Anda di halaman 1dari 89

BAB I

HADIST TENTANG SISTEM KEPEMILIKAN

A. Sistem Kepemilikan
1. Pengartian Kepemilikan

Menurut bahasa, kepemilikan atau milkiyah berasal dari kata milku (‫ )ملك‬yang artinya
sesuatu yang berada dalam kekuasaannya, sedangkan milkiyah menurut istilah adalah
penguasaan terhadap sesuatu yang penguasaannya dapat melakukan sendiri tindakan-tindakan
terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dapat menikmati manfaatnya apabila tidak
bertentangan dengan hukum syara’.1

Konsep kepemilikan dijelaskan dalam Q.S Al-Jatsiyah ayat 12-13:

‫ وس ِخر لكم‬١٣ ‫هللا الدي سخر لكم البخر لتجر ي الفلك فيه بأمره ولتبتغوا من فضله‬

 ‫ما في السماوات وما في االرض‬

Artinya:

“Allahlah yang telah menundukkan untuk kalian lautan, agar bisa berjalan di atasnya dengan
kehendak-Nya, juga agar kalian mengambil kebaikannya. (Dialah) yang menundukkan untuk
kalian apa saja yang ada di langit dan bumi...”(Q.S Al-Jatsiyah:12-13).

Menjaga dan mempertahankan hak milik hukumnya wajib, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:

َ ^ُ‫^ل ُدوْ نَ أَ ْهلِ^ ِه فَه‬


‫(رواه‬ ‫^و َش^ ِه ْي ٌد‬ َ ^ِ‫^و َش^ ِه ْي ٌد و َم ْن قُت‬
َ ^ُ‫ َو َم ْن قُتِ َل ُدوْ نَ ِد ْينِ^ ِ^ه فَه‬.‫ َو َم ْن قُتِ َل ُدوْ نَ َد ِم ِه فَه َُو َش ِه ْي ٌد‬.‫َم ْن قُتِ َل ُدوْ نَ َمالِ ِه فَهُ َو َش ِه ْي ٌد‬
)‫البخارى ومسلم‬                                                       

Artinya:

1
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Persfektif Islam, Yogyakarta, BPFE-YOYAKARTA, 2004

1
“Siapa yang gugur dalam mempertahankan hartanya ia syahid, siapa yang gugur dalam
mempertahankan darahnya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan agamanya ia
syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan keluarganya ia syahid “(HR. Bukhari dan
Muslim).

Islam mengajarkan bahwa hak milik berfungsi sosial. Hal ini berarti bahwa kepentingan
orang lain harus menjadi perhatian setiap pemilik benda. Apabila di hubungkan dengan segi-
segi ajaran Islam tentang fungsi hak milik, orang tidak mempunyai hak mutlak bertindak
terhadap benda miliknya dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Allah Swt. telah
menciptakan segala yang ada di dunia ini, untuk memenuhi kebutuhan manusia dan juga
makhluk lainnya. Allah juga menjelaskan harta kekayaan yang dimiliki manusia adalah berasal
dari pemberianNya ( QS. Al Baqarah : 3 ) serta (QS. Al Nisa : 32)

2.  Sebab-sebab Kepemilikan

Harta benda atau barang dan jasa dalam Islam harus jelas status kepemilikannya, karena
dalam kepemilikan itu terdapat hak-hak dan kewajiban terhadap barang atau jasa, misalnya
kewajiban zakat itu apabila barang dan jasa itu telah menjadi miliknya dalam waktu tertentu.
Kejelasan status kepemilikan dapat dilihat melalui sebab-sebab berikut:

a.    Barang atau harta itu belum ada pemiliknya secara sah (Ihrazul Mubahat).
Contohnya : Ikan di sungai, ikan di laut, hewan buruan, Burung-burung di alam bebas,
air hujan dan lain-lain.

b.    Barang atau harta itu dimiliki karena melalui akad (bil Uqud), contohnya : lewat
jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, hibah atau pemberian dan lain-lain.

c.    Barang atau harta itu dimiliki karena warisan (bil Khalafiyah), contohnya :
mendapat bagian harta pusaka dari orang tua, mendapat barang dari wasiat ahli waris.

d.   Harta atau barang yang didapat dari perkembang biakan ( minal mamluk).
Contohnya : Telur dari ayam yang dimiliki, anak sapi dari sapi yang dimiliki dan lain-
lain.2

2
An Nabhani,Taqyudin, Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti. 2009

2
3. Macam-macam Kepemilikan

Kepemilikan terhadap suatu harta ada tiga macam, yaitu :

a.  Kepemilikan penuh (milk-taam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan terhadap benda
atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan secara hukum.

b.  Kepemilikan materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang
terbatas kepada penguasaan materinya saja.

c.  Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang
terbatas kepada pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan secara hukum untuk menguasai
harta itu.

Menurut Dr. Husain Abdullah kepemilikan dapat dibedakan menjadi :

a.        Kepemilikan pribadi (Individu), yaitu suatu harta yang dimiliki seseorang atau


kelompok, namun bukan untuk umum, Contohnya: Rumah, Mobil, Sawah dan lain-lain.

b.        Kepemilikan publik (umum), yaitu harta yang dimiliki oleh banyak


orang. Contohnya: Jalan Raya, laut, lapangan Olah Raga dan lain-lain.

c.          Kepemilikan Negara

Contohnya: Gedung Sekolah Negeri, Gedung Pemerintahan, Hutan dan lain-lain.3

B. Hak Milik

1. Pengertian Hak Milik

Menurut pengertian umum, hak ialah:

3
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta, Gaya Media Pratama. 2000

Share on FacebookTweet on TwitterPlus on Google+

3
‫ع س ُْلطَةَ أوْ تَ ْكلِ ْيفَا‬
ُ ْ‫صاصٌ يُقَرِّ ُربِ ِه ال َّشر‬
َ ِ‫اِجْ ت‬

Artinya: “Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasan atau
suatu beban hukum.”

Pengertian hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ‘Uşul :

ِ ‫خَاص َو ْاألَ ْم َو‬


‫ال‬ ِ ‫ْث ْاألَ ْش‬
ُ ‫اس ِم ْن َحي‬ َ ِ‫ص ال َّشرْ ِعيَّ ِة الَّتِى تَ ْنتَ ِظ ُم َعلَى َسبِ ْي ِل ا ِإل ْل َز ِام َعالَئ‬
ِ َّ‫ق الن‬ ِ ْ‫َمجْ ُموْ َعةُ ْالقَ َوا ِع ِد َوالنُّصُو‬

Artinya:  “Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta.”

Ada juga hak didefinisikan sebagai berikut:

ٍ ‫الس ُّْلطَةُ َعلَى ال َّشي ٍْئ أَوْ َما يَ ِجبُ َعلَى َش ْخ‬
‫ص لِ َغي ِْر ِه‬

Artinya:  “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang
lainnya.”

Milik didefinisikan sebagai berikut:

‫اع ِع ْن َد َعد َِم ْال َمانِ ِع ْالشَرْ ِع ِّي‬


ِ َ‫ف َو ْا ِال ْنتِف‬ َ َّ‫صا ِحبُهُ شَرْ عًا اَ ْن يَ ْستَبِ َّد بِالت‬
ِ ُّ‫صر‬ َ ِ‫اِ ْخت‬
َ ُ‫صاصٌ يُ ْم ِكن‬

Artinya:  “Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara


bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang  syar`i.”4

Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara`, orang tersebut
bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia
sendiri maupun dengan perantara orang lain.5

Islam juga memberikan batas-batas tentang hak milik agar manusia mendapat
kemaslahatan dalam pengembangan harta tadi dalam menafkahkan dan dalam perputarannya,
yaitu melalui prinsip-prinsip diantaranya:

1. Hakikatnya harta itu adalah milik Allah Swt.

4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 33

5
Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1982, hlm. 326

4
2.  Harta kekayaan jangan sampai hanya ada atau dimiliki oleh segolongan kecil
masyarakat
3. Ada barang-barang yang karena dlaruri-nya adalah untuk kepentingan masyarakat
seluruhnya.6

2. Pembagian Hak Milik


Secara umum Hak milik terbagi 2, yaitu:
a. Hak Milik Khusus

Hak milik khusus ialah kepemilikan manusia atas suatu barang/benda berdasarkan
usaha dan kerja kerasnya selama barang tersebut diperoleh dengan cara yang halal
dan tidak melanggar syariat islam. Contoh hak milik Pribadi/khusus ialah, Tanah,
Rumah, Mobil, zakat, harta warisan, dan sebagainya.

b. Hak Milik Umum


Hak milik Umum ialah hak milik yang bersifat umum. Sebagaimana sabda
Rasulullah yang berbunyi:

ِ َّ‫ث فِي ْالكَإَل ِ َو ْال َما ِء َوالن‬


‫ار‬ ٍ ‫ْال ُم ْسلِ ُمونَ ُش َر َكا ُء فِي ثَاَل‬

Artinya: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api” (HR.
Abu Dawud, Ibnu Maajah, Ahmad).

Dalam hadits diatas disebutkan bahwa Padang rumput, api dan air merupakan hak milik
semua kaum muslimin. Adapun benda atau barang lain yang termasuk hak milik umum adalah
garam, hujan, udara, sekolah, jalan raya, dan lain sebagainya.

C. Keseimbangan dunia akhirat

6
 A. Dzajuli, Fiqh Siyasah, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2003, hlm. 209-212

5
Agama islam adalah agama yang sempurna. Islam telah mengatur bagaimana cara kita
hidup di dunia yang baik dan benar. Termasuk juga mengatur pentingnya keseimbangan hidup
di dunia dan di akhirat.

Sebagai orang islam kita harus mampu memilih mana yang terbaik untuk diri kita
sendiri di dunia maupun di akhirat. Mengejar urusan dunia merupakan hal yang penting, namun
akan lebih baik jika kita juga memikirkan urusan akhirat. Apabila segala kebutuhan dunianya
terpenuhi, namun dia tidak pernah melakukan sedikitpun amal untuk akhiratnya, ia akan
memperolah kerugian yang sangat besar. Sebaliknya kita juga tidak boleh setiap waktu hanya
beribadah kepada Allah, kita juga harus memikirkan bagaimana kehidupan kita di dunia ini.
Maka keduanya haruslah berjalan seimbang, yaitu denga cara memenuhi kebutuhan hidup di
dunia dengan mengutamakan kepentingan akhirat.

Sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Anas yang
artinya: “bukankah orang yang paling baik diantara kamu orang yang meninggalkan
kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia
sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu
menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain”(HR. Ibnu Asakir dan
Anas).7

Hadits lain yang artinya sebagai berikut: “mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh
allah dari pada mukmin yang lemah, sedangkan pada masing masing ada kebaikannya.
Bersemangatlah kamu untuk mencapai sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mohonlah
pertolongan kepada allah dan janganlah kamu merasa tidak berdaya.”(HR. Muslim).8

   Rasulullah memotivasi kita agar kita mmenjadi mukmin yang kuat karena allah
menyukai mukmin yang kuat. Dalam mencapai seseuatu yang bermanfaat kita harus
bersemangat dalam melakukan sesuatu yangt bermanfaat harus juga tetap di iringi dengan
memohon pertolongan allah agar dipermudah jalannya. Sebagai umat islam kita dilarang
menjadi umat yang lemah karena dapat merugikan diri sendiri.
7
https://darmanpoltek.wordpress.com/2013/03/18/keseimbangan-dunia-akherat/
8
http://hesdata.blogspot.com/2016/03/hadist-tentang-keseimbangan-hidup.html

6
D. Kejujuran

Kejujuran adalah mengatakan sesuatu dengan sebenar-benarnya. Definisi yang lain dari
kejujuran ialah berkata atau berbuat sesuatu dengan sebenar-benarnya, tidak ada unsur
kebohongan atau manipulasi didalamnya. Kejujuran adakalanya dalam hal ucapan dan
adakalanya dalam hal perbuatan.

Dalam hal ucapan misalnya ia senantiasa berkata jujur dalam berbicara. Dan dalam hal
perbuatan misalnya dalam berdagang ia tidak pernah mengurangi timbangan ketika memberikan
kembalian kepad aorang buta, ia berikan sesuai dengan apa yang seharusnya diterima oleh
orang buta tersebut, dan dalam hal perkantoran misalnya ia tidak pernah korupsi, ia selalu
melaporkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaannya sesuai dengan apa yang
ada di lapangan.

Jujur dalam bahasa indonesia adalah lurus hati, tidak berbohong dalam masalah berkata
apa adanya, tidak curang dalam masalah permainan, ataupun ikut dalam aturan yang berlaku.
Sedangkan kejujuran adalah sifat dari jujur, ketulusan dan kelurusan dari hati. kejujuran adalah
lawan kata dari kedustaan. Kejujuran dalam bahasa arab adalah Ash-Shidqu, yaitu percaya,
benar, berkata benar. Dengan demikian kejujuran adalah Sifat dari manusia yang timbul dari
hati dan keluar apa adanya tanpa adanya kesalahan yang mendorong akan perbuatan yang tidak
sia-sia.

Kejujuran secara istilah merupakan kesesuaian antara ucapan maupun perkataan, sesuai
antara informasi dan kenyataan, kejujuran merupakan ketegasan dan kemantapan hati; dan
sesuatu yang baik yang tidak dicampuri dengan kedustaan atau kebohongan.

Imam Ghozali R.A Membagi sifat jujur atau benar ( Shiddiq ) sebagai berikut :

1. Jujur dalam niat atau Berkehendak.

Maksudnya adalah perbuatan yang tidak ada dorongan apapun melainkan dorongan
perbuatan karena Allah SWT.

2. Jujur dalam Perkataan.

7
Segala perkataan, informasi, berita harus sesuai dengan fakta yang ada. kabar yang
diterima sesuai dengan kenyataan yang ada.  perkataan mempunyai kekuatan, motivasi,
dan filsafat, dengan berkata jujur ia telah mengatakan yang baik, perkataan yang selalu
dijaga demi kemaslahatan Agama.

3. Jujur dalam Perbuatan.

Berbuat sesuatu dengan kesungguhan sehingga ia mendapatkan hasil yang


diusahakannya, usaha yang tidak dengan kecurangan, yang menjadikan perbuatan
batinnya (terbiasa) dan menjadi tabiat bagi dirinya. Diantara kriteria yang harus ada
dalam sifat amanah tersebut adalah sifat jujur. Kerena seorang pembohong tidak akan
mungkin dapat dipercaya oleh orang lain.

Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad Rasulullah SAW bersabda:

‫^رةَ أَ َّن‬
َ ^‫^ع ع َْن أَبِى ه َُر ْي‬
ٍ ^ِ‫وس^ى َح^ َّدثَنَا ابْنُ لَ ِهي َع^ ةَ َح^ َّدثَنَا أَبُ^^و األَ ْس^ َو ِد ع َْن َع ْب^ ِد هَّللا ِ ب ِْن َراف‬
َ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ َح َّدثَنِى أَبِى َح َّدثَنَا َح َسنُ بْنُ ُم‬
‫ق َو ْال َك^ ِذبُ َج ِميع^ا ً َوالَ تَجْ تَ ِم^ ُع‬
ُ ‫الص^ ْد‬
ِ ‫ئ َوالَ يَجْ تَ ِم ُع‬ ِ ‫اإلي َمانُ َو ْال ُك ْف ُر فِى قَ ْل‬
ٍ ‫ب ا ْم ِر‬ ِ ‫ قَا َل « الَ يَجْ تَ ِم ُع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫َرس‬
ً ‫» ْال ِخيَانَةُ َواألَ َمانَةُ َج ِميعا‬
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Abdullah telah menceritakan kepadaku Ayahku
telah menceritakan kepadaku Hasan bin Musa telah menceritakan kepadaku Abu Aswad
dari Abdullah bin Rafi’dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
tidak bisa berkumpul dalam hati seseorang iman dan kufur dan tidak bisa berkumpul
bersama-sama sifat jujur dan sifat bohong dan tidak bisa berkumpul bersama-sama
safat khianat dan amanah.(HR. Imam Ahmad).
Dari hadits diatas dapat kita ketehui bahwa antara sifat jujur dan bohong tidak bisa
berkumpul menjadi satu dalamk hati seseorang bahkan kedua sifat tersebut sangatlah
berlawanan antara satu dengan yang lain sebagaimana sifat amanah dengan khianat.

Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan


keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

8
َ ‫ق َحتَّى يُ ْكت‬
‫َب ِع ْن^ َد‬ َ ‫الص ^ ْد‬
ِّ ‫ق َويَتَ َح^ رَّى‬ ُ ‫ق يَ ْه ِدى إِلَى ْالبِ ِّر َوإِ َّن ْالبِ َّر يَ ْه ِدى إِلَى ْال َجنَّ ِة َو َما يَزَا ُل ال َّر ُج ُل يَصْ ُد‬ َ ‫ق فَإ ِ َّن الصِّ ْد‬ ِ ‫ص ْد‬ ِّ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِال‬
‫ب‬ َ ‫ار َو َم^^ا يَ^^زَا ُل ال َّر ُج^ ُل يَ ْك^ ِذبُ َويَتَ َح^ رَّى ْال َك^ ِذ‬
ِ َّ‫ُور َوإِ َّن ْالفُجُو َر يَ ْه^ ِدى ِإلَى الن‬
ِ ‫ب يَ ْه ِدى إِلَى ْالفُج‬ َ ‫ب فَإ ِ َّن ْال َك ِذ‬ َ ‫صدِّيقًا َوإِيَّا ُك ْم َو ْال َك ِذ‬
ِ ِ ‫هَّللا‬
‫َب ِع ْن َد هَّللا ِ َك َّذابًا‬
َ ‫َحتَّى يُ ْكت‬

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan


megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada
surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia
akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat
dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan
akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk
berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Muslim).

Hadis diatas menjelaskan tentang kejujuran yang menunjukkan jalan kebaikan yaitu
berbuat amal sholeh dengsn ikhlas dan jauh dari celaan manusia dan kebaikan itu menunjukkan
jalan kesurga. Dan jika seseorang itu berbuat jujur pada setiap perkara dan sifat jujur itu telah
melekat padanya maka ia tergolong orang-orang yang shiddiq dan ditetapkan pahalanya.

Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

َ ‫ق طُ َمأْنِينَةٌ َوإِ َّن ْال َك ِذ‬


ٌ‫ب ِريبَة‬ َ ‫ك إِلَى َما الَ يَ ِريبُكَ فَإ ِ َّن الصِّ ْد‬
َ ُ‫َد ْع َما يَ ِريب‬

“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya


kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan
jiwa” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, hasan shahih).

Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang
namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu
membawa kegelisahan dalam jiwa.

9
Terkhusus lagi, terdapat perintah khusus untuk berlaku jujur bagi para pelaku bisnis
karena memang kebiasaan mereka adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi
melariskan barang dagangan.

Dari Rifa’ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu
menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka
pada beliau. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

‫ق‬ َ ‫ون يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة فُجَّارًا إِالَّ َم ِن اتَّقَى هَّللا َ َوبَ َّر َو‬
َ ‫ص َد‬ ^َ ُ‫إِ َّن التُّجَّا َر يُ ْب َعث‬

“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai
orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik
dan berlaku jujur” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih dilihat dari jalur lain).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ َو ْال َم ْك ُر َو ْال ِخدَا‬،‫ْس ِمنَّا‬


ِ َّ‫ع فِي الن‬
‫ار‬ َ ‫َم ْن َغ َّشنَا فَلَي‬

“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang
berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban, shahih).

Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ت بَ َر َكةُ بَي ِْع ِه َما‬


ْ َ‫ َوإِ ْن َكتَ َما َو َك َذبَا ُم ِحق‬، ‫ك لَهُ َما فِى بَ ْي ِع ِه َما‬ َ َ‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا – أَوْ ق‬
َ ‫ال َحتَّى يَتَفَ َّرقَا – فَإ ِ ْن‬
ِ ‫ص َدقَا َوبَيَّنَا ب‬
َ ‫ُور‬ ِ َ‫ْالبَيِّ َعا ِن بِ ْال ِخي‬

Artinya: “Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar)
selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang,
maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya,
bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah
keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih).

10
Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan berbagai jalan
keluar dan kelapangan. Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika
menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus
berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur.
Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian
mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.”

11
BAB II
HADITS TENTANG PRODUKSI

A. Produksi
1. Pengertian Produksi

Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian
dimanfaatkan oleh konsumen. Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input
menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas.
Pendefinisian produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter
yang melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda
mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut pengertian produksi
menurut para ekonomi muslim kontemporer.

a. Karf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha
manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai
sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi
produksi secaraa merata)
c. Al Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan
barang dan jasa yang merupakan fardlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang
pemenuhannya bersifat wajib.

