Anda di halaman 1dari 15

A.

HARTA DALAM SUDUT PANDANG ISLAM


a. Pengertian harta menurut bahasa
Berdasarkan kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur, bahwa mal (harta) berasal dari
kata kerja mawwala, multa, tumalu, multa. Jadi mal dapat didefinisikan sebagai sesuatu
yang dimiliki. Berkata Ibnu Atsir, “Pada dasarnya, al-mal ialah barang milik seperti emas
atau perak, tetapi kemudian kata al-mal itu dipakai untuk semua jenis benda yang bisa
dikonsumsi dan dimiliki.” Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-mal berarti apa saja yang
dimiliki, kata tamawwalta berarti harta kamu banyak karena orang lain, dan kata multahu
berarti kamu memberikan uang kepada seseorang. Maka segala sesuatu yang tidak dapat
dimiliki manusia tidak dapat disebut sebagai harta secara bahasa, seperti: pepohonan
yang berada di hutan belantara, ikan yang berada di air sungai, ataupun burung yang ada
di angkasa

b. Pengertian Harta dalam al-Qur’an


“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Ali Imron 3: 14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-Qur’an adalah
segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak,
sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi
hajat hidup. Menurut al-Qur’an, harta menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi,
dan sebaliknya akan menjadi buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-
Nya.

c. Pengertian Harta menurut al-Sunnah


Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-sebaiknya harta ialah yang berada pada orang
salih”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa mal/harta sebagai milik pribadi menjadi nikmat
bila digunakan untuk kebaikan semisal dengan kebaikan orang salih yang menggunakan
harta tersebut. Namun demikian, keberadaan harta bukan menjadi tujuan hidup.
Karenanya, pemilik harta diharapkan tidak lupa mengabdi kepada Allah.
d. Pengertian Harta Menurut Fuqaha:
- Harta menurut madzhab Hambali adalah apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah
untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
- Harta menurut Imam Syafi’i adalah barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual
dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang meninggalkannya (tidak
berguna lagi bagi manusia).
- Harta menurut Ibnu Nujaim al-Misri adalah apa-apa yang bernilai dan bisa disimpan
untuk kebutuhan.
- Harta menurut sebagian ulama fiqih kontemporer adalah setiap benda yang
mempunyai nilai materi di kalangan manusia atau apa saja yang bisa dimiliki dan bisa
diambil manfaat darinya, atau juga bisa sebagai ciptaan selain manusia yang dijadikan
untuk kemaslahatan manusia dan manusia dapat memiliki dan memanfaatkan secara
bebas.
Jadi pengertian harta dalam konsep Islam dapat disimpulkan bahwa harta/mal
adalah segala sesuatu yang disukai dan dimiliki manusia, dapat dimanfaatkan pada
saat sekarang, maupun untuk keperluan di masa yang akan datang serta dapat
dimanfaatkan secara syar’i .

B. TEORI KEPEMILIKAN DALAM ISLAM

Al-Milkiyah berasal dari kata al-milk bentukan dari kata malaka – yamliku – malkan
wa mulkan wa milkan. Malaka artinya menguasai atau memiliki. Menurut Ibn Sayidih, al-
malk, al-mulk atau al-milk adalah pemilikan (penguasaan) sesuatu dan kemampuan berbuat
sesuai keinginan terhadap sesuatu itu. Al-Milkiyah dapat diartikan ownership. Di dalam
ensiklopedia Wikipedia, ownership adalah fakta atau status dari pemilikan ekslusif atau
kendali atas suatu kekayaan (property). Menurut Fathi Ahmad Abdul Karim bahwa kata
milkiyah bermakna al-ihtiwa dan al-qudrah yaitu memelihara dan menguasai sesuatu secara
bebas. Artinya hak seseorang dalam menguasai sesuatu dan dibolehkannya seseorang untuk
mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara’, dimana bagi orang lain
tidak diperkenankanya mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya,
dan sesuai dengan bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan. Kepemilikan hakiki adalah
milik Allah. Allahlah pemilik segala kekuasaan/kepemilikan (al-Mâlik al-mulk). Allah
sendiri telah menyatakan bahwa harta itu (hakikatnya) adalah milik-Nya:
“Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan (diberikan)-Nya
kepada kalian.” (QS al-Nur: 33).
Hanya saja, Allah SWT telah memberikan kekuasaan atas harta kepada manusia
sekaligus menjadikan harta itu sebagai hak pemilikan manusia. Allah Swt. berfirman:
“Dan nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian
menguasainya” (QS al-Hadid: 7)..
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik
pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.

