Anda di halaman 1dari 24

DEFINISI, MACAM-MACAM, & URGENSI HARTA DALAM

EKONOMI ISLAM

Dosen Pembimbing: Dr. Imron Natsir, M.M.

Disusun oleh:

Syaiful Arif

syarifahgaff92@gmail.com

Universitas PTIQ Jakarta


ABSTRAK

Harta memiliki peranan yang sangat penting dalam ekonomi Islam,


meskipun bukan menjadi tujuan utama dalam kehidupan seorang manusia.
Makalah ini disusun dengan tujuan mengupas mengenai konsep dan urgensi harta
dalam ekonomi Islam, agar pelaku ekonomi dapat berinteraksi dan memperlakukan
harta sesuai syariat Islam. Dengan penulisan menggunakan metode deskriptif
kuantitatif melalui kajian kepustakaan, penulis mencapai sebuah hasil penelitian
bahwa harta dalam ekonomi Islam memiliki berbagai macam klasifikasi, dan para
ulama menyebutkan beberapa hal penting mengenai urgensi harta dalam Islam.
Artikel ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dan referensi jika di masa
mendatang dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai konsep harta dalam
ekonomi Islam.

KATA KUNCI

Harta, Urgensi, Ekonomi Islam

ABSTRACT

Wealth has a very important role in Islamic economics, even though it is not
the main goal in a human's life. This paper was prepared with the aim of exploring the
concept and urgency of assets in Islamic economics, so that economic actors can
interact and treat assets in accordance with Islamic law. By writing using quantitative
descriptive methods through literature review, the author achieved research results
that wealth in Islamic economics has various classifications, and the scholars
mentioned several important things regarding the urgency of wealth in Islam. This
article can be used as a consideration and reference if in the future a more in-depth
study is carried out regarding the concept of property in Islamic economics.

KEYWORDS

Wealth, Urgency, Islamic Economics

2
Pendahuluan

Al Qur’an sebagai pedoman utama ummat Islam sangat


memperhatikan terhadap harta dengan menempatkannya sebagai tiang
kehidupan (qiyama), sebagaimana firman Allah SWT Q.S. an-Nisa [4]: 5

‫ﯔﯕﯖ ﯗ ﯘ ﯙﯚﯛ ﯜﯤ‬

“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna


akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan
sebagai pokok kehidupanmu.”
Harta itu dijadikan oleh Allah SWT sebagai pilar kehidupan. Kekayaan
adalah kebutuhan inti dalam hidup dan manusia tidak dapat dipisahkan
darinya. Islam melihat keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan
penggunaan properti sebagai sesuatu yang lumrah sepanjang dalam koridor
syariah. Harta yang didapat, dimiliki, dan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka, baik material atau non material.
Manusia mencoba secara naluri dan kecenderungan untuk memperoleh
dan mengejar harta. Karena pentingnya hukum terkait dengan harta, para
ulama berijtihad bahwa salah satu maqashid syariah adalah dalam kerangka
menjaga keselamatan harta1.
Imam Syatibi dan Imam Haramaian merumuskan maqasidu syariah
dalam 3 (tiga) kelompok. Yang petama dalam kerangka Dharuriyyat yaitu
memelihara memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia yaitu Kebutuhan yang pokok itu ada lima, yaitu: agama (al-din), jiwa
(al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan akal (al-aql)
Selain dalam kerangka Dharuriyyat, maqashidu syariah juga dalam
kerangka Hajjiyyat yaitu kebutuhan yang tidak bersafat esensial, melainkan
kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidupnya.

