Anda di halaman 1dari 129

“Harta Dalam Islam”

-Kartika A. & Mardiana-

A. HARTA DAN PERMASALAHANNYA

1. Pengertian Harta

Secara etimologi, al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong,
cenderung, dan miring atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-
mal segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik
dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat. Untuk pengertian al-mal
secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh para ulama fiqh
tentang al-mal (harta), yaitu :

1. Menurut Hanafiyah, harta mesti dapat disimpan sehingga sesuatu yang


tidak dapat disimpan tidak dapat disebut harta. Dimana, manfaat tidak
termasuk harta, tetapi manfaat termasuk milik. Hanafiyah membedakan
harta dengan milik, yaitu :
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak
dicampuri penggunaannya oleh orang lain. Harta adalah segala sesuatu
yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam
penggunaannya, harta bisa dicampuri oleh orang lain. Jadi menurut
Hanafiyah, yang dimaksud dengan harta hanyalah sesuatu yang berwujud
(a’yan).
2. Menurut sebagian ulama lainnya, bahwa yang dimaksud dengan harta
ialah

ِ َّ‫َاولَ ٍة بَ ْينَ الن‬


‫اس‬ ِ ‫ُكلُّ َع ْي ٍن َذا‬
ِ ‫ت قِ ْي َم ٍة َما ِّديَّ ٍة ُمتَد‬
”segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar diantara
manusia”.
Dalam kandungan kedua definisi di atas, terdapat perbedaan
esensi harta yang dikemukakan jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah.
Menurut jumhur ulama, harta itu tidak saja bersifat materi, melainkan
juga termasuk manfaat dari suatu benda. Akan tetapi, ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa yang dimaksud dengan harta itu hanya yang bersifat
materi. Sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian milik.
Implikasi dari perbedaan pendapat ini yang muncul akibat perbedaan
pengertian terhadap harta ini adalah dalam kasus al-ijarah (sewa-
menyewa). Apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain
dan kesepakatan sewa-menyewa telah disetujui oleh kedua belah pihak,
kemudian pemilik rumah meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini,
menurut ulama Hanfiyah, kontrak sewa menyewa rumah itu dibatalkan,
karena pemilik rumah telah wafat dan rumah harus diserahkan kepada
ahli warisnya, karena manfaat (sewa rumah yang dikontrakka) tidak
termasuk harta yang boleh diwarisi.
Akan tetapi, jumhur ulama berpendirian bahwa kontrak sewa
menyewa berlangsung terus sampai habis masa kontraknya, sekalipun
pemilik rumah telah wafat, karena manfaat adalah harta yang boleh
diwariskan kepada ahli waris. Terhentinya akad sewa menyewa hanya
dengan jatuh tempo penyewaan, bukan karena wafatnya pemilik rumah.
Ulama Hanafiyah mutaakhkhirin (generasi belakang) berpendapat bahwa
defines al-mal yang dikemukakan oleh para pendahulunya dianggap tidak
komprehensif dan kurang akomodatif, karena merujuk pada sura Al-
Baqarah ayat 29. Mereka lebih cenderung menggunakan definisi al-mal
yang dikemukakan jumhur ulama, karena persoalan al-mal terkait dengan
persoalan dengan persoalan adat kebiasaan, situasi, dan kondisi suatu
masyarakat. Menurut mereka, pada zaman ini, kadangkala manfaat suatu
benda lebih banyak menghasilkan penambahan harta disbanding wujud
bendanya sendiri, seperti perbandingan harga antara mengontrakkan
rumah dalam beberapa tahun dengan menjualnya secara tunai.
2. Kedudukan Harta
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam
menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh persoalan
harta dimasukkan ke dalam salah satu adh-dharuriya al-khamsah (lima
keperluan pokok) yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Selain itu, dalam Al-qur’an menjelaskan bahwa harta merupakan perhiasan
dunia. Disamping sebagai perhiasan, harta juga berkedudukan sebagai
amanat, sebagai Allah SWT nyatakan dalam surah At-Taghabun:15. Karena
harta sebagai titipan, manusia tidak memiliki harta secara mutlak sehingga
dalam pandangan tentang harta, terdapat hak-hak orang lain., seperti zakat
harta dan yang lainnya. Hak-hak orang lain yang terdapat di dalam harta
seseorang inilah yang disebut dengan hak masyarakat yang berfungsi sosial
untuk kesejahteraan sesama manusia. Kedudukan harta selanjutnya adalah
sebagai musuh.
Pada hakikatnya, segala yang ada di kangit dan di bumi adalah milik
Allah. Oleh karena itu, penggunaan harta dalam ajaran Islam harus senantiasa
dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah. Adapun konsekuensi dari penjelasan di atas
ialah sebagai berikut :
a. Manusia bukanlah pemilik mutlak, tetapi dibatasi oleh hak-hak Allah
sehingga wajib baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya
untuk berzakat dan ibadah lainnya.
b. Cara-cara pengambilan manfaat harta mengarah kepada kemakmuran
bersama, pelaksanaannya dapat diatur oleh masyarakat melalui wakil-
wakilnya
c. Harta perorangan boleh digunakan untuk umum, dengan syarat
pemiliknya memperoleh imbalan yang wajar.
Disamping diperhatikannya kepentingan umum, kepentingan pribadi
juga harus diperhatikan, maka berlakulah ketentuan-ketentuan sebagai berikut
:
a. Masyarakat tidak boleh mengganggu dan melanggar kepentingan
pribadi selama tidak merugikan orang lain dan masyarakat
b. Karena pemilik manfaat berhubungan serta dengan hartanya, maka
pemilik (manfaat) boleh memindahkan hak miliknya kepada orang
lain, misalnya dengan menjualnya, menghibahkannya, dsb
c. Pada pokoknya, pemilik manfaat itu kekal, tidak terikat oleh waktu.

Berkenaan dengan harta pula, dalam Al-qur’an dijelaskan larangan-


larangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi :
produksi, distribusi, dan konsumsi harta, dalam kaitan ini dapat dijelaskan
bentuk-bentuk larangan tersebut sebagai berikut :

a. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia,


berupa :
1) Memakan harta sesame manusia dengan cara yang batil
2) Memakan harta dengan jalan penipuan
3) Dengan jalan melanggar janji dan sumpah
4) Dengan jalan pencurian
b. Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan dan
sebagian atau keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang
memakai bunga
c. Penimbunan harta dengan jalan kikir
d. Aktivitas yang merupakan pemborosan
e. Memproduksikan, memperdagangkan, dan mengonsumsi barang-barang
yang terlarang
Selain yang dilarang, semua kegiatan yang dilakukan dalam
memfungsikan harta pada prinsipnya dibolehkan, baik dalam rangka
pemenuhan kebutuhan individual maupun masyarakat. Kaidah pokok ini
didasarkan kepada sabda Nabi Saw yang menyatakan
‫أَ ْنتُ ْم اَ ْعلَ ُم بِا ُ ُموْ ِر ُد ْنيَا ُك ْم‬
“Kamu lebih mengetahui mengenai urusan duniamu”. (Riwayat Ahmad)

3. Pembagian Harta
Para ulama fiqh membagi harta dari berbagai jenis, dengan tiap-tiap
bagiannya memiliki ciri dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini
sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta
dibagi kepada mutaqawwin dan ghair mutaqawwin.
a. Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh dimanfaatkan
menurut syara’. Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat Islam,
tetapi kerbau tersebut jika disembelih dengan tidak sah menurut
syara’, misalnya dipukul, maka daging kerbau tidak bisa
dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal menurut
syara’.
b. Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh
dimanfaatkan menurut ketentuan syara’. Baik jenisnya, cara
memperolehnya maupun cara penggunaannya. Misalnya babi
karena jenisnya, sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri, dan
uang disumbangkan untuk membuat bangunan tempat maksiat.
2. Dilihat dari segi jenisnya, yaitu harta manqul dan harta ghair manqul
a. Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan
(bergerak) dari satu tempat ke tempat lain. Seperti barang
dagangan (buah-buahan, sayur-sayuran, pulpen, buku, dan
pakaian), emas, perak, dan lain sebagainya.
b. Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan
dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti tanah dan
rumah.
3. Dilihat dari segi pemanfaatannya, harta terbagi atas harta al-isti’mali
dan harta al-istihlaki.
a. Harta al-isti’mali adalah harta yang apabila digunakan atau
dimanfaatkan benda itu tetap utuh, sekalipun manfaatnya sudah
banyak digunakan. Sebagai contoh adalah lahan pertanian, rumah,
dan buku.
b. Harta al-istihlaki adalah harta yang apabila dimanfaatkan
berakibat kepada menghabiskan harta itu. Contohnya adalah
sabun dan makanan.
4. Dilihat dari ada atau tidaknya harta sejenis di pasaran, yaitu harta
mitsli dan harta qimi
a. Harta mitsli adalah harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara
persis), yang ditimbang atau ditakar seperti beras
b. Harta qimi adalah harta yang sulit didapatkan di pasar, bisa
diperoleh, tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
5. Dilihat dari status harta, para ulama fiqh membaginya kepada al-mal
al-mamluk, al-mal al-mubah, dan al-mal al-mahjur.
a. al-mal al-mamluk ialah harta-harta yang telah dimiliki, baik
pemiliknya itu pribadi maupun badan hukum, seperti Negara dan
organisasi kemasyarakatan. al-mal al-mamluk terbagi ke dua
bentuk, yaitu harta milik pibadi dan milik bersama (serikat).
b. al-mal al-mubah ialah harta yang tidak miliki seseorang, seperti
air pada mata air, binatang burun dan pohon-pohon di hutan
c. al-mal al-mahjur adalah harta yang ada larangan syara’ untuk
memilikinya, baik karena harta itu dijadikan harta wakaf maupun
diperuntukkan bagi kepentingan umum. Dengan kata lain, tidak
boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tertentu. Contonya
jalan raya, masjid-masjid, maupun kuburan-kuburan.
6. Harta yang dapat dibagi dan harta yang tidak dapat dibagi
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang
tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta
itu dibagi-bagi, misalnya gandum.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah
harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila
harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja dan yang
lainnya.
7. Harta pokok dan harta hasil
a. Harta pokok atau dengan kata lain al-ashl bermakna yang
menghasilkan, seperti binatang dan pepohonan.
b. Harta hasil, seperti susu kambing dan buah-buahan.
8. Harta ‘ain dan harta dayn
a. Harta ‘ain adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah,
pakaian, dan yang lainnya. Harta ‘ain dibagi menjadi 2, yaitu :
‘ain dzati qimah yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai
harta karena memiliki nilai. Dan ‘ain ghayr dzati qimah yaitu
benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak
memiliki harga, misalnya sebutir beras.
b. Harta dayn ialah sesuatu yang berada dalam tanggungjawab,
sperti uang.
9. Pembagian lain yang dikemukakan para ulama fiqh tentang harta
adalah dari segi pemiliknya. Ada harta milik pribadi yang pemiliknya
bebas memanfaatkan harta itu selama tidak merugikan orang lain. Dan
ada harta milik masyarakat umum yang pemanfaatannya untuk semua
orang. Harta milik bersama bisa berubah status menjadi milik pribadi
apabila telah diambil dan dipelihara dengan baik oleh seseorang.
Sebaliknya harta milik pribadi juga bisa berubah status menjadi milik
bersama melalui,
a. Kehendak sendiri dari pemiliknya, contohnya wakaf
b. Kehendak syara’, seperti untuk keperluan umat yang mendesak
untuk membuat jalan umum diatas tanah milik pribadi. Dalam hal
ini pihak penguasa boleh mempergunakan tanah pribadi untuk
kepentingan umum.

4. Fungsi Harta
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaatnya.
Fungsi harta amat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun
kegunaan dalam hal yang jelek. Di antara sekian banyak fungsi harta antara
lain sebagai berikut :
1. Menyempurnakan pelaksaan ibadah yang khas, sebab untuk ibadah
diperlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan
ibadah, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibah
dan yang lainnya.
2. Meningkatkan keimanan kepada Allah, sebab kefakiran cenderung
mendekatkan diri kepada kekufuran.
3. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya
4. Untuk menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
5. Mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu karena menuntut ilmu tanpa
modal terasa sulit,
6. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan, yakni adanya pembantu
dan tuan. Adanya yang kaya dan tidak mampu yang saling membutuhkan
sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan
7. Menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan.

B. PEMBERIAN HARTA KEPADA ORANG LAIN


1. Hibah
Secara etimologi, hibah berarti pemberian atau hadiah. Pemberian ini
dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah, tanpa
mengharapkan balasan apapun, tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan
berpindahnya pemilikan harta itu kepada orang yang diberi. Hibah sebagai
salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara sesame
manusia sangat bernilai positif. Para ulama fiqh sepakat bahwa hukum hibah
adalah sunah.
Rukun dan Syarat Hibah
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa hibah mempunyai rukun dan
syarat yang harus dipenuhi, sehingga hibah itu dianggap sah dan berlaku
hukumnya. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah itu adalah
adanya ijab (ungkapan penyerahan/pemberian harta), qabul (ungkapan
penerimaan), dan qabd (harta itu dapat dikuasai langsung). Jumhur ulama
mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada empat, yaitu : orang yang
menghibahkan, harta yang dihibahkan, lafaz hibah dan orang yang
menerima hibah. Untuk orang yang menghibahkan hartanya disyaratkan
bahwa ia adalah orang yang cakap bertindak hukum, yaitu balig, berakal dan
cerdas. Oleh sebab itu, anak kecil dan orang gila tidak sah hibahnya, karena
mereka termasuk orang-orang yang tidak cakap bertindak hukum.
Sedangkan syarat barang yang dihibahkan adalah :
a. Harta yang akan dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung.
b. Harta yang dihibahkan bernilai harta menurut syara’, seperti darah dan
minuman keras
c. Harta itu merupakan milik orang yang menghibahkannya
d. Menurut ulama Hanafiyah, apabila harta yang dihibahkan itu
berbentuk rumah harus bersifat utuh, sekalipun rumah itu boleh dibagi.
Akan tetapi, ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan
bahwa menghibahkan sebagian rumah boleh saja dan hukumnya sah.
e. Harta yang dihibahkan itu terpisah dari yang lainnya dan tidak terkait
dengan harta atau hak lainnya, karena prinsip barang yang dihibahkan
itu dapat dipergunakan oleh penerima hibah setelah akad dinyatakan
sah. Apabila seseorang menghibahkan sebidang tanah, tetapi di tanah
itu ada tanaman orang yang menghibahkan , maka hibahnya tidak sah.
Dari permasalahan ini muncul pula persoalan menghibahkan sapi
yang masih hamil.
f. Harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai penerima hibah.
Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah,
syarat ini malah dijadikan rukun hibah, karena keberadaannya sangat
penting. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyahm dan Hanabilah lainnya
mengatakan al-qabdh merupakan syarat terpenting sehingga hibah
tidak dikatakan sah dan mengikat apabila syarat ini tidak dipenuhi.
Pencabutan Hibah
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah itu tidak mengikat.
Oleh sebab itu, pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya.
Alasan yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah SAW :
“Orang yang menghibahlkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya,
selama hibah itu tidak diiringi ganti rugi” (HR Ibnu Majah, ad-Daruquthni,
ath-la imbThabrani, dan al-Hakim)
Akan tetapi, mereka juga mengatakan ada hal-hal yang menghalangi
pencabutan hibah itu kembali, yaitu :
1. Apabila penerima hibah memberi imbalan harta/uang kepada pemberi
hibah dan penerima hibah menerimanya, karena dengan diterimanya
imbalan harta/uang itu oleh pemberi hibah, maka tujuannya jelas untuk
mendapatkan ganti rugi.
2. Apabila imbalannya bersifat maknawi, bukan bersifat harta seperti
mengharapkan pahala dari Allah, untuk mempererat hubungan
silaturahim dan hibah dalam rangka memperbaiki hubungan suami
istri.
3. Hibah tidak dapat dicabut (menurut Hanafiyyah), apabila penerima
hibah telah menambah harta yang dihibahkan itu dengan tambahan
yang tidak bisa dipisahkan lagi, baik tambahan itu hasil dari harta yang
dihibahkan maupun bukan. Misalnya, yang dihibahkan itu sebuh
rumah, lalu rumah itu ia jadikan bertingkat. Akan tetapi, apabila
tambahan itu bersifat terpisah seperti buah-buahan dari pohon yang
dihibahkan.
4. Harta yang dihibahkan telah dipindah tangankan oleh si penerima
hibah melalui cara apapun.
5. Wafatnya salah satu pihak yang berakad hibah. Baik penerima hibah
atau pemberi hibah wafat.
6. Hilangnya harta yang dihibahkan atau disebabkan pemanfaatannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut Jumhur ulama mengatakan bahwa


pemberi hibah boleh menari kembali hibahnya dalam keadaan
apapun, kecuali pemberian tersebut terjadi antara ayah dengan anak.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Tidak seorang pun yang boleh menarik kembali pemberiannya,
kecuali pemberian ayah terhadap anakya.(HR. abu daud, ibnu majah.
At-tirmidzi dan an-nasa’i)
Berlaku adil terhadap anak-anak, menurut jumhur ulama, termasuk
dalam pemberian harta ketika sang ayah masih hidup. Namun hukum
memberikan harta yang adil kepada anak-anak bukan berarti wajib,
tapi hanyalah Sunnah.

2. Sedekah
Secara etimologi, sedekah berasal dari bahasa arab Ash-shadaqah.
Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan dengan pemberian yang
disunnahkan. Tetapi setelah kewajiban zakat disyari’atkan yang di dalam al-
Qur’an disebut juga dengan sedekah, maka istilah sedekah mempunyai dua
pengertian, yaitu sedekah sunnat dan sedekah wajib(zakat).
Secara terminologi, sedekah diartikan sebagai pemberian seseorang,
secara ikhlas, kepada yang berhak menerimanya. Berdasarkan pengertian ini,
maka infaq (pemberian[sumbangan]) harta untuk kebaikan termasuk ke dalam
kategori sedekah.
Dasar hukum sedekah
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sedekah merupakan salah
satu perbuatan yang disyari’atkan dan hukumnya adalah Sunnah .
Kesepakatan mereka itu didasarkan kepada ayat al-qur’an dan Sunnah Nabi
SAW.
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
ia pengguhan sampai ia berkelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Qs. Al-
baqarah :280)
Sabda Rasulullah:
“Bersedekahlah walaupun dengan sebutir kurma, karena hal itu dapat
menutup dari kelaparan dan dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air
memadamkan api”. (HR. ibn al-mubarak)
Berdasarkan ayat dan hadist diatas, disamping ayat-ayat dan hadist
lainnya, para ulama fiqh menetapkan bahwa sedekah itu hukumnya adalah
sunnah.
Bentuk-bentuk sedekah
Sedekah dalam konsep islam memiliki arti yang luas, tidak hanya
terbatas pada pemberian sesuatu yang bersifat materil kepada orang-orang
yang berhak menerimanya, melainkan lebh dari itu, sedekah mencakup semua
perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun non fisik.
1. Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang miskin
2. Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan.
3. Berlaku adil dalam mendamaikanorang yang bersengketa.
4. Membantu seseorang yang akan menaiki kendaraan yang akan
ditumpanginya.
5. Melangkahkan kaki dijalan Allah.
6. Membacakan/mengucapkan zikir kepada Allah, seperti tasbih, takbir,
tahmid, tahlil dan istighfar.
7. Menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada yang munkar.
8. Memberi senyuman kepada orang lain
9. Dan lain-lain

Perbedaan sedekah dengan zakat


a. Dari segi subjek
Sedekah dianjurkan kepada setiap orang yang beriman, baik miskin
maupun kaya, kuat atau lemah, sedangkan zakat diwajibkan kepada
orang-orang tertentu, yaitu orang – orang yang memenuhi persyaratan
sebagai wajib zakat.
b. Dari segi yang disedekahkan.
Pada sedekah yang diberikan tidak terbatas pada harta secara fisik,
melainkan mencakup semua kebaikan, sebagaimana dijelaskan diatas.
Sedangkan pada zakat yang dikeluarkan terbatas pada harta kekayaan
secara fisik, seperti hasil pertanian, peternakan, perdangan dan hasil
profesi lainnya.
c. Dari segi penerima (objeknya)
Zakat hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang telah ditentukan
oleh Allah didalm al-qur’an, fakir, miskin, amil, mualaf, orang yang
berhutang, musafir, fisabilillah.

C. Modal pokok dalam islam

Secara bahasa (arab) modal atau harta disebut al-amal (mufrad tunggal), atau
al amwal (jamak). Adapun dalam istilah syar’i, harta diartikan sebagai segala
sesuatu yang dimanfaatkan dalam perkara yang legal menurut hukum islam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, baik barang
maupun jasa, yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan di dunia adalah
merupakan harta. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar
keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi
kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta`awun (tolong-
menolong) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan
mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan
bagi orang lain dengan menjual barang. Islam memberikan konsep-konsep,
menciptakan struktur hukum dan menetapkan berbagai macam jenis usaha yang
berbeda-beda sehingga bisa dijadikan naungan bagi kalangan usahawan di
sepanjang perputaran masa.

Dalam kaitan dengan faktor produksi, Behesi menyatakan bahwa peran modal
dalam meningkatkan hasil produksi yakni ditandai dengan pemunculan nilai-nilai
tambahan baru. Nilai-nilai tambahan baru disini sudah barang tentu tidak semata
dalam arti kuantitatif dan meterialistis, namun yang paling penting adalah dalam
arti kualitatif. Apabila ditinjau dari perspekti ekonomi Islam nilai kualitatif ini
yang dimaksud adalah untuk memperoleh hasil berakah dan ridho Allah.
Pentingya modal dalam kehidupan manusia ditujukan dalam Al-Qur’an Ali
Imron ayat 14 yang artinya:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang


diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, sawah, dan ladang. Itulah
kesenangan hidup didunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang  baik
(surga).”

Rasulullah SAW menekankan pentingnya modal dalam sabdanya:


“Tidak boleh iri kecuali pada dua perkara yaitu: orang yang hartanya
digunakan jalan kebenaran dan orang yang ilmu pengetahuanya diamalkan
kepada orang lain.”  (HR. Ibnu Asakir)

Memang perlu diakui tanpa ketersediaan modal yang mencukupi hampir


mustahil rasanya bisnis yang ditekuni bisa berkembang sesuai dengan yang
ditargetkan. Hanya saja system ekonomi Islam mempunyai cara tersendiri
dibandingkan dengan system kapitalis yang selalu berupaya memperkuat modal
dengan memperbesar produksi dan menghalalkan segala cara untuk mencapai
target yang diingkan tanpa memikirkan apakah cara tersebut akan
menguntungkan atau justru merugikan orang lain. Penerapan system bunga
misalnya merupakan salah satu contoh system kapitalis untuk terus
mengembangkan modal yang dimiliki. Tanpa peduli apakah pihak yang
meminjam mengalami kerugian atau tidak, hal itu bukan urusan pemilik modal,
karena yang penting adalah siapa pun yang menggunakan jasa harus
mengembalikan sesuai jumlah kelebihan (bunga) yang telah ditetapkan, ditambah
dengan jumlah  pinjaman pokoknya.
Dalam ekonomi Islam modal itu harus terus berkembang, dalam arti tidak
boleh stagnan, apalagi sampai terjadi idle (menganggur). Artinya, hendaknya
modal harus berputar. Islam dengan system sendiri, didalam upaya
memanfaatkan dan mengembangkan modal, menekankan tetap memikirkan
kepentingan orang lain. Oleh karena itu, dalam kaitanya dalam penggunaan jasa
keuangan misalnya, islam menempuh cara bagi hasil dengan untuk dibagi dan
rugi ditanggung bersama. Dengan sisitem semacam ini modal dan bisnis akan
terus terselamatkan, tanpa merugikan pihak manapun.
Islam menyarankan dalam berbagai cara yang mungkin dapat meningkatkan
jumlah simpanan dalam masyarakat yaitu:
1. Peningkatan Pendapatan
Peningkatan pendapatan dalam Islam ada yang bersifat wajib dan ada
yang bersifat pilihan. Yang bersifat wajib adalah dengan pembayaran zakat
dan larangan mengenakan bunga. Dan yang bersifat pilihan ada beberapa
yaitu penggunaan harta anak yatim untuk dimanfaatkan dalam perdagangan
atau perusahaan yang lebih menguntungkan untuk meningkatkan
pertumbuhan modal dalam masyarakat, juga dengan cara penanaman modal
secara tunai, dan juga dengan cara meninggalkan harta waris dalam keadaan
berharta dan berkecukupan untuk membantu pertumbuhan modal dalam
masyarakat.
2. Menghindari Sikap Berlebih-lebihan
Pertumbuhan pendapatan tidak meningkatkan tabungan jika pada
waktu yang sama pengeluaran bertambah melebihi pendapatan. Oleh karena
itu, perlu dikurangi pengeluaran yang tidak perlu, seperti gaya hidup mewah
dan dijaga agar tidak hidup berlebih-lebihan dalam masyarakat.
Sebagaimana firma-Nya dalam Al-A’raf ayat 31 yaitu:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.
3. Pembekuan Modal
Harta itu adalah titipan Allah yang harus kita gunakan untuk
kemaslahatan masyarakat banyak. Karena itu harta perlu dijadikan sebagai
modal produktif bukan konsumtif, apalagi berfoya-foya. Dengan begitu
jangan dibiarkan modal diam, tapi haruslah harta itu dibuat menghasilkan
(produktif)
Untuk meningkatkan atau memperbanyak jumlah modal, Islam
membolehkannya namun dengan cara yang halal, baik melalui produksi
maupun investasi. Investasi yang aman secara duniawi belum tentu aman
dari sisi akhiratnya. Maksudnya, investasi yang sangat menguntungkan
sekalipun dan tidak melanggar hokum positif yang berlaku, belum tentu
aman kalau dilihat dari syari’ah islam.
Dalam Islam diperbolehkan menanamkan modal atau berinvestasi
namun tetap berpilar pada prinsip-prinsip syariah. Adalah obligasi syariah
atau yang lazim disebut sukuk yang sesuai dengan prinsip syariah. Sukuk
adalah surat berharga jangka panjang berbasis prinsip syariah Islam yang
dikeluarkan oleh perusahaan atau institusi dengan maksud memperoleh
pembiayaan uang dari investor obligasi. Berbeda dengan obligasi
konvensional, obligasi syariah tidak mengenal bunga. Karena dalam Islam
bunga atau riba adalah haram hukumnya. Karena telah memperoleh
pinjaman uang, tentu saja emiten atau penerbit obligasi harus memberikan
imbalan kepada para investor pembeli obligasinya. Imbalan yang diberikan
dapat berupa pembagian hasil, margin pendapatan (fee), atau sewa.
Obligasi syariah juga ada yang diterbitkan secara retail yang kita
kenal dengan nama Surat Berharga Syariah Negara Ritel (Sukuk Ritel)
adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah
sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset Surat Berharga Syariah
Negara, yang dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara
Indonesia melalui Agen Penjual, dengan volume minimum yang telah
ditentukan. The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial
Institutions (AAOIFI) mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat bernilai sama
yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu asset,
hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan
investasi tertentu. 
Seperti dijelaskan di atas sukuk pada prinsipnya mirip seperti
obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa
penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya
suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu
aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya aqad atau penjanjian
antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain
itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini
aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir. 
Skema Permodalan IASLM adalah sebagai berikut :
 

Dimana Allah menciptakan manusia untuk ibadah. Allah memerintahkan


manusia untuk bekerja dan berusaha selama hidup di dunia. Dan sebagai
makhluk ciptaan Allah, manusia wajib bekerja dan berusaha sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. Dalam konsep permodalan, manusia dapat bekerja dengan
cara berinvestasi atau menanamkan modalnya. Dan investasi yang berbasis
prinsip syariah adalah sukuk, dimana tidak adanya sistem bunga, melainkan
sistem bagi hasil. Juga terdapat akad berdasarkan prinsip syariah di antara para
pihak yang terkait dalam sukuk tersebut.
Kita juga bisa berdagang dengan modal yang kita miliki, sehingga harta kita
tidak diam begitu saja tetapi dapat diproduktifkan. Berdagang merupakan
pekerjaan yang mulia, bahkan Rasulullah pun berkata bahwa sesungguhnya 9
dari 10 pintu rezeki adalah dengan berdagang. Dengan berdagang akan membuat
uang terus berputar, sehingga uang kembali ke hakikatnya dalam Islam yaitu
sebagai flow concept, bukan stock concept.
Selain itu, kita dapat menggunakan modal yang kita miliki dengan
membangun atau mengembangkan lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan
kemanusiaan yang berorientasi untuk masyarakat. Seperti contohnya Baitul Maal
wa Tamlik (BMT). Lembaga ini merupakan lembaga yang mengatur
pendayagunaan harta si kaya dalam bentuk zakat, infaq, shodaqah yang
kemudian digunakan dalam bentuk produktif dan atau diberikan kepada kaum
dhuafa yang membutuhkan. Apabila kita sebagai manusia, makhluk ciptaan
Allah yang paling sempurna sudah bekerja dan berusaha, itu semua merupakan
ibadah. Karena dari setiap usaha yang kita lakukan dan kita jalani memiliki
tujuan hanya untuk mencapai keberkahan dan kerihoan Allah SWT.
Ketika modal yang kita miliki digunakan dengan baik dan sesuai dengan
prinsip syariah, maka hasil yang di dapat pun akan positif. Sebaliknya, ketika
kita menggunakan modal tersebut untuk menimbun kekayaan, dan
menggunakannya dengan cara yang batil dan zalim yang dilarang dalam Islam,
maka hasil yang akan kita dapat menjadi negatif. Hal ini ditunjukkan di dalam
kurva yang di analisis oleh penulis.
Kurva Permodalan ISLAM adalah sebagai berikut :
A. Kurva Positif

Mengapa dengan tanda panah itu menunjukkan hasil yang positif? Karena itu
mengikuti sistem jari-jari sebelah kanan kita, yang apabila kita tekuk ke empat
jari kita (jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking) akan bergerak
seolah mendekati kita. Dan sebaliknya, apabila diputar ke kanan, ke empat jari
kita akan bergerak seolah menjauhi kita. Hal itulah yang mendasari mengapa
arah ke kiri berarti menujukkan hasil yang positif, sedangkan arah ke kanan
berarti menunjukkan hasil yang negatif.

