Anda di halaman 1dari 10

HARTA DALAM PANDANGAN ISLAM

MAKALAH

Diajukan untuk tugas mata kuliah Ekonomi Bisnis Syariah

Dosen Pengampu:

Oleh :

1) Hadi Permana 2106712


2) Sherly Aulia 210

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BISNIS

FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2022
BAB 1

Pendahuluan

Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok bahasan yang penting
dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-maal secara bahasa berarti condong,
cenderung atau miring. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang sangat
diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan, bahwa
harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh, adalah
sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama
menyangkut yang kongkrit. Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada
dua unsur; Pertama, unsur ‘aniyyah dan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyyah berarti harta itu
berwujud atau kenyataan (a’yun). sebagai contoh, manfaat sebuah rumah yang dipelihara
manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. Sedangkan unsur ‘urf  adalah
segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau oleh sebagian manusia,
tidaklah manusia memelihara  sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat yang
bersifat madiyyah maupun ma’nawiyyah.

Dalam Islam kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan bahwa terdapat
lima maqashid syariah yang salah satu diantaranya adalah al-maal atau harta. Islam meyakini
bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk
memanfaatkannya saja. Meskipun demikian, Islam juga mengakui hak pribadi seseorang.
Untuk itu Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli,
sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan
mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang
dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang
peliharaannya sekalipun.

Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29-32).
BAB 2

Pembahasan

1. Pengertian harta
Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal
itu sendiri berakar dari kata dan frase: ‫ تمو‬، ‫ لت تم ّو‬، ‫ ملت‬، ‫مول‬
sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:" Sebaik-baik maal ialah yang berada
pada orang yang saleh." (Bukhari dan Muslim)
pengertian harta secara Istilah Madzhab Hanafiyah: Semua yang mungkin dimiliki, disimpan
dan dimanfaatkan. Dua unsur menurut madzhab: 1. Dimiliki dan disimpan 2. Biasa
dimanfaatkan dan menurut Jumhur Fuqaha; Setiap yang berharga yang harus diganti apabila
rusak, menurut Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan
dan atau untuk kondisi darurat. Imam Syafii: barang-barang yang mempunyai nilai untuk
dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya
(tidak berguna lagi bagi manusia). Ibnu Abidin: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa
disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. As Suyuti dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang
bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai penjualan dan diberi sanksi bagi
orang yang merusaknya. Harta (nilai harta).
2. Pembagian Jenis-jenis Harta

1. Harta Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim


Harta mutaqawwim ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan
dibolehkan syara’ untuk  memanfaatkannya. Maksud pengertian harta ghair al-
Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang
tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.

2. Mal Mitsli dan Mal Qimi


harta mitsli dan qimi  sebagai sesatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar,
tidak ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau kesatuannya. harta yang ada
duanya atau dapat ditukar dengan hal serupa dan sama disebut mitsli dan harta yang tidak
duanya atau berbeda secara tepat disebut qimi.

3. Mal Istihlak dan Mal Isti’mal


harta istihlak merupakan harta yang penggunaannya hanya sekali pakai sedangkan
harta isti’mal harta yang penggunaannya bisa berkali-kali pakai.
4. Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat
yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan
keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Sedangkan harta ghair al-
manqul maksudnya segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin
dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ketempat yang lain menurut asalnya,
seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan lainnya.

5. Harta ‘Ain dan Dayn
harta ‘ain yaitu harta yang berbentuk. sedangkan, harta dayn harta yang menjadi
tanggung jawab seperti uang yang dititipkan ke orang lain.

6. Harta Nafi’i
harta nafi’i yaitu harta yang tidak berbentuk

7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur
harta mamluk yaitu harta yang statusnya memilikik kepemilikian baik individu, umum
atau negara. harta mubah yaitu hukum harta pada asalnya yaitu tidak ada yang memiliki.
sedangkan, harta mahjur yaitu harta yang tidak boleh dimilikioleh pribadi.

