Anda di halaman 1dari 17

FIQH IBADAH DAN MUAMALAH

HARTA DALAM ISLAM

Disusun oleh :
Annisa Dwi Mentari
Balqis Jihan
Fajar Imam
Rida Silviani
Sity Nur Kholisaturrizqy
Titin

Universitas Ibnu Khaldun


Jl. Baru, Kedung Badak, Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat 16162
BAB I
LATAR BELAKANG

A. PENDAHULUAN
Harta dalam bahasa Arab disebut al-amaal yang berasal dari kata  َ‫ َم ْيال‬- ‫ يَ ِم ْي ُل‬- ‫ َما َل‬ yang berarti
condong, cenderung, dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki,
dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).

Harta menurut ulama: sesuatu yang berwujud dan dapat dipegang dalam penggunaan dan
manfaat pada waktu yang diperlukan. Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86
kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian
khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak
dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.

Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta
sebagai sesuatu yang lazim, dan urgen. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk
memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai dengan
naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta.

Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada
Khaliq-Nya, bukan tujuan utama yang dicari dalam kehidupan. Dengan keberadaan harta, manusia
diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika sikap derma ini
berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Tuhan
maupun terhadap sesama manusia.

Oleh karena itu, harta dalam perspektif Al-Qur’an sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut
dalam makalah ini baik dalam hubungannya kepada sang Khaliq, maupun harta yang bersifat materi
maupun non materi.

Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur dlaruri yang tidak urg
ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya, baik yang
bersifat materi atau immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan
horizontal antarmanusia (mu’amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan dan terkait dengan manusia
lainnya.

Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai objek transaksi, harta urg dijadikan objek dalam
transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership (kontrak kerja sama), atau transaksi ekonomi lainnya.
Selain itu, dilihat dari karakteristik dasarnya (nature), harta juga urg dijadikan sebagai objek
kepemilikan, kecuali terdapat urge yang menghalanginya.

Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang harta, meliputi definisi, fungsi, kedudukan, dan harta
dalam perspektif Islam
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian harta
2. Kedudukan harta
3. Fungsi harta
4. Macam-macam harta
5. Harta dalam perspektif Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta

Harta dalam istilah arab disebut “al amaal” yang berasal dari kata َ‫ َم ْيال‬- ‫ َي ِم ْي ُل‬- ‫ َما َل‬yang berarti
condong, cenderung, dan miring. Menurut etimologi harta merupakan sesuatu yang di butuhkan dan
diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan
maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
Sesuatu yang tidak dikusai manusia tidak bisa di sebut atau di namakan harta menurut bahasa,
seperti burung di udara, ikan di laut, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.[1]
Menurut istilah fikih islam Harta mempunyai sinonim makna dengan Benda, yaitu segala
sesuatu yang mungkin di miliki seseorang dan dapat di ambil manfaatnya dengan jalan biasa.[2]
Sedangkan menurut istilah imam Hanafi, Harta (al-maal) ialah:
‫ما يميل إليه طبع اإلنسا ن و يمكن إدخاره إلى وقت الحاجة‬
“ Sesuatu yang di gandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk di simpan hingga di
butuhkan.”
Imam Hanafi membedakan antara harta dengan milik. Menurutnya, milik adalah sesuatu yang
dapat di gunakan secara khusus dan tidak di campuri penggunaanya oleh orang lain. Sedangkan harta
adalah segala sesuatu yang dapat di simpan untuk dapat di gunakan ketika di butuhkan. Dalam
penggunaanya harta bisa di campuri oleh orang lain. Jadi yang di maksud dengan harta menurut
Hanafiyah, hanyalah sesuatu yang berwujud.[3]

 Pengertian Harta Menurut Pendapat Para Ulama’