1
Dr. Hisyam bin Sa’id Azhar, Maqashidus Syari’ah ‘Inda Imam Haramaian, Maktabah Ar
Rusyd Nasyirun, hal. 227-233

3
Tidak terpeliharanya kebutuhan ini tidak mengancam lima kebutuhan dasar
manusia, tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi mukalaf. Kelompok ini
erat kaitannya dengan rukhsah (keringanan dalam syariah).
Yang ketiga maqasidu syariah dalam kerangka Tahsiniyyat yaitu
kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat manusia dalam
masyarakat dan di hadapan Tuhannya sesuai dengan kepatuhan.
Dalam pandangan Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan
hukum) bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari
kemadaratan (jalbul mashalih wa dar'ul mafasid), baik di dunia maupun di
akhirat.
Aturan-aturan dalam syariah tidaklah dibuat untuk syariah itu sendiri,
melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan. Dengan bahasa yang lebih
mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri.
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta (hifz al-mal) dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat: (1) memelihara harta dalam peringkat
dharuriyyat, seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu
dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta; (2) memelihara
harta dalam peringkat hajjiyyat seperti syariat tentang jual beli dengan cara
salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi
harta, tetapi akan mempersulit orang yang memerlukan modal; (3)
memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan
menghindarkan diri dari penipuan, etika bermuamalah dan bisnis2.

2
Dr. Muh. Mufid, LC MH, Ushul Fiqah dan Aplikasinya hal. 167 - 168

4
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut;
1. Definisi harta menurut ulama
2. Macam-macam harta dalam ekonomi Islam
3. Urgensi harta dalam Islam

Metode Penelitian
Untuk membahas beberapa rumusan masalah di atas, penulis
menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan studi
pustaka, dimana dalam hal ini penulis berusaha menyajikan data yang
dihimpun dari berbagai literasi, khususnya yang berkaitan dengan harta
dalam sistem ekonomi Islam. Data yang dihimpun disajikan dalam
pembahasan secara filosofis tentang bagaimana konsep harta dalam ekonomi
Islam.

5
PEMBAHASAN
A. Definisi Harta Menurut Ulama
Secara etimologis, dalam Bahasa Arab, kata harta diartikan dengan al-
mal yang merupakan akar kata (mashdar) dari lafaz ‫مال يميل‬. Yang berarti
condong, cenderung, miring, atau berpaling dari tengah kesalah satu sisi, dan
al-maal diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia, dan
mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.
Beberapa pengertian harta (amwal) menurut beberapa ulama sebagai
berikut3:
1. Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab menjelaskan bahwa harta merupakan
segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan
dan memilikinya. Dengan demikian unta, sapi, kambing, tanah, emas,
perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai
(qimah), ialah harta kekayaan. Harta juga dapat diartikan sebagai sesuatu
yang digandrungi dan dicintai manusia. Al-muyuul yang terjemahannya
kecenderungan mempunyai akar kata yang sama dengan al-mal, yaitu
sesuatu yang hati manusia cenderung untuk memilikinya.
2. Dalam kamus Al Munawwir Maal diartikan sebagai harta benda4.
3. Syaikh Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa secara etimologi, harta
adalah setiap yang dipunyai dan digenggam atau dikuasai manusia secara
nyata, baik berupa benda maupun manfaat, seperti emas, perak, hewan,
tumbuh-tumbuhan, atau manfaat barang seperti manfaat mengendarai,
memakai, dan menempati. Adapun yang tidak digenggam oleh seseorang
tidaklah dinamakan dengan harta secara etimologi seperti burung yang
terbang di udara, ikan di kolam, pohon di hutan, barang tambang di
permukaan bumi5.

3
Dr. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Muammalah hal. 73
4
KH. A.W Munawwir, Kamus Bahasa Arab Indonesia Al Munawwir, Surabaya – Pustaka
Progresif, hal. 1368.
5
Syaikh Wahbah Zuahili, Fiqh Islam Wa adillatuhu 4/391

6
4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No, 02 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah’ mengartikan Amwal adalah
benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik
benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang
tidak bergerak.
5. Menurut ulama mazhab Hanafi, harta adalah segala sesuatu yang dapat
diambil, disimpan dan dapat dimanfaatkan.
Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur:
a. Harta yang dapat dikuasai dan dipelihara
b. Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan
Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu,
kesehatan, kecerdasan, udara, panas matahari, tidak dapat dikatakan
harta6.
6. Harta Menurut Jumhur Fuqaha (selain Hanafiyah) Menurut jumhur
(mayoritas) fuqaha harta adalah adalah segala sesuatu yang bernilai dan
jika rusak maka orang yang merusaknya mesti mengganti.
Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama
hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat
diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat
termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun
menurut ulama selain hanafiyah, manfaat termasuk harta.