8. Harta Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi


pembagian harta ini didasari oleh potensi harta menimbulkan kerugian atau kerusakan
apabila dibagikan. harta yang dapat dibagi yaitu harta tidak menimbulkan kerugian atau
kerusakan apabila dibagikan seperti beras. sedangkan, harta yang tidak dapat dibagi yaitu
harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti benda-benda
mewah.

9. Harta Pokok dan Hasil


harta pokok ialah harta yang mungkin menumbulkan harta lain atau dalam istilah
ekonomi disebut harta modal.

10. Harta Khas dan ‘Am


harta khas yaitu harta milik individu yang tidak boleh diambil manfaatnya jika tidak
direstui pemiliknya. sedangkah harta am yaitu harta milik umum yang dibebaskan dalam
mengambil manfaatnya.

Selain harta, hal penting dalam bahasan syariah islam yaitu tentang kepemilikan harta itu
sendiri. kepemilikan (al-milkiyyah) adalah istilah hukum Islam yang menandakan hubungan
antara manusia dan harta yang menjadikan harta itu secara khusus melekat padanya.
Berdasarkan definisi ini, perolehan properti oleh seorang individu, dengan cara yang sah,
memberikan hak kepadanya untuk memiliki hubungan eksklusif dengan properti itu,
menggunakan atau menanganinya selama tidak ada hambatan hukum untuk berurusan seperti
itu. Pada dasarnya menurut firman Allah SWT sesungguhnya seluruh harta atau kekayaan
adalah milik Allah SWT seperti firmannya pada Ayat alquran surat Al-maidah:20 “Dan
ingatlah ketika musa berkata kepada kaumnya: hai kaumku, ingatlah nikmat allah atasmu
keika ia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang
merdeka, dan diberikannya kepadamu apa-apa yang belum pernah diberikan kepada
seseorangpun diantara umat umat yang lain.” Dalam Islam kepemilikan harta dibagia atas
kepemilikan pribadi atau individu, kepemilikan bersama atau komunal/umum dan
kepemilkan milik negara.

Islam mengakui kepemilikan individu asal didapatkan dan dibelanjakan dengan cara yang
syar’i. harta pribadi dalam penggunaanya tidak boleh memiliki dampak negatif terhadap
pihak lain. selain itu, individu bebas dalam pemanfaatan harta miliknya secara produktif,
melindungi harta tersebut dan memindahkannya dengan dibatasi oleh syariat yang ada. hal ini
untuk mengurangi kesia-siaan dalam kepemilikan harta.

Selain kepemilikan pribadi Islam juga mengakui kepemilikan umum dan Negara.
kepemilikan umum meliputi mineral padat, cair dan gas yang asalnya dari dalam perut bumi.
benda benda tersebut dimasukkan ke dalam golongan milik umum karena memiliki
kebermanfaatan besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup masyarakat itu sendiri
sehingga dimasukkan kedalam golongan harta milik umum dan dikelola oleh negara.
sedangkan, harta milik negara yaitu segala bentuk penarikan yang dilakukan oleh negara
secara syari kepada masyarakatnya seperti pajak, hasil pengelolahan pertanian, perdagangan
dan industri yang masuk kedalam kas negara. harta milik negara ini kemudian dibelanjakan
untuk kepentingan warganya.

3. Harta dalam Ekonomi Islam


Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni
dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan
demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal
dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah.
Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia
juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan
untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam
mempergunakan dan mengatur harta itu.
Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:
1. Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah
ciptaan Allah.
2. Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak
pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.
3. Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap
dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya
darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.
4. Pengelolaan harta dalam islam
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan
Hadits); yaitu:
1 Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr
(89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal
dan yang bathil)”
2. Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20;
”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
3. ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya”
(hadits Muslim)
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam.
Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk menikmati karunia Allah dan
wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7
disebutkan tentang alokasi harta.
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti
yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia
menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah.
Karena itu tidak boleh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga
terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi
konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka
cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa
akan terhambat.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan
diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain Islam
memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak
berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang
mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam
membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan
membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros
bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma
yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma
istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran
istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia
ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda
hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda
yang terlihat ataupun tidak terlihat
Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang
dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang
memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta,
baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk
kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih
penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan
sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya
menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat
mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.
Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros,
maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan,
yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut
para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab
tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah
karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam:
1. harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan
monopoli);
2. pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)
3. penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-
spiritual)
4. penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam
aktivitas ekonomi maupun non ekonomi
5. kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi
ekonomi.

