1. Pengertian Harta
Secara etimologi, al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong,
cenderung, dan miring atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-
mal segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik
dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat. Untuk pengertian al-mal
secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh para ulama fiqh
tentang al-mal (harta), yaitu :
3. Pembagian Harta
Para ulama fiqh membagi harta dari berbagai jenis, dengan tiap-tiap
bagiannya memiliki ciri dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini
sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta
dibagi kepada mutaqawwin dan ghair mutaqawwin.
a. Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh dimanfaatkan
menurut syara’. Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat Islam,
tetapi kerbau tersebut jika disembelih dengan tidak sah menurut
syara’, misalnya dipukul, maka daging kerbau tidak bisa
dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal menurut
syara’.
b. Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh
dimanfaatkan menurut ketentuan syara’. Baik jenisnya, cara
memperolehnya maupun cara penggunaannya. Misalnya babi
karena jenisnya, sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri, dan
uang disumbangkan untuk membuat bangunan tempat maksiat.
2. Dilihat dari segi jenisnya, yaitu harta manqul dan harta ghair manqul
a. Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan
(bergerak) dari satu tempat ke tempat lain. Seperti barang
dagangan (buah-buahan, sayur-sayuran, pulpen, buku, dan
pakaian), emas, perak, dan lain sebagainya.
b. Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan
dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti tanah dan
rumah.
3. Dilihat dari segi pemanfaatannya, harta terbagi atas harta al-isti’mali
dan harta al-istihlaki.
a. Harta al-isti’mali adalah harta yang apabila digunakan atau
dimanfaatkan benda itu tetap utuh, sekalipun manfaatnya sudah
banyak digunakan. Sebagai contoh adalah lahan pertanian, rumah,
dan buku.
b. Harta al-istihlaki adalah harta yang apabila dimanfaatkan
berakibat kepada menghabiskan harta itu. Contohnya adalah
sabun dan makanan.
4. Dilihat dari ada atau tidaknya harta sejenis di pasaran, yaitu harta
mitsli dan harta qimi
a. Harta mitsli adalah harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara
persis), yang ditimbang atau ditakar seperti beras
b. Harta qimi adalah harta yang sulit didapatkan di pasar, bisa
diperoleh, tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
5. Dilihat dari status harta, para ulama fiqh membaginya kepada al-mal
al-mamluk, al-mal al-mubah, dan al-mal al-mahjur.
a. al-mal al-mamluk ialah harta-harta yang telah dimiliki, baik
pemiliknya itu pribadi maupun badan hukum, seperti Negara dan
organisasi kemasyarakatan. al-mal al-mamluk terbagi ke dua
bentuk, yaitu harta milik pibadi dan milik bersama (serikat).
b. al-mal al-mubah ialah harta yang tidak miliki seseorang, seperti
air pada mata air, binatang burun dan pohon-pohon di hutan
c. al-mal al-mahjur adalah harta yang ada larangan syara’ untuk
memilikinya, baik karena harta itu dijadikan harta wakaf maupun
diperuntukkan bagi kepentingan umum. Dengan kata lain, tidak
boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tertentu. Contonya
jalan raya, masjid-masjid, maupun kuburan-kuburan.
6. Harta yang dapat dibagi dan harta yang tidak dapat dibagi
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang
tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta
itu dibagi-bagi, misalnya gandum.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah
harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila
harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja dan yang
lainnya.
7. Harta pokok dan harta hasil
a. Harta pokok atau dengan kata lain al-ashl bermakna yang
menghasilkan, seperti binatang dan pepohonan.
b. Harta hasil, seperti susu kambing dan buah-buahan.
8. Harta ‘ain dan harta dayn
a. Harta ‘ain adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah,
pakaian, dan yang lainnya. Harta ‘ain dibagi menjadi 2, yaitu :
‘ain dzati qimah yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai
harta karena memiliki nilai. Dan ‘ain ghayr dzati qimah yaitu
benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak
memiliki harga, misalnya sebutir beras.
b. Harta dayn ialah sesuatu yang berada dalam tanggungjawab,
sperti uang.
9. Pembagian lain yang dikemukakan para ulama fiqh tentang harta
adalah dari segi pemiliknya. Ada harta milik pribadi yang pemiliknya
bebas memanfaatkan harta itu selama tidak merugikan orang lain. Dan
ada harta milik masyarakat umum yang pemanfaatannya untuk semua
orang. Harta milik bersama bisa berubah status menjadi milik pribadi
apabila telah diambil dan dipelihara dengan baik oleh seseorang.
Sebaliknya harta milik pribadi juga bisa berubah status menjadi milik
bersama melalui,
a. Kehendak sendiri dari pemiliknya, contohnya wakaf
b. Kehendak syara’, seperti untuk keperluan umat yang mendesak
untuk membuat jalan umum diatas tanah milik pribadi. Dalam hal
ini pihak penguasa boleh mempergunakan tanah pribadi untuk
kepentingan umum.
4. Fungsi Harta
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaatnya.
Fungsi harta amat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun
kegunaan dalam hal yang jelek. Di antara sekian banyak fungsi harta antara
lain sebagai berikut :
1. Menyempurnakan pelaksaan ibadah yang khas, sebab untuk ibadah
diperlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan
ibadah, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibah
dan yang lainnya.
2. Meningkatkan keimanan kepada Allah, sebab kefakiran cenderung
mendekatkan diri kepada kekufuran.
3. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya
4. Untuk menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
5. Mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu karena menuntut ilmu tanpa
modal terasa sulit,
6. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan, yakni adanya pembantu
dan tuan. Adanya yang kaya dan tidak mampu yang saling membutuhkan
sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan
7. Menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan.
2. Sedekah
Secara etimologi, sedekah berasal dari bahasa arab Ash-shadaqah.
Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan dengan pemberian yang
disunnahkan. Tetapi setelah kewajiban zakat disyari’atkan yang di dalam al-
Qur’an disebut juga dengan sedekah, maka istilah sedekah mempunyai dua
pengertian, yaitu sedekah sunnat dan sedekah wajib(zakat).
Secara terminologi, sedekah diartikan sebagai pemberian seseorang,
secara ikhlas, kepada yang berhak menerimanya. Berdasarkan pengertian ini,
maka infaq (pemberian[sumbangan]) harta untuk kebaikan termasuk ke dalam
kategori sedekah.
Dasar hukum sedekah
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sedekah merupakan salah
satu perbuatan yang disyari’atkan dan hukumnya adalah Sunnah .
Kesepakatan mereka itu didasarkan kepada ayat al-qur’an dan Sunnah Nabi
SAW.
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
ia pengguhan sampai ia berkelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Qs. Al-
baqarah :280)
Sabda Rasulullah:
“Bersedekahlah walaupun dengan sebutir kurma, karena hal itu dapat
menutup dari kelaparan dan dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air
memadamkan api”. (HR. ibn al-mubarak)
Berdasarkan ayat dan hadist diatas, disamping ayat-ayat dan hadist
lainnya, para ulama fiqh menetapkan bahwa sedekah itu hukumnya adalah
sunnah.
Bentuk-bentuk sedekah
Sedekah dalam konsep islam memiliki arti yang luas, tidak hanya
terbatas pada pemberian sesuatu yang bersifat materil kepada orang-orang
yang berhak menerimanya, melainkan lebh dari itu, sedekah mencakup semua
perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun non fisik.
1. Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang miskin
2. Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan.
3. Berlaku adil dalam mendamaikanorang yang bersengketa.
4. Membantu seseorang yang akan menaiki kendaraan yang akan
ditumpanginya.
5. Melangkahkan kaki dijalan Allah.
6. Membacakan/mengucapkan zikir kepada Allah, seperti tasbih, takbir,
tahmid, tahlil dan istighfar.
7. Menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada yang munkar.
8. Memberi senyuman kepada orang lain
9. Dan lain-lain
Secara bahasa (arab) modal atau harta disebut al-amal (mufrad tunggal), atau
al amwal (jamak). Adapun dalam istilah syar’i, harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang dimanfaatkan dalam perkara yang legal menurut hukum islam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, baik barang
maupun jasa, yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan di dunia adalah
merupakan harta. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar
keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi
kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta`awun (tolong-
menolong) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan
mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan
bagi orang lain dengan menjual barang. Islam memberikan konsep-konsep,
menciptakan struktur hukum dan menetapkan berbagai macam jenis usaha yang
berbeda-beda sehingga bisa dijadikan naungan bagi kalangan usahawan di
sepanjang perputaran masa.
Dalam kaitan dengan faktor produksi, Behesi menyatakan bahwa peran modal
dalam meningkatkan hasil produksi yakni ditandai dengan pemunculan nilai-nilai
tambahan baru. Nilai-nilai tambahan baru disini sudah barang tentu tidak semata
dalam arti kuantitatif dan meterialistis, namun yang paling penting adalah dalam
arti kualitatif. Apabila ditinjau dari perspekti ekonomi Islam nilai kualitatif ini
yang dimaksud adalah untuk memperoleh hasil berakah dan ridho Allah.
Pentingya modal dalam kehidupan manusia ditujukan dalam Al-Qur’an Ali
Imron ayat 14 yang artinya:
Mengapa dengan tanda panah itu menunjukkan hasil yang positif? Karena itu
mengikuti sistem jari-jari sebelah kanan kita, yang apabila kita tekuk ke empat
jari kita (jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking) akan bergerak
seolah mendekati kita. Dan sebaliknya, apabila diputar ke kanan, ke empat jari
kita akan bergerak seolah menjauhi kita. Hal itulah yang mendasari mengapa
arah ke kiri berarti menujukkan hasil yang positif, sedangkan arah ke kanan
berarti menunjukkan hasil yang negatif.
Maksud dari kurva di atas adalah modal yang kita miliki bisa menjadi positif
ketika
Maksud dari kurva di atas adalah modal yang kita miliki bisa menjadi negatif
ketika :
A. Kepemilikan
1. Pengertian dan dasar kepemilikan
Mikiyah menurut bahasa berasal dari kata milku artinya sesuatu yang
berada dalam kekuasaanya, sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu
harta atau barang yang secara hukum dapat dimilik oleh seseorang untuk
dimanfaatkan dan dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada
orang lain. Adapun menurut ulama fikih adalah kekhususan seorang pemilik
terhadap sesuatu untuk dimanfaatkan, selama tidak ada penghalang syar’i.
Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasanya dapat
melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dan
dapat dinikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak. Islam
mengajarkan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial. Artinya terdapat
kepentingan orang lain atau kepentingan umum yang harus diperhatikan.
Lebih dari itu bahwa milik pada hakikatnya hanyalah merupakan titipan dari
Allah sehingga perlakuan terhadap kepemilikan harus mengindahkan aturan
dari pemiliknya yang asli.