6
Syaikh Wahbah Zuahili, Fiqh Islam Wa adillatuhu 4/392

7
B. Macam-Macam Harta dalam Ekonomi Islam7
1) Dari segi boleh dan tidaknya memanfaatkannya
a. Harta Mutaqawwim.
Harta mutaqawwim adalah setiap yang digenggam secara nyata dan
dibolehkan oleh syara’ untuk memanfaatkannya seperti berbagai ‘aqar
(bangunan atau benda-benda tidak bergerak). barang-barang yang
bergerak, makanan, dan sebagainya.
b. Harta ghair mutaqawwim
Harta ghair mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta
mutaqawwim, ghair mutaqawwim adalah setiap sesuatu yang belum
digenggam secara nyata, atau sesuatu yang tidak dibolehkan secara
syara’ untuk memanfaatkannya kecuali dalam kondisi terpaksa.
Contohnya adalah khamar dan babi untuk seorang muslim adalah
ghair mutaqawwim secara syara’ sehingga tidak dibolehkan untuk
dimanfaatkan kecuali dalam kondisi darurat, seperti untuk
menghindari bahaya kelaparan yang sudah sangat membahayakan
atau rasa haus yang membahayakan dan dikhawatirkan akan
menyebabkan kematian, dan ia tidak mendapatkan sesuatu yang lain
selain khamar dan babi tersebut, maka ia dibolehkan untuk
memanfaatkan salah satunya dalam batas yang bisa
menyelamatkannya dari kematian.
2) Dari segi menetap dan tidaknya di tempatnya
a. Harta ‘aqar adalah segala macam harta yang tak dapat dipindahkan
dari tempatnya ke tempat lain, seperti bangunan dan tanah atau
properti lainnya.
b. Harta manqul ialah segala macam sesuatu yang dapat dipindahkan
dan diubah dari tempat satu ke tempat yang lain, baik tetap pada
bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya

7
Syaikh Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu 4/391

8
dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Harta dalam kategori
ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan,
kendaraan, macam-macam benda yang ditimbang dan diukur.
3) Dari segi sama dan tidaknya unit atau bagian-bagiannya
a. Harta mitsli adalah harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di
pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau
kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi
dalam aktivitas ekonomi. Harta mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu:
harta yang ditakar, seperti gandum; harta yang ditimbang, seperti
kapas dan besi; harta yang dihitung, seperti telur; dan harta yang dijual
dengan meter, seperti kain, papan, dan lain-lainnya.
b. Harta Qimi adalah harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar,
tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada
nilai, seperti binatang dan pohon
4) Dari segi tetap dan tidaknya barang setelah digunakan
a. Harta istihlak ialah harta yang tidak mungkin dinikmati manfaatnya
kecuali dengan menghabiskan zatnya seperti makanan, minuman,
kayu bakar; minyak tanah, perak, uang, dan sebagainya. Semua harta
ini selain uang tidak mungkin dimanfaatkan kecuali dengan
menghabiskan zatnya. Adapun uang, pemanfaatannya adalah dengan
keluarnya ia dari tangan si pemiliknya meskipun zatnya tetap ada
sebenarnya. Harta dalam kategori ini ialah harta sekali pakai, artinya
manfaat dari benda tersebut hanya bisa digunakan sekali saja.
b. Harta Isti’mal ialah harta yang dapat digunakan berulang kali, artinya
wujud benda tersebut tidaklah habis atau musnah dalam sekali
pemakaian seperti tempat tidur, baju, sepatu, kebun, dan lain
sebagainya.

