Pertemuan ke II
Senin, 26 Februari2018
1
Kedudukan Harta
Asumsi yang beredar sebelum datangnya Islam, baik sebagai
pemahaman agama atau aliran, telah menganggap harta
sebagai keburukan, sedanghan kemiskinan dianggap sebagai
kebaikan, bahkan menganggap segala sesuatu yang
berkaitan dengan kenikmatan materi merupakan kotoran
bagi ruhani dan penghambat bagi peningkatan kemuliaan
ruhani.
2
Berbagai aliran (faham) baru seperti Materialis dan Sosialis,
mereka menjadikan perekonomian itu sebagai tujuan hidup
dan menjadikan harta sebagai Tuhannya bagi individu dan
masyarakat.
Dalam Islam;
Pertama, Harta sebagai pilar penegah hehidupan. (QS. an Nisaa:
5).
Kedua, harta disebut dengan kata, "Khairan" yang berarti suatu
kebaihan. (QS. al Baqarah: 215).
Ketiga, Kekayaan merupahan nikmat Allah yang diberikan
kepada para Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dan
bertaqwa dari hamba-hamba-Nya. (QS. at Taubah: 28).
3
Keempat, harta kekayaan merupahan cobaan atau ujian
hidup. Dan sekaligus harta dapat membawa musibah
bagi orang yang berpaling dari-Nya dan kufur terhadap
nikmatnya. (QS. al Baqarah: 155).
4
Status Kepemilikan Harta
Harta sebagai Titipan (QS. al Hadid: 7).
5
Pengertian Harta
Etimologi
al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadzmaala –
yamiilu – mailan yang berarti condong, cenderung, dan
miring.
7
konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala
sesuatu yang memenuhi dua kriteria :
Pertama : Sesuatu yang dipunyai dan bisa di ambil
manfaatnya menurut ghalib.
8
Menurut jumhur; “harta sebagai adalah seagala sesuatu
yang bernilai”.
10
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai
dengan apa yang ditegaskan oleh ulama’-ulama’ Ushul
Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan
untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama
menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak
termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas
manfaat-manfaat saja.
11
Kepemilikan Harta
Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum
dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan
penguasaan harta bebas (ihrazu al-mubahat).
Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui
suatu transaksi atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara:
Pertama, peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau disebut
juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya
seperti melalui warisan.
Kedua, peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,, dengan
arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik
melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui
kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak
seperti jual beli.
12
Fungsi Harta
Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah),
sebab untuk ibadah memerlukan alat-alat seperti kain untuk
menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan
ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah dan yang lainnya.
Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia
dan akhirat.Bukhari meriwayatkan hadist yang artinya : “Bukanlah
orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan duniawi,
sehingga seimbang diantara keduanya. Karena masalah dunia adalah
menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.”
Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode
berikutnya. Sesuai dengan QS. An-Nisa : 9
13
Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena
menurut ilmu tanpa modal akan tersa sulit, seperti sesorang
tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila ia tidak memiliki
biaya.
Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan
yakni adanya pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan
miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan karena itu
tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
Untuk menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan
dan keperluan sehingga terjadilah interaksi dan komunikasi
silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan.
14
Pembagian Harta dan Implikasi Hukumnya
1. Harta Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin
a. Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya
menurut syara’ yaitu semua harta yang baik jenisnya maupun cara
memperoleh dan penggunaanya. Sebagai contoh: kerbau halal
dimakan oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut disembelihnya
tidak sah menurut syara’, misalnya dipukul, ditembak, dll.
15
Faedah Pembagian
a. Sah dan Tidaknya Akad
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas muamalah,
seperti hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghair mutaqawwim tidak
sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Pendapat ini disampaikan oleh ulama
Hanafiyah.
16
2. Harta Mitsli dan Harta Qimi
a. Harta mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam
kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di
tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.
Jadi, harta mitsli adalah harta yang ada imbangannya (persamaan).
Seperti harta yang jenisnya diperoleh di pasar(secara persis).
b. Harta qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-
kesatuannya, karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat
sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan. Jadi, harta qimi adalah
harta yang tidak ada imbangannya secara tepat. Seperti harta yang
jenisnya sulit di dapatkan di pasar, bisa di peroleh tetapi jenisnya
berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
17
3. Harta Istihlak dan Harta Isti’mal
a. Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan
manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta
istihlak dibagi menjadi dua, ada yang istihlak haqiqi dan istihlak
huquqi.
1). Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang
secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek
api bila dibakar, maka habislah harta yang berupa kayu itu.
2). Harta huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah
digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misanya uang yang
digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum
walaupun uang tersebut masih utuh, tetapi hanya pindah
kepemiliknya.
18
b. Harta isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali
dan materinya tetap terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali
digunakan, tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya. Seperti
kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dll.
19
5. Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a. Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan
maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta
mamluk(yang dimiliki) terbagi manjadi dua macam yaitu:
Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik,
misalnya rumah yang di kontrakkan. Harta perorangan yang tidak
berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seseorang yang
mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan
hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki
sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama
satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang
tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang
berkongsi memiliki sebuah pabrik dan pabrik tersebut diurus bersama.
20
b. Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik
seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut,
pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia
boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang
yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan
kaidah. Sesuai dengan sabda Nabi SAW:“Barang siapa yang
menghidupkan tanah(gersang),hutan milik seseorang, maka ia
yang paling berhak memiliki”
c. Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki
sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syari’at,
adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang
dikhususkan untuk masyarakat umum,seperti jalan raya, masjid-
masjid, kuburan, dll.
21
6. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah
harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau
kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras,
tepung, dll.
22