Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KONSEP HARTA DAN HAK MILIK DALAM ISLAM

Dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:


Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu:
Muh. Dzulfikar Izzaturrahman, S.E.Sy., M.E.K.

Disusun Oleh:
1. Ainurin Mutia Risma (402210010)
2. Arif Yulianto (402210028)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam memandang harta pada hakikatnya adalah hak milik Allah. Akan
tetapi Allah telah menyerahkan pengelolaan atas harta tersebut kepada manusia
sebagai khalifah di muka bumi, maka perolehan seseorang terhadap harta itu sama
dengan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memanfaatkan serta
mengembangkan harta. Sebab, ketika seseorang memiliki harta, maka esensinya
dia memiliki harta tersebut hanya untuk dimanfaatkan dan terikat dengan hukum-
hukum syara’, bukan bebas mengelola secara mutlak. Oleh sebab itu perlu adanya
aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar tidak melanggar dan
menguasai hak orang lain, khususnya terkait dengan harta dan hak milik dalam
Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsep harta?
2. Apa saja fungsi dan unsur-unsur harta?
3. Bagaimana pembagian harta dalam Islam?
4. Apa yang dimaksud dengan hak milik?
5. Bagaimana pembagian hak milik dalam Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian konsep harta.
2. Untuk mengetahui fungsi dan unsur-unsur harta.
3. Untuk mengetahui pembagian harta dalam Islam
4. Untuk mengetahui pengertian hak milik.
5. Untuk mengetahui pembagian hak milik dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsep Harta


Harta dalam bahasa Arab disebut al-Mal (‫)الم ال‬, berasal dari kata “mala”
yang secara etimologi berarti condong, cenderung, miring atau berpaling dari
tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu yang
menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun
dalam bentuk manfaat.
Harta merupakan suatu kebutuhan dan beredar dalam kehidupan yang juga
sebagai media untuk kehidupan di akhirat. Di antara ayat Alqur’anyang
menyatakan bahwa harta merupakan salah satu perhiasan dunia dapat kita
pahami dalam surat al-Kahfi (QS.18:46) yang berbunyi sebagai berikut:

‫ت خَ ْي ٌر ِعن َْد َربِّكَ ث َوابا ً و َخ ْي ٌر أ َمل‬


ُ َ ‫صااِل‬ ُ َ ‫ال َمْا ُل َوا ْلَنوُنَ ِزينَةُ ْاليَا َ ِة ال ُّد ْنيَا ۖ َوااَْل قِيا‬
َّ ‫ت ال‬
Artinya: “Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. 1

Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, aspek


dlaruriyat yang tidak dapat ditinggalakan dan dikesampingkan. Dengan harta
tersebut manusia dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya, baik yang
bersifat materi maupun immaterial. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut
terjadilah kemudian proses hubungan kepentingan dan kebutuhan  antar sesama
manusia yang secara fithrah manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan saling
membutuhkan satu sama lainnya. Dalam konteks inilah, harta sebagai objek dalam
berbagai transaksi, seperti jual beli, ijarah, rahn, musyarakah, dan akad-akad
muamalah lainnya, sampai status harta menjadi milik seseorang.
Wahbah Zuhaily mengatakan bahwa secara etimologis al-maal diartikan
sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, kenyamanan dalam
bentuk materi/fisik maupun dalam bentuk manfaat, serta dapat dimiliki oleh
manusia secara penuh dengan cara kasab.2
1
Dr. Sri Sudiarti, M.A, Fiqh Muamalah Kontemporer, hlm. 39-40
2
Mugni Muhit, https://www.iaei-pusat.org/memberpost/ekonomi-syariah/konsep-harta-dalam-
perspektif-hukum-islam-1?language=en#_ftn2
Ulama Hanafiyah mutaakhkhirin (generasi berikutnya/belakangan)
berpendapat bahwa definisi al-mal yang dikemukakan oleh para pendahulunya
dianggap tidak komprehensif dan kurang akomodatif, hal ini dapat dipahami
sebagaimana dalam surah alBaqarah (QS. 2:29) Allah menjelaskan bahwa segala
sesuatu yang diciptakanNya di atas bumi ini adalah untuk dimanfaatkan oleh umat
manusia. Di antara ulama Hanafiyah mutaakhkhirin itu adalah Mustafa Ahmad az-
Zarqa’, seorang pakar fiqh yang berasal dari Syria dan bermukim di ‘Amman,
Yordania, selain dia ada seorang guru besar fiqh Islam di Fakultas Syari’ah
Universitas. Mustafa Ahmad azZarqa’memberikan definisi al-maal sebagai berikut:

‫المال هو ك عين ذات قيمة مادية بين الناس‬


Artinya: “Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai materi di
kalangan masyarakat“.

