Anda di halaman 1dari 21

HARTA DAN

PERMASALAHANNYA
Membahas Terminologi Harta Dalam Pandangan
Islam, Kedudukan dan Fungsi Harta, Metode
Memperoleh dan Memanfaatkan Harta, Kepemilikan
Harta, serta Klasifikasi Harta Dalam Fiqh Muamalah

Oleh: Said Ahmad Sarhan Lubis, M.HI


Definisi Harta
• Secara etimologi, harta dalam bahasa Arab disebut al-Mâl, berasal dari
kata ‫ ما لي ميل ميال‬mempunyai arti condong, cenderung atau miring. Karena
manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. al-Mâl juga
diartikan segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka
pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.
• Di dalam kamus Lisan al-’Arab karya Ibnu Manzur diterangkan bahwa kata
‫ما ل‬ berasal dari kata kerja‫ ملت‬، ‫ ت ما ل‬،‫ ملت‬، ‫مو ل‬
ّ . Jadi, ‫ ما ل‬didefinisikan sebagai
"segala sesuatu yang dimiliki”. Berkata Sibawaihi, "Diantara bentuk imalah
yang asing dalam bahasa Arab ialah‫( ما ل‬mâl) yang bentuk jamaknya‫أموا ل‬
(amwâl).” Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-mâl berarti ’apa saja yang
dimiliki’, kata tamawwalta ‫ت‬ ( ‫مول‬
ّ ‫ )ت‬berarti ’harta kamu banyak karena orang
lain’, kata multahu (‫ )ملته‬berarti kamu memberikan uang pada seseorang.
• Secara terminologi, pengertian al-Mâl menurut ulama Hanafiyah:
‫ او كل ما يمكن حيازته وإحرازه وينتفع به عادة‬،‫ما يميل اليه طبع اإلنسان ويمكن إدخاره إلى وقت الحاجة‬
Segala yang diinginkan oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga saat dibutuhkan.
• Menurut Jumhur ulama, al-Mâl (harta) : ‫ك ل ما ل ه ق يمة ي لزم متلفها ب ضمانه‬
Segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.
Penjelasan Definisi
Menurut Hanafiyah: Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan,
dan dapat dimanfaatkan. Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur,
yaitu:
Harta dapat dikuasai dan dipelihara. Sesuatu yang tidak disimpan atau
dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara,
panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.
Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan. Segala sesuatu yang tidak bermanfaat
seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta; atau
bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan manusia, seperti
satu biji gandum, setetes air, segenggam tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak
disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan,
kecuali kalau disatukan dengan sesuatu yang lain.
Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan
jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti
manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu
yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain
hanafiyah (jumhur), manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah
manfaatnya dan bukan zatnya.
Jadi, perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:
1. Bagi jumhur ulama harta tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat
yang terkandung di dalamnya.
Kedudukan Harta
• HARTA, salah satu dari lima kebutuhan pokok (al-dharuriyat al-
khamsah) yang wajib dijaga, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, harta.
• Harta merupakan perhiasan kehidupan dunia (QS. Al-Kahfi: 26)
• Harta sebagai cobaan/fitnah (QS. Al-Taghabun: 15)
• Harta sebagai sarana untuk memenuhi kesenangan (QS. Ali Imran: 14)
• Harta sebagai sarana untuk menghimpun bekal bagi kehidupan akhirat
(QS. Al-Baqarah: 262 dan al-Taubah: 41).
• Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran
Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
• Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah
pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda
dari tiada. Pemilik mutlak terhadap harta dan segala sesuatu yang ada
di muka bumi ini adalah Allah Swt. Kepemilikan oleh manusia bersifat
relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan
memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS. al-Hadid: 7).
Rasulullah Saw bersabda: Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan
ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan,
jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan
dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.
Fungsi Harta
• Menyempurnakan pelaksanaan ibadah khash (mahdhah), seperti bekal
untuk haji, zakat, dsb.
• Meningkatkan ketakwaan kepada Allah, sebab kefakiran cenderung
dekat kepada kekafiran.
• Meneruskan kehidupan dari generasi ke generasi (QS. Al-Nisa’: 9).
• Menyelaraskan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
‫ رواه‬- ‫ليسب خيركم منت رك ا لد ن يا أل خرته وا ألخرة ل د ن ياه حتىي صيبا جميع ا ف إنا لد ن يا ب الغ ا لىا ألخرة‬
‫ا لبخاري‬
• Mengembangkan dan menegakkan ilmu pengetahuan.
• Memutar dan menggerakkan peran-peran kehidupan dengan adanya
orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan.
• Menumbuhkan silaturrahim karena adanya perbedaan dan keperluan,
sehingga menciptakan barter atau pertukaran barang melalui harta.
• Sarana distribusi kekayaan, agar tidak hanya beredar di kalangan
tertentu saja (QS. Al-Hasyr: 7).
• Dalam pandangan Islam, harta bukanlah tujuan, tapi sebagai alat untuk
menyempurakan kehidupan dan alat untuk mencapai keridhaan Allah
• Pemilikan dan penggunaan harta, disamping untuk kemaslahatan
pribadi, juga harus memberikan manfaat bagi orang lain (fungsi sosial).
‫ رواه الترمذي‬- ‫ان في المال حقا سوى الزكاة‬
MEMPEROLEH HARTA
• Allah Swt memerintahkan manusia supaya berusaha mencari harta dan
memilikinya dengan cara yang halal dan baik (QS. Al-Jum’ah: 10). Setelah
berusaha sungguh-sungguh, Allah Swt menyuruh manusia untuk berdo’a
kepadaNya (QS. Al-Nisa’: 32). Selanjutnya Allah akan memberikan
karuniaNya kepada siapa saja yang dikehendakiNya (QS. Al-Jum’ah).
• Secara umum, ada dua bentuk cara memperoleh harta:
1. Memperoleh harta secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun.
Bentuknya adalah menghidupkan/menggarap tanah mati (lahan kosong)
yang belum menjadi milik siapapun, disebut ihya’ al-mawat.
‫منأحيا أرضا ميتة ف هيل ه‬
2. Memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui transaksi.
Bentuk ini terbagi dua: Ijbary dan Ikhtiyary. Bentuk Ijbary adalah
peralihan harta yang berlangsung dengan sendirinya tanpa perencanaan
atau penolakan, seperti warisan. Sedangkan Ikhtiyari adalah peralihan harta
berlangsung tidak dengan sendirinya, melainkan atas kehendak tertentu,
seperti hibah dan jual beli.
• Metode memperoleh harta: Menguasai benda-benda mubah yang belum
menjadi milik seorang pun, perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah,
hadiah, wasiat, warisan, syuf’ah (hak membeli dengan paksa atas harta
persekutuan yang dijual kepada orang lain tanpa izin para anggota
persekutuan yang lain), Iqtha (pemberian dari pemerintah), hak-hak
keagamaan seperti bagian zakat, bagian ‘amil, nafkah istri, anak, orang tua.
Metode Yang Dilarang
• Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang sifatnya melupakan
mati (at-Takatsur:1-2), melupakan zikrullah/mengingat Allah (al-
Munafiqun:9), melupakan shalat dan zakat (an-Nur: 37), dan
memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja.
• Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba
(al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-
Maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam
takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang
batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap.
• Cara memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip muamalah, yaitu memperoleh harta dengan cara-cara
yang mengandung unsur paksaan dan tipuan yang bertentangan dengan
prinsip sukarela, seperti merampas harta orang lain, menjual barang
palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dsb. Kemudian memperoleh
hartanya dengan cara yang justru mendatangkan mudharat/keburukan
dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli ganja, perjudian,
minuman keras, prostitusi, dsb. Atau memperoleh harta dengan jalan
yang bertentangan dengan nilai keadilan dan tolong menolong, seperti
riba, meminta balas jasa tidak seimbang dengan jasa yang diberikan.
Juga menjual barang dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang
sebenarnya, monopoli (ihtikar), penipuan (tadlis), dsb.
Pemanfaatan Harta
• Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri (QS. Al-Mursalat:
43). Hal yang perlu dijauhi adalah israf dan tabdzir. Israf (berlebih-lebihan)
yaitu mempergunakan harta melebihi ukuran yang patut (QS. Al-A’raf: 31).