9
5) Dari segi bentuknya
a. Harta ‘Ain ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian,
beras, kendaraan, dan yang lainnya. Harta ‘ain dibagi menjadi dua
bagian.
- Pertama, harta ‘Ain Dzati Qimah, yaitu benda yang memiliki bentuk
yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain dzati
qimah meliputi:
• Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
• Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya.
• Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.
• Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari
persamaannya yang serupa.
• Benda yang dianggap harta berharga dan dapat dipindahkan
(bergerak).
• Benda yang dianggap harta berharga dan tidak dapat dipindahkan
(tetap).
- Kedua, harta ‘Ain Ghayr Dzati Qimah, yaitu benda yang tidak dapat
dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga,
misalnya sebiji beras.
b. Harta Dayn Jenis harta dalam kategori ini merupakan kepemilikan
atas suatu harta yang harta tersebut masih berada dalam tanggung
jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta tersebut,
tetapi ia tidak memiliki wujudnya karena berada dalam tanggungan
orang lain. Menurut hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi harta
‘ain dan dayn, karena konsep harta menurut hanafiyah merupakan
segala sesuatu yang berwujud (konkret), maka bagi sesuatu yang tidak
memiliki wujud riil tidaklah dapat dianggap sebagai harta, semisal
utang. Utang tidak dipandang sebagai harta, tetapi utang menurut

10
hanafiyah merupakan sifat pada tanggung jawab (washf fi al-
dzimmah).
Sumber utang ini, adakalanya berasal dari akad atau kontrak, seperti
qardh, jual beli, kafalah, dan adakalanya bersumber dari tindakan yang
merugikan orang lain (fi’lun dhar), seperti utang yang timbul lantaran
ta’widh, seperti membayar harga barang yang diserobot atau
dirampas.
6) Dari segi dapat dibagi atau tidak
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan bila harta itu dibagi-
bagi, misalnya beras, jagung, tepung dan sebagainya.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair al-qabil li al-qismah) ialah
harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta
tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kemeja, mesin, dan sebagainya.
7) Harta pokok dan harta hasil (tsamarah).
a. Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya menghasilkan harta
yang lain;
b. Harta hasil ialah harta yang terjadi dari harta yang lain.
Contoh harta pokok dan harta hasil ialah, bulu domba dihasilkan dari
domba, maka domba merupakan pokok dan bulunya merupakan
harta hasil; kerbau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah
dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok
8) Dari segi jenis kepemilikannya
a. Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain tidak
boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya, seperti rumah
pribadi, kendaraan pribadi dan lain sebagainya.
b. Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil
manfaatnya secara bersama-sama, seperti jalan toll dan lain
sebagainya.

11
Harta/Aset Tak Berwujud
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Benda tidak berwujud adalah
segala sesuatu yang tidak dapat diindera. Asest tidak berwujud atau
intangible asset adalah aset nonmoneter yang teridentifikasi tanpa ada
bentuk yang terlihat (PSAK 19, 2018).
Aset tak berwujud memiliki nilai jangka panjang, dimana aset tak berwujud
juga biasa disebut sebagai aset intelektual, kekayaan intelektual, modal
pengetahuan, atau modal intelektual.
Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami nomor 43 (5/5) Mu’tamar V tahun 1409
H/1988 M tentang al-Huquq al-Ma’nawiyyah yang menjadi landasan dalam
Fatwa MUI No. 1/MUNAS/VII/MUI/5/2005 tentang Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual HKI sbb:
Pertama: Nama dagang, alamat dan mereknya, serta hasil ciptaan (karang-
mengarang) dan hasil kreasi adalah hak-hak khusus yang dimiliki oleh
pemiliknya,yang dalam abad moderen hak-hak seperti itu mempunyai nilai
ekonomis yang diakui orang sebagai kekayaan. Oleh karena itu, hak-hak
seperti itu tidak boleh dilanggar.
Kedua: Pemilik hak-hak non-material seperti nama dagang, alamat dan
mereknya, dan hak cipta mempunyai kewenangan terhadap haknya itu, dan
bisa ditransaksikan dengan sejumlah uang dengan syarat terhindar dari
berbagai ketidakpastian dan tipuan, seperti halnya dengan kewenangan
seseorang terhadap hak-hak yang bersifat material.
Ketiga: Hak cipta, karang-mengarang dan hak cipta lainnya dilindungi oleh
syara’. Pemiliknya mempunyai kewenangan terhadapnya dan tidak boleh
dilanggar8.