1. Kepemilikan Individu / pribadi


Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah) adalah izin dari Asy-Syari’ kepada
individu untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa. Karena merupakan izin dari Asy-
Syari’, kepemilikan hanya ditetapkan berdasarkan ketetapan dari Asy-Syari’.
Pertama, ketetapan tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki
dan yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menyifati sesuatu dengan halal dan haram.
Kedua, ketetapan tentang tatacara perolehan harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang
tidak. Perolehan harta itu bisa melalui: sebab-sebab kepemilikan harta dan sebab-sebab
pengembangan harta.
Kepemilikan pribadi dalam Islam merupakan suatu hal yang sudah dikenal. banyak
dijumpai ayat-ayat al-Qur’an menggunakan lafadz “amwalikum, amwalihim, mal al-
yatim, atau buyutikum”. Sebagaimana Allah memerintahkan kaum muslimin untuk
mengeluarkan zakat dan infaq hal lafadz ini menunjukkan bahwa mereka adalah pemilik
harta. Begitu juga ayat-ayat kewarisan menunjukkan diakuinya kepemilikan pribadi/
pribadi. Dalam sunnah Nabi juga terdapat hadis-hadis yang banyak, sebagaimana sabda
Nabi dalam khutbah al-wada’ “sesunguhnya darah, harta, dan kehormatan kamu sekalian
adalah haram bagi kalian”(HR. Bukhari Muslim). juga hadis yang berbunyi: “setiap
muslim bagi muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR.
Muslim dan lainnya) Dan di dalam al-Qur’an juga diterangkan bahwa jiwa manusia
secara fitrah mempunyai kecintaan terhadap harta. Sebagaimana Allah berfirman:)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga)”.“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan” Sungguh
walaupun setiap orang yang bekerja mempunyai hak untuk memiliki hasil usahanya,
Merupakan suatu yang alamiah adanya kepemilikan pribadi, seandainya kepemilikan
pribadi ini tidak diperbolehkan maka seseorang tidak akan dapat memiliki hasil usahanya
lebih banyak dari kebutuhan dirinya dan keuarganya.
Islam mengatur kepemilikan pribadi meliputi:
- mengatur tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki dan
yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menentukan sesuatu dengan halal dan
haram.
- mengatur tentang tata cara memperoleh harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang
tidak. Perolehan harta itu bisa melalui: tata cara bagaimana memperoleh harta dan
tata cara mengembangan harta. Islam melindungi kepemilikan pribadi dan selainnya
dari pencurian dan ghasab (pengambilan tanpa izin) oleh karena itu Islam
menghukum pencuri dan memberikan ta’zir kepada orang yang ghasab. Dan orang
yang mati karena mempertahankan hartanya maka ia mati syahid. Kepemilikan di
dalam Islam tidak hanya mengenai kepemilikan mata uang semata, tetapi lebih dari
itu seperti harta perolehan, harta perdagangan, modal produksi, dan harta lainya
yang termasuk harta pribadi, berbeda dengan harta-harta Negara maupun harta
umum, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang umpamanya memiliki tanah yang
diwakafkan, atau memiliki sungai yang besar atau lautan.
Tanah-tanah yang dapat dimiliki secara pribadi antara lain seperti: Tanah yang
diserahkan kepada seseorang dari pemiliknya, tanah sulh, tanah unwah, tanah ihya
al-mawat, tanah iqtha.

2. Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syâri‘ kepada komunitas masyarakat untuk
sama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepimilikan umum menyangkut tiga jenis: 1) Sarana-
sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari;
2) harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya;
3) Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas.

3. Kepemilikan Negara (state property)


Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh
kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat
memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna
pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk
mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara,
namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik
umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara
dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya.
Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta
tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah Subhana Wa Ta’ala. Sedangkan manusia
adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan
membangunnya dengan menggunakan harta Allah Subhana Wa Ta’ala. karena semua itu
adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya harta kekayaan meskipun terikat dengan nama
orang tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.

