Anda di halaman 1dari 15

KONSEP HARTA DALAM ISLAM

Paper disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fikih Muamalah Kontemporer
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda

Oleh:
Darmayati NIM. 2220500013
Hardilah Pausiyanti NIM. 2220500022

Dosen Pengampu :
Dr. Mursyid, S.Ag., MSI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2022
PEMBAHASAN

A. Konsep Harta Dalam Islam


Harta, secara bahasa disebut dengan (al-maal) yang berasal dari kata
kerja ‫ يميل\مال‬yang yang berarti condong, cenderung, dan dan miring.
Nasroen Harun (2000) dengan ungkapan yang agak berbeda
mengungkapkan bahwa al-maal berasal dari kata maala yang berarti
condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi dan al-maal diartikan
sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara
baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.
Menurut al Qmus al Muhit, al-Maal ialah sesuatu yang boleh
dimiliki. Menurut Wahbah al Zuhayli, harta dari segi bahasa, ialah setiap
barang yang benar benar dimiliki dan dikuasai oleh seseorang, baik dalam
bentuk „ain ataupun manfaat. Contoh harta „ain adalah emas, perak,
binatang, dan tumbuh tumbuhan. Sedangkan contoh harta manfaat adalah
seperti menungggang kendaraan, memakai pakaian dan mendiami rumah.
Barang yang tidak dikuasai oleh seseorang, tidak dinamakan harta segi
bahasa. Umpamanya burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan dan
galian di perut bumi.1 Akan dikatakan sebagai al-mal jika memenuhi dua
kriteria: .
1. Sesuatu bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya bisa
mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan
tersebut baik bersifat materi maupun immateri.
2. Sesuatu itu harus berada dalam genggamannya kepemilikan manusia.
Konsekuensinya, jika bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa
dikatakan sebagai harta (al-mal). Misalnya: burung yang terbang di

1
Fauzi, M., Gunawan, A., & Darussalam, A. (2020). Upaya Baitul Maal Wa Tamwil Bertahan Di
Masa Pandemi Covid-19. Al-Urban: Jurnal Ekonomi Syariah Dan Filantropfi Islam, 4(2), 141–
152.

2
angkasa, ikan yang berenang di lautan dan bahan tambang yang berada
di perut bumi.2

Menurut Syariat Islam untuk memiliki harta setidaknya ada lima


sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) yang dijadikan sebagai sumber daya
ekonomi, yaitu:

1. Bekerja (al’amal) Kata “bekerja” wujudnya sangat luas, bermacam-


macam jenisnya, bentuknya pun beragam, serta hasilnya pun berbeda-
beda, maka Allah swt. tidak membiarkan “bekerja” tersebut secara
mutlak. Allah swt. juga tidak menetapkan “bekerja” tersebut dengan
bentuk yang sangat umum. Akan tetapi Allah swt. telah menetapkan
dalam bentuk kerja-kerja tertentu yang layak untuk dijadikan sebagai
sebab kepemilikan.
2. Pewarisan (al-irts) Yang termasuk dalam kategori sebab-sebab
pemilikan harta adalah pewarisan, yaitu pemindahan hak kepemilikan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, sehingga ahli
warisnya menjadi sah untuk memiliki harta warisan tersebut.
3. Pemberian harta negara kepada rakyat Yang juga termasuk dalam
kategori sebab kepemilikan adalah pemberian negara kepada rakyat
yang diambilkan dari harta baitul maal, dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup, atau memanfaatkan kepemilikan. Mengenai
pemenuhan hajat hidup adalah semisal memberi mereka harta untuk
menggarap tanah pertanian atau melunasi hutang-hutang. Umar bin
Khaththab telah membantu rakyatnya untuk menggarap tanah pertanian
guna memenuhi hajat hidupnya, tanpa meminta imbalan.
4. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga Yang
termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan individu,
sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta tertentu

2
Ali Akbar. (2012). Konsep Kepemilikan dalam Islam. Jurnal Ushuluddin, XVIII(2), 124-140.

3
tanpa kompensasi harta atau tenaga apa pun. Dalam hal ini mencakup
lima hal:
a. Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang lain,
baik - harta yang diperoleh karena - hubungn ketika masih hidup,
seperti hibbah dan hadiah, ataupun sepeninggal mereka, seperti
wasiat.
b. Pemilikan harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan
yang menimpa seseorang, semisal diyat orang yang terbunuh dan
diyat luka karena dilukai orang.
c. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad
nikah.
d. Luqathah ( barang temuan).
e. Santunan yang diberiakan kepada khalifah dan orang-orang yang
disamakan statusnya, yaitu sama- sama melaksanakan tugas-tugas
termasuk kompensasi kerja mereka, melainkan konpensasi dari
pengekangan diri mereka untuk melaksanakan tugas-tugas negara.