Tabdzir (boros) yaitu menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang
tidak diperlukan dan tidak bermanfaat (QS. Al-Isra’: 26-27).
• Digunakan untuk memenuhi kewajibannya kepada Allah. Ada 2 kewajiban,
yaitu kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang
merupakan utang kepada Allah seperti zakat dan nadzar (QS. Al-Baqarah:
267), serta kewajiban materi untuk nafkah keluarga (QS. Al-Baqarah: 233).
• Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial, seperti infaq. Karena rezeki yang
diberikan oleh Allah Swt kepada setiap orang berbeda-beda (QS. Al-Nahl:
71) sehingga perlu ada pendistribusian melalui infaq (QS. Al-Munafiqun:
10).
• Penggunaan harta dalam Islam, tidak boleh terlalu kikir namun juga tidak
boleh terlalu berlebihan (QS. Al-Isra’: 29).
• Pemanfaatan harta yang dilarang adalah untuk tujuan negatif yang dapat
menyulitkan kehidupan orang, menyakiti orang lain (QS. Al-Baqarah: 262),
menjauhkan orang dari melaksanakan perintah dan ajaran agama (QS. Al-
Anfal: 36), larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil (QS. Al-Fajr:
19).
Pembagian Jenis Harta
Ulama fiqih membagi harta Mutaqawwim dan
menjadi beberapa bagian Ghair Mutaqawwim
yang setiap bagiannya Mitsli dan Qimi
berdampak atau berkaitan Istihlak dan Isti’mal
dengan beragam hukum. Manqul dan Ghair
Manqul
Berikut ini adalah klasifikasi
‘Ain dan Dayn
harta dan implikasi
hukumnya dalam tinjauan Mamluk, Mubah,
Mahjur
fiqh muamalah.
Dapat dibagi dan
tidak dapat dibagi
Pokok dan hasil
Khash dan ‘am
Mutaqawwim dan
Ghair Mutaqawwim
Berdasarkan Kebolehan Memanfaatkan, harta terbagi kepada:
Harta Muttaqawwim semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan
penggunaannya (halal untuk dimanfaatkan).
Harta Ghair Muttaqawwim harta yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara
memperolehnya dan cara penggunaannya. Seperti babi, barang yang diperoleh dengan mencuri,
atau uang yang disumbangkan untuk membangun rumah prostitusi. (tidak halal dimanfaatkan).
Implikasi Hukum: Tidak dibolehkannya umat Islam menjadikan harta Ghairu Muttaqawwim
sebagai objek transaksi. Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi apabila mereka merusak
atau melenyapkan harta Ghairu Muttaqawwim.
Faedah Pembagian: Sah dan Tidaknya Akad. Harta Muttaqawwim sah dijadikan akad dalam
berbagai aktivitas mu’amalah , seperti hibah, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Sedangkan harta
Ghair Muttaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermu’amalah. Penjualan khamar, babi, dan
sejenisnya yang diharamkan apabila dilakukan oleh umat Islam maka hukumnya adalah batal.
Adapun pembelian sesuatu dengan barang-barang haram adalah fasid (rusak). Demikianlah
pendapat yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.
Tanggung Jawab Ketika Rusak. Jika seseorang merusak harta Muttaqawwim, ia bertanggung
jawab untuk menggantinya. Akan tetapi jika ia merusak harta Ghair Muttaqawwim, ia tidak
bertanggung jawab. Menurut ulama Hanafiyah, dalam hal merusak Ghair Muttaqawwim, ia tetap
bertanggung jawab sebab harta tersebut dipandang Muttaqawwim (bernilai) oleh non-muslim.
Adapun menurut jumhur, harta Ghair Muttaqawwim tetap dipandang Muttaqawwim, sebab umat
non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.
Dengan demikian, umat Islam tidak perlu bertanggung jawab jika merusaknya.
Mitsli dan Qimi
Berdasarkan ada dan tidaknya di pasaran, harta terbagi kepada:
HARTA MITSLI: Harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan
pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi
dalam aktivitas ekonomi. Harta Mitsli terbagi 4: harta yang ditakar seperti gandum, harta yang
ditimbang seperti kapas dan besi, harta yang dihitung seperti telur, dan harta yang dijual dengan
ukuran seperti meter bahan pakaian. Jenisnya dapat diperoleh di pasar secara persis.
HARTA QIMI: Harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar; atau mempunyai persamaan,
tapi ada perbedaan menurut kebiasaan pada satuannya dalam hal kualitas, seperti satuan
pepohonan, logam mulia, binatang, atau peralatan rumah tangga. Jenisnya sulit didapatkan di
pasar, bisa diperoleh tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.