Begitu juga mereka para ulama, mereka lebih cenderung menggunakan


definisi al-maal sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama seperti, Ibnu
Abidin, Ibnu Nujaim al-Hanafi, Imam Syafi-I dan Ulama Hanafiyah, karena
permasalahan al-maal terkait dengan persoalan kebiasaan, adat istiadat, situasi
dan kondisi suatu masyarakat. Menurut mereka, sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan zaman, terkadang manfaat suatu harta lebih banyak menghasilkan
penambahan harta dibanding wujud harta itu sendiri, seperti perbandingan haga
antara menyewakan rumah selama beberapa tahun dengan menjualnya secara
tunai.3
Dengan demikian al-maal adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan
manusia  dan berada dalam genggaman kepemilikian manusia itu sendiri.
Konsekuensi logis dari definisi tersebut adalah bahwa benda atau barang yang
balum dalam kekuasaan, kepemilikan, dan berada dala genggaman tangan, tidak
dapat dikatakan sebagai harta (al-maal).

B. Fungsi dan Unsur-Unsur Harta

3
Dr. Sri Sudiarti, M.A Fiqh Muamalah Kontemporer, hlm,40-43
Harta mempunyai status yang sangat Urgen dalam kehidupan insan.
Hartalah yang bisa menunjang segala kegiatan insan, termasuk untuk memenuhi
kebutuhan pokok insan (papan, sandang dan pangan).
Dalam ulasan ini, akan dikemukakan fungsi harta, antara lain:
a. Berfungsi untuk menyempurnakan pengamalan ibadah mahdhah, sebab untuk
ibadah membutuhkan finansial, seperti naik haji.
b. Untuk menambahkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah, sebab kemiskinan
cenderung mendekatkan diri kepada kemusyrikan, maka yang mempunyai
harta untuk meningkatkan ketaqwaan dan keimannan kita.
c. Untuk melanjutkan dan memperbaiki kehidupan dari satu periode keperiode
berikutnya (regenerasi). Memperbaiki generasi yang berkualitas dan bernilai.
d. Untuk mengintegrasikan kehidupan duniawi dan Ukhrawi.
e. Untuk mengembangkan ilmu, sebab menuntut ilmu tanpa modal akan sulit dan
kesusahan
f. Harta ialah sarana mobilitas roda kehidupan.
g. Untuk menumbuhkan interaksi antara pribadi sebab adanya perbedaan dalam
kebutuhan bersosial dan bermasyarakat amupun yang lainnya”.4
Manusia sebagai makhluk sosial sangat memerlukan harta dalam menjalani
hidup dan kehidupan di dunia, sehingga persoalan harta termasuk ke dalam salah
satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima kebutuhan pokok) yang terdiri dari agama,
jiwa, keturunan dan harta. Berdasarkan ini, tentunya mempertahankan harta dari
segala usaha yang dilakukan orang lain dengan cara yang tidak sah, merupakan
suatu hal yang sangat mendasar dalam Islam. Sekalipun demikian seseorang tidak
boleh berlaku sewenangwenang dalam menggunakan hartanya. Kebebasan
seseorang untuk memiliki dan memanfaatkan hartanya sesuai dengan apa yang
dibolehkan syara’. Oleh sebab itu, terhadap kepemilikan dan penggunaan harta,
selain untuk kemaslahatan pribadi pemilik harta, juga harus dapat memberikan
manfaat dan kemaslahatan untuk orang lain.
Di samping itu, penggunaan harta dalam ajaran Islam haruslah senantiasa
dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi
4
Akhmad Farroh Hassan, M.Si., Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer, hlm 3
pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka
membantu sesama manusia. Dalam hal ini bisa kita pahami dari sabda Rasulullah
SAW (Ibn Majah, 2005: 2681) sebagai berikut:

‫ْال َحقّ ٌي ِس َوى‬ َْ َ‫ يَقُوْ ُل ) لي‬- : ‫صلّ َي ال ُل عَليَ ِْه َو َسل َّم َي‬
ِْ ‫س‬
ِ ‫ف ال َم‬ ِ ْ ‫س َأنّيَهَا َس ِم َعت ْهُ تَع‬
َ ‫ْن النّيَبِي ِّي‬ ِ ْ ِ‫ع َْن فَا ِط َمةَ بن‬
ٍ ْ ‫ت قَي‬
‫( ال ّزيَ َك ِة‬
Artinya: “Dari Fatimah binti Qais bahwa sesungguhnya dia mendengarkannya
Nabi saw bersabda: pada setiap harta seseorang itu ada hak (orang lain), selain
zakat.

Berangkat dari pengertian harta yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan


bahwa, sesuatu itu dapat dikatakan harta apabila memenuhi ketentuan berikut,
yaitu:
1. Dapat dikuasai dan atau dapat disimpan, maka sesuatu yang dapat dikuasai
dan disimpan tersebut tentulah ada wujud dan materinya.
2. Dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan. Jadi sesuatu yang punya
manfaat bagi pemiliknya.
Muhammad Salam Madkur memisahkan unsurunsur harta itu menjadi 3 (tiga)
unsur, yaitu:
1. Dapat dimiliki.
2. Dapat diambil manfaatnya.
3. Pemanfaatan itu diperbolehkan oleh syara’ dalam keadaan biasa, bukan
dalam keadaan terpaksa.
Ulama Hanafiyah sebagaimana pengertian harta yang mereka kemukakan, maka
unsur harta itu ada dua, yaitu:
1. ‘Ainiyah, yaitu sesuatu itu haruslah ada ‘ainnya atau materinya yang
mempunyai wujud nyata.
2. ‘Urf (kebiasaan), yaitu sesuai kebiasaan manusia, baik oleh sebagian orang
atau secara umum memandang itu harta atau bukan harta.
Demikianlah unsurunsur sesuatu itu dipandang sebagai harta atau bukan.
Apabila salah satu atau kesemua unsur tersebut tidak terpenuhi, maka sesuatu itu
bukanlah harta.5

