Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KONSEP HARTA DALAM ISLAM

Harta merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia dalam


mengarungi kehidupannya di dunia ini, oleh karena itu harta sering
disebut dengan wasilah al-hayat (sarana kehidupan manusia). Oleh karena
itu, upaya serius dan kompetitif manusia untuk meraihnya merupakan
suatu kewajaran. Akan tetapi, seringkali upaya mencari harta ini terlepas
dari norma-norma kehidupan sehingga tidak jarang kemudian terjadi
perselisihan antara manusia. Di samping itu, dalam menggunakan harta
pun seringkali manusia melanggar ketentuan-ketentuan hukum agama
yang telah memberikan rambu-rambu dalam penggunaan harta,
akibatnya harta yang seharusnya berfungsi sebagai sarana kehidupan
untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah justru semakin
menjauhkan dirinya dari yang Maha kuasa tersebut.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang konsep harta dalam Islam
sangat penting bagi setiap manusia yang beragama guna membimbingnya
ke jalan yang benar dalam memperoleh dan menggunakan harta.

A. Pengertian Harta
Dalam kitab fikih, untuk menunjukkan harta digunakan istilah al-
mal yang bentuk jamaknya adalah al-amwal. Secara etimologi, al-mal
berarti “condong’ dan “berpaling” dari satu posisi-ke posisi lain. Dengan
bahasa yang sederhana maal sering didefinisikan sebagai “segala sesuatu
yang dimiliki manusia baik secara individual maupun kolektif, seperti
pekarangan, dirham, dinar, emas, perak, gandum, roti, hewan, baju, senjata dan
lain-lain”.
Dalam terminologi fiqih muamalah, terdapat beberapa pengertian
tentang harta atau al-mal. Antara lain adalah definisi yang berkembang di
kalangan para fuqaha’ Hanafiyah sebagai berikut:

1
“Segala sesuatu yang naluri manusia cenderung padanya dan dapat disimpan
sampai batas waktu yang diperlukan, baik yang berupa harta bergerak maupun
tidak bergerak”
Dalam pengertian diatas, fuqoha Hanafiah menentukan batasan
harta pada term iddikhor (dapat disimpan) yang mensyaratkan
pengecualian aspek manfaat. Menurut pandangan mereka “manfaat”
tidak termasuk konsep harta, melainkan masuk kepada konsep milkiyah.
Fuqoha Hanafiah membedakan al-mal dan milkiyah sebagai berikut:
al-mal ialah segala yang dapat disimpan untuk dimanfaatkan pada saat
diperlukan, sedangkan milkiyah adalah sesuatu dimana kita dapat
bertasarruf padanya secara ikthtishash, tidak dicampuri oleh orang lain,
karena manfaat termasuk ke dalam bagian milik.
Konsep harta yang berkembang dikalangan Jumhur fuqoha mazhab
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah adalah: “Sesuatu yang naluri manusia
cenderung kepadanya dan dapat diserah terimakan dan orang lain terhalang
mempergunakannya”.
Pengertian diatas mengisyaratkan pandangan mereka bahwa harta
tidak terbatas pada materi melainkan juga pada manfaat.
Dalam kedua definisi diatas yaitu definisi ulama Hanafiah dan
jumhur ulama, terdapat perbedaan esensi harta yang dikemukakan
jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah. Menurut jumhur ulama, harta
itu tidak saja bersifat materi, melainkan juga manfaat dari suatu benda.
Akan tetapi ulama Hanafi berpendirian bahwa yang dimaksud dengan
harta itu adalah yang bersifat materi. Sedangkan manfaat termasuk ke
dalam pengertian milik
Implikasi dari perbedaan pendapat ulama Hanafi dengan jumhur
ulama yang muncul dari akibat perbedaan pengertian terhadap harta ini
adalah perbedaan pendapat dari kasus sewa menyewa (al-ijaroh). Apabila
seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain dan kesepakatan
sewa menyewa telah disetujui kedua belah pihak, kemudian pemilik