2. Sebab-Sebab Kepemilikan
Harta benda atau barang dan jasa dalam Islam harus jelas status
kepemilikannya, karena dalam kepemilikan itu terdapat hak-hak dan
kewajiban terhadap barang atau jasa, misalnya dalam waktu tertentu.
Kejelasan status kepemilikan dapat dilihat melalui sebab-sebab berikut:
Disebabkan ihrasul mubahat (memiliki benda yang boleh dimiliki)
Barang atau benda tidaklah benda yang menjadi hak orang lain dan
tidak ada larangan hukum agama untuk diambil sebagai milik. Misal:
ikan disungai, ikan dilaut, hewan buruan, burung-burung dialam bebas
air hujan dan lain-lainnya.
Disebabkan Al uqud , barang yang dimiliki karena melalui akad.
Misal: lewat jual beli, sewa-menyewa, pemberian dan lainnya.
Disebabkan khalafiyah, barang atau benda yang dimiliki karena
berupa warisan. Misal: mendapat bagian harta dari orang tua,
mendapat barang dari ahli waris dan lain-lainya
Disebabkan tawallud min mamluk (baranak pinak) yaitu tidak bisa
diganggu siapapun. Misal: telur dari ayam yang dimiliki, anak sapi
dari sapi yang dimiliki, dan lainnya.
3. Macam-Macam Kepemilikan
Menurut pandangan Islam bahwa hak milik itu dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, diantaranya:
Kepemilikan penuh (milk-tam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan
terhadap benda atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan
secara hukum.
Kepemilikan materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau
barang terbatas kepada penguasaan materinya saja.
Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda
atau barang terbatas kepada pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan
secara hukum untuk menguasai harta itu.
Hak milik pribadi (individu), Islam membolehkan hak individu terhadap harta
benda dan membenarkan pemelikan semua yang diperoleh secara halal
dimana seseorang mendapatkan sebanyak harta yang diperoleh. Menurut
pengetahuan, kemahiran, dan tenaga dengan menggunakan cara-cara yang
bermoral dan tidak anti sosial. Hak milik individu merupakan sesuatu yang
mendasar, bersifat permanen. Melekat pada eksistensi manusia dan bukan
merupakan fenomena sementara. Sedemikian Islam menghargai hak milik
individu, sampai-sampai harta mas kawin dalam pernikahan yang gagal
(dengan persyaratan tartentu) harus dikembalikan kepada yang punya.
Hak milik umum, Konsep hak milik umum mula-mula digunakan dalam Islam
dan tidak terdapat dalam masa sebelumnya. Semua harta dan kekayaan milik
masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai
macam benda yang berbeda-beda kepada warganya. Pembagian mengenai
harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu secara
keseluruhan berdasakan kepentingan umum.
Hak milik negara, Hak milik negara pada dasarnya adalah hak milik umum.
Tetapi dalam pengelolahan hak yang mengelola adalah pemerintah.
Contohnya: gedung sekolah negeri, gedung pemerintahan, hutan dan lainnya.
4. Ihrazul Mubahat dan Khalafiyah
Ihrazul mubahat adalah bolehnya seseorang memiliki harta yang tidak
bertuan (belum dimiliki oleh seseorang atau kelompok). Syarat Ihrazul
mubahat adalah sebagai berikut:
Benda atau harta yang ditemukan itu belum ada yang memiliki.
Benda atau harta yang ditemukan itu memang dimaksudkan untuk
dimilikinya. Contoh: burung yang menyasar dan masuk ke rumah. Khalafiyah
adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru ditempat yang lama
yang sudah tidak ada dalam berbagai macam hak.
Macam-macam Khalafiyah:
Khalafiyah Syakhsyun ‘an Syakhsin (seseorang terhadap seseorang) adalah
kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh pewarisnya, sebatas
memiliki harta bukan mewarisi hutang pewaris.
Khalafiyah Syai’un Sya’in (sesuatu terhadap sesuatu) adalah kewajiban
seseorang untuk mengganti harta/barang milik orang lain yang dipinjam
karena rusak atau hilang sesuai harga barang tersebut.
1. Ihyaul Mawat
Ihyaul Mawat adalah upaya untuk membuka lahan baru atas tanah yang
belum ada pemiliknya. Misalnya membuka hutan untuk lahan pertanian,
menghidupkan lahan tidur menjadi produktif yang berasal dari rawa-rawa
yang tidak produktif atau tanah tidur lainnya agar menjadi tanah produktif.
Menghidupkan lahan yang mati hukumnya boleh. Syarat membuka lahan
baru:
Tanah yang dibuka itu cukup hanya untuk keperluan saja, apabila
lebih orang lain boleh mengambil sisanya.
Adanya kesanggupan dan alat untuk meneruskannya, bukan semata-
mata sekedar untuk menguasai tanahnya saja.
2. Hikmah Kepemilikan
Ada beberapa hikmah disyariatkannya kepemilikan dalam Islam, antara
lain sebagai berikut:
Terciptanya rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat.
Terlindungnya hak-hak individu secara baik.
Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.
Timbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.
PENUTUP
Mikiyah menurut bahasa berasal dari kata milku artinya sesuatu yang berada
dalam kekuasaanya, sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu harta atau
barang yang secara hukum dapat dimilik oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan
dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada orang lain. Adapun menurut
ulama fikih adalah kekhususan seorang pemilik terhadap sesuatu untuk dimanfaatkan,
selama tidak ada penghalang syar’i. Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang
penguasanya dapat melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu
dan dan dapat dinikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak. Hikmah
Kepemilikan:
1. Terciptanya rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Terlindungnya hak-hak individu secara baik.
3. Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.
4. Timbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.
“Teori Akad 1”
-Khairul Umuri & Syahid Afgan H.-
A. PENGERTIAN AKAD
Akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu sedcara umum maupun secara khusus:
1. Pengertian Umum
Secara umum, pengertian akad dalam6 arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyah,
malikiyah, dan hanabilah, yaitu: Artinya : “ segala sesuatu yang dikerjakan
oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan , atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginanya dua orang seperti jua-beli, perwakilan, dan gadai.”
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara
lain:
Artinya : “perikatan yang ditetapkan ijab-qabul berdasarkan ketentuan
syara’ yang berdampak pada objeknya.” Contoh ijab adalah pernyataan
seorang penjual,”Saya telah menjual barang ini kepadamu “ atau “Saya
serahkan barang ini kepadamu”contoh qabul ,”Saya beli barangmu .” atau
“Saya terima barangmu.” Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu
perbuatanatau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad
diantara du orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan
yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak semua
bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad,
terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syariat Islam.
B. PENGERTIAN TASHARRUF
Istilah ini berasal dari dua kata: ahliyah dan tasharruf. Ahliyah artinya
kelayakan. Dalam fiqh, ahliyah yang ada pada diri seseorang dibagi dua:
1. RUKUN AKAD
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan Qabul.
Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang
terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Sedangkan Jumhur Ulama (Ulama selain Hanafiyah) berpendapat bahwa
akad memiliki tiga rukun, yaitu :
2. SYARAT AKAD
Ada berberapa macam syarat akad yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah,
syarat memberikan, dan syarat keharusan (luzum).
2) Menurut ulama syafi’iyah bahwa jual beli tidak sah kecuali dilakukan
dengan sighah yang berupa ucapan tertentu atau cara lain yang dapat
menggantikan ucapan,seperti jual beli dengan tulisan,utusan orang atau
dengan isyarat tunawicara yang dapat dimengerti (dipahami maksudnya).Ijab
qabul dengan tulisan(surat dianggap sah jika kedua belah pihak yang berakad
berada di tempat yang saling berjauhan satu sama lain atau pihak yang
berakad tidak dapat berbicara.Akan tetapi apabila penjual dan pembeli berada
dalam satu majelis akad dan tidak ada halangan untuk melakukan akad
dengan ucapan,maka akad tersebut tidak syah jika tidak dipenuhi dengan
syarat transaksi jual beli selain dengan kata-kata.
3) Menurut ulama Syafi’iyah dan hanabilah, syarat ijab qabul adalah adanya
kesinambungan antara keduanya dalam satu majlis akad tanpa adanya
pemisah yang merusak akad.
4) Menurut ulama malikiyah, keterpisahan antara ijab dan qabul tidak akan
merusak akad jual beli selama hal tersebut terjadi menurut kebiasaan.
5) Syarat lain yang harus dipenuhi dalam ijab qabul adalah adanya kesesuaian
antara ijab dengan qabul terhadap harga barang yang diperjualbelikan.
2. AQID (PENJUAL DAN PEMBELI)
Persyaratan yang harus dipenuhi penjual sama dengan persyaratan
yang harus dipenuhi pembeli.Syarat-syarat yang harus dipenuhi penjual
adalah sebagai berikut :
“Teori Akad 2”
-Miftahul Husna & Nur Padilah D-
A. Dampak Akad
1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan
suatu akad seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli,hibah,wakaf dan
lain-lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari
segi hukum maupun hasil.
B. Pembagian Akad
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu bisa dibagi jika dilihat dari
berbagai segi, diantara lain:
C. Berakhirnya Akad
Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila :
1. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang
waktu
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat
3. Dalam akad yang sifatnya mengikat, suatu akad bisa dianggap berakhir jika:
a. Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun
atau syaratnya tidak terpenuhi
b. Berlakunya khiyar syarat, khiyar aib atau khiyar rukyah
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak
d. Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini, para
ulama fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan
wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad yang bisa
berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang melaksanakan akad,
diantaranya adalah akad sewa menyewa, ar-rahn (gadai), al-kafalah, asy-
syirkah, al-wakalah, atau al-muzara`ah.
Ijarah (sewa-menyewa). Menurut Hanafiyah kematian seseorang
menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut Jumhur Fuqoha selain
Hanafiyah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
Ar-rahn (gadai). Jika pihak penggadai meninggal dunia, maka barang
harus dijual untuk melunasi hutangnya.
Asy-syirkah. Meninggalnya salah satu dari sejumlah orang yang
berserikat/bekerjasama menyebabkan berakhirnya akad syirkah tersebut.
Akad juga akan berakhir dalam hal bai` al-fudhuli (suatu bentuk jual beli
yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain atau jual
beli tanpa hak kepemilikan) apabila tidak mendapat persetujuan dari
pemilik modal/usaha.
2.
تمليك عين مالية بمعاوضة باذن شرعي
“Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan
aturan syara”
3.
مقابلة مال قابلين للتصرف باجاب وفبول على الواجه المأذون فيه
“Saling tukar harta,saling menerima,dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab
dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara”
4.
مقابلة مال بمال علي وجه مخصوص
“Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus
(dibolehkan)”
5.