Dalam definisi-definisi tersebut diatas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam
perspektif ekonomi islam padaa akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya,
meskipun definisi-definisi tersebut berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan dengan moral islam,

12
harus menjadi fokus atau target dari kegiataan produksi. Produksi adalah proses mencari,
mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan
mashlahah bagi manusia. Produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilkan output
serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.9

2. Prinsip-prinsip Produksi dalam Islam

Beberapa prinsip yang diperhatikan dalam prduksi, antara lain dikemukakan Muhammad al-
Mubarak, sebagai berikut:

a. Dilarang memproduksi dan memperdagangkan Komoditas yang tercela karena


bertentangan dengan syariah. Di larang melakukan kegiatan produksi yang mengarah
kepada kedzaliman.
b. Larangan melakukan ikhtikar (penimbunan barang).
c. Memelihara lingkungan

Di bawah ini ada beberapa implikasi mendasar  bagi kegiatan produksi dan
perekonomian secara keseluruhan, antara lain :

a. Seluruh kegiatan produksi  terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islam.
b. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakata.
c. Permasalahan ekonomi  muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.10

3. Tujuan Produksi

Menurut Nejatullah ash-Shiddiqi, tujuan produksi sebagai berikut:

a. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar.


b. Pemenuhan kebutuhan keluarga.
c. Bekal untuk generasi mendatang.
d. Bantuan kepada masyarakat dalam rangka beribadah kepada Allah swt.

9
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal.
230
10
http://duniadibaca.blogspot.com/2015/11/produksi-dalam-islam.html

13
4. Faktor- faktor Produksi
a. Tanah dan segala potensi ekonomi di anjurkan al-Qur’an untuk diolah dan tidak
dapat dipisahkan dari proses produksi.
b. Tenaga kerja terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui produksi 
c. Modal, Manajemen dan Teknologi
5. Etika dalam Produks

Etika dalam berproduksi yaitu sebagai berikut:

a. Peringatan Allah akan kekayaan alam


b. Berproduksi dalam lingkaran yang halal
c. Etika mengelola sumber daya alam dalam berproduksi.
d. Etika dalam berproduksi memanfaatkan kekayaan alam

Khalifah dimuka bumi tidak hanya berdasarkan pada aktivitas menghasilkan daya guna
suatu barang saja melainkan Bekerja dilakukan dengan motif kemaslahatan untuk mencari
keridhaan Allah SWT. Namun secara umum etika dalam islam tentang muamalah Islam, maka
tampak jelas dihadapan kita empat nilai utama, yaitu rabbaniyah, akhlak, kemanusiaan dan
pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi
Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak
jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang
empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah
Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi.11

6. Hadits tentang Produksi


Rasulullah saw. Bersabda :

, ‫ستَ ِط ْع اَنْ يَ ْز َر َع َها َوع ََج َز َع ْن َها‬ْ َ‫ فَإٍنْ لَ ْم ي‬, ‫ض فَ ْليَ ْز َر ْع َها‬
ٌ ‫ (( َمنْ َكانَتْ لَهُ اَ ْر‬: ‫ قَال رسول هلل صلى هللا عليه وسلم‬,‫عَنْ َجا بِرقال‬
)) ُ‫ َواَل يُ َؤا ِج ْر هَا إِيَّاه‬, ‫سلِ َم‬ ْ ‫فَ ْليَ ْمنَ ْح َها أَ َخاهُ ا ْل ُم‬

11
Idri, 2015. Hadist Ekonomi, Jakarta : Prenadamedia Group

14
Artinya : “ Dari Jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : barang siapa mempunyai
sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu
menanami, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah
menyewakannya (HR. Muslim).

Pemahaman produksi dalam Islam memiliki arti sebagai bentuk usaha keras dalam
pengembangan faktor-faktor sumber produksi yang diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Qur’an surah Al-Maidah ayat 87. Islam menghargai seseorang yang
mengelolah bahan baku kemudian menyedekahkannya atau menjualnya sehingga manusia dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya atau untuk meningkatkan ekonomi untuk mencukupi
kebutuhannya sendiri. Pekerjaan seseorang yang sesuai keterampilan yang dimiliki,
dikategorikan sebagai produksi, begitupun kesibukan untuk mengolah sumber penghasilan juga
dapat dikatakan produksi.

Produksi tidak hanya menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada menjadi ada,
tetapi menjadikan sesuatu dari unsur-unsur lama yaitu alam menjadi bermanfaat. Dari binatang
ternak misalnya, orang dapat mengambil kulitnya untuk dijadikan pakaian dan barang jadi
lainnya, dari susu binatang ternak dapat diperas dijadikan minuman susu segar ataupun susu
bubuk untuk bayi. Manusia harus mengoptimalkan pikiran dan keahliannya untuk
mengembangkan sumber-sumber investasi dan jenis-jenis usaha dalam menjalankan apa yang
telah di syari’atkan.12

B. Wirausaha
1. Hadits tentang Wirausaha
a. Hadis riwayat Baihaqi tentang kecintaan Allah terhadap orang yang berkarya.

‫ { إن هللا يحب الم^^ؤمن‬: ‫ ق^ال رس^^ول هللا ص^لى هللا علي^^ه وس^^لم‬: ‫ قال‬، ‫ عن أبيه‬، ‫ عن سالم‬، ‫عن عاصم بن عبد هللا‬
) ‫( أخرجه البيهقي‬             } ‫ { الشاب المحترف‬: ‫المحتر } وفي رواية ابن عبدان‬

Artinya: Dari Ashim bin Ubaidillah, dari Salim, dari bapaknya, dia berkata, Rasulullah
SAW. telah bersabda “sesungguhnya Allah mencintai seorang mukmin yang

12
Fauzia, Ika Yunia. 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group

15
berkarya/ bekerja keras.” Dan di dalam riwayat Ibnu Abdan, “pemuda yang
berkarya/ bekerja keras.” (H.R. Baihaqy)
b. Hadis Riwayat Ad Dhailamy dan Ibnu Asakir tentang keseimbangan hidup di dunia
dan di akhirat.

ُ‫آلخ َرتِ^ ِه َوال آ ِخ َرتُ^هُ لِ^ ُد ْنيَاه‬


ِ ُ‫ْ^ر ُك ْم َم ْن تَ^ َركَ ُد ْنيَ^اه‬ َ ‫ لَي‬: ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َس^لَّ َم‬
ِ ‫ْس بِ َخي‬ َ ِ‫ قَا َل َر ُس ُل هللا‬، ‫ك قَا َل‬ َ ‫ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمل‬
) ‫( رواه الديلمي وابن عساكر‬   ‫غ إِلَى اآل ِخ َر ِة َوالَتَ ُكوْ نُوْ ا كالَّ َعلَى النَّاس‬ ٌ ‫صيْبُ ِم ْنهُ َما َج ِم ْيعًا فَإ ِ َّن ال ُّد ْن َي بَال‬ ِ ُ‫ى ي‬َّ ‫َحت‬

Artinya: Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: bukankah orang
yang paling baik di antara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia
untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia
sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia
mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban
orang lain. (H.R. Ad Dailamy dan Ibnu Asakir)

c. Hadis Riwayat Al Bukhari tentang Nabi Daud makan dari usahanya sendiri

‫^ط خَ ْي^رًا ِم ْن أَ ْن‬


ُّ ^َ‫ط َعا ًم^^ا ق‬ َ ^‫ َم^^ا أَ َك‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم قَا َل‬
َ ‫^ل اَ َح^ ٌد‬ َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ عَن النبي‬
ِ ‫ب َر‬ َ ‫ع َْن ْال ِم ْقد َِام ب ِْن َم ْع ِديَ ْك ِر‬
) ‫(رواهالبخارى‬ ]1[.‫ي هللا دَا ُو َد َعلَ ْي ِه ال َّسالَم َكانَ يَأْ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬ َّ ِ‫ َوإِ َّن نَب‬، ‫يَأْ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬

Artinya: Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA. : Nabi SAW. bersabda, “tidak ada
makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari
uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud AS. makan dari hasil
keringatnya sendiri.” (H.R. Al Bukhori)13

2. Pengertian Wirausaha

Wirausaha/ wiraswasta atau yang sering dipadankan dengan entrepreneur, secara bahasa


(etimologis) wira berarti perwira, utama, teladan, berani. Swa berarti sendiri, sedangkan sta
berarti berdiri. Jadi wiraswasta keberanian berdiri sendiri di atas kaki sendiri. 14 Dengan
13
Imam Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyadus Syari’, Syarah Shahih al Bukhori (Beirut:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996), hlm. 234.
14
Handri Rahardjo, Kalo Gak Mau Kaya, Jangan Berwirausaha (Yogyakarta: Penerbit Cakrawala, 2009), hlm. 15.

16
demikian pengertian wiraswasta atau wirausaha sebagai padanan entrepreneuradalah orang
yang berani membuka lapangan pekerjaan dengan kekuatan sendiri, yang pada gilirannya tidak
saja menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga menguntungkan masyarakat, karena dapat
menyerap tenaga kerja yang memerlukan pekerjaan.15
Isi kandungan hadis pertama menjelaskan bahwa Allah SWT. suka atau lebih mencintai
hamba-hambanya yang mukmin untuk berkarya atau bekerja keras. Dengan demikian bisa
diambil poin penting dari hadis pertama tentang berkarya. Dalam berwirausaha, seseorang harus
mempunyai jiwa untuk berkarya, dan biasanya mereka mempunyai karakteristik-karakteristik
berwirausaha yang melekat pada dirinya.

3. Karakteristik Wirausaha
Berwirausaha mempunyai beberapa karakteristik yang menonjol, di antaranya adalah:
a.  Proaktif, suka mencari informasi yang ada hubungannya dengan dunia yang
digelutinya, agar mereka tidak ketinggalan informasi sehingga segala sesuatunya
dapat disikapi dengan bijak dan tepat.
b. Produktif, mementingkan pengeluaran yang bersifat produktif daripada yang bersifat
konsumtif merupakan kunci untuk sukses. Memperhitungkan dengan teliti, dan
cermat dalam memutuskan pengeluaran uang untuk hal-hal yang produktif bisa
menekan kecenderungan pada hal-hal yang bersifat kemewahan, dan gengsi yang
tidak menghasilkan keuntungan.
c. Pemberdaya, memahami manajemen, menangani pekerjaan dengan membagi habis
tugas dan memberdayakan orang lain dalam pembinaannya untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Dengan demikian di satu sisi tujuan bisnisnya tercapai, dan di sisi
lain orang yang bekerja padanya juga di berdayakan sehingga mendapat pengalaman,
yang pada gilirannya nanti dapat berdiri sendiri berkat pemberdayaan yang
dilakukan oleh pemimpinnya.
d. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW. “Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas
kepemimpinannya”.

15
Ma’ruf Abdullah, Wirausaha Berbasis Syari’ah (Banjarmasin: Antasari Press, 2011), hlm. 1.

17
e. Tangan di atas, setiap rezeki yang diterima harus ada sebagian yang dibagikan kepada
orang-orang yang kurang beruntung yang diberikan secara ikhlas. Bagi para
wirausaha tangan di atas (suka memberi) ini merupakan hal penting dalam hidupnya
karena setiap pemberian yang ikhlas menambah kualitas dan kuantitas rezekinya dan
hidupnya penuh berkah. Itulah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. dalam salah
satu hadisnya “Tangan di atas lebih mulia dari tangan yang di bawah”.
f. Rendah hati, sejatinya menyadari keberhasilan yang dicapainya bukan sepenuhnya
karena kehebatannya, tetapi ia sadar betul di samping upayanya yang sungguh-
sungguh ia juga tidak terlepas dari pertolongan Allah, dan harus diyakini betul bagi
para wirausaha muslim, sehingga akan selalu bersyukur dan tawadhu (rendah hati).
g. Kreatif, mampu menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa
dikembangkan, sehingga ia tidak pernah khawatir kehabisan lahan bisnisnya.
h. Inovatif, sifat inovatif selalu mendorong kembali kegairahan untuk meraih kemajuan
dalam berbisnis. Mampu melakukan pembaruan-pembaruan dalam menangani bisnis
yang digelutinya, sehingga bisnis yang dilakukannya tidak pernah usang dan selalu
dapat mengikuti perkembangan zaman.
Bekerja keras bernilai ibadah dan mendapat pahala apabila dilakukan dengan ikhlas,
Islam memposisikan bekerja sebagai kewajiban kedua setelah shalat. Dengan bekerja itu
bernilai ibadah, maka segala yang kita kerjakan harus sesuai dengan tuntutan ibadah dan tidak
bertentangan dengan ketentuan syari’ah. Semua yang kita lakukan dalam berwirausaha akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ketika nanti kita berhadapan dengan pengadilan Allah
di hari kiamat. Baik cara mendapatkannya, mengumpulkannya, sumber kehalalannya, serta
pemanfaatan harta yang dikumpulkan.
Bekerja keras dengan etos kerja Islami maksudnya bekerja yang didasari budaya kerja
Islami yang bertumpu pada akhlakul karimah. Ciri-ciri orang yang bekerja dengan etos kerja
Islami nampak pada sikap dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang dilandasi oleh
keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Berikut
sikap dan Prilaku tersebut :
a. Menghargai waktu
b. Ikhlas
c. Jujur

18
d. Komitmen
e. Istiqomah
f. Disiplin
g. Konsekuen
h. Percaya diri
i. Kreatif
j. Bertanggung jawab
k. Leadership
l. Berjiwa wirausaha

Kemudian dalam penjelasan hadis yang kedua, berkaitan dengan keseimbangan hidup di
dunia dan di akhirat. Kehidupan yang baik ialah kehidupan seseorang yang mampu
menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhiratnya dengan menyadari bahwa hidup di dunia
akan ada akhirnya, dan bekal hidup di akhirat hanyalah amal shaleh yang kita lakukan selama
hidup di dunia. Sebagai umat Islam kita dilarang untuk menjadi beban orang lain, maka dari itu
kita harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan kemampuan kita
sendiri.
Keselarasan hidup di dunia dan di akhirat juga disebutkan dalam hadis lain riwayat Ibnu
Asakir, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selamanya. Dan bekerjalah
untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”. Maksudnya hadis ini ialah menggambarkan
kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi, yakni bagaimana seseorang menjalani kedua
kehidupan tersebut.16

16
Buya H.M. Alfis Chaniago dan Saiful El-Usmani, Kumpulan Hadis Pilihan (Jakarta: Dewan Mubaligh Indonesia,
2008), hlm. 98.

19
BAB III
HADITS TENTANG KONSUMSI
A. Pengertian Konsumsi

Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi


kebutuhan. Konsumsi meliputi keperluan, kesenangan dan kemewahan. Kesenangan atau
keindahan diperbolehkan asal tidak berlebihan, yaitu tidak melampaui batas yang dibutuhkan
oleh tubuh dan tidak pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Ajaran Islam sebenarnya bertujuan untuk mengingatkan umat manusia agar


membelanjakan harta sesuai kemampuannya. Pengeluaran tidak seharusnya melebihi
pendapatan dan juga tidak menekan pengeluaran terlalu rendah sehingga mengarah pada
kebakhilan. Manusia sebaiknya bersifat moderat dalam pengeluaran sehingga tidak mengurangi
sirkulasi kekayaan dan juga tidak melemahkan kekuatan ekonomi masyarakat akibat
pemborosan.17

a. Halal

‫اس فَ َم ْن اتَّقَى‬ ٌ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل ْال َحالَ ُل بَي ٌِّن َو ْال َح َرا ُم بَي ٌِّن َوبَ ْينَهُ َما َم َشبَّه‬
ِ َّ‫ات الَ يَ ْعلَ ُمهَ^^ا َكثِ^^ي ٌر ِم ْن الن‬ َ ِ‫ُول هللا‬
َ ‫َرس‬
‫ك‬ ٍ ِ‫ك أَ ْن يُ َواقِ َعهُ أَالَ َوإِ َّن لِ ُك ِّل َمل‬ ِ ‫اع يَرْ عَى َحوْ َل ْال ِح َمى ي‬
ُ ‫ُوش‬ ٍ ‫ت َك َر‬ ِ ‫ض ِه َو َم ْن َوقَ َع فِى ال ُّشبُهَا‬ِ ْ‫ت ا ْستَ ْب َرأَ لِ ِدينِ ِه َو ِعر‬
ِ ‫ْال ُم َشبَّهَا‬
‫َت فَ َس^ َد‬ ْ ‫ص^لَ َح ْال َج َس^ ُد ُك ُّلهُ َوإِ َذا فَ َس^د‬ ْ ‫ص^لَ َح‬
َ ‫ت‬ ْ ‫ار ُمهُ أَالَ َوإِ َّن فِي ْال َج َس ِد ُم‬
َ ‫ض^ َغةً إِ َذا‬ ِ ‫ض ِه َم َح‬ِ ْ‫ِح ًمى أَالَ إِ َّن ِح َمى هللاِ فِى أَر‬
ُ‫ال َج َس ُد ُكلُّهُ أَالَ َو ِه َي ْالقَ ْلب‬.
ْ
Artinya:
“Nabi SAW bersabda: “Halal itu jelas,haram juga jelas,di antara keduanya adalah
subhat,tidak banyak manusia yang mengetahui. Barang siapa menjaga diri dari
subhat, maka ia telah bebas untuk agama dan harga dirinya,barang siapa yang
terjerumus dalam subhat maka ia diibaratkan pengembala disekitar tanah yang di
larang yang dihawatirkan terjerumus. Ingatlah sesungguhnya setiap
pemimpin   punya bumi larangan. Larangan Allah adalah hal yang di haramkan oleh
17
Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h. 55

20
Allah, ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging jika baik
maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya, ingatlah daging
itu adalah hati.”18

Ibnu Katsir berkata, Allah menjelaskan tentang tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha
Memberi kepada seluruh makhluknya. Dia kemudian memberitahukan akan izin-Nya terhadap
segala sesuatu (sumber daya) yang ada di bumi untuk dimakan dengan syarat halal, selama tidak
membahayakan akal dan badan.

Halal yang murni, misalnya adalah buah-buahan, binatang sembelihan, minuman sehat,
pakaian dari kapas atau wol, pernikahan yang sah, warisan, rampasan perang dan hadiah.

Haram yang murni misalnya bangkai, darah, babi, arak, pakaian sutra bagi kaum lelaki,
pernikahan sesama mahram, riba, hasil rampok dan curian.

Sementara diantara keduanya adalah syubhat. Syubhat adalah beberapa masalah yang
diperselisihkan hukumnya, seperti daging kuda, keledai, biawak, minuman anggur yang
memabukkan apabila banyak, pakaian kulit binatang buas.19

Kewajiban seorang hamba adalah menjauhi segala bentuk syubhat dan syahwat
(keinginan) yang diharamkan, membersihkan hati dan anggota badannya dari segala hal yang
dapat melenyapkan iman. Hal itu dilakukan dengan memperbaiki hati dan anggota badannya
sehingga akan semakin kuat hatinya.20

b. Baik/Bergizi

َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَيُّهَا النَّاسُ إِ َّن هللاَ طَيِّبٌ الَ يَ ْقبَ ُل إِالَّ طَيِّبًا َوإِ َّن هللاَ أَ َم َر ْال ُم ْؤ ِمنِي َ^ْن بِ َما أَ َم َر بِ ^ ِه ْال ُمرْ َس ^لِين‬
َ ِ‫ُول هللا‬
َ ‫َرس‬
ِ ‫ال يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آمنُوا ُكلُ^^وا ِم ْن طَيِّبَ^^ا‬
‫ت‬ َ َ‫صالِحًا إِنِّي بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم َوق‬ َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ ِ ‫فَقَا َل يَا أَيُّهَا الرُّ ُس ُل ُكلُوا ِم ْن الطَّيِّبَا‬
ْ ‫الس^ َما ِء يَ^ا َربِّ يَ^ا َربِّ َو َم‬
ُ‫ط َع ُم^ هُ َح^ َرا ٌم َو َم ْش^ َربُه‬ َّ ‫ث أَ ْغبَ َر يَ ُم^ ُّد يَ َديْ^ ِه إِلَى‬
َ ‫َما َرزَ ْقنَا ُك ْم ثُ َّم َذ َك َرال َّرج َُل يُ ِطي ُل ال َّسفَ َر أَ ْش َع‬
َ‫ي بِ ْال َح َر ِام فَأَنَّى يُ ْستَ َجابُ لِ َذلِك‬
َ ‫َح َرا ٌم َو َم ْلبَ ُسهُ َح َرا ٌم َو ُغ ِذ‬
Artinya:

18
Abu Dzar Al Qilmani, Kunci Mencari Rejeki yang Halal (Jakarta: Mizan, 2004) h. 139.
19
Abu Dzar Al Qilmani, Kunci Mencari Rejeki yang Halal (Jakarta: Mizan, 2004) h. 217.
20
Ahmad Fuad, Pohon Iman, (Solo: Pustaka Arafah, 2008) h. 77.