2
rumah meninggal dunia maka dalam kasus seperti ini, menurut ulama
Hanafiyah, kontrak sewa rumah itu dibatalkan, karena pemilik rumah
telah wafat dan rumah harus diserahkan kepada ahli warisnya, karena
manfaat (sewa rumah yang dikontrakkan) tidak termasuk harta yang
diwarisi.
Akan tetapi, jumhur ulama berpendirian bahwa kontrak sewa
menyewa berlangsung terus sampai habis masa kontraknya, sekalipun
pemilik rumah telah wafat, karena manfaat adalah harta yang boleh
diwariskan kepada ahli waris. Terhentinya akad sewa menyewa hanya
dengan jatuhnya tempo penyewaan, bukan karena wafatnya pemilik
rumah.

B. Kedudukan dan Fungsi Harta


Kedudukan harta bagi manusia sangat penting. Harta termasuk
salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia
ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam
salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri
atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam ayat-ayat al-Qur’an, harta memiliki kedudukan antara lain:
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah swt Manusia hanyalah
pemegang amanah untuk mengelola dan memanfaatkan sesuai
dengan ketentuan-Nya. Sedangkan pemilik harta sebenarnya tetap
pada Allah swt.

‫ين َآمنُوا ِمْن ُك ْم‬ ِ َّ ِ ِ ‫ِآمنوا بِاللَّ ِه ورسولِِه وأَنِْف ُقوا ِِمَّا جعلَ ُكم مستخلَ ِف‬
َ ‫ني فيه فَالذ‬
َ ْ َْ ُ ْ َ َ َ ُ ََ ُ
)5 :75/‫َجٌر َكبِريٌ (احلديد‬ ْ ‫َوأَنْ َف ُقوا ََلُ ْم أ‬
Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian
dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka
orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian)
hartanya mendapatkan pahala yang besar”. (Q.S. Al Hadid: 7)

3
‫وه ْم ِم ْن َم ِال اللَّ ِه الَّ ِذي آتَا ُك ْم‬
ُ ُ‫َوآت‬
Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-
Nya kepada kalian”. (Q.S. An Nur : 33)

2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia


menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia
memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan
menikmati harta. Firman-Nya:

‫اط ِري الْ ُم َقْنطََرِة ِم َن‬


ِ َ‫والْ َقن‬ ‫ني‬ ِ ِ ‫ات ِمن الن‬ ِ ‫ب الشَّهو‬ ِ ‫ُزيِّ َن لِلن‬
َ َ ‫ِّساء َوالْبَن‬
َ َ ََ ُّ ‫َّاس ُح‬
‫احلَيَ ِاة الدُّنْيَا‬ ِ ِ ‫احلر‬ ِ ِ ْ ‫ب َوالْ ِفض َِّة َو‬
ِ ‫الذ َه‬
َّ
ْ ُ‫ك َمتَاع‬ َ ‫ذَل‬ ‫ث‬ َْْ ‫اْلَْي ِل الْ ُم َس َّوَمة َو ْاْلَنْ َعام َو‬
)41 :3/‫آب (آل عمران‬ ِ ‫واللَّهُ ِعْن َده حسن الْم‬
َ ُُْ ُ َ
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu : wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik”. (Q.S. Ali Imran/3 :
14).

)14 :41/‫احلَيَ ِاة الدُّنْيَا (الكهف‬


ْ ُ‫ال َوالْبَ نُو َن ِزينَة‬
ُ ‫الْ َم‬
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia (Al-Kahfi/18: 46),

Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan,


kesombongan, serta kebanggaan diri (Q.S. Al ‘Alaq/96: 6-7)

3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran
Islam ataukah tidak Allah berfirman

ِ ِ ِ
)47( ‫يم‬ ْ ‫إََِّّنَا أ َْم َوالُ ُك ْم َوأ َْوََل ُد ُك ْم فْت نَةٌ َواللَّهُ عْن َدهُ أ‬
ٌ ‫َجٌر َعظ‬
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan di sisi
Allahlah pahala yang besar (al-Taghabun/64: 15)

4
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya
dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui
kegiatan zakat, infaq, dan shadaqah (Q.S. At Taubah/9: 41; 60; Ali
Imran/3 : 133).