Dengan demikian, Islam melarang seorang muslim memperoleh


barang dan jasa dengan cara yang tidak diridhai Allah Swt, seperti; judi,
riba, pelacuran, korupsi, mencuri, menipu dan perbuatan maksiat lainnya.3

Konsep pengurusan harta secara Islam meliputi lima elemen utama;

1. Penghasilan harta dengan usaha dan tenaga (Al-Jumu’ah: 10, al-Qasas:


77)
2. Pengumpulan harta melalui cara penyimpanan dan pelaburan (Yusuf:
47- 48)
3. Perlindungan harta demi keselesaan masa depan (al-Hasyr: 18) iv.
Pengagihan harta melalui instrumen wasiat (Al-Baqarah: 180), Hibah
(Al- Baqarah: 177), wakaf (Ali Imran: 920) dan lain-lain.

3
Ali Akbar. (2012). Konsep Kepemilikan dalam Islam. Jurnal Ushuluddin, XVIII(2), 124–140.

4
4. Penyucian harta melalui zakat dan amal jariah (Al-Baqarah: 195).4
B. Pandangan Islam Terhadap Harta
Harta benda menurut Islam - bukanlah milik pribadi (kapitalisme)
dan bukan pula milik bersama (sosialisme) melainkan milik Allah. Harta
atau kekayaan yang telah dianugerahkan-Nya di alam semesta ini,
merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya guna kesejahteraan seluruh umat manusia secara
ekonomi, sesuai dengan kehendak Allah Swt.5
Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam
semesta ini. Pernyataan ini disebutkan dalam firman- Nya surat al-Ma’idah
ayat 120:
َ ‫ض َو َما فٰ ْي ٰه َّن َۗوه َُو َع ٰلى ُك ٰل‬
‫ش ْيءٍ قَ ٰديْر‬ ٰ ‫ٰ هّلِلٰ ُم ْلكُ السَّمٰ ٰو‬
ٰ ‫ت َو ْاْلَ ْر‬
Artinya:
“Milik Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan
Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kemudian si surah lain dalam Al- Qur’an Allah menjelaskan tentang
harta bahwa semua harta sejatinya adalah milik Allah, sebagaimana firman
Allah dalam surah Al Baqarah (2): 284, sebagai berikut :
‫اّلِلُ ۗ فَيَ ْغ ٰف ُر ٰل َم ْن‬ ٰ ‫ت َو َما فٰى ْاْلَ ْر‬
‫ض ۗ َوا ْٰن ت ُ ْبد ُْوا َما فٰ ْْٓي ا َ ْنفُ ٰس ُك ْم ا َ ْو ت ُ ْخفُ ْوهُ يُ َحا ٰس ْب ُك ْم بٰ ٰه ه‬ ٰ ‫ٰ هّلِلٰ َما فٰى السَّمٰ ٰو‬
‫ش ْيءٍ قَ ٰديْر‬ َ ‫اّلِلُ َع ٰلى ُك ٰل‬
‫يَّش َۤا ُء َويُعَذٰبُ َم ْن يَّش َۤا ُء ۗ َو ه‬

Terjemahnya:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang
dikehendaki- Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.

4
Alias Azhar, Mohammad Azam Hussain, Muhammad Hafiz Badarulzaman, & Fauziah Mohd
Noor. (2014). Pengurusan Harta Dalam Islam : Perspektif Hibah Di Malaysia. Journal of Human
Development and Communication, 3, 115–128.