21
Nabi SAW bersabda: “wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima
sesuatu kecuali yang baik. Ia memerintahkan pada orang-orang yang beriman apa
yang di perintahkan pada para utusan.”Kemudian baca ayat “Wahai para utusan,
makanlah dari yang baik dan beramAllah yang baik, karena sesungguhnya kami
mengetehui apa yang kalian kerjakan.” Baca ayat lagi “makanlah sesuatu yang baik
dari apa yang kami rezekikan padamu.”   Kemudian nabi menuturkan ada seorang
laki-laki yang bepergian jauh,rambutnya acak-acakan dan kotor. Dia menengadahkan
kedua tangannya ke atas seraya berdoa: ‘wahai tuhanku, wahai tuhanku’ sedang yang
di makan dan yang di minum serta yang di pakai adalah berasal dari yang haram,
mana mungkin doanya diterima.”21

Gizi dalam ajaran Islam, bukan sekedar mengharamkan makanan yang berbahaya bagi
kesehatan seperti bangkai, darah dan daging babi. Tetapi lebih dari itu, Islam juga
memperhatikan tentang kualitas bentuk makanan yang dihidangkannya. Islam memberikan
motivasi kepada umat Islam, agar menyediakan menu-menu yang bermanfaat/bergizi, seperti
daging binatang darat dan daging binatang laut serta segala sesuatu yang dihasilkan bumi seperti
biji-bijian, buah-buahan, termasuk juga minum madu dan susu karena nilai gizi yang tinggi.22

c. Tidak makan dan minum berlebihan


Sabda Rasulullah :

‫ت‬ْ َ‫ص^ ْلبَهُ فَ^إ ِ ْن َغلَب‬


ُ َ‫ات يُقِ ْمن‬ٌ ‫ط ٍن َحسْبُ اآْل ِد ِّمي لُقَ ْي َم‬ ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل َما َمأَل َ آ َد ِم ٌّي ِوعَا ًء َش ًّرا ِم ْن ب‬
َ ِ‫ُول هللا‬
َ ‫َرس‬
ِ َ‫ث لِلنَّف‬
‫س‬ ٌ ُ‫ب َوثُل‬ ٌ ُ‫ث لِلطَّ َع ِام َوثُل‬
ِ ‫ث لِل َّش َرا‬ ٌ ُ‫اآْل َد ِم ِّي نَ ْف ُسهُ فَثُل‬.
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda:” Anak Adam tidak mengisi penuh suatu wadah yang lebih
jelek dari perut,cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan yang dapat
menegakan punggungnya, apabila kuat keinginannya maka jadikanlah sepertiga
untuk makan, sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau udara.”23

21
Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h.58-59
22
Samahudi, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) h. 16
23
Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h. 59-60

22
Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang seringkali menahan rasa lapar dan
dahaga. Bukan karena mereka tidak mampu untuk mengkonsumsinya, tetapi karena Allah SWT
telah menetapkan bahwa jalan ini adalah jalan yang paling utama untuk ditempuh oleh
Rasulullah dan para pengikutnya. Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Umar r.a. dan Umar Bin
Khattab r.a. Padahal mereka mampu dan memiliki banyak makanan.

Manfaat tidak makan secara berlebihan terhadap perkembangan dan stabilitas rohani
(hati):

a) Hati yang menjadi lunak


b) Pikiran menjadi cemerlang
c) Jiwa menjadi jernih
d) Emosi menjadi rendah24

d. Tidak Mengandung Riba, Tidak Kotor/Najis dan Tidak Menjijikkan

َ‫ب َوثَ َم ِن ال َّد ِم َونَهَى ع َْن ْال َوا ِش َم ِة َو ْال َموْ ُشو َم ِة َوآ ِك ِل ال ِّربَا َو ُمو ِكلِ ^ ِه َولَ َعن‬
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬
َ ِ‫ُول هللا‬
َ ‫َرس‬
‫ص ِّو ُر‬ ْ
َ ‫ال ُم‬.
Artinya:
Nabi melarang hasil usaha dari anjing,darah,pentato dan yang di tato, pemakan dan
yang membayar riba,dan melaknat pembuat gambar.25

Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana ia mendapatkan harta
dan bagaimana ia menggunakannya. Mereka tidak peduli meskipun hartanya hasil dari
pencurian, suap, kegiatan ribawi, atau gaji dari pekerjaan haram. Padahal pada hari kiamat, ia
akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan bagaimana menggunakannya. Di sana
ia tentu akan mengalami kerugian dan kehancuran besar.26

Sementara orang-orang yang masuk dalam kegiatan riba tidak mengetahui bahwa semua
pihak yang berperan dalam kegiatan riba, baik yang secara langsung terjun dalam kegiatan riba,

24
Abu Dzar Al Qilmani, Kunci Mencari Rejeki yang Halal (Jakarta: Mizan, 2004) h. 159
25
Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h.61
26
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa (Jakarta: Darul Haq, 2003) h. 102.

23
perantara, atau para pembantu kelancaran kegiatan riba adalah orang-orang yang dilaknat
melalui lisan Nabi Muhammad SAW.

َ َ‫ َوق‬.‫ آ ِك َل ال ِّربَ^ا َو ُم َؤ ِّكلَ^هُ َو َكاتِبَ^هُ َو َش^ا ِه َد ْي ِه‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ هُ ْم‬:‫^ال‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬
َ  ِ‫ لَ َعنَ َرسُوْ ُل هللا‬:‫ال‬ ِ ‫ع َْن َجابِ ِر َر‬
‫ َس َوا ٌء‬.
Artinya:
Dari Jabir r.a. berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba,
penulis dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya.” Ia berkata, “mereka itu sama
saja”. (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, maka setiap umat Islam tidak diperkenankan bekerja sebagai
sekretaris, petugas pembukuan, penerima uang nasabah, nasabah, penyetor uang nasabah,
satpam dan pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan riba.

Pengharaman riba berlaku umum, tidak dikhususkan hanya antara sikaya dan si miskin.
Pengharaman itu berlaku untuk semua orang dan dalam semua keadaan.27

e. Bukan dari Hasil Suap

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الرَّا ِش َي َو ْال ُمرْ تَ ِش َي قَا َل يَ ِزي^ ُد لَ ْعنَ^ةُ هللاِ َعلَى‬
َ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل لَ َعنَ َرسُو َل هللا‬
َ ِ‫ُول هللا‬
َ ‫َرس‬
‫ال َّر ِشي َو ْال ُمرْ ت َِشي‬.
Artinya:
“ Nabi melaknat penyuap dan yang di suap, yazid menambah; Allah melaknat
penyuap dan yang di suap.”28

Hendaklah seorang muslim sangat mewaspadai terjerumus dalam perangkap suap,


hadiah, atau penghormatan melalui jalur kerja. Orang yang menyuap dan menerima suap itu
akan diusir dari rahmat Allah yang luas. Hal itu disebabkan oleh sejumlah uang yang tidak
bernilai. Yakni, demi Allah alangkah ruginya seperti ini. Sebagian dari sifat amanah adalah
hendaknya seorang manusia tidak memangku jabatan di mana dirinya ditunjuk untuk

27
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa (Jakarta: Darul Haq, 2003) h. 71-73
28
Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h.61

24
mendudukinya guna mendatangkan keuntungan untuk dirinya atau keluarga
dekatnya. Sebenarnya kenyang dengan harta publik adalah suatu dosa dan perbuatan yang tidak
halal.29

B. Makanan dan Minuman


1. Hadits tentang Makanan dan minuman

Bagi seorang muslim, makanan bukan sekedar pengisi perut dan penyehat badan saja,
sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi, tetapi di samping itu juga harus halal. Baik halal
pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan
halal pada cara mendapatkannya. Rasulullah bersabda :

‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َّن هللا تَ َعا َل طَيِّبُ الَيَ ْقبَ ُل اِالَّ طَيِّبًا َو إِ َّن‬
َ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ع َْن اَبِ ْي ه َُر ْي َرةَ َر‬
‫ َو قَ^^ا َل يَاأَيُّهَ^^ا‬.‫ص^الِحًا‬ َ ‫ت َوا ْعلَ ُم^^وْ ا‬ِ ‫هللا أَ َم َر ْال ُمْٔو ِمنِ ْينَ بِ َماااَ َم َربِ ِه ْال ُمرْ َسلِ ْينَ فَقَا َل تَ َعا َل يَاأَيُّهَا الرُّ سُلْ ُكلُ^^وْ ا ِمنَ الطَيِّبَ^^ا‬
َّ ‫ث أَ ْغبَ َر يَ ُم ُّد يَ َد ْي^ ِه إِلَى‬
‫الس ^ َما ِٕٕ ِ^ يَ^^ا َربِّ يَ^^ا‬ َ ‫ار َز ْقنَا ُك ْم ثُ َّم َذ َك َر ال َّرج َُل يُ ِط ْي ُل ال َّسفَ َر أَ ْش َع‬
َ ‫ت َم‬ِ ‫الَّ ِذ ْينَ ٓا َمنُوْ ا ُكلُوْ ا ِمنَ الطَيِّبَا‬
) ‫اال َح َر ِام فََٔا َّن يُ ْستَ َجا لَهُ (رواه مسلم‬ ْ ِ‫ط َع َمهُ َحراَ ٌم َو َم ُس َربَهُ َحراَ ٌم َو َم ْلبَ َسهُ َحراَ ٌم َو َغ ِذى ب‬ ْ ‫َربِّ َو َم‬
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “ Rosullulsh SAW bersabda, sesungguhnya
Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah
memerintahkan pada orang – orang mukmin seperti apa yang telah diperintahkan-Nya
kepada Rosul, maka Allah berfirman: Hai para Rosul, makanlah kamu semua dari
sesuatu yang baik dan berbuatlah kamu yang baik. Dan firman Allah yang lain: Hai
orang – orang yang beriman, makanlah kamu semua dari sebaik – baik apa yang telah
Ku-rezekikan kepadamu. Kemudian Nabi SAW menceritakan seseorang lelaki yang
telah jauh perjalanannya dengan rambutnya yang kusut, kotor, penuh debu, yang
menadahkan kedua tangannya seraya berkata ( berdo’a ): Wahai tuhanku, sedangkan
makanannya haram minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan barang
yang haram, mana mungkin ia akaaan dikabulkan do’anya? “ ( HR. Muslim ).

Sebaik – baik makanan yang dimakan seseorang adalah hasil usahanya sendiri, yaitu hasil
kerja keras dengan jalan yang baik dan benar. Sebagaimana sabda Nabi:

29
Ibrahim bin fathl bin abd al-Muqtadir,Uang Haram (jakarta:Sinar grafika Offset)

25
َّ ِ‫ َما اَك ََل اَ َح ٌد طَ َعا ًما قَطٌّا َخ ْي ٌر ِم ْن اَ ْن يَ ْٔا ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه َوأَ َّن النَّب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
‫ي هللاِ دَا ُودَا‬ ِ ‫َع ِن ْال ِم ْق َد ِم َر‬
َّ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ع َِن النَّب‬
َ ‫ي‬
) ‫َعلَ ْي ِه ال َّسلَ َم َكانَ يَ ْٔا ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه ( رواه البخا رى وا لنساعى‬

Artinya: Dari Miqdam r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “ Tidak ada makanan yang
dimakan seseorang yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya
Nabi Dawud a.s. selalu makan dari hasil usahanya sendiri” ( HR. Bukhari dan Nasai )

Hadits di atas menerangkan bahwa sebaik – baik makanan yang dimakan seseorang
adalah hasil usahanya sendiri, yaitu hasil kerja keras dengan jalan yang baik dan benar. Kerja
keras untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga akan menjaga kehormatan dan mengangkat
derajat seseorang, baik dihadapan Allah maupun sesama manusia. Rosullulah SAW kepada
umatnya selalu menganjurkan untuk bekerja. Sebagaimana Beliau bersabda:

‫َوالَّذِيْ َن ْفسِ ى ِب َي ِد ِه َٔالنْ َئْاحُدَ اَ َح ُد ُك ْم َف َيحْ َتطِ بُ َعلَى َظه ِْر ِه َخ ْي ٌر لَ ُه اَنْ َئْا ت َِي َر ُج ًل َف َيسَٔا لَ ُه اَعْ َطاهُ اَ ْو َم َن َع ُه (رواه البخا رى‬

Artinya: “Demi zat jiwaku ada dalam kekuasaannya, sesungguhnya salah seorang dari
kalian yang mengambil tamparnya kemudian mencari kayu bakar dan dibawa di atas
punggungnya itu lebih baik daripada ia mendatangi seseorang kemudian ia meminta
kepadanya baik diberi ataupun ditolak”. ( HR. Bukhori )

Pada dasarnya semua makanan adalah halal untuk dimakan, kecuali dilarang agama
karena berbahaya untuk kesehatan. Sedangkan yang membahayakan dan mengandung mudlarat
( merusak ) dilarang keras oleh agama.

2. Manfaat Makanan Halal

Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal tentu bermanfaat bagi
pelakunya antara lain:

1) Makanan yang halal dapat menyehatkan badan dan terpeliharanya diri dari sumber
rizki.

2) Menyebabkan amal ibadah diterima Allah

3) Dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa

26
4) Termasuk golongan orang sholeh dan berakhlak mulia.

Kita harus selalu ingat bahwa begitu penting artinya makanan bagi manusia, oleh karena
itu sudah semestinya mereka selektif dalam memilih setiap makanan. Kalau tidak makan justru
dapat mengganggu kesehatan. Tubuh manusia membutuhkan makanan yang sehat / baik.
Makanan dikatakan sehat / baik apalagi memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Makanan harus bersifat higienis yaitu tidak mengandung kuman penyakit

2) Makanan mudah dicerna oleh alat – alat pencernaan.

3. Minuman yang baik dan halal

Pada dasarnya minuman itu adalah baik dan halal untuk dikosumsi, asalkan sesuai
dengan syarat dan ketentuannya. Minuman halal adalah tidak mendekatkan kita pada syaitan,
atau  bukan untuk hal yang tidak diridai Allah. Allah berfirman dalam Alquran:

“Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di muka bumi dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi mu.(QS: Al Baqarah: 168)

Dalam Alquran telah dikatakan dengan jelas, bahwa minuman yang halal lagi baik
adalah minuman yang tidak memabukan. Ini berarti  minuman keras dalam islam seperti khamar
adalah haram hukumnya. Sebagaimana hadits rasulullah SAW :

‫ احمد و ابن ماجه و الدارقطنى و صححه‬.‫ َما اَ ْس َك َر َكثِ ْي ُرهُ فَقَلِ ْيلُهُ َح َرا ٌم‬:‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر رض َع ِن النَّبِ ِّي ص قَا َل‬

Artinya: Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Minuman yang dalam
jumlah banyak memabukkan, maka sedikitpun juga haram". (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan
Daruquthni, dan dia menshahihkannya).

Hadits Rasulullah lainnya:

:‫ َف َقا َل‬،‫هللا ِا َّنا َن ْنب ُُذ ال َّن ِب ْي َذ َف َن ْش َر ُب ُه َعلَى َغ َدا ِئ َنا َو َع َشا ِئ َنا‬
ِ ‫ َيا َرس ُْو َل‬:‫ب َعنْ اَ ِب ْي ِه َعنْ َج ِّد ِه َانَّ ال َّن ِبيَّ ص اَ َتاهُ َق ْو ٌم َف َقالُ ْوا‬ ُ ‫ْن‬
ٍ ‫ش َع ْي‬ ِ ‫َعنْ َعمْ ِرو ب‬
‫ الدارقطنى‬.ُ‫ َح َرا ٌم َقلِ ْي ُل َما اَسْ َك َر َك ِث ْي ُره‬:‫ َف َقا َل‬،‫هللا ِا َّنا َن ْكسِ ُرهُ ِباْل َما ِء‬ ِ ‫ َيا َرس ُْو َل‬:‫ َف َقالُ ْوا‬،‫ِا ْش َرب ُْوا َف ُك ُّل مُسْ ك ٍِر َح َرا ٌم‬

Artinya :

27
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi SAW didatangi suatu
qaum, lalu mereka berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami (biasa) membuat
minuman keras, lalu kami meminumnya di pagi dan sore hari. Lalu Nabi SAW
bersabda, "Minumlah, tetapi setiap minuman yang memabukkan itu haram". Kemudian
mereka berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mencampurnya dengan air". Nabi
SAW menjawab, "Haram (walaupun) sedikit dari minuman yang (dalam kadar)
banyaknya memabukkan". [HR. Daruquthni].

4. Kriteria Makanan dan Minuman Halal


a. Minuman
Minuman yang halal ialah yang :
 Minuman yang tidak memabukan seperti susu, the, kopi, madu dll.
 Minuman halal zat, proses pembuatan dan cara mendapatkannya
 Minuman yang tidak membahayakan (tidak mengandung alcohol, racun, dll).

b. Makanan
Pada umumnya makanan yang sering dikonsumsi manusia ada dua jenis, yaitu:
1. Makanan selain binatang (nabati), terdiri dari biji-bijian, tumbuh-tumbuhan, buah-
buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan
semua bentuknya).
2. Binatang (hewani), yang terdiri dari binatang darat (jinak dan liar) dan binatang
air. Semuanya Halal, kecuali yang diharamkan oleh syariat (anjing, babi, singa,
serigala, buaya, katak, dll).

Adapun makanan yang diharamkan ialah :

1. Darah dan bangkai


2. Daging babi
3. Semua Binatang Buas Yang Bertaring, Yang Dengan Taringnya Ia Memangsa
Dan Menyerang Mangsanya.

28
4. Semua Jenis Burung Yang Bercakar, Yang Dengan Cakarnya Ia Mencengkeram
Atau Menyerang Mangsanya.

5. Semua Binatang Yang Diperintahkan Untuk Dibunuh (Kalajengking, Cicak,


tikus, gagak, dan anjing hitam).

6. Semua Binatang Yang Dilarang Untuk Dibunuh (semut, lebah, burung hud hud,
burung shurad dan kodok/katak).

7. Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang
Salah Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram. 

8. Keledai Jinak

9. Makanan yang mengandung kemudharatan seperti Narkoba,

C. Pakaian/Perhiasan

Pakaian adalah suatu benda atau sesuatu yang di gunakan untuk menutup aurat atau
sesuatu hal yang malu jika diperlihatkan, sesuatu yang aib atau cela jika diperlihatkan. Setelah
iman kewajiban pertama bagi muslim muslimah adalah menutup bagian-bagian tubuhnya
disebut aurat. Hal ini sudah menjadi suatu kewajiban sejak manusia mulai diciptakan dan sudah
menjadi syariat bagi kita semua.

Perhiasan adalah suatu alat atau benda yang digunakan untuk memperindah ketika
digunakannya. Dalam agama islam hiasan itu tidak boleh digunakan berlebihan atau terlalu
banyak, karena Allah menyukai orang yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Disini akan
difokuskan pada permasalahan pelarangan memakai pakaian sutra dan perhiasan emas maupun
perak.

29
BAB IV
HADITS TENTANG DISTRIBUSI
A. Pengertian Distribusi

Distribusi dalam perekonomian modern saat ini merupakan sektor yang terpenting dalam
aktivitas perekonomian, baik Distribusi pendapatan maupun distribusi kekayaan dalam
kegiatan-kegiatan ekonomi ataupun social.

Terdapat perbedaan antara system ekonomi konvensional dan system ekonomi Islam
dalam memaknai distribusi. Ekonomi islam menghendaki agar suatu barang didistribusikan
kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Karena tanpa membagikan kepada yang berhak
menerimanya, suatu barang tidak akan bisa di nikmati oleh yang berhak menerima itu. Ekonomi
islam memiliki kebijakan dalam distribusi pemasukan, baik diantara unsur-unsur produksi
maupun antara individu masyarakat dan kelompoknya. Islam menggaris bawahi dalam harta
pribadi terdapat hak-hak orang lain yang harus di tunaikan dan ini tidak di kenal dalam ekonomi
konvensional. Sebagaimana firman Allah:

‫وفي أموالهم حق للسائل والمحروم‬


Artinya:“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS. 51/adz-Dzariyat: 19)

distribusi merupakan proses penyaluran hasil produksi berupa barang dan jasa dari produsen ke
konsumen guna memenuhi kebutuhan manusia, baik primer maupun sekunder.

30
Distribusi merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi modern,
karena dengan distribusi yang baik tersebut dapat tercipta keadilan sosial dalam bidang
ekonomi, dari proses inilah semua kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, akan tetapi pada
proses ini pula banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dan sebagainya sehingga faktor
ekonomi tersebut tidak merata atau tepat sasaran.30
Pembahasan mengenai pengertian dan makna distribusi tidak lepas dari konsep moral
ekonomi yang dianut. Apabila konsep dasar yang diterapkan adalah sistem kapitalis, maka
permasalahan distribusi yang akan timbul adalah adanya perbedaan yang mencolok pada
kepemilikan, pendapatan dan harta peninggalan. Jika asas yang mereka anut adalah sosialisme,
maka sistem ini lebih melihat kepada kerja sebagai basic dari distribusi pendapatan. Hasil yang
akan diperoleh tergantung pada usaha mereka. Oleh karena itu kapabilitas dan bakat seseorang
sangatlah berpengaruh pada distribusi pendapatan. Untuk mewujudkan kebersamaan, alokasi
produksi dan cara pendistribusian kekayaan alam serta sumber-sumber ekonomi lainnya diatur
oleh negara.31

Interaksi yang baik antara produsen dan konsumen sangat berpengaruh pada pendapatan.
Konsep moral ekonomi yang berkaitan dengan kepemilikan dan kekayaan harus dipahami untuk
tujuan menjaga persamaan ataupun mengikis kesenjangan sosial. Idealisme ini harus disepakati
agar tercapainya standar hidup secara umum dan pencegahan eksploitasi kelompok kaya dan
kelompok miskin. Saluran distribusi adalah suatu jalur perantara pemasaran dalam berbagai
aspek barang atau jasa dari tangan produsen ke konsumen. Antara pihak produsen dan
konsumen terdapat perantara  pemasaran, yaitu wholesaler (distributor atau agen) yang
melayani pembeli.