C. Cara Memperoleh dan Menggunakan Harta


Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan
memperoleh harta selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam
prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Hal ini berarti Islam
tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin,
karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh
seseorang adalah Allah swt sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam
ayat di atas. Di samping itu dalam pandangan Islam harta itu bukanlah
tujuan , tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi
karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya
secara garis besar ada dua bentuk:
Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum
dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan
harta bebas (ihrazu al-mubahat). Salah satu bentuk yang jelas dari
mendapatkan bebas adalah menghidupkan (menggarap) tanah mati yang
belum dimilik atau ihya al-mawat. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang
diriwayatkan dari Said bin Zubair menurut tiga perawi hadits yang
mengatakan: “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia
berhak memilikinya”. Di samping itu juga harta bebas bisa diperoleh
melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan rerumputan di hutan
rimba, dan menggali barang tambang yang berada di perut bumi selama
belum ada pihak yang menguasainya, baik individu maupun negara.
Kedua: Memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang
melalui suatu transaksi atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara:

5
Pertama peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau disebut juga
ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti
melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan
sendirinya, dengan arti atas kehendak dan keinginan sendiri, yang diebut
ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian,
maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau
beberapa pihak seperti jual beli.
Selanjutnya, bila harta yang telah dicari dan diperoleh sesuai
dengan petunjuk yang ditetapkan Allah yang tersimpul dalam prinsip
halal dan thayib, maka harta tersebut harus digunakan dan dimanfaatkan
sesuai dengan tuntunan Allah. Adapun petunjuk Allah swt yang
berkaitan dengan penggunaan harta adalah sebagai berikut:
1. Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri Penggunaan
harta untuk kebutuhan hidup dinyatakan Allah dalam firman-Nya
pada beberapa ayat al-Qur’an di antaranya pada surat al-Mursalat ayat
43:
“Makan dan minumlah kamu dengan enak apa yang telah kamu
kerjakan.”
Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan
minum, namun tentunya yang dimaksud di sini adalah semua
kebutuhan hidup seperti pakaian dan perumahan.
2. Digunakan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban
kepada Allah itu ada dua macam:
a. Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang
merupakan utang terhadap Allah seperti keperluan membayar
zakat atau nazar atau kewajiban materi lainnya, meskipun secara
praktis juga digunakan dan dimanfaatkan untuk manusia.
Kewajiban materi dalam bentuk ini dinyatakan Allah dalam
beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya surat al-Baqarah ayat 267:

6
ِ ‫َخَر ْجنَا لَ ُك ْم ِم َن ْاْل َْر‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ‫يا أَيُّها ال‬
‫ض‬ ْ ‫ين َآمنُوا أَنْف ُقوا م ْن طَيِّبَات َما َك َسْبتُ ْم َوِمَّا أ‬
َ ‫ذ‬ َ َ
Wahai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (zakatkanlah) dari yang
baik-baik apa yang kamu usahakan dan apa-apa yang Kami keluarkan
untukmu dari dalam bumi
b. Kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga yaitu
anak, istri dan kerabat. Tentang kewajiban materi untuk istri dan
anak dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233:

ِ
ِ ‫ود لَه ِرْزقُه َّن وكِسوتُه َّن بِالْمعر‬
‫وف‬ُ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ُ‫َعلَى الْ َم ْول‬
Kewajiban Ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk istri dan
anaknya dengan cara yang patut.
2. Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena
meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki
namun yang diberikan Allah tidaklah sama untuk setiap orang.
Ada yang mendapat banyak sehingga melebihi keperluan
hidupnya sekeluarga; tetapi ada pula yang mendapat sedikit dan
kurang dari kebutuhan hidupnya. Yang mendapat rezeki sedikit
ini memerlukan bantuan dari saudaranya yang berlebih dalam
bentuk infaq. Kenyataan berbedanya perolehan rezeki ini
dinyatakan Allah dalam surat al-Nahl ayat 71:

