Selanjutnya
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-ya’manu-
amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap batin
yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan selainnya seperti
yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan
atau kepatuhan (taqwa) kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman.
Hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surat al-Baqarah 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang amat
sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti
amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal itu karena apa
yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan
tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan
dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun
bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan
kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan
sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan corak
dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa’: 51 yang dikaitkan dengan
jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut:
52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak
benar menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata
Allah. Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan
Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti
positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan
ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut
iman bathil.
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan
keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan iman
sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang muslim yang disebut amal
saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan kepercayaan
itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan. Karena
itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri
seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang dipandang
sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia berakidah Islam,
maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah seorang muslim atau amal
saleh. Apabila tidak berakidah, maka segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun
perbuatan yang dilakukan bernilai dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala aturan
hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti meyakini dan
melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada
ajaran Islam.
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan yang
digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar makanan yang
dimakan berasal dari rezeki yang halalan thayyiban. Pandangan dan sikap hidup seorang ibu
yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas
dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga
berpengaruh secara psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena itu jika
seseorang menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka suami isteri
hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar
kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh
terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari
lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda-benda mati
seperti cuaca, tanah, air, dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang disengaja
maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua
dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku
yang baik maupun yang buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku
baik, apabila orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak
tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses
perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah
langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah,
maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran Allah
harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat verbal
sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika kepada mereka
tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa
pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang anak harus
dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang
dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan
ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur.
Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang menampak saja. Di dalamnya tercakup juga
sikap-sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara tidak langsung (misalnya,
melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut);
bahkan secara tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di
dalam tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan nilai-
nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting dalam
kehidupan yaitu iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai
hidup tertentu, yang disebut tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi melalui
satu campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap interaksi yang
terjadi.
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang panjang, terus menerus, dan tidak
berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang semakin lama semakin
mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung
seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi, agar dapat membuat
tingkah laku lebih terarah dan selektif dalam menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima
atau yang seharusnya ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan individuasi
Sesuatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah laku
tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui satu peristiwa
internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi
(yakni usaha menempatkan nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui pengalaman
penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri
manusia secara lebih wajar dan “alamiah”, dibandingkan bilamana nilai itu langsung
diperkenalkan dalam bentuk “utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada
anak didik sebagai satu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan pentingnya
mempelajari iman sebagai proses (internalisasi dan indidivuasi). Implikasi metodologiknya ialah
bahwa pendekatan untuk membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat
hanya mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus mementingkan proses
dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik, hal ini berarti bahwa seyogianya
anak didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya mengalami proses tersebut sebagai peristiwa
pengalaman pribadi, agar melalui pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.
Pada umumnya nilai-nilai hidup baru benar-benar mempunyai arti, bila telah memperoleh
dimensi sosial. Oleh karena itu satu bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas
bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologiknya ialah bahwa usaha
pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak diukur keberhasilannya
terbatas pada tingkat individual (yaitu dengan hanya memperhatikan kemampuan-kemampuan
seseorang dalam kedudukannya sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam
kaitan kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus
terjadi proses sosialisasi tingkah laku, sebagai kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman
yang diwujudkan ke dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani secara
konsisten yaitu secara tetap dan konsekwen, serta secara koheren, yaitu tanpa mengandung
pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi metodologiknya adalah
bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang
mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan koheren. Alasannya, caranya, dan
konsekwensinya dapat dihayati dalam sifat dan bentuk yang jelas dan terpola serta tidak
berubah-ubah tanpa arah. Pendekatan demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu
akan mendukung serta memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang
konsisten dan koheren sudah nampak, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan
tingkah laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah laku
sudah tercipta.
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak
lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka bergejolak hatinya
untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan berusaha memahami ayat yang tidak
dia pahami sebelumnya.
2. Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi
dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali
Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52, Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-
Taghabun: 13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-Anfal: 3 dan
al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat, dia segera
shalat untuk membina kualitas imannya.
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun: 4). Hal ini
dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan
upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang
miskin.
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (al-Mukminun:
3, 5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu al-
Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
6. Memelihara amanah dan menempati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min tidak akan
berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal: 74). Berjihad di jalan Allah adalah
bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang
dimiliki maupun dengan nyawa.
8. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti itu
merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan dengan ajaran
Allah dan Sunnah Rasul.
Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan
seorang muslim. Abu A’la Maududi menyebutkan tanda orang beriman sebagai berikut:
2. Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
5. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi.
7. Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan
tidak takut kepada maut.
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua, yaitu
tauhid teoritis (tauhid rububiyyah) dan tauhid praktis (tauhid uluhiyyah). Tauhid teoritis adalah
tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan keesaan Perbuatan Tuhan.
Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan,
pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid
teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang
menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal ibadah
manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah
(Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengartian tauhid praktis (tauhid ibadah).
Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah
selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat
tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengartian beriman kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa
mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan
seorang yang sudah bertauhid secara sampurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan
tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis
kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid
teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan
konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan
pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah
mengesakan Tuhan dalam pengartian yakin dan percaya kepada Allah melalui fikiran,
membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.
Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan
kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan
meninggalkan segala larangan-Nya.
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yang sudah
established, sehingga sulit sekali memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam pikiran dan
realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik),
sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun
orang Islam dengan non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dimungkinkan sebagai masyarakat yang antara
satu dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagai
kehidupan yang terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu
wujud kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.
Adopsi modernisme (westernisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan bangsa
Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis.
Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal.
Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme menjadikan bangsa Indonesia
bersikap tidak menentu. Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambing oleh isme-
isme tersebut.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena diadopsinya
sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu
muncul konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-nilai
qur’ani, karena pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi dan
pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih
memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh anak-anak sekolah,
mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih terdapat bermacam-macam masalah yang
dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh yang
menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat dan dapat
menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan
melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan
revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan
problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.
2. Peran Iman dan Takwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan
beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah hendak
memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat mencegahnya.
Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak ada satu kekuatanpun yang
sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat
mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan
kepercayaan pada kesaktian benda-benda kramat, mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul,
jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat al-
Fatihah ayat 1-7.
Di mana saja kamu berada, kematian akan datang mendapatkan kamu kendatipun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (an-Nisa’ 4: 78).
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak
orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang
manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan, bermuka dua, menjilat, dan
memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah
firman Allah:
Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud). (Hud, 11: 6).
Acapkali manusia dilanda resah dan duka cita, serta digoncang oleh keraguan dan
kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tentram (mutmainnah),
dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan firman Allah:
…(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. (ar-Ra’d, 13: 28).