C. MAQASHID SYARIAH DALAM KEPEMILIKAN HARTA

Memelihara harta secara individu, umum dan Negara. Dilihat dari segi
kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

1. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti syariat tentang tatacara


pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain
2. Memelihara harta dalam peringkat hajjiyat seperti syari’at tentang jual beli dengan
cara salam.
3. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang
menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.

Menurut penyusun, cara melindungi harta sesuai dengan kepemilikannya adalah sebagai
berikut:

a. Hak milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat islam yaitu
dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang lain
dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba.
b. Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda ini secara umum, maka
cara menjaganya harus dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena.
c. Hak milik Negara, suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara
menjaga dan mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara.

D. PEMBAGIAN HARTA DALAM ISLAM (jenis – jenis Harta)


1. Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
Menurut wahbah zuhaili (1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim adalah
harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya dan diperbolehkan
untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian. Al-maal gairu al mutaqawwim
adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan usaha, seperti mutiara didasar
laut, minyak diperut bumi. Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara’ untuk
dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat.
Dengan adanya pembagian harta, terdapat implikasi hukum yang harus
diperhatikan:
a. Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi
b. Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadinya kerusakan
c. Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada
kewajiban untuk menggantinya
2. ‘Iqar dan Manqul

Menurut Hanafiyah (1989,IV, hal.46), manqul adalah harta yang


memungkinkan untuk dipindah, dari suatu tempat ke tempat lain, seperti uang,
hewan. ‘Iqar adalah harta yang tidak bisa dipindah dari suatu tempat ke tempat lain,
seperti tanah dan bangunan.
Implikasi hukum mengenai ‘iqar dan manqul:

a. Dalam harta ‘iqar terdapat hak syuf’ah


b. Menurut hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di waqafkan adalah harta
‘iqar
c. Seorang wali tidak boleh menjual harta iqar atas orang yang berada dalam
tanggungannya kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara’, seperti
untuk membayar hutang
d. Menurut abu hanifah dan abu yusuf, harta iqar boleh ditransaksikan walaupun
belum diserahterimakan.

3. Mitsli dan Qilmi


Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa
adanya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya.
Harta mitsli dapat dikategorikan menjadi empat bagian;
a. Al-makilaat (sesuatu yang dapat ditakar), seperti gandu, terigu
b. Al mauzuunat (sesuatu yang dapat ditimbang, seperti kapas, besi.
c. Al’adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti pisang, telor, apel
d. Al dzira’iyat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas
bagian-bagiannya) seperti kain, kertas.
e. Al maal al qilmi adalah harta yang tidak terdapat padanannya dipasaran, atau
terdapat tempat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda
Harta mitsli bisa berubah menjadi harta qimi, atau sebaliknya,
a. Jika harta mitsli susah didapatkan dipasaran-kelangkaan
b. Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang
berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobil tersebut
menjadi harta qimi
c. Jika harta qimi terdapat banyak padanannya dipasaran

Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi hokum sebagai
berikut

a. Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual beli hanya dengan menyebutkan
jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa
b. Jika harta mitsli dirusak orang, maka wajib diganti dengan padanannya yang mendekati
nilai ekonomisnya atau sama
c. Jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai keinginannya, walaupun tanpa izin
dari pihak lain
d. Harta mitsli rentang terhadap riba fadl
4. Istikhlaki dan isti’mali
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan
merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu
bakar.
Al maal al isti’mali adalah harta yang mungkin bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak
bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan. Harta istikhlaki bisa ditransaksikan
dengan tujuan konsumsi, harta isti’mali bisa digunakan sebagai objek ijarah (sewa).
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi implikasi hokum sebagai berikut;
a. Harta waqaf tidak dapat dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik perorangan
b. Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum, seperti jalan
dan pasar, pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh perseorangan.