8
Fatwa MUI No. 1/MUNAS/VII/MUI/5/2005 tentang Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual HKI

12
HKI meliputi beberapa hal berikut;
a. Hak Perlindungan Varietas Tanaman, yaitu hak khusus yang
diberikan Negara kepada pemulia dan/atau pemegang Hak
Perlindungan Varietas Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas
hasil permuliannya, untuk memberi persetujuan kepada orang atau
badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.
(UU No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman,
Pasal 1 Angka 2);
b. Hak Rahasia Dagang, yaitu hak atas informasi yang tidak diketahui
oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai
ekonomis karena berguna dalam kegiatan usaha dan dijaga
kerahasiannya oleh pemilik Rahasia Dagang. Pemilik Rahasia Dagang
berhak menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya
dan/atau memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk
menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang
itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.
(UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Pasal 1 Angka 1, 2 dan
Pasal 4);
c. Hak Desain Industri, yaitu hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
(UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, Pasal 1 Angka 5);
d. Hak Desain Tata Letak Terpadu, yaitu hak eksklusif yang diberikan
oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
(UU NO. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Terpadu, Pasal 1
Angka 6);

13
e. Hak atas Merek, yaitu hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
Republik Indonesia kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam
Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada
pihak lain yang menggunakannya. (UU No. 15 tahun 2001 tentang
Merek, Pasal 3); dan
f. Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 19
tahun 2002 tentang Hak Cipta).

Zakat Aset Tidak Berwujud


Dikarenakan harta atau aset tak berwujud merupakan salah satu jenis
harta yang sifatnya baru dan tidak ada dalam kajian fikih klasik, maka perlu
kiranya kita melihat kepada pendapat para ulama fikih kontemporer terkait
apakah harta/aset tak berwujud jika telah mencapai nisab wajib dikeluarkan
zakatnya atau tidak. Berikut beberapa pendapat ulama kontemporer;
a. Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, zakat terhadap harta yang tidak
berwujud itu yaitu wajib dikeluarkan, karena kewajiban zakat tersebut
tidak melihat kepada wujud benda, akan tetapi kepada pendapatan
atau untung yang dihasilkan, sekalipun jumhur fuqaha tidak
menjelaskan entang wajibnya zakat atas hal seperti ini, akan tetapi
beliau berpandangan akan pentingnya zakat dalam semua barang
tersebut itu dikarenakan, adanya illat (sebab) diwajibkannya zakat
dalam barang-barang tersebut yaitu an-namaa‟ (bertambah). Hukum
Agama senantiasa berlaku bersama illatnya, ada atau tidak ada.
Wahbah al-Zuhaili juga menyatakan dalam karangannya Fiqih Islam
Wa Adillatuhu, kadar zakat yang wajib dikeluarkan sama dengan zakat

14
perniagaan dan uang, yaitu. Laba bersih 2,5% di akhir tahun, dan yang
perlu di perhatikan yaitu mencapai nisab dan haul, karena jika salah
satu di antaranya itu tidak terpenuhi maka, belum wajib zakat atas
harta tersebut.
b. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi berbeda pendapat dalam hukum zakat
harta yang tidak berwujud ini, akan tetapi pada umumnya tetap sama,
yaitu wajib mengeluarkan zakat atas harta yang tidak berwujud ini,
sebagaimana ijtihad beliau lebih melihat kepada definisi kekayaan itu
sendiri dan juga ia berpendapat yang sama dengan ulama mazhab
Hanafi yang mengatakan, baru bisa disebut kekayaan bila memenuhi
dua syarat, pertama dipunyai dan mempunyai manfaat, kedua sesuatu
yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkret.