Seorang yang beriman tidak pernah ragu pada keyakinannya terhadap Qadla dan Qadar. Dia
mengetahui dan meyakini seyakin-yakinnya bahwa Qadla dan Qadar Allah telah tertulis di
dalam kitab.
Qadar adalah apa yang dapat dijangkau oleh kemauan dan iradah manusia. Allah telah
menciptakan manusia serta dilengkapi dengan nikmat berupa akal dan perasaan. Melalui akal
dan iradahnya, manusia dapat berbuat berbagai hal dalam batas iradah yang dianugerahkan Allah
kepadanya.
Di luar batas kemampuan iradah manusia, Qadla dan Qadar Allahlah yang berlaku. Orang-
orang yang selalu hidup dalam lingkungan keimanan, hatinya selalu tenang dan pribadinya
selalu terang dan mantap. Allah memberi ketenangan dalam jiwanya dan ia selalu mendapat
pertolongan dan kemenangan. Inilah nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hambaNya yang
mukmin dan anugerah Allah berupa nur Ilahi ini diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya.
Orang mukmin mengetahui bahwa mati adalah satu kepastian. Oleh sebab itu dia tidak takut
menghadapi kematian, bahkan dia menunggu kematian. Hal ini diyakini sepenuhnya selama
hayat dikandung badan. Keberanian selalu mendampingi hati seorang mukmin.
Seorang mukmin yang dalam hidupnya mengalami atau menghadapi masalah, baik materi,
kejiwaan, atau kemasyarakatan, mungkin masalah itu terasa berat untuk ditanggulangi. Tetapi
dekatnya dengan Allah dan rasa tawakkal atau penyerahan diri yang bulat kepada Allah, serta
iman dengan Qadla dan Qadar dapat meringankan pengaruh tekanan yang berat. Dalam keadaan
yang seperti ini, kalau seorang beriman ditimpa malapetaka, ia akan bersabar dan memohon
rahmat kepada yang memiliki segala rahmat. Dengan demikian ketenangan akan meliputi hati
mukmin. Dia yakin bahwa Allah akan mengabulkan do’anya, meneguhkan hatinya, serta
memberikan kemenangan. (ar-Ra’ad 28, al-Fath 4).
Kalau Allah telah menurunkan ketenangan dalam hati, maka hati menjadi mantap, segala krisis
dapat dilalui, keseimbangan hormon tetap mantap, dan keserasian kimiawi tubuh berjalan
dengan wajar. Dalam keadaan demikian segala penderitaan dan tekanan jiwa akan berganti
dengan perasaan bahagia dan ketenangan.
Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu melakukan kebaikan dan
mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah :
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya, akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang mereka kerjakan. (an-Nahl, 16: 97).
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa pamrih,
kecuali keridaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah
diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman pada
firman Allah:
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam”. (al-An’aam, 6: 162)
Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar, karena Allah membimbing dan
mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah
orang yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung. (al-Baqarah, 2: 5).
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh manusia
mukmin dipengaruhi oleh iman.
Hal itu karena semua gerak dan kegiatan manusia, baik yang dipengaruhi oleh kemauan seperti
makan, minum, berdiri, melihat dan berfikir, maupun yang tidak dipengaruhi kemauan seperti
gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah tidak lebih dari serangkaian proses atau
reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses bio-
kimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur oleh
hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofise, yang terletak di samping bawah otak. Pengaruh
dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia
semenjak ia masih berbentuk zygot dalam rahim ibu. Dalam hal ini iman mampu mengatur
hormon dan selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.
Jika karena pengaruh tanggapan, baik indera maupun akal, terjadi perobahan fisiologis tubuh
(keseimbangan hormon terganggu), seperti takut, marah, putus asa, dan lemah, maka keadaan ini
dapat dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu orang-orang yang dikontrol oleh iman
tidak akan mudah terkena penyakit modern, seperti darah tinggi, diabetes, dan kanker.
Sebaliknya jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak mengacuhkan azas moral dan
akhlak, merobek-robek nilai kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidak pernah ingat kepada
Allah, maka orang yang seperti ini hidupnya akan dikuasai oleh kepanikan dan ketakutan.
Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi adrenalin dan persenyawaan kimia lainnya.
Selanjutnya akan menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap biologi tubuh serta lapisan otak
bagian atas. Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan mengakibatkan terganggunya
kelancaran proses metabolisme zat dalam tubuh manusia. Pada waktu itu timbullah gejala
penyakit, rasa sedih, dan ketegangan psikologis, serta hidupnya selalu dibayangi oleh kematian.
Demikianlah pengaruh dan manfaat iman pada kehidupan manusia, ia bukan hanya sekedar
kepercayaan yang berada dalam hati, tetapi menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk
sikap dan perilaku hidup. Apabila suatu masyarakat terdiri dari orang-orang yang beriman, maka
akan terbentuk masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera
Kepustakaan
1. Ijtihad Merupakan Langkah Penting dalam upaya mendapatkan kepastian hukum dari dalail
yang bersifat ijtihad, coba jelaskan:
Dalil Al-Qur’an
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nissa; 59)
Kebolehan ijtihad juga didasarkan pada firman Allah surat Al-Hasyir ayat 2: “…Maka
ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Melalui ayat ini Allah Memerintahkan orang-orang yang mempunyai pandangan untuk
mengambil i'tibar (pelajaran) atas mala petaka yang menimpa kaum yahudi disebabkan tingkah
laku mereka yang tidak baik sebagaimana dikemukakan pada awal ayat ini. Maksud dari ayat
tersebut ialah: Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu perkara, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul….
Dalil Hadits
Dalil yang menceritakan tentang muaz bin jabal yang diutus nabi menjadi hakim di
yaman. Dalam hadits ini terjadi dialog antara nabi dengan muaz, nabi saw bertanya kepada
muaz, “bagaimana engkau memutuskan hukum ?”menjawab pertanyaan ini ia menjawab secara
berurutan, “yaitu Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah, kemudian dengan melakukan ijtihad” .
nabi kemudian membenarkan jawaban muaz ini dengan mengatakan: “segala puji bagi Allah
yang telah memberi taufiq atas diri utusan nabi Allah dengan apa yang di ridhai Allah dan
Nabi-NYA. “ (HR. Abu Daud).
b. Langkah langkah apa yang harus dilakukan dalam berijtihad ialah:
Apabila suatu kasus ditanyakan kepada seorang mujtahid, hendaklah ia mengkaji
hukumnya pada nash-nash Al-Kitab, jika tidak menemukannya di sana, hendaklah mencarinya
pada nash hadits mutawatir, jika tidak ditemukan juga, ia harus mencarinya dalam nash Hadits
Ahad, jika disitu juga tidak ada, ia belum boleh melakukan qiyas, tetapi mesti mencarinya pada
petunjuk zahir Al-Quran, jika menemukan petunjuk zahir, ia harus pula meneliti terlebih dahulu
apakah ada qiyas atau Hadits yang mentakhsiskannya, apabila tidak dalil yang mentakhsis
barulah ia menetapkan hukum berdasarkan petunjuk zahir tersebut.