Maksud dari kurva di atas adalah modal yang kita miliki bisa menjadi positif
ketika

1. Menghindari sentralisasi modal


Contoh ini terdapat pada skema permodalan tadi, yaitu berdagang.
Dengan berdagang, modal yang kita miliki menjadi modal yang produktif.
Modal tersebut kita putar dan kita alirkan terus, sehingga modal (dalam hal
ini uang) tidak hanya diam atau mengendap. Karena hakekat uang itu
adalah flow concept, bukan stock concept. Dan harta itu pada dasarnya
adalah milik Allah SWT, titipan Allah yang harus kita gunakan untuk
kemaslahatan masyarakat banyak. Dengan berdagang bisa membuat
transaksi ekonomi terus berjalan, sehingga perekonomian pun tidak lesu. 
2. Mengembangkan yayasan-yayasan kemanusiaan dengan orientasi kepada
masyarakat
Contoh ini adalah dengan menggunakan modal yang kita miliki
untuk membangun Baitul Maal wa Tamlik (BMT), seperti yang terdapat
pada gambar skema di atas. BMT menghimpun dana berupa zakat, infaq,
shodaqah, dari orang-orang yang mampu untuk kemudian disalurkan
kepada kaum dhuafa yang membutuhkan.
3. Menguatkan ikatan persaudaraan dan kemasyarakatan melalui zakat dan
infaq
Dengan melakukan dua hal di atas, sudah cukup membantu dalam
pemerataan aliran modal di masyarakat. Dan melalui zakat dan infaq yang
kita keluarkan, akan menguatkan ikatan persaudaraan kita antar sesama
manusia khususnya umat Islam.
B. Kurva Negatif

Maksud dari kurva di atas adalah modal yang kita miliki bisa menjadi negatif
ketika :

1. Menghasilkan uang dari pinjaman modal dengan bunga


Hal ini biasa dilakukan ketika orang akan melakukan investasi.
Alasan utama seorang itu melakukan investasi adalah untuk menanamkan
sahamnya dalam jangka waktu yang lama sehingga ketika harga saham
tersebut naik, ia akan menjualnya. Ini yang dilarang dalam Islam, karena
dengan berinvestasi seperti itu sama saja membiarkan hartanya mengendap
di satu tempat dan tidak berputar. Bisa juga dilakukan saat
memperjualbelikan surat utang, yang disertai dengan kelipatan bunganya
karena ingin memperoleh untung yang lebih.

2. Menyimpan harta anak yatim


Untuk meningkatkan pertumbuhan modal dalam
masyarakat, pengasuh anak yatim hendaknya tidak menyimpan harta anak
yatim, tetapi memanfaatkan untuk perdagangan atau perusahaan yang lebih
menguntungkan.  Mereka diminta menggunakan untuk kebaikan serta tidak
memboroskanya, Hal tersebut disinggung dalam Al-Qur’an An-Nisa’ ayat
5:
“ dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlan kepada mereka kata-kata
yang baik.”
3. Bersikap berlebih-lebihan
Jika pengeluaran kita melebihi pendapatan, hal tersebut tidak akan
meningkatkan tabungan kita. Jadi sebaiknya kita hindari pengeluaran yang
tidak perlu, seperti gaya hidup mewah, berfoya-foya.
4. Pembekuan modal

Ini hakekatnya sama dengan pembahasan ‘menghindari sentralisasi modal’ pada


penjelasan kurva positif. Yaitu jika modal yang kita miliki tidak kita putar, tidak
digunakan secara produktif tetapi malah konsumtif, akan menyebabkan berkurangnya
jumlah modal kerja yang digunakan untuk usaha dalam perdagangan, pertanian, dan
industri. Dan hal ini akan memperlambat laju pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi, yang pada akhirnya bisa menjadikan sebuah negara menjadi miskin.
“Kepemilikan Dalam Islam”
-Darihan Mubarak & Rifky Juhaeri-

A. Kepemilikan
1. Pengertian dan dasar kepemilikan
Mikiyah menurut bahasa berasal dari kata milku artinya sesuatu yang
berada dalam kekuasaanya, sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu
harta atau barang yang secara hukum dapat dimilik oleh seseorang untuk
dimanfaatkan dan dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada
orang lain. Adapun menurut ulama fikih adalah kekhususan seorang pemilik
terhadap sesuatu untuk dimanfaatkan, selama tidak ada penghalang syar’i.
Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasanya dapat
melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dan
dapat dinikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak. Islam
mengajarkan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial. Artinya terdapat
kepentingan orang lain atau kepentingan umum yang harus diperhatikan.
Lebih dari itu bahwa milik pada hakikatnya hanyalah merupakan titipan dari
Allah sehingga perlakuan terhadap kepemilikan harus mengindahkan aturan
dari pemiliknya yang asli.
2. Sebab-Sebab Kepemilikan
Harta benda atau barang dan jasa dalam Islam harus jelas status
kepemilikannya, karena dalam kepemilikan itu terdapat hak-hak dan
kewajiban terhadap barang atau jasa, misalnya dalam waktu tertentu.
Kejelasan status kepemilikan dapat dilihat melalui sebab-sebab berikut:
 Disebabkan ihrasul mubahat (memiliki benda yang boleh dimiliki)
Barang atau benda tidaklah benda yang menjadi hak orang lain dan
tidak ada larangan hukum agama untuk diambil sebagai milik. Misal:
ikan disungai, ikan dilaut, hewan buruan, burung-burung dialam bebas
air hujan dan lain-lainnya.
 Disebabkan Al uqud , barang yang dimiliki karena melalui akad.
Misal: lewat jual beli, sewa-menyewa, pemberian dan lainnya.
 Disebabkan khalafiyah, barang atau benda yang dimiliki karena
berupa warisan. Misal: mendapat bagian harta dari orang tua,
mendapat barang dari ahli waris dan lain-lainya
 Disebabkan tawallud min mamluk (baranak pinak) yaitu tidak bisa
diganggu siapapun. Misal: telur dari ayam yang dimiliki, anak sapi
dari sapi yang dimiliki, dan lainnya.
3. Macam-Macam Kepemilikan
Menurut pandangan Islam bahwa hak milik itu dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, diantaranya:
 Kepemilikan penuh (milk-tam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan
terhadap benda atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan
secara hukum.
 Kepemilikan materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau
barang terbatas kepada penguasaan materinya saja.
 Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda
atau barang terbatas kepada pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan
secara hukum untuk menguasai harta itu.

Menurut Dr. Husain Abdullah kepemilikan dapat dibedakan menjadi:

 Hak milik pribadi (individu), Islam membolehkan hak individu terhadap harta
benda dan membenarkan pemelikan semua yang diperoleh secara halal
dimana seseorang mendapatkan sebanyak harta yang diperoleh. Menurut
pengetahuan, kemahiran, dan tenaga dengan menggunakan cara-cara yang
bermoral dan tidak anti sosial. Hak milik individu merupakan sesuatu yang
mendasar, bersifat permanen. Melekat pada eksistensi manusia dan bukan
merupakan fenomena sementara. Sedemikian Islam menghargai hak milik
individu, sampai-sampai harta mas kawin dalam pernikahan yang gagal
(dengan persyaratan tartentu) harus dikembalikan kepada yang punya.
 Hak milik umum, Konsep hak milik umum mula-mula digunakan dalam Islam
dan tidak terdapat dalam masa sebelumnya. Semua harta dan kekayaan milik
masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai
macam benda yang berbeda-beda kepada warganya. Pembagian mengenai
harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu secara
keseluruhan berdasakan kepentingan umum.
 Hak milik negara, Hak milik negara pada dasarnya adalah hak milik umum.
Tetapi dalam pengelolahan hak yang mengelola adalah pemerintah.
Contohnya: gedung sekolah negeri, gedung pemerintahan, hutan dan lainnya.
4. Ihrazul Mubahat dan Khalafiyah
Ihrazul mubahat adalah bolehnya seseorang memiliki harta yang tidak
bertuan (belum dimiliki oleh seseorang atau kelompok). Syarat Ihrazul
mubahat adalah sebagai berikut:
 Benda atau harta yang ditemukan itu belum ada yang memiliki.
 Benda atau harta yang ditemukan itu memang dimaksudkan untuk
dimilikinya. Contoh: burung yang menyasar dan masuk ke rumah. Khalafiyah
adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru ditempat yang lama
yang sudah tidak ada dalam berbagai macam hak.
Macam-macam Khalafiyah:
 Khalafiyah Syakhsyun ‘an Syakhsin (seseorang terhadap seseorang) adalah
kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh pewarisnya, sebatas
memiliki harta bukan mewarisi hutang pewaris.
 Khalafiyah Syai’un Sya’in (sesuatu terhadap sesuatu) adalah kewajiban
seseorang untuk mengganti harta/barang milik orang lain yang dipinjam
karena rusak atau hilang sesuai harga barang tersebut.
1. Ihyaul Mawat
Ihyaul Mawat adalah upaya untuk membuka lahan baru atas tanah yang
belum ada pemiliknya. Misalnya membuka hutan untuk lahan pertanian,
menghidupkan lahan tidur menjadi produktif yang berasal dari rawa-rawa
yang tidak produktif atau tanah tidur lainnya agar menjadi tanah produktif.
Menghidupkan lahan yang mati hukumnya boleh. Syarat membuka lahan
baru:
 Tanah yang dibuka itu cukup hanya untuk keperluan saja, apabila
lebih orang lain boleh mengambil sisanya.
 Adanya kesanggupan dan alat untuk meneruskannya, bukan semata-
mata sekedar untuk menguasai tanahnya saja.

Hikmah Ihyaul Mawat adalah sebagai berikut:


 Mendorong manusia untuk bekerja keras dalam mencari rezeki.
 Munculnya kemandirian dan percaya diri bahwa di dalam jagad raya ini
terdapat potensi alam yang dapat dikembangkan untuk kemaslahatan
hidup.
 Termanfaatkannya potensi alam sebagai manifestasi rasa syukur kepada
Allah Swt.

2. Hikmah Kepemilikan
Ada beberapa hikmah disyariatkannya kepemilikan dalam Islam, antara
lain sebagai berikut:
 Terciptanya rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat.
 Terlindungnya hak-hak individu secara baik.
 Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.
 Timbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.

PENUTUP
Mikiyah menurut bahasa berasal dari kata milku artinya sesuatu yang berada
dalam kekuasaanya, sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu harta atau
barang yang secara hukum dapat dimilik oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan
dibenarkan untuk dipindahkan penguasaannya kepada orang lain. Adapun menurut
ulama fikih adalah kekhususan seorang pemilik terhadap sesuatu untuk dimanfaatkan,
selama tidak ada penghalang syar’i. Milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang
penguasanya dapat melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu
dan dan dapat dinikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak. Hikmah
Kepemilikan:
1. Terciptanya rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Terlindungnya hak-hak individu secara baik.
3. Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.
4. Timbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.

“Teori Akad 1”
-Khairul Umuri & Syahid Afgan H.-
 

A. PENGERTIAN AKAD

Menurut segi etimologi


Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dalam hukum Indonesia dengan
istilah “perjanjian”. Kata akad berasal dari kata al ‘aqd yang berarti mengikat,
menyambung atau menghubungkan, juga bisa bermakna afirmasi atau 
pengukuhan.
Menurut terminologi ulama

Akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu sedcara umum maupun secara khusus:

1. Pengertian Umum
Secara umum, pengertian akad dalam6 arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyah,
malikiyah, dan hanabilah, yaitu: Artinya : “ segala sesuatu yang dikerjakan
oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan , atau sesuatu yang  pembentukannya membutuhkan
keinginanya dua orang seperti jua-beli, perwakilan, dan gadai.”
 
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara
lain:
Artinya : “perikatan yang ditetapkan ijab-qabul berdasarkan ketentuan
syara’ yang berdampak pada objeknya.” Contoh ijab adalah pernyataan
seorang penjual,”Saya telah menjual barang ini kepadamu “ atau “Saya
serahkan barang ini kepadamu”contoh qabul ,”Saya beli  barangmu .” atau
“Saya terima barangmu.” Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu
perbuatanatau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad
diantara du orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan
yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak semua
bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad,
terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syariat Islam.

B. PENGERTIAN TASHARRUF
Istilah ini berasal dari dua kata: ahliyah dan tasharruf. Ahliyah artinya
kelayakan. Dalam fiqh, ahliyah yang ada pada diri seseorang dibagi dua:

1. Ahliyah al-Wujub: kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan


kewajiban
2. Ahliyah al-Ada`: kelayakan seseorang untuk melakukan perbuatan yang
dianggap sah oleh syariat.

Sedangkan arti kata: tasharruf artinya semua bentuk interaksi manusia.


Baik yang sifatnya sosial maupun komersial.
Berdasarkan pengertian secara bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa
Ahliyah at-Tasharruf adalah kelayakan seseorang untuk melakukan
transaksi dan muamalah dengan pihak lain, yang dianggap sah secara
syariat.

Unsur Ahliyah at-Tasharruf

Seseorang dianggap telah memiliki Ahliyah at-Tasharruf jika dia memiliki


tiga unsur dalam dirinya:
1. Akal yang sehat.
2. Tamyiz (mampu membedakan hal yang baik dan hal yang tidak baik).
3. Sadar.
Seorang yang gila, ideot, atau kondisi semacamnya, tidak memiliki Ahliyah
at-Tasharruf. Karena akalnya tidak sempurna. Demikian pula anak kecil yang
belum bisa membedakan hal yang baik dan yang buruk, atau belum mengetahui
nilai mata uang tertentu, tidak memiliki Ahliyah at-Tasharruf, karena belum
tamyiz. Hal yang sama juga terjadi pada orang yang tidur, mabuk, pingsan,
hilang ingatan, dan semacamnya, tidak memiliki Ahliyah at-Tasharruf, karena
mereka tergolong orang yang tidak sadar.

C. RUKUN DAN SYARAT AKAD

1. RUKUN AKAD
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan Qabul.
Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang
terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Sedangkan Jumhur Ulama (Ulama selain Hanafiyah) berpendapat bahwa
akad memiliki tiga rukun, yaitu :

a. Orang yang akad (aqid), contoh penjual dan pembeli.  


b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh:harga atau yang
dihargakan.
c. Shigat,yaitu ijab dan qabul. Definisi Ijab dan Qabul Defenisi ijab
menurut ulama hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang
menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang
menyerahkan maupun yag menerima, sedangkan qabul adalah orang
yag berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yag menunjukkan
keridaan atasan ucapan orang pertama. Berbeda dengan pendapat di
atas, ulama selain Hanafiyah (Jumhur Ulama) berpendapat bahwa ijab
adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda,
baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan qabul adalah
pernyataan dari orang yang menerima barang. Pendapat ini merupakan
pengertian umum dpahami orang bahwa ijab adalah ucapan dari orang
yang menyerahkan barang (penjual dalam  jual beli), sedangkan qabul
adalah pernyataan dari penerima barang.

2. SYARAT AKAD
Ada berberapa macam syarat akad yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah,
syarat memberikan, dan syarat keharusan (luzum).

2.1. SYARAT TERJADINYA AKAD

Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk


terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad
menjadi batal.syarat ini terbagi menjadi dua bagian: Umum, yakni
syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad. Khusus, yakni syarat-
syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan  pada
bagian lainnya.

2.2. SYARAT SAH AKAD

Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’


untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad
tersebut rusak. Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam
kecacatan dalam jual-beli, yaitu syarat-syarat jual-beli rusak (fasid).

2.3. SYARAT PELAKSANAAN AKAD

Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan


kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang
sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai
dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang
dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketepatan syara’, bak secara asli,yakni
dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil
seseorang ).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad,
jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya
yang asli.  
b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang
lain.

2.4. SYARAT KEPASTIAN HUKUM (LUZUM)


 
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam
jual-beli adalah terhiindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti
khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad
batal atau dikembalikan Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara
syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar
jual-beli, seperti khiyar syarat,khiyar aib, dikembalikan.

D. PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA FIQIH MENGENAI RUKUN DAN


SYARAT AKAD

Ulama madhab telah berbeda pendapat dalam menentukan persyaratan


persyaratan yang terdapat dalam rukun jual beli,baik dalam akad,aqid ataupun
dalam ma’qud alaih. Adapun pendapat-pendapat mereka akan diuraikan berikut
ini:
1. IJAB DAN KABUL
Ijab dari segi bahasa berarti “pewajiban atau perkenaan”,sedangkan
qabil berarti “penerimaan”.Dalam jual beli ucapan atau tindakan yang lahir
pertama kali dari salah satu yang berakad disebut ijab,kemudian ucapan atau
tindakan yang lahir sesudahnya disebut qabul.

Syarat-syarat ijab qabul menurut para ulama :

1). Menurut ulama Hanafiyah,terlaksananya ijab qabul tidak harus


diekpresikan lewat ucapan (perkataan) tertentu,sebab dalam hukum perikatan
yang dijadikan ukuran adalah tujuan dan makna yang dihasilkannya.ukuran
ijab dan qabul adalah kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi dan
adanya tindakan ,memberi tindakan member atau menerima atau indikasi
dalam bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan dalam memindahkan
kepemilikannya.

2) Menurut ulama syafi’iyah bahwa jual beli tidak sah kecuali dilakukan
dengan sighah yang berupa ucapan tertentu atau cara lain yang dapat
menggantikan ucapan,seperti jual beli dengan tulisan,utusan orang atau
dengan isyarat tunawicara yang dapat dimengerti (dipahami maksudnya).Ijab
qabul dengan tulisan(surat dianggap sah jika kedua belah pihak yang berakad
berada di tempat yang saling berjauhan satu sama lain atau pihak yang
berakad tidak dapat berbicara.Akan tetapi apabila penjual dan pembeli berada
dalam satu majelis akad dan tidak ada halangan untuk melakukan akad
dengan ucapan,maka akad tersebut tidak syah jika tidak dipenuhi dengan
syarat transaksi jual beli selain dengan kata-kata.

3) Menurut ulama Syafi’iyah dan hanabilah, syarat ijab qabul adalah adanya
kesinambungan antara keduanya dalam satu majlis akad tanpa adanya
pemisah yang merusak akad.

4) Menurut ulama malikiyah, keterpisahan antara ijab dan qabul tidak akan
merusak akad jual beli selama hal tersebut terjadi menurut kebiasaan.

5) Syarat lain yang harus dipenuhi dalam ijab qabul adalah adanya kesesuaian
antara ijab dengan qabul terhadap harga barang yang diperjualbelikan.
2. AQID (PENJUAL DAN PEMBELI)
Persyaratan yang harus dipenuhi penjual sama dengan persyaratan
yang harus dipenuhi pembeli.Syarat-syarat yang harus dipenuhi penjual
adalah sebagai berikut :

A. Keduanya telah cakap melakukan perbuatan hukum.Dalam hukum


islam dikenal istilah baligh(dewasa)dan berakal sehat.Berdasarkan syarat
ini maka jual beli di bawah umur dan orang tidak berpikiran
sehat,menurut jumhur ulama,dianggap tidak sah.Adapun menurut mazhab
hanafi,baligh tidak menjadi syarat sah jual beli. Karena itu anak di bawah
umur tetapi dia sudah mummayyiz (anak dbapat membedakan hal-hal
yang baik dan buruk)dapat melakukan akad jual beli,selama jual beli
tersebut tidak memudharatkan dirinya dan mendapatkan izin atau
lakukapersetujuan dari walinya.

B. Keduannya melakukan akad atas kehendak sendiri.Karena itu apabila


akad jual beli dilakukan karena terpaksa baik secara fisik atau
mental,maka menurut jumhur ulama,jual beli tersebut tidak sah.

Adapun Abdurahman al jaziri mengutip secara terperinci tentang


pamdangan empat mazhab dalam masalah pemaksaan dalam jual beli ini

Pertama,menurut ulama Mazhab Hambali menyatakan bahwa kedua


belah pihak yang melakukan akad tidak boleh dipaksa baik secara lahir
maupun batin.Apabila keduanya hanya sepakat secara lahiriyah maka jual
beli tersebut batal demi hukum.Tetapi apabila seseorang menjual barang
untuk menghindari kelaliman orang lain tanpa didasari kesepakatan dengan
pembeli (jual beli ini merupakan taljiah/perlindungan baginya )maka hukum
jual beli tersebut menurut mazhab hambali adalah sah karena prosesnya
terjadi tanpa paksaan.

Kedua,menurut mazhab Hanafi bahwa akad yang dipaksa oleh


seseorang kepada orang lain dianggap sah,tetapi kedua belah pihak dapat
memfaskh atau membatalkannya karena terdapat cacat hukum.Menurut
mereka apabila ada seorang hakim memaksa orang lain menjual barangnya
guna melunasi hutangnya dengan perbedaan harga yang mencolok antara
harga pasaran,jual beli tersebut dinyatakan fasid.
Ketiga,ulama mazhab maliki menyatakan bahwa jual beli tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila terdapat unsur paksaan tanpa hak.

Keempat,ulama mazhab syafi’I berpendapat bahwa jual beli yang di


dalamnya terdapat unsure paksaan dianggap tidak sah.

3. MA’QUD ALAIH (IBJEK AKAD)


Ma’qud alaih ( objek akad ) adalah barang yang diperjualbelikan .
Para ulama telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam
ma’qud alaih ada empat macam.Sementara Sayyid Sabiq berpendapat bahwa
syarat ma’qud alaih ada enam macam.Perbedaan tersebut sebenarnya tidak
terlalu signifikan,karena pada dasarnya dua dari enam syarat ini telah
tercakup pada empat syarat.Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut :

a. Barang yang dijual ada dan dapat diketahui ketika akad


berlangsung.Apabila barang tersebut tidak dapat diketahui,maka jual beli
tidak sah.
b. Benda yang diperjualbelikan merupakan barang yang berharga.Berharga
yang dalam konteks ini adalah suci dan halal ditinjau dari aturan agama
islam dan mempunyai manfaat bagi manusia
c. Benda yang diperjualbelikan merupakan milik penjual.Maka jual beli
barang yang bukan milik penjual hukumnya tidak sah.
d. Benda yang dijual dapat diserahterimakan pada waktu akad.Artinya
benda yang dijual harus konkret dan ada pada waktu akad.

“Teori Akad 2”
-Miftahul Husna & Nur Padilah D-
A. Dampak Akad
1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan
suatu akad seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli,hibah,wakaf dan
lain-lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari
segi hukum maupun hasil.

B. Pembagian Akad
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu bisa dibagi jika dilihat dari
berbagai segi, diantara lain:

1. Dari segi sah atau tidaknya


1) Akad Shahih
Yaitu Akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum
dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang
ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad
yang shahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi
dua macam,yaitu:
a. Akad nafidz (dilaksanakan secara langsung), yaitu setiap akad yang
keluar dari orang yang memiliki legalitas atau kuasa untuk
mengeluarkannya, baik kuasa langsung atau melalui perwakilan
seperti akad yang dibuat oleh seseorang yang berakal dan bijak
terhadap dirinya dalam mengatur hartanya, akad yang dibuat oleh
pemberi wasiat atau akad yang dibuat seorang wali kepada orang
yang belum mumayyiz secara sempurna.
b. Akad mawquf, yaitu setiap akad yang keluar dari pihak yang
memiliki kemampuan untuk berakad namun tidak memiliki
wewenang untuk melakukannya, seperti akad yang dilakukan oleh
anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini akad itu
baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual
beli itu diizinkan oleh wali anak kecil itu.
Contoh lain dari akad mawquf ini adalah yang disebut dalam
fiqh dengan `aqd al-fudhuli. Misalnya, Firman memberikan uang
sebesar Rp. 5.000.000 kepada Ali untuk membeli seekor kambing.
Ternyata ditempat penjualan kambing, uang Rp. 5.000.000 itu dapat
membeli dua ekor kambing, Sehingga Ali dapat membeli dua ekor
kambing itu. Keabsahan akad jual beli dengan dua ekor kambing ini
sangat tergantung kepada persetujuan Firman, karena Ali
diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila Firman
menyetujui akad yang telah dilaksanakan Ali itu, maka jual beli itu
menjadi sah. Jika tidak disetujui Firman, maka jual beli itu tidak sah.
Akan tetapi, Ulama Syafi`iyah dan Hanabilah menganggap jual beli
mawquf itu sebagai jual beli yang batil.
2) Akad Ghair Shahih
Yaitu Akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-
syaratnya. Sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan
tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian ulama hanafiyah
membagi akad yang tidak shahih itu kedua macam ,yaitu:
a. Akad batil
Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah
satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Seperti tidak
ada barang yang diakadkan, akad yang dilakukan oleh orang gila dan
lain-lain.
b. Akad fasid
Suatu akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh
syara`. Seperti menjual narkoba, miras dan lain-lain.

2. Dari segi penamaannya


1) Akad al-Musammah
Yaitu Akad-akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’ serta
dijelaskan hukum-hukumnya. Seperti jual beli, sewa-menyewa,
perserikatan, hibah, al-wakalah, wakaf, mudharabah, asy-syirkah, ar-
rahn, dan wasiat.
2) Akad Ghair al-Musammah
Yaitu Akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai
dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan tempat, akad ini tidak
diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh. Seperti penerbitan,
periklanan dan lain-lain.

3. Dari segi melakukannya


1) Akad yang dilakukan dengan upacara
Yaitu Akad yang dilaksanakan dengan upacara tertentu. Seperti akad
pernikahan dihadiri oleh dua saksi,wali,dan petugas pencatat nikah.
2) Akad Ridhaiyah
Yaitu Akad yang dilakukan atas dasar kerelaan atau suka sama suka
(taraadhin) tanpa adanya paksaan (ikrah) dari pihak lain, akad ini
dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah
pihak. Seperti akad pada umumnya.

4. Dari segi wajib atau tidaknya


1) Akad Lazim
a. Akad lazim yang tidak bisa dibatalkan sama sekali walaupun kedua
belah pihak bersepakat untuk membatalkannya seperti akad nikah.
Jika akad ini terjadi, maka ia menjadi wajib dan mempunyai
pengaruh karena tabiat akad ini adalah luzum (wajib). Oleh sebab itu,
baik suami atau istri tidak memiliki hak fasakh atau membatalkannya
karena makna fasakh adalah mengangkat akad dari dasarnya
sehingga tidak ada lagi pengaruh akad yang tersisa seperti
membatalkan jual beli. Adapun hak talak yang dimiliki suami, itu
bukan termasuk mem-fasakh akad.
b. Akad lazim yang bisa dibatalkan jika kedua belah pihak yang
berakad berniat begitu, seperti akad jual beli, sewa-menyewa.
2) Akad yang tidak Lazim (Ghair Lazim)
Yaitu Akad yang mana kedua belah pihak memiliki hak untuk
membatalkan dengan cara fasakh tanpa harus menunggu kerelaan pihak
lain. Seperti akad titipan, peminjaman dan hibah.

5. Dari segi tukar menukar hak (tabadul huquq)


1) Akad Mu’awadhah
Yaitu Akad yang berlaku atas dasar timbal-balik, seperti jual beli.
2) Akad Tabarru’at
Yaitu Akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan,
seperti hibah.
3) Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah
pada akhirnya, seperti kafalah.

6. Dari segi bentuknya


1) Akad Tijari atau Tijarah
Yaitu Akad yang bernuansa bisnis dengan tujuan mencari atau menambah
keuntungan, seperti jual beli, ijarah, syirkah, mudharabah.
2) Akad Tabbaru’
Yaitu Akad yang dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka
berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan
tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun. Imbalan dari akad
tabarru’ ini adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia, Seperti waqaf.
Akad ini merupakan akad yang mencari keuntungan akhirat.