B. Hadits tentang distribusi

Rasulullah SAW sangat menganjurkan agar umat islam mendistribusikan sebagian harta
dan penghasilan mereka untuk membantu saudara-saudara mereka yang berkekurangan dalam
bidang ekonomi. Rosulullah bersabda:

30
Abd.Al-Rahman al-Jaziri. 2008 M. Kitab al-Fiqh ‘alaMadzahib al-Arba’ah.
31
Abd.Allah Zaki al-Kaf. 2002 M. EkonomidalamPerspektif Islam

31
)‫ من احتكر فهو خاطئ (رواه مسلم‬:‫عن معمر قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.

Artinya:“Dari Ma’mariaberkata, Rosulullah SAW bersabda: “ Barangsiapa yang


menimbunbarang (harta), makaiabersalah (berdosa).” (HR. Muslim)

Rasulullah melarang umat islam menimbun barang dan tidak mendistribusikannya


kepasar. Penimbunan barang (Ihtikar)biasanya dilakukan dengan tujuan untuk di jual ketika
barang tersebut sudah sedikit atau langka sehingga harganya mahal. Penimbunan termasuk
aktivitas ekonomi yang mengandung kezaliman dan karenanya berdosa. Karena itu rosulullah
sangat menganjurkan supaya memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkannya.
Distribusi kekayaan tersebut, menurut Rasulullah seharusnya berasal dari hasil usaha yang baik.
Tidak ada gunanya memberikan sesuatu kepada orang lain, jika sesuatu itu diperoleh dengan
cara yang haram. Sedekah, zakat, infak, nafaqoh, wasiat, waris dan sebagainya harus berasal
dari  harta yang halal.Dan waktu distribusi harta yang paling baik itu ketika seseorang masih
sehat rohani dan jasmaninya. Akan tetapi, jika nyawa sudah di kerongkongan, sedekah itu tidak
berarti kecuali warisan dan wasiat yang memang diberikan ketika menjelang ajal tiba.

Karena harta hanya digunakan seperlunya dan tidak akan dibawa mati, maka menurut
Rasulullah, hendaklah sebagiannya didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan agar
tercipta keharmonisan hidup di kalangan masyarakat. Begitu pentingnya Distribusi itu sehingga
para malaikat senantiasa berdo’a untuk itu.32

BAB V

HADITS TENTANG JUAL BELI YANG DIHARAMKAN

32
Abd.Allah Zaki al-Kaf. 2002 M. EkonomidalamPerspektif Islam

32
A. Jual Beli Gharar
1. Penegrtian Jual beli Gharar

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). Sehingga


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul
al-‘aqibah).Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan)
dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Sehingga, dari
penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli
yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.33

2. Hukum Gharar
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

‫صا ِة َوع َْن بَي ِْع ْالغ ََر ِر‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَي ِْع ْال َح‬
َ ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar”34(HR. Muslim

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara
batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut
dalam firmanNya.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah / 2 : 188]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” [An-Nisaa /4 : 29]

33
. Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332
34
HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar, 1513

33
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini
adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil.
Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini 35.
Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah / 5 :
90]

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam


katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar,
seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak
buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di
dalam Al-Qur’an. 36

3. Hikmah larangan jual beli gharar


Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan
menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian
yang besar kepada pihak lain.37. Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga harta
agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis jual
beli ini.
4. Pentingnya mengenal Kaidah gharar
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak
permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di

Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar,


35

Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail.
Hal.164

36
Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, hal. 342
37
Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar,
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail.
Hal.165

34
dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting
dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan
yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung”.

5. Jenis gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi, yaitu:

Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak). Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang
muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah”,
tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku
ini kepadamu dengan harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa
juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual tanah kepadamu
seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui. Ketiga : Jual-beli barang
yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil
yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.

Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-
jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila
diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.

Syaikh As-Sa’di menyatakan : “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli


ma’dum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang
tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-
jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya” 38

B. Jual beli Mulamasah


1. Pengertian Jual beli Mulamasah

Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar,


38

Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail.
Hal.166

35
Mulamasah secara bahasa adalah sighah (bentuk) ‫ ُمفَا َعلَة‬dari kata ‫س‬
َ ‫ لَ َم‬yang berarti
menyentuh sesuatu dengan tangan. Sedangkan pengertian mulamasah secara syar’i, yaitu
seorang pedagang berkata, “Kain mana saja yang engkau sentuh, maka kain tersebut menjadi
milikmu dengan harga sekian.”Jual beli ini bathil dan tidak diketahui adanya khilaf (perbedaan
pendapat) para ulama akan rusaknya jual beli seperti ini.

2. Hadits tentang Jual beli Mulamasah

Imam al-Bukhari dan Muslim ‫ رحمهما هللا‬meriwayatkan dari Abu Mas’ud Radhiyallahu
anhu, ia berkata:

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َِن ْال ُمالَ َم َس ِة َو ْال ُمنَابَ َذ ِة فِي ْالبَي ِْع‬
َ ‫نَهَى النَّبِ ُّي‬.

Artinya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mulamasah dan munaba-


dzah dalam jual beli.”

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiih-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
ia berkata, “(Jual beli mulamasah), yaitu masing-masing dari dua orang menyentuh pakaian
milik temannya tanpa ia perhatikan dengan seksama.”

Jual beli ini tidak layak dengan dua sebab:


1. Adanya jahalah (ketidakjelasan barang)
2. Masih tergantung dengan syarat.
Syaratnya ialah seorang pedagang berkata, “Aku jual pakaian yang engkau sentuh dari
pakaian-pakaian ini.”

Masuk dalam larangan ini semua barang, maka tidak boleh membeli sesuatu dengan cara
mulamasah karena adanya dua sebab yang sudah disebutkan tadi, baik barang tersebut berupa
pakaian atau yang lainnya.

C. Jual Beli Munabadzah


1. Pengertian Jual beli Munabadzah

Kata al-Munabadzah secara bahasa diambil dari kata ‫ اَلنَّ ْب ُ^ذ‬yang berarti melempar, jadi
kata ‫ ُمنَابَ ^ َذة‬adalah shighah ‫ ُمفَا َعلَة‬dari ‫النَّ ْب^ ُذ‬. Sedangkan kata munabadzah secara syar’i berarti

36
seseorang berkata, “Kain mana saja yang kamu lemparkan kepadaku, maka aku membayar-nya
dengan harga sekian,” tanpa ia melihat kepada barang tersebut. Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah al-
Maqdisi rahimahullah memberi definisi jual beli Munabadzah, “Yaitu masing-masing pihak
melempar (menawarkan) pakaiannya kepada temannya dan masing-masing mereka tidak
melihat pakaian temannya.”
Jual beli ini tidak sah disebabkan dua ‘illat (alasan), yaitu:
1. Adanya ketidakjelasan barang
2. Barang yang dijual masih tergantung pada syarat, yaitu apabila kain tersebut
dilemparkan kepadanya.
Dan masuk dalam kategori ini semua jenis barang, berdasarkan perkataan, “Barang apa
saja yang engkau lemparkan kepada saya, maka saya wajib membayarnya dengan harga
sekian.” Jual beli seperti ini tidak boleh. Jual beli ini dilarang oleh syari’at, karena gambaran
jual beli seperti ini akan mengundang perselisihan dan permusuhan antara kedua belah pihak.

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata:

‫َاض َر ِة َو ْال ُمالَ َم َس ِة َو ْال ُمنَابَ َذ ِة َو ْال ُمزَ ابَنَ ِة‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َِن ْال ُم َحاقَلَ ِة َو ْال ُمخ‬
َ ِ‫نَهَى َرسُوْ ُل هللا‬.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan cara muhaqalah,
mukhadharah, mulamasah, munabadzah, dan muzabanah.”.

D. Jual Beli Hadhir Lil Baad


Pengertian Jual Beli Hadhir Lil Baad

Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang
pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu
menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti
engkau akan mendapatkan harga yang lebih tinggi”.

2. Hadits tentang Jual beli Hadhir Lil Baad

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ِ ‫س َما قَوْ لُهُ الَ يَبِي ُع َح‬


‫اض ٌر لِبَا ٍد قَا َل الَ يَ ُكونُ لَهُ ِس ْم َسارًا‬ ُ ‫ قَا َل فَقُ ْل‬. » ‫ض ٌر لِبَا ٍد‬
ٍ ‫ت ِالب ِْن َعبَّا‬ ِ ‫« الَ تَلَقَّ ُوا الرُّ ْكبَانَ َوالَ يَبِي ُع َحا‬

37
“Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi
calo untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas,
“Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh
menjadi calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).

Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah.39

Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini
menjadi terlarang, yaitu:

1. Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh
orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang
dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
2. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar
secara diangsur, maka tidaklah masalah.
3. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia
tahu, maka tidaklah masalah.40

39
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83.
40
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 84

38
BAB VI
HADITS TENTANG AR RAHN
A. Pengertian Ar Rahn

Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang
diterimanya atau dapat juga kita sebut sebagai gadai. Objek barang yang di tahan tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan
bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan
orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta menahannya
disebut murtahin.

B. Hadits yang berhubungan dengan Ar-rahn

Dibolehkannya Ar-Rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasululloh Shallallahu


'alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaimana dikisahkan
Umul Mukminin A'isyah Radhiyallahu 'anha.

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْشت ََرى طَ َعا ًما ِم ْن يَهُو ِديٍّ إِلَى أَ َج ٍل َو َرهَنَهُ ِدرْ عًا ِم ْن َح ِدي ٍد‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang
yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no.
2513 dan Muslim no. 1603).

Hadits lainnya:

َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَنَّهُ َم َشى إِلَى النَّبِ ِّي‬


ٍ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ ُخب ِْز َش ِع‬
ُ‫ير َوإِهَالَ ٍة َسنِخَ ٍة َولَقَ ْد َرهَن ِدرْ عًا لَه‬ ٍ َ‫ﻋ ْن أَن‬
ِ ‫س َر‬
‫ِع ْن َد يَهُو ِديٍّ بِ ْال َم ِدينَ ِة َوأَخَ َذ ِم ْنهُ َش ِعيرًا أِل َ ْهلِ ِه‬

39
  “Anas Ibn Malik suatu saat mendatangi Rasulullah dengan membawa roti gandum dan
sungguh Rasulullah SAW telah menangguhkan baju besi kepada orang Yahudi di Madinah
ketika beliau  mengambil (meminjam) gandum dari orang Yahudi tersebut untuk keluarga
Nabi.”

‫ﺍﻠﻨﻔﻘﺔ‬
‫ﹸ ﹸ‬ ‫ﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱﻴﺭﻜﺏﻭﻴﺸﺭﺏ‬
‫ﹸ‬ ‫ﻤﺭﻫﻭﻨﺎ‬
‫ﹰ‬ ‫ﺇﺫﺍﻜﺎﻥ‬
‫ﹺ ﹶ‬ ‫ﹸﺍﻟ ﱠﺩﺭﱢ ﹸ‬
‫ﻴﺸﺭﺏﺒﻨﻔﻘﺘﻪ‬ ‫ﻤﺭﻫﻭﻨﺎﻭﻟﺒﻥ‬
‫ﹰ‬ ‫ﺍﻜﺎﻥ‬
‫ﹶ ﹶ‬ ‫ﺒﻨﻔﻘﺘﻪﺇﺫ‬
‫ﹸ ﹺ‬ ‫ﺍﻠﺭﻫﻥﻴﺭﻜﺏ‬
‫ﹸ‬

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberi makanan.”(Hr. Bukhori, no.2512).

Beberapa hadits diatas menggambarkan fakta sejarah bahwa pada zaman Rasulullah
SAW gadai telah dipraktekkan secara luas. Hadits pertama dan kedua menegaskan Rasulullah
SAW pernah melakukan hutang piutang dengan orang Yahudi untuk sebuah makanan.
Kemudian beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besinya sebagai penguat kepercayaan
transaksi tersebut.

C. Rukun dan Syarat

Di dalam Rahn (gadai) ada rukun dan syarat-syarat nya yang harus di penuhi agar rahn
tersebut sah dan tidak melanggar hukum islam, ada beberapa rukun rahn yaitu antara lain:

1. Harus ada akad dan ijab qabul


2. Aqid, aqid itu adalah yang menggadaikan barang dan yang member piutang gadai
3. Harus ada barang yang di gadaikan nya atau di jadikan jaminan, dan barang yang yang
di gadaikan itu harus dalam keadaan baik dan bukan barang yang bermasalah

Itulah beberapa rukun-rukun rahn yang wajib di ketahui dan di laksanakan apabila kita
ingin melakukan rahn (gadai).

Selain rukun rahn (gadai) ada juga syarat-syarat rahn antara lain yaitu:

40
1. Ada nya Rahin dan Murtahin, rahin dan murtahin itu adalah pemberi dan penerima
gadai, pemberi dan penerima gadai itu haruslah orang yang sudah baligh, sudah cakap
untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syariat islam.
2. Dalam islam dianjurkan jika kita ingin melakukan gadai di anjurkan menggunakan gadai
syariah karna akan meminimalisir perbuatan riba, dalam gadai syariah tidak ada riba
yang ada adalah upah jasa titip barang yang kita jadikan jaminan tersebut dan upah jasa
titip barang tersebut tidak sebesar di gadai konvensial jadi gadai syariah tidak
mengandung unsure riba.

Dalam rahn terdapat manfaat dan mudharat nya, manfaat rahn antara lain yaitu;

1. Membantu saudara-saudara sesama muslim kita yang sedang mengalami kesulitan


keuangan

2. Memberikan pembiayaan agar masyarakat terhindar dari riba

3. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa


dananya tidak akan hilang begitu saja.

Adapun Mudharat dari rahn tersebut antara lain yaitu;

5. Resiko tak terbayar nya hutang nasabah tersebut atau terjadinya wanprestasi
6. Resiko penurunan nilai aset atau rusak nya aset yang dijadikan jaminan tersebut

Jadi Rahn itu adalah menjadikan suatu barang atau benda sebagai jaminan hutang yang
dapat dijadikan pembayaran ketika atau biasa disebut gadai. Gadai ada dua jenis yaitu gadai
konvensional dan gadai syariah, gadai konvensional dan gadai syariah terdapat perbedaan yaitu,
gadai syariah dilakukan secara sukarela tanpa ada nya paksaan dari pihak penggadaian untuk
mencari keuntungan yang sebesar besarnya, sedangkan gadai konvensional dilakukan dengan
prinsip tolong menolong tetapi dari pihak penggadaian bersifat mencari keuntungan sebesar-
besarnya.

Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu
shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.

41
Agar terpenuhinya rukun, maka diperlukan syarat dalam pemenuhannya, yaitu: Syarat
yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan
barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd
(memiliki kemampuan mengatur). Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai).

     Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau
nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.

     Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan
baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

     Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah
transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau
yang akhirnya menjadi wajib:

       Hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor

       Utang bias dilunasi dengan agunan tersebut.

       Utang jelas dan tertentu.

Syarat yang terkait dengan shighat ijab qabul; ucapan serah terima disyaratkan; harus
ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (ijab) dan ucapan penerimaan. Apa yang
diucapkan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.

D. Hukum-hukum Setelah Serah Terima

Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan
dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan
pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:

Pertama, pemegang barang gadai.

Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

42
ُ‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ نَفَقَتُه‬

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)

Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah
milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang
gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air
susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia
memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut).

Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan


memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

ُ‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ نَفَقَتُه‬

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih).

Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang


gadai dibebankan kepada pemiliknya.”

Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua
pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen). 

Penulis kitab  al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang


gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk

43
mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari
peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman
utang yang menghasilkan manfaat.

Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah,
maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya
nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ال َّرهْنُ يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَنُ ال َّدرِّ يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة‬

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).

Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab
Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin
mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,

ُ‫لَهُ ُغ ْن ُمهُ َو َعلَ ْي ِه َغ َر ُمه‬

“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya


pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)

Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah
sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil
hadits shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan
gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan
gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang
memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.

Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan
tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga,

44
berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang
barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu
mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara
menafkahi (hewan tersebut).

Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah,


maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”

Ketiga, pertumbuhan barang gadai.

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya


bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia
termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka
terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.

Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa
pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan
murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.

Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan
bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai,
namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat
dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat
bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya)
menjadi milik orang yang menafkahinya.

Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai
masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak
mampu melunasi utangnya.

Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan
orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang

45
akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si
peminjam uang).

Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai
tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman.
Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang
tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.

Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut
dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut
masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang
yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat
melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa
utangnya. 41

Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila
pembayaran utang telah jatuh tempo, maka  penggadai  meminta kepada murtahin (pemilik
piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh
tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.

Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)


barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi
seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual
sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin
didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.

Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya,
maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya
tersebut. Dan apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah
dan Hambaliyah.

41
Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur, Victory Agencie:1990), hlm. 145

46
Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa
memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan
Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai,
serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya.
Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh
memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan
kezaliman.

Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil
penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang
dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak
sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang)
dipenjarakan.

Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang
tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang
merupakan selisih antara nilai barang  gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib
melunasi sisa utang tersebut.

Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak
berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih
besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan
perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.

BAB VII

AKTIFITAS TRANSAKSI

A. Penghimpunan Dana (Wadi’ah)


1. Pengertian wadi’ah

47
Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni atau simpanan dari satu pihak kepihak
lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki. Para imam mazhab berbeda pendapat jika ketika menerima barang titipan
ada saksi. Hanafi, Syafi’I, dan Hambali berpendapat: meskipun tatkala menyerahkan barang ada
saksi, tetapi jika orang yang dititipi menyatakan telah mengembalikannya tanpa saksi
pernyataannya tetap diterima. Sedangkan menurut Maliki: tidak diterima kecuali adanya saksi.

2. Hadits yang berhubungan dengan Wadi’ah


  HR.Tirmidzi

َ َ‫ أ َِّداأْل ََمانَةَ إِلَى َم ِن ا ْئتَ َمن‬:‫ال َر ُس ْو ُل اللَّ ِه ص م‬


‫ك َوالَتَ ُخ ْن َم ْن َخانَ َكض‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ِ ‫َعن أَبِي ُهر ْيرةَ ر‬
َ َ‫ضيَاللَّهُ َع ْنهُ ق‬ َ َ َ ْ ْ
Artinya: Dari Abi Hurairah RA ia berkata: Rasulullah bersabda: tunaikanlah
amanah kepada orang yang mempercayakan (menitipkan) kapadamu dan janganlah
engkau berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu. (HR.At-Tirmidzi dan Abu
Dawud).
Pada hadis tersebut, terdapat matan yang berbunyi :

َ َ‫أ َِّداأْل ََمانَةَ إِلَى َم ِن ا ْئتَ َمن‬


‫ك‬

“…tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan (menitipkan)


kepadamu…”,
jadi dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud pada matan tersebut adalah amanah harus
diberikan kepada orang  yang mempercayakan.

Isi kandungan :
Hadis diatas mengisaratkan untuk menitipkan barang kepada seseorang yang dipercayai
dan orang tersebut tidak berkhianat kepada orang menitipkan barang.

Kesimpulan :
Maksud dari hadis diatas adalah apabila kita menyerahkan barang kita kepada orang
yang kita percayai maka orang tersebut harus menjaga barang yang kita miliki tersebut tanpa
imbalan. Barang tersebut merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik, meskipun orang

48
tersebut tidak menerima imbalan. Hal ini juga sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS.Al-
Baqarah ayat 283.
ِ ِ
َ‫ض ا َفل ُْي َؤ ِّد الَّذى ْاؤتُم َن اََما َنتَ هُ َولْيَت َِّق اهلل‬ ُ ‫ فَ ِإ ْن ِام َن َب ْع‬ ٌ‫وض ة‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ َ ُ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َس َف ٍر َولَم تَ ِج ُدوا َكاتِبً ا فَ ِر َه ا ٌن َم ْقب‬
 ‫قلى‬

‫ َو َم ْن يَكْتُ ْم َها فَِإنَّهُ اثِ ٌم َقلْبُهُ َواهللُ بِ َما َت ْع َملُ ْو َن َعلِ ْي ٌم‬ ‫قلى‬ ‫اد َة‬ َّ ‫ َواَل تَكْتُ ُموا‬ ‫ َر َّب ُهقلى‬.
َ ‫الش َه‬
Artinya : Jika kalian dalam perjalanan ( dan bermu’amalah tidak secara tunai ),
sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kalian mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah ia bertaqwa kepada allah. Dan janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa menyembunyikannya. maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan allah mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.