PEMBAGIAN HARTA DAN AKIBAT HUKUMNYA


1. Ditinjau dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta dibagi kepada:
a. Mutaqawwim (bernilai)
Mustafa Syalabi mendefinisikan harta mutaqawwim adalah sesuatu yang dapat dikuasai dan
dibolehkan syara’ mengambil manfaatnya.

b. Ghairu Mutaqawwim (tidak bernilai)


Ghairu Mutaqawwim yaitu sesuatu yang tidak dibolehkan syara’ mengambil manfaatnya,
seperti babi, anjing dan khamar.
Pembagian harta kepada mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim akan berakibat
hukum kepada:

1) Harta mutaqawwim dapat dijadikan obyek transaksi, seperti jual beli, yaitu sewa
menyewa dan sebagainya. Sedangkan ghairu mutaqawwim tidak dibolehkan syara’.
2) Harta mutaqawwim mendapat perlindungan dan jaminan, apabila dirusak oleh seseorang
maka ia dituntut ganti rugi, yaitu tuntutan mengganti dari pada benda serupa atau
nilainya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat jika harta ghairu mutaqawwim itu
milik kafir dzimmi ( kafir yang hidup dan tunduk di bawah perundangundangan negara
Islam) dirusak atau dibinasakan oleh orang muslim, maka muslim ini wajib membayar
ganti rugi, karena harta tersebut termasuk harta mutaqawwim bagi kafir dzimmi, namun
jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa terhadap kasus di atas seorang
muslim tidak dituntut ganti rugi, karena harta ghairu mutaqawwim itu tidak dinilai harta
dalam Islam.

2. Ditinjau dari segi dapat atau tidaknya dipindahkan, harta dibagi kepada:
a. Harta Manqul (bergerak)
Ali alKhafif memberi definisi harta manqul adalah sesuatu harta yang mungkin dipindahkan
dari tempat semula ke tempat lain tanpa mengalami perubahan bentuk dan keadaan karena
perpindahan itu. Jadi harta manqul ini sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke
tempat yang lain, baik harta tersebut tetap dalam bentuk dan kondisinya berubah akibat
dipindahkan. Harta ini seperti uang, pakaian, makanan, buku dan berbagai jenis barang yang
bisa diukur dan ditimbang.

b. Harta ‘Iqar (tidak bergerak)


Di antara pengertian ‘iqar tersebut adalah sesuatu harta yang tidak mungkin dipindahkan dari
tempatnya semula. Pengertian ini dipahami bahwa yang demikian itu hanya tanah dan apaapa
yang mengikut padanya.
Para fuqaha, dalam hal ini Hanafiyah dan Malikiyah berbeda pendapat terhadap harta manqul
dan ‘iqar tersebut. Menurut Hanafiyah bahwa bangunan, pepohonan dan tanamtanaman di
bumi tidak dikategorikan sebagai harta ‘iqar kecuali dalam status mengikut pada tanah.
Maka, apabila tanah yang ada bangunan di atasnya atau ada tanaman, lalu tanah tersebut
dijual, maka akan diterapkan hukum ‘iqar untuk segala yang mengikut kepada tanah, baik
berupa bangunan ataupun yang lainnya. Sementara, kalau hanya bangunan atau tanaman itu
saja yang dijual tanpa tanahnya maka dalam hal ini tidak diberlakukan hukum ‘iqar. Jadi
menurut Hanafiyah, harta ‘iqar tidak mencakup apaapa kecuali hanya tanah saja, sementara
manqul mencakup segala sesuatu selain dari tanah.
Menurut Malikiyah, mereka mempersempit pengertian manqul dan meluaskan pengertian
‘iqar. Mereka berpendapat bahwa manqul adalah sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu
tempat ke tempat yang lain, tetapi tetap dalam kondisi dan bentuknya semula, seperti buku,
pakaian, kendaraan dan sebagainya. Sedangkan ‘iqar adalah sesuatu yang tidak mungkin
dipindahkan sama sekali seperti tanah, atau mungkin dipindahkan tetapi terjadi perubahan
bentuk ketika dipindahkan seperti bangunan dan tanaman. Bangunan ketika dipindahkan akan
hancur dan berubah menjadi puingpuing, demikian pula tanaman akan berubah menjadi kayu-
kayu.
Adapun akibat hukum dari pembagian harta jenis ini, para ulama
fiqh berpendapat bahwa:
1) Syuf’ah (hak beli atas bagian harta syarikat) hanya ditetapkan pada harta ‘iqar (tidak
bergerak), bukan pada harta manqul (bergerak). Apabila harta manqul dijual mengikut
harta pada ‘iqar, maka syuf’ah diberlakukan pada keduanya. Terhadap jual beli al-wafa’
(jual beli bersyarat, dimana sipenjual bisa membeli kembali barang yang telah dijualnya),
hal ini hanya berlaku pada ‘iqar dan tidak berlaku pada manqul.
2) Wakaf, untuk wakaf dapat dilakukan terhadap harta tidak bergerak, ini disepakati para
ulama fiqh. Namun wakaf terhadap harta bergerak, ulama Hanafiyah tidak membolehkan
kecuali ada hubungannya, atau ada atsar yang yang menunjukkan sahnya seperti kuda,
senjata atau menurut kebiasaan yang mashur seperti wakaf kitab dan sejenisnya. Akan
tetapi jumhur ulama membolehkan harta bergerak untuk diwakafkan.
3) Muflis, yaitu orang yang dinyatakan pailit, maka untuk melunasi utang seorang yang
muflis dapat dilakukan dengan cara menjual hartanya yang manqul (bergerak) terlebih
dahulu sebelum hartanya yang ‘iqar (tidak bergerak.