7. Dari segi akibat/efek akad


1) Akad Munjiz
Yaitu Akad yang dilakukan dengan menggunakan sighat yang tidak
digantungkan pada suatu syarat atau masa setelah itu. Status akad ini
efeknya akan langsung timbul pada saat itu juga, selama rukun dan
syarat-syaratnya terpenuhi. Contohnya,”Aku jual padamu rumah ini
dengan harga segini..” lalu pihak kedua menerimanya. Jual beli ini akan
langsung menimbulkan efeknya pada saat itu juga, yaitu berpindahnya
kepemilikan dua `iwad.
2) Akad Ghair Munjiz
a. Akad Mudhaf lil Mustaqbal
Yaitu Akad yang muncul dengan sighat yang ijabnya
disandarkan pada masa yang akan dating atau masa berikutnya,
Contohnya, “ Aku sewakan padamu rumahku selama satu tahun
dimulai dari awal bulan depan”.
Status akad ini adalah sah pada saat itu juga, akan tetapi efeknya
belum ada, kecuali diwaktu yang telah ditentukan dalam sighat
tersebut. Adapun akad ini jika ditinjau dari segi bisa atau tidaknya
disandarkan terbagi tiga macam :
~ Akad yang tidak mungkin disandarkan secara tabi`atnya, yaitu
wasiat. Contohnya seorang mengatakan “Aku wasiatkan ini dan
ini (atau sejumlah uang) kepada faqir miskin atau untuk masjid di
kampung ini”. Hukum wasiat itu belum berlaku sebelum ia wafat.
~ Akad yang tidak menerima penyandaran sama sekali, melainkan
selalu bersifat munjiz yaitu akad-akad kepemilikan benda seperti
jual beli, hibah atas suatu harta, karena semua akad tersebut
secara syari`ah mengharuskan efeknya timbul saat itu juga.
Seandainya disandarkan pada masa yang akan datang, berarti
efeknya tidak langsung timbul dan itu bertentangan dengan
karakter aslinya dalam syari`at. Contohnya jual beli, akad ini
mengharuskan berpindahnya kepemilikan saat itu juga, maka
tidak sah kalau efek dari akad tersebut datang kemudian.
~ Akad yang bisa bersifat munjiz dan bisa pula disandarkan ke
masa yang akan datang, apabila ia munjiz berarti efeknya berlaku
pada saat itu juga, dan jika ia disandarkan pada masa yang akan
datang berarti efeknya baru akan berlaku di masa tersebut.

b. Akad Mu`allaq `ala as-Syart


Yaitu Akad yang keberadaannya bergantung pada hal lain
dalam bentuk syarat, Contohnya, “Jika Aku bepergian maka engkau
adalah wakilku” atau “Jika si Fulan datang dari Madinah maka Aku
jual mobilku ini padamu”

8. Dari segi tujuan


1) Bertujuan tamlik, seperti jual-beli.
2) Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama, seperti musyarakah dan
mudharabah.
3) Bertujuan memperkokoh kepercayaan, seperti gadai dan kafalah.
4) Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan wasiat.
5) Bertujuan mengadakan pemeliharaan,seperti titipan.

9. Dari segi unsur waktu


1) Akad Fauriyah
Yaitu Akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu
yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, dimana unsur waktu
tidak merupakan bagian dari isi perjanjian, seperti jual-beli.
2) Akad Istimrar/Akad Zamaniyah
Yaitu Akad yang didalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi,
dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian, seperti
ijarah.

10. Dari segi diserahkannya benda


1) Akad ‘Ainiyah
Yaitu Akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang , dalam akad
ini barang yang diakadnya harus diserahkan kepada pihak yang
bersangkutan secara tuntas/langsung, seperti jual-beli.
2) Akad Ghair ‘Ainiyah
Yaitu Akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-
barang,karena tanpa penyerahan barang-barangpun akad sudah berhasil,
akad ini akan terlaksana secara sah dengan mengucapkan sighat akad,
seperti akad salam.
11. Dari segi disyari`atkan atau tidaknya
1) Akad Musyara’ah
Yaitu Akad-akad yang dibenarkan oleh syara`,seperti gadai dan jual
beli.
2) Akad Mamnu’ah
Yaitu Akad-akad yang dilarang syara`, seperti menjual anak binatang
yang masih dalam perut induknya.

12. Dari segi kedudukannya


1) Akad Asliyah
Yaitu Akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu
dari yang lain, seperti jual beli dan sewa-menyewa.
2) Akad Tabi’iyah
Yaitu Akad yang membutuhkan adanya unsur yang lain, seperti akad
rahn (gadai) tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang atau tanpa
adanya unsur mendesak sebagai salah satu fakor terjadinya akad
rahn/gadai tersebut.

C. Berakhirnya Akad
Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila :

1. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang
waktu
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat
3. Dalam akad yang sifatnya mengikat, suatu akad bisa dianggap berakhir jika:
a. Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun
atau syaratnya tidak terpenuhi
b. Berlakunya khiyar syarat, khiyar aib atau khiyar rukyah
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak
d. Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini, para
ulama fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan
wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad yang bisa
berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang melaksanakan akad,
diantaranya adalah akad sewa menyewa, ar-rahn (gadai), al-kafalah, asy-
syirkah, al-wakalah, atau al-muzara`ah.
 Ijarah (sewa-menyewa). Menurut Hanafiyah kematian seseorang
menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut Jumhur Fuqoha selain
Hanafiyah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
 Ar-rahn (gadai). Jika pihak penggadai meninggal dunia, maka barang
harus dijual untuk melunasi hutangnya.
 Asy-syirkah. Meninggalnya salah satu dari sejumlah orang yang
berserikat/bekerjasama menyebabkan berakhirnya akad syirkah tersebut.
Akad juga akan berakhir dalam hal bai` al-fudhuli (suatu bentuk jual beli
yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain atau jual
beli tanpa hak kepemilikan) apabila tidak mendapat persetujuan dari
pemilik modal/usaha.

“Pengantar Fiqh Jual Beli”


-Ninda Wismawati & Nuraeni Yulia A.-
A. Pengertian
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’ , al-Tijarah dan al-
Mubadalah, sebagaimana Allah.swt. berfirman yang artinya :
‫رلن تبو ة ر جات يرجوان‬
“ Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.’’ (fathir :
29)
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai
berikut.
1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan.

2.
‫تمليك عين مالية بمعاوضة باذن شرعي‬

“Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan
aturan syara”

3.
‫مقابلة مال قابلين للتصرف باجاب وفبول على الواجه المأذون فيه‬
“Saling tukar harta,saling menerima,dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab
dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara”

4.
‫مقابلة مال بمال علي وجه مخصوص‬
“Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus
(dibolehkan)”

5.
‫مبادلة مال بمال على سبيل التراضى او نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه‬
“Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau
memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang
dibolehkan”

6.
‫عفد يقوم على اساس مبادلة مال بمال لتفقيد تبادل الملكيات على الدوام‬
Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah
penukaran hak milik secara tetap.

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah
suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan
pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-
persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli
sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai
dengan kehendak syara’.

B. Dasar Hukum Jual Beli


Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Terdapat beberapa ayat al-qur’an dan sunnah Rasulullah saw, yang berbicara
tentang jual beli, antara lain :

A. Al-Quran
1. Allah SWT berfirman Surah Al-Baqarah ayat 275 : “Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
2. Allah SWT berfirman Surah An-Nisa ayat 29 : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu”
B. Sunnah Rasulullah saw
1. Hadist yang diriwayatkan Rifa’ah ibn Rafi’ : “Rasulullah saw.
Ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling
baik. Rasulullah menjawab : Usaha tangan manusia sendiri dan
setiap jual beli yang diberkati. (HR al-Bazzar dan al-Hakim)
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan
mendapat berkah dari Allah SWT.
2. Hadist dari Abi Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh al-Bihaqi, ibn
Majah dan Ibn Hibban, Rasulullah saw. Menyatakan : “ Jual beli itu
didasarkan kepada suka sama suka“
3. Hadist yang diriwayatkan at-Tarmizi Rasulullah bersabda :
“pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya disurga)
dengan para Nabi, para siddiqin, dan para syuhada’ “

C. Hukum Jual Beli


Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para
ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli adalah mubah (boleh).
Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu. Menurut Imam asy-Syathibi (w. 790 h),
pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam asy-Syathibi
memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok
hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar
dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu,
maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual
barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.
Dalam hal ini, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai
dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsipnya asy-Syathibi
bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya boleh
menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau
menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang
beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula, pada kondisi-
kondisi lainnya.

D. Rukun dan syarat jual beli


Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual
beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli
terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual
beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari
pembel) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka, yang
menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha/tara’dhi) kedua belah
pihak untuk melakukan transaksi jual beli.
Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit
untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang
menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan
kerelaan keduanya belah pihak yang melakukan transaksi jual, menurut mereka,
boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melaluincara saling memberikan
barang dan harga barang (ta’athi).
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,
yaitu :
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab dan qabul).
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan
nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual
beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :
1. Syarat orang yang berakad :
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan
akad jual beli itu harus memenuhi syarat :
a. Berakal sehat. Oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus
memiliki akal yang sehat agar dapat melakukan transaksi jual beli
dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang
belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
b. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya
seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai
penjual sekaligus sebagai pembeli. Misalnya, ahmad menjual
sekaligus membeli barangnya sendiri. Jual beli seperti ini tidak sah.

2. Syarat yang terkait dalam ijab qabul


Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual
beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat
dilihat dari ijab dan qabul yang dilangsungkan. Menurut mereka, ijab dan
qabul perlu diungkapkan secara jelas dalam transaksi-transaksi yang
bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual beli, akad sewa
menyewa, dan akad nikah. Terhadap transaksi yang sifatnya mengikat
salah satu pihak, seperti wasiat,hibah, dan waqaf, tidak perlu qabul,
karena akad seperti ini cukup dengan ijab saja. Bahkan, menurut Ibn
Taimiyah, ulama fiqh hanbali, dan ulama lainnya, ijab pun tidak
diperlukan dalam masalah wakaf.
Apabila ijab dan qabul telah di ucapkan dalam akad jual beli,
maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan dari pemilik
semula. Barang yang dibeli berpindahtangan menjadi milik pembeli, dan
nilai tukar/uang berpindahtangan menjadi pemilik penjual.

Untuk itu, para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul
itu adalah sebagai berikut :
a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal, menurut
jumhur ulama, atau telah berakal, menurut ulama hanafiyah ; sesuai
dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang
melakukan akad yang disebutkan diatas.
b) Qabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan : “saya jual
buku inni seharga Rp.15.000,-“. Lalu pembeli menjawab : “saya beli
dengan harga Rp.15.000,-. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai,
maka jual beli tidak sah.
c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua belah
pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang
sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri
sebelum mengucapkan qabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas
lain yang tidak terkait dengan masalah jual beli, kemudian ia
ucapkan qabul, maka menurut kesepakatan ulama fiqh, jual beli ini
tidak sah; sekalipun mereka berpendirian bahwa ijab tidak harus
dijawab langsung dengan qabul.
Dalam kaitan ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan
bahwa antara ijab dan qabul boleh saja diantarai oleh waktu, yang
diperkirakan bahwa pihak pembeli sempat untuk berpikir. Namun
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara ijab
dan qabul tidak terlalu lama, yang dapat menimbulkan dugaan bahwa
obyek pembicaraan telah berubah.
3. Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan

Syarat – syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah


a. Barang itu ada, atau tidak ada diempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
Misalnya, di sebuah toko, karena tidak mungkin memajang barang
dagangan semuanya, maka sebagiannya diletakkan pedagang di
gudang atau masih di pabrik, tetapi secara meyakinkan barang itu
boleh dihadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli dengan
penjual. Barang di gudang dan dalam proses pabrik ini dihukumkan
sebagai barang yang ada.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu,
bangkai,khamar dan darah, tidak sah menjadi obyek jual beli,karena
dalam pandangan syara’ benda-benda seperti itu tidak bermanfaat
bagi muslim.
c. Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang
tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut
atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas itu belum dimiliki
penjual.
d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

4. Syarat – syarat Nilai Tukar (Harga Barang)

Termasuk unsur penting dalam jual beli adalah nilai tukar dari
barang yang dijual ( untuk zaman sekarang adalah uang). Terkait dengan
masalah nilai tukar ini, para ulama fiqh membedakan ats-tsaman dengan
as-si’r. Menurut mereka, ats-tsaman adalah harga pasar yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat secara actual, sedangkan as-sir adalah
modalnbarang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke
konsumen (consumption). Dengan demikian harga barang itu ada dua
yaitu harga antar pedagang dan harga antara pedagang dengan konsumen
(harga jual di pasar).

Oleh sebab itu, harga yang dapat dipermainkan para pedagang


adalah ats-tsaman. Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat ats-
tsaman sebagai berikut :

a. Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.


b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti
pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu
dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.
c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan
barang (al-muqa’yadhah),
d. maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang
diharamkan oleh syara’, seperti babi, dan khamar, karena kedua
jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’

Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli diatas,


para ulama fiqh juga mengemukakan beberapa syarat lain, yaitu :
a. Syarat sah jual beli. Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu jual
beli baru dianggap sah apabila :
(A) Jual beli itu terhindar dari cacat, seperti kriteria barang yang
diperjualbelikan itu tidak diketahui, baik jenis,kualitas maupun
kuantitasnya, jumlah harga tidak jelas, jual beli itu
mengandung unsur paksaan, unsur tipuan, mudharat, serta
adanya syarat-syarat lain yang membuat jual beli itu rusak.
(B) Apabila barang yang diperjualbelikan itu benda bergerak,
maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli dan harga
barang dikuasai penjual. Sedangkan barang tidak bergerak,
boleh dikuasai pembeli setelah surat menyuratnya
diselesaikan., sesuai dengan ‘Urf setempat.
b. Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli. Jual beli baru
boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan
untuk melakukan jual beli. Misalnya, barang itu milik sendiri
(barang yang dijual itu bukan milik orang lain atau hak orang lain
terkait dengan barang itu). Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan
apabila orang yang melakukan akad tidak memiliki kekuasaan
untuk melaksanakan akad. Misalnya, seseorang bertindak mewakili
orang lain dalam jual beli. Dalam hal ini, pihak wakil harus
mendapatkan persetujuan dahulu dari orang yang diwakilinya.
Apabila orang yang diwakilinya setuju, maka barulah hukum jual
beli itu dianggap sah. Jual beli seperti ini, dalam fiqh islam disebut
bai’ al-fudhuli.
Dalam masalah jual beli al-fudhuli terdapat perbedaan
pendapat ulama fiqh. Ulama hanafiyah membedakan antara wakil
dalam menjual barang dengan wakil dalam membeli barang.
Menurut mereka, apabila wakil itu ditunjuk untuk menjual barang,
maka tidak perlu mendapatkan justifikasi dari orang yang
diwakilinya. Akan tetapi, apabila wakil itu ditunjuk untuk membeli
barang, maka jual beli itu dianggap sah apabila telah disetujui oleh
orang yang diwakilinya. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa ba’I
al-Fudhuli adalah sah, baik dalam menjual maupun membeli
dengan syarat diizinkan oleh orang yang diwakilinya. Sedangkan
menurut ulama Hanabilah, bai’ al-fudhuli, tidak sah, baik wakil itu
ditunjuk hanya untuk membeli suatu barang maupun ditunjuk untuk
menjual suatu barang, maka jual beli itu baru dianggap sah apabila
mendapat izin dari orang yang diwakilinya.
Demikian juga menurut ulama Syafi’iyah dan Zahiriyah,
bai’ al-fudhuli tidak sah, sekalipun diizinkan oleh orang yang
mewakilkan itu. Alasan mereka itu adalah sebuah sabda Rasulullah
saw. Yang mengatakan : “ Rasulullah melarang memperjualbelikan
sesuatu yang tidak dimiliki seseorang (HR. Ahmad ibn Hanbal,
Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasa’I , dan Ibn majah)

c. Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli. Para
ulama fiqh sepakat mengatakan apabila suatu jual beli baru bersifat
mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar
(hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli). Apabila
jual beli itu masih mempunyai hak khiyar, maka jual beli itu belum
mengikat dan masih boleh dibatalkan.
Apabila semua syarat jual beli diatas terpenuhi, barulah
secara hukum transaksi jual beli itu diaggap sah dan mengikat, dan
karenanya, pihak penjual dan pembeli tidak boleh lagi
membatalkan jual beli itu.
“Riba”
-Jaenal A., Haris R. & Usaid A.-

A. Pengertian dan Hukum Riba


Riba dalam bahasa arab (  ‫" ) رابعة ياربوو‬Rabaa yarbuu" yang mengandung
arti "tambahan atau pertumbuhan", dan dalam bahasa Indonesia berarti
"menetapkan bunga atau melebihkan jumlah atau total pinjaman pokok yang
dibebankan oleh pemberi pinjaman kepada peminjam". Dalam istilah kata Riba
berarti "Pengambilan sejumlah tambahan dari harta (pokok pinjaman/modal)
secara bathil (tidak sah/memberatkan peminjam/merugikan peminjam).
Terdapat beberapa definisi riba dari para ulama, diantaranya sebagai berikut:
1. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai tambahan
yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang
dibenarkan oleh syariat atas penambahan tersebut.1
2. Imam Nawawi mendefinisikan riba sebagai penambahan atas harta pokok
karena adanya unsur waktu.

B. Larangan Riba dalam Al Qur’an

Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus,


melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman
riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka
yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah.

ِ‫ هَ هللا‬A‫دُونَ َو ْج‬A‫ا ٍة تُ ِري‬AA‫آ َءاتَ ْيتُم ِّمن زَ َك‬AA‫ َد هللاِ َو َم‬A‫وا ِعن‬AAُ‫س فَالَ يَ ْرب‬ ِ ‫َو َمآ َءاتَ ْيتُم ِّمن ِّربًا لِيَ ْربُوا فِي أَ ْم َو‬
ِ ‫ال النَّا‬
َ‫ض ِعفُون‬ ْ ‫فَأ ُ ْوالَئِ َك ُه ُم ا ْل ُم‬

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar


dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi
1
Majmu Syarh al Muhidzab, cet. Zakaria Ali Yusuf, vol.IX, Hal 442
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk  mencapaikeridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipatgandakan (pahalanya)." (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah
mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan
riba.
‫ ِذ ِه ُم‬AA‫ي ًرا َوأَ ْخ‬AAِ‫بِي ِل هللاِ َكث‬AA‫س‬
َ ْ‫عَن‬ ‫ ِّد ِه ْم‬AA‫ص‬ َ ِ‫م َوب‬Aْ ُ‫ت أ ُ ِحلَّتْ لَه‬ ٍ ‫ا‬AAَ‫م طَيِّب‬Aْ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ‫ َح َّر ْمنَا‬A‫ادُوا‬AAَ‫ه‬  َ‫الَّ ِذين‬ A‫ن‬Aَ A‫ ِّم‬A‫م‬Aٍ A‫ ْل‬Aُ‫ظ‬Aِ‫ب‬Aَ‫ف‬
َ َ َ ِ ‫اوقَ ْدنُ ُهوا َع ْنهُ َوأَ ْكلِ ِه ْم أَ ْم َوا َل النَّا‬
‫س بِا ْلبَا ِط ِل َوأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْن ُه ْم َعذابًا ألِي ًما‬ َ َ‫الرب‬ ِّ
"Maka disebabkan  kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan  karena mereka banyak menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan  riba,
padahal  sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena
mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih." (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan
yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga
dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak
dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :

َ‫ضا َعفَةً َواتَّقُوا هللاَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬


َ ‫ض َعافًا ُّم‬ ِّ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ َءا َمنُوا الَ تَأْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الربَا أ‬

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan  riba dengan


berlipat-ganda dan  bertaqwalahkamu kepada Allah supaya
kamu  mendapat  keberuntungan." (Q.S. Ali Imran: 130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini
harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda
bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda
maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat
umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus
dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al Baqarah yang
turun pada tahun ke 9 Hijriyah.

Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa


pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba.

‫أْ َذنُوا‬AAَ‫وا ف‬AAُ‫إِن لَّ ْم تَ ْف َعل‬Aَ‫} ف‬278{ َ‫ا إِن ُكنتُم ُّمؤْ ِمنِين‬AAَ‫ابَقِ َي ِمنَ ال ِّرب‬AA‫يَآأَيُّ َها الَّ ِذينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ َو َذ ُروا َم‬
}279{ َ‫تَ ْظلِ ُمونَ َوالَ تُ ْظلَ ُمون‬  َ‫وس أَ ْم َوالِ ُك ْم ال‬
ُ ‫سولِ ِه َوإِن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء‬
ُ ‫ب ِّمنَ هللاِ َو َر‬
ٍ ‫بِ َح ْر‬

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa
Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba),maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (Q.S. Al Baqarah: 278-279)2

a. Jenis – jenis Barang Ribawi


1. Emas
2. Perak
3. Gandum baik
4. Gandum Buruk
5. Kurma
6. Garam

b. Jenis-Jenis Riba
1. Riba Hutang Piutang

Riba Qardh : Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang


disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Contoh : Ahmad
meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan
mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi
sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
2
Bank Syariah, Suatu Pengantar Umum oleh Muhammad Syafi’I Antonio
Riba Jahiliyyah : Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang
ditetapkan.
2. Riba Jual Beli

Riba Fadhl : Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau


takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.
a. sama kualitasnya (mistlan bi mistlin),
b. sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in),
c. sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).

Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras


dengan beras, gandum dan sebagainya.

Riba Nasi’ah : Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis


barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.
*Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian. Contoh : Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh
penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas
seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2
gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan
pembayaran satu tahun.

c. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

Bunga Bagi Hasil


Penentuan bunga dibuat pada waktu Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi
akad dengan asumsi harus selalu untung hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung
rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang Tergantung pada keuntungan proyek
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah yang dijalankan. Bila usaha merugi,
proyek yang dijalankan oleh pihak kerugian akan ditanggung bersama oleh
nasabah untung atau rugi kedua belah pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pembagian laba meningkat
meningkat sekalipun jumlah keuntungan sesuai dengan peningkatan jumlah
berlipat atau keadaan ekonomi sedang pendapatan.
“booming”
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak Tidak ada yang meragukan keabsahan
dikecam) oleh beberapa kalangan bagi hasil

C. Hikmah di Larangnya Riba

1. Hikmah dilarangnya Riba Qardh

Seperti kita ketahui, manusia tidak lepas dari kegiatan muamalahnya terhadap
manusia lain, yang tentunya tidak hanya bersosialisasi secara sosial saja tapi
juga bersosialisasi dengan berbisnis dan melakukan transaksi.

Dalam dunia bisnis, kita tahu manusia tidak lepas dari yang namanya jual-beli
dan juga hutang-piutang. Akan tetapi dalam hal jual-beli jika terdapat tambahan
untuk mengambil keuntungan dari si penjual itu menjadi hal yang lumrah dan
di maklumi bahkan diperbolehkan. Lain halnya dengan kita melakukan
transaksi hutang-piutang, yang dimana dasar dari transaksi ini adalah untuk
tolong-menolong bukan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tapi pada
praktiknya banyak transaksi hutang-piutang ini brorientasi kepada keuntungan
yang dimana di dalam setiap nominal jumlah yang terhitung hutang akan di
bebankan tambahan (bunga) atasnya.

Untuk itu dalam transaksi Riba Qardh ini akan muncul orang yang di zhalimi
dan orang yang menzhalimi. Karena setiap jangka waktu tertentu akan selalu
ada tambahan (bunga) dari nilai pokok hutang, sehingga orang yang berhutang
akan senantiasa terzhalimi dalam lingkaran transaksi Riba Qardh ini. Oleh
sebab itu lah, Islam melaranng dan mengharamkan praktik Riba Qardh ini
karena akan menimbulkan mudharat bagi manusia.

Dengan diharamkannya praktik Riba Qardh ini maka hak-hak orang yang
berhutang akan terpenuhi yang tentunya kewajibannya pun akan dipenuhi, serta
orang yang berhutang akan merasa lebih bahagia karena dapat menolong orang
lain. Karena ini juga dapat menjadi lading amal shaleh untuk orang yang
memberikan hutang, serta mendapatkan ridho dari Allah SWT terhadap
muamalah hutang-piutang tanpa adanya tambahan (bunga) di dalam
transaksinya.

2. Hikmah dilarangnya Riba Jahiliyah

Praktik Riba Jahiliyah, merupakan praktik riba yang sudah lumrah di budaya
dan tradisi bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah SAW di utus oleh Allah SWT
menjadi Nabi dan Rasul-Nya. Praktik riba ini ialah dimana ada tambahan biaya
yang di bebankan oleh orang yang memberi hutang kepada orang yang
berhutang apabila orang yang berhutang tersebut belum mampu membayar atau
melunasi jumlah hutang yang dipinjamnya dalam jangka waktu yang di
tetapkan.

Tentu praktik riba ini sangat memberatkan orang yang berhutang, karena ada
suatu kepastian dan ketetapan yang di berikan kepadanya karena adanya jumlah
hutang yang di pinjamnya. Dalam riba ini, orang yang memberikan hutang akan
menentukan berapa lama orang yang berhutang kepadanya harus
mengembalikan harta yang yang dipinjamnya, apakah itu satu minggu, satu
bulan, satu tahun dan sebagainya sesuai keinginan orang tersebut.

Haramnya praktik Riba Jahiliyah ini yaitu seakan-akan orang yang


memberikan hutang telah tahu apa yang akan terjadi di masa depan yang
tentunya ini bertentangan dengan hakikat manusia yang lemah dan tidak ada
kuasa untuk memastikan suatu hal yang akan terjadi di masa depan.
Selanjutnya dari dasar penghraman ini lah maka akan timbul kemudharatan,
yang dimana Allah SWT, Rasulullah SAW, serta agama Islam tidak
menghendaki adanya kemudharatan bagi manusia.

Kemudhratan yang akan timbul dari praktik ini yaitu, terzhaliminya orang
yang berhutang, karena sudah di pastikan hal yang terjadi kepadanya di masa
depan, yang di mana dia pun tidak tahu. Selanjutnya apabila orang yang
berhutang terus menerus tidak mampu membayar hutangnya dalam jangka
waktu yang di tentukan, maka jumlah hutangnya akan senantiasa bertambah
dan bertambah, yang tentunya orang yang berhutang tersebut akan terus
terzhalimi dalam perputaran praktik Riba Jahiliyah ini. Kemudian juga bisa jadi
praktik Riba Jahiliyah ini akan terus menyengsarakan orang yang berhutang.

Oleh karena itu lah, Islam melarang praktik Riba Jahiliyah ini untuk
menghindari kemudharatan-kemudharatan tersebut dan juga untuk melinduni
hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara orang yang memberikan hutang
dengan orang yang berhutang agar tercapainya suka sama suka ridho saling
meridhoi dalam melakukan transaksi hutang piutang tersebut.
3. Hikmah dilarangnya Riba Fadhl

Seperti kita ketahui riba fadhl terjadi karena adanya pertukaran barang sejenis
yang mengakibatkan adanya syubhat akan barang tersebut, selanjutnya syubhat
tersebut yang mengharuskan adanya tambahan dalam transaksi tersebut. Dalam
kata lain transaksi riba fadhl ada unsur penipuan di dalamnya sehingga dapat
merugikan salah satu pihak. Oleh karena itulah Islam melarang praktik Riba
Fadhl ini, karena nantinya dapat menimbulkan unsur-unsur penipuan yang
dimana akan merugikan salah satu pihak yang bertransaksi.

Jual beli itu diperbolehkan oleh Allah SWT, akan tetapi riba diharamkan oleh
Allah SWT, tentunya ada maksud, tujuan dan hikmah tertentu mengapa Allah
SWT mengharamkan praktik riba ini, yang pastinya hikmah dan manfaat dari
tujuan diharamkannya riba ini akan kembali kepada manusia itu sendiri apabila
mereka mau melaksanakan perintah-Nya.

Dalam praktik riba fadhl ini, tambahan yang diharamkan akan terjadi karena
adanya tambahan takaran atau timbangan dalam barang yang di tukar tersebut
yang pada hakikatnya barang tersebut adalah sejenis, sehingga karena barang
sejenis inilah maka tidak dibenarkan adanya tambahan dalam transaksinya.

Pengharaman praktik Riba Fadhl ini bertujuan untuk melindungi hak-hak dan
kewaiban-kewajiban dalam transaksi tukar-menukar barang tersebut, karena
apabila Riba Fadhl ini di perbolehkan maka akan timbul bermacam-macam
penipuan serta mudharat lainnya yang tentunya itu semua dapat merugikan
kedua belah pihak.

4. Hikmah dilarangnya Riba Nashi’ah

Dalam praktiknya riba ini merupakan riba yang terjadi dalam jual beli, yang
mungkin secara kasat mata akan terlihat sama dan wajar di dalam transaksinya,
karena riba ini mensyaratkan kan adanya tambahan atas pertukaran antara
barang jenis ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya karena adanya
perbedaan waktu penyerahannya serta ada penangguhan dalam pembayarannya.

Dalm praktiknya riba ini hampir sama dengan riba Jahiliyah yaitu
membebankan tambahan atas waktu pembayaran yang di tetapkan, akan tetapi
dalam Riba Nashi’ah ini terjadi dalam praktik jual beli yang mana berbeda
dengan riba jahiliyah yang terjadi di dalam transaksi hutang-piutang.

