Disusun oleh :
Annisa Dwi Mentari
Balqis Jihan
Fajar Imam
Rida Silviani
Sity Nur Kholisaturrizqy
Titin
A. PENDAHULUAN
Harta dalam bahasa Arab disebut al-amaal yang berasal dari kata َ َم ْيال- يَ ِم ْي ُل- َما َل yang berarti
condong, cenderung, dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki,
dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).
Harta menurut ulama: sesuatu yang berwujud dan dapat dipegang dalam penggunaan dan
manfaat pada waktu yang diperlukan. Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86
kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian
khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak
dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.
Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta
sebagai sesuatu yang lazim, dan urgen. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk
memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai dengan
naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta.
Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada
Khaliq-Nya, bukan tujuan utama yang dicari dalam kehidupan. Dengan keberadaan harta, manusia
diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika sikap derma ini
berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Tuhan
maupun terhadap sesama manusia.
Oleh karena itu, harta dalam perspektif Al-Qur’an sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut
dalam makalah ini baik dalam hubungannya kepada sang Khaliq, maupun harta yang bersifat materi
maupun non materi.
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur dlaruri yang tidak urg
ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya, baik yang
bersifat materi atau immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan
horizontal antarmanusia (mu’amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan dan terkait dengan manusia
lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai objek transaksi, harta urg dijadikan objek dalam
transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership (kontrak kerja sama), atau transaksi ekonomi lainnya.
Selain itu, dilihat dari karakteristik dasarnya (nature), harta juga urg dijadikan sebagai objek
kepemilikan, kecuali terdapat urge yang menghalanginya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang harta, meliputi definisi, fungsi, kedudukan, dan harta
dalam perspektif Islam
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian harta
2. Kedudukan harta
3. Fungsi harta
4. Macam-macam harta
5. Harta dalam perspektif Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta
Harta dalam istilah arab disebut “al amaal” yang berasal dari kata َ َم ْيال- َي ِم ْي ُل- َما َلyang berarti
condong, cenderung, dan miring. Menurut etimologi harta merupakan sesuatu yang di butuhkan dan
diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan
maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
Sesuatu yang tidak dikusai manusia tidak bisa di sebut atau di namakan harta menurut bahasa,
seperti burung di udara, ikan di laut, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.[1]
Menurut istilah fikih islam Harta mempunyai sinonim makna dengan Benda, yaitu segala
sesuatu yang mungkin di miliki seseorang dan dapat di ambil manfaatnya dengan jalan biasa.[2]
Sedangkan menurut istilah imam Hanafi, Harta (al-maal) ialah:
ما يميل إليه طبع اإلنسا ن و يمكن إدخاره إلى وقت الحاجة
“ Sesuatu yang di gandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk di simpan hingga di
butuhkan.”
Imam Hanafi membedakan antara harta dengan milik. Menurutnya, milik adalah sesuatu yang
dapat di gunakan secara khusus dan tidak di campuri penggunaanya oleh orang lain. Sedangkan harta
adalah segala sesuatu yang dapat di simpan untuk dapat di gunakan ketika di butuhkan. Dalam
penggunaanya harta bisa di campuri oleh orang lain. Jadi yang di maksud dengan harta menurut
Hanafiyah, hanyalah sesuatu yang berwujud.[3]
Dalam istilah ilmu fiqih, dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah bahwa harta itu adalah sesuatu
yang digandrungi oleh tabiat manusia dan mungkin disimpan untuk digunakan saat dibutuhkan.
Namun harta tersebut tidak akan bernilai kecuali bila dibolehkan menggunakannya secara syariat.
[1] Sedangkan Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara urgerc, al maal didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan urg dimiliki oleh manusia dengan
sebuah upaya (fi’il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; urger, kamera digital, hewan ternak,
tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pun tempat tinggal.[2]
Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min
kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut urge syara’ (urge Islam) seperti jual beli,
pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian (An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al
mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat.
Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari (duniawi)[3], seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan
rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al
amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar
anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
B. Kedudukan Harta
Harta mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Harta (uang)
dan kekayaanlah yang dapat menunjang pada segala kegiatan manusia, termasuk untuk memenuhi
kebutuhan pokok manusia ( pangan, sandang, dan papan).