Jika sama sekali tidak menemukan hukum dari dua sumber itu, ia mesti meneliti fatwa-
fatwa dari berbagai mazhab. Jika ternyata masalahnya telah mendapatkan ijma’, maka harus
mengikuti ijma’ tersebut. Jika tidak ada ijma’ ia harus melakukan qiyas. Dalam menerapkan
qiyas mesti memperhatikan kaedah-kaedah umum (kulliyah) yang harus didahulukan atas kaedah
khusus (juz’iyah) seperti pembunuhan dengan benda berat, maka diutamakan prinsip pencegahan
terjadinya pembunuhan. Kemudian jika tidak menemukan kaedah umum maka ia perlu meneliti
nash-nash dan ijma’ yang ada. Jika kasus yang dihadapinya itu termasuk dalam cakupan nash
atau ijma’, ia harus memberlakukan hukum tersebut dan jika hal ini tidak ditemukan, barulah ia
beralih kepada qiyas mukhil (yang ‘illahnya sesuai dengan hukum).
Jika hal ini tidak dapat dilakukan karena tidak ditemukan ‘illah yang sesuai, ia harus
beralih kepada qiyas Al-Syabah dan jangan berpijak kepada metode thardi (yang ‘illahnya tak
diketahui segi kesesuaiannya dengan hukum). Jika tidak ditemukan juga dari semua sumber di
atas, ia harus berpijak pada istishhab ashl. Ketika terjadi pertentangan di antara dalil-dalil, jalan
pertama yang harus ditempuh adalah mengkompromikannya dengan metode yang dapat diterima
dikalangan ulama. Para ulama telah sepakat bahwa melakukan ijtihad itu hukumnya adalah
wajib. Wajib bagi siapa ? Tentu, wajib bagi para Faqih atau Mujtahid yaitu mereka yang
memiliki kapasitas dan otoritas dalam melakukan ijtihâd tersebut. Oleh karena itu, bagi mereka
yang memiliki otoritas, seperti faqih dan mujtahid, wajib melakukan ijtihâd dan bagi orang
awam tidak wajib melakukan ijtihâd.
Adapun yang berhak melakukan ijtihad yakni orang yang mampu memenuhi syarat dan
kriteria seorang mujtahid yaitu:
Syarat khusus : mengetahui bahasa arab, mempunyai pengetahuan yang baik tentang al-Qur’an,
memahami hadits Nabi, mempunyai pengetahuan yang luas tentang ijma’ para ulama begitu pula
dengan qiyas, mempunyai pengetahuan tentang maksud syar’i dalam menetapkan hukum dan
terakhir mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ushul fiqh.
c. Sesuai Hadits Nabi Muhammad Saw dalam Shahihain yang diriwayatkan oleh Imam bukhari
dan Imam Muslim ‘’Jika seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian
benar maka dia mendapat dua pahala, dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan
kemudian salah maka ia mendapat satu pahala” melalui hadits ini cukup untuk membuka pintu
ijtihad dan hadits ini sangat menekankan pentingnya ijtihad apalagi disaat sekarang yang banyak
bermunculan permasalahan baru yang belum ada hukumnya. Ijtihad tidak akan pernah terhenti
karena ia merupakan kebutuhan umat islam sepanjang masa, sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan zaman. Sekiranya ijtihâd tidak ada, maka umat Islam akan menemukan problem dan
mengalami kemunduran.
d. Mujtahid fi at-Tarjih, karena kegiatan kita bukan mengistinbatkan hukum tapi kita masih dalam
taraf membandingkan berbagai madzab atau pendapat dan kita dapat mentarjih atau memilih
pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang sudah ada dengan memakai metode tarjih yang
telah dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya. Dalam tingkatan ini kita sanggup
mengemukakan di mana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.
2. a. Ijma’ adalah kekuatan yang sangat besar dalam perkembangan syari’ah.
Tidak saja sebagai sumber yang indEpenden, tetapi juga berkaitan dengan otoritas teks dan
interpretasi terhadap Al-Qur’an dan sunnah itu sendiri, pada tingkat tertentu, rekaman awal Al-
Qur’an dan seleksi sunnah telah menjadi otoritas dan terangkum melalui ijma’.
Zaman sekarang banyak muncul Negara, yang banyak maupun sedikit penduduknya
adalah muslim. Meskipun Negara tersebut sekalipun penduduk islamnya sedikit pemerintah
masih membuat peraturan atau Undang-undang untuk umat islam. Jika persepakatan mujtahid
dalam pemerintahan Negara tersebut dikatakan ijma’ maka ada kemungkinan terjadinya ijma'
pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan
sebagai ijma' lokal. keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para
mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan
sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli
wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-
peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.Hal yang demikian dibolehkan
dalam agam Islam.
Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk
berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama
memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan.
Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari
pendapat yang dilakukan oleh orang seorang. Kontroversi mengenai boleh tidaknya berIjma’
masih berlanjut dimasa sekarangkarena tidak adanya perangkat metodologi yang menghantarkan
umat (baik ulama maupun umat islam pada umumnya) pada ijma dalam berbagai permasalahan.
Dengan adanya sarana-sarana modern untuk organisasi, transportasi, komunikasi dan sebagainya,
tentu permasalahan ijma’ di masa sekarang tidak menjadi masalah.
Artinya : “Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha
Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.”
Kemudian dari Hadits Nabi dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW.
bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat
kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.233)
Melihat dua dalil di atas sesuatu yang membawa kemandharatan adalah haram. Akan
tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan
terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti
dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi
ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan
berbagai argumennya. Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau
membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau
makruh.
Ketentuan umum
Dalam ketentuan ini dijelaskan mengenai al-kutub almu’tabarat (kitab standar) kemudian
mengenai cara-cara bermazhab atau mengikuti aliran hukum fiqh dan keyakinan (akidah)
tertentu.
o Apabila telah terjawab dalam kitab standar, kemudian dalam kitab-kitab tersebut hanya satu qawl
atau wajah, maka qawl itu dapat digunakan sebagai keputusan.
o Apabila telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar tetapi terdapat beberapa qawl, maka
yang dilakukan adalah taqrir jama’I untuk menentukan pilihan salah satu wajah atau qawl.
o Apabila tidak ada jawabannya sama sekali dalam kitab standar,langkah yang dilakukan adalah
ilhaqul masaili binadzoriha. Ilhaq dilakukan oleh ulama secara kolektif serta dengan
memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilayh, wajh al-ihlaq.
o Apabila tidak terdapat jawabannya dalam kitab standard an tidak memungkinkan melakukan
ilhaq, maka langkah yang ditempuh adalah istinbath secara kolektif dengan prosedur bermazhab
secara manhaji oleh para ahlinya.
