BAB 10
KONSEP HARTA DALAM ISLAM
Secara etimologis, dalam Bahasa Arab, kata harta diartikan dengan al-mal yang
merupakan akar kata (masdar) yang berarti condong, cenderung, miring, atau berpaling dari
tengah kesalah satu sisi, dan al-maal diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan
manusia, dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.
Ibn Mazhur dalam Lisan al-Arab menjelaskan bahwa harta merupakan segala
sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan
demikian unta, sapi, kambing, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh
manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
Harta juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bernilai atau bermanfaat yang
manusia cenderung untuk memanfaatkannya di waktu yang dibutuhkan. Maka dapat
dikemukakan bahwa harta adalah suatu benda yang mempunyai nilai/manfaat maupun nilai
estetika yang jika memperolehnya atau memilikinya dibutuhkan asbab, daya, dan upaya.
kata (sinonim) dari al-maal antara lain adalah Qintharah (harta yang banyak),
Tsamarun (kekayaan), Kanzun (perbendaharaan/Kekayaan), Khaza’in (gudang rezeki),
Ardhun, Maghanim (harta rampasan),
Secara terminologi harta menurut istilah ahli fikih terbagi dalam dua pendapat:
Dilihat secara kasat mata, atau bahkan dirasakan oleh manusia barang dapat dibagi
sebagai berikut:
a. Barang Bebas
Barang bebas adalah barang-barang yang tersedia dengan berlimpah dan setiap
orang dapat memperolehnya dengan bebas dengan cara yang terlampau mudah.
Contohnya seperti udara, air, dan sebagian besar tempat di muka bumi ini.
b. Barang Ekonomi
Barang-barang ekonomi adalah barang-barang yang penyediaannya relatif jarang
atau langka. Dalam definisi lain barang ekonomi adalah barang yang memerlukan
usaha untuk memperolehnya.
Harta mutaqawwim adalah setiap yang digenggam secara nyata dan dibolehkan oleh
syara’ untuk memanfaatkannya seperti berbagai ‘aqar (bangunan atau benda-benda
tidak bergerak). Contoh yang pertama adalah ikan di dalam air, burung di udara,
barang tambang di perut bumi, dan hal-hal yang mubah lainnya seperti hewan
buruan dan rumput rumputan.
Di antara faedah pembagian harta menjadi ‘aqar dan manqul pada hukum,
antara lain:
a. Menurut ulama hanafiyah, tidak sah wakaf, kecuali pada harta ‘aqar
atau sesuatu yang ikut pada ‘aqar. Sebaliknya jumhur ulama
berpendapat bahwa harta ’aqar dan manqul dapat diwakafkan.
b. Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, berpendapat dibolehkan menjual
harta ‘aqar yang belum diterima atau dipegang oleh pembeli pertama,
sedangkan harta manqul dilarang menjualnya sebelum dipegang atau
diserahkan kepada pembeli pertama, sedangkan harta manqul dilarang
menjualnya sebelum dipegang atau diserahkan kepada pembeli.
Faedah pembagian harta ini adalah jika seseorang merusak harta mitsli, ia
bertanggung jawab atas kerusakan tersebut dan harus menggantinya dengan harta
yang sama dan sempurna atau mendekati barang yang rusak. Adapun pada harta
qimi, orang yang merusaknya dicukupkan mengganti dengan harta yang senilai
dengan harta.
4. Mal Istihlak dan Mal Isti’mal.
a. Harta istihlak: Harta istihlak ialah harta yang tidak mungkin dinikmati
manfaatnya kecuali dengan menghabiskan zatnya seperti makanan, minuman,
kayu bakar; minyak tanah, perak, uang, dan sebagainya.
b. Harta Isti’mal Harta Isti’mal ialah harta yang dapat digunakan berulang kali,
artinya wujud benda tersebut tidaklah habis atau musnah dalam sekali
pemakaian, seperti kebun, tempat tidur, baju, sepatu, dan lain sebagainya
8. Harta yang Dapat Dibagi dan Harta yang tidak Dapat Dibagi.
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan bila harta itu dibagi-bagi, misalnya
beras, jagung, tepung dan sebagainya.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair al-qabil li al-qismah) ialah harta yang
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi,
misalnya gelas, kemeja, mesin, dan sebagainya
Dari kesepuluh pembagian jenis-jenis harta yang telah diuraikan di atas, secara umum konsep
harta dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Mal at-Tam, yaitu harta yang merupakan hak milik sempurna baik dari segi wujud benda
tersebut maupun manfaatnya; pengertian harta ini disebut juga milk at-tam, berarti
kepemilikan sempurna atas unsur hak milik dan hak penggunaannya.
b. Mal Ghair al-Tam, yaitu harta yang bukan merupakan hak milik sempurna baik dari segi
wujud benda tersebut maupun dari segi manfaatnya; pengertian harta ini disebut juga
milk an-naqis, yang berarti kepemilikan atas unsur harta hanya dari satu segi saja,
semisal hak pakai rumah kontrakan dan sebagainya.
Ekonomi Islam memandang bahwa uang adalah uang. Dalam arti, ia hanya memerankan
fungsi sebagai alat tukar (medium of exchange). Karena itulah uang merupakan public
good yang harus selalu dalam keadaan mengalir atau beredar (flow).
Tidak seperti dalam ekonomi kapitalis, Islam memandang bahwa uang dan komoditas itu
berbeda, uang tidak memiliki kegunaan intrinsik, tidak bisa digunakan secara langsung
untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Bunga dalam pandangan ekonomi Islam sama halnya dengan riba yang telah diharamkan
oleh Allah SWT melalui Alquran dan hadis Rasulullah SAW. Keberadaan bunga sangat
mengancam stabilitas ekonomi. Ketika bunga dijadikan instrumen utama moneter, maka
keseimbangan nilai tukar uang bukan lagi diukur dengan jumlah nilai harga barang dan
jasa pada sektor ekonomi riil, tetapi akan dimainkan oleh otoritas moneter melalui
penentuan interest rate.
Modal adalah faktor produksi yang ketiga. Modal juga merupakan kekayaan yang dipakai
untuk menghasilkan kekayaan lagi. Dia adalah “alat produksi yang diproduksi” atau
dengan kata lain ”alat produksi buatan manusia”. Modal meliputi semua barang yang
diproduksi tidak untuk konsumsi, melainkan untuk produksi lebih lanjut.
Islam memiliki pandangan yang jelas mengenai kedudukan harta, pemilik mutlak
terhadap sesuatu yang ada di muka bumi -termasuk harta benda- adalah Allah SWT.
Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Manusia juga pada
hakikatnya hanya mempunyai hak untuk menggunakan dan mengatur harta itu sesuai
dengan ketentuan yang telah digariskan, sehingga memberi kemaslahatan kepada umat
manusia.
Berikut ini, fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain:
Islam memiliki pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan harta. Dalam
pandangan Islam, semua bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.
Demikian juga harta atau kekayaan di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk
semua manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah SWT kepada manusia
untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia
sesuai dengan kehendak Allah SWT SWT.
Berbeda dengan pandangan kapitalisme maupun sosialisme, yang keduanya berakar dari
pandangan yang sama materialisme. Menurut pandangan kapitalisme bahwa kekayaan,
yang dimiliki seseorang merupakan hak milik mutlak baginya yang kemudian melahirkan
pandangan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi manusia.
Di sisi lain, Islam juga tidak sepakat dengan pandangan sosialisme yang tidak
menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui
adanya hak milik individu.
a. Kepemilikan individu (milkiyah fardhiyah / private property), adalah izin syariat pada
individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan individu,
yaitu: 1) Bekerja (al-amal), 2) Warisan (al-irts), 3) Penggunaan harta dalam rangka
mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (i‟thau al-daulah) 5) Harta yang
diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, mahar, barang
temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.
b. Kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah / collective property) ialah izin syariat kepada
masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan sumber daya alam.
c. Kepemilikan negara (milkiyah daulah / state property), disebut sebagai milik negara
adalah harta yang merupakan hak di seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya
menjadi wewenang khalifah.
d. Kepemilikan mutlak, yaitu kepemilikan hakiki atas semua kekayaan yang ada di alam
semesta ini ialah Allah SWT
e. Kepemilikan relatif, yaitu walaupun harta itu milik Allah SWT, tetapi kepemilikan
manusia diakui secara de jure karena Allah SWT sendiri yang memberikannya
kepada manusia atas kekayaan itu dan mengakui kepemilikan tersebut.
Dalam memanfaatkan hasil usaha ada beberapa hal yang dilarang untuk
dilakukan oleh setiap muslim:
Adapun sumber dan dampak harta yang halal telah dipahami secara jelas oleh mayoritas
umat ini, seperti :
Kepemilikan dapat juga diartikan dengan hak milik, dan dalam bahasa Arab disebut
sebagai haq mali, yaitu hak-hak yang terkait kehartaan dan manfaat, atau penguasaan
terhadap sesuatu yang dimiliki (harta).
Dalam masalah kepemilikan, Islam mengakui kepemilikan secara pribadi yang diperoleh
dengan cara yang diperbolehkan syariat. Konsep ini dipandang sebagai landasan
pembangunan ekonomi. Kepemilikan harus diperoleh dengan cara halal. Demikian pula
mengembangkannya harus dengan cara yang dihalalkan. Islam pun mewajibkan atas
pemilik harta sejumlah perintah dan kewajiban-kewajiban, seperti kewajiban memberi
nafkah kepada karib kerabat, kewajiban mengeluarkan zakat, dan lain sebagainya.
Dalam masalah kedudukan harta dalam Islam, ada dua kaidah yang menjadi landasan
bangun ekonomi Islam, yaitu:
a. Pertama penghargaan Islam terhadap harta dan kedudukannya dalam kehidupan
b. Kedua, harta dalam pandangan Islam bukanlah menjadi tujuan yang esensial bagi
manusia, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup dan rida Allah
SWT ataupun untuk kebaikan pribadi dan masyarakat