Dalam hal pengharamannya, praktik riba ini di lihat dari segi mudharatnya,
yang dimana si penjual akan mendapatkan untuk berlipatganda dengan cara
memeras serta membebankan kepada si pembeli. Yang tentunya dalam praktik
riba ini pun ada pihak yang menzhalimi dan pihak yang terzhalimi, yang
dimana Islam tidak mengajar itu.

Tujuan dari pengharaman riba ini adalah bagaimana cara kita bertransaksi
muamalah dalam jual beli, sama-sama saling meridhoi dalam praktiknya, serta
mendapatkan keuntungan yang diperbolehkan secara syari’at islam bukan
dengan cara yang bathil. Selanjutnya dengan di haramkannya riba ini akan
menunjukkan bahwa praktik riba itu berbeeda dengan praktik jual beli yang di
klaim oleh orang-orang jahiliyah dulu.

Oleh sebab itu, kita sebagai muslim yang taat senantiasa harus menghindari
praktik riba jenis apapun, karena di dalam riba hanya ada dosa dan
kemudharatan bagi pelakunya. Dan selanjutnya kita pun sebagai muslim yang
taat seharusnya mempunyai rasa tanggung jawab untuk terus berdakwah kepada
masyarakat luas dan memperingati akan bahaya dan haramnya praktik riba
dalam kehidupan apabila di praktikan.

Selanjutnya dengan di haramkannya riba tersebut roda perputaran konomi


masyarakat pun akan senantiasa berputar tanpa harus ada yang menzhalimi dan
terzhalimi, yang tentunya perputaran tersebut berputar sesuai aturan syari’at
yang ada dan diketahui oleh kita.

“Jual Beli Yang Dilarang Syariah”


-Maulida Hijriani, Nuraini & Rani Anggraeni-

Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mecari keuntungan (laba). Jual
beli barang adalah merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan (bisnis)
bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal
dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya diantara bentuk jual beli ada juga
yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu,
menjadi satu kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengenal hal-hal yang
menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana
yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti persoalan.
Sebenarnya bisnis atau perdagangan atau buyu’ prinsip dasarnya adalah
dihalalkan dalam islam, kecuali terdapat dalil yang jelas menyatakan keharamannya.
Tetapi dalam pembahasan fiqh muamalah, memang ada sejumlah bentuk buyu’ yang
diharamkan. Haramnya buyu’ karena beberapa sebab.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai jual beli yang
dilarang oleh syariat islam, diantaranya :
A. Jual Beli Yang Dilarang Berkaitan dengan Objeknya
Jual beli dapat dikatakan haram dan dilarang untuk dilakukan menurut
pandangan islam berdasarkan objek jual belinya, yakni sebagai berikut :
Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah,
bangkai, dan daging babi. Karena benda-benda tersebut menurut syariat tidak
dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan
belalang. Dan jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan
limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.
Allah Swt. Berfirman :
(Q.S Al- Maaidah : 3)
Menurut jumhur ulama segala sesuatu yang najis dan terkena najis yang tidak
dapat disucikan termasuk pada harta yang tidak bermanfaat, seperti minyak, air,
madu, segala cairan yang tekena kotoran. Tetapi barang najis yang bermanfaat,
maka sebagian ulama membolehkan untuk dijualbelikan, seperti jual beli pupuk
yang berasal dari kotoran hewan, sampah yang di daur ulang, dll.
Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau berada diluar kemampuan
penjual untuk menyerahkannya seperti menjual malaqih atau menjual ikan yang
masih dalam air, burung yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara
madhamin adalah janin hewan yang masih dalam rahim hewan betina.
Adapun jual beli fudhuli yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan
orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada
pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual
beli jenis ini. Namun, yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.
Contoh lain dalam jual beli yang dilarang dalam syariat islam ialah, jual beli
spekulatif (juzaf), yaitu menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang atau
dihitung, secara borongan tanpa ditakar, ditimbang dan dihitung lagi. Contohya
seperti : menjual setumpuk makanan tanpa mengetahui takarannya, atau menjual
setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya, atau menjual sebidang tanah
tanpa mengetahui luasnya.
Dalam hal ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa diantara
syarat sahnya jual beli bahwa objek jual beli itu harus diketahui. Maka materi,
objek, ukuran harus diketahui. Sementara dalam jual beli spekulatif ini tidak ada
pengetahuan tentang ukuran. Namun demikian, jual beli ini termasuk yang
dikecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum, karena manusia amat
membutuhkannya asalkan memenuhi syarat, berupa :
1. Barang yang dijualbelikan dilihat langsung pada saat terjadinya akad
dengan catatan tidak menyebabkan rusak barang tersebut. Dan seperti
halnya melihat barang langsung pada saat akad ini, juga dapat dilihat
sebelumnya dengan catatan barang tersebut tetap tidak berubah (sejak
melihatnya tersebut) sampai tiba waktunya akad berlangsung.
2. Baik pembeli atau penjual sama-sama tidak tahu ukuran barang dagang.
Kalau salah seorang mengetahui, jual beli ini tidak sah.
3. Jumlah barang dagang tidak dalam jumlah besar sehingga sulit untuk
diprediksikan. Atau sebaliknya, terlalu sedikit sehigga terlalu mudah untuk
dihitung, jadi penjualan spekulatif ini tidak ada gunanya.
4. Tanah tempat meletakkan barang itu harus rata, sehingga tidak terjadi
unsur kecurangan dalam spekulatif.
5. Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah dan
ukurannya ketika terjadi akad.

B. Jual Beli Yang diLarang Berkaitan dengan Unsur Riba


Bisnis yang mengandung unsur riba dalam fiqh islam, diantaranya :
Bay’ul Muzabanah, yaitu bisnis yang terkait dengan perdagangan kurma
rutob pada pohonnya dengan kurma biasa dengan cara perkiraan pada timbangan.
Definisi lebih luas diungkapkan oleh Ad-Dardir dari Madzhab maliki, yaitu
bisnis barang yang tidak jelas ukurannya dengan barang yang jelas ukurannya
dengan jenis barang yang sama. Baik pada jenis harta riba’ atau bukan. Misal
menjual rutob yang ada pada pohon kurma diperkirakan seratur liter dengan
kurma biasa seratus liter. Para ulama mengharamkan bisnis seperti ini, karena
mengandung riba. Tetapi Rasulullah Saw. memberikan rukhsoh bagi keluarga
yang menginginkan kurma rutob ditukar dengan kurma biasa untuk dimakan.
(HR.Muslim)
Bay’ul Muhaqalah, yaitu bisnis yang terkait dengan penjualan gandum yang
masih ditangkainya dengan gandum yang sudah dipetik dengan cara perkiraan
pada timbangan. Atau definisi yang lebih luas yang dikemukakan oleh madzhab
Hambali, yaitu perdagangan biji yang masih dalam tangkai dengan sejenisnya.
Para ulama mengharamkan bisnis seperti ini karena megandung riba’. Riba yang
terjadi pada dua jenis bisnis tersebut (muzabanah dan muhaqalah ) adalah Riba
Fadl.
Bay’ut Tho’am qobla Qobdihi (perdagangan makanan sebelum diterima)
yang dimaksud dengan makanan yaitu segala jenis makanan halal yang dimakan
manusia. Dan bentuk serah terima makanan dapat terjadi dalam beberapa cara,
pertama dengan cara ditakar untuk makanan yang biasa ditakar setelah diterima
dari penjual, kedua dengan cara ditakar dan ditimbang untuk jenis makanan yang
biasa ditakar dan ditimbang, ketiga dihitung untuk jenis makanan yang biasa
dihitung, keempat dipindahkan tempatnya, kelima sesuai tradisi yang
berkembang di masyarakat.
Para ulama sepakat mengharamkan bisnis makanan sebelum adanya (qobd)
penerimaan, sebagaimana hadist riwayat Malik dari Ibnu Umar ra. “siapa yang
membeli makanan, maka janganlah menjual kembali sebelum diterima”,
penjualan makanan kembali sebelum diterima juga mengandung unsur Riba’
Fadl yang diharamkan dalam islam, karena termasuk menjual makanan (harta
riba’) secara tidak tunai.
Bay’ul Urbuun, yaitu uang muka yang diberikan pada akad bisnis. Jika
transaksi berjalan, maka uang tersebut dihitung menjadi bagian dari harta, tetapi
jika transaksi batal maka uang muka tersebut hangus dan menjadi milik yang
punya barang. Jumhur ulama mengharamkan jenis transaksi ini. Rasulullah Saw,
melarang jula-beli dengan cara ‘urbaan” (HR Abu Dawuh). Karena terdapat
unsur manipulasi dan memakan harta orang lain dengan cara batil. Kecuali jika
akibat pembatalan transaksi tersebut mengakibatkan kerugian bagi si pedagang,
maka dalam kondisi seperti ini dihitung nilai kerugian tersebut dan disepakati
berapa yang harus dibayar oleh calon pembeli yang membatalkan transaksinya.
Bay’ul ‘Iinah, yaitu bisnis perdagangan pada suatu barang dengan harga
yang lebih secara tidak tunai, untuk dibeli kembali secara tunai dengan nilai yang
lebih kecil (Radul Mukhtar). Contoh, si A menjual barang pada si B dengan
harga 1 juta tidak tunai dalam jangka waktu satu bulan. Sebelum menerima harga
si A membeli lagi barang tersebut dari si B dengan harga 800.000 tunai. Maka si
B mendapat uang 800.000 cash dengan kompensasi membayar sebesar 1 juta
dalam waktu satu bulan.
Jumhur ulama mengharamkan sistem perdagangan ini karena ada unsur
menutupi riba’ dengan celah perdagangan. Berkata Az-Zi’ly dari madzhab
Hanafi : “Bahwa harga tidak masuk pada jaminan pedagangan sebelum barang
diterima pembeli. Jika barang tersebut dibeli kembali dengan sejumlah harga
yang lebih kecil, maka ada kelebihan tanpa penggantian. Dan keuntungan yang
tidak ada beban penjaminan adalah haram sesuai nash”. Pengharaman ini juga
sesuai dengan nash hadist : “ jika kamu saling jual-beli dengan cara ‘Iinah, kamu
mengikuti ekor sapi (banteng) kamu lebih rela terhadap pertanian dan
meninggalkan jihad, maka Allah SWT. akan timpakan padamu kehinaan yang
tidak akan diangkatnya sampai kamu kembali ke agammu” ( HR Ahmad dan
Abu Dawud )
Sedang bisnis jual beli yang mengandung unsur Riba’ dalam perdagangan
modern salah satunya ialah :
Kambiyalah makhsumah (perdagangan surat berharga) yaitu memberikan
sejumlah harta dalam bentuk surat berharga sebagai konpensasi dari
mempercepat proses penerimaan uang sebelum jatuh tempo. Dalam istilah
ekonomi modern lebih populer dengan sebutan Surat Berharga Pasar Uang
(SPBU)
Contoh, seseorang menjual barang dengan harga tidak tunai pada orang lain.
Kemudian dia mengambil dokumen sebagai barang bukti untuknya. Sebelum
jatuh tempo hutangnya, dia menjual dokumen tersebut pada bank dengan harga
lebih kecil dari yang tertulis sebagai konpensasi dari mempercepat waktu. Bank
mengurangi nilai kekayaan tersebut dengan persentasi sejumlah uang tertulis.
Misalnya 5% sampai 10% dan dilakukan sesuai kesepakatan. Ketika bank
mengambil keuntungan dari pemotongan surat berharga tersebut, maka pada saat
itulah terjadi aktivitas riba yang diharamkan.

C. Jual Beli Yang diLarang Berkaitan Dengan Gharar


Definisi ghoror secara bahasa adalah bahaya. Secara fiqh ghoror mempunyai
tiga definisi. Pertama, ghoror khusus berlaku pada sesuatu yang hasilnya tidak
jelas, dapat atau tidak dapat, sebagaimana ungkapan Ibnu ‘Abididn , ghoror
adalah syak atau keraguan pada apakah komoditi tersebut ada atau tidak ada.
Kedua, ghoror khusus pada komoditi yang tidak diketahui spesifikasinya.
Berkata Ibnu Hazm, ghoror pada bisnis yaitu sesuatu dimana pembeli tidak tahu
apa yang dibeli, atau pedagang tidak tahu apa yang dijual. Ketiga, ghoror
mengandung dua makna tersebut diatas, dan ini yang diyakini oleh mayoritas
ulama.
Yang dimaksud dengan jual beli gharar adalah semua jenis jual beli yang
mengandung jahalah (kemiskinan) dan spekulasi atau permainan taruhan.
Hukum islam melarang hukum jual beli seperti ini. Imam Nawawi berkata ;
“Pelarangan jual beli dianggap sebagai salah satu ushul syari’at yang
dibawahnya mencakup banyak permasalahan. Dari sisi lain ghoror juga ada yang
kadarnya sedikit, sedang dan berat. Dan selagi bisnis tersebut mengandung
ghoror maka hukumnya haram. Oleh karena itu, sebagian ulama mendefinisikan
ghoror yaitu sesuatu yang diyakini adanya, tetapi diragukan kesempurnaannya
(Mukhtar Shihah). Contoh : menjual buah sebelum layak dipetik, menjual janin
pada induknya, menjual ikan pada tempat pemancingan atau kolam ikan dengan
cara dipancing atau dijaring, dll.
Bisnis ghoror dibagi menjadi 3 bagian :
1. Ghoror pada transaksi (akad).
Diantaranya seperti :
Bay’ul Hashoh yaitu kedua penjual dan pembeli sepakat untuk transaksi
berdasarkan batu yang dilempar, atau diletakkan pada komoditi.
Bay’ul mulamasah, yaitu jika calon pembeli memegang komoditi tersebut,
maka wajib membelinya.
Bay’ul munabadzah, yaitu jika dagangan tersebut dilemparkan pada
seseorang atau diletakkan pada seseorang maka ia wajib membelinya. Para
ulama mengharamkan jual beli ini karena sama dengan qimar atau judi.
Bay’ul mualaq, yaitu memberikan persyaratan pada jual beli. Misalnya,
saya jual rumah ini padamu dengan syarat jika si Fulan menjual rumahnya
padaku. Maka jumhur ulama mengharamkan bentuk bisnis ini karena kedua
belah pihak baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui apakah hal yang
disyaratkan terpenuhi atau tidak, sehingga tidak mengetahui apakah jual beli
ini jadi atau tidak. Juga tidak jelas dari segi waktunya, kapan transaksi
tersebut terjadi. Begitu juga dari segi suka atau tidak suka, terkadang
pembeli pada saat itu ingin membeli, tetapi pada waktu yang lain sudah
tidak suka dan membutuhkan lagi.
Jual beli Nitaj, Jual beli ini adalah jual beli hasil dari pada hewan ternak
yang belum diketahui hasilnya. Diantara yyang termasuk kedalam jenis jua
beli ini adalah menjualbelikan susu hewan ternak yang masih ada di dalam
mamae (kantong susu induknya.
Jual Beli Mulamasah, Jual beli ini dilakukan dengan cara si pembeli
melakukan mulamas (menyentuh) barang yang ingin di beli tanpa
mengetahui kondisi barang secara terperinci, dan diantara penjual dan
pembeli diharuskan untuk saling meridhoi.
2. Ghoror dari segi komoditi.
Bentuk ini lebih buruk lagi karena tidak mengetahui komoditi, jenis, sifat
dan ukurannya. Jika salah satu dari keempat hal tersebut tidak diketahui
maka sudah termasuk ghoror. Contoh : tidak mengetahui komoditi, “saya
jual barang padamu sepuluh juta”. Contoh tidak mengetahui jenis : saya jual
beras (tanpa menyebutkan jenisnya) seharga 50ribu”. Contoh tidak
mengetahui sifatnya : “saya jual padamu beras ( tanpa menyebutkan sifat
dan kualitasnya) seharga seratus ribu”. Contoh tidak mengetahui beratnya :
“saya jual padamu beras” (tanpa menyebutkan beratnya). Tetapi jika
komoditinya terlihat, maka menurut madzhab Hanafi boleh menjualnya
tanpa menyebutkan 4 hal tersebut. Contoh lain, menjual binatang yang
masih dalam perut induknya, menjual hasil bumi yang masih diperut bumi
dan tidak kelihatan, seperti kentang, bawang, ubi, dll. Madzhab Hanafi
membolehkan jual-beli seperti ini dengan syarat adanya hak melihat dan hak
memilih (jadi atau tidaknya) jika sudah dipanen.
3. Ghoror dari sisi sarana.
Seperti Mengurangi takaran, timbangan dan bilangan, Allah swt
berfirman : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain
mereka mengurangi” ( Q.s Al-Muthaffifin : 1-3).
Dalam sebuah hadist diesbutkan Rasulullah Saw, berjalan ke pasar dan
melewati toko makanan, beliau melihat makanan diatasnya baik kemudian
tangannya dimasukkan kedalam, ternyata buruk, kemudian Rasulullah Saw
bersabda : “jual barang ini tersendiri, dan yang itu tersendiri. Barangsiapa
menipu maka bukan golongan kami.” (H.R At-Tabrani).
Selain ketiga jenis ghoror tersebut, masih adapula berbagai jenis jual beli
yang bersifat ghoror dan dilarang oleh syariat islam, seperti :
 Jual beli Muzabanah,
Yang dimaksud dengan jual beli Muzabanah ialah menjual anggur
dengan anggur atau kurma, dengan kurma yang masih berada di pohon
atau menjal ruthab (kurma yang masih basah) dengan kurma yang sudah
kering. Di larangnya jual beli muzabanah terdapat ddua ‘illat (sebab)
yang mengharuskan syari’at untuk melarangnya :
1. Karena adanya ketidak jelasan pada barang (masih berada di
pohon). Dan adanya bahaya yang akan mengancam kepada salah
satut pihak dengan kerugian.
2. Adanya unsur riba karena kurma yang masih berada dipohon belum
jelas (kadarnya, serta baik dan buruknya), maka menjual kurma
dengan kurma yang sejenis, tentu belum memastikan adanya
tamatsul (samanya kadar antara dua barang yang dijual belikan),
sehingga hal tersebut akan menimbulkan terjadinya riba fadhl dan
hukum nya tidak sah.
 Jual beli Mukhadharah,
Ialah jual beli buah-buahan yang masih belum matang atau belum
Nampak mutu kebaikannya (ijon). Karena ketidak tentuannya yang
mana berkemungkinan buah-buahan terebut ditiup angin kencang atau
belum matang. hal ini menyebabkan pembeliannya tida dapat
memperoleh buah-buahan yang dibelinya pada tempo msa yang
diinginkannya.
 Jual beli bulu domba di tubuh domba hidup sebelum dipotong.
 Jual beli susu padat yang masih berada di susu
 Jual beli habalul habalah (anak unta yang masih didalam perut).
Habalul habalah ialah unta betina yang sedang mengandung di
dalam perutnya kemudian diambil yang keluar. Jual beli ini dicegah
oleh syri’at Karena mengandung gharar ketidak jelasan yang
diakadkan.

D. Jual Beli Yang diLarang Berkaitan Dengan Ghisy

Ghisy berarti menipu atau curang. Kata ini tentu bermakna sangat umum,
sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam akad jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau muamalah lainnya. Contoh
konkretnya adalah apa yang terjadi di zaman Nabi dan sebagaimana tersebut
dalam hadits Abu Hurairah berikut:
Rasulullah melewati tumpukan makanan (yang dijual) lalu beliau masukkan
tangannya ke dalamnya maka mendapati tangan beliau basah. Maka beliau
mengatakan: “Ada apa ini wahai pemilik makanan ini?” “Terkena hujan, ya
Rasulullah,” jawabnya. Beliau mengatakan: “Tidakkah engkau letakkan di
bagian atas makanan itu supaya orang melihatnya? Orang yang menipu bukan
dari golongan kami.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Ath-Thabarani)
Hadits yang mulia ini sebagai salah satu kaidah dalam muamalah jula beli
dengan sesama muslim. Tidak sepantasnya bagi seorang muslim
menyembunyikan aib barangnya. Jika ada aibnya, seharusnya diperlihatkan,
sehingga si pembeli bisa mengetahui dan mau membeli barang dengan harga
yang sesuai dengan kadar cacatnya, bukan membelinya dengan harga barang
bagus.
Betapa banyak kasus penipuan yang dapat kita lihat sekarang. Betapa banyak
orang yang menyembunyikan aib suatu barang dengan menaruhnya di bagian
bawah, dan menaruh yang baik di bagian atasnya, baik sayur mayor atau
makanan lainnya. Ini dilakukan dengan sengaja . Ini adalah perbuatan maksiat.
Sabda Nabi dalam hadits yang lain, dari Ibnu Mas’ud z, ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berbuat curang kepada kami maka
dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.” (Hasan
Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir
dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih
At-Targhib, 2/159 no. 1768)
Hal ini dilarang karena berisi kezhaliman terhadap orang lain, kerena menjual
barang yang ada aibnya atau ditutupi kekurangannya (bai’ al-Ma’ib atau
Maghsyusy). 

E. Jual Beli Yang diLarang Berkaitan Dengan Tadlis


Tadlis terdiri dari beberapa jenis, yakni:
1. Tadlis dalam kuantitas
Tadlis (penipuan) dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual
barang kuantitas sedikit dengan barang kuantitas banyak. Misalkan
menjual baju sebanyak satu container. Karena jumlah banyak dan tidak
mungkin untuk menghitung satu demi satu, penjual berusaha melakukan
penipuan dengan mengurangi jumlah barang yang dikirim kepada pembeli.
2. Tadlis dalam kualitas
Tadlis (penipuan) dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat
atau kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan apa yang
disepakati antara si penjual dan pembeli. Contoh tadlis dalam kualitas pada
penjualan computer bekas. Pedagang menjual computer bekas dengan
kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80% baik, dengan harga Rp.
3.000.000,-. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual computer
bekas dengan kualifikasi yang sama. Sebagian penjual computer bekas
dengan kualifikasi yang lebih rendah, tetapi menjualnya dengan harga yang
sama. Pembeli tidak dapat membedakan mana computer yang rendah dan
mana computer yang dengan kualifikasi computer yang lebih tinggi, hanya
penjual saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi computer yang
dijualnya. Keseimbangan harganya akan terjadi bila harga yang tercipta
merupakan konsekuensi dari kualitas atau kuantitas barang yang
ditransaksikan. Apabila tadlis kualitas terjadi, maka syarat untuk
pencapaian keseimbangan tidak akan tercapai.
3. Tadlis dalam Harga
Tadlis (penipuan) dalam harga ini termasuk menjual barang dengan
harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena tidak
ketahuan pembeli atau penjual, dalam fiqih disebut Ghoban. Yang
termasuk dalam penipuan jenis ini adalah si penjual tahu persis ia tidak
akan menyerahkan barang tersebut pada esok hari, namun menjanjikan
akan menyerahkan barang tersebut pada esok hari. Walau konsekuensi
tadlis dalam waktu penyerahan tidak berkaitan secara langsung dengan
harga ataupun jumlah barang yang ditransaksikan, namun masalah waktu
adalah yang sangat penting. Lebih lanjut, pelarangan ini dapat
menghubungkan dengan larangan transaksi lain, yaitu transaksi kali bali.
Dengan adanya pelarangan tadlis waktu penyerahan, maka segala transaksi
harus jelas kapan pemindahan hak milik dan hak guna terjadi. Berbeda
dengan transaksi kali bali (transaksi jual beli, dimana obyek barang atau
jasa yang dipejualbelikan belum bepindah kepemilikan namun sudah
dipejualbelikan kepada pihak lain) dimana transaksi juga dilarang oleh
Rasulullah, karena transaksi jual beli tidak diikuti oleh perolehan hak
milik. Diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “ siapapun yang membeli gandum tidak berhak menjual sebelum
memperoleh hak kepemilikan.”
Engkau menipu saudaramu dengan cara menjual barang yang engkau
ketahui cacat tanpa menjelaskan cacat kepadanya, Jual beli seperti ini tidak
boleh, karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan. Para penjual
seharusnya memberitahukan kepada pembeli, jika barang yang hendak di
jual tersebut dalam keadaan cacat. Kalau tidak menjelaskan, berarti ia
terkena ancaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam
sabdanya:
“Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Jika
keduanya jujur, niscaya keduanya akan diberikan berkah pada jual beli
mereka. Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan (cacat barang) ,
niscaya berkah jual beli mereka dihapus.”
F. Jual Beli Yang diLarang Berkaitan Dengan Maisyir

Al-maisir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran,


as-Sunnah, dan ijma’. Dalam al-Quran, terdapat firman Allah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Ma’idah: 90)
Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah Saw. dalam Shahih al-Bukhari :
“Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh
denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan
bertaruh–baik dalam pertaruhan atau muamalah–sebagai sebab membayar kafarat
dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah
ada ijma’ tentang keharamannya.
Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan yaitu ; semua
muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung
atau merugi sekali (spekulatif). Kalau begitu, al-maisir (perjudian) mencakupi
semua muamalah yang terjadi dengan ketidakjelasan apakah untung atau rugi.
Sehingga, ketentuan dasar al-maisir (perjudian) adalah semua muamalah yang
membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan antara untung
dan rugi, yang bersumber dari al-gharar serta spekulasinya, dan hal itu menjadi
sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Perbedaannya dengan perniagaan adalah, dalam perniagaan, pihak transaktor
akan mendapatkan barang, sedangkan al-maisir (perjudian) terdapat
ketidakjelasan, apakah hartanya hilang dengan pengganti, hilang begitu saja, atau
hilang hartanya dan muncul kebencian. Kalau begitu, setiap muamalah yang
berkisar pada ketidakjelasan, apakah untung atau buntung (rugi) dinamakan al-
maisir (perjudian). Apabila berbentuk harta, maka dinamakan al-qimar
Contoh jual beli masa sekarang yang terkait maisir ini misalnya, seperti :
Future Trading atau Future Komoditi yaitu jual beli dengan pembayaran harga
yang disepakati secara tunai, sedang penyerahan barangnya ditangguhkan pada
waktu yang dijanjikan oleh penjual dan disetujui pembeli (jatuh tempo). Dalam
future trading disamping ada orang yang motivasinya membeli barang, tetapi
banyak juga yang motivasinya bukan membeli barang , melainkan hanya melihat
fluktuasi harga. Saat harga barang tinggi maka ia akan melepas surat tanda
kepemilikan barang. Dan jika harga rendah maka ia tahan. Dan begitulah
berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain menjual surat berharga tersebut
tanpa mengetahui barangnya. Unsur penambahan /kenaikan harga atau
penurunan/pengurangan harga ini mangandung karakter gambling (Maysir) baik
perusahan yang untung atau merugi, hukum maysir /qimar adalah haram.
Jelasnya dalam future tranding target pembeli adalah gambling
(qimar/maysir) dengan naik turunnya harga barang yang ditentukan oleh pasar,
dan bukan barang itu sendiri yang menjadi target pembeli. Kemudian hal yang
tidak diterima pula oleh syariat adalah pembeli menjual kembali barang yang
belum ia terima kepada pembeli kedua atau orang lain.

G. Jual Beli Yang Dilarang Berkaitan Dengan Hukum Syara’

Jual Beli Terlarang karena Dzatnya

Jual beli terlarang karena dzatnya langsung adalah jual beli semua yang
terlarang pemanfaatannya oleh syariat, walaupun terkadang dibolehkan
pemanfaatannya oleh syariat pada kondisi tertentu. Apabila asal pemanfaatannya
terlarang dalam syariat maka jual belinya terlarang juga. Walaupun barang
tersebut kadang diperbolehkan ketika ada hajat mendesak atau dalam keadaan
darurat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ُ‫ إِنَّ هَّللا َ َع َّز َو َج َّل إِ َذا َح َّر َم َعلَى قَ ْو ٍم أَ ْك َل ش َْي ٍء َح َّر َم َعلَ ْي ِه ْم ثَ َمنَه‬ 

Sesunguhnya Allah apabila telah mengharamkan sesuatu atas satu kaum,


maka mengharamkan juga hasil jual belinya. (HR Abu Dawud no. 2359 dan
dishahihkan al-Albani dalam Shahih Abu Dawud).
Jual beli yang terlarang disebabkan dzat dan pemanfaatannya terlarang ini
terbagi menjadi dua;

a. Terlarang dzat dan pemanfaatannya secara total dan ini dijelaskan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jaabir bin Abdillah
Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

‫و ُل‬AAُ‫ يَق‬،‫لَّ َم‬A ‫س‬َ ‫ ِه َو‬A‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي‬ َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫س ِم َع َر‬ َ :ُ‫ أَنَّه‬،‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما‬ِ ‫عَنْ َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ َر‬
،»‫نَ ِام‬A‫ص‬ َ
ْ ‫ ِر َواأل‬A‫ ِة َوال ِخ ْن ِزي‬Aَ‫ َوال َم ْيت‬،‫ ِر‬A‫الخ ْم‬
َ ‫ َع‬A‫سولَهُ َح َّر َم بَ ْي‬ ُ ‫ «إِنَّ هَّللا َ َو َر‬:َ‫ح َوه َُو بِ َم َّكة‬ ِ ‫عَا َم الفَ ْت‬
،ُ‫ود‬Aُ‫الجل‬ُ ‫ا‬A‫ ْدهَنُ بِ َه‬Aُ‫ َوي‬، ُ‫فُن‬A‫الس‬ ْ َ
ُّ ‫ا‬AA‫ا يُطلَى بِ َه‬A‫ فإِنَّ َه‬،‫ ِة‬Aَ‫ ُحو َم ال َم ْيت‬A‫ش‬ َ َ
ُ َ‫ أ َرأيْت‬،ِ ‫و َل هَّللا‬A‫س‬ ُ ‫ يَا َر‬:‫فَقِي َل‬
‫ َد‬A‫لَّ َم ِع ْن‬A‫س‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫ ثُ َّم قَا َل َر‬،»‫ ُه َو َح َرا ٌم‬،َ‫ «ال‬:‫اس؟ فَقَا َل‬ ُ َّ‫َصبِ ُح بِ َها الن‬ ْ ‫ست‬ ْ َ‫َوي‬
َ َ
»ُ‫ فأ َكلُوا ث َمنَه‬،ُ‫ ث َّم بَاعُوه‬،ُ‫ «قاتَ َل هَّللا ُ اليَ ُهو َد إِنَّ هَّللا َ لَ َّما َح َّر َم ش ُُحو َم َها َج َملُوه‬:‫َذلِ َك‬
َ ُ َ
Dari Jaabir bin Abdillah Rasdhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau
mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun
penaklukan Makkah di kota Makkah: Sesungguhnya Allah dan RasulNya
telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.
Ada yang bertanya: Wahai rasulullah bagaimana menurut pendapat
Engkau tentang lemak bangkai, karena dapat dimanfaatkan untuk
mengecat perahu dan meminyaki kulit serta menjadi bahan bakar lampu?
Maka beliau menjawab: Tidak boleh! Dia terlarang. Kemudian beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Semoga Allah membinasakan
orang Yahudi, sungguh Allah ketika mengharamkan lemah bangkai,
mereka cairkan kemudian mereka jual lalu memakan hasil jual belinya
tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi).