Pada hakikatnya, segala apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah swt. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 284 yang artinya” Apa-apa yang ada di langit dan di bumi
adalah milik Allah”. Dalam surat Al- Maidah ayat 18 Allah berfirman:
ْ وهلل ملكالموات وا
الرض وما بينهما وإليه المصير
“ Dan kepunyaan Allahlah kerajaan di langit, di bumi, dan di antara keduanya, dan kepada Allahlah
kembali segala sesuatu.”(Al-Maidah:18)[9]
Karna harta sebagai titipan, manusia tidak memiliki harta secara mutlak, sehingga
dalam pandangan tentang harta, terdapat hak-hak orang lain, seperti zakat dan lain
sebagainya.[10]
Pada Al-quran surat Al-kahfi: 46 dan surat An-nisa’:14 di jelaskaan bahwa kebutuhan
manusia atau kesengan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia
terhadap anak atau keturunan. Jadi, kebutuhaan manusia terhadap merupakan
kebutuhan manusia yang paling mendasar. Dalam surat Al-Dhuha:8 Allah
menyatakan:
“ Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan
kecukupan.”(Al-Dhuha:8)[12]
Pada ayat tersebut tidak di jelaskan bahwa harta berkedudukan sebagai musuh,
akan tetapi ayat ini menjelaskan bahwa di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh.[13]
تعس عبد الدّينار وعبد ال ّد رهم وعبدالخصيمة إن أعطي رضي وإن لم يعطى سخط تعس و انتكس وإذا شيك
فالانقش
“ Celakalah orang yang menjadi hamba dinar (uang), orang yaang menjadi hamba
dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika di beri ia bangga, bila
tidak di beri ia marah, mudah-mudahan ia celaka dan merasa sakit, jika dia kena
suatu musibah dia tidak akan memperoleh jalan keluar.” (HR. Bukhori).
“ Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuklah orang yang menjadi
hamba dirham.” (HR. Tirmidzi)[14]
Konsekuensi logis pada ayat-ayat Al-qur’an serta Hadis-hadis diatas adalah sebagai berikut:
1. Manusia bukan pemilik mutlak, tetapi di batasi oleh hak-hak Allah sehingga wajib
baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainya.
2. Cara-cara pengambilan manfaat harta mengarah kepada kemakmuran bersama,
pelaksanaanya dapat di atur oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya.
3. Harta perorangan boleh digunakan untuk umum, dengan syarat pemiliknya memperoleh
imbalan yang wajar.
1. Masyarakat tidak boleh mengganggu dan melanggar kepentingan pribadi selama tidak
merugikan orang lain dan masyarakat.
2. Karena pemilikan manfaat berhubungan serta dengan hartanya, maka pemilik ( manfaat)
boleh memindahkan hak miliknya kepada orang lain, misalnya dengan cara menjualnya,
menghibahkanya, dan lain sebagainya.
3. Pada pokoknya pemilik manfaat itu kekal, tidak terikat oleh waktu.
Berkenaan dengan harta pula, dalam al-quran dijelaskan dengan larangan-larangan yang berkaitan
dengan aktifitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi, daan konsumsi harta, dalam
kaitan ini di jelaskan bentuk-bentuk lareangna tersebut sebagai berikut:
Sikap Islam terhadap harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Sikap
Islam terhadap dunia adalah sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan
Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat
menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka disan kewajiban itu lebih dipentingkan dari pada materi.
Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir sebagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang
tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang
tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dhalim dan berlebihan.
Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya.
Harta menurut pandangan Islam adalah kebaikan bukan suatu keburukan. Oleh karena itu harta
tersebut tidaklah tercela menurut pandangan Islam dan Karena itu pula Allah rela memberikan harta
itu kepada hamba-Nya. Dan kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sehingga Allah SWT. Telah
memberikan pula beberapa kenikmatan kepada Rasul-Nya berupa kekayaan.
Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah
SWT. Menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang
dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah.
Adapun pemeliharaan manusia terhadap harta yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an
adalah sebagai pemeliharaan nisbi, yaitu hanya sebagai wakil dan pemegang saja, yang mana pada
dahirnya sebagai pemilik, tetapi pada hakikatnya adalah sebagai penerima yang bertanggung jawab
dalam perhitungnnya. Sedangkan sebagai pemilik yang hakiki adalah terbebas dari hitungan.
