Anda di halaman 1dari 13

Muhammad Robbani (175020307111018)

Muhammad Farhan Nurrahman (175020307111018)

Fiqih Muamalah (Kelas CA)

Pendahuluan Fiqh Muamalah

Fiqih muamalah terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Agar lebih jelas, maka
diuraikan penjelasan sebagai berikut:

Menurut etimologi (bahasa), fiqih adalah ‫( الفهم‬paham) Menurut terminologi, fiqih pada
mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa
akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti Syari’ahIslamiyah. Namun,
pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syari’ah Islamiyah,
pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.

Banyak sekali para ulama yang mendefinisikan fiqih dengan definisi yang berbeda. Seperti
pendapat Imam Haramain yang mengatakan, bahwa fiqih merupakan pengetahuan hukum
syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula pendapat Al-Amidi bahwa yang dimaksud dengan
pengetahuan hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari penalaran (nadzar dan istidhoh).
Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad, tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu
wajib, zina haram, dan masalah-maalah qath’i lainnya tidak termasuk fiqih.

Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata ‘amala, yang artinya saling
bertindak, saling berbuat, dan saling beramal.

Fiqih Muamalah

Pengertian fiqih muamalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Pengertian fiqih muamalah dalam arti luas

Di antara definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang definisi muamalah adalah:

1) Menurut Ad-Dimyati:

“Aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.”

2) Menurut Muhammad Yusuf Musa:


“Peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga
kepentingan manusia.

Dari dua pengertian di atas, dapat diketahui bahwa fiqih muamalah adalah aturan-aturan
(hukum) Allah SWT. yang ditujukkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan
keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan duniawi dan social kemasyarakatan.

b. Pengertian fiqih muamalah dalam arti sempit

Beberapa definisi fiqih muamalah menurut ulama adalah:

1) Menurut Hudhari Beik:

“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”

2) Menurut Idris Ahmad:

“Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.”

3) Menurut Rasyid Ridha:

“Muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang
telah ditentukan.”

Dari definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam arti sempit fiqih muamalah
menekankan keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan
mengembangkan mal (harta benda).

Namun, dari pengertian di atas, fiqih muamalah tidak mencakup berbagai hal yang berkaitan
dengan harta, seperti cara mengatur tirkah (harta waris), sebab masalah ini telah diatur dalam
disiplin ilmu tersendiri, yaitu dalam Fiqih Mawaris.

Perbedaan pengertian Muamalah dalam arti sempit dengan pengertian dalam arti luas adalah
dalam cakupannya. Muamalah dalam arti luas mencakup masalah mawaris, misalnya padahal
masalah mawaris dewasa ini telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri. Maka dalam muamalah
pengertian sempit tidak termasuk di dalamnya.
Persamaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan Muamalah dalam arti luas ialah
sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitan dengan pemutaran
harta.

A. Ruang Lingkup Muamalah

1. Menurut Ibn Abidin

Menurut Ibn Abidin, Fiqih Muamalah bisa dibagi menjadi 5 bagian, diantaranya:

a. Muawadhah maliyah ( Hukum Kebendaan)

b. Munakahat ( Hukum Perkawinan)

c. Muhasanat (Hukum Acara)

d. Amanat dan ‘Aryah ( Pinjaman)

e. Tirkah ( Harta Peninggalan)

2. Menurut Al Fikri

Menurut Al Fikri, fiqih mu’amalah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

a) Al Muamalah Al-Madiyah

Al Muamalah Al-Madiyah adalah mu’amalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu benda.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa mu’amalah Al madiyah bersifat kebendaan, yakni benda
yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan atu diusahakan, benda yang
menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia,dll.

Dengan kata lain, Al Mu’amalah Al Madiyah adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan syara’
dari segi objek benda. Oleh karena itu, berbagai aktivitas muslim yang berkaitan dengan benda,
seperti al-ba’i (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh ridha Allah. konsekuensinya,
harus menuruti tat cara jual beli yang telah ditetapkan syara’.

b) Al Mu’amalah Al Adabiyah

Al Muamalah Al Adabiyah maksudnya, muamalah di tinjau dari segi cara tukar menukarbenda
yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan
kewajiban, seperti jujur, hasud, iri, dendam, dll.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Al Muamalah Al Adabiyah adalah aturan-aturan Allah
yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari segi
subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Dengan demikian, maksud Adabiyah antara lain
berkisar dalam keridhoan dari kedua belah pihak yang melangsungkan akad, ijab qobul, dusta,
dll. Dalam praktiknya, kedua Al Muamalah tidak dapat di dipisahkan.