)54 :44/‫الرْزِق(النحل‬
ِّ ‫ض ِِف‬
ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بَ ْع‬
َ ‫َّل بَ ْع‬ َّ
َ ‫َواللهُ فَض‬
Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezeki.
Orang yang mendapat kelebihan rezeki itu dituntut untuk
menafkahkan sebagian dari perolehannya itu, sebagimana
disebutkan Allah dalam banyak tempat , diantaranya surat al-
Munafiqun (63) ayat 10:

ِ ِ ِ
)41 :43/‫ت(املنافقون‬ َ ‫َوأَنْف ُقوا م ْن َما َرَزقْ نَا ُك ْم م ْن قَ ْب ِل أَ ْن يَأِْتَ أ‬
ُ ‫َح َد ُك ُم الْ َم ْو‬

7
Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang Allah berikan (rezeki) kepadamu
sebelum maut mendatangimu.
Selain petunjuk tentang tata cara penggunakan harta , dalam
Islam ada beberapa petunjuk tentang larangan penggunaan harta
bukan untuk atau dengan cara yang dibenarkan agama, yaitu antara
lain:
1. Israf yaitu berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun
untuk kebutuhan hidup sendiri. Yang dimaksud israf atau berlebih-
lebihan itu adalah menggunakan melebihi ukuran yang patut, seperti
makan lebih dari tiga kali sehari,; mempunyai mobil lebih dari yang
diperlukan dan mempunyai rumah melebihi kebutuhan. Larangan
hidup berlebih-lebihan itu dinyatakan Allah swt dalam surat al-A’raf
(7) ayat 31:

ِ ُّ ‫َوُكلُوا َوا ْشَربُوا َوََل تُ ْس ِرفُوا إِنَّهُ ََل ُُِي‬


َ ‫ب الْ ُم ْس ِرف‬
)34 :5/‫ني (اْلعراف‬
Dan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan.
2. Tabzir atau boros dalam arti menggunakan harta untuk sesuatu yang
tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu
yang tidak bermanfaat. Bedanya dengan israf sebagaimana disebutkan
di atas ialah bahwa israf itu untuk kebutuhan kehidupan pribadi,
sedangkan boros itu untuk kepentingan lain, seperti memiliki motor
balap yang mahal sedangkan dia sendiri bukan pembalap; memiliki
kolam renang sedangkan di antara anggota keluarganya tidak ada
yang biasa menggunakannya. Larangan Allah terhadap pemborosan
ini umpamanya terdapat dalam surat al-Isra’ (17) ayat 26 dan 27:

ِ ‫) إِ َّن الْمب ِّذ ِرين َكانُوا إِخوا َن الشَّي‬64( ‫وََل تُب ِّذر تَب ِذيرا‬
ِ ‫اط‬
‫ني َوَكا َن الشَّْيطَا ُن‬ َ َْ َ َُ ً ْ ْ َ َ
)65( ‫لَِربِِّه َك ُف ًورا‬
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros.
Sesungguhnya orang yang boros itu temannya syetan sedangkan syetan itu
kafir terhadap tuhannya.

8
3. Ikhtikar yang berarti penimbunan secara spekulatif dalam bentuk
membeli barang sewaktu harga masih stabil kemudian menimbunnya
di tempat tertentu sehingga terjadi kelangkaan, kemudian menjualnya
lagi dengan harga yang lebih tinggi. Larangan ini muncul dalam hadits
Nabi dari Mu’ammar bin Abdullah menurut riwayat Muslim yang
mengatakan:

ِ ‫َل َُيتَ ِكر إَِل خ‬


)‫اط ٌئ (رواه مسلم‬ َ ُ ْ
Tidak ada yang melakukan penimbunan kecuali hanya orang yang salah
(berdosa).
4. Iddikhar, yaitu menumpuk barang untuk kepentingan sendiri dan
untuk dimakan sendiri sewaktu orang lain telah mengalami
kelangkaan makanan. Larangan ini berlaku untuk waktu-waktu
tertentu yaitu musim kelangkaan bahan pokok. Hal ini dinyatakan
dalam hadits Nabi yang mengatakan:

ِ ٍ ِ
ُ‫وها فَ ْو َق ثَََلث ل َك ْي تَ َس َع ُك ْم فَ َق ْد َجاءَ اللَّه‬ َ ُ‫إِنَّا ُكنَّا نَ َهْي نَا ُك ْم َع ْن ُحلُوم َها أَ ْن تَأْ ُكل‬
ٍ ‫اَّتروا أَََل وإِ َّن َه ِذ ِه ْاْلَيَّام أَيَّام أَ ْك ٍل و ُشر‬
‫ب َوِذ ْك ِر اللَّ ِه َعَّز‬ َِّ ِ ِ َّ ِ‫ب‬
ْ َ ُ َ َ ُ ‫الس َعة فَ ُكلُوا َو َّادخ ُروا َو‬
)‫َو َج َّل(رواه البيهقي وأبو داود‬
Sesungguhnya, aku dahulu melarang kalian untuk mengonsumsi daging
hewan kurban lebih dari tiga hari supaya dapat mencukupi kalian. Kini,
Allah l telah memberikan kecukupan untuk kalian, maka makanlah, simpan,
dan carilah pahala. Ketahuilah, sesungguhnya hari-hari ini (yakni hari–hari
tasyriq) adalah hari makan, minum, dan zikir kepada Allah
Larangan dalam hadits tersebut bersifat temporal yaitu waktu tertentu
yang memerlukan pangan. Larangan di sini ditujukan agar umat tidak
menggunakan hartanya untuk menyulitkan orang lain.

9
D. Pembagian Harta dan Akibat Hukumnya
Harta dalam hukum Islam dibedakan dalam beberapa kategori.
Masing-masing kategori mempunyai ciri khusus, dan untuk masing-
masing kategori bisa berlaku hukum yang berbeda.
a. Dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta
dibagi menjadi dua yaitu Maal Mutaqowim dan ghair mutaqawim. Yang
dimaksud dengan mutaqawim adalah sesuatu yang boleh dimanfaatkan
menurut syara’. Sedangkan ghair mutaqawim adalah sesuatu yang tidak
boleh dimanfaatkan menurut ketuntuan syara’, seperti babi dan
khamr.
Perbedaan kedua bentuk harta ini membawa akibat kepada: (a)
umat Islam tidak diperbolehkan memanfaatkan bangkai, babi, khamar,
dan darah, sebagai obyek transaksi untuk mencari harta; dan (b)
bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi bila mereka merusak
atau melenyapkan harta yang tidak halal dimanfaatkan oleh umat
Islam.
Menurut ulama Hanafiyah, apabila babi dan khamr itu milik kafir
dzimah (kafir yang hidup dan tunduk di bawah perundang-undangan
negara Islam), dirusak atau dilenyapkan oleh seorang muslim, maka
muslim ini wajib mengganti rugi, karena benda-benda tersebut
termasuk mutaqowim bagi kafir dzimmi. Akan tetapi jumhur ulama
berpendirian bahwa dalam kasus seorang muslim merusak atau
melenyapkan babi atau khamr milik kafir dzimmi tidak boleh dituntut
ganti rugi, karena kedua benda tersebut tidak bernilai harta dalam
Islam.
b. Harta dilihat dari jenisnya terbagi menjadi harta bergerak (mal-ghoiru
uqar) dan harta tidak bergerak (mal-uqar).
Harta bergerak (mal-ghoiru uqar) adalah harta benda yang dapat
dipindahkan dari tempat semula ke tempat lain seperti hewan dan
perhiasan. Harta tidak bergerak (mal-uqar) adalah harta benda yang