Faedah Pembagian:
a. Pada harta al-qimi tidak mungkin terjadi riba, karena jenis satuannya tidak sama, namun pada
harta al-mitsli bisa berlaku transaksi yang menjurus pada riba.
b. Dalam suatu perserikatan harta yang bersifat al-misli, seorang mitra serikat boleh mengambil
bagiannya ketika mitra dagangnya sedang tidak di tempat. Akan tetapi pada harta yang bersifat
al-qimi, masing-masing pihak tidak boleh mengambil bagiannya selama pihak lainnya tidak
berada di tempat.
c. Apabila harta yang bersifat al-misli dirusak seseorang dengan sengaja, maka wajib diganti
dengan harta sejenis, namun apabila pengrusakan dengan sengaja terhadap harta yang bersifat
al-qimi harus diganti dengan memperhitungkan nilainya.
Istihlak dan Isti’mal
Berdasarkan Segi Pemanfaatannya, harta terbagi kepada:

HARTA ISTIHLAKI, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak
zatnya. Misalnya makanan, minuman, kayu bakar, sabun, dan lain-lain. Harta
Istihlaki terbagi dua, yaitu istihlak haqiqi dan istihlak huquqi. Istihlak haqiqi ialah
suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas nyata zatnya habis sekali pakai,
misal kayu bakar, jika dibakar maka akan habis. Istihlak huquqi harta yang sudah
habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada, misal: uang yang
dipakai untuk membayar utang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang
tsb masih utuh dan berpindah kepemilikan.

HARTA ISTI’MALI, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tanpa
merusak zatnya (zatnya tetap). Harta jenis ini tidak habis sekali digunakan, tetapi
dapat digunakan lama menurut apa adanya. Contoh: rumah, tempat tidur, pakaian,
buku, dan lain sebagainya.
Manqul dan Ghair Manqul
Berdasarkan Jenisnya, harta terbagi kepada Manqul dan Ghair Manqul (‘Aqar)
a. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah: Manqul (harta bergerak) berarti harta yang dapat
dipindahkan dan diubah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan
keadaan semula, ataupun berubah bentuk dan keadaannya disebabkan karena perpindahan dan
perubahan tersebut. Hal ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan yang
halal diperjual-belikan, benda-benda yang ditimbang dan diukur.
‘Aqar artinya adalah harta tetap, yang tidak mungkin diubah dan dipindahkan dari satu tempat ke
tempat yang lainnya, seperti rumah, dan barang-barang lain yang telah membumi.
Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan tanaman tidaklah termasuk ‘aqar, kecuali kalau
keduanya menyatu dengan bumi (tanah). Dengan demikian, jika menjual tanah yang di atasnya
ada bangunan atau tanaman, maka bangunan dan tanaman serta benda-benda lain yang ikut
menempel di tanah tersebut dihukumi ‘aqar. Sebaliknya, apabila hanya menjual bangunan atau
tanamannya saja, maka tidak dihukumi ‘aqar, sebab ‘aqar menurut ulama Hanafiyah hanyalah
tanah (bumi), sedangkan selain itu adalah harta manqul.
b. Menurut ulama Malikiyah. Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul memperluas
pengertian ‘aqar, yaitu: Manqul, adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari satu
tempat ke tempat yang lain, dengan tidak berubah bentuk dan keadaannya seperti pakaian,
buku, dan sebagainya. ‘Aqar, adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dan diubah dari
asalnya, seperti tanah, atau mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada
bentuk dan keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon (tanaman). Rumah setelah
diruntuhkan berubah menjadi rusak, dan pohon berubah menjadi kayu. IMPLIKASINYA: Menurut
ulama hanafiyah, tidak sah wakaf kecuali pada harta ‘aqar atau sesuatu yang ikut pada harta
‘aqar. Sebaliknya jumhur berpendapat bahwa harta ‘aqar dan manqul dapat diwakafkan.
‘Ain dan Dayn
Berdasarkan Bentuk dan Nilainya, harta terbagi kepada:

HARTA ‘AIN, yaitu harta yang berbentuk benda, seperti meja, kursi, kendaraan, dll.
Harta ‘Ain ini terbagi dua:
a. Harta ‘ain dzati qimah, adalah benda yang memiliki bentuk dan nilai, yang meliputi:
- benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya atau tidak;
- benda yang dianggap harta yang ada atau tidak ada sebangsanya;
- benda yang dianggap harta yang dapat atau tidak dapat bergerak.
b. Harta ‘ain ghair dzati qimah, adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta,
karena tidak memiliki nilai atau harga, seperti sebutir beras.

HARTA DAYN, yaitu sesuatu yang berada dalam tanggung jawab, seperti uang yang
berada dalam tanggung jawab seseorang.