5
Ali Akbar. (2012). Konsep Kepemilikan dalam Islam. Jurnal Ushuluddin, XVIII(2), 124–140.

5
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah Esa dalam kekuasaan dan
kepemilikan-Nya. Dialah yang menciptakan, menghidupkan,
mengembangkan, menumbuhkan, memiliki, mengelola dan mengatur
seluruh alam tanpa bersekutu dengan selain-Nya. Jikapun ada yang lain
yang memiliki, mengatur dan mengelola maka semua itu tak lepas atas
izin-Nya.
Meskipun ditegaskan bahwa Allah pemilik segala sesuatu, akan
tetapi Allah juga memberi kuasa dan hak kepada manusia untuk mengelola
hartanya. Allah memberi perlindungan kepada seseorang atas penguasaan
hartanya. Hal ini tercermin dalam firman-Nya Q.S. An-Nisa: 29, sebagai
berikut :
‫اض ٰم ْن ُك ْم ۗ َو َْل تَ ْقتُلُ ْْٓوا‬ ٰ َ‫ٰ ْٓياَيُّ َها الَّ ٰذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل ت َأ ْ ُكلُ ْْٓوا ا َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْي َن ُك ْم بٰ ْالب‬
ْٓ َّ ‫اط ٰل ا‬
َ ‫ْٰل ا َ ْن ت َ ُك ْونَ تٰ َج‬
ٍ ‫ارةً َع ْن ت ََر‬
‫اّلِلَ َكانَ بٰ ُك ْم َر ٰح ْي ًما‬ َ ُ‫ا َ ْنف‬
‫س ُك ْم ۗ ا َّٰن ه‬

Terjemahnya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”6

Pada intinya adalah menyadari sepenuhnya bahwa pemilik hakiki


dari segala sesuatu adalah Allah swt, manusia yang berlaku sebagai
khalifah, hanya merupakan pemilik sementara dari apa yang
dimilikinya. Oleh karena itu dalam segala tindakan ekonomi atau
dalam usaha memperoleh harta kekayaan, manusia harus melalui
jalan yang diridhoi oleh syariat baik dalam perolehan sumber,
prosesnya ataupun pemanfaatan hasil kekayaan tersebut. Karena pada

6
Muhsin, S., Bakar, A. A., & Basri, H. (2022). Konsep Kepemilikan Harta Sebagai Bagian Hak
Asasi Ekonomi Perspektif Al-Qur’an. Al-Azhar Journal of Islamic Economics, 4(2), 84–96.

6
intinnya segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia akan dimintai
pertanggung jawabannya diakhirat kelah oleh Allah7

C. Harta Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim


Harta Mutaqawwim difahami sebagai harta yang boleh
dimanfaatkan menurut syara’. Harta jenis ini sah menjadi obyek akad
melalui seluruh jenis akad dalam Islam. Sedangkan ghairu mutaqawwim,
adalah harta yang belum ada dalam genggaman dan secara syara’ tidak
boleh dimanfaatkan, seperti ikan di dalam air dan khamr.Pembagian harta
dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: pertama: boleh atau tidak
dimanfaatkan, terbagi menjadi dua, mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim.
Harta mutaqawwim adalah setiap yang bisa digenggam secara nyata dan
menurut syara’ boleh dmanfaatkan baik untuk benda yang bergerak.8
Menurut Wahba Azuhaili, Al-Mal Al Mutaqawwim adalah harta
yang dicapai/diperoleh manusia dengan sebuah upaya dan diperbolehkan
oleh syara’ untuk memanfaatannya, seperti makanan, pakaian, kebun apel
dan lainnya. Al-Mal Al Ghair Al- Mutaqawwim adalah harta yang boleh
diraih/dicapai dengan suatu harta, maksudnya harta tersebut belum
sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara
di dasar lautan, minyak di dalam perut bumi dan lainnya. Atau dapat
diartikan kebalikan dari mutaqawwimin yaitu harta yang tidak dapat
dimanfaatkan dan tidak diperbolehkan syara’ untuk dimanfaatkan, kecuali
dalam konsisi darurat, seperti minuman keras bagi seorang muslim harta
ghait mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi kecuali dengan keadaan darurat.
Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa
menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.9

7
Muhsin, S., Bakar, A. A., & Basri, H. (2022). Konsep Kepemilikan Harta Sebagai Bagian Hak
Asasi Ekonomi Perspektif Al-Qur’an. Al-Azhar Journal of Islamic Economics, 4(2), 84–96
8
Issn, P., Issn, E., Harta, M., Qur, M. A.-, & Qur, A.-. (2022). 6(1), 79–102.
9
Ramadani, L. A. (2018). ( Harta Sebagai Hak Milik Juga Sebagai Objek Bisnis ). Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Islam UIN Mataram, X(2), 117–127.

7
D. Harta Aqar dan Manqul.
Harta yang dikategorikan dapat dipindahkan atau tidak, harta terbagi
menjadi dua, ‘aqar dan manqul. ‘Aqar adalah harta yang sama sekali tidak
mungkin dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti
tanah. Sedangkan manqul adalah harta yang bisa dipindahkan dari satu
tempat ke tempat yang lain baik tetap dalam bentuk kondisinya semula atau
berubah akibat dipindahkan.
Lebih sempit dari pengertian tersebut Malikiyyah menyatakan
bahwa manqul adalah harta yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke
tempat yang lain dalam kondisi atau keadaan yang tidak berubah. Definisi
ini membatasi bahwa barang yang jika dipindahkan kondisinya berubah dari
sebelum dipindahkan tidak termasuk harta manqul, tetapi masuk dalam
kategori aqar. Seperti bangunan dan pohon-pohonan. Klasifikasi harta pada
kategori ini akan terlihat ketika diimplementasikan dalam transaksi seperti
syuf’ah dan wakaf.
Menurut Hanafiyah manqul adalah harta yang memungkinkan untuk
dipindah, ditransfer dari satu tempat ke tempat yang lainnya, baik bentuk
fisiknya berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan terebut diantaranya
adalah uang, harta perdagangan, hewan ataupun komoditi lain yang dapat
ditimbang atau ditukar.
Sedangkan Sedangkan Iqar adalah sebaliknya, harta seperti tanah
dan bangunan. Namun demikian tanaman, bangunan atau apapun yang
terdapat di atas tanah, tidk bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia teteap
mengikuti/bersatu dengan tanahnya. Jika manqul yang terdapat banguannya
dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta Iqar. Namun,
jika bangunan atau tanah dijual secara terpisah dari tanahnya, maka
bangunan tersebut bukan merupakan harta Iqar. Intinya, menurut ulama’
Hanafiyah, harta Iqar hanya fokus pada tanah. Sedangkan, manqul adalah
selain tanah. Berbeda dengan Hanafiyah, ulama’ Malikiyah cenderung
mempersempit makna manqul dan memperluas makna harta iqar. Dalam
perkembangannya harta manqul dapat berubah menjadi harta iqar dan

8
begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata semula merupakan harta
manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah
menjai harta iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas
ataupun barang10
E. Harta Istihlaki dan Isti’mali
Al-mal al-istihlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan
kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut Contoh dari al-mal al-
istihlaki ini adalah minuman,makanan, kayu bakar, beras, dan seterusnya.
Benda benda yang disebutkan itu jika telah dimanfaatkan, maka habislah
zatnya. Kemudian, al-mal al-istihlaki ini ada kalanya haqiqi adakalanya
huquqi. Contoh dari al-mal al-istihlaki yang haqiqi adalah kayu bakar. Jika
kayu bakar telah digunakan, maka habislah ia. Jika ingin memanfaatkan
makanan dan minuman maka kita harus memakan dan meminumnya sampai
bentuk fisiknya tidak kita jumpai. Artinya barang tersebut tidak akan
mendatangkan manfaat kecuali dengan merusaknya.11 Sementara contoh
dari
al-mal al-istihlaki yang huquqi adalah mata uang. Keluarnya uang dari
tangan, misal untuk membayar utang, dari segi hukum dipandang istihlaki,
walaupun bendanya masih tetap utuh. Intinya harta istihlaki adalah harta
yang hanya bisa dikonsumsi untuk sekali saja.12
Al-Mal Al-Isti’mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan
tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrak,
kendaraan, pakaian dan lainnya. Berbeda dengan istihlaki, harta isti’mali
bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.13

10
Ramadani, L. A. (2018). ( Harta Sebagai Hak Milik Juga Sebagai Objek Bisnis ). Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Islam UIN Mataram, X(2), 117–127.

11
Rusdan, “Konsep Harta (Al-Maal) Dalam Perspektif Ekonomi Islam,” El-Hikam 10, no. 2 (2017):
365–403.
12
Lalu Ahmad Ramadani, “Implementasi Harta Dalam Akad (Harta Sebagai Hak Milik Juga Sebagai
Objek Bisnis),” Iqtishaduna X, no. 2 (2018): 117–127.
13
Muthmainnah, “Konsep Harta Dalam Pandangan Ekonomi Islam,” Bilancia: Jurnal Studi Ilmu
Syariah Dan Hukum 10, no. 1 (2016): 55–135.

9
F. Harta Mamluk, Mubah, Mahjur
Mamluk dikategorikan pada sesuatu milik individu mapun kelompok
berdasarkan pada kerjasama. Mubah dikategorikan pada harta yang asalnya
bukan kepemilikan seseorang atau kelompok seperti pohon atau tanaman
dihutan. Harta ini dapat berubah kedudukan menjadi mamluk apabila ada
kesanggupan orang yang akan merubahnya, sesuai dengan sabda Nabi,
barang siapa yang menghidupkan tanah, hutan milik seseorang, maka ia
yang paling berhak memilikinya.14
Mahjur diklasifikasikan pada harta yang tidak dapat dimiliki oleh
individu akan tetapi secara umum oleh masyarakat atau milik Negara untuk
kepentingan masyarakat semisal fasilitas umum. ialah, harta yang oleh
syara’dilarang untuk dimilki sendiri dan diberikan pada orang lain.
Ada kalanya harta tersebut berupa wakaf atau harta secara khusus diberikan
untuk masyarakat umum seperti untuk pembangunan jalan, kuburan,
masjid, sekolah dan lain sebagainya. Walaupun terdapat perbedaan sudut
pandang terhadap konsep harta oleh para ulama fiqih, akan tetapi pada
dasarnya dalam prinsip ekonomi Islam adalah maslahah, dan
pendekatan yang digunakan dalam qaidah ekonomi adalah qaidahal-
khamsah dan qaidah muamalah.15
G. Harta ‘Ain dan Dain
Harta ‘Ain adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian,
beras, mobil, dan sebagainya. Harta ‘ain dapat dibagi menjadi dua, yaitu:16
1. Harta ‘ain dzati qimah, yaitu benda yang memiliki bentuk yang
dipandang sebagai harta karena memiliki nilai.

14
Endah Robiatul Adawiyah, Inayatul Ummah, and Wahrudin Udin, “Fiqh Assets Comparison :
Implications in the Islamic Economy,” Mutawasith: Jurnal Hukum Islam 5, no. 2 (2022): 145–159,
http://jurnal.iailm.ac.id/index.php/mutawasith.
15
Andi Iswandi, “Maslahat Memelihara Harta Dalam Sistem Ekonomi Islam,” SALAM: Jurnal Sosial
dan Budaya Syar-i 1, no. 1 (2014).
16
Salam Arief Abdul, “Konsep Al Mal Dalam Perspektif Hukum Islam,” Al- Mawarid IX, no. 1
(2003): 48–57.

10
2. Harta ‘ain ghair dzati qimah, yaitu benda yang tidak dapat dipandang
sebagai harta kerena tidak memiliki harga, misalnya sebiji beras atau
setetes air putih.

Harta Dain adalah sesuatu yang berada dalam tanggungjawab atau Sesuatu
yang dimiliki oleh pemberi utang (dain) yang berada di tangan yang
berutang (madin). Sumber utang ini, adakalanya berasal dari akad atau
kontrak, seperti qardh, jual beli, kafalah, shulh, serta nikah, dan adakalanya
bersumber dari tindakan yang merugikan orang lain (fi’lun dhar), seperti
utang yang timbul lantaran ta’widh, seperti membayar harga barang yang
diserobot atau dirampas.17

