Islam sebagai agama yang syumul (sempurna) mengatur segala ruang lingkup
kehidupan manusia termasuk menyangkut masalah harta. Harta kekayaan dalam
Islam merupakan milik Allah secara mutlak. Ayat al-Quran berulang kali
menjelaskan mengenai hak mutlak Allah terhadap harta kekayaan yang ada di
bumi ini. Manusia hanya sebagai wakil yang dipercayakan untuk menggunakan
dan mengelola harta kekayaan tersebut dengan cara-cara yang diperbolehkan.
Allah sebagai pemilik segala bumi beserta isinya, Jadi kepemilikan manusia
hanyalah bersifat relatif, sebatas hanya untuk mengelola dan memanfaatkan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat (Mardani, 2012: 61-62).
A. PENGERTIAN HARTA
Harta dalam bahasa Arab yaitu al-amaal yang berasal dari kata َ م ْيال- يَ ِم ْي ُل- َما َل
yang berarti condong, cenderung, dan miring. Sedangkan secara istilah diartikan
sebagai segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan
dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan, bahwa harta kekayaan, sesuai dengan
apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh, adalah sesuatu yang dapat
dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut
yang kongkrit. Menurut Hanafiyah, harta ialah sesuatu yang digandrungi tabiat
manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan. Menurut
Hanafiyah pula, manfaat tidak termasuk harta, tetapi manfaat termasuk milik,
Hanafiyah membedakan harta dengan milik, yaitu:
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri
penggunaannya oleh orang lain. Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan
untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta bisa dicampuri
oleh orang lain. Jadi, menurut Hanafiyah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu
yang berwujud (a’yan).
Sementara menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, yang dimaksud dengan harta
ialah:
1. Nama selain manusia yang diciptakan Allah SWT untuk mencukupi kebutuhan
hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola (tasharruf)
dengan jalan ikhtiar.
2. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia
maupun oleh sebagian manusia.
3. Sesuatu yang sah untuk diperjual belikan.
4. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji beras dapat
dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat disimpan, tetapi
sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai (berharga), maka sebiji beras tidak
termasuk harta.
5. Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil
manfaatnya tidak termasuk harta, misalnya manfaat, karena manfaat tidak
berwujud sehingga tidak termasuk harta.
6. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat
diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
Dari definisi dia atas sudah dapat di simpulkan bahwa para ulama masih
berbeda pendapat dalam menentukan definisi harta. Namun, di sini dapat
diperhatikan bahwa penekanan para ulama dalam mendefinisikan harta itu antara
lain sebagai berikut:
Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa harta adalah nama bagi selain
manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga,
konsekuensi logis perumusan ini adalah:
1. Manusia bukanlah harta sekalipun berwujud.
2. Babi bukanlah harta karena babi haram untuk diperjualbelikan bagi Muslimin.
3. Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga)
menurut ‘urf.
Hanafiyah menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang berwujud dan
dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak disimpan
tidak termasuk harta seperti, hak dan manfaat.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Aravik, Havis. 2016. Ekonomi Islam; Konsep, Teori dan Aplikasi, Serta Pandangan
Pemikiran Ekonomi Islam dari Abu Ubaid Sampai al-Maududi, Malang: Empat Dua