C. Urgensi Harta dalam Islam

Dalam Islam, meskipun harta bukan menjadi tujuan utama dari


kehidupan manusia, namun memiliki peranan yang sangat penting dalam
keberlangsungan kehidupan seorang manusia. Berikut beberapa urgensi
harta yang disebutkan oleh para ulama;

1. Salah satu bekal untuk beribadah

Harta merupakan salah satu bentuk modal bagi manusia untuk


melakukan segala perbuatan yang bernilai positif (ibadah). Dalam
Islam, terdapat ibadah yang membutuhkan harta dalam
pelaksanaannya. Di antara ibadah dimaksud adalah zakat, sedekah,
dan hibah. Zakat merupakan ibadah wajib yang dibebankan kepada
orang yang memiliki kekayaan yang telah memenuhi syaratsyarat
yang telah ditetapkan. Salah satu ayat yang berhubungan dengan
masalah ini adalah:

15
‫ﭑ ﭒﭓ ﭔﭕﭖﭗﭘﭙﭚ ﭛﭜﭝﭞ‬
‫ﭟﭠﭡﭢ ﭣﭤﭥﭦﭧ‬
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya... (Q.S. Al-Baqarah [2]:
177)
Ayat di atas menjelaskan bahwa salah satu bentuk kebaikan adalah
memberikan harta yang dicintai kepada orang-orang yang
kekurangan dan membutuhkan harta. Penekanan ayat ini pada harta
yang dicintai, memberikan isyarat kepada kelemahan manusia yaitu
sangat sulit untuk memberikan miliknya yang ia cintai kepada orang
lain. Suatu pemberian berupa harta yang tidak bernilai atau yang tidak
lagi disukai mempunyai penghargaan yang lebih rendah
dibandingkan orang memberikan harta yang dicintai dan yang
terbaik. Pemberian harta yang dicintai kepada orang lain,
menandakan kuatnya iman pemberi harta tersebut. Pemberian harta
yang berkualitas rendah, menandakan seseorang sangat mencintai
hartanya, takut miskin dan imannya masih lemah9.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa beribadah dengan harta
merupakan sesuatu yang berat untuk dilaksanakan. Hal demikian,
karena adanya sifat cinta manusia terhadap harta yang mereka
usahakan dengan susah payah. Di samping itu, adanya kecondongan
dalam benak manusia bahwa harta merupakan milik mutlak dirinya,
sehingga ia bersikap tidak mau mengeluarkan sedikit pun miliknya,
karena ia takut akan berkurang.

9
Abdurrahman ibn Nashir al-Sha’diy, Taysir al-Karim alRahman fi Tafsir Kalam al-Manan,
(Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), h. 83

16
Untuk membangkitkan semangat ibadah dalam bentuk harta ini,
dalam banyak ayat digambarkan pahala atau ganjaran yang berlipat
ganda, sehingga timbullah keinginan untuk melakukan ibadah berupa
pemberian harta kepada orang yang membutuhkan bantuan harta
tersebut. Di antara ayat Alquran yang menggambarkan besarnya
pahala bagi mereka yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
surat al-Baqarah [2]: 261 dan 262:

‫ﭽﭾﭿﮀﮁﮂﮃﮄ ﮅ ﮆﮇﮈﮉ ﮊ‬
‫ﮋ ﮌ ﮍﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ‬
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan
ganjaran bagi siapa yang Ia kehendaki. Dan Allah Maha luas lagi Maha
Mengetahui”.
Selain itu, pemberian harta yang berkualitas tinggi juga harus
diimbangi dengan kualitas amalan dalam tingkatan keikhlasan yang
tinggi pula. Hal demikian dijelaskan dalam kelanjutan ayat di atas,
yaitu al-Baqarah [2]: 262:

‫ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥﮦ ﮧ ﮨ‬
‫ﮩﮪﮫ ﮬﮭﮮ ﮯﮰ ﮱ‬
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti, mereka
memperoleh pahala dari sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan mereka tidak bersedih hati.”

17
2. Salah satu penunjang kehidupan

Dalam kehidupan sehari-hari, harta merupakan salah satu unsur yang


sangat penting, sehingga tanpa harta yang cukup membuat kehidupan
seseorang tidak sempurna. Akibat yang lebih membahayakan adalah
timbulnya kejahatan-kejahatan dalam masyarakat sehingga
kehidupan menjadi tidak aman.
Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit orang yang terlalu menginginkan
harta sehingga waktunya dihabiskan semata-mata untuk mencari
harta dan melupakan ibadah kepada Allah. Dalam surat al-Nisa’ [4]: 5
dijelaskan:

‫ﯔﯕﯖ ﯗ ﯘ ﯙﯚﯛ ﯜﯤ‬

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum


sempurna akalnya, harta kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan…”
3. Salah satu media untuk menguji keimanan manusia

Di antara fungsi harta (al-mal) bagi manusia adalah sebagai cobaan.


