Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum membahas kedudukan fiqh siyasah dalam sistematika hukum
islam, terlebih dahulu perlu dipaparkan pembagian hukum islam secara sistematis.
Dari paparan ini diharapkan akan dapat diketahui kedudukan dan urgensi fiqh
siyasah dalam sistematika hukum Islam.
Seacara global hukum Islam dapat dibagi dua bagian pokok, yaitu hukum
yang mengatur hubungan manusia kepada Tuhannya (‘ibadah) dan hukum yang
mengatur hubungan antara sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaaan
secara umum (mu’amalah).
Ini dikarenakan islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama dan
negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak
kadaluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk islam
semuanya berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat
melaksanakan sesuatu yang wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan
kewajiban mendekatkan diri kepada Allah, juga untuk menghormati hak-hak
insani untuk memiliki rasa aman, bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat
alam raya.
B. Rumusan Masalah
Penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa Saja Ruang Lingkup Fiqih Siyasah?
2. Bagaimana Kedudukan Fiqh Siyasah dalam Sistematika Hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Ruang Lingkup Fiqih Siyasah.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Kedudukan Fiqh Siyasah dalam Sistematika
Hukum Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Fiqh Siyâsah


Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang
lingkup kajian fiqhsiyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang
membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah
terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam
karangan fiqh siyâsah-nya yaitual-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil
kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:1
1. Siyâsah Dustûriyyah;
2. Siyâsah Mâliyyah;
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
4. Siyâsah Harbiyyah;
5. Siyâsah `Idâriyyah.
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang
berjudul al-Siyâsah al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai
berikut:2
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah `Idâriyyah;
3. Siyâsah Mâliyyah;
4. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.
Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga
bidang kajian saja, yaitu:3
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah Dauliyyah;

1
Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-
Dîniyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), hlm 13.
2
Ibid.
3
Ibid.

2
3. Siyâsah Mâliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi
ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang berserta penerangannya,
yaitu:4
1. Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-
undangan);
2. Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4. Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5. Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan
luar negeri atau internasional);
7. Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8. Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik perundang-undangan (Siyâsah
Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum
(Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga
yudikatif, dan administrasi pemerintahan (`Idâriyyah) oleh birokrasi atau
eksekutif.5
Kedua (2): politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah).
Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim
dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada
politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang,
dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan
genjatan senjata.6
Ketiga (3): politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara
lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan

4
H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah (Jakarta: Kencana, 2007), hlm 30.
5
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm 13.
6
Ibid, hlm 14.

3
belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan
perbankan.7
B. Kedudukan Fiqh Siyasah dalam Sistematika Hukum Islam
1. Fiqh Ibadah
Diatur setelah manusia mengenal dan meyakini Allah yang
diformulasikan dalam pengakuan dua kalimat syahadat adalah tata cara
bagaimana manusia harus berhubungan dan menyembah kepada-Nya, Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya menyampaikan kepada manusia tentang
dan tata cara mereka menghadap kepada-Nya. Tata cara tersebut merupakan
ibadah manusia kepada Allah antara lain yang diatur dalam hal ini adalah
masalah shalat, puasa, zakat dan haji.8
2. Fiqh Al-Muamalah
Sebagai makhluk sosial, manusia pasti ingin berhubungan dengan
sesamanya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa ada manusia yang bisa
memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain. Hubungan ini bisa
berkaitan dengan harta benda, kerja sama atau hal-hal yang bersifat
keperdataan lainnya. Para ulama menggali aspek ini dari wahyu Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Yang termasuk dalam kajian adalah masalah jual beli, utang
piutang, pengaturan hak milik, sewa menyewa, perjanjian dan perseroan.
Dari pembagian ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum
muamalah kepada beberapa hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh
mu’âmalât ini sangat luas. Pembagian tersebut adalah:9
a. Hukum yang berhubungan dengan keadaan manusia: seperti pernikahan,
nafkah, warisan, dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dan
keluarganya secara privat.
b. Hukum kebendaan: seperti segala jenis akad jual-beli, persewaan, perikatan,
dan lain-lain yang berhubungan dengan kepentingan hak kebendaan
seseorang.

7
Ibid.
8
http://maryamsarinah.blogspot.com/2013/12/kedudukan-fiqih-siyasah-dalam.html,
Diakses pada pada 04 November 2019.
9
al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1, hlm 33.