1. Menurut Ulama’ Hanafiyah


‫ عادة‬ ‫المال ك ّل ما يمكن حيا زته واخرازه وينتفع به‬
“ Harta adalah segala sesuatu yang dapat di ambil, di simpan, dan dapat dimanfaatkan.”
Menurut definisi ini Harta memiliki dua unsur:
a) Harta dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu yang tidak dapat di simpan atau di pelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan,
kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.
b) Dapat di manfaatkan menurut kebiasaan
Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak
dapat disebut harta atau bermanfaat tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan
manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam tanah, dan lain-lain.[4]
2. Menurut kalangan fuqoha Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah
‫مايميل إليه طبع ويجري فيه البذل والمنع‬
“ Sesuatu yang di cenderungi oleh manusia dan memungkinkan harta tersebut untuk diserah terimakan
atau di larang penggunaanya.”
Dari pengertian diatas terekandung maksud, bahwa yang di sebut harta tidak hanya terbatas pada
aspek materi saja tetapi juga mencakup aspek manfaat.
Harta dalam tinjauhan manfaat ini dapat di fahami bahwa apabila seseorang hanya mengambil
manfaat atau kegunaan dari suatu benda (ghasab), menurut jumhurul fuqoha’ pemilik benda tersebut
berhak menuntut ganti rugi.
Dengan alasan karna kegunaan benda tersebut juga termasuk unsur terpenting di dalamnya.[5]
Sedangkan menurut ulama’ Hanafi pemilik dari suatu benda( ghasab) tersebut tidak berhak untuk
menuntut ganti rugi, dan orang yang meng-ghasab tersebut tidak bertanggung jawab atas manfaat
yang diambilnya, kecuali kalau ghasab barang miliknya anak yatim, atau benda yang di pakai usaha,
sepereti meng-ghasab hotel dan yang lainya.
Hal demikian terjadi karna definisi yang di kemukakan oleh jumhurul ulama’ dengan ulama’
hanafi berbeda, dimana ulama’ selain hanafi memandang bahwa manfaat juga termasuk harta sebab
yang penting adalah manfaatnya bukan zatnya. Adapun ulama’ Hanafiyah memandang bahwa
manfaat termasuk sesuatau yang dapat di miliki, akan tetapi bukan harta.
3. Sebagian ulama’ mendefinikan Harta sebagai berikut:
‫ك ّل عين ذات قيمة مادية متداولة بين الناس‬
“ Setiap materi (‘ain) yang mempunyai nilai dan beredar di kalangan manusia.”
4. Menurut Muhammad Syalabi
‫ما يمكن حيازته واحرازه واإلنتفاع به انتفاعا معتادا‬
“ Sesuatu yang dapat di kuasai, dapat di simpan serta dapat di ambil manfaatnya menurut
kebiasaan.”[6]
5. Sementara menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieq, yang di maksud dengan harta ialah:
a) Nama selain manusia yang di ciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia,
dapat di pelihara pada suatu tempat, dan ditasharruf (kelola) dengan jalan ikhtiar,
b) Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun
sebagian manusia,
c) Sesuatu yang sah untuk di perjual belikan,
d) Sesuatu yang dapat dimiliki  dan mempunyai nilai seperti sebiji beras dapat dimiliki oleh
manusia, daapat diambil kegunaanya daan dapat di simpan, tetapi sebiji beras menurut
‘urf tidak bernilai, maka sebiji beraas tidaak termasuk harta,
e) Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meski dapat di ambil manfaatnya
tidak termasuk harta,
f) Sesuatu yang dapat di simpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil
manfaatnya ketika di tumbuhkan.[7]
         Jadi pendefinisian Harta yang telah di kemukakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieq lebih
cenderung kepada benda-benda yang dapat di perjual belikan, berharga, tidak najis, dapat dimiliki,
dapat di kelola ( selain manusi).
         Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa unsur yang terdapat pada harta itu
ada empat, yaitu:
1.      Bersifat materi atau mempunyai wujud yang nyata
2.      Dapat di simpan, dan dimiliki
3.      Dapat di manfaatkan
4.      Kebiasaan masyarakat memandangnya sebagai harta.
 Unsur-unsur Harta
         Menurut para fuqoha’ harta bersendi pada dua unsur, yaitu unsur‘ainiyah dan unsur ‘urf. Unsur
‘ainiyah ialah bahwa harta itu dalam kenyataan (‘ayan). Manfaat sebuah rumah yang di pelihara
manusia tidaak di sebut harta, tetapi termasuk milik atau hak.
         Unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang di pandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian
manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecualai menginnginkan manfaatnya, baik manfaat
madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.[8]