Menurut ulama Hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi dua bentuk tersebut, sebab
harta menurut mereka haruslah sesuatu yang berwujud atau berbentuk. Utang menurut
ulama Hanafiyah tidaklah termasuk harta, tetapi bagian dari tanggung jawab (washf fi al-
dzimmah).
Mamluk, Mubah, Mahjur
Berdasarkan Status Harta, harta terbagi kepada:
HARTA MAMLUK, harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi, yayasan, pemerintah
maupun badan hukum.
HARTA MUBAH, adalah harta yang tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu di
hutan beserta buah-buahannya, dan lain-lain.
HARTA MAHJUR, adalah harta yang dilarang syara’ untuk memilikinya, baik karena harta
itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum.
Faedah Pembagian:
a. Harta yang boleh didayagunakan (tasharuf) oleh seseorang adalah harta al-mamluk.
b. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta al-mubah sesuai kemampuan dan usahanya yang
dibenarkan oleh syara’. Dengan demikian, maka harta tersebut akan menjadi miliknya,
seperti orang yang menghidupkan atau memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya.
Hal ini telah dibenarkan oleh syara’.
Harta Dapat Dibagi dan
Harta Tidak Dapat Dibagi
Berdasarkan Bisa Dibagi Atau Tidaknya.

HARTA YANG DAPAT DIBAGI (qabil li al-qismah), yaitu harta yang tidak menimbulkan
suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagikan, seperti beras, tepung,
dan lain-lain.

HARTA YANG TIDAK DAPAT DIBAGI-BAGI (ghair qabil li al-qismah), yaitu harta yang
menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagi-bagi, seperti piring, mesin, kursi,
meja, dan lain-lain.
Harta Pokok dan Hasil
Berdasarkan Berkembang Atau Tidaknya, harta terbagi kepada:
HARTA POKOK (AL-MAL AL-ASHL): harta yang menyebabkan adanya harta yang lain.
HARTA HASIL (TSAMARAH), yaitu harta hasil yang terjadi dari harta yang lain.
Diantara contoh harta pokok adalah sapi, dan harta hasil adalah susu atau daging sapi.
Atau jika dicontohkan bulu yang dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta
pokok, bulunya merupakan harta hasil. Harta pokok ini dapat disebut harta modal.
Implikasi Hukum:
a. Pokok harta wakaf tidak bisa dibagi-bagikan kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi
buah atau hasil darinya dapat dibagikan kepada mereka.
b. Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum asalnya tidak bisa dibagi-bagikan,
tetapi hasilnya bisa dimiliki siapapun.
c. Dalam suatu transaksi yang objeknya manfaat benda, maka pemilik manfaat itu berhak
atas hasilnya. Misalnya, apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang secara kebetulan
di pekarangan rumahnya tersebut ada pohon yang sedang berbuah, maka buah tersebut
menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh memperjual-belikannya kepada orang lain.
Harta Khash dan ‘Am
Berdasarkan Kepemilikannya.
HARTA KHAS (KHUSUS), adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain.
Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan seenaknya kecuali atas kehendak
atau seizin pemiliknya.

HARTA ‘AM (UMUM), adalah harta milik umum atau bersama, semua orang boleh
mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau
penguasa.
Kepemilikan Harta
• Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan kepemilikan kepada Allah
mengandung tujuan sebagai jaminan emosional agar harta diarahkan untuk
kepentingan manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan harta itu sendiri.
• Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep
khusus, yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi
yang diberi kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi
dengan syarat sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
• Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Qur’an
menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan
kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam
juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.
• Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan negara.
Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang
bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan
Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang
pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa
secara keseluruhan.
• Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihakmilikkan orang lain
adalah setiap harta milik umum seperti jalanan, jembatan, sungai dll.
dimana harta/barang tersebut untuk keperluan umum.
• Harta yang tidak bisa dimilki kecuali dengan ketentuan syari’ah,
seperti harta wakaf, harta baitul mal dll. Maka harta wakaf tidak bisa dijual
atau dihibahkan kecuali dalam kondisi tertentu seperti mudah rusak
ataupun biaya pengurusannya lebih besar nilai hartanya.
• Harta yang bisa dimiliki dan dihakmilikkan kepada lainnya adalah
selain dari dua jenis harta dalam kategori tsb diatas.
NEXT WEEK
Fiqh Jual Beli: Definisi,
dasar hukum jual beli, rukun
dan syarat jual beli, khiyar,
bentuk jual beli yang dilarang,
manfaat dan hikmah jual beli.

Anda mungkin juga menyukai