H. Harta yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi


Mal qabil li al-qismah (harta yang dapat dibagi), yaitu harta yang tidak dapat
menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi dan
manfaatnya tidak hilang. Seperti gandum, beras, anggur, jeruk, duku, dan
lain-lain sedangkan, Mal ghairu qabil li al-qismah (harta yang tidak dapat
dibagi), yaitu harta yang dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan atau
hilang manfaatnya, apabila harta itu dibagibagi. Seperti gelas, meja, kursi,
batu permata, dan lain-lain.18
I. Harta Pokok dan Hasil
Harta ashl (harta pokok) adalah yaitu harta yang menghasilkan atau harta
yang menyebabkan adanya harta yang lain. Harta ini dapat disebut dengan
modal, seperti rumah, pepohonan, maupun hewan. Sedangkan harta hasil
(buah) adalah harta yang terjadi dari harta yang lain. Hal ini berarti harta
pokok juga bisa disebut sebagai modal, seperti uang, emas, perak dan
lainnya sedangkan harta al-samar (harta hasil), yaitu buah yang dihasilkan
suatu harta, buah-buahan dari pepohonan, dan susu kambing atau susu sapi

17
Rizal Rizal, “Eksistensi Harta Dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis),” Jurnal Penelitian 9,
no. 1 (2015): 93–112.
18
Asnaini and Aprianto Riki, “Kedudukan Harta Dan Implikasinya Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan
Hadis,” AL-INTAJ 5, no. 1 (2019): 12–26.

11
ataupun misalnya seperti kain wol yang dihasilkan oleh domba. Oleh karena
itu harta hasil tidak bisa timbul jika tidak ada harta lain.19
J. Harta Al- Khash dan Al- ‘Am
Mal al-khash adalah harta pribadi yang dimiliki oleh seseorang yang tidak
dicampuri oleh kepemilikan orang lain, di mana orang lain tidak boleh
memanfaatkan harta tersebut kecuali atas izin pemiliknya. Terhadap harta
milik pribadi tersebut, pemiliknya bebas untuk memanfaatkannya selama
tidak merugikan orang lain dan tidak ada uzur syar’i. Sedangkan, Mal al-
‘am adalah kebalikan dari mal al-khash, jika macam harta yang disebutkan
terakhir adalah harta milik pribadi yang dimiliki secara perorangan, maka
mal al-‘am adalah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil
manfaatnya oleh siapa pun.20
Harta milik bersama bisa berubah bisa berubah status menjadi milik pribadi
apabila telah diambil dan dipelihara dengan baik oleh seseorang.
Sebaliknya, harta pribadi pun bisa berubah status menjadi milik bersama.
Perubahan status milik pribadi kepada milik umum dapat terjadi melalui:21
a. Kehendak sendiri dari pemiliknya, misalnya, seseorang menyerahkan
hartanya menjadi harta wakaf yang dapat dipergunakan untuk
kepentingan umum;
b. Kehendak syara’, seperti kebutuhan umat yang mendesak untuk
membuat jalan umum di atas milik pribadi. Dalam hal ini, pihak
penguasa bisa mempergunakan tanah pribadi untuk kepentingan umum.
Sementara itu, harta umum (bersama) yang bukan milik pribadi seseorang
ada dua kemungkinan yaitu:22

19
Naerul Edwin Kiky Aprianto, “Konsep Harta Dalam Tinjauan Maqashid Syariah,” Journal of
Islamic Economics Lariba 3, no. 2 (2017): 65–74.
20
Hadi A. Chairul and Mujiburrahman, Investasi Syariah: Konsep Dan Implementasinya, 2011.
21
Irwansyah, “Konsep Harta Dan Kepemilikannya Menurut Islam,” Jurnal Dusturiah 8, no. 2
(2018): 129–147.
22
Samsul Samsul, “Analisis Pemanfaatan Harta Dalam Konsumsi Masyarakat Ekonomi
Konvensional Dan Ekonomi Islam,” Al-Azhar Journal of Islamic Economics 1, no. 2 (2019): 110–
130.

12
a. Memungkinkan untuk dimiliki seseorang, akan tetapi belum ada sebab-
sebab kepemilikan, seperti binatang buruan di hutan, kayu bakar, dan
ardhul mawat (tanah mati).
b. Harta-harta yang tidak dapat dijadikan milik pribadi oleh seseorang,
karena syara’ telah menetapkannya guna kepentingan umum, seperti
sungai, sumber air tanah, jalan raya, dan sebagainya. Untuk harta jenis
ini, tidak boleh dikuasai oleh seseorang, namun boleh dimanfaatkan oleh
siapa pun secara ma’ruf.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa harta tidak dapat dibagi menjadi harta
‘ain dan dayn, karena harta menurutnya ialah sesuatu yang berwujud, maka
sesuatu yang tidak berwujud tidaklah sebagai harta, misalnya hutang tidak
dipandang sebagai harta, tetapi hutang menurutnya adalah sifat pada
tanggung jawab (washf fi al-dzimmah).

KESIMPULAN

Implikasi dari perbedaan sudut pandang terhadap harta dikalangan


ulama fiqih melahirkan perbedaan status hukum. Yang paling mendasar terdapat
perbedaan konsep harta dalam hal manfaat dan hak dalam impikasi pada:
pertama, perbedaan ulama fiqih dalam kedudukan hatra, dari segi manfaat yang
melahirkan perbedaan hukum pengembalian, Jumhur ulama sepakat bahwa orang
yang mengghasab harta orang lain dan memanfaatkanya, maka wajib
mengembalikan harta secara fisik dan pengembalian atas manfaat yang
digunakannya, sedangkan menurut ulama Hanafiah pengembalian harta ghasab
hanya dalam bentuk fisinya saja tidak dalam bentuk pengembalian manfaat. Kedua,
dalam konsep ijarah atau sewa, Pada akad sewa atau ijarah akan berakhir dengan
berakhirnya masa akad, yang menjadi perbedaan dalam hal berakhir dan
keberlanjutan dalam bentuk waris, menurut ulama Hanafiah, ijarah akan berakhir
apabila muakid meninggal dunia dan tidak diwariskan, sedangkan Jumhur ulama
menganggap bahwa meninggalnya salah satu muakid tidak mengakibatkan
berakhirnya akad ijarah akan tetapi akan berlanjut menjadi hak waris. dan
ketiga, dalam konsep warisan, perbedaan pendapat hak yang dapat diwariskan

13
adalah tentang hak khiyar syarat, dan ru’yah, menurut ulama Hanafiah hal tersebut
tidak dapat diwariskan sedangkan menurut jumhur ulama hal tersebut dapat
diwariskan

DAFTAR PUSTAKA

A. Chairul, Hadi, and Mujiburrahman. Investasi Syariah: Konsep Dan


Implementasinya, 2011.

Abdul, Salam Arief. “Konsep Al Mal Dalam Perspektif Hukum Islam.” Al-
Mawarid IX, no. 1 (2003): 48–57.

Adawiyah, Endah Robiatul, Inayatul Ummah, and Wahrudin Udin. “Fiqh Assets
Comparison : Implications in the Islamic Economy.” Mutawasith: Jurnal
Hukum Islam 5, no. 2 (2022): 145–159.
http://jurnal.iailm.ac.id/index.php/mutawasith.

Aprianto, Naerul Edwin Kiky. “Konsep Harta Dalam Tinjauan Maqashid Syariah.”
Journal of Islamic Economics Lariba 3, no. 2 (2017): 65–74.

Asnaini, and Aprianto Riki. “Kedudukan Harta Dan Implikasinya Dalam Perspektif
Al-Qur’an Dan Hadis.” AL-INTAJ 5, no. 1 (2019): 12–26.

Irwansyah. “Konsep Harta Dan Kepemilikannya Menurut Islam.” Jurnal Dusturiah


8, no. 2 (2018): 129–147.

Iswandi, Andi. “Maslahat Memelihara Harta Dalam Sistem Ekonomi Islam.”


SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 1, no. 1 (2014).

Muthmainnah. “Konsep Harta Dalam Pandangan Ekonomi Islam.” Bilancia: Jurnal


Studi Ilmu Syariah Dan Hukum 10, no. 1 (2016): 55–135.

Ramadani, Lalu Ahmad. “Implementasi Harta Dalam Akad (Harta Sebagai Hak
Milik Juga Sebagai Objek Bisnis).” Iqtishaduna X, no. 2 (2018): 117–127.

Rizal, Rizal. “Eksistensi Harta Dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis).”
Jurnal Penelitian 9, no. 1 (2015): 93–112.

14
Rusdan. “Konsep Harta (Al-Maal) Dalam Perspektif Ekonomi Islam.” El-Hikam
10, no. 2 (2017): 365–403.

Samsul, Samsul. “Analisis Pemanfaatan Harta Dalam Konsumsi Masyarakat


Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi Islam.” Al-Azhar Journal of Islamic
Economics 1, no. 2 (2019): 110–130.

15

Anda mungkin juga menyukai