B. Bagi Hasil (Mudharabah)


1. Pengertian Mudharabah

Mudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak
pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan mereka
tetapkan bersama.

a. Rukun Mudharabah
Rukun akad mudharabah menurut hanafiyah adalah ijab dan qabul, dengan
menggunakan lafal yang menunjukkan arti kepada mudharabah. Lafal yang digunakan untuk
mudharabah sebagai contoh, pemilik modal mengatakan: “ambillah modal ini dengan
mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi antara kita berdua.
Sedangkan lafal qabul yang digunakan oleh amil mudharib (pengelola) adalah: “saya ambil atau
saya terima atau saya setuju dan semacamnya. Apabila ijab dan qabul telah terenuhi maka akad
mudharabah telah sah.

49
Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga yaitu:
 Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (amil/mudharib)
 Ma’qud’alaih, yaitu modal. Tenaga (pekerjaan) dan keuntungan
 Shighat, yaitu ijab dan qabul
Sedangkan Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada 5 yaitu:

 Modal
   Tenaga (pekerjaan)
 Keuntungan
 Shighat
 Aqidain.
b.    Macam-macam Mudharabah
 Mudharabah muthlaq
 Mudharabah muqayyad.

2. Hadits yang berkaitan dengan Mudharabah


Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik
‫الربْ َح‬ َّ ‫اض َاي ْع َم ُل فِ ْي ِه َعلَى أ‬
ِّ ‫َن‬ ً ‫َن عُثْ َم ا َن بْ َن َع َّفا َن أَ ْعطَاهُ َم االً قِ َر‬ َّ ‫َع ِن ال َْعالَِء بْ ِن َع ْب ِد‬
َّ ‫ أ‬:‫الر ْح َم ِن َع ْن اَبِْي ِه َع ْن َج ِّد ِه‬

‫َب ْيَن ُه َما‬

Artinya: Dari ‘Ala’ bin Abdurrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman bin
Affan memberinya harta dengan cara qiradh yang dikelolanya, dengan ketentuan keuntungan
dibagi diantara mereka berdua. (HR.Imam Malik).
Analisa kata kunci :
Pada hadis diatas, terdapat matan yang berbunyi :
‫الربْ َح َب ْيَن ُه َما‬ َّ ‫اض َاي ْع َم ُل فِ ْي ِه َعلَى أ‬
ِّ ‫َن‬ ً ‫أَ ْعطَاهُ َماالً قِ َر‬
“…”memberinya harta dengan cara qiradh yang dikelolanya, dengan ketentuan
keuntungan dibagi diantara mereka berdua”. Dapat diartikan untuk memberi harta
dengan cara qiradh atau mudharabah dengan membagi keuntugan antara pihak satu
dan pihak kedua.

50
Isi kandungan :
Hadis diatas menganjurkan untuk memberikan harta/modal kepada seseorang untuk
mengelola harta tersebut dengan baik dan kemudian keuntungannya dibagi antara pemberi
modal dan pengelola.
  Kesimpulan :
Dari hadis diatas menjelaskan bahwa mudharabah yaitu penyerahan modal kepada pihak
lain untuk diperdagangkan dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara merekaberdua
sesuai dengan kesepakatan mereka. Mudharabah merupakan salah satu solusi islam untuk
mencegah riba.

HR. Thabrani

‫ات َكبِ ٍد‬ ِ ِ ‫ والَ ي ْش‬،‫ والَ يْن ِز َل بِ ِه و ِادي ا‬،‫ك بِ ِه حَب را‬ ِ ِ ‫اِ ْش َتر َط علَى‬ ‫ب إِذَا دفَع الْم َال مضاربة‬ ِ
َ ‫ي بِه َدابَّةً َذ‬
َ ‫َ ً َ َ رَت‬ َ َ ً ْ َ ُ‫ص احبِه أَ ْن الَ يَ ْس ل‬
َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ ِ ِّ‫اس بْ ُن َعْبد الْ ُمطَل‬
ُ َّ‫َكا َن َسيِّ ُدنَا الْ َعب‬
ِِ ِ ِ ِ
َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َوآله َو َسلَّ َم فَأ‬
)‫َج َازهُ (رواه الطرباين ىف األوسط عن ابن عباس‬ َ ‫ َفَبلَ َغ َش ْرطُهُ َر ُس ْو َل اهلل‬،‫ضم َن‬ َ ‫فَِإ ْن َف َع َل َذل‬ ،‫ َرطْبَ ٍة‬.
َِ ‫ك‬

Artinya ”Adalah Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia menyerahkan sejumlah harta


dalam investasi mudharabah, maka ia membuat syarat kepada mudharib, agar harta itu
tidakdibawa melewati lautan, tidak menuruni lembah dan tidak dibelikan kepada binatang, Jika
mudharib melanggar syarat-syarat tersebut, maka ia bertanggung jawab menanggung risiko.
Syarat-syarat yang diajukan Abbas tersebut sampai kepada Rasulullah Saw, lalu Rasul
membenarkannya”.(HR ath_Thabrani). Hadist ini menjelaskan praktek mudharabah muqayyadah.

HR. Muslim

‫وه ا ِم ْن أ َْم َوالِ ِه ْم‬


َ ُ‫ض َها َعلَى أَ ْن َي ْعتَ ِمل‬ ِ ‫ أَنَّهُ َدفَ ع إِلَى يه‬-‫ص لى اهلل علي ه وس لم‬- ‫ول اللَّ ِه‬
َ ‫ود َخ ْيَب َر نَ ْخ َل َخ ْيَب َر َوأ َْر‬ َُ َ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن عُم ر َع ْن ر ُس‬
َ ََ
ِ ‫ولِر ُس‬.
‫ َشط ُْر ثَ َم ِر َها‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ََ

Artinya: Dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah, bahwa Rasulullah menyerahkan
kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka
menggarapnya dengan biaya mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah mendapatkan
separuh hasil panennya. (HR. Muslim 4048)

51
Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah dari Shuhaib, Nabi SAW bersabda:

‫ت الَ لِ ْلبَي ِْع‬


ِ ‫ َوإِ ْخالَطُ ْالبُ ِّر بِال َّش ِعي ِْر لِ ْلبَ ْي‬،ُ‫ضة‬
َ ‫ َو ْال ُمقَا َر‬،‫اَ ْلبَ ْي ُع اِلَى أَ َج ٍل‬ : ُ‫ث فِ ْي ِه َّن ْالبَ َر َكة‬
ٌ َ‫ثَال‬.

Artinya: Nabi bersabda: Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum halus dengan gandum kasar (jewawut)
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.

C. Jasa (Ijarah)
1. Pengertian Ijarah

Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan
salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia.

 Secara terminology ada beberapa definisi Al-ijarah yang dikemukakan oleh para ulama’.
Diantaranya:

Ulama’ hanafiyah

‫عقد على المنافع بعوض‬

“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”                                      

Ulama’ syafi’iyah

‫عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل واإلباحة بعوض معلوم‬

“Transaksi terhadap suatu manfaat yang ditiju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu.”

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ijâraħ adalah akad pemindahan hak


guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
atas barang itu sendiri. Transaksi ijâraħ didasarkan pada adanya perpindahan manfaat dan .
Pada prinsipnya ia hampir sama dengan jual beli. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat pada
dua hal utama. Selain berbeda pada objek akad; di mana objek jual beli adalah barang konkrit,
sedang yang menjadi objek pada ijâraħ adalah jasa atau manfaat, antara jual beli dan ijâraħ juga

52
berbeda pada penetapan batas waktu, di mana pada jual beli tidak ada pembatasan waktu untuk
memiliki objek transaksi, sedang kepemilikan dalamijâraħ hanya untuk batas waktu tertentu. 

Dasar Hukum Ijarah

Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’, kecuali
beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan al-bashri, Al-
Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah
jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukannya akad, tidak bisa
diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikamati sedikit demi
sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjualbelikan. Akan
tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh ibn Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad
belum ada, tetapi pada dasarnya akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta
perhatian serta pertimbangan syara’.

Jabir r.a menerangkan :        

‫ ال يودي حقها اال اقعد لها يو م القي^ا‬,‫ وال غنم‬,‫وعن جابر عن النبي صلي اللة علية ؤالة وسلم قال ما من صا حب ا بل و ال بقر‬
‫ وتنطحه دات القر ن ليس فيها يومئذ جما ء وال مكسو ر ة القر ن قلنا يا رسو ل هللا‬,‫مة بقا ع قر قر تطو ه ذ ا ت الظلف بظلفها‬
‫و حمل عليه^^ا في س^^بيل ا هلل (رواه احم^^د و‬  ‫ و جلبها علي الما‬,‫ و منحتها‬, ‫ واعا ر ة و لو ها‬, ‫ ا طر ا ق فحلها‬,‫وما حقها ؟ قال‬
) ‫مسلم‬

Artinya: “Rasulullah SAW, bersabda: tak ada seorang pemilik unta, lembu, kambing,
biri-biri yang tidak menunaikan hak binatang, melainkan didudukkan binatang itu pada hari
kiamat di sebuah lapangan yang sangat dingin, dia diinjak-injak oleh binatang berkuku dan
ditanduk oleh binatang bertanduk, dan pada hari itu tak ada tanduk yang patah. Kami bertanya
: Ya Rasulallah, apa hak binatang-binatang itu? Nabi menjawab : meminjamkan tanduknya,
meminjamkan embernya, dan memberikan untuk dimanfaatkan dan dibawa ketempat yang
berair serta dipinjaminnya untuk ditunggangi di jalan Allah”. (H.R Ahmad dan Muslim : Al-
Muntaqa II:394)

Abu Mas’ud r.a menerangkan :

53
‫ رواه‬. ‫ كنا نعد الما عو ن علي عهد ر سو ل ا هلل صلي هللا عليه و ا له و سلم عا ر ية الد ل^و و ااق^در‬: ‫ قا ل‬,‫وعن ا بي مسعو د‬
‫ابو دا ود‬

Artinya: “Dimasa Rasulullah kami para sahabat menganggap alat rumah tangga
(kapak, ember, tali, belanga dsb) adalah barang-barang yang dapat dipinjam”. (H.R Abu
Daud : Al-Muntaqa II :394)

Abdul Wahid ibn Aiman dari ayahnya menerangkan:

‫ كا ن لي منهن درع علي عهد رسوالهلل ص^^لي هللا علي^^ه‬, ‫ ثمن خمسة د ر ا هم‬,‫ و عليها د رع قطري‬: ‫ انها قالت‬, ‫وعن عا ئشه‬
‫ رواه احمر والبخاري‬. ‫ اال ارسلت الي تستعيره‬, ‫ فما كا نت امرا ة تقين با لمر ينة‬, ‫وا له و سلم‬

“Bahwasanya Aisyah r.a menerangkan saat beliau mengenakan baju yang terbuat dari
kapas tebal berwarna agak merah yang berharga lima dirham. Dimasa Rasulullah aku
mempunyai sebuah baju besi, karena tidak ada perempuan di Madinah yang ingin berhias,
melainkan ada orang yang mengirimkan kepadaku dalam bentuk pinjaman”. (H.R. ahmad dan
Bukhari Al- Muntaqa II :394)

Macam-macam Ijarah

Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat dikelompokkan


menjadi dua bagian:

Ijarah ‘ala al-manafi’, 

Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk


ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai. Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat mengenai kapan akad ijarah ini dinyatakan ada. Menurut ulama Hanafiyah dan
Malikiyah, akad ijarah dapat ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai.
Bahwa sewa tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan
harus dilihat dulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut. Menurut ulama Syafi’iyah dan

54
Hanabilah berpendapat bahwa ijarah ini sudah tetap dengan sendirinya sejak akad ijarah terjadi.
Menurut ulama tersebut bahwa sewa dianggap menjadi milik barang sejak akad ijarah terjadi.
karena akad ijarah memiliki sasaran manfaat dari benda yang disewakan, maka pada dasarnya
penyewa berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya, bahkan dapat
meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain sepanjang tidak mengganggu dan merusak
barang yang disewakan.

Namun demikian ada akad ijarah ‘ala al’manafi yang perlu mendapatkan perincian lebih
lanjut, yaitu:

a.       Ijarah al-‘ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad
sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami, harus
diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah (mu’jir) memberi izin untuk ditanami
tanaman apa saja.

b.      Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukkannya, untuk angkutan atau
kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka
kegiatan, jadi untuk menghindari sengketa kemudian hari,harus disertai rincian pada saat akad.

2.      Ijarah ‘ala al-‘amaalijarah,

Yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti membangun gedung atau
menjahit pakaian, akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu,
pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir).

Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir musyatarak.


Ajir khassadalah pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam
waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir. Ajir musyatarak adalah
seseoarang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat o;eh orang tertentu. Dia
mendapatkan upah karena profesinya, bukan karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain,
misalnya pengacara dan konsultan.

55
Menurut kelompok hanafiyah dan Hanabilah bahwa ajir musyatrak sama
dengan ajir khassdalam tanggung jawabnya. Adapun menurut Malikiyah, ajir musytarak harus
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap rusak atau hilangnya benda yang dijadikan obyek
pekerjaannya.

BAB VIII

HADITS TENTANG SYIRKAH

A. Pengertian syirkah

‫االختالط اى خلط احد المالين باالخربحيث ال يمتزان عن بعضهما‬

Secara bahasa kata syirkah ( ‫ )الشركة‬berarti al-ikhtilath (percampuran) dan persekutuan.


Yang dimaksud dengan percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan
harta orang lain sehingga sulit untuk dibedakan.

Adapun menurut istilah para ulama fikih sepakat bahwa, syirkah adalah suatu akad kerja
sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

56
B. Dasar hukum Syirkah

Landasan syirkah ( perseroan ) terdapat dalam Al – Qur’an dan Hadits, sebagai berikut:

1. Al-Qur’an
ِ ُ‫فَهُم ُشر َكا ُء فِى ا لثُّل‬
‫ث‬
“Mereka bersekutu dalam yang sepertiga” ( QS. An – Nisa : 12 )

ِ ‫عض اِاَّل ا لَّ ِذينَ ا َمنُو ا َو َع ِملُوا لصَّالِ َحا‬


‫ َواِ ّن‬...‫ت َو قَلِي ٌل َما هُم‬ ُ ‫َكثِيراً ِمنَ ا ل ُخلَطَا ِء لَيَب ِغي بَع‬
ٍ َ‫ضهُم َعلَى ب‬
“ Sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang bersrikat itu sebagian mereka
berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang yang beriman dan
beramal shaleh dan amat sedikitlah mereka ini.” ( QS . Shad : 24 )

2. Hadits

ُ ِ‫ اَنَا ثَال‬: ‫اِ َّن هللاَ َع َّز َو َج َّل يَقُو ُل‬: ‫ فَا َل‬.‫م‬. ‫عَن اَبِي هُ َري َرةَ َرفَ َعهُ اِلَى النَّبِ ِّي‬
‫ث ا ل َّش ِري َكي ِن َما لَم يَ ُخن اَ َح ُدهُ َما‬
ُ ‫صا ِحبَهُ فَا ِ َذا خَ انَهُ خَ َر‬
) ‫جت ِمن بَينِ ِه َما ( رواه ابو داود و ا لحاكم و صححه اسناده‬ َ
“ Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SWT berfirman “ Aku adalah yang
ketiga pad dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari keduanya tidak
mengkhianati temannya, Aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah
seorang mengkhianatinya”( HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya ).
Maksudnya, Allah SWT akan menjaga dn menolong dua orang yang bersekutu
dan menurunkan berkah pada pandngan mereka. Jika salah seorang yang bersekutu itu
mengkhianati temannya , Allah SWT akan menghilangkan pertolongan dan keberkahan
tersebut.42

C. Pembagian Syirkah/Perkongsian

Syirkah itu ada dua macam, syirkah amlak dan syirkah ‘uqud:

1. Perkongsian ‘Amlak , adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa
adanya akad. Perkongsian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

42
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hal. 185

57
C. Syirkah Jabariyah, yaitu perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang
atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya , seperti A
dan B menerima warisan sebuah rumah. Dalam contoh ini rumah
tersebut dimiliki bersama oleh A dan B secara otomatis ( paksa ), dan
keduanya tidak bisa menolak.
D. Syirkah Ikhtiyariah, yaitu perkongsian yang muncul karena adanya
kontrak dari dua orang yang bersekutu. Contoh A dan B membeli
sebidang tanah. Dalam hal ini pembeli yaitu A dan B bersama – sama
memiliki tanah tersebut secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak
lain.
2. Perkongsian ‘Uqud, adalah bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih
untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.

1). Ulama Hanafiyah membagi syirkah ‘uqud menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Syirkah amwal
a) Mufawadhah
b) ‘inan
b. Syirkah a’mal
a) Mufawadhah
b) Inan
c. Syirkah Wujuh
a) Mufawadhah
b) Inan

2). Menurut Hanabilah, perkongsian dibagi menjadi lima:

a) Perkongsian ‘Inan
b) Perkongsian Mufawadhah
c) Perkongsian ‘Abdan
d) Perkongsian Wujuh
e) Perkongsian Mudharabah
3). Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah terbagi menjadi 4 bagian , yaitu :

58
a) Syirkah ‘Inan
b) Syirkah Mufawadhah
c) Syirkah Abdan
d) Syirkah Wujuh43

Ulama fiqh sepakat bahwa perkongsian ‘inan diperbolehkan , sedangkan bentuk –


bentuk lainnya masih diperselisihkan. Ulama Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan Imamiyah
membatalkan semua syirkah kecuali syirkah ‘inan dan mudharabah. Ulama Hanabilah
membolehkan semua syirkah kecuali syirkah mufawadhah. Ulama Malikiyah membolehkan
semua syirkah kecuali syirkah wujuh dan mufawadhah yang disebutkan ulama Hanafiyah.

Pada bagian ini akan dijelaskan jenis – jenis syirkah menurut Syafi’iyah, yang meliputi :

1) Syirkah ‘Inan

Definisi syirkah ‘inan sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah sebagai
berikut :

‫ك ا ثنَا ِن فِي َما ٍل لَهُ َما َعلَى اَن يَتَّ ِج َرا فِي ِه َو ا لرِّب ُح بَينَهُ َما‬
َ ‫َو ِه َي اَن يَشت َِر‬

Syirkah ‘inan adalah suatu perssekuutan atau kerja sama antara dua pihak dengan harta (
modal ) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi di antara mereka.44

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah ‘inan adalah persekutuan dalam
modal dan keuntungan, termasuk kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan seorang
persero tidak hanya dibenarkan bersekutu dalam keuntungan saja, sedangkan dalam kerugian ia
dibebaskan.

Dalam hal modal yang diinvestasikan sama, maka keuntungan yang dibagikan boleh
sama antarampara peserta dan boleh pula berbeda. Hal tersebut tergantung pada kesepakatan
yang dibuat oleh para peserta pada waktu terbentuknya akad. Adapun dalam hal kerugian maka
perhitungannya disesuaikan pada modal yang diinvestasikan. Hal ini sesuai dengan kaidah yang
berbunyi :

43
Ibn Rusyd, Bidayah Al – Mujtahid wa Nihayah Al – Muqtashid, juz II , hlm. 248
44
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, Dar Al – Fikr, Beirut, cet III , 1981, hlm . 295

59
ِ َ‫الضي َعةُ عَل َى ق‬
ِ َ‫در ااَل ل‬
‫ين‬ ِ ‫ َو‬, َ‫الرِّب ُح َعلَى َما َش َرط‬

“ Keuntungan diatur sesuai dengan syarat yang mereka sepakati, sedangkan kerugian
tergantung pada besarnya modal yang diinvesatsikannya.”45

Contoh : A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis
dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi
modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang
itu dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika,
misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar
50%.

2) Syirkah Mufawadhah
Muwafadhah dalam arti bahasa adalah al – musawah , yang artinya “ persamaan
“. Syirkah yang kedua ini dinamakan syirkah muwafadahah karena di dalamnya terdapat
unsur persamaan dalam modal, keuntungan, melakukan tasharruf, dan lain – lainnya.

Menurut satu pendapat, mufawadhah diambil dai kata at – tafwidh ( penyerahan ),


karena masing – masing peserta menyerahkan hak untuk melakukan tsharruf kepada teman
serikat yang lainnnya46

Dalam arti istilah, syirkah mufawadhah didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili sebgai
berikut :

ِ ‫َو ِه َي فِى الِص ِطاَل‬


‫ ان يتعاقد اثنان فا كثر على ان يشتركا في عم^^ل بش^^رط ان يك^^ون متس^^اويين في رأس مالهم^^ا و‬: ‫ح‬
‫تصرفهما و دينهما اي ( ملتهما ) ويكون كل واحد منهما كفيال عن االخر فيما يجب عليه من شراء و بيع‬.