Menelusuri metode istinbath Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majlis Tarjih
(MT) dan Pengembangan Pemikiran Islam (PPI), MT-PPI membedakan 3 istilah teknis dalam
ijtihad, yaitu :
Metode ijtihad :
o Sejarah (tarikhiyyat)
o Sosiologi
o Antropologi
o Hermenetik
o Qiyas
o Mashlih mursalat
o Al-,urf
Bahwa setiap fatwa didasarkan pada adiillat yang paling kuat dan membawa kemashlahatan bagi
umat yang berdasarkan Al-Qur’an, Hadit, ijma’, qiyas dan dalil hukum yang lain.
o Ulama melakukan kajian terhadap pendapat para imam mazhab dan fuqaha dengan berbagai cara
istidlal-nya dan kemaslahatan bagi umatnya.
o Jika fuqaha memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat melalui tarjih dan
memilih salah satu pendapat yang difatwakan.
o Jika terjih tidak mendapatkan produk hukum, komisi melaksanakan ilhaaqul masaili
binadzoriha.
o jika ilhaq tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi dapat melakukanijtihad jama’I
dengan menggunakan al-qawa’id al-ushuliyyat dan al-qawa’id al-fiqhiyyat.
o Masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional
o Masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas kedaerah lain.
Contoh :
1. Beberapa waktu lalu Majellis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan fatwa Haram
bagi rokok. Tapi sebaliknya, Nahdlatul Ulama malah memfatwakan mubah rokok. MUI lebih
condong untuk memfatwakan rokok Haram bersyarat. "Artinya merokok tidak mutlak haram
ataupun tidak mutlak mubah.
2. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan
sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini
termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.Namun, para ulama melarang
penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan
lain. "Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa pasal? Para ulama menegaskan, di
kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan.
Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari sperma yang dibekukan
dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan
masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal
kewarisan," tulis fatwa itu. Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan
ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas
menyatakan hal tersebut hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin
antarlawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina.Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta
pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung: Pertama,
apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani
suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.Hal itu didasarkan pada sebuah hadis
yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar
setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang
meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya."Kedua,
apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan
dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'," papar ulama NU dalam fatwa itu.Terkait mani yang
dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar
II/113. "Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan
tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang." Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri
dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri,
maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).Meski tak secara khusus membahas bayi
tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait boleh
tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua. Dalam fatwanya, Majelis Tarjih
dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang dilakukan para ahli fikih dari
berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang diwakili Mu hammadiyah, hukum
inseminasi buat an seperti itu termasuk yang dilarang."Hal itu disebut dalam ketetapan yang
keempat dari sidang periode ke tiga dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib
(Bayi Tabung)," papar fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Rumusannya, "cara kelima
inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua biji suami-istri, kemudian ditanamkan
pada rahim istri yang lain (dari suami itu) ... hal itu dilarang menurut hukum Syara'." Sebagai
ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi di dunia
modern saat ini.
3. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, Muhammadiyah tidak perlu
mengeluarkan fatwa mengenai mengenai haramnya infotaiment. Alasannya, fatwa yang
disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia dan ulama NU telah sejalan dengan pendapat
Muhammadiyah. Fatwa itu sudah disetujui oleh semua ulama, termasuk ulama Muhammadiyah.
Sebelumnya, Nahdlatul Ulama memberikan fatwa haram kepada infotainment. Fatwa tersebut,
seperti kata Ketua Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi, diputuskan berdasarkan hasil
Musyawarah Alim Ulama NU di Surabaya pada Juli 2006. PB NU menilai pemberitaan yang
mengobral masalah pribadi dan keluarga berdampak buruk bagi masyarakat.
REFRENSI
Barut, Muhammad Jamal. (2002). Al-Ijtihad; al-nas, al-waqi’I,al-maslahah. Alih bahasa oleh Ibnu
Rusyid: Erlangga
Syarifuddin, Amir. (2001). Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu
ُ
ِ ك بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْثقَى َوإِلَى هَّللا ِ عَاقِبَةُ اأْل ُم
ور َ َو َم ْن يُ ْسلِ ْم َوجْ هَهُ إِلَى هَّللا ِ َوهُ َو ُمحْ ِس ٌن فَقَ ِد ا ْستَ ْم َس
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya
kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu)
seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong
bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali
kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan
kamu dalam (mentaati) Allah.
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah
tentang itu kepada Yang Maha Mengetahui.
ج ِملَّةَ أَبِي ُك ْم إِب َْرا ِهي َم هُ َو َس َّما ُك ُم ْال ُم ْسلِ ِمينَ ِم ْن قَ ْب ُل َوفِي َّ َو َجا ِهدُوا فِي هَّللا ِ َح
ِ ق ِجهَا ِد ِه ه َُو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الد
ٍ ِّين ِم ْن َح َر
ص ُموا بِاهَّلل ِ هُ َو َموْ اَل ُك ْم فَنِ ْع َم ْال َموْ لَى
ِ َصاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوا ْعت َّ اس فَأَقِي ُموا ال
ِ َّهَ َذا لِيَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َش ِهيدًا َعلَ ْي ُك ْم َوتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن
ِ ََّونِ ْع َم الن
صي ُر
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
ث َعلَى نَ ْف ِس ِه َو َم ْن أَوْ فَى بِ َما عَاهَ َد َعلَ ْيهُ هَّللا َ فَ َسي ُْؤتِي ِه أَجْ رًا َ ق أَ ْي ِدي ِه ْم فَ َم ْن نَ َك
ُ ث فَإِنَّ َما يَ ْن ُك َ ْك إِنَّ َما يُبَايِعُونَ هَّللا َ يَ ُد هَّللا ِ فَو
َ َإِ َّن الَّ ِذينَ يُبَايِعُون
َظي ًما
ِ ع
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya:` Tinggallah kamu (di sini),
sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya
kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.
َو َم ْن أَحْ َسنُ ِدينًا ِّم َّم ْن أَ ْسلَ َم َوجْ هَهُ هَّلِل ِ َوهُ َو ُمحْ ِس ٌن َواتَّبَ َع ِملَّةَ إِ ْب َرا ِهي َم َحنِيفًا ۗ َواتَّ َخ َذ هَّللا ُ إِ ْب َرا ِهي َم خَ لِياًل
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan
Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan
hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.
Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan
yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang
diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri".