Dalam istilah ilmu fiqih, dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah bahwa harta itu adalah sesuatu
yang digandrungi oleh tabiat manusia dan mungkin disimpan untuk digunakan saat dibutuhkan.
Namun harta tersebut tidak akan bernilai kecuali bila dibolehkan menggunakannya secara syariat.
[1] Sedangkan Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara urgerc, al maal didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan urg dimiliki oleh manusia dengan
sebuah upaya (fi’il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; urger, kamera digital, hewan ternak,
tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pun tempat tinggal.[2]

Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min
kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut urge syara’ (urge Islam) seperti jual beli,
pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian (An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al
mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat.
Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari (duniawi)[3], seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan
rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al
amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar
anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.

B. Kedudukan Harta
Harta mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Harta (uang)
dan kekayaanlah yang dapat menunjang pada segala kegiatan manusia, termasuk untuk memenuhi
kebutuhan pokok manusia ( pangan, sandang, dan papan).

Pada hakikatnya, segala apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah swt. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 284 yang artinya” Apa-apa yang ada di langit dan di bumi
adalah milik Allah”. Dalam surat Al- Maidah ayat 18 Allah berfirman:
ْ ‫وهلل ملكالموات وا‬
‫الرض وما بينهما وإليه المصير‬

“ Dan kepunyaan Allahlah kerajaan di langit, di bumi, dan di antara  keduanya, dan kepada Allahlah
kembali segala sesuatu.”(Al-Maidah:18)[9]

A. Kedudukan harta dalam Al-Qur’an


1) Sebagai fitnah ( amanat), sebagaimana Allah menyatakan

‫إ ّنما أموالكم وأوالدكم فتنة وهللا عنده أجر عظيم‬

“ sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan, dan di sisi Allahlah


pahala yang besar.( At-Taghabun:15).

Karna harta sebagai titipan, manusia tidak memiliki harta secara mutlak, sehingga
dalam pandangan tentang harta, terdapat hak-hak orang lain, seperti zakat dan lain
sebagainya.[10]

2) Sebagai perhiasan hidup, firman Allah menyatakan

‫المال والبنون زينة الحيوة الدّنيا‬

“ harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”(Al-kahfi:46).

3) Harta untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kesenangan


ّ ‫شهوات من ال ّنساء والبنين والقناطير المقنطرت من‬
‫الذهب والفضّة والخيل المسوّ مة واألنعام‬ ّ ‫زيّن لل ّناس حبّ ال‬
‫والحرث ذلك متاع الحياة الدّنيا وهللا عنده حسن المأب‬

“ jadikan indah menurut pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang di


ingini, yaitu wanita-wanita anak-anak, harta yang banyak dari mas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di
dunia dan disis Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”( Ali Imran:4).[11]

Pada Al-quran surat Al-kahfi: 46 dan surat An-nisa’:14 di jelaskaan bahwa kebutuhan
manusia atau kesengan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia
terhadap anak atau keturunan. Jadi, kebutuhaan manusia terhadap merupakan
kebutuhan manusia yang paling mendasar. Dalam surat Al-Dhuha:8 Allah
menyatakan:

‫و و جدك عا ئال فأغنى‬

“ Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan
kecukupan.”(Al-Dhuha:8)[12]

4) Harta sebagai musuh

‫ياأيّها الذين أمنوا إنّ من أجواجكم و أوالدكم عدوّ لكم فاحذروهم‬

“ Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya di antar istri-istrimu dan anak-


anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka hati-hatilah kamu terhadap
mereka.” ( Al-Taghabun).