Syirkah mufawadhah menurut istilah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih untuk bersekutu ( bersama – sama ) dalam mengerjakan sesuatu perbuatan dengan

45
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 797
46
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296

60
syarat keduanya sama dalam modal, tasarruf, dan agamanya, dan masing – masing peserta
modal menjadi penanggung jawab atas yang lainnya di dalam hal – hal yang wajib dikerjakan ,
baik berupa penjualan maupun pembelian.47

Dari defiinisi tersebut juga dapat diketahui bahwa dalam syirkah mufawadhah terdapat
syarat – syarat yang harus diketahui , yaitu :

1) Persamaan dalam modal. Apabila salah satu peserta modalnya lebih besar daripada
peserta yang lainnya. Misalnya A modal yang ditanamnya Rp. 10.000.000,00
sedangkan B hanya Rp. 5.000.000,00 , maka syirkah hukunya tidak sah.
2) Persamaan dalam hak tasarruf. Maka tidak sah syirkah mufawadhah antara anak
yang masih di bawah umur dan orang dewasa. Karena hak tasarruf keduanya tidak
sama.
3) Persamaan dalam agama. Dengan, tidak sah syirkah mufawadhah antara orang
Muslim dan orang kafir.
4) Tiap – tiap peserta harus menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainnya dalam
hak dan kewajiban sekaligus sebagai wakil. Dengan demikian, tindakan hukuk
peserta yang satu tidak boleh lebih besar daripada tindakan peserta hukum yang
lainnya.48

Menurut Hanafiah dan Malikiyah, syirkan mufawadhah ini hukumnya dibolehkan. Hal
ini karena syirkah mufawadhah banyak dilakukan oleh orang selama beberapa waktu, tetapi
tidak seorangpun yang menolaknya. Sedangkan Imam Syafi’i tidak membolehkannya. Beliau
mengatakan :

‫عرفُهُ فِي ال ُّدنيَا‬


ِ َ‫اطلَةً فَاَل بَا ِط َل ا‬ َ ‫اِ َذا لَم تَ ُكن ِشر َكةُ ال ُمفَا َو‬
ِ َ‫ض ِة ب‬

“ Apabila syirkah mufawadhah tidak dianggap batal, maka tidak ada lagi sesuatu yang batal
yang saya ketahui di dunia ini”49

47
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 798
48
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296
49
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296

61
Syafi’i berpendapat bahwa syirkah mufawadhah adalah suatu akad yang tidak ada
dasrnyya dalam syara’. Untuk mewujudkan persamaan dalam berbagai hal merupakan hal yang
sulit, karena di dalamnya da unsur gharar ( tipuan ) dan ketidakjelasan. Sedangkan hadits yang
digunakan sebagai dasar oleh Hanafiah, merupak hadits yang tidak sha 50hih dan tidak dapat
diterima.

3) Syirkah Wujuh

Syirkah wujuh didefinisikan oleh Sayyid Sabiq adalah " pembelian yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih tanpa menggunakan modal, dengan berpegang pada penampilan mereka
dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan ketentuan mereka bersekutu dalam
keuntungan.

Dari defiinisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah wujuh adalah suatu syirkah atau
kerja sama antara dua orang atu lebih nutuk membeli suatu barang tanpa menggunakan modal.
Mereka berpegang pada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang tehadap mereka.
Dengan demikin, transaksi yang dilakukan adalah dengan cara berutang dengan perjanjian tanpa
pekerjaan dan tanpa harta ( modal ).

Menurut Hanafiyah,, Hanabilah, Zaidiyah, syirkah wujuh hukumnya boleh, karena


bentuknya berupa satu jenis pekerjaan. Kepemilikan terhadap barang yang dibeli boleh berbeda
antara satu peserta dengan peserta lainnnya. Sedangkan keuntungan dibagi natara para peserta,
sesuai dengan besar kecilnya bagian masing – masing dalam kepemilikan atas barang yang
dibeli. Akan tetapi, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa syirkah wujuh
hukumnya batal. Alasan mereka adalah bahwa syirkah selalu berkaitan dengan harta dan
pekerjaan, sedangkan dalam syirkah wujuh, keduanya ( harta dan pekerjaan ) tidak ada. Yang
ada hanya penampilan para anggota serikat, yang diandalkan untuk mendapatkan kepercayaan
dari para pedagang. 51

4) Syirkah Abdan

50

51
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 802

62
Syirkah abdan didefinisikan oleh Sayyid Sabiq adalah kesepakatan antara dua orang atau
lebih untuk menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya dibagi di antara mereka
sesuai dengan kesepakatan.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah abdan ( syirkah a’mal ) adalah suatu
bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama –
sama, dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang disepakati
bersama. Contohnya, tukang batu dengan beberapa temannya berserikat ( bekerja sama ) dalam
mengerjakan pembangunan sebuah gedung sekolah. Kerja sama tersebut bisa dalam satu jenis
pekerjaan yang sama, seperti tukang dengan tukang batu, dan bisa juga dalam jenis pekerjaan
yang berbeda. Misalnya kerja sama antara tukang batu dengan tukang kayu dalam mengerjakan
pembangunan sebuah gedung kantor.

Menurut Malikiyah, Hanafiah, Hnabilah, dan Zaidiyah, syirkah ‘abdan hukumnya boleh,
karena tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan. Dalil dibolehkannya syirkah ‘abdan
adalah hadits Ibnu Mas’ud :

‫يري ِن َولَم اَ ِجي ْء اَنَ^^ا َو ُع َّما ُر‬


َ ^‫ فَ َجا َء َسع ٌد بِا َ ِس‬,‫در‬ ِ ُ‫كت انَا َو َع َّما ُر َو َسع ٌد فِي َما ن‬
ٍ َ‫صيبُ يَو َم ب‬ ُ ‫ اِشتَ َر‬: ‫عَب ِدهللا بنُ َمسعُود قَا َل‬
‫بِشي ٍء‬

Dari Abdillah Ibnu Mas’ud ia berkata : “Saya , Ammar, dan Sa’ad bersekutu dalam hasil
yang diperoleh pada Perang Badar. Maka Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan,
sedangkan saya dan ‘Ammar tidak memperoleh apa – apa ( HR. An – Nasa’i ).

Hadis ini menggambarkan tentang kerja sama antara para sahabat dalam hasil harta
rampasan perang. Kerja sama tersebut dilakukan dengan menggunakan tenaga, tidak
menggunakan ( modal ). Ini menunjukkan bahwa syirkan abdan itu dibolahkan. Hanya saja
Malikiyah mengajukan beberapa syarat untuk keabsahan syirkah abdan ini, yaitu :

a) Pekerjaan atau profesi antara para peserta harus sama. Apabila para profesinya
berbeda maka hukumnya tidak boleh, kecuali garapan pekerjaannya saling mengikat.
Misalnya, tukang kayu dan tukang batu mengerjakan sebuah rumah. Dalam contoh
ini hukum syirkah nya dibolehkan karena pekerjaan yang satu bergantung pada
pekerjaan yang lainnya.

63
b) Tempat pekerjaannya juga harus satu lokasi. Apabila lokasi keduanya berbeda, maka
syirkahnya tidak sah.
c) Pembagian upah harus sesuai dengan kadar pekerjaan yang disyaratkan bagi setiap
anggota serikat.52
Menurut Syafi’iah, Imamiyah, dan Zufar dari Hanafiah, syirkah abdan hukumnya
batal, karena menurut mereka syirkah itu hanya khusu dalam modal saja, bukan dalam
pekerjaan.
D. Hal yang membatalkan syirkah

Hal – hal yang membatalkan syirkah ada yang sifatnya umum dan berlaku untuk semua
syirka, dan ada yang khusus untuk syirkah tertentu, di antaranya :

1. Sebab – sebab yang membatalkan syirkah secara umum


a) Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad
syirkah merupakan akad jaiz dan ghairu lazim, sehingga memungkinkan untuk
difasakh.
b) Meninggalnya salah seorang anggota serikat.

Apabila salah seorang anggota serikat meninggal dunia, maka syirkah menjadi batal atau
fasakh karena batalnya hak milik, dan hilangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf karena
meninggal, baik anggota serikat lainnya mengetahu atau tidak.

c) Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah ke darul harb. Hal ini
disamakan dengan kematian.
d) Gilanya peserta yang terus menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari
wakalah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakalah.
1. Sebab – sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a) Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat
sebelum digunakan untuk membeli barang dalam syirkah amwal. Alasannya,
karena yang menjadi barang transaksi adalah harta, maka kalau rusak akan
menjadi batal sebagaimana yang terjadi pada transaksi jual beli.
b) Tidak ada kesamaan modal
52
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 803 - 804

64
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawadhah pada awal transaksi,
perkongsian batal. Sebab hal itu merupakan syarat syirkah mufawadhah.53

BAB IX
HADITS TENTANG RIBA
A. Pengertian Riba

Diantara jual akad jual beli yang dilarang dengan pelanggaran yang keras antara lain
adalah Riba. Riba secara bahasa berarti penambahan, Pertumbuhan, Kenaikan ,dan Ketinggian.
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlahpinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam.

53
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hal. 201

65
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis,
riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.54
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-
beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan denganprinsip muamalat dalam
Islam.
B. Dasar Hukum Riba dari segi Hadits

َ ^‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم آ ِك َل الرِّ َبا َو ُم ْؤ ِك َل ُه َو َكا ِت َب ُه َو َشا ِه َد ْي ِه َو َق‬


‫^ال ُه ْم‬ َ ِ ‫ال َل َع َن َرسُولُ هَّللا‬
َ ‫َع ْن َجا ِب ٍر َق‬
‫َس َوا ٌء‬
Artinya: dari Jabir dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat
pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya.” Dia
berkata, “Mereka semua sama.” (HR. Muslim).55
Dalam hadits ini,Nabi SAW mendoakan kepada para pelaku riba sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits-hadits agar dijauhkan dari rahmat Allah.hal ini menunjukkan adanya
dosa bagi para pelaku riba dan dalili haramnya melakukan transaksi riba. Karena dialah yang
langsung memanfaatkan dibandingkan dengan yang lain. Maksud oranng yang memberi makan
riba yaitu orang yang memberi riba karena transaksi riba ini tidak akan terjadi tanpa adanya
perantara darinya, sehingga ia masuk juga dalam hubungan dosa. Sedangkan penulis dan kedua
saksi dalam transaksi riba mendapatkan dosa juga disebabkan karena mereka turut serta dalam
membantu perbuatan terlarang. Hal ini berlaku jika dilakukan dengan sengaja dan tahu bahwa ia
telah melakukan perbuatan riba. Dalam hadis, disebutkan penggunaan kata ‘syahid’ (saksi) yang
dilaknat dengan kata tunggul, hal ini dimaksudkan untuk penyebutan jenisnya.56
.       hadits kedua

54
Amin Isfandiar, Ali. (2014). Ayat Ekonomi tentang Riba (Riba dan Zakat).
(online).  Tersedia:http://iecourse.blogspot.com/2014/02/qs-ar-rum-30-39.html.   [19 November 2014].

55
Anderta, Rio. (2014). Riba : Hukum Riba, Macam-macam Riba dan Bahaya Riba.  (online). Tersedia: http://mata-air-ilmu-
pusat    kecemerlangan.blogspot.com/2013/05/riba-hukum-macam-bahaya.html. [25 November 2014].

56
Chaudhry, Dr.Muhammad Sharif. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. Kencana Prenada Media Group, 2012.

66
‫م قال التبعوا الذهب اال مث^^ل وال تش^^فوا بعض^^ها على بعض وال تبع^^وا‬.‫عن ابي سعيد الخدرى رضى هللا عنه ان رسول هللا ص‬
)‫ وال تشفوا بعضها على بعض وال تبيعوا منها غائبا بناخر (متفق عليه‬,‫الورق با لورق اال مثال بمثل‬

Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah bersabda :Jangnanlah
kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan janganlah kamu menjual uang
dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan jangganlah  kamu menambah  sebagian atas
sebagiannya, dan jannganlah kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang
nampak. (muttafaq Alaihih).
Tafsir hadits
Hadist tersebut sebagai dalil keharaman jual beli emas  dengan emas dan perak dengan
perak secara berbeda (tidak sama), baik ada barangnya atau tidak karena sabda beliau’ kecuali
yang sama sebanding’ dikecualikan dari keumuman kondisinya, seakan beliau  mengatakan,
‘jangan kalian menjual bagaimana pun kondisi nya kecuali dengan yang sebanding, yakni sama
kadarnya. Beliau mempertegas lagi dengan mengatakan, ‘jangan menambahkan’. Dari faedah
hadits tersebut sebagian besar ulama sahabat tabi’in, dan para fuqaha mengatakn: diharamkan
melebihkan kadar pada hal-hal yang disebutkan,baik ketika barangnya nampak ataupun tidak
nampak.57
C. Macam-macam Riba
Umumnya para ulama membagi riba menjadi dua, yakni riba fadl danriba nasi’ah.
1. Riba Fadl
Riba fadl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan
adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Islam telah mengharamkan jenis riba ini dalam
transaksi karena khawatir pada akhirnya orang akan jatuh pada riba yang hakiki yaitu riba an-
Nasi’ah  yang sudah menyebar dalam tradisi masyarakat Arab. Dalam konteks inilah Rasululloh
SAW. bersabda :

ِ ِ ‫التَبِيعوا الد‬
‫الربَا‬
ِّ ُ‫الر َما َم ْعنَاه‬
َّ ,‫الر َما‬
ِّ ‫اف َعلَْي ُك ْم‬ َ ‫ًّه َم بِد ْرمَهَنْي ِ فَايِّن أ‬
ُ ‫َخ‬ ْ ُْ ْ

57
Syaikh Muhammad nashiruddin Al-Albani, subulus salam jilid 2( darus sunnah )

67
Janganlah kalian menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya takut terhadap
kalian dengan rima, dan rima artinya riba.
Karena perbuatan ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan riba yang hakiki,
maka menjadikan hikmah Allah dengan mengharamkannya sebab ia bisa menjerumuskan
mereka kedalam perbuatan haram.
2. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah adalah pembayaran hutang yang harus dilunasi oleh orang yang berhutang
lebih besar dari jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat
waktu.
Riba nasi’ah dalam sistem ekonomi modern biasanya dihubungkan dengan bunga bank.
Banyak ahli hukum dan ekonomi Islam yang memasukkan bunga bank kedalam kategori riba
nasi’ah, karena tembahan beban yang harus ditanggung oleh orang yang berhutang lebih dari
hutang pokoknya, baik tambahan itu sedikit ataupun banyak. Dengan demikian bunga bank
dianggap terlarang  (riba). ahmad Hassan (1887-1958), seorang ulama tokoh pembaru di
Persatuan Islam (Persis) berpandangan bahwa riba nasi’ah hukumnya haram sepanjang
tambahan atau kelebihan ini bersifat berlipat ganda dan eksploitatif (zhulm, aniaya) atau
memberatkan. Menurutnya riba seperti inilah sesunguhnya diharamkan yang banyak
dipraktikkan pada zaman jahiliyah.
Bersdasarkan pandangan tersebut, menurut Hassan, bunga bank tidaklah haram. Bunga
bank tidaklah mempunyai sifat seperti riba yang berlaku di zaman jahiliyah yang berlipat ganda
dan ekspliotatif.

 Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri membuat pembagian riba yang agak berbeda
dengan umumnya ulama. Menurut keduanya riba dibedakan atas riba yang terjadi pada hutang
piutang yakni riba nasi’ah dan riba yang terjadi pada jual beli, yakni riba nasa’ dan riba
fadl. Al-Misri menekankan pentingya pembedaan antara riba nasi’ah dan riba nasa’ agar
terhindar dari kekeliruan dalam mengidentifikasi berbagai bentuk riba. Al-Misri juga
menyatakan bahwa tidak dilakukannya pembedaan yang jelas antara riba nasi’ah dan riba
nasa’menyebabkan kekeliruan sebagian ulama dalam menerangkan riba. Ibn al-Qoyyim,
misalnya, mendiskripsikan riba fadl untuk menunjukkan riba kepada jual beli kemudian dengan

68
serta merta memandangnya sebagai sadd al-dzariyah(penutup jalan) bagi riba dalam hutang
piutang.

D. Hadits tentang Riba

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ َ ‫ال رس‬


َ ‫ول اللَّه‬ َ َ‫اب َر ِض َي اللَّهُ َعْن هُ ق‬
ُ َ َ َ‫ال ق‬
ِ َّ‫َعن عُم ِر بْ ِن اخْلَط‬
َ ْ
ِ‫ض ِة ِربا ا‬ ِ ْ‫ض ةُ بِال‬ ِ ْ‫ب ِرب ا اِالَّ ه اء وه اء وال‬
ِ ِ ‫وس لَّم ال َّذ َه‬
‫اء‬ ‫ه‬‫و‬ ‫اء‬
َ َََ َ ً‫ه‬َّ
‫ال‬ َّ ‫ف‬ َّ ‫ف‬ َ َ َ َ َ ً ‫ب بال َّذ َه‬ ُ َ ََ
.َ‫وهاء‬ ‫اء‬ ‫ه‬ َّ
‫ال‬ ِ‫والْبر بِالْ ِ ِربا اِالَّ هاء وهاء والشعِير بِالشَّعِ ِ ِربا ا‬
َ َ َ ً ‫رْي‬ ُ ْ ّ َ َ َ َ َ ً ‫َ ٌُ رُب‬
“ Dari Umar bin Al-Khatthab Radiallahu ‘Anhu, dia berkata, Rasululloh Sallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,’ Jual beli emas dengan emas adalah riba kecuali secara
kontan, perak dengan perak adalah riba kecuali dengan kontan, biji gandum dengan
gandum adalah riba kecuali secara kontan, tepung gandum dengan tepung gandum
adalah riba kecuali secara kontan’.’(HR Bukhori-Muslim).
  Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli emas dengan perak atau sebaliknya
serta kerusakannya jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan diantara penjual dan pembeli
sebelum berpisah dari tempat akad. Inilah yang disebut musharofah. Pengharaman jual beli
gandum dengan biji gandum atau tepung gandum dengan tepung gandum serta kerusakannya,
jika tidak dilakukan secara kontan sebelum penjual dan pembeli berpisah dari tempat akad.
Tempat akad yang dimaksud disini adalah tempat berjual beli dan bertransaksi, baik keduanya
sama-sama duduk atau sambil berjalan atau sambil berkendara. Sedangkan yang dimaksud
berpisah ialah apapun yang menurut kebiasaan dianggap sebagai perpisahan diantara manusia.

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ َّ‫َن رس و َل الل‬


‫ه‬ َّ ‫أ‬ ‫ه‬ ‫ن‬
ْ ‫ع‬ ‫ه‬َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ِ‫ير‬
‫ض‬ ِّ ِ
‫ر‬ ‫د‬
ْ ‫خْل‬‫ا‬ ٍ ‫عن أَيِب س عِي‬
‫د‬
َ ُْ َ ُ ُ َ َ َ ُ ْ َ ْ َْ
ِ ‫ض َها َعلَى َب ْع‬ ِ ِ ِ ِ ‫ال الَ تَبِيع وا ال َّذهب بِال َّذه‬
َ‫ض َوال‬ َ ‫االَّ مثْالَ َوالَ تُش ُّف ْوا َب ْع‬  ‫ب‬ َ َ َ ْ َ ْ َ َ‫ق‬
69
ِ ِ‫ِ ِ مِب‬
‫ض َوالَ تَبِْي َع ْوا‬ َ ‫تَبِْيعُ ْوا الْ َو ِر َق بِ الْ َو ِر ِق االَّ مثْالً ْت ٍل َوالَ تُش ُّف ْوا َب ْع‬
ٍ ‫ض َها َعلَى َب ْع‬

ِ ‫ِمْنها َغا ئِبا بِن‬


.‫اج ٍز‬َ ً َ
“ Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasululloh Shollallohu ‘alaihi
Wasallam bersabda, ‘Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali yang sama beratnya,
janganlah kalian melebihkan sebagian diatas sebagian yang lain, janganlah kalian menjual
perak dengan perak kecuali yang sama beratnya dan janganlah kalian melebihkan sebagian
diatas sebagian yang lain, dan janganlah kalian yang tidak ada diantara barang-barang itu
dengan yang ada’.”( HR Bukhori-Muslim)
Hadis ini menunjukkan larangan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, baik
yang sudah dibentuk (batangan) atau yang berbeda, selagi tidak mengikuti ukuran yang syar’i,
yaitu beratnya, jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan dari kedua belah pihak ditempat
akad. Larangan terhadap hal itu mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad.
Syaikhul-Islam ibnu Taimiyah berkata tentang seorang yang memberikan pinjaman kepada
orang-orang setiap seratus harus dikembalikan seratus empat puluh, “Inilah yang disebut riba
seperti yang diharamkan di dalam Al-Qur’an.” Dia menyebutkan bahwa orang itu tidak
mempunyai hak kecuali apa yang dia berikan kepada mereka atau yang senilai dengannya.
Adapun tambahannya, dia sama sekali tidak berhak sedikitpun terhadapnya. Sedangkan riba
yang sudah terlanjur terjadi, maka dimaafkan. Adapun sisanya yang belum terbayarkan, maka
menjadi gugur, karena didasarkan kepada frman-Nya, “Dan tinggalkanlah sisa riba(yang
belum dipungut).” (QS Al-Baqaroh :287).