مبادلة مال بمال على سبيل التراضى او نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه
“Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau
memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang
dibolehkan”
6.
عفد يقوم على اساس مبادلة مال بمال لتفقيد تبادل الملكيات على الدوام
Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah
penukaran hak milik secara tetap.
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah
suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan
pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-
persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli
sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai
dengan kehendak syara’.
A. Al-Quran
1. Allah SWT berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 : “Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
2. Allah SWT berfirman Surah An-Nisa ayat 29 : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu”
B. Sunnah Rasulullah saw
1. Hadist yang diriwayatkan Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw.
Ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling
baik. Rasulullah menjawab : Usaha tangan manusia sendiri dan
setiap jual beli yang diberkati. (HR al-Bazzar dan al-Hakim)
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan
mendapat berkah dari Allah SWT.
2. Hadist dari Abi Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh al-Bihaqi, ibn
Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah saw. Menyatakan : “ Jual beli itu
didasarkan kepada suka sama suka“
3. Hadist yang diriwayatkan at-Tarmizi Rasulullah bersabda :
“pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya disurga)
dengan para Nabi, para siddiqin, dan para syuhada’ “
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan
nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual
beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
1. Syarat orang yang berakad :
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan
akad jual beli itu harus memenuhi syarat :
a. Berakal sehat. Oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus
memiliki akal yang sehat agar dapat melakukan transaksi jual beli
dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang
belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
b. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya
seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai
penjual sekaligus sebagai pembeli. Misalnya, ahmad menjual
sekaligus membeli barangnya sendiri. Jual beli seperti ini tidak sah.
Untuk itu, para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul
itu adalah sebagai berikut :
a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal, menurut
jumhur ulama, atau telah berakal, menurut ulama hanafiyah ; sesuai
dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang
melakukan akad yang disebutkan diatas.
b) Qabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan : “saya jual
buku inni seharga Rp.15.000,-“. Lalu pembeli menjawab : “saya beli
dengan harga Rp.15.000,-. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai,
maka jual beli tidak sah.
c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua belah
pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang
sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri
sebelum mengucapkan qabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas
lain yang tidak terkait dengan masalah jual beli, kemudian ia
ucapkan qabul, maka menurut kesepakatan ulama fiqh, jual beli ini
tidak sah; sekalipun mereka berpendirian bahwa ijab tidak harus
dijawab langsung dengan qabul.
Dalam kaitan ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan
bahwa antara ijab dan qabul boleh saja diantarai oleh waktu, yang
diperkirakan bahwa pihak pembeli sempat untuk berpikir. Namun
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara ijab
dan qabul tidak terlalu lama, yang dapat menimbulkan dugaan bahwa
obyek pembicaraan telah berubah.
3. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
Termasuk unsur penting dalam jual beli adalah nilai tukar dari
barang yang dijual ( untuk zaman sekarang adalah uang). Terkait dengan
masalah nilai tukar ini, para ulama fiqh membedakan ats-tsaman dengan
as-si’r. Menurut mereka, ats-tsaman adalah harga pasar yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan as-sir adalah
modalnbarang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke
konsumen (consumption). Dengan demikian harga barang itu ada dua
yaitu harga antar pedagang dan harga antara pedagang dengan konsumen
(harga jual di pasar).
c. Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli. Para
ulama fiqh sepakat mengatakan apabila suatu jual beli baru bersifat
mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar
(hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli). Apabila
jual beli itu masih mempunyai hak khiyar, maka jual beli itu belum
mengikat dan masih boleh dibatalkan.
Apabila semua syarat jual beli diatas terpenuhi, barulah
secara hukum transaksi jual beli itu diaggap sah dan mengikat, dan
karenanya, pihak penjual dan pembeli tidak boleh lagi
membatalkan jual beli itu.
“Riba”
-Jaenal A., Haris R. & Usaid A.-
ِ هَ هللاAدُونَ َو ْجAا ٍة تُ ِريAAآ َءاتَ ْيتُم ِّمن زَ َكAA َد هللاِ َو َمAوا ِعنAAُس فَالَ يَ ْرب ِ َو َمآ َءاتَ ْيتُم ِّمن ِّربًا لِيَ ْربُوا فِي أَ ْم َو
ِ ال النَّا
َض ِعفُون ْ فَأ ُ ْوالَئِ َك ُه ُم ا ْل ُم
أْ َذنُواAAَوا فAAُإِن لَّ ْم تَ ْف َعلAَ} ف278{ َا إِن ُكنتُم ُّمؤْ ِمنِينAAَابَقِ َي ِمنَ ال ِّربAAيَآأَيُّ َها الَّ ِذينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ َو َذ ُروا َم
}279{ َتَ ْظلِ ُمونَ َوالَ تُ ْظلَ ُمون َوس أَ ْم َوالِ ُك ْم ال
ُ سولِ ِه َوإِن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء
ُ ب ِّمنَ هللاِ َو َر
ٍ بِ َح ْر
b. Jenis-Jenis Riba
1. Riba Hutang Piutang
Seperti kita ketahui, manusia tidak lepas dari kegiatan muamalahnya terhadap
manusia lain, yang tentunya tidak hanya bersosialisasi secara sosial saja tapi
juga bersosialisasi dengan berbisnis dan melakukan transaksi.
Dalam dunia bisnis, kita tahu manusia tidak lepas dari yang namanya jual-beli
dan juga hutang-piutang. Akan tetapi dalam hal jual-beli jika terdapat tambahan
untuk mengambil keuntungan dari si penjual itu menjadi hal yang lumrah dan
di maklumi bahkan diperbolehkan. Lain halnya dengan kita melakukan
transaksi hutang-piutang, yang dimana dasar dari transaksi ini adalah untuk
tolong-menolong bukan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tapi pada
praktiknya banyak transaksi hutang-piutang ini brorientasi kepada keuntungan
yang dimana di dalam setiap nominal jumlah yang terhitung hutang akan di
bebankan tambahan (bunga) atasnya.
Untuk itu dalam transaksi Riba Qardh ini akan muncul orang yang di zhalimi
dan orang yang menzhalimi. Karena setiap jangka waktu tertentu akan selalu
ada tambahan (bunga) dari nilai pokok hutang, sehingga orang yang berhutang
akan senantiasa terzhalimi dalam lingkaran transaksi Riba Qardh ini. Oleh
sebab itu lah, Islam melaranng dan mengharamkan praktik Riba Qardh ini
karena akan menimbulkan mudharat bagi manusia.
Dengan diharamkannya praktik Riba Qardh ini maka hak-hak orang yang
berhutang akan terpenuhi yang tentunya kewajibannya pun akan dipenuhi, serta
orang yang berhutang akan merasa lebih bahagia karena dapat menolong orang
lain. Karena ini juga dapat menjadi lading amal shaleh untuk orang yang
memberikan hutang, serta mendapatkan ridho dari Allah SWT terhadap
muamalah hutang-piutang tanpa adanya tambahan (bunga) di dalam
transaksinya.
Praktik Riba Jahiliyah, merupakan praktik riba yang sudah lumrah di budaya
dan tradisi bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah SAW di utus oleh Allah SWT
menjadi Nabi dan Rasul-Nya. Praktik riba ini ialah dimana ada tambahan biaya
yang di bebankan oleh orang yang memberi hutang kepada orang yang
berhutang apabila orang yang berhutang tersebut belum mampu membayar atau
melunasi jumlah hutang yang dipinjamnya dalam jangka waktu yang di
tetapkan.
Tentu praktik riba ini sangat memberatkan orang yang berhutang, karena ada
suatu kepastian dan ketetapan yang di berikan kepadanya karena adanya jumlah
hutang yang di pinjamnya. Dalam riba ini, orang yang memberikan hutang akan
menentukan berapa lama orang yang berhutang kepadanya harus
mengembalikan harta yang yang dipinjamnya, apakah itu satu minggu, satu
bulan, satu tahun dan sebagainya sesuai keinginan orang tersebut.
Kemudhratan yang akan timbul dari praktik ini yaitu, terzhaliminya orang
yang berhutang, karena sudah di pastikan hal yang terjadi kepadanya di masa
depan, yang di mana dia pun tidak tahu. Selanjutnya apabila orang yang
berhutang terus menerus tidak mampu membayar hutangnya dalam jangka
waktu yang di tentukan, maka jumlah hutangnya akan senantiasa bertambah
dan bertambah, yang tentunya orang yang berhutang tersebut akan terus
terzhalimi dalam perputaran praktik Riba Jahiliyah ini. Kemudian juga bisa jadi
praktik Riba Jahiliyah ini akan terus menyengsarakan orang yang berhutang.
Oleh karena itu lah, Islam melarang praktik Riba Jahiliyah ini untuk
menghindari kemudharatan-kemudharatan tersebut dan juga untuk melinduni
hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara orang yang memberikan hutang
dengan orang yang berhutang agar tercapainya suka sama suka ridho saling
meridhoi dalam melakukan transaksi hutang piutang tersebut.
3. Hikmah dilarangnya Riba Fadhl
Seperti kita ketahui riba fadhl terjadi karena adanya pertukaran barang sejenis
yang mengakibatkan adanya syubhat akan barang tersebut, selanjutnya syubhat
tersebut yang mengharuskan adanya tambahan dalam transaksi tersebut. Dalam
kata lain transaksi riba fadhl ada unsur penipuan di dalamnya sehingga dapat
merugikan salah satu pihak. Oleh karena itulah Islam melarang praktik Riba
Fadhl ini, karena nantinya dapat menimbulkan unsur-unsur penipuan yang
dimana akan merugikan salah satu pihak yang bertransaksi.
Jual beli itu diperbolehkan oleh Allah SWT, akan tetapi riba diharamkan oleh
Allah SWT, tentunya ada maksud, tujuan dan hikmah tertentu mengapa Allah
SWT mengharamkan praktik riba ini, yang pastinya hikmah dan manfaat dari
tujuan diharamkannya riba ini akan kembali kepada manusia itu sendiri apabila
mereka mau melaksanakan perintah-Nya.
Dalam praktik riba fadhl ini, tambahan yang diharamkan akan terjadi karena
adanya tambahan takaran atau timbangan dalam barang yang di tukar tersebut
yang pada hakikatnya barang tersebut adalah sejenis, sehingga karena barang
sejenis inilah maka tidak dibenarkan adanya tambahan dalam transaksinya.
Pengharaman praktik Riba Fadhl ini bertujuan untuk melindungi hak-hak dan
kewaiban-kewajiban dalam transaksi tukar-menukar barang tersebut, karena
apabila Riba Fadhl ini di perbolehkan maka akan timbul bermacam-macam
penipuan serta mudharat lainnya yang tentunya itu semua dapat merugikan
kedua belah pihak.
