memberi manfaat pada tanah dengan menumbuhkan tanaman dan ada yang tidak. Air (hujan) merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, demikian pula petunjuk dan ilmu. Kesimpulan ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi saw yang lain: "Di anatara tanda-tanda kiamat ialah: Berkurangnya ilmu dan meratanya kebodohan". (HR Bukhari) Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa hilangnya ilmu merupakan tanda berakhirnya kehidupan dunia. Ini menunjukkan bahwa ilmu merupakan hal yang sangat penting. Ilmu agama (tsaqofah Islam) penting untuk mengetahui dan memahami dinul Islam. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain disesuaikan dengan urgensinya bagi manusia, seperti ilmu kedokteran, berhitung dan lain-lain. Semua ilmu yang berperan penting bagi kehidupan manusia wajib dimiliki oleh manusia, baik laki-laki maupun wanita. Sebab wanita dan pria diciptakan untuk terjun ke dalam kancah kehidupan ini secara bersama-sama menjalani kehidupan berdasarkan pola hidup ideal yang telah ditetapkan Allah SWT. Tidak ada

perbedaan bagi keduanya untuk terikat dengan pola hidup ideal yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Oleh karena itu tidak ada pula perbedaan bagi keduanya dalam hal pentingnya menguasai ilmu yang dibutuhkan untuk mencapai pola hidup ideal demi meraih ridlo-Nya. Keduanya kelak akan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT atas apa yang dilakukannya di masa hidupnya. Firman Allah SWT:

"Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya".(QS. Ath Thur:21) "Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu". (QS. Al Hijr:92-93). Karena keberadaan ilmu bagi setiap individu muslim merupakan kebutuhan pokok, maka daulah (negara) wajib mencukupi segala sarana untuk pemenuhan kebutuhan ini secara langsung agar seluruh rakyat mendapatkan sarana pendidikan yang layak. Sabda Nabi saw: "Imam itu adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya". Tanggung jawab pemimpin termasuk mencukupi keperluan pokok rakyat. Dan juga merupakan Ijma' Shahabat untuk upah guru dengan jumlah tertentu yang diambil dari baitul maal, sedangkan harta yang ada di Baitul Maal adalah milik daulah. Lebih dari itu Rasulullah saw telah menjadikan tebusan bagi tawanan perang Badar berupa pengajaran bagi anak-anak kaum muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab menyediakan tenaga guru adalah negara. Demikian pula dengan sarana lain seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, alat-alat praktik dan lain-lain yang diperlukan umat dalam proses pendidikan agar terlaksana dengan baik. Ini berdasarkan kaedah syara': "Segala sesuatu yang menyebabkan tidak sempurnanya suatu kewajiban kecuali dengannya maka sesuatu itu menjadi wajib".

Anda mungkin juga menyukai