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ‫ال ج اء بِال ٌل ا‬ َّ‫ي َر ِض ي الل‬ ِ ‫َع ْن أَيِب َسعِْي ٍد اخْلُ ْد‬
َ ِّ ‫ىل النَّيِب‬
َ َ َ َ َ ‫ق‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫ع‬
َ ‫ه‬
ُ َ ِّ ‫ر‬ ْ
َ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِم ْن أَيْ َن َه َذا ق‬
‫ال بِالَ ٌل‬ َ ‫َو َس لَّ َم بِتَ ْم ِر َب ْريِن ٍّ َف َق‬
َ ِّ ‫ال لَ هُ النَّيِب‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ‫يِب‬َّ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫م‬ِ‫اع لِنُطْع‬
ٍ ‫ص‬ِ
‫ب‬ ِ ‫اع‬ ‫ص‬ ‫ه‬ ‫ن‬
ْ ِ ‫ي فَبِعت‬
‫م‬ ٌّ ِ ‫َك ا َن ِعْن َدنَا مَتْ ر ر‬
‫د‬
َ ِّ َ َ ‫ْ ُ ُ َ َنْي‬ ٌَ

70
ِ
‫الربَ ا الَ َت ْف َع ُل‬ َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِعْن َد َذل‬
َّ ُ ‫ك أ ََّو ْه َعنْي‬ َ ‫َو َس لَّ َم َف َق‬
َ ِّ ‫ال النَّيِب‬
.‫ي فَبِ َع الت َّْمَر بَِبْي ٍع اَ َخَر مُثَّ ا ْشرَتِ بِِه‬ ِ
َ ‫ت أَْنتَ ْشرَت‬
ِ
َ ‫َولَك ْن ا َذا أ ََر ْد‬
“Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radiallahu ‘anhu, dia berkata,’Bilal datang kepada
Rasulullloh Shallallohu ‘alaihi wasallam sambil menyerahkan kurma Barny’. Lalu Nabi
Shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya,’ Dari mana engkau mendapatkan kurma
ini?’ Bilal menjawab, ‘Tadinya kami mempunyai kurma yang rendah mulutnya, lalu aku
menjual sebagian darinya dua sha’ (yang bagus), agar Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam
memakannya’. Pada saat itu nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Awwah awwah. Ini
adalah riba yang sebenarnya, ini adalah riba yang sebenarnya, janganlah engkau
melakukannya, tapi jika engkau ingin membeli, juallah kurma (yang rendah mulutnya) dengan
penjualan lain, kemudian belilah dengannya (kurma yang bagus mulutnya)’.” (HR Bukhori-
Muslim).
Hadis ini menjelaskan pengharaman riba fadl dengan kurma. Gambarannya, sebagian
kurma dijual (ditukar) dengan sebagian yang lain, yang satu lebih banyak daripada yang lain.
Hadis ini dijadikan dalil pembolehan masalah inah, yaitu menjual barang dengan secara kredit,
kemudian membelinya dari pembeli  itu secara kontan dengan harga yang lebih sedikit dari
harga pertama. Dan hadis ini juga dijadikan sebagai dalil pembolehan tawarruq, yaitu membeli
barang yang nilainya seratus real dengan seratus dua puluh secara kredit, agar barang itu dapat
diambil manfaatnya, bahkan untuk dijual dan harganya dimanfaatkan.            

‫ب َو َزيْ َد بْ َن أ َْرقَ َم َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه ْم‬


ٍ ‫ت الْب راء ابْن َع ا ِز‬
َ ََ َ ُ ‫ل‬
َْ‫أ‬ ‫س‬
َ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ا‬ ‫ه‬
َ ‫ن‬
ْ ِ ْ‫عن أَيِب ال‬
‫م‬ ْ َْ
‫اح ٍد ِمْن ُه َم ا َي ُق ْو ُل َه َذا َخْي ٌر ِميِّن ْ فَ ِكالَ مُهَ ا َي ُق ْو ُل َن َهى‬ ِ ‫الص ر‬
ِ ‫ف فَ ُك ُّل و‬
َ ْ َّ ‫َع ِن‬
.‫َديْ َن‬ ‫ب بالْ َو ِر ِق‬ َّ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّم َع ْن َبْي ِع‬
ِ ‫الذ َه‬ ِ
َ ‫َر ُس ْو َل اللَّه‬
َ

71
“Dari Abul-Minhal, dia berkata,’ Aku bertanya kepada Al-Bara’ bin Azib dan Zaid bin
Arqam tentang sharf. Maka setiap orang diantara keduanya menjawab, ‘Rasululloh Shallallahu
Alaihi Wasallam melarang menjual emas dengan perak secara utang’.”(HR Bukhori-Muslim).
Hadis ini menjelaskan mengenai larangan menjual emas dengan perak, perak dengan
emas, yang salah diantara keduanya tidak ada barangnya. Jadi harus dilakukan pembayaran
secara kontan. Sahnya jual beli ini dengan pembayaran secara kontan ditempat akad, karena itu
merupakan sharf. Akad akan rusak jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan ditempat
akad ialah karena tidak bertemunya dua barang, yang termasuk alasan riba.

َّ ‫ض ِة بِالْ ِف‬
‫ض ِة‬ ِ ‫ال َنهى رس و َل اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم ع ِن‬
َّ ‫الف‬ َ َ َ َ َْ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ‫َع ْن أَيِب ْ بَ ْك َر َةٌق‬
‫ف‬ ‫ي‬‫ك‬َ ِ
‫ب‬ ‫ه‬ َّ
‫الذ‬ ِ
‫ب‬ ‫ة‬
َ ‫ض‬
َّ ِ ْ‫ب اِالَّ س واء بِس و ٍاء وأَمرنَا أَ ْن نَ ْش ِ ي ال‬
‫ف‬ َّ ِ‫َوال ّذ َهب ب‬
ِ ‫الذ َه‬
َ ْ َ َ ‫رَت‬ ََ َ َ َ ً َ َ َ
‫ال يَ ًدا بِيَ ٍد‬ َ َ‫ف ِش ْئنَا ق‬
َ ‫ال فَ َس أَلَهُ َر ُج ٌل َف َق‬ ِ َّ ‫ِش ْئنَا ونَ ْش ِ ي ال َّذهب بِالْ ِف‬
َ ‫ض ة َكْي‬ َ َ َ ‫َ رَت‬
.‫ت‬ ِ
ُ ‫ال َه َك َذا مَس ْع‬
َ ‫َف َق‬
“Dari Abu Bakrah, dia berkata,’Rasululloh Sallallohu Alaihi Wasallam melarang
menjual perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan berat yang sama, dan
memerintahkan agar kami membeli emas dengan perak menurut kehendak kami’,” Dia (rawi)
berkata,”Seseorang bertanya kepadanya,’Apakah maksudnya secara kontan? ‘Dia

menjawab,’Begitulah yang kudengar '." (HR Bukhaori-Muslim).

Dijelaskan oleh hadis ini mengenai pengharaman menjual emas dengan emas, perak
dengan perak yang ada selisih beratnya, karena berhimpunnya harga dan yang dihargai dalam
satu jenis ribawi. Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, namun ada dua
syarat: pertama, sama beratnya, yang satu tidak boleh melebihi yang lain. Kedua, pembayaran
secara kontan ditempat akad. Apa yang dikatakan mengenai emas dan perak juga berlaku untuk

72
satu jenis ribawi, ketika sebagian dijual dengan sebagian yang lain, separti biji gandum dengan
biji gandum.
Diperbolehkannya menjual emas dengan perak atau perak dengan emas yang berbeda
beratnya, karena yang satu bukan jenis yang lain. Begitu pula yang dikatakan untuk setiap jenis,
yang dijual dengan jenis lainnya yang bersifat ribawi, yang boleh dilakuakan dengan adanya
selisih berat diantara keduanya. Ketika menjual emas dengan perak atau perak dengan emas,
harus dilakukan pembayaran secara kontan ditempat akad. Jika keduanya berpisah sebelum
pembayaran, maka akad itu menjadi batal, karena keduanya berhimpun pada alasan ribawi.
Begitu pula yang berlaku untuk dua jenis, yang bertemu pada alasan ribawi, yaitu takaran atau
timbangan, yang harus dilakukan pembayaran secara kontan diantara keduanya ditempat akad.

ِ ِ ِ ِّ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ءَاكِ َل‬ ِ َّ‫رس و َل الل‬ ‫لَعن‬


ُ‫الربَ ا َو ُمكلَ هُ َو َكاتبَ هُ َو َش اه َده‬ َ ‫ه‬ ْ ُ َ ََ
.ٌ‫ ُه ْم َس َواء‬:‫ال‬
َ َ‫َوق‬
Rasululloh SAW.mengutuk pemakan (pengambil) riba, pemberi makan dengan “      
.”riba, penulisnya dan saksinya, seraya bersabda, “mereka sekalian sama

Hadis menjelaskan bahwa nabi Muhammad SAW sangat tidak menyukai para pemakan
riba, yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan riba kemudian dari hasilnya itu ia dapat
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberi makan dengan riba maksudnya dengan harta
hasil riba untuk memberi makan orang lain atau menyumbang dengan harta hasil riba. Dan juga
orang-orang yang terlibat dalam riba tersebut, yaitu yang menulis dan yang menjadi saksi
terhadap riba.
Jadi, semua yang telah disebutkan tadi adalah sama halnya dengan orang yang berbuat
riba dan akan mendapatkan siksa di akhirat kelak.
E. Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba
jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qurdh dan jahiliyah, sedangkan kelompok
kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan nasi’ah.
a.       Riba qardh, suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)

73
b.      Riba jahiliyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak dapat
membayar pada waktu yang di tentukan
c.       Riba fadl,pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
Misal: seorang memiliki 10 gram emas yang telah lama ia pakai, dan ia menginginkan
untuk menukarnya dengan perhiasan emas yang baru , maka ia harus menukarnya
dengan emas seberat 10 gram pula tanpa ada tambahan bayaran, bila membayarnya
dengan tambahan maka ia telah terjatuh dalam riba.[
d.      Riba nasi’ah, penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba ini muncul karena adanya
perbedaan.perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian.58

BAB X

HADITS TENTANG WASIAT

A. Pengertian Wasiat

Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat
dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat dapat
dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang
diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. 59 Adapula wasiat yang
berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya
seorang berwasiat kepada orang lain supaya mendidik anaknya kelak, membayar utangnya ,
atau mengembalikan barang pinjamannya sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia. Hak
kekuasaan yang diserahkan hendaklah berupa harta, hak kekuasaan yang bukan berupa harta
tidak sah diwasiatkan. Misalnya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan walisetelah
ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang sudah di
tentukan. 60

58
https://www.islamkafah.com/tafsir-hadits-penjelasan-hadits-tentang-riba/
59
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris ( Bandung: Pustaka Setia, 2009 ), h.343

60
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 344

74
Kata wasiat diambil dari kata, “ ‫( وصيت الشيء أوص^^يه‬aku menyampaikan sesuatu yang
dipesankan kepadaku).” Maka, setelah orang yang berwasiat wafat, ia telah menyampaikan apa
yang dulu akan disampaikan semasa hidupnya.

Adapun secara syara’ wasiat berarti penyerahan barang, hutang, atau kemanfaatan
kepada orang lain agar diberikan kepada orang yang diwasiati setelah orang yang berwasiat
meninggal.

B. Dasar hukum Wasiat

a) Wasiat wajib bagi orang yang memiliki harta untuk diwasiatkan.

Allah berfirman:

َ‫ُوف ۖ َحًقّ^ًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬


ِ ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َواأْل َ ْق َربِينَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ك خَ ْيرًا ْال َو‬ ُ ْ‫ض َر أَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت إِن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

“Diwajibkan atasmu, apabila seorang di antara kamu mendapatkan (tanda-tanda) kematian,


jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” [Al-Baqarah 180]

Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫صيَّتُهُ َم ْكتُوبَةٌ ِع ْن َده‬


ِ ‫يت لَ ْيلَتَي ِْن إِالَّ َو َو‬
ُ ِ‫ُوصي فِي ِه يَب‬
ِ ‫ئ ُم ْسلِ ٍم لَهُ َش ْي ٌء ي‬ ُّ ‫ َما َح‬.
ٍ ‫ق ا ْم ِر‬

“Seorang muslim tidak layak memiliki sesuatu yang harus ia wasiatkan, kemudian ia tidur dua
malam, kecuali jika wasiat itu tertulis di sampingnya.”61

Tafsir Hadits

Asy-Syafi'i Rahimahullah berkata, "Hendaknya seorang muslim selalu waspada, apabila


ia memiliki sesuatu yang dapat diwasiatkan, maka sepatutnya untuk segera menulis wasiatnya,

61
Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/355, no. 2738), Shahiih Muslim (III/1249, no. 1627), Sunan Abi Dawud (VIII/63, no.
2845), Sunan at-Tirmidzi (II/224, no. 981), Sunan Ibni Majah (II/901, no. 2699), Sunan an-Nasa-i (VI/238).

75
karena dia tidak tahu kapan ajal akan menjemputnya, bila hal itu tidak dilakukan, maka dia tidak
bisa menyampaikan keinginannya."

Ada yang berpendapat, kata 'Al-Haqq' secara bahasa bermakna sesuatu yang tetap,
sedangkan menurut syari'at adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan syari'at Islam, dan
hukum Islam itu bisa wajib, sunnah, atau mubah.

Sabda Nabi, "sesuatu yang ia wasiatkan" menunjukkan bahwa wasiat hukumnya tidak
wajib, tetapi hanyalah sesuai dengan keinginan pemberi wasiat. Para ulama bersepakat agar
kaum muslimin menuliskan wasiat, hanya saja mereka berbeda pendapat apakah anjuran itu
hukumnya menjadi wajib atau tidak?

Jumhur ulama berpendapat bahwa menulis wasiat hukumnya sunnah, sedangkah Dawud
dan Ahli Zhahir berpendapat bahwa menulis wasiat itu hukumnya wajib. Diriwayatkan dari
Asy-Syafi'i dalam Al-Qadim (pendapat-pendapat terdahulu) dan Ibnu Abdil Bar mengatakan,
sudah menjadi ijma' ulama bahwa menulis wasiat hukumnya tidak wajib berdasarkan pada
pemahaman makna hadits; sebab jika dia tidak berwasiat tentu hartanya dibagikan kepada
semua ahli warisnya berdasarkan ijma ulama. Kalau sekiranya wasiat hukumnya wajib, tentu
akan dikeluarkan dari sebagian hartanya sebagai ganti dari wasiat.

،ٌ‫^رثُنِي إاَّل ا ْبنَ ^ةٌ لِي َوا ِح^ َدة‬ ِ ^َ‫ َواَل ي‬،‫ أَنَ^^ا ُذو َم^^ا ٍل‬،ِ ‫ قُ ْلت يَ^^ا َر ُس ^و َل هَّللا‬:‫ قَ^^ا َل‬- ُ‫ض ^ َي هَّللا ُ تَ َع^^الَى َع ْن^ه‬
ِ ‫ َر‬- ‫ص‬ٍ ‫«س ^ ْع ِد ْب ِن أَبِي َوقَّا‬
َ ‫َوع َْن‬
ْ ‫ إنَّك‬،ٌ‫ث َكثِ^^ير‬
ْ‫إن تَ^ َذر‬ ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ث‬ُ ُ‫ الثُّل‬:‫ق بِثُلُثِ^ ِه؟ قَ^^ا َل‬
ُ ‫َص^ َّد‬ ْ ^‫ق بِ َش‬
َ ‫ أَفَأَت‬:‫ اَل قُ ْلت‬:‫ط ِر ِه؟ قَ^^ا َل‬ َ ‫ أَفَأَت‬:‫ اَل قُ ْلت‬:‫ق بِثُلُثَ ْي َمالِي؟ قَ^^ا َل‬
ُ ‫َص^ َّد‬ َ َ‫أَفَأَت‬
ُ ‫ص َّد‬
َ َّ‫َو َرثَتَك أَ ْغنِيَا َء خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْن تَ َذ َرهُ ْم عَالَةً يَتَ َكفَّفُونَ الن‬
ٌ َ‫اس» ُمتَّف‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬

“Sa’d bin Abu Waqqash r.a berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai harta
dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku
bersedekah dengan dua pertiga hartaku?’ Beliau menjaawab, ‘tidak boleh.’ Aku bertanya,
‘apakah aku boleh menyedekahkan setengahnya?’ Beliau menjawab, ‘tidak boleh.’ Aku
bertanya lagi,’Apakah aku boleh menyedekahkan sepertiganya?' Beliau menjawab, ‘Ya,
sepertiga dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalakn ahli warismu kaya
lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada
orang lain.” (Muttafaq ‘Alaih).

76
Dari hadis ini dapat ditarik kesimpulannya bahawa, larangan memberikan wasiat
melebihi sepertiga harta peninggalan jika ia memiliki ahli waris. Ini adalah ijma’ ulama,,,. Ada
nya kelebihan harta dari orang yang kaya memiliki keutamaan untuk memberi sedekah kepada
orang yang tidak mampu. Namun, sebagai orang yang tidak berada juga tidak boleh hanya
mengandalkan pemberian orang lain. Mereka berwajibkan untuk berusaha sebagai bentk
beribadah kepadanya. Setiap harta yang kita miliki ada kewajiban yang harus dikeluarkan. Salah
satunya berinfak dijalan Allah Swt.62

Tafsir Hadits

Ulama berbeda pendapat kapan peristiwa itu terjadi? Ada yang mengatakan, ketika haji
wada' di Mekah, Sa'd jatuh sakit, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjenguknya dan ia
bertanya kepada beliau, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Az-Zuhri. Ada juga yang
mengatakan, ketika Fathu Makkah seperti yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari riwayat Ibnu
Uyainah, namun hal itu dibantah para ahli hadits dengan mengatakan bahwa pendapat itu adalah
sebuah kekeliruan. Pendapat yang paling tepat adalah yang pertama, namun ada juga yang
mengatakan bahwa peristiwa Sa'd bertanya kepada Nabi itu terjadi dua kali.

Dipahami dari sabda Nabi "banyak", bahwa tidak perlu berwasiat kalau hartanya sedikit.
Berdasarkan riwayat dari Ali, Ibnu Abbas dan Aisyah, sabda Nabi, "Tidak ada yang mewarisiku
kecuali anak perempuanku", maksudnya tidak ada yang mewarisiku dari anak-anakku yang
laki-laki; karena bila tidak, tentu yang akan mewarisi harta Sa'd adalah bani Zuhrah karena
mereka adalah ashabahnya. Peristiwa ini terjadi sebelum Sa'd mempunyai anak laki-laki. Dan
menurut Al-Waqidi, setelah itu Sa'd mempunyai 4 anak laki-laki, bahkan ada yang mengatakan
anak laki-lakinya lebih dari 10, sedangkan anak perempuannya ada 12 orang.

b) Ukuran Harta Wasiat Yang Disunnahkan

62
Imam Al-Hafis ibnu Hajar Al-asqalany., Bulughul Maram Five in One (Jakarta selatan: Naura Books, 2008), hlm.
578-579

77
Dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika di Makkah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenggukku sementara beliau enggan wafat di tanah
yang beliau hijrah darinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ث‬
‫ث‬ ُ ُ‫ فَ^الثُّل‬:‫ قَ^^ا َل‬،‫ث‬ ُ ‫ قُ ْل‬،َ‫ ال‬:‫طرُ؟ قَ^^ا َل‬
ُ ُ‫ اَلثُّل‬:‫ت‬ ْ ^‫الش‬
َّ َ‫ ف‬:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬،َ‫ ال‬:‫ص^ي بِ َم^^الِي ُكلِّ ِه قَ^^ا َل‬ِ ْ‫ يَا َرسُوْ َل هللاِ أُو‬:‫ت‬ ُ ‫يَرْ َح ُم هللاُ ا ْبنَ َع ْف َرا َء قُ ْل‬
‫ص^ َدقَةٌ َحتَّى‬َ ‫ك َم ْه َما أَ ْنفَ ْقتَ ِم ْن نَفَقَ^ ٍة فَإِنَّهَ^^ا‬
َ َّ‫ َوإِن‬،‫اس فِي أَ ْي ِدي ِه ْم‬
َ َّ‫ك أَ ْغنِيَا َء خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْن تَ َد َعهُ ْم عَالَةً يَتَ َكفَّفُونَ الن‬َ َ‫ك أَ ْن تَ َد َع َو َرثَت‬َ َّ‫َكثِ ْي ٌر إِن‬
ٌ‫ُض َّر بِكَ آخَ رُونَ َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ يَوْ َمئِ ٍذ إِالَّ ا ْبنَة‬ َ ‫ َو َع َسى هللاُ أَ ْن يَرْ فَ َع‬،‫ك‬
َ ِ‫ك فَيَ ْنتَفِ َع ب‬
َ ‫ك نَاسٌ َوي‬ َ ِ‫اللُّ ْق َمةُ الَّتِي تَرْ فَ ُعهَا إِلَى فِي ا ْم َرأَت‬.