ََو َمن يَ ْبت َِغ َغ ْي َر اإْل ِ ْساَل ِم ِدينًا فَلَن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخَا ِس ِرين
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
11. Surah Al-Anbiya' ayat 92
إِ َّن ٰهَ ِذ ِه أُ َّمتُ ُك ْم أُ َّمةً َوا ِح َدةً َوأَنَا َربُّ ُك ْم فَا ْعبُدُو ِن
Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah
Rabbmu, maka sembahlah Aku.
Penulis : Bakhrul Ulum ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi
Artikel Ayat-Ayat Al-Qur'an yang Berhubungan dengan Keimanan ini dipublish oleh
Bakhrul Ulum pada hari Wednesday, 30 July 2014. Semoga artikel ini dapat
bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada
1comments: di postingan Ayat-Ayat Al-Qur'an yang Berhubungan dengan Keimana
Fatwa, petunjuk dan bimbingan Imam Syafii dan ulama syafiiyah sesuai dengan madzhab
ahlussunnah wal jamaah.
Depan
Biografi Ulama
Download Gratis
Tentang Kami…
BENCANA ALAM MELANDA?
Para Imam Mengatakan Iman itu Naik Turun Dalil dari as-Sunnah bahwa Iman Bisa Naik
dan Turun
23 Maret 2014
binbahr madzhab dan sekte, Madzhab Salafy Salafiyyah, mutiara nasehat syafiiyah, prinsip
agama dan keyakinan aswaja, aswaja-aswaja, hakikat iman, iman, kafir, murtad, murtaddin,
prinsip ahli sunnah, prinsip aswaja, prinsip sunni, rafidhah, syi'ah, syiah sesat Tinggalkan
komentar
Bismillahirrahmanirrahim
Pada beberapa pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwasanya iman bisa bertambah dan
berkurang dan yang menjadi kewajiban bagi kita adalah menjaga iman agar tetap terjaga dan
tidak berkurang, apalagi menjadi hilang. Bahkan kita dianjurkan untuk semakin meningkatkan
iman kita dengan melakukan berbagai amalan saleh.
Pada kesempatan kali ini akan kita simak bersama dalil-dalil dari al-Qur’an bahwa iman bisa
bertambah dan berkurang, bahkan bisa hilang sehingga pelakunya menjadi murtad.
Ayat pertama:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka. (QS. al-Anfal: 2)
Yang menjadi dalil dari ayat di atas adalah firman Allah Ta’ala:
Ayat kedua:
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah
tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. al-Fath:
4)
Ayat ketiga:
اخ َشوْ هُ ْم فَزَ ا َدهُ ْم إِي َمانًا َوقَالُوا َح ْسبُنَا هَّللا ُ َونِ ْع َم ْال َو ِكي ُل َ َّالَّ ِذينَ قَا َل لَهُ ُم النَّاسُ إِ َّن الن
ْ َاس قَ ْد َج َمعُوا لَ ُك ْم ف
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu,
karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan
mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung”. (QS. Ali Imran:173)
Ayat keempat:
َ ار إِاَّل َماَل ئِ َكةً َو َما َج َع ْلنَا ِع َّدتَهُ ْم إِاَّل فِ ْتنَةً لِلَّ ِذينَ َكفَرُوا لِيَ ْستَ ْيقِنَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت
َاب َويَ ْزدَا َد الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِي َمانًا َ َو َما َج َع ْلنَا أَصْ َح
ِ َّاب الن
هَّللا
ُضلُّ ُ َم ْن ِ كي هَّللا َ ْ ُ ُ َّ ُ
َ َِاب َوال ُم ْؤ ِمنُونَ َولِيَقو َل ال ِذينَ فِي قلوبِ ِه ْم َم َرضٌ َوال َكافِرُونَ َما َذا أ َرا َد ُ بِهَ َذا َمثَاًل َك َذل ْ َ َاب الَّ ِذينَ أُوتُوا ال ِكت
ْ َ َواَل يَرْ ت
ك ِإاَّل هُ َو َو َما ِه َي إِاَّل ِذ ْك َرى لِ ْلبَ َشر َ ِّيَ َشا ُء َويَ ْه ِدي َم ْن يَ َشا ُء َو َما يَ ْعلَ ُم ُجنُو َد َرب
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: Dan tidaklah Kami
menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya
orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah
imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-
ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir
(mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu
perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara
Rabbmu melainkan Dia sendiri. Dan (neraka Saqar/peringatan-peringatan) itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi manusia. (QS. Surat al-Muddatstsir:31)
Beberapa ayat di atas menunjukkan dengan gamblangnya bahwa iman bisa bertambah. Di
samping juga memberikan kepada kita sejumlah adab dan perilaku seorang mukmin. Walillahil
hamdu wal minnah.
Adapun sebagian ayat yang menunjukkan iman bisa berkurang adalah firman Allah
Ta’ala berikut:
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba
Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada
yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan
izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS. Fathir:32)
Dalam ayat di atas Allah membagi orang yang diberi karunia berupa kitabullah menjadi tiga
golongan, yaitu:
Adapun orang yang menzhalimi dirinya sendiri adalah orang berkurang imannya karena
melakukan perbuatan kemaksiatan.
Sedangkan ayat yang menjelaskan seseorang bisa keluar dari golongan orang-orang beriman di
antaranya adalah:
Ayat pertama:
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. at-Taubah: 66)
Ayat ini berkaitan dengan orang-orang munafik yang telah mengucapkan dua syahadat namun
mereka melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang meruntuhkan syahadat mereka,
yaitu mengolok-olok Allah dan ayat-ayat-Nya, juga mengolok-olok dan Rasul-Nya. Orang-orang
munafik itu mengatakan: “Aku tidak melihat para ahli qiraah kita ini (yaitu para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-pen) kecuali hanyalah orang-orang yang rakus terhadap makanan,
paling sering berdusta dengan lisannya, dan paling penakut ketika menghadapi peperangan.”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Ayat ini sekaligus menjadi ancaman bagi mereka yang berani melecehkan dan merendahkan para
sahabat, yaitu perbuatan ini adalah perbuatan orang-orang munafik.
Lalu masihkah kaum muslimin belum bisa mengambil pelajaran dari ini? Sehingga mereka
masih saja tergiur dan terpesona oleh kelihaian dan kepandaian sebagian dai yang merendahkan
martabat para sahabat, lalu menjadikannya sebagai pimpinan dan teladan atau sebagai wakilnya
di parlemen dan lain-lain?
Ayat kedua:
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 88)
Yaitu andaikan para nabi itu berbuat syirik kepada Allah maka semua amalan yang mereka
lakukan akan musnah dan sirna, dan mereka akan termasuk dari golongan orang-orang yang
merugi.
