Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting dan ia merupakan salah
satu dari perhiasan dunia. Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Khahf Ayat 46 di jelaskan yang
artinya “ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan
yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan”. Artinya hanya dengan sedikit harta atau tanpa harta seseorang akan
mengalami kesulitan dalam kehidupan ini. Karena ia sangat penting makan manusia di
perintahkan agar bertebaran di muka bumi ini untuk mendapatkan karunia Allah melalui
bekerja. Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Jumu’ah Ayat 10 di jelaskan yang artinya “ Apabila
sholat telah di laksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.

Harta juga merupakan sarana yang di perlukan untuk mempersiapkan bekal bagi
kehidupan akhirat. Al –Qur’an berkali-kali menyerukan agar orang beriman
membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah dan agar orang beriman berjuang
dengan hartanya. Dengan demikian, maka orang beriman harus giat bekerja dan
berusaha keras menjadi orang berharta dan kaya. Selanjutnya ia bersyukur kepada Allah
dengan membelanjakan harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan perjuangan di
jalan Allah. Inilah seorang mukmin yang ideal.1

Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia harus hidup bermasyarakat,
saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Dalam jual beli seseorang tidak bisa
bermuamalah sendirian. Apabila menjadi penjual maka memerlukan pembeli dan
seterusnya. Setiap manusia memiliki kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan

1
Drs. Ghufon A, Mas’adi, M.Ag, Fiqh Muamalah Kontekstual,(Jakarta: Pt.RajaGrafindo Persada, 2002),cet-1 ,
hal.9-10

1
kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar hak-hak orang lain,
maka timbulah hak-hak diantara sesama manusia, lebih tepatnya hak kepemilikan.
Bahwa perbedaan hak dan pemilik adalah tidak semua yang memiliki berhak
menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki. Setiap
pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip setiap
pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan sempurna). Sebaliknya,setiap
pemilikan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas
bendanya,sebagaimana yang terjadi pada ijarah (persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan sebagai
pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan yang
sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada artinya pemilikan atas suatu
harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang
teguh oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal (harta) sebagai benda materi
bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat merupakan unsur utama
milkiyah (pemilikan).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa pengertian Harta dan macam-macam harta serta akibat hukumnya ?
2. Apa pengertian dari hak milik?
3. Bagaimana system pembagian Hak ?
4. Apa saja pembagian dari milik ?
5. Bagaimana cara-cara mendapatkan hak milik ?
6. Apa yang di maksud dengan hak Ibtikar?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah “Harta (amwal) dan Hak Milik” adalah untuk
menambah pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai Harta dan hak kepemilikan

2
dari sudut Islam, memberikan penerapan Harta dan hak kepemilikan dalam kehidupan
sehari-hari dan menjadi bahan pustaka bagi para pembaca.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. HARTA
1. Pengertian Harta

Secara etimologi, al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau
berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal di artikan sebagai segala sesuatu
yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun
dalam bentuk manfaat.2

Untuk pengertian al-mal secara terminology, ada dua definisi yang di kemukakan
para ulama fiqh tentang al-mal (harta) yaitu :

Pertama,3

Segala yang diminati manusia dan dapat di hadirkan ketika diperlukan, atau
segala sesuatu yang dapat dimiliki, di simpan, dan dapat di manfaatkan.

Definisi ini di kemukakan ulama Hanafiyah. Dalam definisi ini tersirat bahwa
manfaat tidak termasuk harta, karena manfaat termasuk milik.

Kedua ,

Segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan di kenakan ganti rugi bagi orang yang
merusak atau melenyapkannya.

Definisi ini di kemukakan jumhur ulama, selain ulama Hanafiyah.

Dalam kandungan kedua definisi di atas, terdapat perbedaan esensi harta yang
dikemukakan jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah. Menurut jumhur ulama, harta itu tidak
bersifat materi,melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Akan tetapi, ulama

22.
Drs. H.Nasrun Haroen,MA, Fiqh Muamalah (Jakarta :Gaya Media Pratama, 2000),cet 1, hal.73
3
Ibid,

4
Hanafiyah berpendirian bahwa yang di maksud dengan harta itu hanya yang bersifat materi.
Sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian milik.

2. Macam –Macam Harta dan Akibat Hukumnya

Menurut fuqaha harta dapat di tinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari
beberapa bagian, tiap- tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri.
Pembagian harta ini sebagai berikut.4

a. Di lihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’,harta di bagi


kepada Mal Mutaqawwim ( halal di manfaatkan) dan Ghairu Mutaqawwim
(harta yang tidak halal di manfaatkan)5. Perbedaan jenis harta seperti ini
mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum. Pertama, pada prinsipnya ummat
islam tidak di perkenankan menjadikan harta ghairu mutaqawwim sebagai objek
transaksi. Prinsip ini tentunya tidak berlaku secara mutlak. Artinya benda gairu
mutaqawwim bisa di jadikan sebagai objek transksi sepanjang terdapat indikasi
yang kuat bahwa tujuan transaksi (maudu’ul aqdi) tidak untuk hal –hal yang di
larang syara’. Misalnya transaksi jual beli anjing herder bukan anjing potong.
Pada transaksi jual beli anjing potong atau daging anjing tujuannya adalah untuk
di makan. Tujuan transaksi seperti ini jelas bertentangan dengan syari’at islam.
Sedang anjing herder di transaksikan untuk tujuan keamanan. Tujuan transaksi
seperti ini tidak bertentangan dengan syari’at islam sekalipun dilakukan terhadap
mal gairu mutaqawwim. Kedua, perusakan atas harta ghairu mutaqawwim tidak
mengakibatkan hak menuntut ganti rugi.6
b. Di lihat dari segi jenisnya, harta terbagi atas mal al-‘uqur (harta tidak bergerak
atau harta tetap), yaitu harta benda yang tidak mungkin di pindahkan dari
tempat asalnya ke tempat lainnya seperti tanah dan rumah dan mal gairul-‘uqar(
harta bergerak atau harta tidak tetap), yaitu harta benda yang dapat
dipindahkan dari tempat semula kepada tempat lain seperti hewan dan