4) Al-Washi (orang yang diberi wasiat). Pelaksana wasiat dapat bertindak atas nama qashir
(orang yang belum memenuhi kriteria untuk melakukan tasharruf secara sempurna pada
hartanya). Seorang washi dapat menjual harta manqul untuk kebutuhan mereka
sepanjang ada kemaslahatan dan tidak berlebihan, harta ‘iqar (tidak bergerak) dapat
dijual jika ada hal yang mendesak dan dibolehkan syara’ seperti untuk melunasi utang
menutup kebutuhan yang sangat penting, ataupun untuk tercapainya kemaslahatan yang
lebih besar.

5) Hakhak tetangga dan irtifaq. Terhadap hak ini ditetapkan hanya pada ‘iqar (harta tidak
bergerak), jadi tidak ada hak irtifaq pada pada harta manqul (harta bergerak).
6) Hikmah pembagian harta jenis ini, menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, tidak bisa
dipersepsikan adanya alghashbu atau perampasan terhadap harta ‘iqar (tidak bergerak),
karena harta tersebut tidak mungkin untuk dipindahkan dan dikuasai yang merupakan
syarat al-ghasb. Tetapi menurut jumhur ulama berpendapat bahwa pada harta ‘iqar dan
manqul dapat juga terjadi perampasan.
3. Ditinjau dari segi ada atau tidaknya persamaan harta tersebut dapat dibagi kepada
mitsli dan qimi, berikut ini penjelasannya:

a. Mitsli (harta yang ada persamaannya).