5. Larangan dalam membelanjakan harta

Larangan dalam Pembelanjaan Harta


"Maka terbenamlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada baginya suatu
golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang
(yang dapat) membela (dirinya)." (Qs.28:81)
Ayat di atas merupakan salah satu bukti keserakahan akibat dari terlalu cinta terhadap harta
sehingga lupa bahwa harta merupakan amanat Allah dan dari sebagian harta tersebut terdapat
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Fenomena Karun, apabila dicermati lebih
mendalam merupakan salah satu contoh riil dari kecintaan secara berlebihan terhadap harta
yang mengarahkan pada suatu keyakinan bahwa hartanya dapat mengekalkan kehidupannya.
Secara bijaksana al-Qur'an telah menginformasikan suatu larangan berdimensi sosial untuk
kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Larangan
dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3) macam, antara lain:
Pertama, larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta. Kesadaran untuk membantu
penderitaan yang dialami orang-orang yang kekurangan sangat mendapatkan porsi yang besar
di dalam Islam. Keseimbangan yang diciptakan Allah dalam bentuk aturan-aturan yang
bersifat komprehensif dan universal yaitu al-Qur'an dalam konteks hubungan sosial, apabila
diimplementasikan dengan mengambil suri teladan para Nabi dan Rasul dan orang-orang
beriman masa lalu membawa dampak terhadap distribusi pemerataan tingkat kesejahteraan.
Sikap kikir sebagai salah satu sifat-sifat buruk manusia (lihat Qs.70:19) harus dikikis dengan
menumbuhkan kesadaran bahwa harta adalah amanah Allah swt yang harus dibelanjakan
sebahagian dari harta tersebut kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.
Larangan kikir terhadap harta membuktikan kurangnya nilai kepekaan sosial, padahal
manusia sebagai makhluk sosial (homo_homini_lupus) tidak hanya hidup sendiri tetapi
membutuhkan pertolongan orang lain walaupun tidak secara langsung terjadi interaksi.
Sikap kikir akan mengarahkan manusia pada kategori orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri, dengan menganggap harta yang dimiliki hasil dari jerih payah sendiri
tanpa sedikitpun bantuan pihak lain, padahal Allah swt sebagai Pemilik semesta alam beserta
isinya termasuk harta yang dimiliki manusia. Firman Allah swt di dalam surat al-Hadiid ayat
23-24: "....Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu)
orang-orang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir...." (Qs.57:23-24).
Label sombong yang diberikan oleh Allah swt kepada orang-orang yang kikir, kalau ditelaah
lebih jauh lagi membawa paradigma baru (pelaksanaan nilai-nilai Islami) menuju pemerataan
kesejahteraan dengan meninggalkan paradigma lama (sikap kikir). Selanjutnya lihat Qs. 4:36-
37, 3:180, 9:34-35, 70:15-18, 92:8-11, dan 47:36-38).
Sikap kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta
tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersebut dapat mengekalkan hidupnya. Ada
sebuah peringatan dalam al-Qur'an yang berbunyi: "Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi
pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu
dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan
ke dalam huthanah." (Qs.104:1-4).
Kedua, larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. "Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah setiap (memasuki) mesjid, makan, minumlah, dan jangan berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs.7:31)
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur."
(Qs.102:1-2)
Kedua ayat di atas secara tegas memberikan arahan untuk menghindari sikap berlebih-lebihan
dan bermegah-megahan dalam hidup.
Fenomena zaman di tengah badai krisiS yang melanda bangsa Indonesia sangat tepat untuk
mengimplementasikan larangan berlebih-lebihan dan bermegah-megahan. Paradigma sikap
hidup berlebih-lebihan dan bermegah-megahan di tengah kondisi sosial masyarakat yang
serba kekurangan, membawa dampak kecemburuan sosial dan terbentuknya pengkotak-