Bentuk cobaan yang berhubungan dengan harta ini dapat saja berupa
diberikan harta yang berlimpah atau sebaliknya dikurangi harta,
sehingga seseorang mengalami kekurangan dan ketidakcukupan.
Dikatakan cobaan, baik ketika harta berlimpah maupun ketika
berkurang, karena seseorang diuji sejauh mana dapat menerima
keadaan yang berhubungan dengan harta tersebut. Ketika seseorang
memperoleh harta yang banyak, akan diuji sejauh mana ia mampu
memanfaatkan harta tersebut pada jalan yang sesuai dengan syariat.
Sebaliknya cobaan bagi orang yang dikurangi hartanya adalah
bagaimana ia sanggup menerima keadaan tersebut dengan penuh
kesabaran. Di antara ayat yang menyatakan bahwa harta merupakan

18
salah satu dari bentuk cobaan dari Allah adalah surat al-Baqarah [2]:
155:

‫ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ‬

‫ﭬﭭ‬

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit


ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Menurut ayat di atas, di antara bentuk-bentuk ujian Allah kepada
manusia antara lain rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut
sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang
diduga akan terjadi, sedikit rasa lapar, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan10.
Allah menjadikan harta sebagai salah satu media untuk menguji
kekuatan iman mereka, apakah dengan kekurangan harta tersebut
iman seseorang akan menjadi lebih kuat, atau sebaliknya akan
melemah. Ujian tersebut sangat relevan dengan keadaan manusia
yang hidupnya sangat tergantung kepada harta dan beberapa hal
lainnya seperti disebutkan dalam ayat di atas.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ujian dalam bentuk
dikuranginya harta kepada seseorang merupakan ujian yang berat.
Hal ini karena pemberian penghargaan dari Allah bagi mereka yang
dapat melewati kekurangan harta dimaksud. Seperti tergambar dalam
surat Ali Imran [3]: 186:

10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 342

19
‫ﯚ ﯛﯜﯝ ﯞﯟﯠﯡﯢ‬
‫ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪﯫ ﯬ ﯭ‬
‫ﯮﯯﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ‬
“Kamu sungguh akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan kamu
sungguh-sungguh akan akan mendengar dari orang-orang yang diberi
Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan
Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu
bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu
termasuk urusan yang patut diutamakan”.
Allah mengulangi beberapa kali dalam Alquran tentang fungsi harta
sebagai sarana untuk mencoba keimanan umat manusia, bahkan
dengan berbagai redaksi yang berbeda, seperti menyatakan bahwa
harta sebagai fitnah bagi manusia. Hal ini dijelaskan dalam surat al-
Anfal [8]: 28:

‫ﭱﭲﭳﭴﭵﭶﭷ ﭸﭹﭺﭻ‬

“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah


sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar”.
Ibnu Katsir memberikan makna fitnah dalam ayat tersebut dengan
ikhtibar wa imtihan, yang berarti bahan pertimbangan dan ujian bagi
manusia. Artinya apabila harta tersebut dibelanjakan kepada jalan
yang benar, maka menunjukkan seseorang bersyukur terhadap harta
pemberian Allah kepadanya serta mengisyaratkan bahwa seseorang
termasuk orang yang taat kepada-Nya11.