Sebagaimana telah disampaikan di muka di mana fikih muamalah diartikan sebagai hukum
islam yang mengatur hubungan keperdataan antar manusia, maka dapatlah dikatakan bahwa
fikih mu’amalah lebih mudah dipahami sebagai hukum perdata islam. Namun di bandingkan
dengan istilah “Hukum Perdata” yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum umum, fikih
muamalah lebih sempit. Dalam hal ini ruang lingkup fikih muamalah secara garis besarnya
hanya meliputi pembahasan tentang harta (al-mal), hak-hak kebendaan (al-huquq) dan hukum
perikatan (al-aqad).

Berikut ini adalah penjabaran secara global tentang ruang lingkup pembahasan fiqih
muamalah.

Kedudukan Dan Fungsi Harta

Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal.

Berbagai macam pendapat tentang pengertian harta:

· Sedangkan harta (al-mal) menurut Imam ialah sesuatu yang digandrungi tabiat manusia
dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan. harta adalah segala sesuatu yang dapat
disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh orang
lain, maka menurut Hanafiah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yam).
Menurut ulama, yang dimaksud harta ialah sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan
tabi’atnya, baik manusia itu akan memberikannya atau akan menyimpannya.

· Menurut ulama lainnya, harta adalah segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang
berputar di antara manusia.

· Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (hal. 2, Fiqih Muamalah, Drs. H. Hendi Suhendi,
M.Si.) harta adalah:
1. Nama selain manusia, yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia,
dapat dipelihara pada suatu tempat dan dikelola (tasbarruf) dengan jalan ikhtiar.

2. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh
sebagian manusia.

3. Sesuatu yang sah untuk dijual belikan

4. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji beras dapat
dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat disimpan, tetapi sebiji beras
menurut ‘urf tidak bernilai (berharga), maka sebuji beras tidak termasuk harta.

5. Sesuatu yang berwujud, maka sesuatu yang tidak berwujud sekalipun dapat diambil
manfaatnya tidak termasuk harta seperti manfaat, karena manfaat tidak berwujud, maka bukan
harta.

6. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil
manfaatnya ketika dibutuhkan.

UNSUR-UNSUR HARTA

Menurut para Fuqaha bahwa harta bersendi pada dua unsur, yaitu:

1. Unsur ‘aniyab adalah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan), maka
manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau
hak.

2. Unsur ‘urf adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh manusia atau sebagian
manisia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik
manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.

KEDUDUKAN HARTA

Dalam Al-Quran bahwa harta adalah sebagai perhuasan hidup. Pada Al-Quran surat al-Kahfi:
46 dan al-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan
manusia terhadap anak atau keturunan, maka kebutuhan manusia terhadap harta merupakan
kebutuhan yang mendasar. Harta juga berkedudukan sebagai amanat (fitnah). Karena harta
sebagai titipan, maka manusia tidak memiliki harta secara mutlak karena itu dalam pandangan
tentang harta terhadap hak-hak lain seperti zakat harta dan yang lainnya. Kedudukan harta juga
dapat sebagai musuh.

Konsekuensi logis dari ayat-ayat Al-aquran adalah:

1. Manusia bukan pemilik mutlak, tetapi dibatasi oleh hak-hak Allah, maka wajib baginya
untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainnya.

2. Cara-cara pengambilan manfaat harta mengarah kepada kemakmuran bersama,


pelaksanaannya dapat diatur oleh masyarakat melaui wakil-wakilnya.

3. Harta perorangan boleh digunakan untuk umum, dengan syarat pemiliknya memperoleh
imbalan yang wajar.

Disamping diperhatikannya kepentingan umum, kepentingan ptibadi juga diperhatikan, maka


berlakulah ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Masyarakat tidak boleh mengganggu dan melanggar kepentingan pribadi, selama tidak
merugikan orang lain dan masyarakat.

2. Karena pemilikan manfaat berhubungan serta dengan hartanya, maka boleh pemilik
(manfaat) untuk memindahkan hak miliknya kepada orang lain, misalnya dengan cara
menjualnya, menghibahkannya dan sebagainya.

3. Pada pokoknya, pemilikan manfaat itu kekal tidak terkait oleh waktu.

Dalam kaitan ini dapat dijelaskan bentuk-bentuk larangan yang berkenaan dengan harta yang
berkaitan dengan aktivitas ekonomi, produksi, distribusi dan konsumsi harta:

1. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia, berupa:

a. Memakan harta sesama manusia dengan cara yang batal,

b. Memakan harta dengan jalan penipuan,

c. Dengan jalan melanggar janji dan sumpah,

d. Dengan jalan pencurian.

2. Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau


keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
3. Penimbuan harta debgan jalan kikir, orang-orang yang menimbun harta dengan maksud
untuk meninggikan (menaikan) harga sehingga ia memperoleh keuntungan yang berlipat
ganda.