‘Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Afra (Sa’d).’ Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, aku berwasiat
dengan semua hartaku ?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Separuhnya?’ Beliau
bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Sepertiganya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sepertiga, dan
sepertiga itu banyak, sebab jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu
lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka meminta-minta pada
orang lain. (Selain itu, jika engkau hidup) walaupun engkau memberikan hartamu pada
keluargamu, akan tetap dihitung sebagai sedekah, sampai makanan yang engkau suapkan pada
mulut isterimu. Semoga Allah mengangkat derajatmu, memberikan manfaat kepada sebagian
manusia, dan membahayakan sebagian yang lain.’ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai pewaris
kecuali seorang anak perempuan.”63

c) Tidak Boleh Berwasiat Untuk Ahli Waris


Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya pada tahun Haji Wada’:
‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ ِل َو‬
ٍ ‫ار‬ ٍّ ‫إِ َّن هللاَ قَ ْد أَ ْعطَى ُك َّل ِذي َح‬.
ِ ‫ق َحقَّهُ فَالَ َو‬

“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan hartanya.
Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” 64

d) Apa Yang Ditulis Di Awal Wasiat


Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Para Sahabat menulis pada awal wasiatnya:
ِ ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ م ِن الر‬
‫َّحي ِْم‬

Berikut ini apa yang akan aku wasiatkan kepada Fulan bin Fulan:

63
Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/363, no. 2742), dan ini lafazhnya, Shahiih Muslim (III/250, no. 1628), Sunan Abi
Dawud (VIII/64, no. 2847), Sunan an-Nasa-i (VI/242).
64
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah no. 2194], Sunan Ibni Majah (II/905, no. 2713), Sunan Abi Dawud (VIII/72, no. 2853),
Sunan at-Tirmidzi (III/293, no. 2203).

78
“Hendaklah ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak di-ibadahi dengan benar selain
Allah, yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya. Dan bahwasanya Kiamat pasti akan datang tanpa keraguan sedikit pun. Dan
bahwasanya Allah akan membangkitkan setiap orang yang ada di kubur. Maka hendaknya ia
mewasiatkan kepada keluarga yang ditinggalkannya supaya bertakwa kepada Allah, selalu
memperbaiki diri, mentaati Allah dan Rasul-Nya jika ia benar-benar beriman. Juga mewasiatkan
bagi mereka sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim dan Ya’qub kepada anak-anak mereka, ‘Wahai
anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kalian sebuah agama, maka janganlah
kalian meninggal kecuali dalam keadaan Islam.’”

e) Kapan Wasiat Dipindahkan Haknya


Wasiat tidak boleh dipindahkan haknya kepada orang yang diwasiati kecuali setelah
orang yang berwasiat meninggal dunia, dan telah dilunasi hutang-hutangnya. Apabila hutangnya
melebihi harta peninggalan, maka orang yang diwasiati tidak mendapatkan apa-apa.
Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat. Kalian juga membaca ayat:

‫ُوص ٰى بِهَا أَوْ َدي ٍْن‬ ِ ‫ِمن بَ ْع ِد َو‬


َ ‫صيَّ ٍة ي‬

‘(Pembagian warisan) setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah)
hutangnya.’” [An-Nisaa’: 12]

Peringatan:
Sehubungan dengan kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat sekarang adalah
berbuat bid’ah pada agamanya, terlebih lagi yang berkaitan dengan urusan jenazah, maka
termasuk wajib bagi seorang muslim berwasiat agar jenazahnya diurus dan dimakamkan sesuai
dengan Sunnah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
َ ^‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا قُوا أَنفُ َس ُك ْم َوأَ ْهلِي ُك ْم نَارًا َوقُو ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْيهَا َماَل ئِ َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَّل يَ ْعصُونَ هَّللا َ َما أَ َم‬
َ‫^رهُ ْم َويَ ْف َعلُ^^ون‬
َ‫َما ي ُْؤ َمرُون‬

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar,
yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahriim: 6]

79
Oleh karena itulah para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat
dengannya. Riwayat yang menjelaskan hal ini sangat banyak, di antaranya:

Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yaitu Sa’d) berkata pada saat sakit
menjelang ajalnya, “Galilah untukku sebuah lahat, dan pancangkanlah di atasnya sebuah bata
(patok), sebagaimana yang di buat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 65

Peringatan Kedua:
Apabila seseorang mempunyai cabang pewaris yang sudah meninggal ketika ia hidup,
maka ia harus berwasiat untuk anak-anak pewaris ini sebanyak apa yang seharusnya menjadi
hak mayit atau sesuatu dari hartanya dengan batasan sepertiga. Dan sepertiga adalah banyak.
Apabila orang tersebut meninggal, dan tidak berwasiat untuk cucu-cucunya itu, maka mereka
diberi bagian yang seharusnya diwasiatkan. Karena ini merupakan hutang atas orang itu,
walaupun ia tidak menulisnya. Dan hendaknya sekarang ini pengadilan memberlakukan hal
tersebut.66

b) Batalnya Wasiat

Wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat yang telah
disebutkan, misalnya sebagai berikut:

1.      Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang
menyampaikannya kepada kematian.
2.      Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya.
3.   Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang
yang diberi wasiat.67
c) Hikmah Wasiat
1.  Bahwa wasiat adalah salah satu cara yang digunakan manusia untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Pada akhir hidupnya agar kebaikanya bertambah atau
memperoleh apa yang terlewat olehnya.
2.      Dalam wasiat terdapat kebaikan dan pertolongan bagi manusia.
65
Ahkaamul Janaa-iz, karya Syaikh al-Albani (hal. 8)
66
https://almanhaj.or.id/973-kitab-wasiat.html
67
Sayyid Sabiq., Fiqih Sunnah 14 (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hlm. 236-251

80
3. Hikmah larangan pemberian wasiat dalam kuantitas terlalu besar dikwatirkan akan
menelantarkan ahli waris sepeninggalnya sehingga mereka akan menghadapi kehidupan
dengan mengharapkan kebaikan orang lain.

BAB XI

HADITS TENTANG WAKAF

A. Pengertian Wakaf

Menurut bahasa, kata wakaf berasal dari bahasa Arab, yaitu Waqafa yang artinya
menahan atau berhenti atau berdiam di tempat atau tetap berdiri. Menurut istilah Fiqih, wakaf
adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi
masyarakat (Mujieb, 2002:414).

Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang
tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan

81
maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan
untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam.

Waqaf menurut bahasa, berasal dari bahasa Arab ‫ الوقف‬bermakna ‫ الحبس‬, artinya
menahan.68

Imam Abu Bakar Muhamad bin Abi Sahel As Sarkhasi mengartikan waqaf menurut bahasa
sebagaimana di atas, lalu berdalil dengan firmanNya:

َ‫َوقِفُوهُ ْم إِنَّهُ ْم َم ْسئُولُون‬

Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan
ditanya. (Ash Shofat:24).

Maksud pengambilan ayat ini karena ada kalimat waqofa, artinya menahan.

Sedangkan wakaf menurut istilah, yaitu menahan benda yang pokok dan menggunakan
hasil atau manfaatnya untuk kepentingan dinul Islam. 69

B. Dalil di syariatkannya Wakaf

Wakaf termasuk amal ibadah yang berupa harta benda, telah disyari’atkan Islam
semenjak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, dan kemudian dilanjutkan oleh
para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘anhu berkata :

َ‫س ِم ْن^هُ فَ َك ْي^^فَ تَ^^أْ ُم ُرنِي بِ^ ِه قَ^ا َل إِ ْن ِش^ ْئت‬


َ َ‫ط أَ ْنف‬ ِ ُ‫ْت أَرْ ضًا لَ ْم أ‬
ُّ َ‫صبْ َمااًل ق‬ ُ ‫صب‬ َ َ‫ي فَقَا َل أ‬َّ ِ‫اب ُع َم ُر بِ َخ ْيبَ َر أَرْ ضًا فَأَتَى النَّب‬
َ ‫ص‬َ َ‫أ‬
ِ ‫ فِي ْالفُقَ َرا ِء َو ْالقُ^^رْ بَى َوالرِّ قَ^^ا‬, ‫ث‬
‫ب‬ َ ‫ع أَصْ لُهَا َواَل يُوهَبُ َواَل ي‬
ُ ‫ُور‬ ُ ‫ أَنَّهُ اَل يُبَا‬, ‫ق ُع َم ُر‬ َ َ‫َحبَّسْتَ أَصْ لَهَا َوت‬
َ َ‫ فَت‬, ‫ص َّد ْقتَ بِهَا‬
َ ‫ص َّد‬
‫ص^ ِديقًا َغ ْي^ َر ُمتَ َم^ ِّو ٍل‬ ْ ‫ُوف أَوْ ي‬
َ ‫ُط ِع َم‬ ْ ^ِ‫ اَل ُجنَا َح َعلَى َم ْن َولِيَهَا أَ ْن يَأْ ُك َل ِم ْنهَا ب‬, ‫ْف َوا ْب ِن ال َّسبِي ِل‬
ِ ‫^ال َم ْعر‬ َّ ‫َوفِي َسبِي ِل هَّللا ِ َوال‬
ِ ‫ضي‬
‫فِي ِه‬

“Umar Radhiyallahu ‘anhu telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata,”Aku telah mendapatkan bagian tanah,
yang saya tidak memperoleh harta selain ini yang aku nilai paling berharga bagiku. Maka

68
Mu’jam Al Wasith (2/1051).
69
kitab Al Muhgni oleh Ibn Qudamah (8/184), Fiqhus Sunnah (3/377), Al Hidayah , Al Kafi , Al Talhish, Al Mustau’ib, Al
Hawy Ash Shaghir. Lihat kitab Al Inshaf oleh Mardawi (7/3), Hasyiah Ibn Abidin (4/398), Subulus Salam (3/87).

82
bagaimana engkau, wahai Nabi? Engkau memerintahkan aku dengan sebidang tanah ini?”
Lalu Beliau menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan
tanahnya) dan engkau shadaqahkan hasilnya,” lalu Umar menyedekahkan hasilnya.
Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris,
tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk
kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil. Orang yang
mengurusinya, tidak mengapa apabila dia makan sebagian hasilnya menurut yang makruf, atau
memberi makan temannya tanpa ingin menimbunnya. [HR Bukhari no. 2565, Muslim 3085].

Atau istilah yang lain, yaitu menahan barang yang dimiliki, tidak untuk dimiliki
barangnya, tetapi untuk dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan orang lain.

Imam Nawawi berkata: Hadits ini menunjukkan asal disyari’atkan wakaf. Dan inilah
pendapat jumhurul ulama’, serta menunjukkan kesepakatan kaum muslimin, bahwa
mewakafkan masjid dan sumber mata air adalah sah. [Lihat Syarah Muslim, 11/86].

Dalil dari hadits yang lain, Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata:

ْ ‫ َوهَّللا ِ اَل ن‬, ‫ اَل‬: ‫َّار ثَا ِمنُونِي بِ َحائِ ِط ُك ْم هَ َذا ؟ قَالُوا‬
ِ ‫َطلُبُ ثَ َمنَهُ إِاَّل إِلَى هَّللا‬ ِ ‫لَ َّما قَ ِد َم َرسُو ُل هَّللا ِ ْال َم ِدينَةَ^ أَ َم َر بِبِنَا ِء ْال َم ْس ِج ِد َوقَا َل يَا بَنِي النَّج‬

Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di Madinah, Beliau menyuruh


agar membangun masjid. Lalu Beliau berkata,”Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini
kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini,
kecuali untuk Allah. [HR Bukhari].

Berdasarkan hadits di atas, jelaslah bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sala untuk dibangun masjid, dan wakaf termasuk amal jariyah (yang
mengalir terus pahalanya).

C. Keutamaan Wakaf

Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata: Wakaf adalah shadaqah yang paling mulia. Allah
menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi pewakaf, karena shadaqah

83
berupa wakaf tetap terus mengalir menuju kepada kebaikan dan maslahat. Adapun
keutamaannya, (meliputi):

Pertama : Berbuat baik kepada yang diberi wakaf, berbuat baik kepada orang yang
membutuhkan bantuan. Misalnya kepada fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang
yang tak memiliki usaha dan perkerjaan, atau untuk orang yang berjihad fi sabilillah,
untuk pengajar dan penuntut ilmu, pembantu atau untuk pelayanan kemaslahatan umum.
Kedua : Kebaikan yang besar bagi yang berwakaf, karena dia menyedekahkan harta
yang tetap utuh barangnya, tetapi terus mengalir pahalanya, sekalipun sudah putus
usahanya, karena dia telah keluar dari kehidupan dunia menuju kampung akhirat.

D. Hukum Wakaf

Hukum wakaf adalah sunnah, dengan mengingat dalil di atas dan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ح يَ ْدعُو لَه‬ َ ‫اريَ ٍة أَوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه أَوْ َولَ ٍد‬


ٍ ِ‫صال‬ َ ‫إِ َذا َماتَ اإْل ِ ْن َسانُ ا ْنقَطَ َع َع ْنهُ َع َملُهُ إِاَّل ِم ْن ثَاَل ثَ ٍة ِإاَّل ِم ْن‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬

Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara:
shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.
[HR Muslim 3084].

Syaikh Ali Bassam berkata: Adapun yang dimaksud dengan shadaqah dalam hadits ini
ialah wakaf. Hadits ini menunjukkan, bahwa amal orang yang mati telah terputus. Dia tidak
akan mendapat pahala dari Allah setelah meninggal dunia, kecuali (dari) tiga perkara ini; karena
tiga perkara ini termasuk usahanya. Para sahabat dan tabi’in mengizinkan orang berwakaf,
bahkan menganjurkannya.

Imam Tirmidzi berkata: Kami tidak melihat salah seorang sahabat dan orang Ahli Ilmu
pada zaman dahulu mempermasalahkan kebolehan mewakafkan tanah, melainkan hanya
Syuraih yang mengingkarinya.

84
Imam Syafi’i berkata: Kami tidak pernah mengetahui orang Jahiliyah mewakafkan
sesuatu, tetapi orang Islam yang mewakafkan hartanya. Ini menunjukkan, bahwa di dalam
Islam, wakaf adalah masyru’. 70

E. Rukun dan syarat Wakaf

Menurut jumhur ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali, mereka sepakat
bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:

1. Wakif (orang yang berwakaf)


a. Syarat seorang wakif yaitu :
b. Orang yang berakal dan dewasa pemikirannya (rasyid).
c. Sudah berusia baligh dan bisa bertransaksi.
d. Orang yang merdeka (bukan budak).

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyebutkan dalam Mulakhas Fiqhi, “Disyaratkan bagi orang
yang wakaf, ia adalah orang yang transaksinya diterima (bisa menggunakan harta), yaitu dalam
keadaan sudah baligh, merdeka, dan dewasa pemikirannya (rasyid). Maka dari itu, tidak sah
wakaf yang dilakukan oleh anak yang masih kecil, orang yang idiot, dan budak.” (al-
Mulakhash)

2. Mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf)

Jika wakaf ditujukan untuk kepentingan umum, maka deemi terjaganya kelangsungan dan
manfaat, maka pengelolaan wakaf diserahkan kepada seorang nazir. Adapun kriteria seorang
nazir adalah :

a. Berakal sehat

b. Dewasa

c. Amanah

d. Memahami cara mengelola harta waqaf.

70
Taisiril Allam Syarah Umdatul Ahkam, 2/245

85
e. Cakap

3. Mauquf  (harta yang diwakafkan)

Hal yang perlu diperhatikan tentang harta yang akan diwakafkan antara lain:

a. Harta yang diwakafkan telah diketahui dan ditentukan bendanya.

Sesuatu yang diwakafkan harus sudah jelas dan ditetapkan. Bukan sesuatu yang belum jelas
bendanya, karena kalau demikian, tidak sah wakafnya.

Contoh : Seseorang mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya.”


Wakaf seperti ini tidak sah, karena rumah yang dia wakafkan belum ditentukan, kecuali kalau
mewakafkan sesuatu yang belum ditentukan namun dari benda yang sama jenis dan
keadaannya. 

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah jika keadaan benda tersebut sama, maka
wakafnya sah. Contohnya, seseorang memiliki dua rumah yang sama dari segala sisinya.
Kemudian dia mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya kepada fulan.” Yang
demikian ini tidak mengapa….” 

b. Benda tersebut adalah milik orang yang mewakafkan Tidak diperbolehkan mewakafkan harta
yang sedang dijadikan jaminan hutang atau digadaikan kepada pihak lain. 

c. Harta yang diwakafkan adalah benda yang bisa terus dimanfaatkan dengan tetap masih ada
wujud bendanya.

4. Sighat (pernyataan wakif untuk mewakafkan harta bendanya).

Adapun lafadz yang dengannya wakaf akan teranggap sah, para ulama membaginya menjadi
dua bagian:

1. Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang dengan jelas menunjukkan wakaf dan tidak
mengandung makna lain. Contoh : “Saya wakafkan tanah ini ........”

86
2. Lafadz kinayah, yaitu lafadz yang mengandung makna wakaf meskipun tidak secara langsung
dan memiliki makna lainnya, namun dengan tanda-tanda yang mengiringinya menjadi bermakna
wakaf. Contoh : “Saya sadaqahkan untuk dibangun ........”

F. Fungsi Wakaf
Fungsi wakaf itu terbagi menjadi empat fungsi, yaitu:
1.    Fungsi Ekonomi. Salah satu aspek yang terpenting dari wakaf adalah keadaan
sebagai suatu sistem transfer kekayaan yang efektif. 
2.    Fungsi Sosial. Apabila wakaf diurus dan dilaksanakan dengan baik, berbagai
kekurangan akan fasilitas dalam masyarakat akan lebih mudah teratasi.
3.    Fungsi Ibadah. Wakaf merupakan satu bagian ibadah dalam pelaksanaan perintah
Allah SWT, serta dalam memperkokoh hubungan dengan-Nya. 
4.    Fungsi Akhlaq. Wakaf akan menumbuhkan ahlak yang baik, dimana setiap orang
rela mengorbankan apa yang paling dicintainya untuk suatu tujuan yang lebih tinggi dari
pada kepentingan pribadinya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dzar Al Qilmani, Kunci Mencari Rejeki yang Halal (Jakarta: Mizan, 2004) h. 139

87
Ahmad Fuad, Pohon Iman, (Solo: Pustaka Arafah, 2008) h. 77
Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf
Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. Hal.164.
An Nabhani,Taqyudin, Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti.
2009
Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu
Taimiyyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 342.
BMH News, Ada Ketaqwaan Ada Kedermawanan (edisi September 2010) h. 7.
Buya H.M. Alfis Chaniago dan Saiful El-Usmani, Kumpulan Hadis Pilihan (Jakarta: Dewan
Mubaligh Indonesia, 2008), hlm. 98.
Fauzia, Ika Yunia. 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group
Faisal bin Ali Al-Ba’dani, 1001 Manfaat Nyata Sedekah, (Jakarta: Gramedia, 2006) h. 16-17.

Handri Rahardjo, Kalo Gak Mau Kaya, Jangan Berwirausaha (Yogyakarta: Penerbit


Cakrawala, 2009), hlm. 15.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta, Gaya Media Pratama. 2000.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 33
HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar, 1513
https://darmanpoltek.wordpress.com/2013/03/18/keseimbangan-dunia-akherat
http://hesdata.blogspot.com/2016/03/hadist-tentang-keseimbangan-hidup.html
http://duniadibaca.blogspot.com/2015/11/produksi-dalam-islam.html

Ibn Rusyd, Bidayah Al – Mujtahid wa Nihayah AlMuqtashid, juz II , hlm. 248


Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1982, hlm. 326
Dzajuli, Fiqh Siyasah, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2003, hlm. 209-212
Ilfi Nur Diana, M.Si., Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008) h. 55
Ibrahim bin fathl bin abd al-Muqtadir,Uang Haram (jakarta:Sinar grafika Offset
Idri, 2015. Hadist Ekonomi, Jakarta : Prenadamedia Group.
Imam Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyadus Syari’, Syarah Shahih al
Bukhori (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996), hlm. 234
Ma’ruf Abdullah, Wirausaha Berbasis Syari’ah  (Banjarmasin: Antasari Press, 2011),hlm. 1
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Persfektif Islam, Yogyakarta, BPFE-YOYAKARTA, 2004

88
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), hal. 230

Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah,


Samahudi, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) h. 16

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa (Jakarta: Darul Haq,


2003) h. 102
Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur, Victory
Agencie:1990.

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, Dar Al – Fikr, Beirut, cet III , 1981, hlm . 295
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 797.

89

Anda mungkin juga menyukai