Harta mitsli adalah suatu harta yang punya persamaan dan padanan di pasar dalam dunia
perdagangan tanpa ada perbedaan yang signifikan. Harta mitsli ini biasanya terindikasi pada 4
(empat) jenis/sifat, yaitu harta yang dapat ditimbang (al- mauzuunaat) seperti tepung, kapas.
Harta yang dapat ditakar (al- makilat) seperti gula, beras. Harta yang dapat diukur
berdasarkan meteran, hasta dan sebagainya (adz-dzar’iyyat) seperti kain, tali yang seluruh
bagiannya sama tanpa ada perbedaan yang signifikan. Harta yang dapat dihitung dan
dijumlah (al-‘adadiyyat) yang ukurannya hampir sama seperti kelapa, telur dan lainlain.
b. Qimi (harta yang tidak ada persamaannya).
Harta qimi tidak punya persamaan dan jenis dan padanan di pasar, atau ada persamaannya
namun antara satu dengan yang lainnya ada perbedaan yang signifikan antara unitunit dan
kualitasnya yang diperhitungkan dalam berinteraksi seperti hewan ternak, tanah, rumah,
permata, kitabkitab yang masih berbentuk manuskrip sebagai naskah kuno dan lainlain.
Harta mitsli akan dapat berubah menjadi harta qimi ataupun sebaliknya yaitu harta qimi juga
dapat berubah menjadi harta mitsli. Hal ini akan dipengaruhi oleh beberapa kondisi, oleh
sebab itu harta mitsli akan berubah menjadi qimi, kondisi tersebut akan terjadi apabila:
1) Ketika tidak ada di pasar. Apabila tidak ditemukan lagi harta mitsli di pasar, maka harta
mitsli akan berubah menjadi harta qimi.
2) Ketika terjadi percampuran. Apabila terjadi percampuran antara dua harta mitsli,
dimana kedua harta tersebut berbeda jenis dan kualitasnya, seperti hinthah dan sya’ir
(keduanya merupakan jenis gandum) maka percampuran kedua jenis gandum tersebut
berubah menjadi harta qimi.
3) Ketika punya resiko bahaya. Apabila harta mitsli beresiko akan mendapatkan bahaya,
seperti bahaya terbakar atau tenggelam maka ia akan punya nilai (qimah) yang khusus.
4) Ketika terdapat cacat atau telah digunakan. Apabila harta mitsli punya cacat atau telah
dipakai dan digunakan maka ia akan punya nilai khusus.
Demikian pula sebaliknya, yaitu harta qimi akan berubah menjadi mitsli, hal ini akan dapat
terjadi apabila harta qimi sudah banyak dan mudah dijumpai dimana sebelumnya tidak
demikian. Jadi, apabila suatu harta yang tadinya jarang dijumpai di pasaran yang kemudian
berubah jadi banyak dan mudah dijumpai di pasaran maka ia akan berubah menjadi mitsli di
mana sebelumnya ia memiliki nilai (qimah) secara khusus.
Adapun akibat hukum dari pembagian harta kepada al-mitsli dan al-qimi akan terlihat dalam
beberapa hal yang di antaranya sebagai berikut :
1) Dalam hal tanggungan atau jaminan.
Harta mitsli dapat dijadikan sebagai jaminan atau tanggungan dalam melakukan muamalah,
artinya ia bisa menjadi harga dalam suatu jual beli dengan cara menentukan sifat dan
jenisnya, sedangkan harta qimi tidak bisa dijadikan sebagai jaminan atau tanggungan,
sehingga ia tidak bisa menjadi harga dalam bermuamalah.

2) Dalam hal kerusakan.


Harta mitsli tersebut jika dirusak oleh seseorang, maka haruslah digantinya sesuai jenis dan
sifat harta yang dirusaknya tersebut. Sedangkan harta qimi, jika dirusak seseorang maka
haruslah menggantinya sesuai nilai atau harga yang diperhitungkan, artinya seseorang yang
merusak harta qimi, cukuplah baginya mengganti yang serupa dengannya dari segi substansi
sifatnya sebagai harta yaitu nilai atau harganya.
3) Dalam hal riba.
Harta mitsli dapat menjurus kepada riba yang diharamkan ketika melakukan transaksi, karena
dalam bertransaksi mengharuskan samanya dua barang yang sejenis dalam segi kapasitas dan
ukuran sehingga kelebihannya merupakan sesuatu yang diharamkan. Sedangkan pada harta
qimi tidak mungkin terjadi riba yang diharamkan, karena pada harta qimi tidak mungkin
ditemukan kesamaan dan jenis barang.

4. Ditinjau dari segi penggunaan atau pemakaiannya, harta dapat dibagi kepada:
a. Harta istihlaki adalah harta yang ketika digunakan untuk menikmati manfaatnya
sebagaimana biasa adalah dengan cara menghabiskan zatnya, seperti makanan,
minuman, sabun, minyak, kayu bakar dan lainlain. Demikian juga uang termasuk
harta istihlaki, karena cara memanfaatkannya adalah dengan cara keluarnya ia dari
tangan si pemiliknya meskipun pada prinsipnya zat uang tersebut tetap ada.
b. Harta isti’mali adalah harta yang dapat digunakan dan diambil manfaatnya berulang
kali namun zatnya masih tetap utuh, seperti rumah, pakaian, buku dan lain
sebagainya.
Dari kedua bentuk harta ini dapat dilihat dari sisi peman faatannya yang pertama, bukan pada
kondisi yang pemakaiannya yang dapat digunakan secara berulang kali. Jadi, apabila zat harta
tersebut hilang atau habis ketika pertama kali dimanfaatkan maka ia tergolong harta istihlaki,
tetapi, apabila zat harta tersebut tidak hilang atau tidak habis dan dapat dimanfaatkan secara
berulang kali maka ia tergolong harta isti’mali.