10
tidak mungkin dipindahkan dari tempat asalnya ke tempat lain seperti
tanah dan rumah.
Perbedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan berbagai
konsekwensi hukum, misalnya hubungan ketetanggaan terhadap mal-
uqar menimbulkan hak suf’ah, yakni hak prioritas tetangga dekat untuk
membeli mal-uqar, sebelum pemilik hendak menjualnya kepada orang
lain. Hak prioritas seperti ini tidak terdapat pada mal ghoiru uqar.
Contoh yang lain adalah bahwa Mal-uqar dapat dijadikan obyek wakaf
tanpa ada perselisihan di kalangan fuqoha’. Sedangkan wakaf mal-
ghoiru uqar ulama Hanafiyah mempersyaratkan sifatnya yang tidak
dapat dipisahkan dari harta yang tidak bergerak. Menurut fuqoha
jumhur semua jenis benda baik bergerak maupun tidak bergerak dapat
dijadikan wakaf.
c. Dilihat dari pemanfatannya, harta dibedakan menjadi Mal isti’mali dan
Mal istihlaki.
Mal isti’mali adalah harta benda yang dapat diambil manfaatnya
beberapa kali dengan menimbulkan perubahan dengan kerusakan
zatnya dan tidak berkurang nilainya, seperti kebun, pakaian,
perhiasan, dan lain sebagainya.
Mal istihlaki adalah harta benda yang menurut kebiasaannya hanya
dapat dipakai dengan menimbulkan kerusakan zatnya atau berkurang
nilainya. Seperti korek api, makanan, miuman, kayu bakar, dan lain
sebagainya.
Pembedaan harta benda seperti ini menimbulkan akibat hukum
dalam hal menjadi obyek transaksi. Ada harta yang bersifat isti’mali
dapat dijadikan obyek akad yang mendatangkan keuntungan bagi
pemiliknya seperti akad ijarah, yakni akad yang mentransaksi manfaat
suatu harta dengan imbalan tertentu. Akad ijarah seperti ini tidak
dapat dilakukan terhadap mal isti’mali, hanya memungkinkan
pemiliknya mentasarufkan manfaat barang untuk tujuan ta’awun

11
(tolong- menolong), seperti pada akad ariyah, yakni taransaksi atas
manfaat barang yang tidak disertai imbalan.
d. Dilihat dari segi ada atau tidak adanya harta sejenis di pasaran, harta
dibagi menjadi Misliy dan Qimiy.
Misliy adalah harta yang memiliki persamaan atau padanan
dengan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan antara satu
dengan yang lainnya dalam kesatuan jenisnya. Biasanya al-misliy
berupa harta benda yang dapat ditimbang, diukur, dan ditakar
kuantitasnya. Kebanyakan komoditas barang dagangan tergolong jenis
ini seperti buah-buahan, sayur mayur, garmen, dan sebagainya.
Qimiy adalah harta yang tidak mempunyai persamaan atau
padanan; atau harta yang memiliki padanan namun terdapat
perbedaan kualitas yang sangat diperhitungkan, seperti perhiasan,
binatang peliharaan, naskah kuno, barang antik, dan lain sebagainya.
Perbedaan jenis harta seperti ini, mengakibatkan beberapa
konsekwensi hukum. Pertama, sistem jual beli barter antara mal-qimiy
tidak memungkinkan terjadi riba fuduli, karena jenis satuannya tidak
sama. Tetapi jual beli barter terhadap mal misli dimungkinkan
transaksi jual beli yang menjurus kepada praktek riba fuduli. Kedua,
dalam perserikatan harta yang bersifat misliy dapat mengambil
bagiannya ketika teman atau mitra sekutunya tidak ada ditempat (bil
ghoib). Sebaliknya dalam persekutuan harta yang bersifat qimiy,
masing-masing pihak yang besekutu tidak boleh mengambil
bagiannya selama pihak lain tidak sedang berada ditempat.
e. Dilihat dari segi statusnya harta dibagi menjadi: mal mamluk, mal
mahjur, dan mal mubah.
Mal mamluk adalah harta benda yang statusnya berada dalam
kepemilikan seseorang atau badan hukum seperti pemerintah atau
yayasan.