Pada ayat tersebut tidak di jelaskan bahwa harta berkedudukan sebagai musuh,
akan tetapi ayat ini menjelaskan bahwa di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh.[13]

B. kedudukan harta dalam As-sunnah


1) Kecelakaan bagi penghamba pada harta:

‫تعس عبد الدّينار وعبد ال ّد رهم وعبدالخصيمة إن أعطي رضي وإن لم يعطى سخط تعس و انتكس وإذا شيك‬
‫فالانقش‬

“ Celakalah orang yang menjadi hamba dinar (uang), orang yaang menjadi hamba
dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika di beri ia bangga, bila
tidak di beri ia marah, mudah-mudahan ia celaka dan merasa sakit, jika dia kena
suatu musibah dia tidak akan memperoleh jalan keluar.” (HR. Bukhori).

2) Penghambat harta adalah orang terkutuk:

‫لعن عبدالدّينار لعن عبدالدّرهم‬

“ Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuklah orang yang menjadi
hamba dirham.” (HR. Tirmidzi)[14]

Konsekuensi logis pada ayat-ayat Al-qur’an serta Hadis-hadis diatas adalah sebagai berikut:

1. Manusia bukan pemilik mutlak, tetapi di batasi oleh hak-hak Allah sehingga wajib
baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainya.
2. Cara-cara pengambilan manfaat harta mengarah kepada kemakmuran bersama,
pelaksanaanya dapat di atur oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya.
3. Harta perorangan boleh digunakan untuk umum, dengan syarat pemiliknya memperoleh
imbalan yang wajar.

Di samping di perhatikanya kepentingan umum, kepentingan pribadi juga di perhatikan, sehingga


berlakulah ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Masyarakat tidak boleh mengganggu dan melanggar kepentingan pribadi selama tidak
merugikan orang lain dan masyarakat.
2. Karena pemilikan manfaat berhubungan serta dengan hartanya, maka pemilik ( manfaat)
boleh memindahkan hak miliknya kepada orang lain, misalnya dengan cara menjualnya,
menghibahkanya, dan lain sebagainya.
3. Pada pokoknya pemilik manfaat itu kekal, tidak terikat oleh waktu.

Berkenaan dengan harta pula, dalam al-quran dijelaskan dengan larangan-larangan yang berkaitan
dengan aktifitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi, daan konsumsi harta, dalam
kaitan ini di jelaskan bentuk-bentuk lareangna tersebut sebagai berikut:

a. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlaq manusia, berupa:


1) Memakan harta sesama manusia dengna cara yang bathil, sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 188. Yang artinya:” Dan janganlah sebagiaan kamu
memakan sebagian yang lain di anatara kamu dengan jalan yang batil.”
2) Memakan harta dengan jalan penipuan, firman allah dalam surat Al-An’am ayat 125.
Yang artinya:” Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.”
3) Dengan jalan melanggar janji dan sumpah, firman Allah dalam surat Al-Nahl ayat 92.
Yang artinya:” kamu menjadikan sumpahmu ( janjimu) sebagai alat penipu diantara
kamu.”
4) Dengan jalan pencurian, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 88. Yang artinya:”
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangannya.”
b. Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau
keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga. Firman Allah dalam
surat Ali Imran ayat 130. Yang artinya sebagai berikut:” Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengna berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.”
c. Penimbunan harta dengan jalan kikir. Firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 34. Yang
artinya:” Dan orang- orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkanya pada
jalan Allah, maka berilah mereka kabar gembira dengan siksa yang pedih.”
d. Aktifitas yang merupakan pemborosan ( mubazir). Firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 26.
Yang artinya:” Dan berilah kerabat, orang-orang miskin, dan ibn sabil akan hak-haknya, dan
janganlah kamu menghambur- hamburkan hartamu secara boros.”
e. Memproduksi, memperdagangkan, dan mengkonsumsi barang- barang terlarang seperti
narkotika dan minuman keras, kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan.
[15]

Sikap Islam terhadap harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Sikap
Islam terhadap dunia adalah sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan
Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat
menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka disan kewajiban itu lebih dipentingkan dari pada materi.
Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir sebagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang
tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang
tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dhalim dan berlebihan.

Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya.
Harta menurut pandangan Islam adalah kebaikan bukan suatu keburukan. Oleh karena itu harta
tersebut tidaklah tercela menurut pandangan Islam dan Karena itu pula Allah rela memberikan harta
itu kepada hamba-Nya. Dan kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sehingga Allah SWT. Telah
memberikan pula beberapa kenikmatan kepada Rasul-Nya berupa kekayaan.

Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah
SWT. Menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang
dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah.

Adapun pemeliharaan manusia terhadap harta yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an
adalah sebagai pemeliharaan nisbi, yaitu hanya sebagai wakil dan pemegang saja, yang mana pada
dahirnya sebagai pemilik, tetapi pada hakikatnya adalah sebagai penerima yang bertanggung jawab
dalam perhitungnnya. Sedangkan sebagai pemilik yang hakiki adalah terbebas dari hitungan.

Pada al-Qur’an surat al-Kahfi: 46 dan an-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau
kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan
kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap harta adalah
kebutuhan yang mendasar.

Berkenaan dengan harta didalam al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan
dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta:

a. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia


b. Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau keseluruhan
masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
c. Penimbunan harta dengan jalan kikir
d. Aktivitas yang merupakan pemborosan
e. Memproduksi, memeperdagangkan, dan mengkonsumsi barang-barang terlarang seperti
narkotika dan minuman keras.

Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa “Asal atau pokok dalam masalah transaksi mu’amalah adalah
sah, sampai ada dalil yang membatalakan dan yang mengharamkannya”.

C. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik
dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk
memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan
urge urge, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.

Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang
memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangna semata, seperti
mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang
halal, biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan syara’, antara lain
untuk:

1. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai
kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
3. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-Nisaa’:9).
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:

َّ ِ‫َماَأ َك َل َأ َح ٌدطَ َعا ًماقَطٌّ َخ ْيرًا ِم ْن َأ ْن يَْأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه َواِ َّن نَب‬


                 ِ‫ي هللا‬

( ‫د َٗاو َد َكانَ يَْأ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه (رواه البخارى عن المقدام بن معد يكرب‬

Artinya:
“tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan
yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah
makan dari hasil keringatnya sendiri” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)

Dalam hadist lain dinyatakan:

                                        ُ‫اال ِخ َرتِ ِه َوالَ ٰا ِخ َرتَهُ لِ ُد ْنيَاه‬


ِٰ َ‫ْس بِ َخي ِْر ُك ْم َم ْن تَ َركَ ال ُد ْني‬
َ ‫لَي‬ 
              ( ‫غ ِإلَى ْا ٰال ِخ َر ِة ( رواه البخارى‬
ٌ َ‫ْب ِم ْنهُ َما َج ِم ْيعًافَا ِ َّن ال ُّد ْنيَابَال‬ ِ ُ‫َحتَّى ي‬
َ ‫صي‬

Artinya:
“bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk
masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan
seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat” (HR. Bukhari)
5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
6. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan
pekerjaan kepada orang miskin.
7. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
8. Untuk menumbuhkan silaturrahim.[4]

D. MACAM – MACAM HARTA


Menurut fuqoha, harta dapat di tinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-
tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:

1. Mal Mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim


a. Harta mutaqawwim ialah:

‫ما يباع اإلنتفاع به شرعا‬

“ Sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara.”

Harta yang termasuk mutaqawwim ini adalah semua harta yang baik jenisnya
maupun cara memperoleh daan penggunaanya. Misalnya, kerbau halal di makan
oleh umat islam, tetapi kalau kerbau tersebut di sembelih tidak sah menurut syara’
misalnya dipukul, maka daging kerbau tidak bisa di manfaatkan karna
penyembelihanya batal menurut syara’.

b. Harta ghoiru mutaqawwim ialah:

‫ماال يباح اإلنتفاع به شرعا‬

“ Sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara”.

Yakni merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yang tidak boleh diambil
manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaanya,
misalnya Babi. Kadang- kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimmah, yaitu
mempunyai nilai.