Dalam praktiknya riba ini merupakan riba yang terjadi dalam jual beli, yang
mungkin secara kasat mata akan terlihat sama dan wajar di dalam transaksinya,
karena riba ini mensyaratkan kan adanya tambahan atas pertukaran antara
barang jenis ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya karena adanya
perbedaan waktu penyerahannya serta ada penangguhan dalam pembayarannya.
Dalm praktiknya riba ini hampir sama dengan riba Jahiliyah yaitu
membebankan tambahan atas waktu pembayaran yang di tetapkan, akan tetapi
dalam Riba Nashi’ah ini terjadi dalam praktik jual beli yang mana berbeda
dengan riba jahiliyah yang terjadi di dalam transaksi hutang-piutang.
Dalam hal pengharamannya, praktik riba ini di lihat dari segi mudharatnya,
yang dimana si penjual akan mendapatkan untuk berlipatganda dengan cara
memeras serta membebankan kepada si pembeli. Yang tentunya dalam praktik
riba ini pun ada pihak yang menzhalimi dan pihak yang terzhalimi, yang
dimana Islam tidak mengajar itu.
Tujuan dari pengharaman riba ini adalah bagaimana cara kita bertransaksi
muamalah dalam jual beli, sama-sama saling meridhoi dalam praktiknya, serta
mendapatkan keuntungan yang diperbolehkan secara syari’at islam bukan
dengan cara yang bathil. Selanjutnya dengan di haramkannya riba ini akan
menunjukkan bahwa praktik riba itu berbeeda dengan praktik jual beli yang di
klaim oleh orang-orang jahiliyah dulu.
Oleh sebab itu, kita sebagai muslim yang taat senantiasa harus menghindari
praktik riba jenis apapun, karena di dalam riba hanya ada dosa dan
kemudharatan bagi pelakunya. Dan selanjutnya kita pun sebagai muslim yang
taat seharusnya mempunyai rasa tanggung jawab untuk terus berdakwah kepada
masyarakat luas dan memperingati akan bahaya dan haramnya praktik riba
dalam kehidupan apabila di praktikan.
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mecari keuntungan (laba). Jual
beli barang adalah merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan (bisnis)
bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal
dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya diantara bentuk jual beli ada juga
yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu,
menjadi satu kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengenal hal-hal yang
menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana
yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti persoalan.
Sebenarnya bisnis atau perdagangan atau buyu’ prinsip dasarnya adalah
dihalalkan dalam islam, kecuali terdapat dalil yang jelas menyatakan keharamannya.
Tetapi dalam pembahasan fiqh muamalah, memang ada sejumlah bentuk buyu’ yang
diharamkan. Haramnya buyu’ karena beberapa sebab.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai jual beli yang
dilarang oleh syariat islam, diantaranya :
A. Jual Beli Yang Dilarang Berkaitan dengan Objeknya
Jual beli dapat dikatakan haram dan dilarang untuk dilakukan menurut
pandangan islam berdasarkan objek jual belinya, yakni sebagai berikut :
Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah,
bangkai, dan daging babi. Karena benda-benda tersebut menurut syariat tidak
dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan
belalang. Dan jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan
limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.
Allah Swt. Berfirman :
(Q.S Al- Maaidah : 3)
Menurut jumhur ulama segala sesuatu yang najis dan terkena najis yang tidak
dapat disucikan termasuk pada harta yang tidak bermanfaat, seperti minyak, air,
madu, segala cairan yang tekena kotoran. Tetapi barang najis yang bermanfaat,
maka sebagian ulama membolehkan untuk dijualbelikan, seperti jual beli pupuk
yang berasal dari kotoran hewan, sampah yang di daur ulang, dll.
Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau berada diluar kemampuan
penjual untuk menyerahkannya seperti menjual malaqih atau menjual ikan yang
masih dalam air, burung yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara
madhamin adalah janin hewan yang masih dalam rahim hewan betina.
Adapun jual beli fudhuli yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan
orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada
pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual
beli jenis ini. Namun, yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.
Contoh lain dalam jual beli yang dilarang dalam syariat islam ialah, jual beli
spekulatif (juzaf), yaitu menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang atau
dihitung, secara borongan tanpa ditakar, ditimbang dan dihitung lagi. Contohya
seperti : menjual setumpuk makanan tanpa mengetahui takarannya, atau menjual
setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya, atau menjual sebidang tanah
tanpa mengetahui luasnya.
Dalam hal ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa diantara
syarat sahnya jual beli bahwa objek jual beli itu harus diketahui. Maka materi,
objek, ukuran harus diketahui. Sementara dalam jual beli spekulatif ini tidak ada
pengetahuan tentang ukuran. Namun demikian, jual beli ini termasuk yang
dikecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum, karena manusia amat
membutuhkannya asalkan memenuhi syarat, berupa :
1. Barang yang dijualbelikan dilihat langsung pada saat terjadinya akad
dengan catatan tidak menyebabkan rusak barang tersebut. Dan seperti
halnya melihat barang langsung pada saat akad ini, juga dapat dilihat
sebelumnya dengan catatan barang tersebut tetap tidak berubah (sejak
melihatnya tersebut) sampai tiba waktunya akad berlangsung.
2. Baik pembeli atau penjual sama-sama tidak tahu ukuran barang dagang.
Kalau salah seorang mengetahui, jual beli ini tidak sah.
3. Jumlah barang dagang tidak dalam jumlah besar sehingga sulit untuk
diprediksikan. Atau sebaliknya, terlalu sedikit sehigga terlalu mudah untuk
dihitung, jadi penjualan spekulatif ini tidak ada gunanya.
4. Tanah tempat meletakkan barang itu harus rata, sehingga tidak terjadi
unsur kecurangan dalam spekulatif.
5. Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah dan
ukurannya ketika terjadi akad.
Ghisy berarti menipu atau curang. Kata ini tentu bermakna sangat umum,
sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam akad jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau muamalah lainnya. Contoh
konkretnya adalah apa yang terjadi di zaman Nabi dan sebagaimana tersebut
dalam hadits Abu Hurairah berikut:
Rasulullah melewati tumpukan makanan (yang dijual) lalu beliau masukkan
tangannya ke dalamnya maka mendapati tangan beliau basah. Maka beliau
mengatakan: “Ada apa ini wahai pemilik makanan ini?” “Terkena hujan, ya
Rasulullah,” jawabnya. Beliau mengatakan: “Tidakkah engkau letakkan di
bagian atas makanan itu supaya orang melihatnya? Orang yang menipu bukan
dari golongan kami.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Ath-Thabarani)
Hadits yang mulia ini sebagai salah satu kaidah dalam muamalah jula beli
dengan sesama muslim. Tidak sepantasnya bagi seorang muslim
menyembunyikan aib barangnya. Jika ada aibnya, seharusnya diperlihatkan,
sehingga si pembeli bisa mengetahui dan mau membeli barang dengan harga
yang sesuai dengan kadar cacatnya, bukan membelinya dengan harga barang
bagus.
Betapa banyak kasus penipuan yang dapat kita lihat sekarang. Betapa banyak
orang yang menyembunyikan aib suatu barang dengan menaruhnya di bagian
bawah, dan menaruh yang baik di bagian atasnya, baik sayur mayor atau
makanan lainnya. Ini dilakukan dengan sengaja . Ini adalah perbuatan maksiat.
Sabda Nabi dalam hadits yang lain, dari Ibnu Mas’ud z, ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berbuat curang kepada kami maka
dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.” (Hasan
Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir
dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih
At-Targhib, 2/159 no. 1768)
Hal ini dilarang karena berisi kezhaliman terhadap orang lain, kerena menjual
barang yang ada aibnya atau ditutupi kekurangannya (bai’ al-Ma’ib atau
Maghsyusy).
Jual beli terlarang karena dzatnya langsung adalah jual beli semua yang
terlarang pemanfaatannya oleh syariat, walaupun terkadang dibolehkan
pemanfaatannya oleh syariat pada kondisi tertentu. Apabila asal pemanfaatannya
terlarang dalam syariat maka jual belinya terlarang juga. Walaupun barang
tersebut kadang diperbolehkan ketika ada hajat mendesak atau dalam keadaan
darurat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ُ إِنَّ هَّللا َ َع َّز َو َج َّل إِ َذا َح َّر َم َعلَى قَ ْو ٍم أَ ْك َل ش َْي ٍء َح َّر َم َعلَ ْي ِه ْم ثَ َمنَه
a. Terlarang dzat dan pemanfaatannya secara total dan ini dijelaskan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jaabir bin Abdillah
Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
و ُلAAُ يَق،لَّ َمA سَ ِه َوAصلَّى هللاُ َعلَ ْي َ ِ سو َل هَّللا ُ س ِم َع َر َ :ُ أَنَّه،ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َماِ عَنْ َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ َر
،»نَ ِامAص َ
ْ ِر َواألA ِة َوال ِخ ْن ِزيAَ َوال َم ْيت، ِرAالخ ْم
َ َعAسولَهُ َح َّر َم بَ ْي ُ «إِنَّ هَّللا َ َو َر:َح َوه َُو بِ َم َّكة ِ عَا َم الفَ ْت
،ُودAُالجلُ اA ْدهَنُ بِ َهAُ َوي، ُفُنAالس ْ َ
ُّ اAAا يُطلَى بِ َهA فإِنَّ َه، ِةAَ ُحو َم ال َم ْيتAش َ َ
ُ َ أ َرأيْت،ِ و َل هَّللاAس ُ يَا َر:فَقِي َل
َدAلَّ َم ِع ْنAس
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوَ ِ سو ُل هَّللا ُ ثُ َّم قَا َل َر،» ُه َو َح َرا ٌم،َ «ال:اس؟ فَقَا َل ُ ََّصبِ ُح بِ َها الن ْ ست ْ ََوي
َ َ
»ُ فأ َكلُوا ث َمنَه،ُ ث َّم بَاعُوه،ُ «قاتَ َل هَّللا ُ اليَ ُهو َد إِنَّ هَّللا َ لَ َّما َح َّر َم ش ُُحو َم َها َج َملُوه:َذلِ َك
َ ُ َ
Dari Jaabir bin Abdillah Rasdhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau
mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun
penaklukan Makkah di kota Makkah: Sesungguhnya Allah dan RasulNya
telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.
Ada yang bertanya: Wahai rasulullah bagaimana menurut pendapat
Engkau tentang lemak bangkai, karena dapat dimanfaatkan untuk
mengecat perahu dan meminyaki kulit serta menjadi bahan bakar lampu?
Maka beliau menjawab: Tidak boleh! Dia terlarang. Kemudian beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Semoga Allah membinasakan
orang Yahudi, sungguh Allah ketika mengharamkan lemah bangkai,
mereka cairkan kemudian mereka jual lalu memakan hasil jual belinya
tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi).