kotakan struktur sosial masyarakat.
Tanpa landasan aqidah yang kuat pada struktur sosial masyarakat, menimbulkan dampak
timbulnya kriminalitas disebabkan adanya kesenjangan sosial yang kian menguat. Terjadinya
pemborosan-pemborosan di satu sisi sebagai salah satu pengaruh 'pola hidup konsumtif' dan
di sisi lain tingkat kemiskinan semakin bertambah besar. Secara realistis fenomena tersebut
menimbulkan dua struktur sosial yang saling kontradiktif, apabila tidak dilakukan upaya-
upaya penyelesaian akan mengarah pada kekecewaan sosial yang merupakan bentuk lebih
jauh dari kecemburuan sosial. Problematika tersebut kian meruncing karena semakin
menipisnya tingkat 'kepercayaan' pada pemerintahan dan semua lini kehidupan akan
terakumulasi menjadi 'revolusi sosial' yang membawa dampak terhadap kestabilan bangsa
dan negara.
Secara tidak langsung al-Qur'an telah mengajak berdialog dalam sebuah ayat antara lain:
"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu
ialah sangat ingkar kepada Tuhannya." (Qs.17:27)
Nasehat tersebut apabila direfleksikan dalam kehidupan modern dewasa ini memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam upaya menciptakan ketentraman dan keamanan berbangsa
dan bernegara. Selanjutnya lihat Qs. 46:20, 3:14, 18:28, 28:77-78, 34:34-37, 57:20, 89:20,
3:10.
Pembahasan mengenai berlebih-lebihan dan bermewahan-mewahan dalam penggunaan harta
sangat terkait dengan konsumsi hidup yang mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan,
secara spesifik al-Qur'an telah memberikan suatu nasehat yang sangat berharga yaitu: "Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan
syukurilah nikmat Allah jika hanya kepada-Nya saja kamu menyembah." (Qs.16:114)
Cakupan pembahasan di atas merupakan larangan mengkonsumsi makanan-makanan yang
diharamkan termasuk di dalamnya khamr (lihat Qs.5:90-93), larangan mengkonsumsi
bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih disebut selain nama Allah, hewan yang
dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan jenis makanan lainnya yang telah ditetapkan syari'ah
Ketiga, larangan riba. "Orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Qs.al-
Baqarah:275)
Penegasan yang sangat jelas dari ayat di atas memberikan penjelasan mengenai larangan riba
dalam realisasi sistem perekonomian. Riba patut mendapatkan porsi pembelanjaan harta
karena sangat berkaitan dengan praktek-praktek yang telah berjalan pada penggunaan harta
dalam masyarakat. Riba terdiri dari 2 (dua) macam yaitu nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan sedangkan riba fadhl
adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya
karena yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasiah yang
berlipat ganda dan umum terjadi dalam masyarakat Arab jahiliyah.5 (Selanjutnya lihat
Qs.2:276-279, 3:130-131, 30:39, 4:161).
Keempat, yaitu larangan riya. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia
tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu
licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan;
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Qs.2:264)
Ayat di atas merupakan peringatan dari al-Qur'an agar dalam beramal tidak diiringi dengan
riya. Riya merupakan penyakit yang harus segera diobati dengan menghilangkan sikap riya
tersebut. Amal orang-orang yang riya akan membawa kerugian karena amalan-amalan
tersebut tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.
Riya ialah melakukan suatu amalan perbuatan bukan untuk mencari keridhaan Allah tetapi
untuk mencari pujian dan kemashuran dalam masyarakat. Dalam dataran pembelanjaan harta,
riya sangat merusak keharmonisan hubungan antar manusia (human relation) karena akan
menyebabkan dua kerugian yaitu kerugian terhadap penerima harta tersebut dan pemberi itu
sendiri. Bagi penerima kerugian yang diterima ialah perasaan 'sakit', sedangkan bagi pemberi
akan menyebabkan kerugian berupa hampanya amal dari pemberian harta tersebut.
(Selanjutnya lihat Qs.8:47, 4:38, 3:18, 107:6).

Anda mungkin juga menyukai