Pada al-Qur’an surat al-Kahfi: 46 dan an-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau
kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan
kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap harta adalah
kebutuhan yang mendasar.
Berkenaan dengan harta didalam al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan
dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta:
Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa “Asal atau pokok dalam masalah transaksi mu’amalah adalah
sah, sampai ada dalil yang membatalakan dan yang mengharamkannya”.
C. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik
dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk
memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan
urge urge, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang
memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangna semata, seperti
mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang
halal, biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan syara’, antara lain
untuk:
1. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai
kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
3. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-Nisaa’:9).
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya:
“tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan
yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah
makan dari hasil keringatnya sendiri” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)
Artinya:
“bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk
masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan
seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat” (HR. Bukhari)
5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
6. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan
pekerjaan kepada orang miskin.
7. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
8. Untuk menumbuhkan silaturrahim.[4]
Harta yang termasuk mutaqawwim ini adalah semua harta yang baik jenisnya
maupun cara memperoleh daan penggunaanya. Misalnya, kerbau halal di makan
oleh umat islam, tetapi kalau kerbau tersebut di sembelih tidak sah menurut syara’
misalnya dipukul, maka daging kerbau tidak bisa di manfaatkan karna
penyembelihanya batal menurut syara’.
Yakni merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yang tidak boleh diambil
manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaanya,
misalnya Babi. Kadang- kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimmah, yaitu
mempunyai nilai.
“ Benda- benda yang kurang dalam kesatuan- kesatuanya, karena tidak dapat berdiri
sebagian di tempat sebagian lainya tanpa ada perbedaan.”
Dengan kata lain, harta mitsli adalah harta yang jenisnya di peroleh di pasar (secara
persis), dan qimi ialah harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasar, bisa di peroleh
tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
ما يكون اإلنتفاع به بخصا ئصه بحسب المعتاد ال يتح ّقق إالّ بإستهالكه
“ Sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara biasa,
kecuali dengan menghabiskanya.”
Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu Istihlak haqiqi dan Istihlah huquqi. Harta
Istihlak haqiqi adalah suatu benda yang yang menjadi harta secara jelas (nyata)
zatnya habis sekali di gunakan. Misalnya korek api bila di bakar maka habislah harta
yang berupa kayu itu. Istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah
di gunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misalnya Uang.
“ Sesuatu yang dapat di gunakan berulang kali dengan materinya tetap terpelihara.”
Harta Isti’mal tidaklah habis sekali di gunakan, tatapi dapat di pergunakan lama
menurut apa adanya, seperti kebun, pakaian, dan lain sebagainnya.
“ Segala harta yang dapat di pindahkan ( bergerak) dri satu tempat ke tempat yang
lain.”
“ Sesuatu yang tidak bisa di pindahkan dan di bawa dari suatu tempat ke tempat
yang lain.”
Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit di cari seumpamanya.
Benda yang dianggap harta yang berharga dan tidak dapat di pindahkan.
2) Harta ‘Ain ghayar dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat di pandang sebagai
harta karna tidak memiliki harga, misal sebiji beras.
b. Harta dayn ialah:
“ Sesuatu yang masuk kebawah milik, milik perorangan maupun milik badan
hukum seperti pemerintah dan yayasan.”
Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik , misal
rumah yang di kontrak. Dan harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak
bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang sepatu yang dapat
di gunakan kapan saja.
“ Sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada air mata,
binatang buruan darat, laut, pohon- pohon di hutan dan buah- buahan.”
Harta yang dapat dikuasai ( ikhraj) terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Harta yang dapat masuk menjadi milik perseorangan, ada dua macam yaitu:
1) Harta yang bisa menjadi milik perseorangan tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya
binatang buruan di hutan.
2) Harta yang bisa menjadi milik perseorangan daan sudah ada sebab pemilikan, misalnya ikan
di sungai di peroleh seseorang dengna cara mengail.
Harta yang tidak termasuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara’ tidak boleh di miliki
sendiri, misalnya sungai, jalan raya, dan lain sebagainya. 1[17]
1
ٰا ِمنُوْ ا بِاهّٰلل ِ َو َرسُوْ لِ ٖه َواَ ْنفِقُوْ ا ِم َّما َج َعلَـ ُك ْم ُّم ْست َْخلَفِ ْينَ فِ ْي ِه ۗ فَالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ِم ْن ُك ْم َواَ ْنفَقُوْ ا لَهُ ْم اَجْ ٌر َكبِيْر
Artinya :
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah Telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar”. (QS Al_Hadiid: 7).[5]
[1456] yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak.
Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah
menurut urge-hukum yang Telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan
boros.
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Seseorang pada Hari Akhir
nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk
apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta
ilmunya untuk apa dipergunakan”.
Artinya :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada urge yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-
orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan”. (Q.s Ali Imran: 133-134).[7]
3) Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) ataua mata pencaharian (Ma’isyah)
yang halal dan sesuai dengan aturanNya.
ۤ ۤ
َ ض ۗ َواَل تَيَ َّم ُمـوا ْال َخبِي
ْث ِ ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ۤوْ ا اَ ْنفِقُوْ ا ِم ْن طَيِّ ٰب
ِ ْت َما َك َسـ ْبتُ ْم َو ِم َّما اَ ْخ َرجْ نَـاـ لَهّٰللاــ ُك ْم ِّمنَ ااْل َر
ِم ْنهُ تُ ْنفِقُوْ نَ َولَ ْستُ ْم بِ ٰا ِخ ِذ ْي ِه اِاَّل ۤ اَ ْن تُ ْغ ِمضُوْ اـ فِ ْي ِه ۗ َوا ْعلَ ُم ۤوْ ا اَ َّن َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
Dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.s. Al-Baqarah:267).[8]
“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras
mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah”.
(HR Ahmad).
4) Dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2),
melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-
Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).
ٰ هّٰللا
ْ َم ۤا اَفَٓا َء ُ ع َٰلى َرسُوْ لِ ٖه ِم ْن اَ ْه ِل ْالقُ ٰرى فَلِلّ ِه َولِل َّرسُوْ ِل َولِ ِذى ْالقُرْ ٰبى َو ْاليَ ٰتمٰ ى َو ْال َم ٰس ِك ْي ِن َوا ْب ِن ال َّسبِ ْي ِل ۙ ك
ََي اَل يَ ُكــوْ نَ ُدوْ لَـةً بَۢ ْين
هّٰللا هّٰللا
ِ ااْل َ ْغنِيَٓا ِء ِم ْن ُك ْم ۗ َو َم ۤا ٰا ٰتٮ ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َما نَ ٰهٮ ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوْ ا ۚ َواتَّقُوا َ ۗ اِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا
ب
Artinya :
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.s. Al-Hasyr: 7).
[9]
5) Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281),
perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-
Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara
yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
:Allah SWT berfirman
هّٰللا هّٰللا ۤ
ِ َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ ا اَ ْي ِديَهُ َما َجزَٓا ۢ ًء ِب َما َك َسبَا نَـ َكااًل ِّمنَ ِ ۗ َو ُ ع
َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم ُ َّار
ِ ق َوالس ِ َوالس
Artinya :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Maidah :38)[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa harta meliputi segala
sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi) seperti uang, tanah,
kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan
pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna
memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia. Oleh
karena itu, di dalam Islam terdapat etika di dalam memperoleh harta dengan bekerja. Dalam artian,
terdapat keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang
dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan,.
Harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik berupa benda yang tampak
seperti mas perak maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti pakaian,tempat tinggal. Sehingga
persoalan harta dimasukkan kedalam salah satu lima keperluan pokok yang diatur oleh Al-Qur’an dan
as-sunah. Adapun fungsi harta diantaranya kesempurnaan ibadah mahdzah,memelihara dan
meningkatkan keimanan dan serta menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan
pembagian harta di bagi menjadi delapan bagian.
DAFTAR PUSTAKA
http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-harta.html
Q.s. Al-Baqarah:267
QS Al_Hadiid: 7
http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/kedudukan-harta-dalam-islam/
Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih, Prof. Dr. Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi keuangan Islam, Darul
Haq, (Jakarta:2004)
[2] http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-harta.html
[5] QS Al_Hadiid: 7
[6] http://nabela.blogdetik.com/islamic-economic/kedudukan-harta-dalam-islam/
[8] Q.s. Al-Baqarah:267
[9] Q.s. Al-Hasyr: 7
[10] Al-Maidah :38