Akibat hukum dari pembagian ini, ulama fiqh melihat dari segi akadnya, yaitu:
a. Harta istihlaki akadnya hanya bersifat tolong menolong, karena objek suatu perjanjian
ditujukan kepada manfaat harta bukan kepada zatnya, seperti i’arah (perjanjian pinjam
meminjam).
b. Harta isti’mali, selain sifatnya tolong menolong juga boleh ditransaksikan dengan cara
mengambil imbalan, seperti ijarah (perjanjian sewa menyewa).
Pembagian harta kepada istihlaki dan isti’mali ini terlihat dalam hal dapat tidaknya harta
tersebut menjadi objek dalam suatu perjanjian. Karena ada beberapa perjanjian yang
ditujukan kepada manfaat harta bukan kepada zatnya.

5. Ditinjau dari segi status/kepemilikan harta, harta juga dapat dibedakan kepada:
a. Mal al-mamluk (harta yang sudah dimiliki) yaitu suatu harta yang berada di bawah
kekuasaan atau kepemilikan baik secara perseorangan, kelompok masyarakat maupun
badan hukum seperti pemerintah, organisasi ataupun yayasan, kecuali terjadi akadakad
yang memindahkan kepemilikan.
b. Mal al-mubah (harta bebas/yang tidak dimiliki) yaitu harta yang tidak ada pemiliknya,
seperti binatang di hutan belantara, ikan di lautan dan sebagainya. Harta seperti ini dapat
dimiliki setiap orang karena mungkin dikuasai dan disimpan, kecuali ada sebab sebab
tertentu.
c. Mal al-mahjur (harta yang tidak boleh dimiliki) yaitu harta yang menurut syara‘ tidak
boleh dimiliki dan diserahkan kepada orang lain. Jadi harta ini tidak boleh dimanfaatkan
untuk kepentingan pribadi tertentu. Seperti harta wakaf dan harta yang diperuntukkan
bagi kepentingan umum.
Akibat hukum pada pembagian harta kepada bentuk ini adalah:
1) Mal al-mamluk apabila milik negara, maka pemanfaatannya ditujukan untuk kepentingan
masyarakat umum dan masyarakat yang memanfaatkannya tidak boleh merusak harta itu
dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Apabila milik suatu lembaga/organisasi, maka
pemanfaatannya untuk kepentingan lembaga/organisasi ataupun anggotanya tanpa
merugikan orang lain yang tidak ikut dalam lembaga/
organisasi tersebut. Untuk harta milik seseorang, dia bebas menggunakannya sesuai aturan
syara’, namun jika terdapat hak orang lain seperti jaminan utang, atau sedang disewa orang
maka pemiliknya tidak boleh bertindak hukum dengan menghilangkan hakhak orang lain
tersebut. Apabila harta tersebut milik bersama/berserikat di antara beberapa orang, maka
tindakan hukum masingmasing pemilik harta tersebut terbatas pada tindakan yang tidak
merugikan hakhak teman serikatnya. Oleh sebab itu, masingmasing pihak tidak boleh
merusak atau menghilangkan harta tersebut, juga tidak boleh merubah bentuknya, dan tidak
dibenarkan melakukan suatu tindakan di luar batasbatas yang sudah disepakati bersama oleh
para pemilik harta bersama/berserikat.
2) Mal al-mubah sebagai harta yang tidak berada di bawah penguasaan seseorang, maka
harta tersebut dapat dikuasai dan disimpan oleh siapapun dengan usaha yang
dilakukannya.
3) Mal al-mahjur sebagai harta yang dilarang syara’ untuk memilikinya, maka harta ini
merupakan harta yang dapat dimanfaatkan dan diperuntukkan hanya bagi kepentingan
umum.