Dua ayat di atas menjadi ancaman besar bagi kita. Karena para nabi saja yang mereka adalah
orang-orang pilihan Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia, apabila
mereka melakukan kesyirikan maka amalan mereka akan musnah dan mereka tergolong sebagai
orang-orang yang merugi. Demikianlah ancaman bagi pelaku kesyirikan, walaupun tergolong
dari kalangan para nabi tetap diancam dengan ancaman yang sangat berbahaya ini.
Lalu bagaimana diri kita? Akankah kita membiarkan diri kita latah mengikuti kebanyakan
manusia yang tidak tahu dan tidak bisa membedakan antara syirik dan tauhid? Bahkan
menyamakan antara agama tauhid dengan agama kesyirikan dan kekafiran dengan alasan semua
agama mengajarkan kebaikan?
Masih banyak lagi ayat yang menjelaskan iman bisa hilang dari seseorang meskipun mengaku
mukmin dan muslim, meskipun mengucapkan Laa ilaaha illallah ribuan kali.
Ayat tentang orang munafik yang kekal dalam neraka di kerak neraka bersama orang-orang kafir
patut untuk senantiasa kita renungi dan ingat agar jangan sampai kita tergolong orang munafik
dalam keadaan tidak menyadarinya:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali
orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah
dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. (QS. an-Nisa’:145-146)
Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang mukmin yang sebenar-benarnya. Amiin.
Sebagian berpandangan bahwa semua agama adalah baik, ujungnya adalah sama yaitu
menyembah Yang Maha Esa.
Sebagian yang lain memandang tidak ada beda antara muslim dan kafir, atau muslim
dengan nasrani, atau muslim dengan pemeluk agama yang lain. Baik muslim, nasrani,
yahudi, orang hindu, budha dan lain-lain adalah sama dan sederajat, tidak perlu dibeda-
bedakan.
Sebagian yang lain tidak mengetahui bahayanya perbuatan syirik padahal syirik adalah
kejahatan dan kezhaliman terbesar di muka bumi ini.
Sebagian yang lain tidak peduli terhadap iman dan tauhid. Dia menganggap tidak penting
untuk mendalami dan memahami dengan baik apa itu iman dan kekafiran serta tauhid dan
syirik. Yang terpenting baginya adalah bisa bekerja dan mengumpulkan harta atau tetap
memiliki kedudukan dan pamor.
Sebagian yang lain ikut-ikutan menyerukan persatuan agama-agama samawi.
https://fatwasyafii.wordpress.com/2014/03/23/604/
Al-Quran sebagai suatu kitab yang menginformasikan ajaran, tuntunan, pedoman Allah
QS. 49: 13
“Hai manusia. sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling
bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
QS. 2: 2 – 5
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk/hudaa bagi mereka yang
bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka. dan mereka yang
beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
beruntung.”
QS. 2: 177
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan/ al-birr,akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar; dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”
QS. 3: 15 – 17
“Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikiam itu?’
Untuk orang-orang yang bertaqwa, pada sisi Rabb mereka ada sorga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang
disucikan serta keridhaan Allah; Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (yaitu)
orang-orang yang berdoa:’Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah
segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.’. (Yaitu) orang-orang yang sabar,
yang benar(ash-shadiqiin), yang tetap taat (al-muqnitiin), yang menafkahkan hartanya (di jalan
Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.”
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Rabb-mu dan kepada sorga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang bila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri-
sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa
lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?. Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya adalah ampunan dari
Rabb mereka dan sorga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala bagi orang yang beramal.”
QS. 7: 201
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka
ingat (yatadzakkaruu) kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-
kesalahannya.”
QS. 51: 17 – 19
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon
ampun (kepada Allah); Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.”
3. Menafkahkan sebahagian rizki yang dianugrahkan Rabb mereka -baik di waktu lapang
maupun sempit- kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta
4. Beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kepada Kitab (Al-Quran) yang telah
diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu
9. Yang berdoa mohon ampunan dan terpelihara dari neraka:’Ya Rabb kami, sesungguhnya kami
telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.’.
11. Yang sedikit sekali tidur di waktu malam dan memohon ampun di waktu sahur.
13. Yang bila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri-sendiri, mereka ingat kepada
Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, lalu mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
14. Bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat (yatadzakkaruu) kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya
Agar Bertaqwa
QS. 2: 21
“ Wahai manusia, sembahlah (mengabdilah kepada) Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa.”
QS. 2: 63
“Dan ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di
atasmu (seraya Kami berfirman): ‘Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu
dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertaqwa.”
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Rabb-mu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah
itu maka baginya siksa yang sangat pedih.
Dan dalam qishash itu ada hidup bagimu, hai ulil albab, supaya kamu bertaqwa.”
QS. 2: 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
QS. 2: 187
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isterimu;
mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan anfus-mu , karena itu Allah menerima taubatmu dan
memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu i’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka
bertaqwa.”
QS. 6: 51
“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan
dihimpunkan kepada Rabb mereka, sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan
pemberi syafa’at pun selain dari pada Allah, agar mereka bertaqwa.”
QS. 6: 153
“ Dan bahwa ini adalah shirath/jalan-Ku yang Mustaqim, maka ikutilah dia, dan janganlah
kamu mengikuti sabil-sabil/jalan-jalan (yang lain), karena sabil-sabil itu mencerai-beraikan
kamu dari sabil-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.”
QS. 7: 164
“Dan ketika suatu umat di antara mereka berkata: ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah
akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka
menjawab: ‘Agar kami mempunyai alasan kepada Rabb-mu dan supaya mereka bertaqwa’”
QS. 39: 27 – 28
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Quran ini setiap macam
perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran/yatadzakkaruun. (yaitu) Al-Quran dalam
bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) agar mereka bertaqwa.”
2. Berpegang teguh pada apa yang diberikan Tuhan, serta mengingat selalu apa yang ada
di dalamnya.
4. Berpuasa (shaum)
QS. 2: 194
QS. 9: 123
“. . . dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.”
QS. 9: 4
QS. 9: 7
QS.45: 19
QS. 2: 223
“ . . .Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk anfus (diri)-mu, dan bertaqwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang
yang beriman.”
“. . . Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah memberimu ilmu, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
QS. 3: 15
“. . . Untuk orang-orang yang bertaqwa, pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan isteri-isteri yang disucikan, serta
keridhan Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”
QS. 3: 133
“. . . dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertaqwa.”
QS. 3: 198
“. . . Sedangkan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya, bagi mereka surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal
dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti
(al-abrar).”
QS. 3: 172
“. . . Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertaqwa terdapat
pahala yang agung.”
QS. 3: 179
“. . . dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang agung.”
QS. 2: 103
“Sesunguhnya kalau mereka beriman dan bertaqwa (niscaya mereka akan mendapat pahala),
dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.”