4
c. Hukum jinayah (pidana): seperti kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain
yang bertujuan menjaga kedamaian manusia serta harta mereka.
d. Hukum acara perdata atau pidana: hukum yang bertujuan mengatur proses
peradilan dalam meletakkan sabit kesalahan yang sifatnya pidana maupun
perdata dengan tujuan menegakkan keadilan di kalangan manusia.
e. Hukum dustûriyyah: segala hukum yang mengatur konsep penetapan hukum
dan dasar-dasarnya. Dalam hukum ini, fiqh membahas bagaimana
membatasi sebuah hukum dengan subyek hukum.
f. Hukum pemerintahan (dauliyyah): hukum yang mengatur hubungan antara
pemerintahan Islam dengan lainnya di dalam kebijakan perdamaian,
peperangan, international affairs, dan lain-lain yang mengatur kebijakan
pemerintah Islam dalam pemerintahannya.
g. Hukum perekonomian dan keungan: hukum yang mengatur hak-hak
warganegara dan pemerintah dalam hal kebendaan, seperti pengaturan pajak
negara, harta rampasan perang, mata uang, pengaturan dana sosial
perzakatan, sedekah, dan lain-lain yang berkaitan dengan kebendaan antara
warganegara dan pemerintah.
h. Akhlak dan adab: sebuah konsep dalam fiqh yang mengajarkan konsep tata
pergaulan yang baik. Ini dikarenakan fiqh adalah produk wahyu Tuhan,
sehingga nilai-nilai moral sangat diutamakan.
Secara kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu’âmalât. Ini
apabila fiqh mu’âmalâtdiartikan dengan arti luas. Akan tetapi, apabila fiqh
mu’âmalât diartikan secara sempit; maka fiqh siyâsahbukanlah fiqh mu’âmalât.
Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât adalah fiqh yang mengatur hubungan manusia
dengan kebendaan yang sifatnya privat, bukan publik, walaupun kemungkinan
ada campur tangan pemerintah. Hanya saja pencampuran tersebut bukanlah
secara esensial. Ini seperti apa yang diartikan secara sempit, menurut Khudlarî
Beik:

5
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling
menukar manfaat.”10
Maka dari itu, kalau dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh
siyâsah seperti yang dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah
dimasukkan fiqh siyâsah di dalam fiqh mu’âmalât secara arti luas, bukan
sempit.
3. Fiqh Al-Jinayah
Dalam hubungan keperdataan in tidak jarang terjadi perselisihan dan
pertengkaran. Didasari oleh sifat manusia yang ingin menang sendiri, tidak
pernah merasa puas dan pengaruh hawa nafsu lainnya, bisa saja ia mengambil
milik orang lain. Maka terjadilah tindak kriminal seperti pencurian,
perampokan bahkan pembunuhan terhadap jiwa orang lain. Untuk itulah Allah
mengatur batas-batas yang dilarang yang mendapat sanksi hukuman had atau
ta’zir bagi pelakunya. Dalam kajian ini, para ulama bicara panjang lebar
tentang berbagai tindak pidana seperti hudud, qishash-diyat dan ta’zir serta
hukuman-hukuman terhadap pelakunya.

4. Fiqh Murafa’ah (Hukum Acara)


Agar dapat mengajukan gugatan atau perkara secara benar, baik yang
menyangkut masalah muamalah maupun pidana, Syar’i pun mengatur tata
caranya. Sebagai aplikasinya dibentuklah institusi peradilan (al-qaha’) yang
bertugas menyelesaikan dan memutuskan perkara di antara manusia dengan
benar. Di samping itu, institusi ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan
materi-materi hukum yang dilanggar. Dalam kajian ini dibicarakan antara lain
permasalahan etika persidangan, tata cara beracara dan etika hakim.
5. Fiqh Munakahat
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri. Disamping
mengadakan kerja sama dengan orang lain, ia juga ingin berhubungan dengan
lain jenisnya. Ini merupakan kebutuhan biologis manusia yang harus

10
Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm 15.