Juga hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

ِ ‫سلَّ َم نَ َهى عَنْ ثَ َم ِن ا ْل َك ْل‬


،»‫ َو ُح ْل َوا ِن ا ْل َكا ِه ِن‬،‫ َو َم ْه ِر ا ْلبَ ِغ ِّي‬،‫ب‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫«أَنَّ َر‬
َ ِ‫سو َل هللا‬

“Sungguh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli


anjing” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari sini nampak jenis ini hanya ada lima saja yaitu: Khamr, Bangkai,
Babi, Patung dan anjing.

b. Dzatnya tidak terlarang pada asal hukumnya dan terkadang


pemanfaatannya yang terlarang. Maksudnya adalah dari sisi hukum
asalnya barang tersebut diperbolehkan pemanfaatannya dan suci, namun
dalam keadaan tertentu sebagaian pemanfaatannya dilrang. Jenis ini
terlarang jual belinya apabila dijual untuk pemanfaat yang terlarang
tersebut. Apabila dijual untuk selainnya maka diperbolehkan. Sebagai
contoh: Sutera. Pada asal hukumnya adalah halal dan boleh. Apabila
dijual kepada seorang lelaki untuk dijadikan pakaiannya maka jual
belinya haram.

Tentang klasifikasi jual beli terlarang dengan sebab dzatnya ini ibnu
al-Qayyim menyatakan ketika mengomentari hadits riwayat Abu dawud
diatas:

Hadits (« ُ‫ش ْيئًا أَ ْو َح َّر َم أَ ْك َل ش َْي ٍء َح َّر َم ثَ َمنَه‬


َ ‫ )»إِنَّ هَّللا َ إِ َذا َح َّر َم‬diinginkan darinya dua
perkata:
Pertama yang haram dzatnya dan pemanfaatannya seacara
muthlak, seperti khamr, bangkai, darah, babi dan alat-alat kesyirikan. Ini
semua hasil jual belinya haram bagaimanapun sepakatnya.
Kedua yang diperbolehkan pemanfaatannya selain untuk
dimakan dan hanya diharamkan memakannya, seperti kulit bangkai
yang telah disamak, seperti keledai, bighal dan sejenisnya yang diharakan
memakannya tanpa pemanfaatan yang lain, maka ini dikatakan tidak
masuk dalam (larangan) hadits dan yang masuk dalam hadits hanyalah
yang dilrang secara total. Dan dapat dikatakan bahwa ini masuk dalam
hadits dan pengharaman hasil jual belinya apabila dijual karena manfaat
yang diharamkan tersebut.
Apabila dijual untuk dimakan maka haram jual belinya dan inilah
pendapat mayoritas para ulama fikih seperti Ahmad, Maalik dan pengikut
keduanya: apabila menjual anggor kepada orang yang menjadikannya
khamr maka haram jual belinya berbeda apabila dijual kepada orang yang
memakannya.
Demikian juga senjata apabila dijual kepada orang yang
menggunakannya untuk memerangi muskim, maka haram jual belinya
dan bila dijual kepada orang yang menggunakannya berperang dijalan
Allah maka hasil jual belinya termasuk harta yang bagus (ath-Thayyibat).
Demikian juga pakaian sutera apabila dijual kepada orang-orang
yang diharamkan menggunakannya, maka haram hasil jual belinya
berbeda bila dijual kepada orang yang halal menggunakannya.
Selain uraian diatas jual beli yang dilarang dalam islam sesuai hukum syara’
ialah berikut ini :
1. Jika akad jual beli itu menyulitkan ibadah, misalnya mengambil
waktu shalat.
Seorang pedagang sibuk dengan jual beli sampai terlambat melakukan
shalat jama’ah di masjid, baik tertinggal seluruh shalat atau masbuq.
Berniaga yang sampai melalaikan seperti ini dilarang. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-
anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al
Munafiqun:9)
Perhatikanlah firman Allah “maka mereka itulah orang-orang yang
rugi”. Allah menyatakan mereka mengalami kerugian, meskipun mereka
kaya, berhasil mengumpulkan banyak harta dan memiliki banyak anak.
Sesungguhnya harta dan anak-anak mereka tidak akan bisa menggantikan
dzikir yang terlewatkan. Seorang pedagang akan meraih keuntungan yang
hakiki, jika mampu meraih dua kebaikan, yaitu memadukan antara rezeki
dengan ibadah kepada Allah. Melangsungkan akad jual beli pada
waktunya, dan menghadiri shalat pada waktunya.
Allah berfirman: “Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah
Dia dan bersyukurlah kepada-Nya.” (QS. Al An kabut :17)
Jadi, perniagaan itu ada dua, yaitu perniagaan dunia dan akhirat.
Perniagaan dunia menggunakan harta dan usaha. Sedangkan perniagaan
akhirat menggunakan amal shalih. Allah berfirman:“Hai orang-orang
yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya, niscaya
Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam
surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu)
ke tempat tinggal yang baik disurga dan Itulah keberuntungan yang besar.
Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai, (yaitu) pertolongan dari
Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampailah berita
gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash Shaf:10-13)
Seandainya seseorang melakukan ibadah, shalat , dzikir dan
melaksanakan keawajiban-kewajibannya, niscaya Allah membukakan
pintu rezeki baginya. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami
tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu.
Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (QS.
Thaha:132)
Shalat yang di anggap oleh sebagian orang sebagai penghalang mencari
rezeki, ternyata sebaiknya, ia bisa membuka pintu rezeki, kemudahan dan
barakah. Jika engkau berdzikir dan beribadah kepada Allah, maka Allah
akan memberikan kemudahan dan membukakan pintu rezeki buatmu, dan
Allah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki. (QS. Al Jumu’ah :11)
2. Di antara jual beli yang dilarang ialah, menjual berbagai macam alat
musik.
Seperti seruling, kecapi, perangkat-perangkat musik dan semua alat-alat
yang dipergunakan untuk perbuatan sia-sia. Meskipun alat-alat itu diberi
istilah lain, seperti alat-alat kesenian. Maka haram bagi kaum mulim untuk
menjual semua alat dan perangkat-perangkat itu. Seharusnya alat-alat
tersebut dimusnahkan dari negeri kaum muslimin agar tidak tersisa.
3. Di antara jual beli yang dilarang ialah, menjual gambar.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam melarang berjualan ashnam,
maksudnya ialah gambar. Pada dasarnya ashnam itu adalah gambar patung,
baik patung khayalan, burung, binatang ternak atau manusia. Semua
gambar makhluk yang bernyawa itu, haram untuk dijual dan hasil
penjualannya juga haram. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam
melaknat para pelukis dan memberitahukan, mereka adalah manusia yang
paling berat siksanya pada hari Kiamat nanti. Begitu juga, tidak boleh
menjual majalah-majalah yang bergambar-gambar ini, terutama yang
memuat gambar-gambar cabul. Gambar, disamping diharamkan, ia juga
menebar fitnah. Karena tabiat seorang manusia, jika melihat gambar atau
photo gadis cantik yang menampakkan sebagian kecantikan atau sebagian
anggota tubuhnya, biasanya akan membangkitkan syahwatnya, yang
kadang mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dan tindakan
kriminal.
Begitulah yang diinginkan setan yang berwujud jin dan manusia
dengan menebarkan dan memperjual-belikan gambar ini. Apalagi menjual
film porno atau video yang berisi gambar-gambar wanita telanjang serta
berperilaku bejat dan keji. Gambar-gambar inilah yang telah memfitnah
(menipu) banyak wanita dan para pemuda serta membuat mereka
menyukai perbuatan keji. Film-film seperti ini tidak boleh dijual, bahkan
wajib atas seorang muslim untuk mencegah, memusnahkan dan
menyingkirkannya dari tengah-tengah kaum muslimin. Orang yang
membuka tempat untuk menjual film porno, berarti telah membuka tempat
untuk bermaksiat dan mengusahakan harta haram, dan mengundang murka
Allah. Bahkan ia berarti telah membuka tempat fitnah dan tempat mangkal
bagi setan.
4. Termasuk jual beli yang dilarang, yaitu menjual kaset-kaset berisi
lagu-lagu cabul, suara penyanyi yang diiringi musik. Isinya bercerita
tentang asmara, cinta atau menyanjung wanita.
Lagu-lagu ini haram untuk didengar, direkan, dijual. Hasil
penjualannya termasuk dalam kategori hasil yang haram dan dilarang oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Karena lagu-lagu ini
menebarkan kerusakan, perbuatan nista, merusak akhlak, serta membuka
jalan bagi keburukan agar sampai ke rumah-rumah kaum muslimin.
5. Di antara jual beli yang terlarang, yaitu najasy (menawar harga tinggi
untuk menipu pengunjung lainnya)
Misalnya, dalam suatu transaksi atau pelelangan, ada penawaran atas
suatu barang dengan herga tertentu, kemudian ada sesorang yang
menaikkan harga tawarnya, padahal ia tidak berniat untuk membelinya..
Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing pengunjung
lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerjasama
dengan penjual ataupun tidak. Orang yang menaikkan harga, padahal tidak
berniat untuk membelinya telahmelanggar larangan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassalam. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Janganlah kalian melakukan ual beli najasy”Orang yang tidak berniat
membeli dan tidak tertarik pada suatu barang, hendaknya tidakikut campur
dan tidak menaikkan harga. Biarkan para pengunjung (pembeli) yang
berminat untuk saling tawar-menawar sesuai harga yang dinginkan.
Mungkin ada sebagian orang yang kasihan kepada si penjual, kemudian ia
bermaksud membantu agar si penjual kian bertambah keuntungannya,
sehingga ia menambahkan harga. Menurutnya, yang ia lakukan akan
menguntungkan penjual. Atau ada kesepakatan antara si penjual dengan
beberapa kawannya untuk menaikkan harga barang. Harapannya, agar
pembeli yang datang menawar degan harga yg lebih tinggi. Ini juga
termasuk najasy dan juga haram, mengandung unsur penipuan dan
mengambil harta dengan cara batil.
Termasuk jual beli najasy-sebagaimana dsebutkan oleh ulama ahli
fikih- yaitu perkataan seorang penjual “aku telah membeli barang ini
dengan harga sekian”, padahal ia berbohong. Tujuannya untuk menipu
para pembeli agar membelinya dengan harga tinggi. Atau perkataan
penjual “aku berikan barang ini dengan harga sekian”, atau perkataan
“barang ini harganya sekian”, padahal ia berbohong. Dia hendak menipu
para pengunjung agar menawar dengan harga lebih tinggi dari harga palsu
yang dilontarkannya. Ini juga termasuk najasy yang dilarang Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Termasuk perbuatan khianat, menipu dan
perbuatan bohong yang akan dihisab di hadapan Allah. Para pedagang
wajib menjelaskan harga sebenarnya jika ditanya oleh pembeli “anda
membelinya dengan harga berapa?” Beritahukan harga yang
sebenarnya.
Jangan dijawab “barang ini di jual kepada saya dengan harga
sekian”, padahal ia berbohong. Termasuk dalam masalah ini, yaitu jika
seorang pedagang di pasar atau pemilk toko sepakat tidak akan menaikkan
harga tawar, jika ada penjual yang datang menawarkan barang, agar
penjual terpaksa menjualnya dengan harga murah. Dalam hal ini, mereka
melakukan kerjasama. Ini juga termasuk najasy dan mengambil harta
manusia dengan cara haram.
6. Di antara jula beli yang dilarang adalah, seorang muslim melakukan
akad jual beli di atas akad saudaranya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:“Janganlah
sebagian di antara kalian berjualan di atas jualan sebagian.” Misalnya,
seseorang mencari barang, dan ia membelinya dari seorang pedagang. Lalu
pedagang ini memberikan hak pilih (jadi atau tidak) kepada si pembeli
dalam tempo selama dua atau tiga hari atau lebih. Pada masa-masa ini,
tidak boleh ada pedagang lain yang masuk dan mengatakan kepada si
pembeli tadi “tinggalkan barang ini, dan saya akan memberikan barang
sejenis dengan kualitas yang lebih baik dan harga lebih murah.”
Penawaran seperti ini merupakan perbuatan haram, karena berjualan di atas
akad beli saudaranya. Selama penjual memberikan hak pilih kepada calon
pembeli, maka biarkanlah calon pembeli berpikir, jangan ikut campur. Jika
calon pembeli mau, ia bisa melanjutkan akad jula beli atau membatalkan
akad. Jika akadnya sudah rusak dengan sendirinya, maka engkau boleh
menawarkan barang kepadanya.
Begitu juga membeli diatas pembelian saudaranya, hukumnya haram.
Misalnya, jika ada seseorang mendatangi pedagang hendak membeli suatu
barang dengan harga tertentu, lalu ia memberikan hak pilih kepada
pedagang (jadi atauu tidak) selama beberapa waktu. Maka selama masa
pemilihan itu, tidak boleh ada orang lain ikut campur, pergi ke pedagang
seraya mengatakan “saya akan membeli barang ini darimu dengan
harga yang lebih tinggi dari tawaran si fulan”. Demikian ini merupakan
perbuatan haram. Karena dalam perbutan ini tersimpan banyak madharat
bagi kaum muslimin, pelanggaran hak-hak kaum muslimin, menyakitkan
hati mereka. Karena jika orang ini mengetahui bahwa engkau ikut campur
dan merusak akad antara dia dengan pembeli atau penjual, dia akan merasa
marah, dongkol dan benci. Bahkan mungkin dia mendoakan keburukan
bagimu, karena engkau telah menzhaliminya.

7. Jual Beli Patung dan alat-alat kesyirikan.

Patung (ashnam) disini adalah bentuk benda yang dijadikan tempat


ibadah dan tidak ada perbedaan dalam larangan memilikinya dan
kewajiban menghancurkannya dan merubahnya (lihat al-Mufhim 4/464).
Mayoritas ulama mengharamkan jual belinya dan sebagian ulama ada yang
membolehkannya karena adanya manfaat dari puing-puingnya setelah
dihancurkan sehingga manfaatnya pasti ada sehingga ada nilai harta dan
dapat dinilai ( lihat Fathulbari 4/497 dan Nailulauthar 6/224).
Pendapat mayoritas ulama inilah yang benar karena penunjukkan hadits
Jabir dan adanya penekanan untuk meninggalkannya serta peringatan
darinya sebagai penutup jalan kesyirikan. Ibnul Qayyim menyatakan:

‫ ِة‬Aَ‫ ِر َوا ْل َم ْيت‬A‫ع ا ْل َخ ْم‬A َ َ‫ َوأ‬،‫ َوه َُو أَ ْعظَ ُم ت َْح ِري ًما َوإِ ْث ًما‬،‫صنَ ِام‬
ْ ِ ‫ش ُّد ُمنَافَاةً لِإْل‬
ِ A‫اَل ِم ِمنْ بَ ْي‬A‫س‬ ْ َ ‫ت َْح ِري َم بَ ْي ِع اأْل‬
.‫َوا ْل ِخ ْن ِزي ِر‬

Pengharaman jual beli patung lebih besar dan lebih berdosa serta lebih
bertentangan dengan islam dari jual beli khamr, bangkai dan babi
(Zaadulma’ad 5/762). Adapun pengharaman jual beli patung, maka diambil
faedah adanya pengharaman semua alat yang digunakan untuk kesyirikan
dari semua sisi dan dari jenis apapun, baik patung, gambar atau salib.
Demikian juga kitab-kitab yang mengandung kesyirikan dan ibadah kepada
selain Allah, maka ini semua wajib dihilangkan dan dihancurkan dan jual
belinya adlaah sarana untuk memilikinya, sehingga lebih utama
diharamkan jual belinya dari selainnya. ( Zaadulma’ad 5/761)
8. Jual Beli Untuk kejahatan
Allah juga melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu
terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan
Allah. Karena tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat
khamr karena hal tersebut akan membantu terwujudnya
permusuhan.Berdasarkan firman Allah ta’ala : “Janganlah kalian tolong-
menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah : 2).”
Menurut Ibnul Qoyim : “Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa
maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad
tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau
batil manakala diketahui maksud pembelian tersebut adalah untuk
membunuh seorang Muslim. Karena hal tersebut berarti telah membantu
terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang
yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fii sabilillah maka ini adalah
ketaatan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk
memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum
muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan.”
9. Menjual Budak Muslim Kepada Non Muslim
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir
jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan
budak tersebut hina dan rendah dihadapan orang kafir. Allah ta’ala telah
berfirman : “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-
orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. 4:141)
10. Jual Beli Istijrar
Yang dimaksud dengan jual beli istijrar secara adalah menarik atau
menyeret. Sedangkan secara terminologis nya ilmu fikih adalah menambil
kebutuhan yang perlu dibeli dari penjual sedikit demi sedikit, lalu
membayarnya sesudah itu.

“Masalah-masalah Dalam Jual Beli”


-Rini H.,Widya Anugrah A. & Syifa Zahra A.-

1. PENJUALAN KREDIT DENGAN TAMBAHAN HARGA


Jual beli dalam fiqh islam kadang dilakukan dengan pembayaran kontan
dari tangan ke tangan dan terkadang dengan pembayaran dan penyerahan barang
tertunda, hutang dengan hutang. terkadang salah satu keduanya kontan dan yang
lainnya tertunda. kalau pembayaran kontan dan penyerahan barang tertunda
maka itu disebut jual beli as-salam. kalau penyeraahan barangnya langsung dan
pembayarnnya tertunda, itu disebut jual beli nasi’ah. pembayaran tertunda itu
sendiri terkadang dibayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus. terkadang
dibayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu
tertentu. itu disebut jual beli taqsit atau kredit. kredit disini merupakan cara
memberikan pembayaran barang dagangan.
Jual beli kredit itu hanyalah salah satu bentuk dari jual beli nasi’ah.
syariat yang suci membolehkan jual beli nasi’ah itu dengan pembayaran yang
tertunda, sesuai dengan syarat-sayarat yang akan dijelaskan pada kesempatan
lain.
a. Disyariatkannya jual beli nasi’ah (berhutang terlebih dahulu)
Para ulama telah bersepakat tentang diperbolehkannya jual beli nasi’ah
karena banyaknya hadis-hadis yang tegas yang diriwayatkan tentang jual
beli itu. diriwayatkan oleh bukhari dan muslim serta pewari lainnya,
“bahwa rasulullah saw, pernah membeli makanan dari orang yahudi
dengan pembayaran tertunda. beliau memberikan baju besinya sebagai
jaminan.”
dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga dibolehkan jual beli secara
kredit. karena jual beli kredit tidak lain adalah jual beli pembayaran
tertunda, hanya pembayarannya yang dicicil selama beberapa kali dalam
waktu-waktu tertentu. tidak ada perbedaan dalam hukum syariat terhadap
jual beli dengan pembayaran tertunda dalam satu waktu pada waktu
berbeda.
b. Hukum jual beli kredit dengan tambahan harga karena faktor waktu
penundaan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada asalnya jual beli kredit telah
disepakati kehalalannya. akan tetapi terkadang terjadi hal yang
kontroversial dalam jual beli semacam ini, yakni bertambahnya harga
dengan ganti tenggang waktu. misalnya harga suatu barang bila dibeli
secara kontan adalah seratus juneih. lalu bila dibayar dengan kredit,
harganya menjadi seratus lima puluh juneih. pendapat yang benar dari para
ulama adalah dibolehkannya bentuk jual beli kredit semacam ini,
berdasarkan alasan alasan berikut :
Keumuman dalil yang menetapkan dibolehkannya jual beli semacam ini.
Penjualan kredit hanyalah salah satu dari jenis jual beli yang disyariatkan
tersebut (jual beli nasi’ah). para ulama yang melarangnya tidak
memberikan alasan yang mengalihkan hukum jual beli menjadi haram.
Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. (albaqarah:182)
Ayat tersebut secara umum juga meliputi penujualan barang dengan
pembayaran tertunda, yakni jual beli nasi’ah. ayat ini juga meliputi hukum
menjual barang yang berada dalam kepemilikan namun dengan penyerahan
tertunda yakni jual beli as-salam. karena dalan jual beli as-salam harga
juga bisa dikurangi, karena penyerahan barang tertunda maka jual beli
nasi’ah juga boleh dilebihkan harganya karena bayarnya tertunda.
nabi SAW. bersada : “emas boleh dijual dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan
kurma, dan garam dengan garam, asal sama ukuran atau takarannya,
diserahterimakan dan dibayar secara langsung. kalau jenis yang satu
dijual dengan jenis yang lain, silahkan kalian menjual sekehendak kalian,
namun harus tetap dengan kontan.”
Dalam hadis ini ada indikasi terhadap beberapa hal berikut:
 apabila emas dijual dengan emas, gandum dengan gandum,
disyaratkan harus ada kesamaan ukuran atau takaran dan langsung
diserahterimakan (asal sama ukuran atau takarannya, diserah
terimakan dan dibayar secara langsung). maka diharamkan adanya
kelebihan berat atau takaran salah satu barang yang ditukar dan juga
diharamkan pembayaran tertunda.
 namun kalau emas ditukar dengan perak atau kurma dengan jewawut
hanya disyaratkan serah terima dan pembayaran langsung saja, namun
tidak disyaratkan harus sama ukuran maupun takarannya. dibolehkan
ketidaksamaan ukuran dan takaran, karena perbedaan jenis, namun
tetap diharamkan penagguhan penyerahan barang dan pembayarannya.
 apabila emas ditukar atau dijual dengan gandum atau perak dengan
kurma, boleh tidak sama ukuran (takarannya) dan boleh juga
ditangguhkan penyerahan kompensasi dan pembayarannya. kerena
dibolehkan kelebihan salah satu barang tersebut oleh perbedaan jenis
juga disebabkan oleh perbedaan waktu.
 penjualan emas dengan emas ada kesamaan, sehingga tidak bisa
diberlakukan penjualan nasi’ah yakni dengan penyerahan barang
tertunda, karena penundaan itu bisa menghilangkan kesamaan
tersebut. namun syarat itu tidak berlaku peda penjualan emas dan
gandum misalnya. oleh sebab itu boleh ada kelebihan salah satu
barang yang dipertukarkan, baik karena perbedaan kualitas bisa juga
perbedaan waktu.
c. Kerancuan alasan-alasan mereka yang melarang jual beli ini
Dalam mengharamkan jual beli ini (kredit dengan harga lebih besar)
mereka beralasan bahwa tambahan tersebut sebagai padanan dari
pertambahan waktu. mengambil keuntungan tambahan dari pertambahan
waktu adalah riba.
alasan ini bisa dibantah, bahwa tambahan tersebut tidak bisa digolongkan
sebagai riba yang diharamkan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
bahwasanya semua komoditi riba fadhl yang enam bila dijual dengan yang
sejenis, maka diharamkan sebagai riba kerena kelebihan salah satu barang
transaksinya dan karena penundaan transaksinya dan karena penundaan
serah terima (emas dengan emas atau dolar dengan dolar). dan kalau
sesuatu itu dijual atau diberter dengan jenis lain namun memiliki kesamaan
‘llat (alasan) hukum (emas dengan perak, dollar dengen juneih), boleh
dilebihkan salah satunya, namun tidak boleh dilakukan dan serah terima
tertunda. dan apabila yang dibarter adalah barang dengan yang tidak
sejenis dan tidak sama ‘llatnya (emas dengan gandum, atau dollar dengan
kurma) boleh dilebihkan salah satunya dan juga dibolehkan serah terima
tertunda. yakni dibolehkan perbedaan harga karena perbedaan jenis, dan
dibolehkan perbedaan harga karena penagguhan serah terima.
Mereka yang menharamkan juga beralasan dengan nash-nash umum yang
mengharamkan riba, bahwa jual beli ini juga tergolong riba. namum
keumuman nash ini dikonfrontasikan dengan nash-nash umum lain yang
menghalalkan jual beli secara kontan dan tertunda pembayaran atau serah
terima barangnya. dan jual beli ini termasuk diantaranya.
Mereka juga beralasan dengan riwayat larangan melakukan dua perjanjian
dalam satu aktivitas jual beli, sebagaimana dalam sabda nabi saw.
“barangsiapa yang melakukan dua akad (transaksi) dalam satu jual beli,
maka ia harus mengambil keuntungan yang lebih rendah diantara
keduanya, atau (bila tidak) berarti ia melakukan riba.”
Namun alasan ini dapat dibantah kalaupun dimisalkan hadist ini shahih,
maka dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli itu ditafsirkan sebagai
jual beli ‘inah bukan jual beli dengan pembayaran tertunda semacam ini.
maksudnya (‘inah) adalah membeli barang untuk dibayar tertunda,
kemudian mengembalikan barang itu kepada penjual dan menjualnya
dengan harga lebih murah secara kontan. tidak diragukan lagi bahwa ini
jual beli manipulatif sebagai riba tersembunyi dengan menyamarkannya,
dimana barang dagangan hanya dijadikan sebagai mediator saja, untuk
melegalitas peminjaman uang berbunga.
Yang perlu diingatkan disini bahwa apabila pembeli terlambat membayar
cicil kredit, tidak dibolehkan bagi penjual untuk memberikan denda
keuangan sebagi kompensasi keterlambatannya. namun ia berhak untuk
menuntut pembayaran sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan
membayar, bila itu termasuk dalam akad kreditnya.

d. Penjelasan majelis ulama fikih tentang hukum jual beli kredit

Pembolehan jual beli dengan pembayaran tertunda dengan tambahan harga


yang telah kami paparkan sebelumnya, demikian juga tidak bolehnya
memberikan sanksi denda bila terjadi keterlambatan adalah pendapat yang
diplih oleh majelis ulama fikih yaing ikut organisasi muktamar islam.
dalam muktamarnya yang keenam dijeddah pada bulan sya’ban 1410 H.
ditetapkan sebagai berikut:

1. Dibolehkan tambahan harga kredit dari harga kontan. juga dibolehkan


menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan
waktu-waktu penyicilannya. jual beli dianggap tidak sah sebelum
kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih, kontan atau
kredit. kalau jual beli itu dilakukandengan keragu-raguan antara
kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara
kedua belah pihak, maka jual beli itu tidak sah secara syar’i.
2. Menurut ajaran sayariat, ketika proses jual beli ini terjadi, tidak boleh
menegaskan keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga
kontan, sehingga ada keterikatan dengan jangka waktu. baik kedua
pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan tertentu, atau
tergantung dengan jumlah penambahan waktu saja.
3. Kalau pembeli sekaligus orang yang berhutang terlambat membayar
cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, tidak boleh
memaksanya dengan membayar tambahan lain dari jumlah hutangnya,
dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. karena
itu bentuk riba yagn diharamkan.
4. Orang yang berhutang padahal mampu membayar, dia tidak boleh
memperlambat pembayaran hutangnya yang sudah tiba waktu cicilnya.
meski demikian jika tidak memberi persyaratan adanya kompensasi
atau sanksi denda bila terjadi keterlambatan pembayaran.
5. Menurut syariat seorang penjual dibolehkan meminta penyegeraan
pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika orang yang
berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya,
selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika
terjadi transaksi.
6. Penjual tidak boleh menyimpan barang milik pembeli setelah terjadi
akad jual beli kredit ini. namun ia bisa meminta syarat untuk
sementara barang digadaikan ditempat sebagai jaminan hingga ia
melunasi cicilan hutangnya.