2. Mal Mitsli dan Mal Qimi


a. Harta Mitsli, ialah:
‫ما تما لت أحاده حيث يمكن أن يّقوم بعضها مقام بعض دون فرق يعتدّبه‬
“Benda- benda yang ada persamaan dalam kesatuan- kesatuanya, dalam arti dapat
berdiri sebagianya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu di nilai.”

b. Harta Qimi, ialah:


‫ما تفا وفتت أفراده فال يقوم بعضه مقام بعض بال فرق‬

“ Benda- benda yang kurang dalam kesatuan- kesatuanya, karena tidak dapat berdiri
sebagian di tempat sebagian lainya tanpa ada perbedaan.”

Dengan kata lain, harta mitsli adalah harta yang jenisnya di peroleh di pasar (secara
persis), dan qimi ialah harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasar, bisa di peroleh
tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.

3. Harta Istihlak dan harta Isti’mal


a. Harta Istihlak ialah:

‫ما يكون اإلنتفاع به بخصا ئصه بحسب المعتاد ال يتح ّقق إالّ بإستهالكه‬

“ Sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara biasa,
kecuali dengan menghabiskanya.”

Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu Istihlak haqiqi dan Istihlah huquqi. Harta
Istihlak haqiqi adalah suatu benda yang yang menjadi harta secara jelas (nyata)
zatnya habis sekali di gunakan. Misalnya korek api bila di bakar maka habislah harta
yang berupa kayu itu. Istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah
di gunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misalnya Uang.

b. Harta Isti’mal , ialah:

‫ما يتح ّقق اإلنتفاع به باستعما له مرارا مع بقاء عينه‬

“ Sesuatu yang dapat di gunakan berulang kali dengan materinya tetap terpelihara.”

Harta Isti’mal tidaklah habis sekali di gunakan, tatapi dapat di pergunakan lama
menurut apa adanya, seperti kebun, pakaian, dan lain sebagainnya.

4. Harat Manqul dan Harta Ghair Manqul


a. Harta Manqul ialah:
‫ك ّل ما يمكن نقله و تحويله من مكان إلى أخر‬

“ Segala harta yang dapat di pindahkan ( bergerak) dri satu tempat ke tempat yang
lain.”

b. Harta Ghair Manqul ialah:


‫ماال يمكن نقله و تحويله من مكان إلى أخر‬

“ Sesuatu yang tidak bisa di pindahkan dan di bawa dari suatu tempat ke tempat
yang lain.”

5. Harta ‘Ain dan harta Dayn


a. Harta ‘Ain adalah harta yang berntuk seperti benda seperti rumah, kendaraan,
pakaian, dan lain sebagaianya. Harta ini di bagi menjadi dua.
1) Harta ‘Ain dzati qimah, yaitu benda yang yang memiliki bentuk yang di pandang
sebagai harta karna memiliki nilai. Harta ini meliputi:

  Benda yang dianggap harta yang boleh di ambil manfaatnya.

  Benda yang dianggap harta yang tidakboleh di ambil manfaatnya.

  Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.

  Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit di cari seumpamanya.

  Benda yang dianggap harta yang berharga dan dapat di pindahkan.

  Benda yang dianggap harta yang berharga dan tidak dapat di pindahkan.

2) Harta ‘Ain ghayar dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat di pandang sebagai
harta karna tidak memiliki harga, misal sebiji beras.
b. Harta dayn ialah:

“ Sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.”

Seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang.

6. Mal al-‘ain dan Mal al-naf’i ( manfaat)


a. Harta ‘ain ialah benda yang memiliki nilai dan bentuk, misalnya rumah, ternak,
dan lainya.
b. Harta nafi’ ialah yang berangsur- angsur tumbuh menurut perkembangan masa,
oleh karna itu mal al-nafi tidak berwujud dan tidak mungkin di simpan.
7. Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a. Harta mamluk ialah:

“ Sesuatu yang masuk kebawah milik, milik perorangan maupun milik badan
hukum seperti pemerintah dan yayasan.”

Harta mamluk ( yang dimiliki) terbagi menjadi dua macam:

  Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik , misal
rumah yang di kontrak. Dan harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak
bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang sepatu yang dapat
di gunakan kapan saja.