6. Ditinjau dari segi dapat atau tidaknya dibagi, harta dapat dibedakan kepada:
a. Qabilu lil qismah, yaitu harta yang dapat dibagi dan tidak akan menimbulkan kerusakan
atau mengurangi manfaat harta tersebut. Seperti, beras, tepung, minyak dan air boleh
dibagi tanpa merusak dan mengurangi manfaatnya.
b. Ghairu qabili lil qismah, yaitu harta yang tidak akan bisa dimanfaatkan jika dibagi,
karena harta tersebut akan rusak dan tidak bermanfaat. Seperti, meja, kursi, piring, gelas
dan lainlain
Akibat hukum terhadap pembagian harta kepada bentuk ini adalah sebagai berikut:
1) Syirkah pada harta yang dapat dibagi boleh dilakukan eksekusi putusan hakim
berdasarkan “qismah at-tafriq” yaitu pembagian berdasarkan pemisahan. Seperti
sebidang tanah dibagi menjadi bagian utara dan bagian selatan. Berbeda dengan harta
yang tidak dapat dibagi, caranya adalah berdasarkan “qismah ridhaiyah” yaitu
pembagian berdasarkan kerelaan masingmasing pihak.
2) Syirkah pada harta yang tidak dapat dibagi, apabila pemilik bagian itu memberikan
kepada orang lain maka pemberian itu sah. Untuk harta yang dapat dibagi pemberian itu
tidak sah sebelum diadakan pembagian lebih dahulu.
3) Syirkah pada harta tidak bergerak yang dapat dibagi, jika memerlukan biaya yang
mendesak diberikan oleh salah seorang pemilik tanpa izin teman serikatnya atau tanpa
perintah hakim, sementara teman tersebut tidak mau memberikan biaya yang dibutuhkan,
maka biaya yang telah dikeluarkan itu dianggap sebagai pengeluaran sukarela dan tidak
dapat dimintakan ganti rugi kepada teman serikat. Apabila harta serikat itu harta yang
tidak dapat dibagi, maka biaya yang telah dikeluarkan itu dapat dimintakan ganti rugi.

7. Ditinjau dari segi perkembangannya, apakah harta itu dapat berkembang atau tidak,
baik perkembangannya melalui hasil atau melalui upaya manusia maupun dengan cara
sendirinya berdasarkan ciptaan Allah, harta tersebut dapat pula dibagi kepada:
a. Harta al-ashl (harta asal), yaitu harta yang menghasilkan, artinya harta tersebut
memungkinkan untuk terjadinya harta yang lain. Seperti rumah, tanah perkebunan,
binatang ternak dan lainlain.
b. Harta ats tsamar (buah atau hasil), yaitu harta yang dihasilkan dari suatu harta yang lain.
Seperti sewa rumah, buahbuahan dari pohon yang ada di kebun, susu sapi, bulu domda,
anak kerbau dan lainlain.
Adapun akibat hukum dari pembagian harta kepada bentuk ini adalah:
1) Harta wakaf pada asalnya tidak boleh dibagibagikan kepada orangorang yang berhak
menerima wakaf, tetapi hasilnya boleh dibagikan kepada mereka.
2) Harta yang khusus diperuntukkan kepada kepentingan umum, asalnya tidak boleh dibagi-
bagikan, tetapi hasilnya boleh dimiliki oleh masyarakat umum.
3) Hasil dari harta yang selama dimilikinya adalah milik dia sekalipun harta tersebut
dikembalikan kepada pemilik sebelumnya disebabkan adanya penghalang untuk
dimilikinya lebih lanjut. Seperti seseorang membeli sebuah rumah, lalu rumah tersebut
disewakannya selama satu bulan, setelah rumah diterimanya dari penyewa diketahui ada
cacat, dimana cacat tersebut bukan disebabkan dari orang yang menyewa rumah itu,
tetapi memang cacat dari awal ketika membeli, sehingga rumah itu dikembalikan kepada
pemilik awal (sipenjual rumah), jadi sewa rumah selama satu bulan tetap menjadi
miliknya sekalipun rumah itu setelah disewakan dikembalikan kepada penjualnya, karena
rumah tersebut ia sewakan sewaktu menjadi miliknya.
4) Hasil dari harta yang ketika ditransaksikan obyeknya adalah manfaat harta tersebut,
maka si pemilik manfaat itu berhak terhadap hasilnya. Seperti seseorang yang menyewa
sebuah rumah, dimana satu kamar dari rumah tersebut disewakannya kepada orang lain,
maka sewa dari satu kamar tersebut menjadi miliknya.

Anda mungkin juga menyukai