2. JUAL BELI ‘INAH


‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan misalnya
(‘i’taanu rojulu) yakni membeli sesuatu dengan pembayaran tertuda atau
berhutang atau menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya
lagi dengan harga lebih murah dari harga penjualan. jual beli ini disebut ‘inah
karena sipemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang
diinginkannya adalah ‘ain (uang), atau karena sipenjual kembali memiliki ‘ain
(benda) yang dia jual. Menurut terminologi ilmu fikih artinya : jual beli
manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari
jumlahnya, yakni dengan cara menjual barang dengan pembayaran tertunda lalu
membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.
a. Hukum jual beli ‘inah
Para ulama sependapat bahwa jual beli ‘inah ini diharamkan bila terjadi
melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam akad pertama untuk
memasukkan akad kedua kedalamnya.
Namun para ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan
sebelumnya. disini ada dua pendapat :
pendapat pertama: haram. ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan
hanafiyah, malikiyah dan hanbaliyah. Diantara dalil dalil mereka dalam
menetapkan keharamannya yaitu :
Apa yang diriwayatkan Atha’ dari Ibnu Umar ra. bahwa ia menceritakan, aku
pernah mendengar raruslullah saw. bersabda:
“kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara (uang)dinar dan dirham, sudah
mulai melakukan jual beli ‘inah mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan
jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan
bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama
mereka (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Indikasi hadits terhadap haramnya jual beli ini amat jelas. karena berjual beli
dengan sistem ‘inah merupakan salah satu sebab turunnya bencana. alasan
hadits ini dibantah dalam dua sisi:
Sisi pertama : Dari sisi sanad. karena dalam sanad hadits itu terdapat Ishaq bin
Usaid al-Khurasani yang haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. dalam sanad
hadits itu juga terdapat Atha’ al-Khurasani. ia juga masih diragukan.
Sisi kedua : Dari sisi indikasinya terhadap keharaman jual beli ‘inah. Karena
jual beli ‘inah dalam hadits itu diseiringkan dengan berbagai hal lain yang tidak
diharamkan seperti membajak dengan sapi dan sibuk bercocok tanam.
Jelas sekali bahwa bantahan ini lemah sekali. Karena hadits ini
menggabungkan beberapa hal yang berbeda dalam satu alur pembicaraan,
padahal hukum masing-masing dari semua hal tersebut berbeda-beda
tergantung dengan niat dan tujuan. Seperti sabda nabi saw.
“hasil profesi tukang bekam adalah busuk, hasil upah seorang dukun adalah
busuk, dan upah seorang pelacur adalah busuk” (diriwayatkan oleh muslim
dalam kitab al musaqot bab tahrim tsaman al-kalb no, 1568)
Padahal upah kerja seorang pembekam tidaklah haram. “Rasulullah saw
sendiri pernah berbekam dan memberikan upah kepada situkang bekam”
Diriwayatkan oleh imam ad-daruquthni dan baihaqi, dari abu Ishaq as-sabi’i,
dari istrinya aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah ra. bersama dengan
sorang perempuan , ibu dari anak zaid bin arqam serta sorang wanita lain. Ibu
dari anak zaid berkata, aku pernah menjual budak kepada zaid seharga
delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. dan aku membelinya
kembali seharga enam ratus dirham kontan.” aisyah berkata,” sungguh tidak
bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. katakan kepada zaid,
bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama rasulullah
saw. kecuali kalau ia bertaubat!” wanita itu berkata,”bagaimana kalau yang
kuambil hanya modalku saja?” aisyah menjawab Allah berfirman, ‘orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan)’ al-baqarah:275.
Indikasi hadits terhadap keharaman jual beli tersebut jelas sekali. bahkan
Aisyah ra. menganggap perbuatan itu dapat membatalkan pahala haji dan jihad,
kecuali kalau pelakunya bertaubat. namun alasan dalil ini juga dibantah daru
dua sisi pula:
sisi pertama: Dari sisi sanad hadits. Istri abu ishak disini tidak diketahui
identitasnya, dan juga belum pernah mendengar hadits dari aisyah. Namun ia
mendengarnya dari istri abu safar dan dia lebih tidak dikenal lagi identitasnya.
sisi kedua : Dari sisi kandungan dalil dalam hadits. Karena mustahil bila aisyah
sampai menetapkan batalnya pahala jihad seorang sahabat besar karena satu
perkara yang paling jauh beliau hanya bisa dihukum sebagai seorang mujtahid
yang keliru. Beliau berhak mendapat satu pahala, bukan sebaliknya malah
divonis telah batal pahala haji dan jihadnya. Bagaimana tidak? Beliau adalah
salah seorang yang turut melakukan ba’iat dibawah pohon ar-ridhwan.
keridhoan Allah terhadap para pelakunya tercatat dalam ayat al-qur’an yang
dibaca oleh mata manusia sepanjang masa. Kemudian alasan mereka yang lain
adalah beberapa riwayat dadi sahabat tentang haramnya jual beli ini.
Diriwayatkan dari ibnu Abbas ra. bahwa ia pernah ditanya tentang seorang
lelaki yang menjual sehelai sutera kepada orang lain seharga seratus dirham.
Kemudian ia membelinya kembali seharga lima puluh dirham saja secara
kontan. Ibnu Abbas menjawab, “itu artinya menjual dirham dengan dirham
berbunga, namun mediatornya adalah sehelai sutera.”
Diantaranya lagi riwayat anas bin malik ketika ditanya tentang jual beli ‘inah
yakni dengan sutera sebagai mediatornya beliau menjawab “sesungguhnya
Allah tidak mungkin dikelabui. itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh
Allah dan RasulNya.”apabila seorang sahabat nabi mengatkan, “diharamkan
oleh Allah dan RasulNya,” demikian juga bila ia mengatakan, “...diperintahkan
oleh Allah dan RasulNya,” maka hukumnya seperti hadits marfu’, yakni yang
berasal dari rasulullah saw langsung. Namun alasan dengan riwayat-riwayat itu
juga masih bisa dibantah, yakni bahwa semua riwayat tersebut bertentangan
dengan riwayat-riwayat lain yang menetapkan boleh jual beli tersebut. Maka
pendapat para sahabat yang melarangnya itu bisa ditafsirkan: bila jual beli itu
dilakukan dengan kesepakatan, bukan secara kebetulan.
pendapat kedua : Boleh. ini adalah pendapat as-syafi’i Abu Yusuf dan Az-
zahiriyah. diantara dalil-dalil mereka misalnya:
Keumuman nash atau dalil-dalil tegas tentang halalnya jual beli. Jual beli
‘inah adalah salah satu dari bentuk jual beli. tidak akan keluar dari asal hukum
jual beli kecuali dengan dalil.
Namun pendapat ini dibantah, bahwa semua dalil-dalil umum tersebut telah
dikhusukan oleh berbagai dalil lain yang dijadikan alasan oleh para ulama yang
melarangnya.
Beberapa riwayat dari sebagian sahabat.
Diriwayatkan oleh al-baihaqi dengan sanadnya “bahwa ada seorang lelaki
yang pernah menjual pelana kuda namun tidak mengambil langsung
bayarannya. Pemilik pelana baru yang membeli pelana itu darinya, berencana
menjual kembali. Orang yang menjual pelana tadi mau membelinya kembali
dengan harga lebih murah. Persoalan itu ditanya kepada Ibnu Umar, namun
beliau menganggap jual beli itu sah-sah saja. Ibnu Umar berkata, “ bisa jadi
kalau ia menjualnya kepada orang lain, ia akan menjualnya dengan harga itu,
atau bahkan lebih murah lagi.”
Diriwayatkan juga oleh al-baihaqi bahwa ada seorang lelaki yang menjual
unta kepada orang lain (dengan pembayaran tertunda) lalu ia berkata, “berikan
kembali kepada untamu itu, dan akan kubayar kontan tiga puluh dirham.”
mereka menanyakan persoalan itu kepada syuraih, dan beliau menganggap hal
itu tidak menjadi masalah kalau jual beli itu tidak sah , maka tidak akan
diperbolehkan oleh ibu umar syuraih.
Alasan dengan hadits ini dibantah, bahwa hadits-hadits ini bertentangan dengan
berbagai riwayat lain yang justeru melarang. Sebagian diantaranya telah
dipaparkan sebelumnya.

b. memilih pendapat yang benar (yang rajih)


Yang bisa kita simpulkan setelah memaparkan beberapa pendapat
tersebut, yang benar adalah bahwa jual beli semacam itu dilarang, untuk
menutup jalan menuju riba dan memutus jalan bagi orang-orang yang suka
membuat penyamaran terhadap bentuk usaha yang haram, agar tujuan mereka
tidak kesampaian
3. JUAL BELI WAFA’
Yakni jual beli dengan persyaratan yang saling mengembalikan hak pihak
lain. yakni disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan
mengembalikan barang sipenjual. disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan),
karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak sipenjual, yakni
mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengambalikan uang bayarannya.
a. Sejarah jual beli wafa’
Bentuk jual beli ini pertama kali di Bukhara dan Balkh pada awal
abad kelima hijriyah. yang menjadi pemicunya adalah karena kebanyakan
orang yang berharta tidak mau meminjamkan uangnya secara baik,
sementara mereka merasa berat melakukan riba, disisi lain banyak orang
yang amat membutuhkan harta. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan keluar
yang mereka anggap dapat merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.
Manfaat bagi penjual karena bisa mendapatkan uang yang dia
inginkan tanpa harus dengan terpaksa menjual barang mati yang bisa jadi dia
niatkan secara keras agar tidak keluar dari kepemilikannya. Manfaat bagi
pembeli adalah dia dapat mengembangkan hartanya, jauh dari lingkaran
perbuatan riba yang terang-terangan.

b. Proses transaksi jual beli wafa’


Jelas bahwa transaksi semacam itu mengandung ketercampuran berbagai
macam hukum jual beli dan berbagai hukum pegadaian.
- Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si
pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan
dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri
sendiri dan memanfaatkannya untuk disewkan tanpa izin si penjual.
- Jual beli itu juga mengandung hukum-hukum pegadaian, seperti tidak
adanya hak pembeli untuk mengkonsumsi barang dagangan atau
memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu juga tidak
bisa dipakai untuk syuf’ah, dan biaya perawatannya atas penjual,
disamping pembeli juga harus menjaga komitmen untuk
mengembalikan barang itu bila sipenjual telah mengembalikan uang
pembayaran.

c. Hukum wafa’
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini.
- Diantara ulama ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah,
karena ia dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan
(sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
- Diantara mereka ada yang mengaggapnya sebagai pegadaian yang sah,
sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku didalamnya.
- Diantara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang
rusak, karena ada syarat yang saling mengembalikan.
- Ada juga diantara ulama yang memandannya sebagai jual beli model
baru yang menggabungkan antara jual beli yang sah, jual beli rusak dan
pegadaian. namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan
karena dibutuhkan.
Yang benar bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan karena tujuan
yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan memberikan uang untuk
dibayar secara tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang
digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya.
Namun sebutan sebagai jual beli pelunasan atau jual beli amanah tidak
lepas dari jual beli seperti itu, karena yang dilihat adalah hakikat dan
tujuan sesungguhnya dari jual beli tersebut, bukan bentuk aplikasi dan
tampilan lahiriyahnya saja.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah menyatakan, “sejenis jual beli yang
mereka perlihatkan yang disebut jual beli amanah yang dalam jual beli
itu mereka bersepakat bahwa apabila telah dikembalikan bayaran
sipenjual, barang juga dikembalikan adalah jual beli batil menurut
kesepakatan para imam, baik dengan persyaratan yang disebutkan
dalam waktu akad atau melalui kesepakatan sebelum akad. Itu pendapat
yang tepat daripada ulama.”

4. JUAL BELI DENGAN SISTEM PANJAR (UANG MUKA)


Panjar dalam bahasa Arab adalah ‘urbuun. Secara bahasa artinya adalah
yang dijadikan perjanjian dalam jual beli. Diucapkan ‘urbuun dengan
mendhamahkan ‘ain dan mensukunkan ra’ dan bisa memfatahkan keduanya
‘arobuun. adapun ‘arbun, tidak umum diucapkan oleh orang-orang Arab.
Adapun arti terminologi adalah sejumlah uang yang dibayarkan dimuka oleh
seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila akad itu mereka lanjutkan, maka
uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka
menjadi milik si penjual.
a. Hukum jual beli dengan panjar (uang muka)
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum panjar ini.
 Mayoritas ulama dari kalangan hanafiyah, malikiyah, dan syafi’iyah
berpendapat bahwa jual beli dengan panjar (uang muka) itu tidak sah.
dalil-dalil yang mereka gunakan diantaranya :
- Hadits Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia
berkata : “Rasulullah saw. melarang jual beli dengan sistem ‘urbun
(uang muka)”. diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3502, ibnu majah
no. 3192.
- Bahwa jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang
lain dengan cara yang batil karena disyaratkan bagi si penjual tanpa
ada kompensasinya.
- Karena dalam jual beli itu ada dua syarat yang batil, yaitu syarat
yang memberikan uang pajar (hibah Cuma-Cuma) dan syarat
mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah stu pihak
tidak ridha.
- Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui.
kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan
waktunya, jelas tidak sah. demikian juga apabila dikatakan, “saya
punya hak pilih. kapan mau akan saya kembalikan. namun uang
bayarannya harus dikembalikan.”
- Diriwayatkan oleh nafi’bin al-harits, pernah membelikan umar
sebuah bangunan penjara dari Shafwan bin Umaiyah, yakni apabila
umar suka. Bila tidak maka shafwan berhak mendpatkan uang sekian
dan sekian. Al-Atsram berkata, “ saya bertanya kepada Ahmad,
‘apakah anda berpendapat demikian?’ beliau bertanya, ‘apa yang
harus kukatakan? Ini Umar ra. (berpendapat seperti itu).”
- Panjar ini adalah kompensasi dari pejual yang menunggu dan
menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. ia tentu saja
akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. tidak benar ucapan
orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi
penjual tanpa ada imbalannya.
- Tidak sahnya kias atau analogi jual beli ini dengan hak pilih terhadap
hal yang tidak diketahui, karena syarat dibolehkannya panjar ini
adalah dibatasinya waktu menunggu. dengan dibataisnya waktu
pembayaran, batallah analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang
dilarang dari jual beli tersebut.

b. Ketetapan majelis fikih islam (majma’ al-fiqh al-islam) seputar


masalah jual beli dengan panjar.

Diantara hal yang patut diingat adalah bahwa majelis fiqh islam pada
seminar ke delapan telah berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar,
dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:

1. Yang dimaksud jual beli sistem panjar adalah: penjual menjual barang,
lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan
syarat bahwa ia jadi mengambil barang itu. Maka uang muka tersebut
masuk dalam harga yang harus dibayar. namun kalau ia tidak jadi
membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual.
perjanjian ini selain benrlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa
menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas. diantara jual beli
dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima
pembayaran atau barang transaksi dilokasi akad (jual beli as-salam)
atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhl dan money
changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi
orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan,
namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijnjikan.
2. Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya
secara pasti, dan panjar dimasukkan sebagi bagian pembayaran, bila
pembeli berlanjut. dan menjadi milik penjual bila sipembeli tidak jadi
melakukan tansaksi pembelian.
5. JUAL BELI ISTIJAR
Istijar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara termiologis
ilmu fikih, ia berarti mengambil kebutuhan yang perlu dibeli dari penjual sedikit
demi sedikit, lalu membayarnya sesudah itu.
a. Hukum jual beli istijar
Para ahli fikih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. pemicu
perbedaan pendapat mereka adalah kerena si pembeli tidak tahu harga
barang ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda
sampai waktu perhitungannya. berdasarkan hal ini, apabila harganya telah
diketahui secara pasti maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. karena
dalam kondisi demikian jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli
nasi’ah sehingga termasuk keumuman dalil-dalil yang menetapkan
disyariatkannya jual beli tersebut. namun kalau harganya tidak diketahui
inilah yang menjadi perdebatan diantara para ulama.
Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena
tidak diketahuinya harga yang harus dibayar. Kalangan hanbaliyah dalam
satu riwayat dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan. itulah
pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. hal itu
menurut mereka sama dengan sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah
mahar. Jumlah mahar itu dikembalikan kepada standar mahar secara
umum. dan harga barang dalam jual beli ini pun dikembalikan kepada
harga standar. Kemungkinan diantara dalil yang paling jelas yang
menjelaskan disyariatkannya jual beli lini karena bentuk jual beli ini sudah
demikian populer dibagian negeri dan belahan dunia, sampai dikalangan
mereka melarangnya sekalipun. dan tak seorangpun diantar mereka yang
berani menyatakan bahwa jual bali itu batal.
Abu dawud menjelaskan dalam al-masa’il bab fi asy-syira’ wa la
yasumma ats-tsaman, “aku pernah mendengar ahmad ditanya tentang
seorang lelaki yang mengirim orang ketukang sayur dan mengambil
kebutuhannya satu demi satu, baru dikemudian hari ia menghitung semua
pembeliannya. beliau menjawab “saya harap jual beli semacam itu tidak
apa-apa”. beliau ditanya ‘apakah saat itu juga disebut sebagai jual beli?’
beliau menajawab ‘tidak’.
Ibnu Qoyyim menyebutkan dalam i’lam al-muwaqqi’in: “para ulama
berbeda pendapat tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga
diputuskan tanpa perikatan harga barang sesungguhnya pada saat transaksi.
bentuk aplikatifnya jual beli yang dilakukan oleh rekan bisnis, seperti
tukang roti, tukang daging atau penjual minyak samin atau yang lainnya. Ia
mengambil kebutuhannya dari meraka dan menghitung selurunya diawal
bulan atau awal tahun, lalu membayarnya. namun sebagian besar ulama
melarangnya. meraka mengaggap serah terima barang itu tidak
memindahkan kepemilikan. Itu adalah serah terima rusak seperti hanya
serah terima barang rampasan. karena serah terima itu dilakukan dengan
transaksi yang rusak. namun mereka semua melakukan jual beli tersebut
selain orang yang bersikap ekstrim. karena mereka tidak menemukan jalan
lain. meskipun mereka menyebutkan fatwa bahwa jual beli semacam itu
adalah batil, dan bahwa barang itu masih dalam kepemilikan oleh
sipenjual. ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu dalam arti mereka
tidak mungkin menawar setiap kali membutuhkan sesuatu yang diambil,
murah atau mahal. kalau serah terima barang harus dilakukan dengan
pelafazan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan pelafazhan
ijab dan qabul (serah terima).
Kemudian ibnu qayyim melanjutkan,
“pendapat kedua, dan inilah pendapat yang tepat yakni yang selalu
diamalkan oleh umat islam disegala tempat yakni dibolehkannya jual beli
itu sampai batas harga termahal. itulah pendapat yang dinyatkan oleh
Ahmad dan dipilih oleh guru kami syaikhul islam Ibnu Taimiyah
rahimullah. aku pernah mendengarnya berkata, itu lebih menyenangkan
hati pembeli dari pada tawar menawar. dalam hal ini saya juga memiliki
panutan. saya hanya memilih pendapat yang telah diambi oleh ulama selain
saya’. kemudian beliau melanjutkan, ‘orang-orang yang melarang jual beli
semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut. bahkan
mereka turut melakukannya juga. sementara dalam kitabullah maupun
sunnah Rasululah bahkan juga ijma’ kaum muslimin, atau sekedar
pendapat seorang sahabat maupun kias yang sah. tidak ada yang
menjelaskan keharamannya.disisi lain, umat islam telah bersepakat
menganggap sah nikah tanpa mengetahui jumlah mahar dengan
membeikan mahar standar. bahkan kebanyakan para ulama juga
membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan pembayaran standar,
seperti menyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan, tukang
membersihkandapur. namun setidaknya jual beli tersebut dengan
menggunakan harga standar. jual beli semacam itu dibolehkan
sebagaimana halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli
ini ataupun jual beli lainnya. inilah kias yang tepat yang hanya dengan
analogi inilah kepentingan umat dapat ditegakkan.”

“Jual Beli Yang Diperbolehkan Dalam Islam”


-Revita D., Ria R. & Novi F.-

1. MURABAHAH

A. Definisi Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan yang lazim digunakan oleh
perbankan syariah, dimana akad ini dilakukan dengan menjual barang disertai
dengan pernyataan harga serta perolehan atau keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Hal yang membedakan murabahah dengan
penjualan yang kita kenal adalah penjual dengan jelas memberi tahu kepada
pembeli berapa harga pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang
diinginkannya. Pembeli dan penjual dapat melakukan tawar menawar atas
besaran margin keuntungan sehingga akhirnya diperoleh kesepakatan.
Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan
keuntungan tertentu, besar ketentuan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal
rupiah tertentu atau dalam bentuk persentasi dari harga pembeliannya misal 10
% atau 20 %.
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat
dibebankan pada harga jual, apakah hanya harga beli saja atau boleh
ditambahkan dengan harga lainnya. Misalnya ulama mazhab Maliki
membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait dengan transaksi jual beli itu
dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut namun
memberikan nilai tambah pada barang itu. Ulama mazhab syafi’i membolehkan
membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual
beli kecuali bila transaksi tenaga kerjanya sendiri, karena komponen ini
termasuk dalam keuntungannya. Begitu juga biaya-biaya yang tidak menambah
nilai barang tidak boleh dimasukan dakam komponen biaya. Ulama mazhab
Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul
dalam suatu transaksi jual beli namun mereka memang tidak membolehkan
biaya-biaya yang semestinya di kerjakan oleh penjual. Ulama mazhab Hambali
berpendapat bahwa semua biaya langsung ataupun tidak dapat dibebankan pada
harga jual selama biaya-biaya tersebut harus dibayarkan pada pihak ketiga dan
akan menambah nilai barang yang dijual. Secara umum keempat ulama mazhab
membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada
pihak ketiga. Mereka tidak memperbolehkan pembebanan biaya langsung yang
berhubungan dengan pekerjaan yang memang dilakukan oleh penjual, demikian
juga biaya yang tidak memberi nilai tambah pada barang.
B. Sumber Hukum

1.  Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya


adalah firman Allah:

ِّ ‫َوأَ َح َّل هللاُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الربَا‬
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS.
Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan
murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Dan firman Allah:

‫ون‬A َ A‫أْ ُكلُوا أَ ْم‬AAَ‫وا الَت‬AAُ‫ين َءا َمن‬


َ A‫ ِل إِالَّ أَنْ تَ ُك‬A‫والَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِا ْلبَا ِط‬A َ ‫ا الَّ ِذ‬AA‫يَاأَيُّ َه‬
ٍ ‫ارةً َعن تَ َرا‬
‫ض ِّمن ُك ْم‬ َ ‫تِ َج‬.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
ْ َ‫اح أَن تَ ْبتَ ُغوا ف‬
‫ضالً ِّمن َّربِّ ُك ْم‬ ٌ َ‫س َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬
َ ‫لَ ْي‬
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan)
dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari rezki
melalui jual beli.

2. As-sunnah

Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:

ٌ َ‫ ثَال‬:‫ال‬
‫ البَ ْي ُع إِل َى‬:‫ث فِ ْي ِه َّن البَ َر َكة‬ َ َ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صل‬ َ ‫أَ َّن النَّبِي‬
ِ Ÿ‫ت الَ لِ ْلبَ ْي‬
‫ ( َر َواهُ اب ُْن‬.‫ع‬Ÿ ِ ‫ ِعي ِْر لِ ْلبَ ْي‬Ÿ ‫الش‬
َّ ِ‫ ّر ب‬Ÿ ُ‫طُ الب‬Ÿ‫ َو َخ ْل‬,‫ضة‬ َ ‫ار‬َ َ ‫ َوال ُمقـ‬,‫أَ َج ٍل‬
)‫اجه‬ َ ‫َم‬
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan
pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual” (HR. Ibnu Majah).

C. Jenis akad Murabahah

1. Murabahah berdasarkan pesanan

Contohnya : Darihan membeli rumah dari Jaenal tapi Jaenal tidak memiliki
rumah seperti yang dinginkan Darihan, kemudian jaenal meminta darihan
untuk mewakilinya mencari rumah sesuai yang diinginkannya. Dalam hal
ini harus ada 2 transaksi yang terpisah, pertama adalah transaksi jual beli
antara jaenal dengan penjual pertama dimana terjadi peralihan kepemilikan
dari penjual kepada jaenal. Yang kedua adalah transaksi antara jaenal dan
darihan dimana terjadi peralihan kepemilikan dari jaenal kepada darihan.
Tidak boleh transaksi tunggal yaitu antara penjual pertama dan darihan
karena kalau seperti ini sama saja jaenal meminjamkan uang kepada
darihan. Sedangkan pinjam meminjam tidak boleh ada unsur keuntungan
atau kelebihan di dalamnya.
Dalam murabahah melalui pesanan si penjual boleh meminta
pembayaran Hamish ghadiya, yakni uang tanda jadi ketika ijab Kabul. Hal
ini sekadar untuk menunjukan bukti keseriusan pembeli. Bila kemudian si
penjual telah membeli dan memasang berbagai kelengkapan rumah yang
diinginkan darihan namun darihan membatalkannya, Hamish ghadiya ini
dapat digunakan untuk menutup kerugian. Bila jumlah Hamish
ghadiyahnya lebih kecil dibandingkan jumlah yang harus ditanggung oleh
si penjual, penjual dapat meminta kekurangannya. Sebaliknya bila berlebih
pembeli berhak untuk mengambil atau menerima kembali sebagian uang
mukannya.

2. murabahah tanpa pesanan,

murabahah jenis ini bersifat tidak mengikat. Dimana penjual sudah


mempunyai barang yang akan dibeli okeh pembeli sehinnga penjual tidak
perlu memesan kepada supplier.

D. Cara Pembayaran

Pembayaran murabahah dpat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam


murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk
cara pembayaran yang berbeda. Murabahah muajjal dicirikan dengan adanya
penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian (setelah awal
akad), baik dalam bentuk angsuran, maupun dalam bentuk Lump sump
(sekaligus). Dari cara pembayarannya, jual beli dapat dilakukan dengan tiga
cara : barang diserahkan saat ini uang diserahkan saat ini, barang diserahkan
saat ini dan uang diserahkan belakangan, barang diserahkan belakangan dan
uang dibayarkan saat ini. Yang tidak boleh dilakukan adalah barnag diserahkan
belakangan dan uang dibayar dibelakang pula, dala fiqih transaksi ini disebut
transaksi kali bi kali
Apabila akad penjualan secara tangguh dan pembeli dapat melunasinya
secara tepat waktu atau bahkan ia melunasi lebih cepat dari periode yang telah
ditetapkan, maka penjuan boleh memberikan potongan. Namun demikian
perjanjian ini tidak boleh diadakan diawal untuk menghindari adanya unsur
riba. Apabila pembeli tidak dapat membayar utangnya sesuai dengan waktu
yang ditetapkan maka penjual tidak boleh memberlakukan denda keterlambatan
pada pembeli karena kelebihannya sama dengan riba, namun dapat dilakukan
dengan cara :
1. Restrukturisasi piutang. Hal ini dilakukan terhadap debitor yang
mengalami penurunan kemampuan pembayaran yang bersifat permanen.
Memberi potongan sisa tagihan sehingga jumlah angsuran menjadi lebih
kecil
2. Melakukan penjadwalan ulang dimana jumlah tagihan yang tersisa tetap
(tidak boleh ditambah) dan perpanjangan masa pembayaran dapat
disesuaikan kedua pihak
3. Mengonversi akad murababah, dengan cara menjual objek murabahah
kepada penjual sesuai dengan nilai pasar, kemudian dari nilai uang yang
ada digunakan untuk melunasi sisa tagihan kelebihannya (billa ada)
digunakan sebagai uang mukaakad ijaroh atau sebagai bagian modal dari
akad mudharabah musyarakah atau musyarakah dalam rangka perolehan
suatu barang. hal ini dilakukan terhadap debitor yang mengalami
kemampuan pembayaran namun debitor tersebut masih produktif.
Sebaliknya apabla terjadi kekurangan tetap menjadi utang pembeli yang
cara pembayarannya disepakati bersama.