QS. 28: 83 QS. 38: 49 QS. 39: 20 QS. 39: 73 QS. 44: 51
QS. 49: 13 QS. 51: 15 QS. 52: 17 QS. 54: 54 QS. 55: 46 – 76
QS. 92: 7
QS. 2: 21
“ Wahai manusia, sembahlah (mengabdilah kepada) Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa.”
QS. 3: 102
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang haqq; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah-diri (muslimuun)”
QS. 2: 63
“Dan ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di
atasmu (seraya Kami berfirman): ‘Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu
dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertaqwa.”
QS. 22: 32
QS. 2: 189
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:’Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-
rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu
beruntung (tuflihuun).”
QS. 2: 196
“ . . . Dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”
QS. 2: 223
“ . . .Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk anfus (diri)-mu, dan bertaqwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang
yang beriman.”
QS. 2: 231
“. . . Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu
Al-Kitab dan Al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-
Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
QS. 2: 233
“. . .Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
QS. 2: 278
“ Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika
kamu orang-orang yang beriman.”
QS. 2: 282
“. . . Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah memberimu ilmu, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
QS. 2: 283
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seoarng penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
orng yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah Rabb-nya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
QS. 23: 52 QS. 24: 52 QS. 25: 58 QS. 26: 108 QS. 26: 110
QS. 26: 126 QS. 26: 132 QS. 26: 144 QS. 26: 150 QS. 26: 163
QS. 26: 179 QS. 26: 184 QS. 26: 217 QS. 29: 16 QS. 30: 31
QS. 31: 33 QS. 33: 1 QS. 33: 3 QS. 33: 37 QS. 33: 48
QS. 33: 55 QS. 33: 70 QS. 39: 10 QS. 39: 16 QS. 43: 63
QS. 49: 1 QS. 49: 10 QS. 49: 12 QS. 57: 28 QS. 59: 7
QS. 59: 18 QS. 60: 11 QS. 65: 2 QS. 65: 10 QS. 2: 197
Pustaka
2. Asyarie, Sukmadjaja; Yusuf, Rosy; Indeks Al-Quran, Penerbit Pustaka, Bandung 1984.
Sumber Gambar:
1. http://stat.kompasiana.com/files/2010/08/al-quran31.jpg
2. http://qitori.files.wordpress.com/2009/06/imam-khomeini.jpg
3. http://ahmadsamantho.files.wordpress.com/2009/03/ibn-arabi2.jpg?w=201&h=218
Barang siapa merenungkan khutbah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para
sahabatnya ini, maka ia akan mendapati banyak penjelasan tentang petunjuk �sunnah-
dan tauhid, penyebutan sifat-sifat Rabb yang Maha Tinggi, pokok-pokok iman seluruhnya,
dakwah kepada Allah
17 4394 2
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam biasa membuka khutbah ataupun nasehatnya dan
pelajarannya dengan mukadimah yang dikenal dengan istilah khutbatul hajah. Berikut ini
teksnya: [1]
Segala puji bagi Allah , kepadaNya kita memuji, mohon pertolongan, mohon ampunan, dan
mohon perlindungan dari bahaya diri kita dan buruknya amal-amal perbuatan kita. Barang
siapa yang diberi petunjuk Allah ta’ala maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan barang
siapa yang sesat maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk –kecuali dengan izin Allah-.
Dan bahwasanya saya bersaksi tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah ta’ala semata,
tiada sekutu bagiNya, dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
utusanNya.
“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu (adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya
Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada
Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. “ (QS. An nisa’: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-
dosamu dan barangsiapa menaati Allah dan rasulNya maka sungguh dia menang dengan
kemenangan yang agung.” (QS. Al ahzab: 70-71)
Adapun selanjutnya,
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitab Allah (Al qur’an) dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihiwasalam, dan seburuk-buruk perkara
(dalam urusan agama) adalah yang diada-adakan, dan semua yang diada-adakan itu adalah
bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka.
Demikian kalimat pembuka yang sering disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam khutbahn beliau.
Barang siapa merenungkan khutbah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya ini,
maka ia akan mendapati banyak penjelasan tentang petunjuk –sunnah- dan tauhid, penyebutan
sifat-sifat Rabb yang Maha Tinggi, pokok-pokok iman seluruhnya, dakwah kepada Allah,
penyebutan ketinggian Allah ta’ala yang menjadikan Dia mencintai Makhluk-Nya, hari kiamat
yang menjadikan para sahabat takut keburukannya, perintah untuk mengingat-Nya bersyukur
kepada-Nya yang menjadikan para sahabat cintai kepada-Nya. Sehingga mereka –para sahabat-
akan mengingat keagungan Allah dan sifat-sifat serta nama-nama-Nya yang menjadikan Dia
cinta kepada makhluk-Nya, mengamalkan perintah untuk menta’ati-Nya bersyukur kepadaNya
mengingatNya yang mana menjadikan mereka –para sahabat- cinta kepada Allah. Mereka
mendengarkan sampai selesai kemudian pulang dan sungguh mereka mencintai Allah dan Allah
mencintai para sahabat.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata
air- mata air” (QS. Adz dzaariyat : 15)
“katakanlah: ‘apa (adzab) yang demikian itukah yang baik, atau surga yang kekal yang telah
dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa?’ Dia menjadi balasan dan tempat kembali bagi
mereka?” (QS. Al furqon : 15)
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang bertaqwa. Maka tidakkah kamu
memahaminya?” (QS. Al an’am : 32)
Ayat-ayat diatas sekaligus menunjukkan begitu pentingnya taqwa, sebagaimana pula dalam
khutbatul hajah yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampaikan seperti pada
pembukaan artikel ini, beliau mengingatkan tentang taqwa dengan tiga ayat Al qur’an. Maka
perlu bagi kita untuk mengenal taqwa.
Ibnu Daqiq Al ‘id –rahimahullah– menjelaskan: makna dari hadits tersebut, dan dalam riwayat
lain: ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian dan rupa-rupa kalian, akan
tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian’ maknanya, amalan dhohir (yang tampak) belum
tentu dapat menghasilkan ketaqwaan, namun ketaqwaan itu adalah apa yang terdapat di dalam
hati dari pengagungan, khasy-yah (rasa takut yang disertai pengagungan), mendekatkan diri
kepada Allah dan hati yang merasa diawasi Allah ta’ala yaitu dengan menyadari bahwa Allah
melihat dan meliputi segala sesuatu. Dan makna melihat hati-hati kalian –wallahu a’lam– adalah
melihat harapan dan persangkaan, dan hal itu semua dilakukan dengan hati.
Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah– mengatakan: “Taqwa kepada Allah ta’ala itu letaknya di hati,
jika hatinya bertaqwa maka anggota badannya juga.”
Syaikh As sa’di –rahimahullah– menjelaskan: “Ayat di atas merupakan perintah Allah untuk
hamba-Nya yang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya taqwa dan tetap
bertaqwa hingga akhir hayat. Barangsiapa bersungguh-sungguh terhadap sesuatu, maka ia akan
menginggal di atas sesuatu itu. Maka barang siapa yang keadaannya, hidupnya dan
keberadaannya terus menerus di atas taqwa kepada Rabbnya dan ketaatan kepada-Nya, kematian
akan menimpanya di saat seperti itu. Allah ta’ala akan mengokohkan taqwa ketika kematiannya
dan memberinya kematian khusnul khatimah. Taqwa kepada Allah itu –menurut Ibnu Mas’ud
adalah menta’ati sehingga tidak bermaksiat, mengingat sehingga tidak melupakan, dan bersyukur
sehingga tidak mengkufuri. Ayat ini menunjukkan penjelasan hak Allah ta’ala yaitu ketaqwaan
hamba. Adapun kewajiban hamba terhadap taqwa ini, yaitu sesuai ayat: ‘bertaqwalah kepada
Allah semampu kalian’ dan penjelasan tentang taqwa itu di dalam hati dan diaplikasikan anggota
badan sangat banyak. Kesemuanya menjelaskan taqwa adalah mengerjakan perintah Allah dan
menjauhi segala laranganNya”.
Penutup
Derajat ketaqwaan seseorang itu bertingkat tingkat. Ada yang sudah bisa sampai menjauhi hal –
hal yang mubah karena takut syubhat, ada yang baru bisa sampai menjauhi hal – hal yang
makruh. Yang paling rendah, menjauhi hal – hal yang haram, walaupun masih belum bisa
menjauhi hal – hal yang makruh apalagi yang mubah. Maka bersyukurlah bagi yang telah
mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari yang lain dan bersungguh-sungguhlah untuk terus
menjaga taqwa hingga ajal menjemput dengan minta pertolongan kepada Allah ta’ala.
Artikel Muslimah.Or.Id
Maraji’
1. Al wajiiz fii fiqhu as sunnah wa al kitaab al ‘aziiz, ‘Abdul ‘Adziim bin Badawi, Daar Al
fawaaid
2. Taisiir Al kariim Ar rahmaan fii tafsiir kalaam al mannaan, Al ‘allaamah Asy syaikh
‘Abdurrahmaan bin Naashir As sa’diy, Daar Ibnu Hazm
3. Syarhu Al arba’iin An nawawiyah fii Al ahaadiitsi As shahiihah An nabawiyyah, Daar Al
Mustaqbal
Sumber: https://muslimah.or.id/4098-pesan-taqwa-dalam-khutbatul-hajah-rasulullah-shalallahu-
alaihi-wasallam.html
Penjelasan ringkas:
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, “Asal makna
ketakwaan adalah engkau menjadikan antara dirimu dengan siksaan Allah berupa penghalang
yang akan melindungi kamu darinya.” Karenanya semua ucapan, amalan, dan keyakinan yang
tujuannya melindungi kita dari siksaan Allah maka itu adalah ketakwaan.
Definisi lain pernah diutarakan oleh seorang ulama yang bernama Thalq bin Habib rahimahullah
dimana beliau berkata, “Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya
dari Allah karena mengharap pahala Allah, dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah di
atas cahaya dari Allah karena takut akan siksaan Allah.”
Dari ucapan beliau ini kita bisa memahami bahwa ketakwaan mempunyai 3 pondasi dasar:
a. Melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
b. Dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan harus sesuai dengan cahaya Allah,
yakni aturan Allah yang terwujud dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
c. Menyeimbangkan rasa harap dan takut kepada Allah dalam setiap amalan yang dikerjakan.
Karena harapan kepada Allah tanpa disertai dengan takut kepada-Nya akan menyebabkan
seseorang menjadi zindiq, sementara takut kepada Allah tanpa disertai harapan kepada-Nya
adalah sifatnya orang-orang kafir.
Kalau kita menelaah kedua definisi di atas, maka tentu kita akan mendapati kalau tidak ada
satupun kebaikan kecuali termasuk ke dalamnya dan tidak ada waktu sedetikpun bagi kita
kecuali harus bersifat dengannya. Karenanya Allah Ta’ala sangat memerintahkan ketakwaan ini
kepada seluruh manusia secara umum dan orang-orang yang beriman secara khusus, bahkan Dia
mengulang-ulangi perintah ini pada banyak tempat dalam Al-Qur`an. Dan Allah mengingatkan
bahwa ketakwaan merupakan keharusan atas mereka dalam mewujudkan kesyukuran mereka
kepada Allah Ta’ala yang menciptakan mereka, menguasai mereka, dan mengatur semua yang
berkenaan dengan hidup mati mereka.
Adapun keutamaan takwa dan orang yang bertakwa, maka secara umum semua kebaikan di
dunia dan di akhirat yang didapatkan oleh seorang hamba merupakan buah dan hasil dari
ketakwaannya kepada Allah. Adapun secara khusus, maka ada beberapa yang tersebut dalam
ayat-ayat di atas yaitu:
a. Semua amalan ibadah makhluk akan ditolak oleh Allah kecuali amalannya orang-orang yang
bertakwa. Yaitu orang yang amalannya dibangun di atas keikhlasan dan sesuai dengan petunjuk
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
b. Dia tidak akan mendapatkan kesulitan yang berarti dalam kehidupan dunianya, karena Allah
Ta’ala selalu ada untuk memberinya jalan keluar.
c. Dia tidak perlu khawatir akan kehabisan harta, karena Allah Ta’ala telah berjanji akan
senantiasa memberinya rezki dari jalan-jalan yang tidak pernah dia duga sebelumnya, dan Allah
Maha memenuhi janji-Nya.
d. Dia tidak akan tersesat dalam kehidupan dunia dan agamanya, karena Allah Ta’ala
memberinya ilmu yang dengannya dia bisa membedakan mana kebaikan dan mana kejelekan,
mana tauhid dan mana kesyirikan, mana iman dan mana kekafiran, mana sunnah dan mana
bid’ah, maka ketaatan dan mana maksiat.
e. Semua keutamaan di atas disempurnakan dengan didekatkannya surga kepada orang yang
bertakwa pada hari kiamat sehingga mereka akan segera memasukinya.
Adapun perincian mengenai ucapan, amalan, dan keyakinan yang merupakan ketakwaan, maka
Allah Ta’ala telah menjelaskannya secara rinci dalam Al-Qur`an dengan sejelas-jelasnya tanpa
menyisakan sedikitpun keraguan dan kesamaran. Karenanya Allah Ta’ala menjadikan Al-Qur`an
sebagai petunjuk bagi mereka yang mencari ketakwaan dan mereka yang hendak meningkatkan
ketakwaan mereka.