C. Pembagian Harta dalam Islam


Ahli-ahli fiqh membagikan harta kepada beberapa bagian, tiap-tiap bagian
memiliki ciri-ciri tersendiri dan mempunyai ketentuan hukum yang berbeda
menurut bagian masing-masing. Namun demikian, memadailah menyebutkan
beberapa bagian saja. Bagian-bagian tersebut adalah:
Pertama dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta
itu dapat dibagi kepada harta bernilai (al-mal almutaqawwim) dan tidak bernilai
(al-mal ghair al-mutaqawwim). Harta bernilai (al-mal al-mutaqawwim), ialah harta
yang dimiliki dan syara’ membolehkan penggunaannya. Ibn Abidin mendefiniskan
bahwa al-mal al-mutaqawwim ialah harta yang diakui kepemilikannya oleh syarak
bagi pemiliknya. Pengakuan syarak ini hanya akan berlaku dengan adanya syarat-
syarat yang berikut:
a) harta tersebut dimiliki oleh pemilik berkenaan secara sah.
b) harta tersebut boleh dimanfaatkan mengikut hukum syarak dalam keadaan
biasa. Seperti harta-harta tidak bergerak, harta bergerak, makanan dan
sebagainya. Sedangkan harta yang tidak bernilai (al-mal ghair al-
mutaqawwim), ialah sesuatu yang tidak dimiliki, atau sesuatu yang syara’ tidak
membolehkan penggunaannya kecuali ketika darurat (terpaksa).
Kedua, dilihat dari sifat harta itu sendiri, maka harta boleh dibagi kepada
harta tidak bergerak dan harta bergerak. Harta tidak bergerak (’aqâr) ialah harta
yang kekal di tempatnya yang tidak boleh dipindah dan diubah sama sekali ke
tempat lain. Muhammad Salam Madkur mengemukakan bahwa definisi harta tidak
bergerak menurut al-Malikiyah ialah segala sesuatu yang kekal di tempatnya tidak
boleh diubah atau dipindah tempat dari satu temapat ke tempat yang lain serta
bentuk dan strukturnya tetap tidak berubah. Sedangkan harta bergerak (al-
manqul) ialah harta yang boleh dipindah dan diubah dari satu tempat ke satu
tempat yang lain. Apakah bentuk dan strukturnya tetap atau bertukar karena
5
Dr. Sri Sudiarti, M.A, Fiqh Muamalah Kontemporer, hlm. 43-45
perpindahan itu. Harta bergerak ini termasuklah uang, barang perniagaan,
binatang, barang sukatan dan timbangan.
Ketiga, dilihat dari segi pemanfaatannya, harta dapat dibagi kepada harta
al-isti’mali dan harta al-istihlaki. Harta al-isti’mali ialah harta yang apabila
digunakan atau dimanfaatkan benda itu kekal zatnya (tidak habis), sekalipun
manfaatnya sudah banyak digunakan. Contoh harta al-isti’mali ialah lahan
pertanian, rumah, dan buku. Sedangkan harta al-istihlaki ialah harta yang apabila
dimanfaatkan berakibat habisnya harta itu. Contohnya ialah sabun, pakaian, dan
makanan. Hukum dari perbedaan harta ini menurut ulama fiqh hanya dari segi
akadnya saja. Untuk harta yang al-istihlaki, akadnya hanya tolong menolong,
seperti meminjam sabun, pakaian, dan meminta makanan. Sedangkan harta al-
isti’mali, di samping sifatnya tolong menolong, juga boleh ditransaksikan dengan
cara mengambil pulangan, seperti al-ijarah (sewa-menyewa).
Keempat, Harta serupa (mithliy) dan harta senilai (qimiy). Pembagian ini
dibuat berdasarkan harta tersebut ada yang serupa dengannya atau sebaliknya.
Yang dimaksud dengan harta serupa ialah harta yang mempunyai persamaan
dengan harta lain di pasaran, sama dari segi bentuk atau nilai. Jika ada perbedaan
antara kedua-dua harta tersebut, perbedaan itu dalam kadar yang boleh diterima
oleh semua pihak. Harta yang dimaksudkan ialah yang dinilai berdasarkan
sukatan, timbangan atau bilangan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan harta
senilai ialah harta yang tidak ada jenis yang sama dengannya di pasaran atau
terdapat jenis yang sama tetapi berbeda dari segi nilai dan harga dengan kentara
dan tidak boleh diterima oleh semua pihak baik pembeli maupun penjual.
Kadangkala, harta yang serupa boleh bertukar menjadi harta senilai. Misalnya
harta tersebut merupakan hasil pembuatan yang tidak lagi dikeluarkan oleh
pengeluarnya, seperti kereta, yaitu pengeluarnya sudah tidak lagi mengeluarkan
jenis itu untuk pasaran.
Kelima, Pembagian lain yang dikemukakan para ulama fiqh tentang harta
adalah dari segi kepemilikannya. Ada harta milik pribadi yang pemiliknya bebas
memanfaatkan harta itu selama tidak merugikan orang lain. Ada pula harta milik
masyarakat umum yang pemanfaatannya untuk semua orang. Harta milik bersama
boleh berubah menjadi milik pribadi apabila telah diambil dan dipelihara dengan
baik oleh seseorang. Sebaliknya harta pribadi pun boleh berubah menjadi milik
bersama. Perubahan kepemilikan dari milik pribadi kepada milik masyarakat bisa
melalui hal-hal berikut:
a) kehendak sendiri dari pemiliknya; misalnya seseorang menjadikan hartanya
menjadi harta wakaf yang boleh dipergunakan untuk kepentingan masyarakat;
b) kehendak syara’, seperti keperluan umat yang mendesak untuk membuat jalan
umum di atas tanah milik pribadi. Dalam hal ini pihak penguasa boleh
mempergunakan tanah pribadi untuk kepentingan umum.
Para ulama fiqh juga membagi harta milik masyarakat sebagai berikut:
a) harta yang khusus untuk diperuntukkan bagi kemaslahatan bersama, seperti
tempat-tempat ibadah, pemakaman, jembatan, jalan umum dan sarana-sarana
pendidikan;
b) harta yang khusus untuk digunakan bagi kepentingan umum, seperti harta
wakaf atau harta yang termasuk ke dalam milik negara;
c) harta seseorang yang manfaatnya diperuntukkan bagi kepentingan umum,
seperti tanah wakaf yang diwakafkan seseorang untuk diambil hasilnya, serta
tanah-tanah negara yang boleh dipergunakan masyarakat.6

6
Rizal, Eksistensi Harta Dalam Islam, Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015

Anda mungkin juga menyukai