Namun jika pembeli tidak membayar bukan karena mengalami


kesulitan keuangan tetapi karena lalai, maka denda boleh dipergunakan. Namun
denda ini tidak diakui sebagai pendapatan penjual tetapi harus digunakan untuk
dana kebajikan social (dana qard) yang akan disalurkan pada orang yang
membutuhkan. Tujuan dikenakan denda adalah sebagai hukuman bagi orang
yang lalai agar dia lebih disiplin dalam menunaikan kewajiban membayar
utangnya. Berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan murabahah
secara garis cesar dapat dibedakan menjadi 3 kelompok
1. Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA(unrestricted
investment Account = Investasi tidak terikat)
2. Pembiayaan murababahah yang didanai dengan RIA (Restricted
Investment Account = investasi terikat)
3. Pembiayaan murabahah yang didanai oleh modal bank

Dalam setiap pendesainan sebuah pembiayaan, faktor-faktor yang perlu


diperhatikan adalah :
1. Kebutuhan nasabah
2. Kemampuan financial nasabah
E. Rukun dan ketentuan akad murabahah :

1. Pelaku
Pelaku cakap hukum dan baligh (berakal dan dapat membedakan),
sehingga jual beli dengan orang gila menjadi tidak sah sedangkan jual beli
dengan anak kecil dianggap sah apabila seizin walinya.
2. Objek jual beli harus memenuhi :
a. Barang yang diperjual belikan adalah barang halal
Maka semua barang yang diharamkan oleh Allah, tidak dapat
dijadikan sebagai objek jual beli, karena barang tersebut dapat
menyebabkan manusia bermaksiat/melanggar larangan Allah. Hal ini
sesuai dengan hadits berikut ini :
“sesungguhnya Allah mengharamkan menjual belikan khmar, bangkai,
babi, patung,-patung”
(HR.Bukhari Muslim)
“susungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga
mengharamkan hargannya” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
b. Barang yang diperjualbelikan harus dapat diambil manfaatnya atau
memiliki nilai, dan bukan merupakan barang-barang yang dilarang
diperjual belikan, misalnya jual beli barang yang kadaluwarsa.
c. Barang tersebut dimiliki oleh penjual
Jual beli atas barang yang tidak dimiliki oleh penjual adalah tidak sah
karena bagaimana mungkin ia dapat menyerahkan kepemilikan
barangnya kepada orang lain atas barang yang bukan miliknya. Jual
beli oleh bukan pemilik barang seperti ini, baru akan sah apabila
mendapat izin dari pemilik barang.
Misalnya : seorang suami menjual harta milik istrinya, sepanjang si
istri mengizinkan maka sah akadnya. Contoh lain jual beli barang
curian adalah tidak sah karena status kepemilikan barang tersebut tetap
pada si pemilik harta.
“barang siapa membeli barang curian sedangkan dia tahu bahwa itu
hasil curian, maka sesungguhnya ia telah bersekutu dalam dosa dan
aibnya” (HR. Albaihaqi)
d. Barang tersebut dapat diserahkan tanpa tergantung dari kejadian
tertentu di masa sepan. Barang yang tidak jelas waktu penerimaannya
adalah tidak sah, karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar)
yang pada gilirannya dapat merugikan salah satu pihak yang
bertransaksi dan dapat menimbulkan persengketaan
Contoh : Haris menjual mobil avanzanya yang hilang dengan harga
Rp. 40.000.000 si pembeli berharap mobil itu akan ditemukan.
Demikian juga jual beli barang atas barang yang sedang digadaikan
atau telah diwaqafkan.
e. Barang tersebut harus diketahui secara spesifik dan dapat diidentifikasi
oleh pembeli sehingga tidak ada gharar
Contoh : irul menjual salah satu tanaman hias yang ia miliki, tidak
jelas tanaman apa yang akan dijual
f. Barang tersebut dapat diketahui kuantitas dan kualitasnya dengan jelas
sehingga tdak ada gharar. Apabila suatu barang dapat
dikuantifisir/ditakar/ditimbang maka atas barang yang diperjual
belikan harus dikuantifisir terlebih dahuku agar tidak timbul
ketidakpastian sesuai dengan hadits berikut : “bagaiman jika Allah
mencegahnya berbuah, dengan imbalan apakah salah seorang kamu
mengambil harta saudaranya?” (HR. Al-bukhari dsri Anas)
Berdasarkan hadits tersebut dapatdisimpilkan jual beli secara ijon
dilarang.
Contoh : menjual anak kuda yang masih dalam kandungan, karena
anak kuda yang akan dilahirkan nanti belum tentu selamat, cacat atau
tidak, serta belum tentu seunggul induk biologisnya
g. Harga barang tersebut jelas
h. Harga atas barang yang diperjualbelikan diketahui oleh pembeli dan
penjual berikut cara pembayarannya tunai atau tangguh sehingga jelas
dan tidak ada gharar
Contoh : penjual berkata kepada pembeli, jika kamu membayar 1
bulan harganya Rp. 400.000. tetapi jika kamu membayar 2 bulan maka
harganya menjadi Rp. 500.000. pembelipun setuju tanpa menyebutkan
harga mana yang ia setujui sehingga harga tidak menentu kecuali
dinyatakan harga mana yang disepakati. Begitu harga tersebut
disepakati maka harga tidak boleh berubah.
i. Barang yang diakadkan ada di tangan penjual
Barang dagangan yang tidak ada di tangan penjual akan menimbulkan
ketidakpastian
“wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membeli barang dagangan,
apakah yang halal dan apa yang haram dari padanya untuku ?
rasulullah bersabda : jika kamu telah membeli sesuatu, maka janganlah
Kau jual sebelum ada ditanganmu”.
Berdasarkan hadits ini dapat diqiyaskan future trading dilarang.
Pembeli yang menjual kembali barang yang ia beli sebelum serah
terima, dapat diartikan ia menyerahkan uang terhadap pihak
laindengan harapan memperoleh uang lebih banyak dan hal ini dapat
disamakan dengan riba.
Contoh : A membeli buku dari B, B belum mengiirimkan kepada A
atau kepada agennya. A tidak biasa menjual buku kepada C. jika A
menjualnya sebelum menerima pengiriman dari B maka penjualan
yang dilakukan oleh A menjadi tidak sah
Contoh diatas berbeda dengan jual beli dimana barang yang
dioerjualbelikan tidk ada di tempat akad, namun barang tersebut ada
dan dimiliki penjual. Hal ini dibolehkan asalkan spesifikasinya jelas,
dan apabila barangnya tidak sesuai dengan yang telah disepakati maka
para pihak boleh melakukan khiyar (memilih melanjutkan transaksi
atau membatalkannya)
“siapa yang membeli sesuatu barang yang ia tidak melihatnya, maka ia
boleh memilih jika telah menyaksikannya” (HR. Abu Hurairah”
Misalnya penjual dan pembeli bersepakat dalam transaksi jual beli
beras tipe IR 65, dengan harga Rp. 7.000 / kg sebanyak 1 ton, dan
ketika melakukan akad berasnya masih ada dianjur. Hal ini
diperbolehkan dengan syarat apabila ternyata beras yang dikirim
kualitasnya tidak sesuai, pembeli boleh memilih apakah akan tetap
melakukan transaksi atau membatalkannya.

3. Ijab Kabul
Pernyataan dan ekspresi saling ridho diantara pihak-pihak pelaku akad
yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern
Apabila jual beli telah dilakukan dengan ketentuan syariah maka
kepemilikannya pembayarannya dan pemanfaatan atas barang yang
diperjualbelikan menjadi halal. Demikian sebaliknya.
Kalau kita perhatikan, semua ketentuan syariah diatas tidak ada yang
memberatkan, semuanya masuk akal, memiliki nilai normal yang tinggi,
menghargai hak kepemilikan harta, meniadakan persengketaan yang dapat
berakibat pada permusuhan. Dengan kata lain, semua itu adalah untuk
kebaikan manusia itu sendiri.
Murabahah adalah sesuai syariah karena merupakan transaksi jual beli
dimana kelebihan dari harga pokoknya merupakan keuntungan dari penjual
barang yang sangat berbeda dengan praktik riba dimana nasabah
meminjam uang sejumlah tertentu untuk membeli suatu barang kemudian
atas pinjaman tersebut nasabah harus membayar kelebibannya dan ini
adalah riba. menurut ketentuan syariah, pinjaman uang harus dilunasi
sebesar pokok pinjamannya dan kelebihannya adalah riba, tidak tergantung
dari besar kecilnya kelebihan yang diminta juga tidak bergantung
kelebihan tersebut nilainya tetap ataupun tidak tetap. Dengan penjualan
tangguh, maka akan muncul utang piutang, pembeli mempunyai utang dan
penjual mempunyai piutang. Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan atau menghindari terjadinya resiko penjual dapat mengadakan
perjanjian khusus dengan pembeli dan meminta jaminan. Dalam hal ini
objek akad murabahah yaitu barang yang diperjualbelikan dapat digunakan
sebagai jaminan. Untuk penjualan tidak tunai (tangguh) sebaiknya
dibuatkan kontrak/perjanjiannya secara tertulis dan dihadiri saksi-saksi.
Kontrak memuat besarnya utang pembeli karena membeli barang, jangka
waktu akad, besarnya angsuran setiap periode, jaminan, siapa yang berhak
atas diskon pembelian barang setelah akad pembeli atau penjual dan lain
sebagainya.

2. ISTISHNA

A. Definisi jual beli istishna

Istishna’
adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan barang tertentu dengan criteria
dab persyaratan tertentu yang disepakati dengan pemesan (pembeli) dan
penjual. Masyarkat telah mempraktikkan istishna secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan istishnan sebagi
kasus ijma’ atu consensus umum, istishna’ sah sesuai dengan aturan umum
mengeni kebolehan kontrak selam tidak bertentangan dengan nash atau aturan
syariah. Segala sesuatu yang memiliki kemaslahatan atau kemanfaatan bagi
umum serta tidak dilarang syariah, boleh dilakukan. Tidak ada persoalan
apakah hal tersebut telah dipraktekkan secara umum atau tidak.

B. Sumber hukum akad istishna’


1. Amr bin auf berkata : “perdamaian dapat dilakukan diantara kaum
muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terkait dengan syarat-
syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram.” (HR.Tirmidzi)
2.
3. Abu said al-khudri berkata : “tidak boleh membahayakan diri sendiri
maupun orang lain.” (HR. ibnu majah, daruquthni, dan yang lain)

C. Rukun dan ketentuan akad istishna’


24.
25.
1. Pelaku terdiri atas
pemesan (pembeli) dan penjual.

2. Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal istishna yang
berbentuk harga.
3. Ijab Kabul

D. Berakhirnya akad istishna’


1. Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2. Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikn kontrak.
3. Pembatalan hukum kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing
pihak bisa menuntut pembatalannya.

3. SALAM

A. Definisi jual beli salam


Bai' salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli
(muslam) dengan penjual (muslam ilaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan
harus sudah disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka
secara penuh. Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabalah menjelaskan, salam adalah
akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan
penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai
di majlis akad. Ulama Malikiyyah menyatakan, salam adalah akad jual beli
dimana modal (pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan obyek
pesanan diserahkan kemudian dengan jangka waktu tertentu (Zuhaili, 1989,
jilid IV, hal. 598-599).
Salam biasanya diaplikasikan pada pembiayaan untuk petani (agribisnis)
dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 2-6 bulan. Salam juga
dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang manufaktur, seperti garmen,
dimana ukuran barang itu sudah ditentukan spesifikasinya. Dalam hal ini, pihak
bank bertindak sebagai pembeli, sedangkan petani/ pemilik garmen adalah
sebagai penjual.
Produk agrisbisnis dan manufaktur yang dibeli dari nasabah tidak dijadikan
inventory oleh pihak bank, karena hal itu bukan core business bank. Biasanya
bank akan melakukan akad salam yang kedua kalinya dengan pembeli kedua,
seperti pedagang grosir, bulog dan lainnya. Karena itu, dalam praktik
perbankan syariah, dikenal istilah Salam Paralel.
Dalam praktiknya, terdapat nasabah yang mengajukan pembiayaan untuk
pembuatan garmen dengan spesifikasi tertentu kepada pihak bank. Kemudian,
pihak bank akan mereferensikan kepada nasabah untuk menggunakan produk
salam. Ini berarti, secara otomatis bank menjadi pihak pemesan atas produk
garmen yang akan diproduksi oleh nasabah, dan pihak bank akan membayar
dana yang dibutuhkan pada waktu pengikatan/ kontrak.
Kemudian, pihak bank akan mencari pembeli kedua, seperi pedagang grosir,
atau bisa kepada rekanan produsen garmen atas rekomendasi yang diberikan.
Bila produk garmen telah selesai diproduksi, bisa dihantarkan (delivery) secara
langsung kepada rekanan tersebut Kemudian, rekanan nasabah tersebut
membayar kepada pihak bank, baik secara tunai ataupun cicilan.
B. Sumber Hukum

Bai‟ salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini
berlandasakan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma
ulama. Diantara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad jual beli
salam adalah sebagai berikut:
1. “Hai orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai
waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”
QS. Al Baqarah (2): 282 merujuk pada keabsahan praktik jual beli salam. Ayat ini
merupakan ayat terpanjang dalam Al Qur'an. Ayat ini memberikan petunjuk bahwa
ketika kaum muslimin melakukan transaksi muamalah secara tempo, maka
hendaknya dilakukan pencatatan untuk menghindari terjadinya perselisihan di
kemudian hari, serta guna menjaga akad/ transaksi yang telah dilakukan.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah untuk memberikan
legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telah memberikan izin dan
menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat tersebut (Ibnu Katsir,
jilid I, hal. 500). Berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas ini, jelas sekali bahwa jual beli
salam telah mendapatkan pengakuan dan legalitas syara', sehingga operasionalnya
sah untuk dilakukan.
2. “Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang
jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits riwayat
Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan
tentang keabsahan jual beli salam.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, suatu ketika Rasulullah datang ke Madinah, sedangkan
penduduk Madinah telah melakukan jual beli salam atas kurma untuk jangka waktu
satu tahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun. Melihat praktik ini, kemudian
Rasulullah bersabda seperti yang terdapat dalam matan hadits ini (Zuhaili, 2002, hal.
296).
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salam harus
ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun
waktu penyerahannya (delivery), sehingga nantinya tidak terdapat perselisihan.
3. Kesepakatan ulama (ijma') akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan
Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa
jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk
memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun
perniagaan (manufaktur) terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha
mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk
mengakomodir kebutuhan mereka (Zuhaili, 1989, hal. 598). Ketentuan ijma' ini
secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/ jual beli salam.

C. Rukun dan Syarat


Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yakni pembeli
(muslam), penjual (muslam ilaih), modal/ uang (ra'sul maal), barang (muslam
fiih), dan sighat (ijab qabul/ ucapan). Disamping itu, ulama juga memberikan
beberapa syarat untuk menentukan sahnya jual beli salam. Mayoritas ulama
sepakat bahwa akad salam dikatakan sah, jika memenuhi 6 syarat, yaitu; jenis
barangnya jelas, spesifikasi jelas, kadarnya jelas, waktunya penyerahan jelas,
mengetahui kadar modal yang dibutuhkan, dan menyebutkan tempat
penyerahan jika dibutuhkan biaya delivery.
Untuk modal (ra'sul maal) harus dijelaskan spesifikasinya, baik dari jenis,
kualitas dan jumlahnya. Selain itu, modal tersebut harus diserahkan pada saat
terjadinya akad/ kontrak, hal ini mempertimbangkan kebutuhan penjual dan
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hutang (dari pihak pembeli) dan
menghindari terjadinya riba. Dengan alasan, jika modal diserahkan kemudian
(dalam hal ini menjadi hutang), sementara barangnya juga akan diserahkan
kemudian (berarti merupakan tanggungan/ hutang), maka jual beli yang
dilakukan identik dengan jual beli hutang (dain bi dain), sementara terdapat
larangan dari Rasulullah atas transaksi jual beli hutang (Zuhaili, 1989, jilid IV,
hal. 600-602).
Untuk barang yang dijadikan sebagai obyek transaksi (muslam fiih), syarat
yang harus dipenuhi adalah harus dapat dispesifikasi dengan jelas dan dapat
diakui sebagai hutang, bisa diidentifikasi untuk menghilangkan kurangnya
pengetahuan tentang macamnya (beras, kain) tipenya (katun, sutra), kualitasnya
(utama, madya, reguler), atau pun jumlahnya. Untuk masalah delivery muslam
fiih, ulama berbeda pendapat.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabalah, mensyaratkan untuk
menghantarkan (delivery) muslam fiih di waktu kemudian hari, hal ini senada
dengan hadits dari Ibnu Abbas (ilaa ajalin ma'luum/ untuk jangka waktu yang
diketahui), jadi terdapat tenggang waktu.
Berbeda dengan Imam Syafii, delivery muslam fiih bisa dilakukan secara
kontan ataupun dengan jangka waktu. Jika pengirimannya secara kontan, hal itu
lebih baik, karena akan terhindar dari gharar. Berkaitan dengan hadits Ibnu
Abbas (ilaa ajalin ma'luum/ untuk jangka waktu yang diketahui), adalah
diketahuinya waktu penyerahan secara jelas, bukan hanya jangka waktu semata
(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 606).
Selain itu, muslam fiih merupakan komoditas yang lazim ada di pasaran, baik
ketika melakukan akad atau pun di saat delivery. Hal ini untuk memastikan
bahwa muslam fiih dapat di-delivery pada waktu yang diperjanjikan. Ulama
mensyaratkan tidak boleh ada khiyar, terutama khiyar ru‟yah terhadap muslam
fiih. Jika pemesan memiliki hak khiyar, muslam fiih akan kembali menjadi
tanggungan muslam ilaih, dan begitu seterusnya. Untuk itu, dalam akad salam
tidak diperlukan khiyar, cukup dengan menyebutkan spesifikasi muslam fiih
untuk keabsahan akad salam.
Ada pun khiyar ‘aib tetap diperbolehkan, karena khiyar ini tidak mencegah
kesempurnaan serah terima barang. Pemesan harus menjelaskan tempat
pengiriman barang, terutama jika delivery tersebut memakan biaya, hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari terkait dengan
biaya transportasi. Seharusnya, muslam fiih merupakan komoditas yang dapat
diukur atau ditimbang, sehingga akan mengurangi perselisihan (Zuhaili, 1989,
jilid IV, hal. 607-614).
Menurut Hanafiyah, akad salam tidak bisa diterapkan pada binatang ternak. Hal
ini disandarkan pada hadits Rasulullah, “Sesungguhnya Nabi SAW melarang
akad salam atas binatang ternak” (HR. Hakim dan Daruquthni, hadits shahih).
Dengan alasan, hewan ternak sangat sulit untuk dispesifikasi, masing-masing
item (ekor) memiliki nilai ekonomis yang berbeda. Dikhawatirkan akan
menimbulkan perselisihan di kemudian hari.
Berbeda dengan ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabalah. Akad salam
tetap diperbolehkan atas hewan ternak, dianalogkan dengan diperbolehkannya
dijadikan sebagai obyek utang-piutang. Diriwayatkan dari Imam Muslim,
Rasulullah pernah melakukan transaksi hutang piutang atas seekor onta. Namun
demikian, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni; harus dijelaskan
jenis hewan, umur, jenis kelamin, panjang pendeknya, kurus gemuknya dan
faktor lain (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 615). Begitu juga dengan daging, ikan
atau pun pakaian.
D. Implikasi Hukum Akad Salam

Dengan sah-nya akad salam, muslam ilaih berhak mendapatkan modal (ra‟sul
maal) dan berkewajiban untuk mengirimkan muslam fiih kepada muslam.
Bagi muslam, ia berhak memiliki muslam fiih sesuai dengan spesifikasi yang
telah disepakati, dan berkewajiban membayarkan ra‟sul maal kepada muslam
ilaih. Sebenarnya, akad salam ini identik dengan bai‟ ma‟dum, akan tetapi ia
dikecualikan dan mendapatkan rukhshah untuk dilakukan, karena adanya
tuntutan kebutuhan dalam kehidupan masyarakat, namun harus tetap
memperhatikan syarat-syarat khusus sebagaimana telah disebutkan (Zuhaili,
1989, jilid IV, hal. 619).

4. IJARAH

A. Definisi ijarah

Ijarah dapat didefenisikan sebagai akad pemindahan hak guna(manfaat)


atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah
sewa (ujrah), tanpa diikuti dengn pemindahan kepemilikn atas barang itu
sendiri. Jadi ijarah dimaksudkan mengambil manft atas suatu barang atau jasa
(memperkerjakan seseorang) dengan jalan penggantian (membayar sewa atau
upah tertentu).

Ijarah sejenis denga akad jua beli namun yang dipindahkan bukan hak
kepemilikan tetapi manfaat atau hak guna dari suatu asset dari jasa/pekerjaan.

Akad ijarah mewajibkan pemberi sewa untuk menyediakan asset yang


dapat digunakan atau dapat diambil manfaat padanya selama periode akad dan
memberikan hak kepada pemberi sewa untuk menerima upah sewa(ujrah).
Apabila terjadi kerusakan yang mengakibatkan penurunan nilai asset yang
disewakan dan bukan disebabkan kelalaian penyewa, pemberi sewa
berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaanya selama periode akad
atau menggantinya dengan asset sejenis. Pada hakikatnya pemberi sewa
berkewajiban untuk menyiapakan asset yang disewakan dalam kondisi yang
dapat diambil manfaat darinya.

Jenis akad ijarah


Berdasarkn objek yang disewakan
1. 1

Manfaat atas asset yang tidak bergerak seperti rumah atau asset yang
bergerak seperti mobil, motor, pakaian dan sebagainya.
2. Manfaat atas jasa berasal dari hasil karya atau dari pekerjaan seseorang.
Berdasarkan exposure draft PSAK 107
1. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu asset atau
jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah sewa atau sewa
(ujroh), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan dari asset itu
sendiri.

2. Ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT) merupakan ijarah dengan waad


(janji) dari pemberi sewa berupa perpindahan kepemilikan objek ijarah
pada saat tertentu.
Perpindahan kepemilikan suatu set yang disewakan dari pemilik kepada
penyewa, dalam ijarah mentahiya bit tamlik dapat dilakukan jika seluruh
pembayaran sewa atas objek ijarah yang dialihkan telah diselesaikan dan
objek ijarah telah diserahkan kembali kepada pemberi sewa. Kemudian
untuk pemindahan akad kepemilikan akan dibuat akad baru, terpisah dari
akad ijarah sebelumnya.,

Perpindahan kepemilikan dapat dilakukan melalui :


A. Hibah
B. Penjualan, dimana harga harus disepakati kedua belah pihak sebelum
akad penjualan, namun pelaksanan penjualan dapat dilakukan :
1. Sebelum akad berakhir.

2. Setelah akad berakhir

3. Penjualan secara bertahap sesuai waad (janji) pemberi sewa. Untuk


perpindahan secara bertahap, harus ditentukan bagian penyewa setiap
kali ia melakukan pembayaran dari harga total sampai ia memiliki
asset tersebut secara penuh di akhir kontrak. System ini
mengharuskan pembuatan kontrak untuk setiap bagian penjualan,
sampai bagian terakhir dijual kepada penyewa. Jika kontrak ijarah
batal karena alasan-alasan yang mendasar sebelum perpindahan
kepemilikan secara penuh kepada penyewa. Asset yang disewanya
menjadi milik bersama penyewa dan pemberi sewa secara
proporsional.

B. Sumber hukum jual beli ijarah


1. Al-quran

“ apakah mereka yang membagi-bagi rahmat tuhan-mu? Kami telah


menetukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat dipergunakan yang lain. Dan rahmat
tuhan-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS 43: 32)
“dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat
apa yang kamu kerjakan.” (QS 2:233)
“salah satu dari kedua wanita itu berkata ‘wahai ayahku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja pada kita, sesungguhnya orang yang paling baik untuk
bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS 28:26)
2. As-sunnah
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa rasulullah SAW bersabda: “
berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang
bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

C. Rukun ijarah
1. Pelaku yang terdiri atas pemberi sewa dan penyewa.
2. Objek akad ijarah berupa : manfaat asset dan pembayaran sewa atas
manfaat jasa dan pembayaran ujroh
3.
Ijab Kabul

D. Berakhirnya akad ijarah


1. Periode akad ijarah sesuai perjanjian, namun kontrak masih dapat berlaku
walaupun dalam perjanjian sudah selesai dengan beberapa alasan,
misalnya keterlambatan masa panen jika menyewakan lahan untuk
pertanian maka dimungkinkan berakhirnya akad panen selesai.

2. Periode akad belum selesai tetapi pemberi sewa dan penyewa sepakat
menghentika akad ijarah

3. Terjadi kerusakan asset


4. Penyewa tidak dapat membayar sewa.
5. Salah satu pihak meninggal dan ahli waris tidak berkeinginan untuk
meneruskan akad karena memberatkannya, kalau ahli waris merasa tidak
masalah maka akad tetap berlangsung kecuali akadnya adalah upah
menyusul maka bila sang bayi atau yang menyusui meninggal maka
akadnya menjadi batal.

5. SHARF

A. Definisi Sharf
Sharf menurut bahasa adalah penambahan, penukaran, penghindaran,
atau transaksi jual beli. Menurut istilah yaitu transaksi jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya. Dengan kata lain Sharf adalah jual beli mata uang,
transaksi jual beli atau pertukaran mata uang dapat dilakukan baik dengan mata
uang yang sejenis atau yang tidak sejenis.. Dan dalam istilah fiqh al-
mu’amalah prinsip ini biasa disebut dengan bay al-sharf (jual beli mata uang),
pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli
mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada
waktuyang sama (spot).

B. Sumber Hukum
1. Al-Qur'an

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”


(QS. Al-Baqarah 2:275).

2. Al-Hadits
“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, sya'ir dengan sya'ir,kurma dengan kurma, dan garam dengan
garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis sertasecara tunai. Jika
jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR
Muslim).

Sharf yang dilarang:


1. Perdagangan tanpa penyerahan (future non-delivery trading) atau margin
trading
2. Jual beli valas bukan transaksi komersial (arbitrage), baik spot maupun forward
3. Melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (oversold)
4. Melakukan transaksi swap

C. Rukun dan Syarat (Jual beli mata uang)


Rukun Sharf
1. Penjual (Bai’)
2. Pembeli (Musytari’)
3. Mata Uang Yang Diperjual Belikan (Sharf)
4. Nilai Tukar (Si’Rus Sharf)
5. Ijab Qabul (Sighat).
Syarat Sharf
1. Bukan untuk spekulasi (untung-untungan).
2. Ada kebutuhan untuk transaksi atau berjaga-jaga (simpanan).
3. Jika transaksi dengan mata uang sejenis, nilainya harus sama dan tunai.
4. Jika bebeda jenis maka dilakukan dengan kurs yang berlaku pada saat itu
dan tunai.

Adapun Ijma’Ulama yang menyepakati bahwa akad sharf disyariatkan


dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. Pertukaran harus dilakukan secara tunai (spot), untuk penyerahan pada
saat itu (over the counter) atau penyelesaian paling lambat dalam jangka
waktu dua hari.
2. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi perdagangan
barang danjasa antarbangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
3. Bukan jual beli bersyarat. Misalnya, A setuju membeli barang dari B hari
ini dengansyarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa
mendatang.
4. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini
mampumenyediakan valuta asing yang dipertukarkan
5. Tidak menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak kepemilikan.
Mekanisme Sharf
1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing
untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling
lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena
dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses
penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi
internasional.
2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang
nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang
akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah
haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan
(muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga
pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang
disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk
kebutuhan yang tidak
dapat dihindari (lil hajah).
3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas
dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan
valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena
mengandung unsur maisir (spekulasi).
4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka
membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah
unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
Hukumnya haram, karena mengandung unusru maisir (spekulasi).

6. TAQSITH
A. Definisi jual beli Taqsith
Taqsith secara bahasa adalah membayar secara berangsur – angsur, sedangkan
secara istilah ialah menjual sesuatu dengan pembayaran ditangguhkan, dimana
harga kredit lebih tinggi dari pada harga kontan
Contoh :
Seorang pedagang keliling menjual peralatan rumah tangga dengan harga Rp.
5500.- dengan membayar setiap hari Rp. 500, selama 11 hari, dimana harga
kontannya Rp. 5000

B. Sumber Hukum
Terdapat dua pendapat mengenai jual beli ini
1. Hukum yang membolehkan

Asal dalam setiap mu’amalah adalah halal dan boleh. karena tidak ada
nash/dalil yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu
barang, yaitu harga kontan dan harga kredit lalu penjual dan pembeli
melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli
dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan kaidah/dhobith ini.
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan
Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
‫ف فِ ْي َك ْي ٍل َم ْعلُوْ ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُوْ ٍم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعلُوْ ٍم‬
ْ ِ‫َم ْن أَ ْسلَفَ فِ ْي تَ ْم ِر فَ ْليُ ْسل‬
“Siapa yang yang memberi salaf pada korma maka hendaknya memberi
salaf pada takaran yang dimaklumi dan timbangan yang dimaklumi
sampai waktu yang dimaklumi”. (Lafazh diatas bagi Imam Muslim)

Hadits diatas menunjukkan bolehnya As-Salam atau As-Salaf yaitu


transaksi pada suatu barang yang maklum ; jelas sifatnya dan bentuknya,
dibayar didepan kepada si penjual dan diambil pada waktu yang telah
disepakati.
“Alhajatuqod tangjila manjilah dharuroh.” Artinya : “kebutuhan
terkadang menempati posisi daruroh atau kebutuhan primer.”
Hadist riwayat bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang
mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seorang di antara kamu
dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang
mampu, terimalah.”
2. Hukum yang tidak membolehkan jual beli Taqsith

Hadits Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda :


“Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka
baginya (harga) yang paling sedikit atau riba”.
(HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Ibnu Hibban dan lanilla).
kesimpulan hukum jual beli Taqsith
Jual beli secara Taqsith Insya Allah Boleh, karena ditinjau dari dasar
hukum yang sama-sama kita ketahui.
Adapun mengenai hadist yang melarang, Imam At-Tirmidzy setelah
menyebutkan hadits Abu Hurairah : “Sebagian ahli ilmu menafsirkannya,
mereka berkata :
“Dua penjualan dalam satu transaksi adalah (seseorang) berkata : “Saya
menjual kepadamu baju ini dengan kontan (senilai) sepuluh dan dengan
berangsur (senilai) dua puluh” dan ia tidak berpisah (tidak sepakat)
dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya diatas
salah satunya maka itu tidak apa-apa apabila akad berada diatas salah satu
dari keduanya.
Berkata Imam Asy-Syafi’iy : “Dan dari makna larangan Nabi
Muhammad SAW dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang
berkata :“Saya menjual rumahku kepadamu dengan (syarat) kamu
menjual budakmu kepadaku dengan (harga) begini, kalau budakmu telah
wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu” dan ini berpisah
(Sepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari
keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya terjadi”.