Dari sini nampak jenis ini hanya ada lima saja yaitu: Khamr, Bangkai,
Babi, Patung dan anjing.
Tentang klasifikasi jual beli terlarang dengan sebab dzatnya ini ibnu
al-Qayyim menyatakan ketika mengomentari hadits riwayat Abu dawud
diatas:
ِةAَ ِر َوا ْل َم ْيتAع ا ْل َخ ْمA َ َ َوأ، َوه َُو أَ ْعظَ ُم ت َْح ِري ًما َوإِ ْث ًما،صنَ ِام
ْ ِ ش ُّد ُمنَافَاةً لِإْل
ِ Aاَل ِم ِمنْ بَ ْيAس ْ َ ت َْح ِري َم بَ ْي ِع اأْل
.َوا ْل ِخ ْن ِزي ِر
Pengharaman jual beli patung lebih besar dan lebih berdosa serta lebih
bertentangan dengan islam dari jual beli khamr, bangkai dan babi
(Zaadulma’ad 5/762). Adapun pengharaman jual beli patung, maka diambil
faedah adanya pengharaman semua alat yang digunakan untuk kesyirikan
dari semua sisi dan dari jenis apapun, baik patung, gambar atau salib.
Demikian juga kitab-kitab yang mengandung kesyirikan dan ibadah kepada
selain Allah, maka ini semua wajib dihilangkan dan dihancurkan dan jual
belinya adlaah sarana untuk memilikinya, sehingga lebih utama
diharamkan jual belinya dari selainnya. ( Zaadulma’ad 5/761)
8. Jual Beli Untuk kejahatan
Allah juga melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu
terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan
Allah. Karena tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat
khamr karena hal tersebut akan membantu terwujudnya
permusuhan.Berdasarkan firman Allah ta’ala : “Janganlah kalian tolong-
menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah : 2).”
Menurut Ibnul Qoyim : “Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa
maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad
tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau
batil manakala diketahui maksud pembelian tersebut adalah untuk
membunuh seorang Muslim. Karena hal tersebut berarti telah membantu
terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang
yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fii sabilillah maka ini adalah
ketaatan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk
memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum
muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan.”
9. Menjual Budak Muslim Kepada Non Muslim
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir
jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan
budak tersebut hina dan rendah dihadapan orang kafir. Allah ta’ala telah
berfirman : “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-
orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. 4:141)
10. Jual Beli Istijrar
Yang dimaksud dengan jual beli istijrar secara adalah menarik atau
menyeret. Sedangkan secara terminologis nya ilmu fikih adalah menambil
kebutuhan yang perlu dibeli dari penjual sedikit demi sedikit, lalu
membayarnya sesudah itu.
c. Hukum wafa’
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini.
- Diantara ulama ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah,
karena ia dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan
(sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
- Diantara mereka ada yang mengaggapnya sebagai pegadaian yang sah,
sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku didalamnya.
- Diantara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang
rusak, karena ada syarat yang saling mengembalikan.
- Ada juga diantara ulama yang memandannya sebagai jual beli model
baru yang menggabungkan antara jual beli yang sah, jual beli rusak dan
pegadaian. namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan
karena dibutuhkan.
Yang benar bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan karena tujuan
yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan memberikan uang untuk
dibayar secara tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang
digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya.
Namun sebutan sebagai jual beli pelunasan atau jual beli amanah tidak
lepas dari jual beli seperti itu, karena yang dilihat adalah hakikat dan
tujuan sesungguhnya dari jual beli tersebut, bukan bentuk aplikasi dan
tampilan lahiriyahnya saja.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah menyatakan, “sejenis jual beli yang
mereka perlihatkan yang disebut jual beli amanah yang dalam jual beli
itu mereka bersepakat bahwa apabila telah dikembalikan bayaran
sipenjual, barang juga dikembalikan adalah jual beli batil menurut
kesepakatan para imam, baik dengan persyaratan yang disebutkan
dalam waktu akad atau melalui kesepakatan sebelum akad. Itu pendapat
yang tepat daripada ulama.”
Diantara hal yang patut diingat adalah bahwa majelis fiqh islam pada
seminar ke delapan telah berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar,
dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
1. Yang dimaksud jual beli sistem panjar adalah: penjual menjual barang,
lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan
syarat bahwa ia jadi mengambil barang itu. Maka uang muka tersebut
masuk dalam harga yang harus dibayar. namun kalau ia tidak jadi
membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual.
perjanjian ini selain benrlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa
menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas. diantara jual beli
dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima
pembayaran atau barang transaksi dilokasi akad (jual beli as-salam)
atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhl dan money
changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi
orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan,
namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijnjikan.
2. Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya
secara pasti, dan panjar dimasukkan sebagi bagian pembayaran, bila
pembeli berlanjut. dan menjadi milik penjual bila sipembeli tidak jadi
melakukan tansaksi pembelian.
5. JUAL BELI ISTIJAR
Istijar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara termiologis
ilmu fikih, ia berarti mengambil kebutuhan yang perlu dibeli dari penjual sedikit
demi sedikit, lalu membayarnya sesudah itu.
a. Hukum jual beli istijar
Para ahli fikih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. pemicu
perbedaan pendapat mereka adalah kerena si pembeli tidak tahu harga
barang ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda
sampai waktu perhitungannya. berdasarkan hal ini, apabila harganya telah
diketahui secara pasti maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. karena
dalam kondisi demikian jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli
nasi’ah sehingga termasuk keumuman dalil-dalil yang menetapkan
disyariatkannya jual beli tersebut. namun kalau harganya tidak diketahui
inilah yang menjadi perdebatan diantara para ulama.
Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena
tidak diketahuinya harga yang harus dibayar. Kalangan hanbaliyah dalam
satu riwayat dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan. itulah
pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. hal itu
menurut mereka sama dengan sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah
mahar. Jumlah mahar itu dikembalikan kepada standar mahar secara
umum. dan harga barang dalam jual beli ini pun dikembalikan kepada
harga standar. Kemungkinan diantara dalil yang paling jelas yang
menjelaskan disyariatkannya jual beli lini karena bentuk jual beli ini sudah
demikian populer dibagian negeri dan belahan dunia, sampai dikalangan
mereka melarangnya sekalipun. dan tak seorangpun diantar mereka yang
berani menyatakan bahwa jual bali itu batal.
Abu dawud menjelaskan dalam al-masa’il bab fi asy-syira’ wa la
yasumma ats-tsaman, “aku pernah mendengar ahmad ditanya tentang
seorang lelaki yang mengirim orang ketukang sayur dan mengambil
kebutuhannya satu demi satu, baru dikemudian hari ia menghitung semua
pembeliannya. beliau menjawab “saya harap jual beli semacam itu tidak
apa-apa”. beliau ditanya ‘apakah saat itu juga disebut sebagai jual beli?’
beliau menajawab ‘tidak’.
Ibnu Qoyyim menyebutkan dalam i’lam al-muwaqqi’in: “para ulama
berbeda pendapat tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga
diputuskan tanpa perikatan harga barang sesungguhnya pada saat transaksi.
bentuk aplikatifnya jual beli yang dilakukan oleh rekan bisnis, seperti
tukang roti, tukang daging atau penjual minyak samin atau yang lainnya. Ia
mengambil kebutuhannya dari meraka dan menghitung selurunya diawal
bulan atau awal tahun, lalu membayarnya. namun sebagian besar ulama
melarangnya. meraka mengaggap serah terima barang itu tidak
memindahkan kepemilikan. Itu adalah serah terima rusak seperti hanya
serah terima barang rampasan. karena serah terima itu dilakukan dengan
transaksi yang rusak. namun mereka semua melakukan jual beli tersebut
selain orang yang bersikap ekstrim. karena mereka tidak menemukan jalan
lain. meskipun mereka menyebutkan fatwa bahwa jual beli semacam itu
adalah batil, dan bahwa barang itu masih dalam kepemilikan oleh
sipenjual. ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu dalam arti mereka
tidak mungkin menawar setiap kali membutuhkan sesuatu yang diambil,
murah atau mahal. kalau serah terima barang harus dilakukan dengan
pelafazan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan pelafazhan
ijab dan qabul (serah terima).
Kemudian ibnu qayyim melanjutkan,
“pendapat kedua, dan inilah pendapat yang tepat yakni yang selalu
diamalkan oleh umat islam disegala tempat yakni dibolehkannya jual beli
itu sampai batas harga termahal. itulah pendapat yang dinyatkan oleh
Ahmad dan dipilih oleh guru kami syaikhul islam Ibnu Taimiyah
rahimullah. aku pernah mendengarnya berkata, itu lebih menyenangkan
hati pembeli dari pada tawar menawar. dalam hal ini saya juga memiliki
panutan. saya hanya memilih pendapat yang telah diambi oleh ulama selain
saya’. kemudian beliau melanjutkan, ‘orang-orang yang melarang jual beli
semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut. bahkan
mereka turut melakukannya juga. sementara dalam kitabullah maupun
sunnah Rasululah bahkan juga ijma’ kaum muslimin, atau sekedar
pendapat seorang sahabat maupun kias yang sah. tidak ada yang
menjelaskan keharamannya.disisi lain, umat islam telah bersepakat
menganggap sah nikah tanpa mengetahui jumlah mahar dengan
membeikan mahar standar. bahkan kebanyakan para ulama juga
membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan pembayaran standar,
seperti menyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan, tukang
membersihkandapur. namun setidaknya jual beli tersebut dengan
menggunakan harga standar. jual beli semacam itu dibolehkan
sebagaimana halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli
ini ataupun jual beli lainnya. inilah kias yang tepat yang hanya dengan
analogi inilah kepentingan umat dapat ditegakkan.”
1. MURABAHAH
A. Definisi Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan yang lazim digunakan oleh
perbankan syariah, dimana akad ini dilakukan dengan menjual barang disertai
dengan pernyataan harga serta perolehan atau keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Hal yang membedakan murabahah dengan
penjualan yang kita kenal adalah penjual dengan jelas memberi tahu kepada
pembeli berapa harga pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang
diinginkannya. Pembeli dan penjual dapat melakukan tawar menawar atas
besaran margin keuntungan sehingga akhirnya diperoleh kesepakatan.
Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan
keuntungan tertentu, besar ketentuan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal
rupiah tertentu atau dalam bentuk persentasi dari harga pembeliannya misal 10
% atau 20 %.