6
tersalurkan dengan baik dan benar. Karena itu agar hubungan dengan lawan
jenisnya menjadi lebih mulia, maka Allah mengatur tata cara perkawinan.
6. Fiqh Mawaris
Sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan dan jatah hidup, manusia
bila telah sampai ajalnya tentu akan menghadap Penciptanya. Ia akan
meninggal dunia dan meninggalkan anak, istri serta harta benda. Islam
mengajarkan bahwa harta benda harus mempunyai fungsi yang tepat dan
efisien. Dalam hal ini, agar anak-istri yang ditinggalkan tidak menderita atau
terlantar, maka peralihan harta benda tersebut dari orang yang meninggal
kepada yang masih hidup di atur sedemikian rupa.
7. Fiqh Al-Siyasah
Seperti diketahui, keluarga adalah institusi terkecil dalam pembentukan
masyarakat. Rumah tangga merupakan cikal bakal bagi tegaknya suatu
masyarakat dan menjadi tonggak bagi terciptanya sebuah negara. Berkaitan
dengan negara, hukum Islam pun mengatur bagaimana sebuah negara harus
dikeloladengan baik. Dalam kajian ini dibicarakan antara lain masalah
perundang-undangan, keuangan negara, hubungan pemerintah dengan rakyat
dan hubungan dengan negara lain.
Dari sistematika ini dapat ditarik benang merah bahwa Fiqh siyasah
memegang peranan dan kedudukan penting dalam penerapan dan aktulisasi
hukum Islam secara keseluruhan. Dalam fiqh siyasah lah diatur bagaimana sebuah
ketentuan hukum Islam bisa berlaku secara efektif dalam masyarakat islam. Tanpa
keberadaan negara dan pemerintahan, ketentuan-ketentuan hukum Islam akan sulit
sekali terjamin keberlakuannya. Barangkali untuk masalah ibadah tidak terlalu
banyak campur tangan siyasah. Tapi urusan kemasyarakatan yang kompeks, umat
islam membutuhkan fiqh siyasah.11
Fiqh siyasah menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna
bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya,
pemerintah jelas memerlukan fiqh siysah. Tanpa kebijakan politik pemerintah,

11
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2001) hlm. 9-11.

7
sangat boleh jadi umat islam akan sulit mengembangkan potensi yang mereka
miliki. Fiqh siyasah juga dapat menjamin umat islam dari hal-hal yang bisa
merugikan dirinya. Fiqh siyasah diibaratkan sebagai akar sebuah pohon yang
menopang batang, ranting, dahan, dan daun sehingga menghasilkan buah yang
dapat dinikmati umat islam.12
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai
kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam
memikirkan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis
yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain
umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik
pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang
mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal yang
bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar sebuah pohon
yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga menghasilkan buah
yang dapat dinikmati umat Islam.13

12
http://akitiano.blogspot.com/2011/10/fiqh-siyasah-pengertian-ruang-lingkup.html,
Diakses 04 November 2019
13
Djazuli, Fiqh Siyâsah, 36-8; ‘Alî `Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ`id al-
Fiqhiyyah (Damascus: Dâr al-Qalam, 2007), hlm 12.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa :
Ruang lingkup fiqh siyâsah secara keseluruhan dan secara umum, dapat
dikelompokan kepada tiga (3) kelompok: 1. Siyâsah dustûriyyah;
2. Siyâsah khârijiyyah; 3. Siyâsah mâliyyah.
fiqh siyâsahmemainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini
dikarenakan, fiqh siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur
pemerintah dalam menjalankan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya.
Tanpa keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal ini pemerintah yang
menjalankan konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin keberlakuan hukum
Islam itu sendiri bagi masyarakat muslimnya
Kedudukan fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam adalah berada
di bawah fiqh mu’âmalat yang diartikan secara luas, sedangkan peranannya
jelasnya adalah sangat penting bagi masyarakat muslim, karena ia adalah kunci
dapat dijalankannya hukum Islam di dalam sebuah negara yang mayoritas
rakyatnya adalah beragama muslim, selain di satu sisi fiqh siyâsahsendiri sangat
mementingkan kemaslahatan untuk rakyat dan berusaha menghilangkan
kemudaratan.

9
DAFTAR PUSTAKA
Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-
Dîniyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), 4; Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm 13.
al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1, 33.
H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah (Jakarta: Kencana, 2007).
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2001).
Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004).
http://akitiano.blogspot.com/2011/10/fiqh-siyasah-pengertian-ruang-lingkup.html,
Diakses pada 04 November 2019
http://maryamsarinah.blogspot.com/2013/12/kedudukan-fiqih-siyasah-dalam.html,
Diakses pada 04 November 2019.
Alî `Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah (Damascus: Dâr al-Qalam, 2007).

10

Anda mungkin juga menyukai