4. Aktivitas yang merupakan pemborosan (mubazir), baik pemborosan yang menghabiskan


harta pribadi, perusahaan, masyarakat atau negara maupun yang sifatnya mengeksploitasi
sumber-sumber alam secara berlebihan dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan
(ekologi).

5. Memproduksi, memperdagangkan dan mengkonsumsi barang-barang yang terlarang


seperti narkotika dan minuman keras kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
kesehatan.

PEMBAGIAN HARTA

1. Mal Mulutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim

a. Harta Mulutaqawwim adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’.
Atau semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya, misalnya
kerbau adalah halal dimakan oleh umat Islam tetapi kerbau tersebut disembelih tidak sah
menurut syara’, dipukul misalnya, maka daging kerbau tidak bisa dimanfaatkan karena cara
penyembelihannya batal menurut syara’.

b. Harta Ghair Mutaqawwim adalah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik
jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaanya. Seperti babi karena jenisnya.
Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwim karena cara
memperolehnya yang haram.

2. Mal Mitsli dan Mal Qimi

a. Harta Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam
arti dapat berdiri sebagaimana di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.

b. Harta Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya karena tidak
dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan.

c. Dengan perkataan lain, harta mitsli adalah harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara
persis) dan qimi adalah harta yang jenisnya sulit didapatkan di pasar, bisa diperoleh tapi
jenisnya berbeda kecuali dalam nilai dan harga.
3. Harta Istihlak dan harta Isti’mal

a. Harta Istihlak adalah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara
biasa kecuali dengan menghabiskannya.

Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu:

a) Istihlak Haqiqi adalah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya
habis sekali digunakan.

b) Istihlak Buquqi adalah suatu harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan tetapi
zatnya masih tetap ada.

b. Harta Isti’mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulanag kali dan materinya tetap
terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis dengan satu kali menggunakan tetapi dapat digunakan
lama menurut apa adanya.

4. Harta Manqul dan Harta Ghair Manaqul

a. Harta Manqul adalah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke
tempat lain.

b. Harta Ghair Manaqul adalah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu
tempat ke tempat lain.

5. Harta ‘Ain dan Harta Dayn

a. Harta ‘ain adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras, kendaraan.
Harta ‘ain terbagi menjadi dua, yaitu:

· Harta ‘ain dzati qimah, yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta
karena memiliki nilai yang dipandang sebagai harta, karena memiliki nilai ‘ain dzati qimah

· Harta ‘ain ghayr dzalti qimah, yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta,
karena tidak memiliki harga seperti sebiji beras.

b. Harta Dayn adalah sesuatu yang berada dalam tanggung jawab, seperti uang yang berada
dalam tanggung jawab seseorang.

Ulama Hanafiyah (hal. 2, Fiqih Muamalah, Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si.) berpendapat bahwa
harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan dayn, karena harta menurut Hanafiah ialah
sesuatu yang berwujud maka sesuatu yang tidak berwujud tidaklah dianggap sebagai harta,
seperti hutang tidak dipandang sebagai harta tetapi hutang adalah wash fi al-dgimmah.

6. Mal al-‘ain dan al-naf’i (manfaat)

a. Harta ‘aini adalah benda yang memiliki nilai dan bentuk (berwujud), seperti rumah,
ternak, dll.

b. Harta nafi’ adalah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa,
oleh karena itu mal al-naf’i tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.

7. Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur

a. Harta Mamluk adalah sesuatu yang masuk ke bawah milik milik perseorangan maupun
milik badan hukum seperti pemerintah atau yayasan.

Harta mamluk (yang dimiliki) terbagi kepada dua macam, yaitu:

· Harta Perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, seperti rumah
yang dikontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, seperti
seseorang yang mempunyai sepasang sepatu yang dapat digunakan kapan saja.

· Harta Perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang
bukan pemiliknya, seperti dua orang tang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah
mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain.

Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti
dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik, maka pabrik tersebut diurus bersama.

b. Harta Mubah adalah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada
mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan.

Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang
mengambilnya maka ia akan menjadi pemiliknya.

c. Harta Mahjur adalah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan
kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang
dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan dan

Menurut pengertian umum, hak ialah :“Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk
menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum.”
Hak Milik

Pengertian “hak” sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul, yaitu sekumpulan kaidah
dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta.

Sedangkan arti “milik” adalah kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk
bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.

Berdasarkan definisi “milik” tersebut, kiranya dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk
lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengampu berhak menggunakan harta orang
yang berada dibawah ampuannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan
pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain dapat dikatakan
“tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak
penggunaan dapat memiliki”.