11
Abu al-Fida’ al-Hafiz Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz. 2, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), h. 368

20
Dengan memahami fungsi harta sebatas cobaan, manusia akan
menyadari bahwa tidak perlu menjadikan harta itu sebagai tujuan
hidup, tetapi sebagai sarana hidup yang lebih baik.
4. Salah satu pendukung untuk menjadi pemimpin
Harta merupakan salah satu pendukung bagi seseorang yang ingin
menjadi penguasa. Suatu hal yang kecil dapat terjadi bila seseorang
menjadi penguasa tanpa didukung oleh harta yang cukup. Salah satu
ayat yang menceritakan tentang tidak terpisahnya kekuasaan dengan
harta adalah dalam surat al-Baqarah [2]: 247:

‫ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ‬
‫ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥﮦ ﮧ ﮨ ﮩ‬
‫ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰﮱ ﯓ ﯔ ﯕ‬
‫ﯖ ﯗﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ‬
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah
mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana
Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan
pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan
yang banyak?” (Nabi mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah
memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas
dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya
lagi Maha Mengetahui”.
Ayat di atas menyatakan bahwa jika Allah berkehendak menjadikan
seseorang sebagai penguasa, maka akan terjadi walaupun tanpa
didukung oleh harta yang memadai. Tetapi dalam pemahaman yang
umum, harta dan kekuasaan merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Dengan kata lain, tidak mungkin seseorang menjadi

21
pemimpin (penguasa) tanpa mempunyai bekal harta sedikit pun.
Dialog dalam ayat di atas berupa keheranan bagaimana seseorang
diangkat menjadi raja, tanpa ada harta.
5. Salah satu bentuk perhiasan hidup
Harta juga berfungsi sebagai salah satu hiasan dalam kehidupan
manusia. Fungsi ini sebenarnya juga mengandung pilihan bagi umat
manusia apakah ia dalam kehidupannya lebih mendahulukan harta
atau lebih mengutamakan amalan-amalan saleh. Akan tetapi Alquran
mengarahkan manusia agar lebih mementingkan amal saleh, seperti
dalam surat al-Kahfi [18]: 46:

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ‬

‫ﭞﭟ‬

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi


amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.

22
KESIMPULAN

Harta memiliki peranan yang sangat penting bagi seorang manusia


dalam menjalankan dan melangsungkan kehidupannya. Para ulama berbeda
pendapat mengenai definisi harta itu sendiri, ada ulama yang berpendapat
bahwa harta harus merupakan sesuatu yang berwujud seperti pendapat
ulama mazhab Hanafi, ada pula ulama yang berpendapat bahwa harta tidak
harus berwujud seperti ulama mazhab lainnya. Dari pendapat kedua inilah
muncul pengakuan resmi mengenai kekayaan intelektual yang di zaman
modern ini diakui di seluruh dunia.
Para ulama menyebutkan banyak klasifikasi dari harta, salah satunya
dari beberapa aspek berikut;
a. Dari segi boleh atau tidak dimanfaatkan
b. Dari segi menetap atau tidaknya harta tersebut
c. Dari segi sama atau tidaknya unit atau bagiannya
d. Dari segi tetap atau tidaknya harta tersebut setelah digunakan
e. Dari segi bentuk bendanya
f. Dari segi bisa dibagi atua tidak
g. Dari segi jenis kepemilikannya
Dan beberapa klasifikasi lainnya dari aspek lain.
Meskipun harta bukan menjadi tujuan utama seorang manusia, namun
para ulama menyebutkan beberapa urgensi harta sebagai berikut;
a. Salah satu bekal untuk beribadah
b. Salah satu penunjang kehidupan
c. Salah satu media untuk mencoba keimanan manusia
d. Salah satu pendukung untuk menjadi pemimpin
e. Salah satu bentuk perhiasan hidup

23
DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Hisyam bin Sa’id, Maqashidus Syari’ah ‘Inda Imam Haramaian,


Dimasyqi, Abu al-Fida’ al-Hafiz Ibn Katsir al-, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz.
2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
Fatwa MUI No. 1/MUNAS/VII/MUI/5/2005 tentang Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual HKI
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah
Mufid, Muh., Ushul Fiqih dan Aplikasinya
Munawwir, KH. A.W, Kamus Bahasa Arab Indonesia Al Munawwir, Surabaya
– Pustaka Progresif,
Sha’dy, Abdurrahman ibn Nashir al, Taysir al-Karim al Rahman fi Tafsir
Kalam al-Manan, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000)
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
Zuhaili, Syaikh Wahbah, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al
Fikr)

24

Anda mungkin juga menyukai