  Harta perkongsian ( masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengna


hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik
dan lima buah mobil salah satu mobilnya di sewakan selama satu bulan kepada
orang lain. Dan harta yang dimiliki dua orang yang tidsk berkaitan dengn hak
bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik,
pabrik tersebut di urus bersama.

b. Harta mubah ialah:

“ Sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada air mata,
binatang buruan darat, laut, pohon- pohon di hutan dan buah- buahan.”

c. Harta Majrur ialah:


“ sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang laain
menurut syariat, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang di
khususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-
kuburan, daan yang lainya.”

8. Harta yang dapat di bagi dan tidak dapat di bagi:


a. Harta yang dapat di bagi ( mal qabil li al-qismah) ialah harata yang tidak
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu di bagi- bagi,
misalnya beras tepung dan lainya.
b. Harta yang tidak dapat di bagi ( mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut di bagi-
bagi, misalnya gelas, mesin, dan yang lainya.
9. Harta pokok dan harta hasil ( buah)
a. Harta pokok ialah:

“ Harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain.”

b. Harta hasil ( buah) ialah:


“ Harta yang terjadi dari harta yang lain.”
Harta pokok bisa di sebut juga modal misalnya uang, emas, dan lainya, contoh
harta pokok dan harta hasil ( buah). Kerbau yang beranak anaknya di sebut harta
hasil, sedangkan kerbaunya di sebut harta pokok.
10. Harta khas dan harta ‘am
a. Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh
diambil manfaatnya tanpa di setujui pemiliknya.
b. Harta ‘am ialah harta milik umum ( bersama) yang boleh diambil manfaatnya.

Harta yang dapat dikuasai ( ikhraj) terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1) Harta yang termasuk milik perseorangan.


2) Harta- harta yang tidak dapat termasuk milik perseorangan.

Harta yang dapat masuk menjadi milik perseorangan, ada dua macam yaitu:

1) Harta yang bisa menjadi milik perseorangan tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya
binatang buruan di hutan.
2) Harta yang bisa menjadi milik perseorangan daan sudah ada sebab pemilikan, misalnya ikan
di sungai di peroleh seseorang dengna cara mengail.

Harta yang tidak termasuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara’ tidak boleh di miliki
sendiri, misalnya sungai, jalan raya, dan lain sebagainya. 1[17]

Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:


1) Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT.
Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola
dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya

Allah SWT berfirman

1
‫ٰا ِمنُوْ ا بِاهّٰلل ِ َو َرسُوْ لِ ٖه َواَ ْنفِقُوْ ا ِم َّما َج َعلَـ ُك ْم ُّم ْست َْخلَفِ ْينَ فِ ْي ِه ۗ فَالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ِم ْن ُك ْم َواَ ْنفَقُوْ ا لَهُ ْم اَجْ ٌر َكبِيْر‬

Artinya :

“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah Telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar”. (QS Al_Hadiid: 7).[5]

[1456]  yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak.
Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah
menurut urge-hukum yang Telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan
boros.

Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Seseorang pada Hari Akhir
nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk
apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta
ilmunya untuk apa dipergunakan”.

2) Status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut:[6]


a. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah
karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
b. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya
dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup
harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-
Alaq: 6-7).
c. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28).
d. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan
muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-
Taubah :41,60;

:Allah SWT berfirman

َ‫ت لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬


ْ ‫ت َوااْل َرْ ضُ ۙ اُ ِع َّد‬ ُ ْ‫ار ُع ۤوْ ا اِ ٰلى َم ْغفِ َر ٍة ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو َجنَّ ٍة َعر‬
ُ ‫ضهَا السَّمٰ ٰو‬ ِ ‫َو َس‬

َ‫اس ۗ َوهّٰللا ُ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬


ِ َّ‫ضرَّٓا ِء َو ْال ٰك ِظ ِم ْينَ ْال َغ ْيظَ َو ْال َعافِ ْينَ َع ِن الن‬
َّ ‫الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ فِى ال َّسرَّٓا ِء َوال‬

Artinya :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada urge yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-
orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan”. (Q.s Ali Imran: 133-134).[7]
3) Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) ataua mata pencaharian (Ma’isyah)
yang halal dan sesuai dengan aturanNya.