4
Ibid, Hal.76
5
Drs.Ghufron A.Mas’adi,M.Ag, op.cit. hal. 20-21
6
Dr. H. Nasrun Haroen, MA, op.cit. hal.77

5
perhiasan. Perbedaan jenis harta ini mengakibatkan beberapa konsekuensi
hukum, antara lain : Pertama,hubungan ketetanggaan terhadap mal’uqar
menimbulkan hak syuf’ah, yakni hak prioritas seorang tetangga dekat untuk
membeli mal’uqar , sebelum pemilik berkehendak menjualnya kepada orang
lain. Hak prioritas seperti ini terdapat pada mal ghairul ‘uqar. Kedua, mal’uqar
dapat dijadikan sebagai obyek wakaf tanpa ada perselisihan di kalangan fuqaha’.
Sedang wakaf harta ghairul ‘uqar ulama Hanafiyah mempersyaratkan sifatnya
yang tidak dapat dipisahkan dari harta tidak bergerak. Menurut fuqaha’ jumhur
semua jenis benda baik bergerak maupun benda tidak bergerak dapat di jadikan
obyek wakaf. Ketiga, seorang wasi (orang yang kepadanya di berikan wasiat)
memelihara harta anak kecil tidak di benarkan menjual harta tidak bergerak milik
anak kecil tersebut kecuali dalam hal-hal yang sangat mendesak, seperti
menjualnya untuk kepentingan membayar hutang anak kecil. Hal ini di lakukan
harus seizing hakim. Sedangkan harta bergerak, seorang wasi boleh menjualnya
untuk keperluan pemeliharaan anak kecil tersebut tanpa harus ada izin dari
hakim. Keempat, dalam hal ghasab. Menurut Hanifah dan Abu Yusuf ghasab
tidak mungkin di lakukan terhadap harta tidak bergerak,karena harta jenis ini
tidak dapat di pindahkan. Salah satu persyaratan ghasab menurut mereka adalah
barang tersebut harus di kuasai dan di pindahkan oleh orang yang melakukan
ghasab. Selain itu mengambil manfaat benda tidak bergerak tanpa seizing
pemiliknya tidak dapat di katakana ghasab. Sedangkan menurut jumhur fuqaha’
ghasab bisa terjadi pada benda tidak bergerak. Karena manfaat merupakan
unsur terpenting dalam harta.
c. Di lihat dari segi pemanfaatannya, harta terbagi atas harta al-isti’mali dan harta
al-istihlaki. Yang di maksud dengan harta al-isti’mali adalah harta yang apabila di
gunakan atau di manfaatkan benda itu tetap utuh, sekalipun manfaatnya sudah
banyak di gunakan. Seperti, lahan pertanian, rumah dan buku. Sedangkan yang
di maksud dengan harta al-istihlaki adalah harta yang apabila di manfaatkan
berakibat kepada menghabiskan harta itu. Seperti, sabun, pakaian dan makanan.

6
Akibat dari perbedaan kedua jenis harta ini, menurut para ulama fiqih, hanya
dari segi akadnya saja. Untuk harta yang bersifat al-istihlaki, akadnya hanya
tolong menolong, seperti meminjamkan sabun, makanan dan pakaian.
Sedangkan harta yang bersifat al-isti’mali, di samping sifatnya tolong menolong,
juga boleh di transaksikan dengan cara mengambil imbalan, seperti al-ijarah
(sewa menyewa ).
d. Di lihat dari segi ada atau tidaknya harta sejenis di pasaran, harta di bedakan
menjadi mal-misliy dan mal-qimiy. Mal –misliy adalah harta yang mempunya
persamaan atau padanan dengan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan
antara satu dengan lainnya dalam kesatuan jenisnya. Biasanya mal-misliy berupa
harta benda yang dapat di timbang, di takar, di ukur atau di hitung kuantitasnya.
Seperti, buah-buahan, sayur-mayur, garment dan lain sebagainya. Sedangkan
mal-qimiy adalah harta yang tidak mempunyai persamaan atau padanan atau
harta yang memiliki padanan namun terdapat perbedaan kualitas yang sangat
diperhitungkan, seperti perhisan, binatang piaraan, naskah kuno, barang antik
dan lain sebagainya. Perbedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa
konekuensi hokum, antara lain : Pertama,system jual beli barter atas mal-qimiy
tidak memungkinkan terjadi riba fudhuli, karena jenis satuannya tidak sama.
Tetapi jual beli barter terhadap mal-misliy di mungkinkan transaksi jual beli yang
menjurus pada praktek riba fudhuli. Kedua, pengrusakan terhadap harta mislay
pemilik berhak menuntut ganti rugi dengan barang yang sejenis, sedangkan
pengrusakan terhadap harta yang bersifat qimiy maka ganti pembayaran ganti
rugi di lakukan dengan memperhitungkan harganya.
e. Di lihat dari status harta, harta di bedakan menjadi mal mamluk, mal mahjur dan
mal mubah. Mal mamluk adalah harta benda yang statusnya berada dalam
pemilikan seseorang atau badan hukum seperti pemerintahan atau yayasan. Mal
Mahjur adalah harta yang menurut syara’ tidak dapat di miliki dan tidak dapat di
serahkan kepada orang lain lantaran telah di wakafkan atau di peruntukan bagi
kepentingan umum. Sedangkan Mal Mubah (benda bebas) adalah segala harta

7
selain yang termasuk kedua kategori benda di atas. Setiap orang dapat
menguasai dan memiliki jenis benda ini sesuai kesanggupannya. Orang yang
lebih dahulu menguasainya ia menjadi pemiliknya. Akibat hukum dari pembagian
ini adalah, apabila harta ini milik Negara, maka pemanfaatannya di tujukan untuk
kepentingan orang banyak yang di atur dengan perundang undangan. Masyarat
yang memanfaatkannya tidak boleh merusak harta itu dan tidak boleh
menjadikannya milik pribadi.
f. Harta di lihat dari segi boleh di bagi atau tidak, oleh para ulama fiqih di bagi
menjadi harta yang boleh di bagi dan harta yang tidak boleh di bagi. Harta yang
boleh di bagi adalah apabila harta itu di bagi, maka harta itu tidak rusak dan
manfaatnya tidak hilang. Misalnya, satu karung duku, gandum dan anggur boleh
di bagi tanpa merusaknya. Akibat hukum dari dari pembagian harta dari segi
boleh di bagi atau tidaknya ,menurut para ulama fiqih, antara lain adalah : (a)
terhadap harta yang boleh dibagi, boleh di lakukan eksekusi putusan hakim
untuk membaginya sedangkan untuk harta yang tidak boleh di bagi keputusan
hakim tidak boleh memaksa untuk membagi harta itu. (b) apabila harta yang
tidak boleh di bagi di hibahkan atau di wakafkan, seperti sepertiga atau
setengahnya, maka hibah atau wakafnya sah.
g. Di lihat dari segi berkembangnya atau tidak harta itu. Maka para ulama fiqih
membaginya menjadi al-ashl (asal) dan ats-tsamar (buah atau hasil). Yang
dimaksud dengan al-ashl adalah harta yang menghasilkan, seperti rumah, tanah,
pepohonan dan hewan. Yang di maksud dengan ats-tsamar adalah buah yang di
hasilkan suatu harta, seperti sewa rumah, buah-buahan dari pepohonan, dan
susu kambing atau sapi. Pembagian kedua harta ini membawa akibat hukum
yang luas dalam fiqih islam. Di antaranya adalah : (a) asal harta wakaf tidak boleh
di bagi-bagikan kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi buah atau hasilnya
dibagikan kepada mereka. (b) harta yang di peruntukan bagi kepentingan umum,
asalnya tidak boleh di bagi-bagikan, akan tetapi hasilnya boleh di miliki siapa

8
pun. Misalnya, di bahu jalan sebuah mesjid tumbuh pohon rambutan. Buah
rambutan itu boleh di perjualbelikan siapapun.
h. Pembagian lain yang di kemukakan para ulama fiqih tentang harta adalah dari
segi pemiliknya. Harta di bedakan menjadi malul khas (harta pribadi) dan malul
‘amm (harta masyarakat umum). Pembedaan jenis harta seperti ini
menimbulkan beberapa konsekuensi hukum sebagaimana berikut ini : Pertama,
malul khas dapat di tasharufkan oleh pemiliknya secara bebas melalui cara-cara
perikatan yang di benarkan oleh syara’ sedangkan malul ‘amm tidak dapat di
tasharufkan secara bebas. Kedua, apabila seseorang mempergunakan malul
‘amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang berwenang untuk kepentingan
pribadi, misalnya untuk tanggungan utang, maka ia dapat di tuntut untuk
membayar ganti rugi. Ketiga, malul ‘amm tidak dapat di bebaskan oleh
seseorang, meskipun oleh pribadi seorang penguasa sekalipun dengan ganti rugi,
kecuali demi dan atas nama kepentingan umum yang lebih besar.7

B. HAK MILIK
1. Pengertian Hak Milik

Kata hak berasal dari bahasa arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai
beberapa pengertian yang berbeda, diantaranya berarti milik, ketetapan dan kepastian,
menetapkan dan menjelaskan, bagian (kewajiban), dan kebenaran.8

Sedangkan hak milik merupakan hubungan antara manusia dan harta yang di tetapkan
dan diakui oleh syara’, karena adanya hubungan tersebut, ia berhak melakukan berbagai
macam tas’arruf terhadap harta yang di milikinya, selama tidak ada hal-hal yang
menghalanginya.9

7.
Ibid, Hal.78-81
8 .
Abdul Rahman Ghazaly dan Ghufron Ihsan, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), 43.
9.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), 69.

9
Menurut pengertian umum, hak adalah : “ Sesuatu ketentuan yang digunakan oleh
syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum “.
Hak juga bisa berarti milik, ketetapan, dan kepastian, sebagaimana disebutkan dalam
Alquran (QS. Yasin : 7) yang Artinya “ Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan
Allah terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman”.
Pengertian tentang hak, sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul, yaitu :
Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur
hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta. Ada juga
yang mendefinisikan hak sebagai berikut. “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang
wajib dari seseoarng kepada yang lainnya “. kekhususan memungkinkan pemilik suatu barang
menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak
ada penghalang syar’i.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang
tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan,
baik diri sendiri maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi ini, kiranya dapat
dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut. Seseorang
pengampu berhak menggunakan harta yang berada di bawah ampuannya, pengampuannya
hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah
ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak
semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah, dan adakalanya pula
merupakan taklif.
a. Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala al nafsi dan sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin.
 Sulthah ‘ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hal hadlanah
(pemeliharaan anak)
 Sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti
seseorang berhak memiliki mobil.

10
b. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan pribadi
(‘ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya
tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang.

Para fukaha berpendapat, bahwa hak merupakan imbangan dan benda (a’yan).
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa hak adalah bukan harta (ina al-
haqqlaisah hi al-mal).10

2. Pembagian Hak

Berbicara masalah pembagian hak, maka jumlah dan macamnya banyak sekali, antara
lain dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan hak
ghair mal. Adapun pengertian hak mal : Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti
pemilikan benda-benda atau utang-utang. Hak ghair mal terbagi dua bagian, yaitu hak
syakhshi dan hak ‘aini. Pengertian Hak syakhshi : Sesuatu tuntunan yang ditetapkan syara’ dari
seseorang terhadap orang lain .
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua.
Hak ‘aini ada dua macam: ashli dan thab’i. Hak ‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu
dan adanya shabul al-haq, seperti hak milikiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i ialah jaminan
yang ditetapkan untuk seseorang yang menguntungkan uangnya atas yang berhutang. Apabila
yang berhutang tidak sanggup membayar, maka murtahin berhak menahan barang itu.
Macam-macam hak ‘aini ialah sebagai berikut :
a. Haq al-milikiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia
memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskannya, merusakkannya,
dan membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
b. Haq al-intifa ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya. Haq
al-Isti’mal (menggunakan) terpisah dari haq al istiqlal (mencari hasil), misalnya
rumah yang diwakafkan untuk didiami. Si mauquf ‘alaih hanya boleh mendiami, ia
tidak boleh mencari keuntungan dari rumah itu.

10 .
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 32-33

11
c. Haq al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas
kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama. Misalnya saudara
Ibrahim memiliki sawah di sebelahnya sawah saudara Ahmad. Air dari selokan
dialirkan ke sawah saudara Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad pun membutuhkan air. Air
dari sawah saudara Ibrahim dialirkan ke sawah dan air tersebut bukan milik saudara
Ibrahim.
d. Haq al-istihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan. Rahn
menimbulkan hak ‘aini bagi murtahin, hak itu berkaitan dengan harga barang yang
digadaikan, tidak berkaitan dengan zakat benda, karena rahn hanyalah jaminan
belaka.
e. Haq al-ihtibas ialah hak menahan sesuatu benda. Hak menahan barang (benda)
seperti hak multaqith (yang menemukan barang) menahan benda luqathah.
f. Haq qarar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetapkan atas tanah
wakaf ialah :
 Haq al-hakr ialah menetap di atas tanah wakaf yang disewa, untuk yang
lama dengan seizin hakim;
 Haq al-ijaratain ialah hak yang diperoleh karena akad ijarah dalam waktu
yang lama, dengan seizin hakim, atau tanah wakaf yang tidak sanggup
dikembalikan ke dalam keadaan semula misalnya karena kebakaran
dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya dibayar
setiap tahun.
 Haq al-qadar ialah hak menambah bangunan yang dilakukan oleh
penyewa;
 Haq al-marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol
g. Haq al- murur ialah hak jalan manusia pada miliknya dari jalan umum atau jalan
khusus pada milik orang lain.
h. Haq ta’alli ialah Hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas bangunan
orang lain.

12
i. Haq al-jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas
tempat, tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik uqur dari menimbulkan
kesulitan terhadap tetangganya.
j. Haq Syuf’ah atau haq syurb ialah Kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum
sendiri dan untuk diminum hewan peliharaannya serta untuk kebutuhan rumah
tangganya.
Ditinjau dari hak syirb, maka jenis air dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a. Air umum yang tidak dimiliki oleh seseorang, misalnya air sungai, rawa-rawa, telaga, dan
lainnya. Air milik bersama (umum) boleh digunakan oleh siapa saja dengan syarat tidak
memadharatkan orang lain.
b. Air di tempat yang ada pemiliknya, seperti sumur yang dibuat oleh seorang untuk
mengairi tanaman di kebunnya, selain pemilik tanah tersebut tidak berhak untuk
menguasai tempat air yang dibuat oleh pemiliknya. Orang lain boleh mengambil
manfaat dari sumur tersebut atas seizin pemilik kebun.
c. Air yang terpelihara, yaitu air yang dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara dan disimpan di
suatu yang telah disediakan, misalnya air di kolam, kendi, dan bejana-bejana tertentu. 11

3. Pembagian Milik
Dalam Fiqh Muamalah, milik terbagi dua :
1. Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus,
artinya baik benda dan kegunaannya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh
salah satunya melalui jual beli.
2. Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut,
yaitu memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya yang disebut raqabah atau memiliki
manfaatnya saja tanpa memiliki bendanya yang disebut milik manfaat atau hak guna
pakai dengan cara i’arah, wakaf, dan washiyah.

11.
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah(Bogor:Ghalia Indonesia,2011), h. 33-35

13
Dari segi tempat, milik terbagi menjadi 3 :
1. Milk al ’ain / milk al raqabah : memiliki semua benda, baik benda tetap (ghair manqul)
dan benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul). Contoh : pemilikan rumah, kebun,
mobil dan motor.
2. Milk al manfaah : seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda.
Contoh : benda pinjaman, wakaf, dll.
3. Milk al dayn : pemilikan karena adanya utang. Contoh : sejumlah uang dipinjamkan
kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan.
Dari segi cara berpautan milik dengan yang dimiliki (shurah) milik dibagi 2 :
1. Milk al mutamayyiz : sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memilki batasan-
batasan, yang dapat memisahkannya dari yang lain. Contoh : antara sebuah mobil dan
seekor kerbau sudah jelas batas-batasnya.
2. Milk al syai’ atau milk al musya : milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari
kumpulan sesuatu, betapa besar atau betapa kecilnya kumpulan itu. Contoh : memiliki
sebagian rumah, seekor sapi yang dibeli oleh 5 orang untuk disembelih dan dibagikan
dagingnya.
Hak milik dalam islam dapat di lihat sebagai berikut : 12
1. Hak Milik Berdasarkan Bentuk (ya’tibari mahali)
A. Kepemilikan yang didasari dari bentuk barangnya.
Kepemilikan barang (Milkiyatun al-’ain)
a. Barang yang dapat dipindah (al-mangkulah), barang yang dapat berpindah-pindah
contohnya adalah tas.
b. Perhiasan (al-ma’ta), perhiasan yang memiliki nilai jual bagi pemiliknya, seperti emas,
berlian yang suatu hari dapat dijual kembali.
c. Hewan (al-haiwan), barang yang berbentuk hewan, seperti sapi, kambing.
d. Tetap (al-’uqar) barang tetap tidak dapat berpindah-pindah seperti tanah, gedung.
B. Kepemilikan manfaat (Milkiyatun manfaat) kepemilikan berdasarkan manfaatnya, seperti
buku, karena buku dimiliki bukan berdasarkan kertasnya, cover melainkan karena manfaatnya.

12 .
httpblog.umy.ac.idrodes2008ringkasan-materi-fiqih-muamalah

14
C. Kepemilikan hutang (Milkiyatun al-adiyan), kepemilikan yang berkaitan dengan hutang dan
kredit-kredit lainnya.
2. Hak Milik Berdasarkan Penuh atau Tidak (ma yatsa tamaw naquson).
a. Hak Penuh (milkiyatun tammah), kepemilikan yang sudah penuh haknya, seperti
pemilik dari rumahnya sendiri.
b. Hak Milik tidak Penuh (milkiyatun ann-uqsah), kepemilikan yang masih tergantung
orang lain, misalnya ahli waris yang pewarisnya belum wafat.
3. Hak milik berdasarkan keterpautan (ba ‘a tabara sowaro tohha).
a. Milkiyatun mutamaziyah, yaitu adanya batasan-batasan, kejelasan perbedaan antara
mobil dan rumah, jika di halaman rumah terparkir mobil belum tentu itu adalah mobil
dari pemilik rumah, bisa saja itu mobil milik tamu, karena ada kejelasan perbedaan
antara mobil dan rumah.
b. Milkiyatun sya-i’ah, yaitu adanya pembagian dari keseluruhan, adanya pembagian,
contohnya dalam hal investasi seriap investor memiliki bagiannya tersendiri di
perusahaan, maka kepemilikan perusahaan tersebut dibagi-bagi.
Dari Segi Shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki) milik dibagi menjadi dua bagian
yaitu :
1) Milk al mutamayyiz
‫ما تعلق بشئ متعيد ذي حدود تفصله من سواه‬
“Sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan-batasan yang
dapat memisahkanya dari yang lain”.
Misalnya : antara sebuah mobil dan seekor kerbau.
2) Milik al sya’I atau milik al musya yaitu :
‫الملك المتعلق بجزء نسبي غير معيذ من مجموع الشبئ مهما كان ذلك الجزء كبيرا او صغيرا‬
“Milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, betapa
besar/betapa kecilnya kumpulan itu”.
Misalnya memiliki seekor sapi yang dibeli oleh 40 orang, untuk disembelih dan dibagikan
dagingnya.

15
1. Sebab-Sebab dan Cara –Cara Mendapatkan Hak Milik.
Dari uraian diatas, telah dijelaskan adanya hak milik yang sempurna dan tidak sempurna.
Berikut adalah cara dan sebab untuk memperoleh hak milik tersebut : 13
A. Hak milik sempurna.
1) menguasai benda-benda mubah, adalah benda atau harta yang tidak masuk ke
dalam kepemilikan orang tertentu, dan tidak ada penghalang untuk usaha
kepemilikannya, seperti air disumbernya, kayu bakar dan pohon di hutan yang legal
di ambil.
2) Akad atau transaksi seperti jual beli, hibah, wasiat dan lainnya merupakan sumber
timbulnya hak milik yang penting dan yang paling banyak terjadi di kalangan
masyarakat. Akad-akad ini jenisnya sangat banyak dan selalu berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Hanya saja perlu di perhatikan bahwa penyebab
timbulnya hak milik dengan jalan akad ini hanya berlaku untuk benda-benda yang
sudah di milik oleh seorang muslim, yang di sebut dengan ma’l mutaqawwim. 14
3) Khilafah di sini adalah penggantian oleh seseorang terhadap orang lain dalam
kedudukannya sebagai pemilik atas suatu benda atau harta, atau penempetan
sesuatu yang lain.15
4) Syuf’ah oleh sebagian fuqaha di anggap sebagai salah satu sebab atau cara untuk
memperoleh hak milik yang sempurna. Namun yang jelas kepemilikan dalam syuf’ah
bukan atas dasarikhtiari atau kesukarelaan, melainkan dengan cara paksa.16
B. Hak milik tidak sempurna
Dari uraian sebelumnya telh di kemukakan bahwa hak milik tidak sempurna ada tiga
macam. Milk al-‘ain / ar-raqabah di peroleh dengan sebab warisan atau wasiat. Milk al-
manfaat asy-syakhshi / haq intifa’ di peroleh dengan cara ia’rah (pinjaman), ija’rah
(sewa menyewa), wakaf dan wasiat. Sedangkan milk al-manfaat al-aini / haq irtifa’q di
peroleh dengan cara pertama, berserikat (bersekutu) dalam sarana-sarana umum,

13
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010) hal.92-93
14 .
Ibid., 101
15 .
Ibid., 102
16 .
Ibid

16
seperti memanfaatkan jalan-jalan umum, sungai dan sarana umum lainnya. Kedua,
disyaratkan dalam akad (perjanjian). Ketiga, warisan yang turun temurun.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain :


2. Ikraj al muhabat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki seseorang) atau harta yang tidak
termasuk dalam harta yang dihormati (milik yang sah) dan tidak ada penghalang syara’
untuk dimiliki. Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlulkan dua syarat yaitu:
a) Benda mubahat belum diikrazkan oleh orang lain
b) Adanya niat (maksud) memiliki

3. Khalafiyah ialah:
‫حلول شخص او شئ جديد محل قديم زائل فى الحقوق‬
“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama,
yang telah hilang berbagai macam haknya”.
Khalafiyah ada dua macam :
a) Khalafiyah syakhsyi ‘an syakhsyi yaitu si waris menempati tempat si muwaris
dalam memiliki harta-harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Harta yang
ditinggalkan oleh muwaris disebut firkah.
b) Khalafiyah syai’an syai’an yaitu apabila seseorng merugikan milik orang lain atau
menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditanganya atau hilang. Maka
wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian. Kerugian pemilik harta.
4. Tawallud mim mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang dimiliki hak bagi yang
memiliki benda tersebut.
5. Karena penguasa terhadap milik Negara atas pribadi yang sudah lebih dari 3 tahun di ruang
lingkup hak dalam islam. Milik yang di bahas dalam fiqih muamalah secara garis besar dapat
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu sebagai berikut :
1) Milk tam yaitu suatu kepemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus,
artinya bentuk benda dan kegunaanya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa
diperoleh dengan banyak cara misalnya jual beli. Menurut Wahbah Zuhaili hak

17
milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat sesuatu (bendanya) dan
manfaatnya bersama-sama sehingga dengan demikian semua hak-hak yang di
akui oleh syara’ tetap ada di tangan pemilik. Sedangkan menurut Abu Zahra hak
milik yang sempurna adalah suatu hak milik yang mengenai zat barang dan
manfaatnya.17
2) Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda
tersebut. Memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki manfaatnya
saja tanpa memiliki zatnya. Hak milik yang tidak sempurna(al milk an Na’qish)
Wahbah Zuhaili memberikan definisi al milk an-Na’qish yaitu memiliki bendanya
miliki manfaatnya saja. Sedangkan menurut Yusuf Musa, hak milik tidak
sempurna adalah memiliki manfaatnya saja, karena barangnya milik orang lain,
atau memiliki barangnya tanpa manfaat. 18
Milk naqishah yang berupa penguasaan terhadap zat barang (benda) disebut milk raqabah.
Sedangkan milk naqish yang berupa penguasaan terhadap kegunaanya saja disebut milk
manfaat/hak guna pakai.

6. Hak Ibtikar
A. Pengertian Hak Ibtikar
Hak cipta dalam khazanah Islam Kontemporer dikenal dengan istilah (Haq al-
Ibitkar). Kata ini terdiri dua rangkaian kata yaitu ladaz “Haq” dan “al-Ibtikar”. Diantara
pengertian dari “Haq” adalah kekhususan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok
orang atau sesuatu karya cipta yang baru diciptakan (al-Ibtikar).
Kata (Ibtikar) secara etimologi berasal dari bahasa Arab dalam bentuk isim
masdar. Kata kerja bentuk lampau (Fi’il Madhi) dari kata ini adalah (Ibtikara) yang
berarti menciptakan. Jika dikatakan (Ibtikara Asy-Syai’a) berarti ia telah menciptakan
sesuatu.19

17 .
Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al Fikr al Muashir, 2005),hal.58
18 .
Ibid., 59.
19 .
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
hal. 101.

18
Sedangkan menurut terminologi Haq al-Ibtikar adalah “hak istimewa atas suatu
ciptaan yang pertama kali diciptakan”. Fathi Ad-Dhuraini mendefinisikannya dengan
gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan atau terpelajar dan semisalnya
melalui pemikiran dan analisisnya, hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama
dan belum ada seorang ilmuan pun yang mengemukakan sebelumnya.20
Definisi ini menjadi rujukan dalam pembahasan tentang hak cipta, yaitu: “Hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Kemudian juga bahwa hak cipta sangat terkait sekali dengan hak milik yang
dimana hak milik dalam bahasa Arab disebut dengan “Al-Milku” diartikan sebagai sifat
penggabungan kekayaan oleh manusia lalu menjadikannya eksklusif bagi dirinya sendiri.
Banyak sekali definisi-definisi milik yang disebutkan ulama-ulama fiqh, tetapi dari sekian
banyak definisi itu pada dasarnya memiliki substansi yang hampir sama. Salah satunya
adalah Wahbah Zuhaili (Lahir 1351 H/1932 M, Syiria) memilih satu definisi yang paling
tepat yaitu: Milik adalah keistimewaan (astishash) terhadap sesuatu yang menghalangi
orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharuf secara langsung kecuali
ada halangan syar’i".21
B. Sifat ibtikar dari segi Fiqh
Ibtikar hanyalah merupakan suatu gambaran pemikiran dan gambaran ini akan
berpengaruh luas apabila telah di paparkan atau di tuliskan di atas suatu media.
Misalnya, buah pikiran ilmuwan sebagai ibtikar sebenarnya hanyalah sebuah gambaran
pemikiran yang belum berwujud material. Akan tetapi, apabila pemikiran ini telah di
tuangkan dalam sebuah buku, maka buah pikiran itu akan berpengaruh luas, baik dari
segi material maupun pemikiran.

20 .
Fathi Ad-Duraini, Buhust Muqaraah fi al-Fiqh al-islami wa Ushuluh. (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1414
H/1994 M). cet. I, jilid II, hal. 9.
21 .
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, sebagaimana dikutip oleh Ghufran A. Mas’adi, M. Ag,
Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h. 54-55.

19
Akan tetapi ulama fiqh membedakan antara hasil pemikiran seseorang dengan
hasil atau manfaat suatu benda dari dua sisi, yaitu :
a. Dari segi jenisnya, manfaat suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak,
seperti manfaat rumah, lahan, buah-buahan dan kendaraan.
b. Dari segi pengaruhnya, manfaat dari benda-benda material, menurut ‘Izz al-Din
ibn Abd al-salam, pakar fiqh Syafi’I, merupakan tujuan utama dari suatu benda
dan manfaat inilah yang di jadikan tolak ukur dari suatu benda. Akan tetapi,
pengaruh dari suatu pemikiran lebih besar di bandingkan manfaat suatu benda,
karena pemikiran yang di tuangkan dalam sebuah buku akan membawa
pengaruh besar terhadap kehidupan manusia dan menunjukan jalan bagi umat
manusia untuk menggali sumber daya alam untuk menunjang kehidupan
manusia itu.22
C. Hak Kepemilikan dalam ibtikar.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa hak kepemilikan mubtakir (pemikir
dan pencipta suatu kreasi) terhadap hail pemikiran dan ciptaannya adalah hak milik
yang bersifat material. Oleh sebab itu, hak ibtikar apabila di kaitkan dengan tabi’at mal
(harta) dapat di transaksikan, dapat di warisi jika pemiliknya meninggal dunia, dan dapat
di jadikan wasiat jika sesorang ingin berwasiat.
Akan tetapi imam al-Qarafi, pakar fiqh Maliki, berpendapat bahwa sekalipun hak
ibtikar itu merupakan hak bagi pemiliknya, tetapi hak ini tidak dapat bersifat harta,
bahkan tidak terkait sama sekali dengan harta.
D. Hak Pengarang / Pemikir Terhadap Penerbit
Jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa hak ibtikar itu baru bernilai harta setelah
di tuangkan ke dalam suatu media, seperti buku dan di sebarluaskan. Dalam kaitan ini,
mereka berpendapat bahwa ada beberapa hukum yang terkait antara hubungan
pengarang dengan pihak pencetak/penerbit. Di antara hukum-hukum itu adalah :
a) Pemikir itu berhak mengetahui seberapa banyak buku hasil pemikirannya
itu di cetak, sekalipun kesepakatan pemilik hak cipta dan kreasi itu

22 .
Dr. H. Nasrun Haroen, MA, op.cit. hal.39-40

20
dengan penerbit menyatakan bahwa hasil ciptaan itu di beli sepenuhnya
oleh penerbit.
b) Apabila hasil pemikiran itu telah di bukukan, maka orang lain yang
membaca buku itu berhak untuk mengutip beberapa pemikiran yang ada
dalam buku itu.
c) Pihak pengarang berhak mendapatkan imbalan material yang seimbang
dengan jumlah buku yang di cetak, apabila perjanjian pengarang dengan
penerbit bersifat royalti.
d) Perlu adanya kesepakatan antara pengarang dengan penerbit tentang
lamanya hak royalty yang harus di terima pengarang atau ahli warisnya
apabila pengarang itu wafat nantinya, karena jika pemilik hak cipta
meninggal dunia, maka hak royalty berpindah menjadi milik ahli waris
pmilik hak cipta.
e) Apabila pencetakan buku itu di lakukan sendiri dan atas biaya sendiri oleh
pengarangnya, maka pihak penerbit hanya boleh memasarkan jumlah
buku sesuai dengan kesepakatan pengarang dan penerbit.23
E. Campur Tangan Pemerintah dalam Hak Ibtikar.
Para ulama fiqh kontemporer, seperti Mustafa Ahmad az-Zarqa’, guru besar fiqh di
Universitas ‘Amman, Jordania, Muhammad Abu Zahra dan Syaikh Ali al-Khafif, keduanya
guru besar fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan bahwa mengingat soal hak
cipta/kreasi ini landasannya adalah urf dan al-maslahah al-mursalah, maka pihak
pemerintah boleh dan bahkan di haruskan mengatur permasalahan hak cipta ini dalam
sebuah undang-undang. Peranan penting pemerintah ini, menurut mereka, adalah dalam
menentukan segala persyaratan, bentuk perjanjian, dan jangka waktu berlakunya
perjanjian. Oleh sebab itu, hak cipta itu harus di atur oleh pemerintah dalam suatu undang-
undang, dengan mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah pihak; selama tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syari’at Islam.

23 .
Ibid, hal.41-44

21
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan makalah di atas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai


berikut :

1. Definisi ini di kemukakan jumhur ulama, selain ulama Hanafiyah. Dalam kandungan
kedua definisi harta di atas, terdapat perbedaan esensi harta yang dikemukakan jumhur
ulama dengan ulama Hanafiyah. Menurut jumhur ulama, harta itu tidak bersifat materi,
melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Akan tetapi, ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa yang di maksud dengan harta itu hanya yang bersifat materi.
Sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian milik.
2. Menurut fuqaha harta dapat di tinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa
bagian, tiap- tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian harta
ini sebagai berikut :
a) Di lihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’,harta di bagi
kepada Mal Mutaqawwim ( halal di manfaatkan) dan Ghairu Mutaqawwim
(harta yang tidak halal di manfaatkan).
b) Di lihat dari segi jenisnya, harta terbagi atas mal al-‘uqur (harta tidak bergerak
atau harta tetap) dan mal gairul-‘uqar( harta bergerak atau harta tidak tetap).
c) Di lihat dari segi pemanfaatannya, harta terbagi atas harta al-isti’mali dan harta
al-istihlaki.
d) Di lihat dari segi ada atau tidaknya harta sejenis di pasaran, harta di bedakan
menjadi mal-misliy dan mal-qimiy.
e) Di lihat dari status harta, harta di bedakan menjadi mal mamluk, mal mahjur dan
mal mubah.
f) Harta di lihat dari segi boleh di bagi atau tidak, oleh para ulama fiqih di bagi
menjadi harta yang boleh di bagi dan harta yang tidak boleh di bagi.
g) Di lihat dari segi berkembangnya atau tidak harta itu. Maka para ulama fiqih
membaginya menjadi al-ashl (asal) dan ats-tsamar (buah atau hasil).

22
h) Pembagian lain yang di kemukakan para ulama fiqih tentang harta adalah dari
segi pemiliknya. Harta di bedakan menjadi malul khas (harta pribadi) dan malul
‘amm (harta masyarakat umum).
3. Hak menurut pengertian umum adalah : “ Sesuatu ketentuan yang digunakan oleh syara’
untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum “. Hak juga bisa berarti milik,
ketetapan, dan kepastian.
4. Pembagian hak, maka jumlah dan macamnya banyak sekali, antara lain dalam pengertian
umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan hak ghair mal.
5. Dalam Fiqh Muamalah, milik terbagi dua : Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi
benda dan manfaatnya sekaligus, artinya baik benda dan kegunaannya dapat dikuasai.
Pemilikan tam bisa diperoleh salah satunya melalui jual beli. Dan Milk naqishah, yaitu
bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, yaitu memiliki benda
tanpa memiliki manfaatnya yang disebut raqabah atau memiliki manfaatnya saja tanpa
memiliki bendanya yang disebut milik manfaat atau hak guna pakai dengan cara i’arah,
wakaf, dan washiyah.
6. Haq al-Ibtikar adalah “hak istimewa atas suatu ciptaan yang pertama kali diciptakan”. Fathi
Ad-Dhuraini mendefinisikannya dengan gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang
ilmuan atau terpelajar dan semisalnya melalui pemikiran dan analisisnya, hasilnya
merupakan penemuan atau kreasi pertama dan belum ada seorang ilmuan pun yang
mengemukakan sebelumnya.
7. Ibtikar hanyalah merupakan suatu gambaran pemikiran dan gambaran ini akan
berpengaruh luas apabila telah di paparkan atau di tuliskan di atas suatu media. Misalnya,
buah pikiran ilmuwan sebagai ibtikar sebenarnya hanyalah sebuah gambaran pemikiran
yang belum berwujud material.
8. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa hak kepemilikan mubtakir (pemikir dan
pencipta suatu kreasi) terhadap hail pemikiran dan ciptaannya adalah hak milik yang
bersifat material. Akan tetapi imam al-Qarafi, pakar fiqh Maliki, berpendapat bahwa
sekalipun hak ibtikar itu merupakan hak bagi pemiliknya, tetapi hak ini tidak dapat bersifat
harta, bahkan tidak terkait sama sekali dengan harta.

23
9. Campur Tangan Pemerintah dalam Hak Ibtikar. Para ulama fiqh kontemporer, seperti
Mustafa Ahmad az-Zarqa’, guru besar fiqh di Universitas ‘Amman, Jordania, Muhammad
Abu Zahra dan Syaikh Ali al-Khafif, keduanya guru besar fiqh di Universitas al-Azhar,
Mesir, menyatakan bahwa mengingat soal hak cipta/kreasi ini landasannya adalah urf
dan al-maslahah al-mursalah, maka pihak pemerintah boleh dan bahkan di haruskan
mengatur permasalahan hak cipta ini dalam sebuah undang-undang.

24
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ghufon A, Mas’adi, M.Ag, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet-1 , Jakarta:


Pt.RajaGrafindo Persada, 2002.

Drs. H.Nasrun Haroen,MA, Fiqh Muamalah,cet 1 , Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000.

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, sebagaimana dikutip oleh Ghufran A.


Mas’adi, M. Ag, Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.

Fathi Ad-Duraini, Buhust Muqaraah fi al-Fiqh al-islami wa Ushuluh. cet. I, jilid II, Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1414 H/1994 M.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.

Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al Fikr al Muashir, 2005.

httpblog.umy.ac.idrodes2008ringkasan-materi-fiqih-muamalah.

Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah,Fikih Muamalah. Bogor : Ghalia Indonesia,2011.

A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka


Progressif, 1997.

Abdul Rahman Ghazaly dan Ghufron Ihsan, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.

25

Anda mungkin juga menyukai