7. WAFA

A. Definisi Jual beli Wafa


Secara etimologi, al-bay’ berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti
pelunasan/pelunasan utang, jadi bai’ul wafa’ ialah jual beli pelunasan.
Sedangkan secara terminologi ialah jual beli yang dilangsungkan dua pihak
yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli
kembali oleh penjual , apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Jadi jual beli tersebut mempunyai tenggang waktu yang terbatas, contohnya
satu tahun, jadi apabila waktu satu tahun telah habis, maka penjual membeli
barang itu kembali dari pembelinya.
Contoh : Seorang juragan Nanas asal subang, sebut saja namanya Shidiq ingin
mengembangkan usahanya tersebut agar lebih inovatif dengan melaksanakan
idenya untuk membuat dan menjual kripik nanas dan akhirnya shidiq pun
membutuhkan asupan dana yang cukup banyak untuk memulai buah dari
idenya tersebut dan akhirnya ia pun memutuskan untuk menjual sebagian dari
perkebunan nanasnya seluas 5 hektar dengan harga Rp. 10.000.000,00 kepada
seorang pimpinan pondok tahfidz di subang, kita sebut saja namanya Aep
Saepuloh, untuk memenuhi kebutuhan dana yang dapat didapat dengan cepat
dengan syarat ia akan membeli kembali perkebunan tersebut dengan jangka
waktu yang ditentukan , kita anggap saja selama 3 tahun, disebabkan karena
akad yang di gunakan adalah jual-beli yang bersifat tabadduli maka perkebunan
tersebut boleh dimanfaatkan oleh Ust. Aep sesuai kehandaknya entah untuk
kebutuhan pribadi ataupun untuk kebutuhan Pondok dan santrinya selama 3
tahun tersebut.

B. Latar Belakang jual beli Wafa


Jual beli ini, muncul pertama kali di bukhara dan balkh pada sekitar abad ke-5
Hijriyah, dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam.
Karena banyak dari orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya
tanpa adanya imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula paa
meminjam uang tudak mampu melunasi utangnya akibat imbalan yang harus
mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Disisi
lain imbalan yang diberiakn atas dasar pinjam-meminjam ini, menurut para
ulama fiqh termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat
bukhara dan balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual-beli yang dikenal
kemudian denganBai’ul Wafa’.

C. Rukun & syarat


– Adanya Al-Muta’aqidaini ( Al-Bai’ wal Musytari )

– Adanya shighot ( Lafal Ijab dan qabul )


– Adanya barang yang diperjual belikan

– Adanya nilai tukar peganti barang

Sedangkan syaratnya sama seperti khalayaknya jual-Beli yang lain namun


ditambah persyaratan bahwa barang yang telah dijual tersebut harus dibeli
kembali oleh penjual dan dengan tenggang waktu yang telah di tentukan.

D. Hukum Ba’i Wafa


Menurut musthafa ahmad Az-Zarqo’ dan Abdul Ar-Rahman Ash-Shabuni
dalam sejarah bai’ Al-Wafa’ baru mendapatkan justifikasi para Ulama’ Fiqh
setelah berjalan beberapa lama ( Maksudnya jual beli ini telah berlangsung
beberapa lama dan bai’ al-wafa’ telah menjadi ‘Urf ( adat kebiasaan )
masyarakat bukhara dan balkh baru kemudian para ulama’ fiqh melegalisasi
jual-beli ini
Imam najmuddin an-nasafi ( 461 – 571 H ) ulama’ yerkemuka mazhab hanafi
(Bukhara) “ Para Syaikh kami ( Hanafi ) membolehkan bai’ al-wafa’ sebagai
jalan keluar dari riba “

8. Jual Beli lainnya yang dibolehkan islam


1. Jual beli al-muthlaq, yaitu jual beli biasa dimana jual beli barang dengan
uang dilakukan secara mutlak. Atau pertukaran antara riil aset dengan financial
aset (uang), di mana uang berperan sebagai alat tukar. seperti jual beli komputer
dengan harga Rp.3.000.000 riil assetnya adalah computer dan financial assetnya
adalah uang sebesar Rp. 3.000.000. Bai’ al Muthlaq mendasari pelaksanaan jual-
beli barang atau produk-produk keuangan syariah yang berdasarkan pada akad
Ba’i Al Muqayyadah.

2. Jual beli musawamah, yaitu jual beli yang sudah disepakati harganya
oleh kedua belah pihak dan pembeli telah melihat barang yang dibelinya
sehingga tidak menimbulkan fitnah antara keduanya. yakni jual beli dengan
adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang harga barang. Contoh :
setelah saya melihat barang maka saya setuju untuk membelinya dengan harga
yang telah ditetapkan penjual yaitu Rp. 500.000,-

3. Jual beli al-tauliyah, Tauliyah secara bahasa berasal dari kata: walla, yang
artinya memberi wewenang. Tauliyah berarti memberi wewenang kepada orang
lain untuk memiliki atau menggunakan suatu barang. Secara istilah yaitu jual beli
barang dengan harga yang sama dari harga pokok pembelian, tanpa ada
penambahan atau pengurangan. dan penjual menyampaikan harga belinya kepada
pembeli. Dapat diartikan juga jual beli ini tidak untung dan tidak rugi dan
keduanya tahu harga asli. Seperti saya menjual HP nokia ini kepadamu seharga
Rp.1.500.000 sama seperti harga saya beli hp ini di counter yaitu seharga Rp.
1.500.000, dan saya menjual ini tanpa mengambil keuntungan sedikitpun.

4. Jual beli al-wadhi’ah, Wadhi`ah secara bahasa artinya kerugian. Bisa


juga digunakan untuk menamakan pajak yang diambil oleh pemerintah.secara
istilah yaitu menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga
pengambilannya. yakni jual beli barang dengan harga kurang dari harga pokok
pembelian, lebih murahnya harga dapat disebabkan diskon yang sengaja
diberikan karena barang yang sudah lama tidak terjual atau situasi-situasi
lainnya. Sehinnga penjual mengalami tingkat kerugian tertentu dan pembeli
diberi tahu tentang harga belinya. Sehingga sistem jual beli ini merupakan
kebalikan dari jual beli murabahah. Jual beli wadhi`ah  sering juga dinamakan
dengan jual beli muhathah, hathitah, mukhasarah, dan muwadha`ah. Contoh :
saya membeli motor seharga Rp. 10.000.000 Dan saya menjual motor ini
kepadamu dengan harga Rp. 8.000.000. Sehingga saya menanggung kerugian 2
jt.

5. Bai' Al Muqaayadlah, yaitu pertukaran/ jual beli riil aset ('ain, benda,
komoditas) dengan riil aset, atau yang biasa kita kenal dengan barter, dimana
harga masing-masing barang yang akan ditukarkan harus mempunyai nilai yang
sama untuk menghindari kerugian di satu pihak. Contoh : saya tukarkan beras
5 Lt seharga Rp. 50.000 dengan minyak goreng 4 lt seharga Rp. 50.000

6. Jual beli isyrak, yaitu jual beli bersama, atau biasa disebut dengan
patungan. Contoh : saya membeli kerupuk 4 Kg seharga 30.000 dan saya berbagi
denganmu dalam akad ini ½ yang sudah saya beli mulai dari harga ataupun
barangnya.

7. Jual beli mustarsal, secara bahasa artinya dilepas. Sedangkan maksud jual
beli mustarsal adalah seseorang penjual mengatakan kepada pembeli: Saya jual
barang ini dengan harga pasar atau sebagaimana harga umumnya masyarakat
atau dengan harga yang berlaku hari ini atau dengan harga sebagaimana yang
akan ditentukan oleh si fulan, dst. Orang yang melakukan transaksi ini tidak
mengetahui harga barang dan tidak bisa saling tawar menawar. Para ulama
sepakat bahwa jual beli ini sah. Hanya saja mereka berselisih pendapat, apakah
pembeli dan penjual memiliki hak khiyar ataukah tidak.

8. Jual beli talji`ah, Secara bahasa talji`ah diambil dari kata: ilja` yang
artinya memaksa. contoh, sebagai berikut: Dalam sebuah kasus, A mendapat
ancaman dari orang lain, bahwa dirinya akan dibunuh. Karena ketakutan, A
melarikan diri dan menjual seluruh hartanya kepada B dengan penuh
keterpaksaan. Dengan syarat, selama barang ini ada di tangan B maka B tidak
boleh menjualnya atau memberikannya kepada orang lain, dan jika A bisa
mengembalikan uangnya B (seharga barang yang dia beli) maka B wajib
mengembalikan barangnya. Bahkan terkadang jual beli ini dilakukan tanpa harga
yang ditetapkan, atau dengan harga yang sangat murah. Karena pada hakekatnya,
penjual tidak ingin menjual barangnya. Sebagian ulama menegaskan tidak
sahnya jual beli semacam ini. Ibnu Qudamah mengatakan: “Jual beli talji`ah
bathil (tidak sah)”.

9. Jual Beli Barang yang Mengandung Najis. Jual Beli Barang yang
Mengandung Najis dengan Tujuan Memanfaatkan Jual Beli Barang yang
mengandung najis hukumnya haram kecuali dengan tujuan memanfaatkannya,
bukan memakannya. Mazhab Hanafi dan Mazhab Zhahiri : Diperbolehkan
seseorang untuk menjual kotoran-kotoran/ tinjadan sampah-sampah yang
mengandung najis oleh karena sangat dibutuhkan guna untuk keperluan
perkebunan Demikian pula diperbolehkan menjual setiap barang najis yang dapat
dimanfaatkan bukam untuk dimakan atau diminum.

10. Jual Beli Anjing yang terdidik, Menurut An-Nakha’i: yang


diperbolehkan hanya memperjualbelikan anjing untuk berburu Dalil: Hadits
Rasul yang melarang memperjualbelikan anjing kecuali anjing untuk berburu
‫ُوا ا ْس َم هّللا ِ َعلَ ْي ِه‬
ْ ‫وا ِم َّما أَ ْم َس ْكنَ َعلَ ْي ُك ْم َو ْاذ ُكر‬
ْ ُ‫ح ُم َكلِّبِينَ تُ َعلِّ ُمونَه َُّن ِم َّما َعلَّ َم ُك ُم هّللا ُ فَ ُكل‬ ِ ‫َو َما َعلَّ ْمتُم ِّمنَ ْال َج َو‬
ِ ‫ار‬

(Dihalalkan bagimu buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu
ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).
(QS. Al-Maidah : 4)

11. Jual beli kulit Bangkai. Kulit bangkai hukumnya najis, karena itu juga
menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu sudah dimasak,
sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya menjadi boleh untuk
diperjual-belikan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
‫ب‬
ٍ ‫َص‬ ٍ ‫الَ تَ ْنتَفِعُوا ِمنَ ْال َم ْيتَ ِة بِإِهَا‬
َ ‫ب َوالَ ع‬
Janganlah kamu mengambil manfaat bangakai dari ihab (kulit yang belum
disamak) dan syarafnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)
Kulit hewan yang belum dilakukan proses penyamakan disebut ihab (‫)إهاب‬.
Rasulullah SAW melarang bila kulit itu berasal dari bangkai, tapi hukumnya
menjadi boleh bila telah mengalami penyamakan. Rasulullah Saw bersabda :
‫إِ َذا ُدبِ َغ ا ِإلهَابُ فَقَ ْد طَه َُر‬
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR.
Muslim)
ٍ ‫أَيُّ َما إِهَا‬
‫ب ُدبِ َغ فَقَ ْد طَهُ َر‬
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)

12. Jual Beli dengan Perantara Perantara (broker) dalam jual beli
disebut pula simsar. Yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas
dasa bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya brang sesuai
usahanya. Dalil: Rasulullah Bersabda: “ dalam perkara simsar ia berkata tidak
apa-apa. Kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebih dari
penjualan itu untuk engkau” (HR Bukhari) Kelebihan yang dinyatakan dalam
keterangan di atas adalah a. Harga yang lebih dari harga yang telah ditetapkan
oleh penjual barang itu b. Kelebihan barang setelah dijual menurt harga yang
telah ditentukan oleh pemilik barang tersebut

13. Pelelangan (Muzayyadah) Dari Anas RA, Rasulullah menjual sebuah


pelana dan mangkok air, dan berkata siapa yang mau membeli pelana dan
mangkok air ini? Seorang laki-laki menyahut “aku bersedia membelinya dengan
harga satu dirham.” Lalu Nabi berkata lagi, “siapa yang berani menambahkan?”
maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau. Lalu dijuallah
kedua benda itu kepada lelaki tersebut. (HR Tirmidzi)

14. Jual Beli Air Jika seseorang mengambil dan mengumpulkan air, dan telah
menjadi miliknya, dalam keadaan eperti ini boleh menjualnya. Demikian pula
halnya jika seseorang menggali sumur di tanah miliknya atau membuat alat
untuk mengambil air.

15. Jual Beli dengan DP (Dawn Payment) Tanda jual beli panjar (DP)
bahwa pembeli membeli barang dan dia membayar sebagian pembayarannya
kepada si penjual. Jika jual beli dilaksanakan, panjar dihiung sebagai
pembayaran. Dan jika tidak, panjar diambil si penjual dengan dasar sebagai
penghibahab dari pembeli.
“Option dalam Fiqih Islam (Khiyâr)”
-Ufairoh M. & Rosiana Sukma A.-

A. Pengertian Khiyâr
Khiyâr berasal dari akar kata : khara-yakhiru-khoiron-wa khiyârotan yang
sinonimnya : memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya. Secara
bahasa khiyâr berasal dari kata ‘khair yang artinya baik, atau yang terbaik.
Sedangkan dalam istilah ilmu fiqih khiyâr adalah hak masing-masing pihak yang
berakad (penjual dan pembeli) untuk memutuskan akadnya, apakah akadnya
akan diteruskan atau dibatalkan. Dari sini terlihat bahwa makna secara istilah
tidak begitu berbeda dengan makna secara bahasa. Oleh sebab itu sebagian
ulama terkini mendefinisikan khiyâr secara syar’i sebagai “Hak orang yang
berakad dalam membatalkan akad atau meneruskannya karena ada sebab-sebab
secara syar’i yang dapat membatalkannya sesuai dengan kesepakatan ketika
berakad”

Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut:


Artinya : khiyâr adalah menutut yang terbaik dari dua perkara berupa
meneruskan (akad jual beli) atau membatalkanny.

Tujuan diadakannya khiyâr tersebut adalah unntuk mewujudkan


kemashlahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah
akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.

B. Dasar Hukum Khiyâr

Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam


perdagangan maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila
dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik
barang (penjual) maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh
menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk
penipuan dan kecurangan.

Hak khiyâr telah ditetapkan oleh Alquran, Sunnah, dan ijma’. Adapun
dalil Alquran sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli (QS. Al-baqarah (2):275)

Lafal jual beli dalam ayat ini adalah umum meliputi semua jual beli
dengan begitu ia menjadi mubah (boleh) untuk semua termasuk didalamnya
adalah khiyâr.

Dalil sunnah diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW yang


diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abdullah bin al-Harist:
Artinya:“Dari Abdullah bin al Harist ia berkata saya mendengar Hakim bin
Hizam ra dari nabi SAW beliau bersabda:”penjual dan pembeli boleh
melakukan khiyâr selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka
berdua benar dan jelas maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual
beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan maka
dihapuslah keberkahan jua beli mereka berdua” (HR. Al Bukhari)

Disamping itu ada hadist lain yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari
Ibnu Umar

Artinya:“Dari Ibnu Umar r.a berkata telah bersabda nabi SAW : “Penjual dan
pembeli boleh melakukan Khiyâr selagi keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya pilihlah” Dan kadang kadang beliau
bersabda : “ Atau terjadi jual beli khiyâr.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun dalil ijma’ ulama telah sepakat tentang bolehnya melakukan
khiyâr dalam jual beli karena akad jual beli adalah akad ubah dan bolehnya jual
beli termasuk sesuatu yang sudah diketahuidari urusan agama secara pasti
dengan begitu khiyâr juga termasuk didalamnya

Dari dalil tersebut jelaslah bahwa khiyâr dalam akad jual beli hukumnya
dibolehkan. apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat yang bisa
merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyâr ditetapkan oleh syari’at islam bagi
orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam
transaksi yang mereka lakukan. Sehingga kemashlahatan yang dituju dalam suatu
transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyâr menurut ulama fiqih
adalah disyariatkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang
melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.

Hikmah dari khiyâr, agar orang yang mempunyai hak khiyâr mengetahui
harga, dan barang yang dihargakan, selamat dari penipuan menolak
kemudharatan yang bisa menimpa kedua orang yang berakad, oleh sebab itu
khiyâr disyariatkan karena termasuk yang mendesak.

C. Macam-macam Khiyâr

Banyak sekali jenis khiyâr yang ada dalam akad jual beli, secara keseluruhan
ada 17 macam, sebagian khiyâr ini disepakati oleh para ulama dan sebagian yang
lain masih menjadi khilafiah apakah jenis khiyâr itu berlaku atau tidak berlaku
atau bahkan tidak diakui oleh islam sama sekali. Dan adapun jenis khiyâr yang
perlu untuk diketahui antara lain :

1. Khiyâr Majlis

Khiyâr majlis adalah khiyâr yang berlaku seslama penjual dan pembeli
masih berada dalam satu majlis artinya selama penjual dan pembeli masih
berada ditempat transaksi jual beli maka penjual dan pembeli masih ada
kesempatan atau hak untuk membatalkan akad jual beli itu apabila keduanya
telah berpisah atau meninggalkan tempat transaksi maka khiyâr majlis sudah
tidak berlaku lagi.

Ketentuan tentang khiyâr ini mungkin agak mengejutkan sebagian


orang, karena pada umumnya yang berlaku dipusat pusat perbelanjaan
adalah yang tertulis ditoko atau faktur belanja “barang yang sudah dibeli
tidak dapat ditukar atau dikembalikan”

Menurut jumhur ulama termasuk imam Syafi’i dan imam Ahmad bin
Hambal beliau berpendapat bahwa khiyâr ini dibenarkan (sah/boleh),
berdasarkan hadist imam Bukhari yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam.
Adapum mazhab imam Malik dan mazhab Hanafi berpendapat bahwa
khiyâr Majlis tidak dibenarkan, sebuah akad jual beli akan langsung
berdampak dan akadnya sudah mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan)
berlaku dan megikat kedua belah pihak seperti halnya akad nikah. Mereka
menafsirkan kata ‘berpisah/tafarruq’ dalam hadist dengan pengertian
tafarruq fil aqwal dalil lain yang menjadi hujjah para ulama yang menolak
khiyâr majlis adalah kewajiban memenuhi akad seperti dalam Q.S. al-
Maidah ayat 1

Pendapat yang lebih benar insyaallah adalah pendapat yang pertama,


yang mengakui keabsahan khiyâr majlis karena adanya hadist hadist yang
memberlakukan khiyâr majlis, sementara qiyas yang dilakukan oleh
pendapat kedua merupakan qiyas yang kurang tepat, apalagi qiyas yang
bertentangan dengan dalil. Adapun mengenai kewajiban memenuhi akad
dalam Q.S. al-Maidah ayat 1 dijawab bahwa khiyâr majlis adalah bagian
yang tak terpisahkan dari akad itu sendiri, sehingga pemberlakuan khiyâr
majlis tidak berarti mengingkari akad.
Keterangan: khiyâr majlis ini dapat di nafikan oleh kedua belah
pihak, jika keduanya sepakat untuk tidak memberlakukan khiyâr majlis,
artinya penjual dan pembeli diperbolehkan melakukan kesepakatan untuk
tidak ada khiyâr majlis dalam jual beli yang dilakukan asalkan jangan
dilakukan secara sepihak.

2. Khiyâr Syarat

Menurut Sayyid Sabiq khiyâr syarat adalah suatu khiyâr dimana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan
khiyâr pada masa atau waktu tertentu, walapun waktu tersebut berlangsung
lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan
apabila ia menghendaki ia bisa membatalkannya. Khiyâr syarat menurut
istilah ulama fiqh adalah: “ Kedua belah pihak yang berakad atau salah
satunya atau orang lain yang mempunyai hak untuk meneruskan akad atau
membatakannya dalam tempo waktu yang ditentukan ketika berakad. Dan
penyandaan kata khiyâr kepada syarat adalah penyandaran sesuatu kebada
sebabnya artinya syarat inilah yang melahirkan khiyâr oleh sebab itu
dinamakan khiyâr syarat atau syarat khiyâr seperti yang diucapkan oleh
sebagian ulama fiqh.

Artinya : Dari Ibnu Umar ra dari Rasulullah SAW beliau bersabda :


“apabila dua orang melakukan jual beli maka masing masing pihak berhak
melakukan khiyâr, baik kedua duanya maupun salah satunya. Apabila salah
satu dari keduannya melakukan khiyâr terhadap yang lainnya kemudian
mereka berdua melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka maka
jual beli telah wajib dilaksanakan. Apabila mereka berpisah setelah
melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak meninggalkan jual beli,
maka jual beli wajib dilaksanakan.”(H.R.Muttafaq Alaih)

Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyâr syarat sah jika waktunya
diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk
barang yang cepat rusak dalam tempo ini.

Sabda Rasulullah : “engkau boleh khiyâr pada segala barang yangtelah


engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi Dan Ibnu Majah)

3. Khiyâr Aib

Khiyâr Aib adalah khiyâr karena adanya aib (cacat) pada obyek jual beli.
Dengan kata lain khiyâr Aib adalah hak penjual dan pembeli untuk
melakukan pembatalan atas akad jual beli yang sudah terjadi.

Sebuah jual beli harus terjadi atas dasar suka sama suka. Kondisi
suka sama suka pada umumnya akan terjadi jika obyek yang dijual belikan
dalam kondisi baik, tidak ada cacatnya, serta adanya kesetaraan nila barang
yang dibeli dengan harga yang harus dibayar, akad jual beli adalah akad
muawadloh (tukar menukar) yang menginginkan adanya kesetaraan antar
harga dengan barang (obyek akad), jika salah satunya terdapat cacat maka
penjual atau pembeli akan kecewa karena merasa tidak ada kesetaraan antara
harga dengan barang.

Suatu ketika Rasulullah melihat seseorang yang di sekelilingnya


terdapat bahan makanan yang dijual dalam kaleng, kemudian memasukkan
tangannya kedalam makanan itu, ternyata beliau dapati makanan itu basah,
karena bagian yang basah diletakkan di bawah sehingga orang yang
membeli tidak tahu, ketika rasul menegurnya , Apa ini wahai pemilik/
penjual makanan? orang itu menjawab: kena hujan ya Rasulullah maka
beliau menegur sahabat itu dengan sabdanya: kenapa tidak engkau taruh di
atas agar dilihat oleh orang ? Siapa yang curang maka dia tidak termasuk
golonganku.

Cacat harus ada pada obyek akad sebelum diterima oleh pembeli
seandainya cacat terjadi setelah akad namun sebelumnya di serah terimakan
kepada pembeli maka khiyâr aib tetap berlaku karena masih berada pada
tanggung jawab penjual. Adapun jika cacat atau kerusakan terjadi setelah
berda di tangan pembeli, maka khiyâr aib sudah tidak berlaku karena barang
tersebut sudah menjadi milik dan tanggung jawab pembeli.

Cacat pada obyek akad masih terbukti adanya ketika barang di terima
oleh pembeliartinya boleh jadi cacat terjadi dalam perjalanan distribusi
namun ketika di serah terimakan aibnya sudah tidak ada lagi. Jika sudah
tidak ada aib lagi maka khiyâr aib tidak berlaku

Pembeli memang tidak mengetahui adanya aib ketika melakukan


akad jika ia mengetahui adanya aib saat berakad, hal itu berarti bahwa dia
telah rela untuk membeli barang yang cacat karenanya tidak berlaku khiyâr
karena sudah terjadi ’an taroodlin atau suka sama suka dengan kondisi
barang yang di perjual belikan.

Tidak ada kesepakatan antara kedua pihak untuk tidak


memberlakukan khiyâr aib. Artinya jika penjual mensyaratkan kepad
apembeli bahwa segala cacat yag ada pada barang yang di jualnya tida
menjadi tanggung jawab penjual dan tidak ad hak untuk melakukan khiyâr,
kemudian pembeli menyetujui maka khiyâr aib tidak berlaku lagi. Contoh
kasusnya adalah pedagang barang bekas, jika khiyâr aib itu di berlakukan,
mungkin penjual akan merasa kewalahan. Karena itulah penjual barang
bekas tidak bisa membuat kesepakatan dngan pembeli bahwa dalam
transaksi ini tidak di berlakukan khiyâr aib pembeli di persilahkan untuk
teliti.

Adapun hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah :

“Bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu


tinggal beberapa lama dengan dia kemudian kedapatan bahwa budak itu
ada cacat terus dia angkat perkara dihadapan rasulullah saw. Utusan dari
beliau budak itu dikembalikan kepada si penjual (HR. Ahmad Abu Dawud
Dan Tirmizi)

4. Khiyâr Ru’yah

Khiyâr ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya
dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya

Konsep khiyâr ini disampaikan oleh fuqoha-fuqoha hanafiyah,


malikiyah, hanabilah, dan dohiriyah dalam kasus jjual beli benda yang ghoib
(tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan
menurut imam syafii khiyâr ru’yah ini tidak sah dalam proses jual beli
karenamenurutnya jual beli terhadap barang yang ghoib(tidak ada ditempat)
sejak semula dianggap tidak sah.

Syarat khiyâr ru’yah bagi yang membolehkannya antara lain :

a. Barang yangakan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada


dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
b. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan
mengembalikan saat transkasi.
c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau
sebelumnya sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.
5. Khiyâr Ghabn

Khiyâr ghabn (penipuan, kecurangan) yaitu pembeli atau penjual melakukan


penipuan atau kecurangan pada komoditi kecurangan yang keluar dari
kebiasaan atau urf. Hukunya adalah haram. Apabila seseorang merasa
dicurangi, maka ia mempunyai hak khiyâr diantara menahan dan
membetalkan seperti orang yang tertipu dengan orang yang menghadap
rombongan (yang mau memasuki padar) atau tambahan orang yang
meninggikan harga (najisi) yang tidak ingin membeli atau ia tidak
mengetahui nilai dan tidak pandai menawar dalam jual beli maka ia
mempunyai hak khiyâr.

Beberapa macam khiyâr Ghabn:

a. Talaki Rukban

Yaitu orang-orang kota menghadang para pedagang yang


datang dari pelosok untuk mengambil (menjualkan) barang dagangan
mereka dikota. Penjual dari pelosok yang datang kekota jika dia tidak
tahu harga, maka dia teranggap tidak tahu terhadap harga-harga yang
semstinya, akibatnya tertipu terhadap harga semestinya nah maka dari
itu penjual dapat melakukan khiyâr ghabn.

b. An Najasy

An Najasy ialah orang yang memeberikan tambahan haraga


terhadap barang dagangan sedangkan dia sendiri tidak berniat untuk
membelinya melainkan hanya sekedar untuk menaikan harga barang
terhadap pembeli.

Termasuk An Najasy : “Aku berikan barang ini kepada orang


lain dengan harga sekian “ atau “aku telah membelinya dengan
harga sekian “ padahal dia dusta.
c. Khiyâr Ghabn Mustarsil

Mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga dan tidak bisa
menawar bahkan dia percaya sepenuhnya kepada penjual, jika ternyata
dia di tipu dengan penipuan yang besar maka dia punya hak untuk
khiyâr.

Yang sering terjadi di pasar-pasar kaum muslimin sebagian


orang ketika membawa barang dagangan ke pasar. Orang-orang di
pasar sepakat untuk tidak menawar barang (dengan harga tinggi) dan
mereka dengan sengaja menyuruh seseorang untuk menawar harga itu
dari penjualnya. Apabia tidak ada pembeli yang bersedia menambah
harga pembelian , maka akhirnya penjual itu terpaksa menjualnya
dengan harga murah.

6. Khiyâr Tadlis (penyamaran)

Yaitu penjual menampakkan (memeperlihatkan, memajang) suatu komoditi


dengan penampilan yang akan membuat pembeli senag untuk membelinya,
padahal enambialn tersebut hanyalah penyamaran (dusta) belaka, padahal ia
kosong. Seperti mengikat laban (susu ) pada kambing, sapi, unta, atau hewan
lainnya saat menjual supaya pembeli mengira banyak susunya dan tertarik
untuk membelinya, padahal hewan ternak tersebut kenyataannya tidak
seperti itu. Perbuatan ini hukumnya haram.

Anda mungkin juga menyukai