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat
dibebankan pada harga jual, apakah hanya harga beli saja atau boleh
ditambahkan dengan harga lainnya. Misalnya ulama mazhab Maliki
membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait dengan transaksi jual beli itu
dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut namun
memberikan nilai tambah pada barang itu. Ulama mazhab syafi’i membolehkan
membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual
beli kecuali bila transaksi tenaga kerjanya sendiri, karena komponen ini
termasuk dalam keuntungannya. Begitu juga biaya-biaya yang tidak menambah
nilai barang tidak boleh dimasukan dakam komponen biaya. Ulama mazhab
Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul
dalam suatu transaksi jual beli namun mereka memang tidak membolehkan
biaya-biaya yang semestinya di kerjakan oleh penjual. Ulama mazhab Hambali
berpendapat bahwa semua biaya langsung ataupun tidak dapat dibebankan pada
harga jual selama biaya-biaya tersebut harus dibayarkan pada pihak ketiga dan
akan menambah nilai barang yang dijual. Secara umum keempat ulama mazhab
membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada
pihak ketiga. Mereka tidak memperbolehkan pembebanan biaya langsung yang
berhubungan dengan pekerjaan yang memang dilakukan oleh penjual, demikian
juga biaya yang tidak memberi nilai tambah pada barang.
B. Sumber Hukum
1. Al-Qur’an
2. As-sunnah
ٌ َ ثَال:ال
البَ ْي ُع إِل َى:ث فِ ْي ِه َّن البَ َر َكة َ َى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم ق
َّ صل َ أَ َّن النَّبِي
ِ Ÿت الَ لِ ْلبَ ْي
( َر َواهُ اب ُْن.عŸ ِ ِعي ِْر لِ ْلبَ ْيŸ الش
َّ ِ ّر بŸ ُطُ البŸ َو َخ ْل,ضة َ ارَ َ َوال ُمقـ,أَ َج ٍل
)اجه َ َم
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan
pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual” (HR. Ibnu Majah).
Contohnya : Darihan membeli rumah dari Jaenal tapi Jaenal tidak memiliki
rumah seperti yang dinginkan Darihan, kemudian jaenal meminta darihan
untuk mewakilinya mencari rumah sesuai yang diinginkannya. Dalam hal
ini harus ada 2 transaksi yang terpisah, pertama adalah transaksi jual beli
antara jaenal dengan penjual pertama dimana terjadi peralihan kepemilikan
dari penjual kepada jaenal. Yang kedua adalah transaksi antara jaenal dan
darihan dimana terjadi peralihan kepemilikan dari jaenal kepada darihan.
Tidak boleh transaksi tunggal yaitu antara penjual pertama dan darihan
karena kalau seperti ini sama saja jaenal meminjamkan uang kepada
darihan. Sedangkan pinjam meminjam tidak boleh ada unsur keuntungan
atau kelebihan di dalamnya.
Dalam murabahah melalui pesanan si penjual boleh meminta
pembayaran Hamish ghadiya, yakni uang tanda jadi ketika ijab Kabul. Hal
ini sekadar untuk menunjukan bukti keseriusan pembeli. Bila kemudian si
penjual telah membeli dan memasang berbagai kelengkapan rumah yang
diinginkan darihan namun darihan membatalkannya, Hamish ghadiya ini
dapat digunakan untuk menutup kerugian. Bila jumlah Hamish
ghadiyahnya lebih kecil dibandingkan jumlah yang harus ditanggung oleh
si penjual, penjual dapat meminta kekurangannya. Sebaliknya bila berlebih
pembeli berhak untuk mengambil atau menerima kembali sebagian uang
mukannya.
D. Cara Pembayaran
1. Pelaku
Pelaku cakap hukum dan baligh (berakal dan dapat membedakan),
sehingga jual beli dengan orang gila menjadi tidak sah sedangkan jual beli
dengan anak kecil dianggap sah apabila seizin walinya.
2. Objek jual beli harus memenuhi :
a. Barang yang diperjual belikan adalah barang halal
Maka semua barang yang diharamkan oleh Allah, tidak dapat
dijadikan sebagai objek jual beli, karena barang tersebut dapat
menyebabkan manusia bermaksiat/melanggar larangan Allah. Hal ini
sesuai dengan hadits berikut ini :
“sesungguhnya Allah mengharamkan menjual belikan khmar, bangkai,
babi, patung,-patung”
(HR.Bukhari Muslim)
“susungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga
mengharamkan hargannya” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
b. Barang yang diperjualbelikan harus dapat diambil manfaatnya atau
memiliki nilai, dan bukan merupakan barang-barang yang dilarang
diperjual belikan, misalnya jual beli barang yang kadaluwarsa.
c. Barang tersebut dimiliki oleh penjual
Jual beli atas barang yang tidak dimiliki oleh penjual adalah tidak sah
karena bagaimana mungkin ia dapat menyerahkan kepemilikan
barangnya kepada orang lain atas barang yang bukan miliknya. Jual
beli oleh bukan pemilik barang seperti ini, baru akan sah apabila
mendapat izin dari pemilik barang.
Misalnya : seorang suami menjual harta milik istrinya, sepanjang si
istri mengizinkan maka sah akadnya. Contoh lain jual beli barang
curian adalah tidak sah karena status kepemilikan barang tersebut tetap
pada si pemilik harta.
“barang siapa membeli barang curian sedangkan dia tahu bahwa itu
hasil curian, maka sesungguhnya ia telah bersekutu dalam dosa dan
aibnya” (HR. Albaihaqi)
d. Barang tersebut dapat diserahkan tanpa tergantung dari kejadian
tertentu di masa sepan. Barang yang tidak jelas waktu penerimaannya
adalah tidak sah, karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar)
yang pada gilirannya dapat merugikan salah satu pihak yang
bertransaksi dan dapat menimbulkan persengketaan
Contoh : Haris menjual mobil avanzanya yang hilang dengan harga
Rp. 40.000.000 si pembeli berharap mobil itu akan ditemukan.
Demikian juga jual beli barang atas barang yang sedang digadaikan
atau telah diwaqafkan.
e. Barang tersebut harus diketahui secara spesifik dan dapat diidentifikasi
oleh pembeli sehingga tidak ada gharar
Contoh : irul menjual salah satu tanaman hias yang ia miliki, tidak
jelas tanaman apa yang akan dijual
f. Barang tersebut dapat diketahui kuantitas dan kualitasnya dengan jelas
sehingga tdak ada gharar. Apabila suatu barang dapat
dikuantifisir/ditakar/ditimbang maka atas barang yang diperjual
belikan harus dikuantifisir terlebih dahuku agar tidak timbul
ketidakpastian sesuai dengan hadits berikut : “bagaiman jika Allah
mencegahnya berbuah, dengan imbalan apakah salah seorang kamu
mengambil harta saudaranya?” (HR. Al-bukhari dsri Anas)
Berdasarkan hadits tersebut dapatdisimpilkan jual beli secara ijon
dilarang.
Contoh : menjual anak kuda yang masih dalam kandungan, karena
anak kuda yang akan dilahirkan nanti belum tentu selamat, cacat atau
tidak, serta belum tentu seunggul induk biologisnya
g. Harga barang tersebut jelas
h. Harga atas barang yang diperjualbelikan diketahui oleh pembeli dan
penjual berikut cara pembayarannya tunai atau tangguh sehingga jelas
dan tidak ada gharar
Contoh : penjual berkata kepada pembeli, jika kamu membayar 1
bulan harganya Rp. 400.000. tetapi jika kamu membayar 2 bulan maka
harganya menjadi Rp. 500.000. pembelipun setuju tanpa menyebutkan
harga mana yang ia setujui sehingga harga tidak menentu kecuali
dinyatakan harga mana yang disepakati. Begitu harga tersebut
disepakati maka harga tidak boleh berubah.
i. Barang yang diakadkan ada di tangan penjual
Barang dagangan yang tidak ada di tangan penjual akan menimbulkan
ketidakpastian
“wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membeli barang dagangan,
apakah yang halal dan apa yang haram dari padanya untuku ?
rasulullah bersabda : jika kamu telah membeli sesuatu, maka janganlah
Kau jual sebelum ada ditanganmu”.
Berdasarkan hadits ini dapat diqiyaskan future trading dilarang.
Pembeli yang menjual kembali barang yang ia beli sebelum serah
terima, dapat diartikan ia menyerahkan uang terhadap pihak
laindengan harapan memperoleh uang lebih banyak dan hal ini dapat
disamakan dengan riba.
Contoh : A membeli buku dari B, B belum mengiirimkan kepada A
atau kepada agennya. A tidak biasa menjual buku kepada C. jika A
menjualnya sebelum menerima pengiriman dari B maka penjualan
yang dilakukan oleh A menjadi tidak sah
Contoh diatas berbeda dengan jual beli dimana barang yang
dioerjualbelikan tidk ada di tempat akad, namun barang tersebut ada
dan dimiliki penjual. Hal ini dibolehkan asalkan spesifikasinya jelas,
dan apabila barangnya tidak sesuai dengan yang telah disepakati maka
para pihak boleh melakukan khiyar (memilih melanjutkan transaksi
atau membatalkannya)
“siapa yang membeli sesuatu barang yang ia tidak melihatnya, maka ia
boleh memilih jika telah menyaksikannya” (HR. Abu Hurairah”
Misalnya penjual dan pembeli bersepakat dalam transaksi jual beli
beras tipe IR 65, dengan harga Rp. 7.000 / kg sebanyak 1 ton, dan
ketika melakukan akad berasnya masih ada dianjur. Hal ini
diperbolehkan dengan syarat apabila ternyata beras yang dikirim
kualitasnya tidak sesuai, pembeli boleh memilih apakah akan tetap
melakukan transaksi atau membatalkannya.
3. Ijab Kabul
Pernyataan dan ekspresi saling ridho diantara pihak-pihak pelaku akad
yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern
Apabila jual beli telah dilakukan dengan ketentuan syariah maka
kepemilikannya pembayarannya dan pemanfaatan atas barang yang
diperjualbelikan menjadi halal. Demikian sebaliknya.
Kalau kita perhatikan, semua ketentuan syariah diatas tidak ada yang
memberatkan, semuanya masuk akal, memiliki nilai normal yang tinggi,
menghargai hak kepemilikan harta, meniadakan persengketaan yang dapat
berakibat pada permusuhan. Dengan kata lain, semua itu adalah untuk
kebaikan manusia itu sendiri.
Murabahah adalah sesuai syariah karena merupakan transaksi jual beli
dimana kelebihan dari harga pokoknya merupakan keuntungan dari penjual
barang yang sangat berbeda dengan praktik riba dimana nasabah
meminjam uang sejumlah tertentu untuk membeli suatu barang kemudian
atas pinjaman tersebut nasabah harus membayar kelebibannya dan ini
adalah riba. menurut ketentuan syariah, pinjaman uang harus dilunasi
sebesar pokok pinjamannya dan kelebihannya adalah riba, tidak tergantung
dari besar kecilnya kelebihan yang diminta juga tidak bergantung
kelebihan tersebut nilainya tetap ataupun tidak tetap. Dengan penjualan
tangguh, maka akan muncul utang piutang, pembeli mempunyai utang dan
penjual mempunyai piutang. Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan atau menghindari terjadinya resiko penjual dapat mengadakan
perjanjian khusus dengan pembeli dan meminta jaminan. Dalam hal ini
objek akad murabahah yaitu barang yang diperjualbelikan dapat digunakan
sebagai jaminan. Untuk penjualan tidak tunai (tangguh) sebaiknya
dibuatkan kontrak/perjanjiannya secara tertulis dan dihadiri saksi-saksi.
Kontrak memuat besarnya utang pembeli karena membeli barang, jangka
waktu akad, besarnya angsuran setiap periode, jaminan, siapa yang berhak
atas diskon pembelian barang setelah akad pembeli atau penjual dan lain
sebagainya.
2. ISTISHNA
Istishna’
adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan barang tertentu dengan criteria
dab persyaratan tertentu yang disepakati dengan pemesan (pembeli) dan
penjual. Masyarkat telah mempraktikkan istishna secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan istishnan sebagi
kasus ijma’ atu consensus umum, istishna’ sah sesuai dengan aturan umum
mengeni kebolehan kontrak selam tidak bertentangan dengan nash atau aturan
syariah. Segala sesuatu yang memiliki kemaslahatan atau kemanfaatan bagi
umum serta tidak dilarang syariah, boleh dilakukan. Tidak ada persoalan
apakah hal tersebut telah dipraktekkan secara umum atau tidak.
2. Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal istishna yang
berbentuk harga.
3. Ijab Kabul
3. SALAM
Bai‟ salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini
berlandasakan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma
ulama. Diantara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad jual beli
salam adalah sebagai berikut:
1. “Hai orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai
waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”
QS. Al Baqarah (2): 282 merujuk pada keabsahan praktik jual beli salam. Ayat ini
merupakan ayat terpanjang dalam Al Qur'an. Ayat ini memberikan petunjuk bahwa
ketika kaum muslimin melakukan transaksi muamalah secara tempo, maka
hendaknya dilakukan pencatatan untuk menghindari terjadinya perselisihan di
kemudian hari, serta guna menjaga akad/ transaksi yang telah dilakukan.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah untuk memberikan
legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah memberikan izin dan
menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat tersebut (Ibnu Katsir,
jilid I, hal. 500). Berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas ini, jelas sekali bahwa jual beli
salam telah mendapatkan pengakuan dan legalitas syara', sehingga operasionalnya
sah untuk dilakukan.
2. “Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang
jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits riwayat
Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan
tentang keabsahan jual beli salam.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, suatu ketika Rasulullah datang ke Madinah, sedangkan
penduduk Madinah telah melakukan jual beli salam atas kurma untuk jangka waktu
satu tahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun. Melihat praktik ini, kemudian
Rasulullah bersabda seperti yang terdapat dalam matan hadits ini (Zuhaili, 2002, hal.
296).
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salam harus
ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun
waktu penyerahannya (delivery), sehingga nantinya tidak terdapat perselisihan.
3. Kesepakatan ulama (ijma') akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan
Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa
jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk
memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun
perniagaan (manufaktur) terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha
mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk
mengakomodir kebutuhan mereka (Zuhaili, 1989, hal. 598). Ketentuan ijma' ini
secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/ jual beli salam.
Dengan sah-nya akad salam, muslam ilaih berhak mendapatkan modal (ra‟sul
maal) dan berkewajiban untuk mengirimkan muslam fiih kepada muslam.
Bagi muslam, ia berhak memiliki muslam fiih sesuai dengan spesifikasi yang
telah disepakati, dan berkewajiban membayarkan ra‟sul maal kepada muslam
ilaih. Sebenarnya, akad salam ini identik dengan bai‟ ma‟dum, akan tetapi ia
dikecualikan dan mendapatkan rukhshah untuk dilakukan, karena adanya
tuntutan kebutuhan dalam kehidupan masyarakat, namun harus tetap
memperhatikan syarat-syarat khusus sebagaimana telah disebutkan (Zuhaili,
1989, jilid IV, hal. 619).
4. IJARAH
A. Definisi ijarah
Ijarah sejenis denga akad jua beli namun yang dipindahkan bukan hak
kepemilikan tetapi manfaat atau hak guna dari suatu asset dari jasa/pekerjaan.
Manfaat atas asset yang tidak bergerak seperti rumah atau asset yang
bergerak seperti mobil, motor, pakaian dan sebagainya.
2. Manfaat atas jasa berasal dari hasil karya atau dari pekerjaan seseorang.
Berdasarkan exposure draft PSAK 107
1. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu asset atau
jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah sewa atau sewa
(ujroh), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan dari asset itu
sendiri.
C. Rukun ijarah
1. Pelaku yang terdiri atas pemberi sewa dan penyewa.
2. Objek akad ijarah berupa : manfaat asset dan pembayaran sewa atas
manfaat jasa dan pembayaran ujroh
3.
Ijab Kabul
2. Periode akad belum selesai tetapi pemberi sewa dan penyewa sepakat
menghentika akad ijarah
5. SHARF
A. Definisi Sharf
Sharf menurut bahasa adalah penambahan, penukaran, penghindaran,
atau transaksi jual beli. Menurut istilah yaitu transaksi jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya. Dengan kata lain Sharf adalah jual beli mata uang,
transaksi jual beli atau pertukaran mata uang dapat dilakukan baik dengan mata
uang yang sejenis atau yang tidak sejenis.. Dan dalam istilah fiqh al-
mu’amalah prinsip ini biasa disebut dengan bay al-sharf (jual beli mata uang),
pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli
mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada
waktuyang sama (spot).
B. Sumber Hukum
1. Al-Qur'an
2. Al-Hadits
“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, sya'ir dengan sya'ir,kurma dengan kurma, dan garam dengan
garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis sertasecara tunai. Jika
jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR
Muslim).
6. TAQSITH
A. Definisi jual beli Taqsith
Taqsith secara bahasa adalah membayar secara berangsur – angsur, sedangkan
secara istilah ialah menjual sesuatu dengan pembayaran ditangguhkan, dimana
harga kredit lebih tinggi dari pada harga kontan
Contoh :
Seorang pedagang keliling menjual peralatan rumah tangga dengan harga Rp.
5500.- dengan membayar setiap hari Rp. 500, selama 11 hari, dimana harga
kontannya Rp. 5000
B. Sumber Hukum
Terdapat dua pendapat mengenai jual beli ini
1. Hukum yang membolehkan
Asal dalam setiap mu’amalah adalah halal dan boleh. karena tidak ada
nash/dalil yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu
barang, yaitu harga kontan dan harga kredit lalu penjual dan pembeli
melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli
dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan kaidah/dhobith ini.
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan
Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
ف فِ ْي َك ْي ٍل َم ْعلُوْ ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُوْ ٍم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعلُوْ ٍم
ْ َِم ْن أَ ْسلَفَ فِ ْي تَ ْم ِر فَ ْليُ ْسل
“Siapa yang yang memberi salaf pada korma maka hendaknya memberi
salaf pada takaran yang dimaklumi dan timbangan yang dimaklumi
sampai waktu yang dimaklumi”. (Lafazh diatas bagi Imam Muslim)
7. WAFA
2. Jual beli musawamah, yaitu jual beli yang sudah disepakati harganya
oleh kedua belah pihak dan pembeli telah melihat barang yang dibelinya
sehingga tidak menimbulkan fitnah antara keduanya. yakni jual beli dengan
adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang harga barang. Contoh :
setelah saya melihat barang maka saya setuju untuk membelinya dengan harga
yang telah ditetapkan penjual yaitu Rp. 500.000,-
3. Jual beli al-tauliyah, Tauliyah secara bahasa berasal dari kata: walla, yang
artinya memberi wewenang. Tauliyah berarti memberi wewenang kepada orang
lain untuk memiliki atau menggunakan suatu barang. Secara istilah yaitu jual beli
barang dengan harga yang sama dari harga pokok pembelian, tanpa ada
penambahan atau pengurangan. dan penjual menyampaikan harga belinya kepada
pembeli. Dapat diartikan juga jual beli ini tidak untung dan tidak rugi dan
keduanya tahu harga asli. Seperti saya menjual HP nokia ini kepadamu seharga
Rp.1.500.000 sama seperti harga saya beli hp ini di counter yaitu seharga Rp.
1.500.000, dan saya menjual ini tanpa mengambil keuntungan sedikitpun.
5. Bai' Al Muqaayadlah, yaitu pertukaran/ jual beli riil aset ('ain, benda,
komoditas) dengan riil aset, atau yang biasa kita kenal dengan barter, dimana
harga masing-masing barang yang akan ditukarkan harus mempunyai nilai yang
sama untuk menghindari kerugian di satu pihak. Contoh : saya tukarkan beras
5 Lt seharga Rp. 50.000 dengan minyak goreng 4 lt seharga Rp. 50.000
6. Jual beli isyrak, yaitu jual beli bersama, atau biasa disebut dengan
patungan. Contoh : saya membeli kerupuk 4 Kg seharga 30.000 dan saya berbagi
denganmu dalam akad ini ½ yang sudah saya beli mulai dari harga ataupun
barangnya.
7. Jual beli mustarsal, secara bahasa artinya dilepas. Sedangkan maksud jual
beli mustarsal adalah seseorang penjual mengatakan kepada pembeli: Saya jual
barang ini dengan harga pasar atau sebagaimana harga umumnya masyarakat
atau dengan harga yang berlaku hari ini atau dengan harga sebagaimana yang
akan ditentukan oleh si fulan, dst. Orang yang melakukan transaksi ini tidak
mengetahui harga barang dan tidak bisa saling tawar menawar. Para ulama
sepakat bahwa jual beli ini sah. Hanya saja mereka berselisih pendapat, apakah
pembeli dan penjual memiliki hak khiyar ataukah tidak.
8. Jual beli talji`ah, Secara bahasa talji`ah diambil dari kata: ilja` yang
artinya memaksa. contoh, sebagai berikut: Dalam sebuah kasus, A mendapat
ancaman dari orang lain, bahwa dirinya akan dibunuh. Karena ketakutan, A
melarikan diri dan menjual seluruh hartanya kepada B dengan penuh
keterpaksaan. Dengan syarat, selama barang ini ada di tangan B maka B tidak
boleh menjualnya atau memberikannya kepada orang lain, dan jika A bisa
mengembalikan uangnya B (seharga barang yang dia beli) maka B wajib
mengembalikan barangnya. Bahkan terkadang jual beli ini dilakukan tanpa harga
yang ditetapkan, atau dengan harga yang sangat murah. Karena pada hakekatnya,
penjual tidak ingin menjual barangnya. Sebagian ulama menegaskan tidak
sahnya jual beli semacam ini. Ibnu Qudamah mengatakan: “Jual beli talji`ah
bathil (tidak sah)”.