12
Mal mahjur adalah harta yang menurut syara tidak dapat dimiliki
dan diserahkan kepada orang lain lantaran telah diwakafkan atau
diperuntukkan untuk kepentingan umum, seperti jalan, masjid
sekolah, dan lain sebagainya.
Mal mubah adalah segala harta selain yang termasuk kedua
kategori benda di atas. Setiap orang dapat mengusai dan memiliki
jenis benda ini sesuai kesanggupannya. Orang yang lebih dahulu
menguasainya maka ialah pemiliknya., seperti ikan di laut, rumput,
binatang buruan, dan lain sebagainya.
f. Dilihat dari segi berkembang atau tidaknya harta tersebut, baik
hasilnya itu melalui hasil manusia maupun dengan sendirinya
berdasarkan ciptaan Allah, maka ulama fiqih mambaginya kepada :
Mal Ashal dan Mal Tsamar.
Mal ashal adalah harta benda yang dapat menghasilkan harta lain
sedangkan mal tsamar adalah harta benda yang tumbuh dan dihasilkan
oleh Mal ashal, tanpa menimbulkan kerugian atau kerusakan atasnya.
Misalnya sebidang kebun menghasilkan buah-buahan.
Pembagian kedua bentuk harta ini membawa akibat hukum yang
sangat luas dalam fiqih Islam. Diantaranya adalah ashal harta wakaf
tidak berhak dibagi-bagikan kepada yang berhak menerima wakaf,
tetapi buah dan hasilnya boleh dibagi kepada mereka. Akibat hukum
yang lain adalah harta yang diperuntukkan kepada kepentingan
umum, ashalnya tidak boleh dibagi-bagikan, tetapi hasilnya boleh
dimiliki oleh siapapun.
g. Mal ul qismah dan mal ghoirul qismah.
Yang dimaksud dengan mal qismah adalah harta benda yang dapat
dibagi menjadi beberapa bagian dengan tidak menimbulkan
kerusakan atau kekurangan manfaat masing-masing bagian
dibandingkan sebelum dilakukan pembagian, seperti emas batangan,
kayu, daging, dan lain sebagainya. Sedangkan mal ghoiru qismah adalah

13
harta yang tidak dapat dibagi sebagaimana yang dilakukan terhadap
mal qismah.
Perbedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan berbagai
konsekwensi hukum. Pertama, perselisihan terhadap mal-qismah yang
menjadi milik bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui
qismatul tafriq yakni membagi benda menjadi bagian-bagian yang
tepisah. Jika perselisihan ini terjadi kepada mal ghoiru qismah,
diselesaikan melalui pembagian atas dasar kerelaan. Kedua,
persekutuan terhadap mal ghoiru qismah yang belum ditentukan
bagian masing-masing, maka pemilik bagian tersebut sah
melimpahkan pemilikan tersebut kepada orang lain. Terhadap mal-
qismah, pembagian seperti diatas tidak sah sebelum dilakukan
pembagian terlebih dahulu.
h. Mal ul Khas dan Mal ul ‘Amm.
Yang dimaksud malul khos adalah harta yang dimiliki oleh pribadi
seseorang dan orang lain tercegah memilikinya atau
memanfaatkannya tanpa seizin pemiliknya. Sedangkan yang
dimaksud malul ‘amm adalah harta benda yang menjadi milik
masyarakat, yang sejak semula dimaksudkan untuk kepentingan
umum.
Malul khas dapat berubah menjadi malul ‘amm demikian juga
sebaliknya karena sebab-sebab antara lain, pertama, karena kehendak
pemiliknya dan penguasanya, seperti sebidang tanah untuk masjid,
sebelum diperuntukkan oleh pemiliknya adalah tergolong sebagi
malul-khas yang dikuasai oleh sang pemilik. Demikian juga pemerintah
berhak melelang harta umum sehingga malul ‘amm tesebut berubah
menjadi malul-khas. Kedua, karena ketetapan syara’ atau karena
undang-undang seperti pembatasan tanah hak milik untuk
kepentingan umum.

14
Pembedaan jenis harta ini menimbulkan beberapa konsekwensi
hukum antara lain: malul khas dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya
secara bebas sesuai dengan syara’, sedangkan malul ‘amm tidak dapat
ditasharufkan secara bebas. Selain itu, Apabila seseorang
menggunakan malul ‘amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang
berwenang untuk kepentingan pribadinya, maka ia dituntut ganti
rugi.

15

Anda mungkin juga menyukai