:Allah SWT berfirman

ۤ ۤ
َ ‫ض ۗ َواَل تَيَ َّم ُمـوا ْال َخبِي‬
‫ْث‬ ِ ‫ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ۤوْ ا اَ ْنفِقُوْ ا ِم ْن طَيِّ ٰب‬
ِ ْ‫ت َما َك َسـ ْبتُ ْم َو ِم َّما اَ ْخ َرجْ نَـاـ لَهّٰللاــ ُك ْم ِّمنَ ااْل َر‬
‫ِم ْنهُ تُ ْنفِقُوْ نَ َولَ ْستُ ْم بِ ٰا ِخ ِذ ْي ِه اِاَّل ۤ اَ ْن تُ ْغ ِمضُوْ اـ فِ ْي ِه ۗ َوا ْعلَ ُم ۤوْ ا اَ َّن َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
Dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.s. Al-Baqarah:267).[8]

Dalam sebuah Hadits di katakana :

“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras
mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah”.
(HR Ahmad).

4) Dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2),
melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-
Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).

:Allah SWT berfirman

ٰ ‫هّٰللا‬
ْ ‫َم ۤا اَفَٓا َء ُ ع َٰلى َرسُوْ لِ ٖه ِم ْن اَ ْه ِل ْالقُ ٰرى فَلِلّ ِه َولِل َّرسُوْ ِل َولِ ِذى ْالقُرْ ٰبى َو ْاليَ ٰتمٰ ى َو ْال َم ٰس ِك ْي ِن َوا ْب ِن ال َّسبِ ْي ِل ۙ ك‬
َ‫َي اَل يَ ُكــوْ نَ ُدوْ لَـةً بَۢ ْين‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫ااْل َ ْغنِيَٓا ِء ِم ْن ُك ْم ۗ َو َم ۤا ٰا ٰتٮ ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َما نَ ٰهٮ ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوْ ا ۚ َواتَّقُوا َ ۗ اِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬
‫ب‬

Artinya :

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.s. Al-Hasyr: 7).
[9]

5) Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281),
perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-
Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara
yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
:Allah SWT berfirman

‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ۤ
ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ ا اَ ْي ِديَهُ َما َجزَٓا ۢ ًء ِب َما َك َسبَا نَـ َكااًل ِّمنَ ِ ۗ َو ُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

Artinya :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Maidah :38)[10]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa harta meliputi segala
sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi) seperti uang, tanah,
kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan
pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna
memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia. Oleh
karena itu, di dalam Islam terdapat etika di dalam memperoleh harta dengan bekerja. Dalam artian,
terdapat keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang
dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan,.

Harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik berupa benda yang tampak
seperti mas perak maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti pakaian,tempat tinggal. Sehingga
persoalan harta dimasukkan kedalam salah satu lima keperluan pokok yang diatur oleh Al-Qur’an dan
as-sunah. Adapun fungsi harta diantaranya kesempurnaan ibadah mahdzah,memelihara dan
meningkatkan keimanan dan serta menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan
pembagian harta di bagi menjadi delapan bagian.
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendri, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)

http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-harta.html

Q.s Ali Imran: 133-134

Q.s. Al-Baqarah:267

QS Al_Hadiid: 7

http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/kedudukan-harta-dalam-islam/

Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih, Prof. Dr. Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi keuangan Islam, Darul
Haq, (Jakarta:2004)

Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van Hoeve,tt)

[1] Abdullah al-Mushlih, Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi keuangan Islam, Darul


Haq, (Jakarta:2004), hlm 73

[2] http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-harta.html

[3] Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van Hoeve,tt)

[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 29

[5] QS Al_Hadiid: 7

[6] http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/kedudukan-harta-dalam-islam/

[7] Q.s Ali Imran: 133-134

[8] Q.s. Al-Baqarah:267

[9] Q.s. Al-Hasyr: 7

[10] Al-Maidah :38

Anda mungkin juga menyukai