9. Jual Beli Barang yang Mengandung Najis. Jual Beli Barang yang
Mengandung Najis dengan Tujuan Memanfaatkan Jual Beli Barang yang
mengandung najis hukumnya haram kecuali dengan tujuan memanfaatkannya,
bukan memakannya. Mazhab Hanafi dan Mazhab Zhahiri : Diperbolehkan
seseorang untuk menjual kotoran-kotoran/ tinjadan sampah-sampah yang
mengandung najis oleh karena sangat dibutuhkan guna untuk keperluan
perkebunan Demikian pula diperbolehkan menjual setiap barang najis yang dapat
dimanfaatkan bukam untuk dimakan atau diminum.
(Dihalalkan bagimu buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu
ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).
(QS. Al-Maidah : 4)
11. Jual beli kulit Bangkai. Kulit bangkai hukumnya najis, karena itu juga
menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu sudah dimasak,
sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya menjadi boleh untuk
diperjual-belikan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
ب
ٍ َص ٍ الَ تَ ْنتَفِعُوا ِمنَ ْال َم ْيتَ ِة بِإِهَا
َ ب َوالَ ع
Janganlah kamu mengambil manfaat bangakai dari ihab (kulit yang belum
disamak) dan syarafnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)
Kulit hewan yang belum dilakukan proses penyamakan disebut ihab ()إهاب.
Rasulullah SAW melarang bila kulit itu berasal dari bangkai, tapi hukumnya
menjadi boleh bila telah mengalami penyamakan. Rasulullah Saw bersabda :
إِ َذا ُدبِ َغ ا ِإلهَابُ فَقَ ْد طَه َُر
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR.
Muslim)
ٍ أَيُّ َما إِهَا
ب ُدبِ َغ فَقَ ْد طَهُ َر
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)
12. Jual Beli dengan Perantara Perantara (broker) dalam jual beli
disebut pula simsar. Yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas
dasa bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya brang sesuai
usahanya. Dalil: Rasulullah Bersabda: “ dalam perkara simsar ia berkata tidak
apa-apa. Kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebih dari
penjualan itu untuk engkau” (HR Bukhari) Kelebihan yang dinyatakan dalam
keterangan di atas adalah a. Harga yang lebih dari harga yang telah ditetapkan
oleh penjual barang itu b. Kelebihan barang setelah dijual menurt harga yang
telah ditentukan oleh pemilik barang tersebut
14. Jual Beli Air Jika seseorang mengambil dan mengumpulkan air, dan telah
menjadi miliknya, dalam keadaan eperti ini boleh menjualnya. Demikian pula
halnya jika seseorang menggali sumur di tanah miliknya atau membuat alat
untuk mengambil air.
15. Jual Beli dengan DP (Dawn Payment) Tanda jual beli panjar (DP)
bahwa pembeli membeli barang dan dia membayar sebagian pembayarannya
kepada si penjual. Jika jual beli dilaksanakan, panjar dihiung sebagai
pembayaran. Dan jika tidak, panjar diambil si penjual dengan dasar sebagai
penghibahab dari pembeli.
“Option dalam Fiqih Islam (Khiyâr)”
-Ufairoh M. & Rosiana Sukma A.-
A. Pengertian Khiyâr
Khiyâr berasal dari akar kata : khara-yakhiru-khoiron-wa khiyârotan yang
sinonimnya : memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya. Secara
bahasa khiyâr berasal dari kata ‘khair yang artinya baik, atau yang terbaik.
Sedangkan dalam istilah ilmu fiqih khiyâr adalah hak masing-masing pihak yang
berakad (penjual dan pembeli) untuk memutuskan akadnya, apakah akadnya
akan diteruskan atau dibatalkan. Dari sini terlihat bahwa makna secara istilah
tidak begitu berbeda dengan makna secara bahasa. Oleh sebab itu sebagian
ulama terkini mendefinisikan khiyâr secara syar’i sebagai “Hak orang yang
berakad dalam membatalkan akad atau meneruskannya karena ada sebab-sebab
secara syar’i yang dapat membatalkannya sesuai dengan kesepakatan ketika
berakad”
Hak khiyâr telah ditetapkan oleh Alquran, Sunnah, dan ijma’. Adapun
dalil Alquran sebagaimana firman Allah SWT:
Lafal jual beli dalam ayat ini adalah umum meliputi semua jual beli
dengan begitu ia menjadi mubah (boleh) untuk semua termasuk didalamnya
adalah khiyâr.
Disamping itu ada hadist lain yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari
Ibnu Umar
Artinya:“Dari Ibnu Umar r.a berkata telah bersabda nabi SAW : “Penjual dan
pembeli boleh melakukan Khiyâr selagi keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya pilihlah” Dan kadang kadang beliau
bersabda : “ Atau terjadi jual beli khiyâr.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun dalil ijma’ ulama telah sepakat tentang bolehnya melakukan
khiyâr dalam jual beli karena akad jual beli adalah akad ubah dan bolehnya jual
beli termasuk sesuatu yang sudah diketahuidari urusan agama secara pasti
dengan begitu khiyâr juga termasuk didalamnya
Dari dalil tersebut jelaslah bahwa khiyâr dalam akad jual beli hukumnya
dibolehkan. apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat yang bisa
merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyâr ditetapkan oleh syari’at islam bagi
orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam
transaksi yang mereka lakukan. Sehingga kemashlahatan yang dituju dalam suatu
transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyâr menurut ulama fiqih
adalah disyariatkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang
melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.
Hikmah dari khiyâr, agar orang yang mempunyai hak khiyâr mengetahui
harga, dan barang yang dihargakan, selamat dari penipuan menolak
kemudharatan yang bisa menimpa kedua orang yang berakad, oleh sebab itu
khiyâr disyariatkan karena termasuk yang mendesak.
C. Macam-macam Khiyâr
Banyak sekali jenis khiyâr yang ada dalam akad jual beli, secara keseluruhan
ada 17 macam, sebagian khiyâr ini disepakati oleh para ulama dan sebagian yang
lain masih menjadi khilafiah apakah jenis khiyâr itu berlaku atau tidak berlaku
atau bahkan tidak diakui oleh islam sama sekali. Dan adapun jenis khiyâr yang
perlu untuk diketahui antara lain :
1. Khiyâr Majlis
Khiyâr majlis adalah khiyâr yang berlaku seslama penjual dan pembeli
masih berada dalam satu majlis artinya selama penjual dan pembeli masih
berada ditempat transaksi jual beli maka penjual dan pembeli masih ada
kesempatan atau hak untuk membatalkan akad jual beli itu apabila keduanya
telah berpisah atau meninggalkan tempat transaksi maka khiyâr majlis sudah
tidak berlaku lagi.
Menurut jumhur ulama termasuk imam Syafi’i dan imam Ahmad bin
Hambal beliau berpendapat bahwa khiyâr ini dibenarkan (sah/boleh),
berdasarkan hadist imam Bukhari yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam.
Adapum mazhab imam Malik dan mazhab Hanafi berpendapat bahwa
khiyâr Majlis tidak dibenarkan, sebuah akad jual beli akan langsung
berdampak dan akadnya sudah mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan)
berlaku dan megikat kedua belah pihak seperti halnya akad nikah. Mereka
menafsirkan kata ‘berpisah/tafarruq’ dalam hadist dengan pengertian
tafarruq fil aqwal dalil lain yang menjadi hujjah para ulama yang menolak
khiyâr majlis adalah kewajiban memenuhi akad seperti dalam Q.S. al-
Maidah ayat 1
2. Khiyâr Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyâr syarat adalah suatu khiyâr dimana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan
khiyâr pada masa atau waktu tertentu, walapun waktu tersebut berlangsung
lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan
apabila ia menghendaki ia bisa membatalkannya. Khiyâr syarat menurut
istilah ulama fiqh adalah: “ Kedua belah pihak yang berakad atau salah
satunya atau orang lain yang mempunyai hak untuk meneruskan akad atau
membatakannya dalam tempo waktu yang ditentukan ketika berakad. Dan
penyandaan kata khiyâr kepada syarat adalah penyandaran sesuatu kebada
sebabnya artinya syarat inilah yang melahirkan khiyâr oleh sebab itu
dinamakan khiyâr syarat atau syarat khiyâr seperti yang diucapkan oleh
sebagian ulama fiqh.
Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyâr syarat sah jika waktunya
diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk
barang yang cepat rusak dalam tempo ini.
3. Khiyâr Aib
Khiyâr Aib adalah khiyâr karena adanya aib (cacat) pada obyek jual beli.
Dengan kata lain khiyâr Aib adalah hak penjual dan pembeli untuk
melakukan pembatalan atas akad jual beli yang sudah terjadi.
Sebuah jual beli harus terjadi atas dasar suka sama suka. Kondisi
suka sama suka pada umumnya akan terjadi jika obyek yang dijual belikan
dalam kondisi baik, tidak ada cacatnya, serta adanya kesetaraan nila barang
yang dibeli dengan harga yang harus dibayar, akad jual beli adalah akad
muawadloh (tukar menukar) yang menginginkan adanya kesetaraan antar
harga dengan barang (obyek akad), jika salah satunya terdapat cacat maka
penjual atau pembeli akan kecewa karena merasa tidak ada kesetaraan antara
harga dengan barang.
Cacat harus ada pada obyek akad sebelum diterima oleh pembeli
seandainya cacat terjadi setelah akad namun sebelumnya di serah terimakan
kepada pembeli maka khiyâr aib tetap berlaku karena masih berada pada
tanggung jawab penjual. Adapun jika cacat atau kerusakan terjadi setelah
berda di tangan pembeli, maka khiyâr aib sudah tidak berlaku karena barang
tersebut sudah menjadi milik dan tanggung jawab pembeli.
Cacat pada obyek akad masih terbukti adanya ketika barang di terima
oleh pembeliartinya boleh jadi cacat terjadi dalam perjalanan distribusi
namun ketika di serah terimakan aibnya sudah tidak ada lagi. Jika sudah
tidak ada aib lagi maka khiyâr aib tidak berlaku
4. Khiyâr Ru’yah
Khiyâr ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya
dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya
a. Talaki Rukban
b. An Najasy
Mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga dan tidak bisa
menawar bahkan dia percaya sepenuhnya kepada penjual, jika ternyata
dia di tipu dengan penipuan yang besar maka dia punya hak untuk
khiyâr.