Kata “hak milik “dalam bahasa Indonesia adalah kata serapan dari bahasa Arab al haqq dan al
milik yang bermakna ketetapan dan kepastian, yaitu suatu ketetapan yang tidak boleh diingkari
keberadaannya. Sementara itu pengertian al haqq secara terminologis ialah ketetapan yang
bersesuaian dengan realitas. Adapun kata al milk adalah kemampuan seseorang untuk
menggunakan haknya selama tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang tidak bisa
menggunakan haknya.

Dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hak al milk adalah hak yang
memberikan kepada pemiliknya hak wilayah. Artinya dia boleh memiliki, boleh memakai,
boleh mengambil manfaat, boleh menghabiskan, boleh membinasakan asal tidak menimbulkan
bahaya bagi orang lain.

Sedangkan “akad” diartikan sebagai perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.

Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang
dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang
lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.

Menurut Musthafa Azzarka, dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara
hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk
mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya
tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan
dalam suatu pernyataan.

Pernyataan itulah yang disebut dengan ijab dan qabul. Pelaku (pihak) pertama disebut mujib
dan pelaku (pihak) kedua disebut qaabil.

Dari berbagai pengertian yang ada diatas maka dapat disimpulkan bahwa akad adalah suatu
kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh dua orang dengan kemauan sendiri yang
ditandai adanya ijab dan qabul, sehingga mengikat kepada keduanya.

Rukun Akad

Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:

‘Aqid ialah orang yang berakad, terkadang terdiri dari satu orang atau beberapa orang, misalnya
penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang. Seseorang yang
berakad terkadang orang yang memiliki hak (‘Aqid Ashli) dan terkadang merupakan wakil dari
yang memiliki hak.

Ma’qud ‘Alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad
jual beli, dalam akad hibah (pemberian), dalam akad gadai.

Maudhu’ al’ aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka
berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya adalah memindahkan
barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti.

Sighot al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengatakan akad, sedangakan
qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab.

Ada juga yang menyatakan bahwa rukun akad yaitu cukup dengan ‘aqid, ma’qud alaih, dan
shighat saja.

Syarat Akad

Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan,
syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam.
Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam
berbagai akad.

Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad. Syarat khusus ini juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada
disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.[7]

Macam-macam Hak dan Akad

Macam-macam hak :

Dari segi pemilik hak

1) Hak Allah yaitu segala bentuk yang boleh mendekatkan diri kepada Allah,
mengagungkan-Nya, dan menyebarluaskan syari’at-syari’at-Nya. Seperti berbagai macam
ibadah, jihad dan amar-ma’ruf nahi mungkar.

2) Hak Manusia, hak manusia pada hakikatnya untuk memelihara kemaslahatan para pribadi
manusia. Dalam hak-hak manusia, seseorang boleh memanfaatkan, menggugurkan, atau
mengubahnya, serta dapat diwariskan kepada ahli waris. Misalnya, pewarisan qisas kepada ahli
waris.

3) Hak berserikat (gabungan) antara hak Allah dengan hak manusia.

Dari segi objek hak:

1) Hak mali, yaitu hak yang berkaitan dengan harta.

2) Hak ghoru mali,yaituhak yang tidak berkaitan dengan harta.

3) Hak syakhsi, yaitu yang ditetapkan syara’ bagi seorang pribadi, berupa kewajiban
terhadap orang lain, seperti hak penjual untuk menerima harga barang yang dijual.

4) Hak ‘aini, yaitu hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua,
seperti hak memiliki.

5) Hak mujarrod, yaitu hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan
melalui perdamaian atau pemaafan. Misal dalam persoalan hutang.

6) Hak ghoiru mujarrod, yaitu hak yang apabila digugurkan atau dimaafkan meninggalakn
bekas terhadap orang yang dimaafkan. Misal dalam hal qishas.

Dari segi kewenangan pengadilan terhadap hak:


1) Hak diyani, adalah hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan pengadilan. Misal
dalam persoalan hutang yang tidak boleh dibuktikan pemberi hutang karena tidak cukupnya
alat-alat bukti didepan pengadilan.

2) Hak qadha’i, yaitu seluruh hak yang tunduk dibawah kekuasaan pengadilan, dan pemilik
hak itu mampu untuk menuntut dan membuktikan haknya itu didepan hakim. Misal hutang
yang ada buktinya.

Setelah dijelaskan macam-macam hak, pada bagian ini akan dijelaskan macam-macam akad.
Betapa banyak akad-akad itu yang datang untuk memenuhi semua jenis muamalat.

‘Akad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad.

‘Akad Mu’allaq ialah akad yang didalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah
adanya pembayaran.

‘Akad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai
penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga
waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai
akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai