Anda di halaman 1dari 8

HARTA DAN HAK MILIK DALAM ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

Harta merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Islam memandang harta
sebagai suatu keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki serta memanfaatkan harta
guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Karena itulah,
Allah SWT menyerukan kepada manusia untuk memanfaatkannya bagi kehidupan manusia
serta melarang beerbuat sesuatu yang meniadakan harta tersebut.

Pada pembahasan makalah ini, akan menjelaskan tentang definisi harta itu sendiri
menurut istilah serta menurut pendapat para ulama fuqaha’,kemudian menjelaskan tentang
perbedaan pendapat mengenai konsep harta di kalangan ulama, selanjutnya menjelaskan
mengenai unsur – unsur harta dilanjut dengan pembagian jenis harta dan ditutup dengan
penjelasan mengenai fungsi harta itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Harta

Secara bahasa Arab, harta disebut sebagai al-maal, akar kata dari lafadz ً‫ َما َل – يَ ِمي ُل – َمئال‬,
yang berarti condong, cenderung dan miring. Menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz
Abadi, adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Di dalam Al
Quran, kata al mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat
dalam 38 surat. Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang
digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi). 1

Menurut syari’at, harta adalah segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki, dikuasai serta
dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Adapun menurut ulama madzab memiliki
definisinya masing masing, antara lain sebagai berikut :

 Menurut Ulama’ Syafi'iyyah, harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan
manfaat, baik berwujud maupun tidak berwujud
1
Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van Hoeve,tt)
 Menurut Ulama Malikiyyah menyatakan bahwa harta adalah segala sesuatu yang dapat
diambil manfaatnya.
 Menurut Ulama Hanbaliyyah mengatakan bahwa harta adalah segala sesuatu yang
memiliki nilai dan dapat memberikan manfaat atau keuntungan bagi pemiliknya
 Menurut ulama’ Hanafiyyah, harta adalah segala sesuatu yang digandrungi oleh manusia
yang dapat disimpan dan dipelihara serta dapat digunakan ketika dibutuhkan.

Menurut pendapat jumhur ulama’(selain Hanafiyyah), harta adalah segala sesuatu yang
mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusaknya atau
melenyapkannya.

B. Perbedaan Konsep Harta dan Hak Milik di Kalangan Ulama Fuqaha’

Menyinggung tentang pendapat para Ulama Hanafiyyah mengenai perbedaan


mendefiniskan harta dengan kalangan Ulama Fuqaha’lainnya. Menurut Jumhur Ulama, Harta
dan hak milik merupakan dua hal yang sama. Berbeda dengan Hanafiyyah, Menurutnya,
harta serta hak milik memiliki pengertian yang berbeda2. Hak milik adalah sesuatu yang
dapat digunakan secara khusus dan tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sedangkan harta
adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, serta dalam
penggunannya dapat dicampuri orang lain. Menurut Hanafiyyah harta yang dimaksud sesuatu
yang berwujud (a’yan). Tiga mahzab lainnya juga memberikan pendapatnya terkait
pengertiannya tentang hak milik, sebagai berikut :

a. Mażhab Mālikī : mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang
melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua,
sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ‘urf (adat).
b. Mażhab Syafi’ī : mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah
sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai harta.
c. Mazhab Hambali : mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yang
mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.

Dari pendapat di atas, setidaknya ada empat hal yang ada dalam harta/hak milik: 1)
Sesuatu yang dapat diambil manfaat; 2) Sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; 3)Sesuatu
yang secara ‘urf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik; 4) Adanya perlindungan undang-
undang yang mengaturnya.

2
Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam,(Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 14
Pendapat di atas, juga menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mengenai esensi harta.
Oleh jumhur ulama dikatakan, bahwa harta tidak saja bersifat materi, tetapi juga termasuk
manfaat dari suatu benda, karena yang dimaksud adalah manfaat, bukan zatnya (bendanya).
Menurut Hanafiyah bahwa harta harus dapat disimpan, maka sesuatu yang tidak dapat
disimpan tidak dapat disebut harta, maka manfaat menurut Hanafiyah tidak termasuk harta,
tetapi manfaat termasuk milik.

C. Unsur – Unsur Harta

Menurut para fuqaha’, harta bersendiri pada dua unsur, yakni unsur ‘ainiyah dan unsur
‘urf, Unsur‘ainiyah adalah “bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan), maka
manfaat seluruh rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi masuk milik atau
hak.”3 Unsur ‘urf adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau
sebagian manusia, dapat diberi atau tidak diberi. Maka sesuatu yang tidak berlaku demikian,
tidak dipandang harta walaupun benda, seperti manusia yang merdeka, sepotong roti dan
secupak tanah. Maka manusia itu walaupun merupakan suatu benda, suatu tubuh, namun
tidak bisa dikatakan harta.4

D. Jenis – Jenis Harta

Menurut fuqaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi dan terdiri dari beberapa
bagian,tiap-tiap bagian memiliki ciri-ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis
harta ini adalah sebagai berikut:

1. Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim

a. Harta Mutaqawwim

Setiap yang digenggam secara nyata dan diperbolehkan oleh Syara’ untuk
memanfaatkannya5. Harta yang termasuk mutaqawwim ini adalah semua harta yang baik
jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya.

b. Harta Ghair Mutaqawwim

3
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh..., hlm. 154
4
Ibid
5
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 4, (ter. Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk.),(Jakarta:
Gema Insani, 2011), h. 394.
Setiap sesuatu yang belum digenggam secara nyata,atau sesuatu yang tidak dibolehkan
menurut Syarak untuk memanfaatnya kecuali dalam kondisi terpaksa 6. Contoh pertama
adalah ikan di dalam air dan burung di udara, contoh kedua adalah arak dan babi untuk
seorang Muslim.

2. Harta Mitsli dan harta Qimi

a. Harta Mitsli : Benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-


kesatuannya,dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditempat yang lain,tanpa ada perbedaan
yang perlu dinilai.

b. Harta Qimi : Benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya,karenanya tidak


dapat berdiri sebagian ditempat sebagian yang lainya tanpa ada perbedaan.

Dengan perkataan lain, harta yang ada imbangan (persamaan) disebut mitsli dan harta
yang tidak ada imbangan (persamaan) secara tepat disebut qimi.
3. Harta Istihlak dan Isti’mal

a. Harta Istihlak

Harta yang tidak mungkin dinikmati manfaatnya kecuali dengan menghabiskan zatnya7.
Harta ini terbagi dua:

1. Harta istihlak haqiqi,yaitu suatu benda yang menjadi harta yang jelas (nyata) apabila
zatnya habis sekali digunakan. Contohnya minyak tanah,kayu bakar dan sebagainya.
2. Harta istihlak huquqi, yaitu harta yang sudah habis nilainya apabila telah
digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Contohnya uang, perak dan sebagainya.

b. Harta Isti’mal

6
Ibid.
7
Ibid., h. 402.
Suatu harta yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap ada dan terpelihara8.
Contohnya buku, pakaian dan lain-lain. Perbedaan dua jenis harta ini,harta istihlak habis satu
kali digunakan sedangkan harta isti’mal tidak habis dalam satu kali pemanfaatanya.
4. Harta Manqul dan Mal Ghairu al-Manqul

a. Harta Manqul

Suatu harta yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, baik tetap dalam
kondisi semula maupun bentuk dan kondisinya berubah akibat dipindahkan 9.

b. Harta Mal Ghairu al-Manqul

Suatu harta yang tetap dan tidak mungkin dipindahkan sama sekali dari satu tempat ke
tempat yang lain.Seperti rumah dan tanah 10.

5. Harta A’in dan Nafi’i

 Harta A’in : Harta yang yang berbentuk


 Harta Nafi’i : Harta yang tidak terbentuk

6. Harta Dayn ( Harta yang menjadi tanggung jawab, ex : uang titipan orang lain )

7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur

 Harta mamluk : harta yang statusnya memiliki kepemilikan baik individu, umum atau
negara
 Harta Mubah : Hukum harta yang pada dasarnya yaitu tidak ada yang memiliki
 Harta Mahjur : Harta yang tidak boleh dimiliki oleh pribadi

8. Harta Khas dan Harta ‘Am

8
Ibid.
9
Ibid., h. 396. 10 Ibid.
 Harta Khas :  harta milik individu yang tidak boleh diambil manfaatnya jika tidak
direstui pemiliknya.
 Harta ‘Am : harta milik umum yang dibebaskan dalam mengambil manfaatnya.

E. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia,
baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha
untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang
dilarang syara’ dan urge urge, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti
orang yang memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk
kesenangna semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang
yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal
yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan syara’,
antara lain untuk:
a. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup
aurat.
b. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT,
sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
c. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah.10
d. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:

Artinya : “tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik
daripada makanan yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi
Allah, Daud, telah makan dari hasil keringatnya sendiri” (HR. Bukhari dari
Miqdam bin Madi Kariba)

Dalam hadist lain dinyatakan :

10
QS. An-Nisaa’:9
Artinya : “ bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah
dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan
dunia, melainkan seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat
menyampaikan manusia kepada masalah akhirat” (HR. Bukhari)
e. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu (Syair ‘Alala baris kedua)
f. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang
memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
g. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
h. Untuk menumbuhkan silaturrahim.11

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kedudukan harta dalam Alquran dan hadis sangat jelas. Yaitu milik Allah SWT yang
diamanahkan kepada manusia, titipan, alat, dan perhiasan, serta ujian bagi manusia.
Implikasinya adalah bahwa manusia dituntut untuk selalu mempergunakan harta itu sesuai
dengan tuntunan dan petunjuk pemiliknya yaitu Allah SWT. Dalam kehidupan manusia, harta
dapat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pribadi pemilik harta dan juga berfungsi
memenuhi kebutuhan sosial.

Alquran dan hadist juga memberikan tuntunan tentang cara-cara memperoleh harta dan
mengelola serta membelanjakannya. Memperoleh harta dapat dilakukan dengan cara seperti
menguasai benda-benda mubah yang belum dikuasai manusia, perjanjian/ transaksi
perpindahan hak milik, melalui warisan, hak syuf’ah, hak-hak seseorang yang diatur oleh
agama. Adapun cara mengelola dan membelanjakannya adalah menentukan prioritas
kebutuhan, berdasarkan prinsip halalan tayyiban, menghindari boros dan tabzir,
memperhatikan prinsip kesederhanaan, ada alokasi sosial, dan untuk alokasi masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 29
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga.

Hasan, M. Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 2001 Pengantar Fiqh Muamalah.


Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Suhendi, Hendi.2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Abdullah al-Mushlih, Shalah Ash-Shawi, 2004. Fikih Ekonomi keuangan Islam, 

Jakarta : Darul Haq.

Abady, Fairuz. 1998 M/1418 H. Al-Qamus Al-Muhith. Beirut: Muasasah ArRisalah.


A. Mas'adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai