Anda di halaman 1dari 28

ASET PRIVAT DAN ASET PUBLIK

DI

OLEH:

KELOMPOK : 5
ANGGOTA : HERA
RASYIDIN
RESA SAPUTRI
RISKA ASTI
UNIT :5
SEMESTER : VI
PRODI : HES
PEMBIMBING : BANAZIR, M.A

PERGURUAN TINGGI ISLAM


AL-HILAL SIGLI
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Lata Belakang

Di dalam Al-qur’an telah di jelaskan bahwa hanya milik Allah lah segala

yang ada di dunia begitupun pada harta yang kita miliki, manusia hanyalah

sebagai pengelola. Tujuan dalam memiliki harta pun tidak lain yang utama adalah

untuk menambah ketakwaan kepada-Nya, dan dalam aspek sosial agar

mendistribusikan kekayaan yang di miliki karena dalam harta kita ada bagian

milik orang lain yang membutuhkan, agar harta itu tidak beredar pada orang-

orang kaya saja.

Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali.

Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan

adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan

bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh

manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.

Salah satu titik terpenting dalam sistem kepemilikan dalam Al-Quran

adalah pengakuan bahwa alam semesta beserta isinya adalah milik Allah. Di

dalam Al-Quran Allah swt berfirman:


ُ‫ه‬,ُ-/ۡ ُ0 ‫ۡ أَ ۡو‬45ُ 7ِ ُ-8َ‫ أ‬:ٓ ِ; <=َ ‫وا‬ ۡ
ِ ۗ ‫َ ۡر‬G‫ ٱ‬:ِ; <=َ ‫ت َو‬
ْ @ُ Aۡ ُ0 ‫ض َوإِن‬ ِ ,َ ٰ Kَ ٰ 7‫ ﱠ‬M‫ ٱ‬:ِ; <=َ ِO‫ﱢ ﱠ‬

‫<ٓ ۗ ُء َو ﱠ‬Xَ َY Z=َ ُ‫ُ َ] ﱢ\ب‬Y‫<ٓ ُء َو‬Xَ َY ZKَ ِM ^ُ ِ-_ۡ َ`َ; ُO‫ٱ‬
‫ ٖء‬:ۡ Rَ S‫ ﱢ‬Tُ ٰUَVWَ ُO‫ٱ‬ ۖ ‫ ﱠ‬bِ ِc 45ُ Aۡ d<
ِ eَُ Y

٢٨٤ ^ٌ Y@ِ َg

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di

bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu

menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang

perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan

menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala

sesuatu”. (Al-Baqarah: 284)

Harta (al-mal) merupakan bagian pokok dalam kehidupan manusia, unsur

dharuri yang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja. Dengan harta manusia

dapat memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi maupun immateri.

Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal

antar manusia (mu’amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang

sempurna dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling

membutuhkandan terkait dengan manusia lainnya.

Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai objek transaksi, harta bisa

dijadikan objek dalam transaksi jual-beli, sewa-menyewa, partnersip (kontrak

kerja), atau transaksi ekonomi lainnya.


Harta (al-mal) merupakan bagian pokok dalam kehidupan manusia, Dalam

konteks tersebut, harta hadir sebagai objek transaksi, harta bisa dijadikan objek

dalam transaksi jual-beli, sewa-menyewa, partnersip (kontrak kerja), atau

transaksi ekonomi lainnya. Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun,

terdapat beberapa kondisi yang tidak memungkinkan untuk memiliki harta

tersebut. Seperti harta yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat

publik (fasilitas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut,

musium, perpustakaan dan lainnya. Dalam pandangan syar’i, keberadaan harta

yang ada di tangan manusia tidak serta merta dapat dikosumsi, tetapi harus dilihat

lebih dahulu dari berbagai aspek.

Didalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan dengan detail bagaimana

kedudukan harta publik dan jenis-jenisnya, kemudia bagaimana kriteria harta

tersebut dikategorikan sebagai harta public dana pa perbedaannya dengan harta

non publik, semoga makalah ini membantu pembaca dalam hal penambahan

pengetahuan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Aset Publik (Public Goods)

Pengertian Aset

Menurut kamus Bahasa Indonesia asset adalah kekayaan atau modal1[1]

atau secara luas bisa juga dimaknai bahwa aset adalah sebuah sumber ekonomi

yang diharapkan dapat memberikan manfaat usaha di masa mendatang.

Harta dalam bahasa Arab disebut, al-mal yang berasal dari kata -‫ ﻳﻤﻴﻞ‬-‫ﻣﺎل‬

‫ﻣﻴﻼ‬yang berarti condong, cenderung, dan miring (manusia cenderung ingin

memiliki dan menguasai harta).2[2]

Pengertian harta (‫ )ﻣﺎل‬menurut bahasa seperti yang dikemukakan oleh

Muhammad bin Abi Bakar ar-Razi ialah:

‫أي ﻛﺜﲑُ اﳌﺎل‬


ْ ‫ﻣﺎل‬
ُ ‫ ورﺟﻞ‬،‫ ﻣﻌﺮوف‬:‫اﳌﺎل‬

Harta: sesuatu yang sudah dikenali, dan makna ‫ورﺟﻞ ﻣﺎل‬yakni laki-laki

banyak hartanya.3[3]
Ar-Razi dalam kamusnya ini mengartikan harta dengan sesuatu yang

sudah dikenal, kerena memang harta sudah dikenal oleh semua orang, sehingga

ketika disebut lapaz "‫ "ﻣﺎل‬maka orang langsung mengerti karena sudah

mengetahuinya.

Muhammad Abu Zahrah juga mendefinisikan harta menurut bahasa seperti

di bawah ini:

.‫اﳌﺎل ﰱ اﻟﻠﻐﺔ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺘﻪ ﻣﻦ ﲨﻴﻊ اﻻﺷﻴﺎء‬

Harta dalam bahasa adalah segala sesuatu yang engkau miliki.4[4]

Dan juga Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian harta menurut bahasa

seperti dibawah ini:

‫ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﲎ وﳛﻮزﻩ اﻹﻧﺴﺎن ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ ﺳﻮاء أﻛﺎن ﻋﻴﻨﺎ أو ﻣﻨﻔﻌﺔ‬:‫اﳌﺎل‬

Harta adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia

secara langsung, baik berupa benda maupun manfaat.5[5]

Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pengertian harta

menurut bahasa adalah seperti barang yang mungkin dimiliki oleh manusia baik
berupa benda ('ain) seperti emas, perak, tanah, dan rumah maupun manfaat seperti

kendaraan, pakaian dan tempat tinggal.6[6]

Harta adalah sesuatu yang maujud dan dapat dipegang dalam

penggunaan dan manfaat pada waktu yang diperlukan.7[7] Ini merupakan

pendapat menurut ulama lainnya.

Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua pendapat:

1. Menurut Ulama Hanafiyah

.ً‫< َدة‬W bِ c •ُ َ-َ€•ْ ُY‫ َ^ا ُزهُ و‬ƒ‫وا‬


ْ ُbُ0 َ‫ ِ„`<ز‬Z5KY<=
ُ ‫ﱡ‬ST ‫< ُل‬KM‫ا‬

Artinya:

"Harta adalah segala sesuatu yang mungkin diambil dan dikuasai serta

dimanfaatkan menurut adat kebiasaan"8[8]

Dari defenisi ini dapat dipahami bahwa untuk bisa dianggap sebagai harta,

harus memenuhi dua unsur:

− Dimiliki dan dikuasai. Apabila sesuatu itu tidak bisa dimiliki dan dikuasai, maka

tidak dianggap harta. Contohnya seperti udara dan panasnya matahari.

− Dapat dimanfaatkan menurut adat kebiasaan. Apabila sesuatu itu tidak

dimanfaatkan menurut adat kebiasaan maka tidak dianggap sebagai harta.

Contohnya seperti satu biji beras, atau satu tetes air.


Hanafiyah membedakan antara harta dan milik sebagai berikut:

− Milik adalah segala sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak

dicampuri penggunaannya oleh orang lain.

− Sedangkan harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan

ketika dibutuhkan. Dan dalam penggunaannya, harta bisa dicampuri orang lain.

Jadi menurut Hanafiyah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud

(a'yan).9[9]

2. Pendapat Menurut Jumhur Fuqaha

Defenisi harta menurut jumhur fuqaha, juga dikemukakan oleh Wahbah

Zuhaili:

‫ﻓﻬﻮ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻪ ﻗﻴﻤﺔ ﻳﻠﺰم ﻣﺘﻠﻔﻪ ﺑﻀﻤﺎﻧﻪ‬

"Harta adalah segala sesuatu yang bernilai yang mewajibkan kepada

orang yang merusaknya untuk menggantinya".

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa harta ialah segala sesuatu yang

mempunyai nilai, baik berupa benda yang kelihatan, seperti hak dan manfaat.

Definisi ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syafi'i:

[10]١٠‫ن ﻗﻠﺖ‬ ‫ﻻ ﻳﻘﻊ اﺳﻢ ﻣﺎل إﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻪ ﻗﻴﻤﺔ ﻳﺒﺎع ﻓﻴﻬﺎ وﻳﻠﺰم ﻣﺘﻠﻔﻪ وإ‬

Dari dua definisi ini terlihat bahwa adanya perbedaan pandangan antara

Hanafiyah dan Jumhur. Hanafiyah berpendapat bahwa manfaat bukan termasuk


harta, sedangkan jumhur berpendapat bahwa manfaat itu termasuk harta, sebab

yang penting dari suatu benda adalah manfaatnya bukan zatnya. Yang dimaksud

manfaat disini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang

tampak, seperti menempati rumah, atau mengendarai mobil.

Pengertian Publik

Publik adalah mengenai orang atau masyarakat, dimiliki masyarakat, serta

berhubungan dengan, atau memengaruhi suatu bangsa, negara, atau komunitas.

Publik biasanya dilawankan dengan swasta atau pribadi, seperti pada perusahaan

publik, atau suatu jalan. Publik juga kadang didefinisikan sebagai masyarakat

suatu bangsa yang tidak berafiliasi dengan pemerintahan bangsa tersebut. Dalam

bahasa Indonesia, penggunaan kata “publik” sering diganti dengan “umum”,

misalnya perusahaan umum dan perusahaan publik.11[11]

Dalam lingkup organisasi/ perusahaan publik dibedakan menjadi:

1. Publik internal dan publik eksternal

2. Publik primer, sekunder, dan marjinal

3. Proponent (publik yang memihak), opponent (publik yang menentang),

dan uncommitted yang berarti publik yang tidak peduli. Sebagai

perbandingan, saat suatu perusahaan memiliki 40 dari 50 karyawan yang

uncommitted maka perusahaan dapat dikatakan "tidak sehat".


4. Mayoritas diam (silent majority) dan minoritas vokal (vocal minority)

Pengertian Aset Publik

Harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh as-syari’ (Allah), dan

menjadikan harta tersebut milik bersama. Benda-benda yang tergolong kategori

kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari'

sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak

boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu

dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.

Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan

kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut

menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil

manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi.

B. Jenis dan macam Aset Publik

Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan

umum ini, ada tiga jenis, yaitu12[12]:

1. Harta milik umum jenis pertama.

Harta milik umum jenis pertama adalah barang tambang (sumber alam)

yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh para ahli

pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari


pendapatannya merupakan hasil milik bersma dan dapat dikelola oleh Negara,

atau Negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.

Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas dapat

digolongkan kedalam milik pribadi. Hal ini seperti Rasulullah SAW,

membolehkan bilal bin Harist al-Mazany memiliki barang tambang yang sudah

ada (sejak dahulu) dibagian wilayah hijaz, pada saat itu bilal telah meminta

kepada Rosulullah agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya, dan

beliaupun memberikannya kepada bilal dan boleh dimilikinya.

Oleh karena itu pertambangan emas, perak dan barang tambang lainnya

yang jumlah(depositnya) sangat sedikit tidak ekonomis dan bukan untuk

diperdagangkan maka digolongkan milik pribadi. Seseorang boleh memilikinya

seperti halnya juga Negara boleh memberikan barang tambang seperti itu kepada

mereka. Hanya saja mereka membayar khumus (seperlima) dari yang

diproduksinya kepada baitul mal, baik yang dieksploitasinya itu sedikit ataupun

banyak.

Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak

terbatas, menurut Abdullah, tergolong pemilikan umum bagi seluruh rakyat,

sehingga tidak boleh dimiliki oleh seorang atau beberapa orang. Tidak boleh

diberikan kepada seorang ataupun orang tertentu.

Menurut al-Maliki, tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka

(terdapat dipermukaan bumi), yang ekploitasinya tidak memerlukan usaha yang

berat, seperti garam, dan (batu) celak mata, dengan barang tambang yang terdapat
diperut bumi, yang eksploitasinya memerlukan usaha yang berat, seperti emas,

perak, besi, tembaga, maupun yang bentuk cair seperti minyak bumi, atau

berbentuk gas seperti gas alam.

Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada dalam perut

bumi baik berbentuk cairan maupun padat dan memerlukan peralatan dan industri.

Maka Negara wajib mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, karena

tergolong harta milik umum.

Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya)

berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilik umum adalah

hadist yang diriwayatkan dari Abidh bin hamal sl-mazany yang artinya:

“Sesungguhnya seorang laki-laki bermaksud meminta (tambang) garam kepada

Rasulullah, maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata

salah seorang laki-laki yang ada dalam majlis, “apakah engkau mengetahui apa

yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau

berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir” akhirnya beliau bersabda:

(kalau begitu) tarik kembali darinya” (HR abu daud)

Rasulullah saw. pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang

garam kepada Abyadh bin Hammal al-Mazini. Namun, kebijakan tersebut

kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang

diberikan Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir.13[13]


Yang perlu diketahui, apabila barang tambang dilakukan dengan

menggunakan alat-alat dan industri yang dimiliki Negara, maka kepemilikan atas

peralatan dan industri tersebut boleh tetap menjadi milik Negara, namun Negara

boleh mengubahnya menjadi milik umum. Dan apabila eksploitasi barang

tambang yang dilakukan Negara menggunakan peralatan dan industri milik

perorangan, maka yang bersangkutan memperoleh upah sebagai ganti rugi usaha/

atau jasa dan manfaat yang diberikannya, atau alat yang disewakannya. Namun,

yang perlu diperhatikan disini, jika kepemilikan seseorang atas alat-alat dan

industri ini bukan berarti boleh melakukan eksploitasi barang tambang yang

jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri.

Dengan demikian, eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak,

boleh menggunakan peralatan dan industri milik Negara dan industri milik

individu.

Tipe lain dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif). Konsep

hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak terdapat pada

masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki makna yang sangat

berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimasud oleh

sistem kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk yang

berbeda beda. Misalnya: semua harta milik masyarakat yang memberikan

pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda-beda

kepada warganya. Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada

masyarakat berada di bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain

diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik


masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan

umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah

wakaf.

2. Harta milik umum jenis kedua.

Harta milik umum jenis kedua adalah sarana umum diperlukan bagi

seluruh rakyat yang diperlukan dalam pemenuhan hidup sehari-hari, yang tidak

akan menyebabkan perpecahan, seperti air. Rasulullah telah menjelaskan

mengenai sifat-sifat saran umum, dalam hal ini dari hadist Ibnu Abbas, bahwa

Rasulullah SAW bersabda:

‫واﻟﻨﺎ ِر‬,‫واﻟﻜﻼء‬,‫اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺷﺮﻛﺎء ﰲ ﺛﻼث ﰲ اﳌﺎء‬

“kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”

Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali

diperbolehkan Rasulullah umtuk seluruh manusia.

Harta ini tidak terbatas yangdisebutkan pada hadist diatas, tetapi meliputi

setiap benda yang didalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.

Mencermati secara tepat, maka apa yang disebut sarana umum adalah

bahwa seluruh manusia membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika

sarana tersebut hilang maka manusia kesusahan dalam mencarinya. Setiap alat

yang dipergunakan di dalamnya, karena hukum dan status kepemilikannya sama,

yaitu sebagai milik umum. Demikian juga alat-alat pembangkit listrik yang

dibangun diatas air (sumber) keperluan seperti saluran dan sungai, tiang-tiang
penyangganya, dan alat-alat lain yang diperlukan, sebab alat-alat ini menghasilkan

listrik dari hasil umum, sehingga status hukum alat-alat ini juga sama milik

umum. Menurut Labib, jika alat pembangkit listrik merupakan bagian dari

kepemilikan umum maka tidak boleh dimiliki oleh perseorangan, hal ini

disebabkan penguasaan dalam kepemilikan umum dilarang oleh Negara. Dan

begitu juga sebaliknya, dalam artian jika semua sarana dimilki individu atau

perusahaan maka boleh memilikinya secara pribadi.

Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh

karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang

membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku

untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan

listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya

adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik

umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.


3. Harta milik umum jenis ketiga.

Harta milik yang ketiga adalah harta yang keadaannya asal

pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi.

Menurut al-Maliki, hak milik umum jenis ini jika berupa sarana umum seperti

halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalil yang mencakup saran umum. Hanya

saja jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk

memilikinya, sehingga misalnya boleh memiliki secara hajat keperluan orang

banyak (umum).

Demikian juga halnya dengan jalan umum, Rasulullah SAW menyatakan

bahwa manusia berhak atas jalan umum tersebut, artinya mereka berhak untuk

melewati jalan tersebut, dan menjauhkan duri/ batu dari jalan umum adalah

sedekah.

Jika kita melihat faktanya, kondisi asal pembentukannya menghalangi

seseorang untuk menghalangi seseorang untuk menguasai dan memilikinya.

Seperti tentang jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, dan mereka bebas

untuk melewatinya, dan seorang pun tidak boleh memilikinya. Larangan ini

bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/ memagari sesuatu yang

diperuntukkan bagi semua manusia, karena Rasulullah SAW bersabda:

‫ﻻﲪﻰ‬ ِ 
َ ‫اﻻ ﷲ وﻟﺮﺳﻮﻟﻪ‬
“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan

Rasul-Nya”

Dengan kata lain tidak ada penguasa/ pemagaran atas harta milik umum

kecuali oleh Negara. Makna hadist tersebut adalah tidak boleh seseorang

menguasai sesuatu yang merupakan milik semua manusia untuk dirinya sendiri.

Karena api, tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air, pipa-pipa penyalur

air yang keadaannya tetap menjadi milik jalan umum, adalah milik jalan umum.

Tindakan mengambil alih sebagian jalan umum secara permanen dan

mengkhususkan individu menguasainya secara terus-menerus sama saja dengan

pengusaan, kecuali oleh Negara. Oleh karena itu, semua yang disebutkan tadi

adalah milik umum.

Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh

dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh

hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu

untuk mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik

umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya

dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya di bait al-Mal.

Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat

terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan

kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki

barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka
wajib membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bait al-

Mal.14[14]

Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta turunannya seperti

bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api,

jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan syara’ sebagai

kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut

untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan

dua cara, yakni :

Pertama, Pemanfaatan Secara Langsung oleh Masyarakat Umum.

Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah

benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa

saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan

pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.

Bagi setiap individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan

yang dimilikinya untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami

tanaman dan pepohonan. Karena sungai yang besar cukup luas untuk

dimanfaatkan seluruh masyarakat dengan menggunakan peralatan khusus selama

tidak membuat kemudharatan bagi individu lainnya. Sebagaimana setiap individu

diperbolehkan memanfaatkan jalan-jalan umum secara individu, dengan

tunggangan, kendaraan. Juga diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta


danau-danau umum dengan perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut

tidak membuat pihak lain yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak

mempersempit keluasan jalan umum, laut, sungai, dan danau.

Kedua, Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara.

Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara

langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian,

teknologi tinggi, serta biaya yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan

barang tambang lainnya, maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan

mengeksplorasi bahan tersebut. Dimana hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam

kas baitul mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil

tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.

Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya

kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga dengan men¬dasarkan pada asas

mencari keuntungan semata. Namun diperbolehkan menjualnya dengan

mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi

komersial. Sedangkan jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar

negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari keuntungan.

Dari hasil keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum itu

kemudian didistribusikan dengan cara sebagai berikut:

Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan

kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan

umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi,


pemasaran dan distribusi. Pengambilan hasil dan pendapatan harta pemilikan

umum untuk keperluan ini,15[15] seperti pengembalian bagian zakat untuk

keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (dalam QS. At Taubah: 60).

Kedua, dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hal

ini khalifah boleh mem¬bagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang

lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya

dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan.

Barang-barang tam¬bang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya minyak mentah,

dijual ke luar negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan pemasaran dalam

negeri dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk

membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan

umum lainnya. Juga untuk menutupi tanggungan Baitul Mal yang wajib dipenuhi

lainnya, seperti anggaran belanja untuk jihad fi sabilillah.16[16]

Kepemilikan Negara (milkiyyah daulah)

Mendefinisikan harta milik Negara sebagai hak seluruh rakyat, yang

pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia bisa memberikan

sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh

kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki kepala Negara untuk

pengelolaannya. Hak milik Negara semisal harta yang tidak memiliki ahli waris

dan tanah milik Negara.


Diantara harta milik Negara adalah:

1. Padang pasir, Gunung, Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada pemilikinya

Padang pasir, gunung, lembah, tanah mati yang tak terurus, dan belum

pernah ditanami tanaman atau tudak terurus atau tidak dikelola pengelolanya,

maka tanah tersebut menjadi milik Negara.

‫اﳌﺰﱐ ﻣﺎ ﺑﲔ اﻟﺒﺤ ِﺮ واﻟﺼﺨ ِﺮ‬ ِ


َ ‫ن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬ ‫ا‬
َ ‫أﻗﻄﻊ ﺑﻼل اﺑﻦ اﳊﺎرث‬

“bahwa Rasulullah SAW member bilal bin harits al-Mazani(daerah) antara

laut dan padang pasir”

Hadist ini menunjukkan bahwa padang pasir, gunung, lembah, dan tanah

mati yang tidak dimiliki seseorang menjadi milik Negara.

Milik Allah dan Rasul artinya milik Negara, dalam artian Rasulullah boleh

mengaturnya, mengatur urusan dan pembagianny, dan izin untuk menghidupkan

dan membangunnya. Dengan keterangan ini, jelas bahwa padang pasir, gunung,

dan tanah mati adalah milik Negara. Pemerintah yang mengatur sesuai dengan

aturan yang berlaku dinegaranya sesuai kebaikan dan kemaslakhatan kaum

muslim.

2. Tanah Endapan Sungai

Yang dimaksud tanah endapan adalah tanah-tanah yang tertutupi air,

seperti yang terdapat diantara kufah dan basrah. Tanah-tanah tersebut tertutupi

dengan air Eufrat dan tigris, daerah yang terapit oleh dua sungai itu tergenang

oleh air hingga maenutupi kawasan tersebut sehingga tanah itu tidak layak lagi
untuk pertanian. Dan tanah itu tidak cocok untuk pertanian karena air

menggenangi tanah tersebut, maka tanah itu termasuk tanah mati, tanah itu tetap

menjadi milik baitul mal dan milik negar, selama belum ada yang memiliki.

3. Asy-Syawafis

Tanah yang dikumpulkan khalifah dari tanah-tanah negeri taklukan dan

ditetapkan untuk baitul mal. Yaitu tanah-tanah yang ditaklukan yanag dahulunya

milik negara yang ditaklukan, milik penguasa atau para pemimpin negara itu, tuan

tanah orang yang terbunuh dalam medan perang, atau tanah orang yang lari dalam

peperangan dan meninggalkan tanahnya, maka kholifah yang mengatur semua itu

untuk kebaikan dan kemaslakhatan Islam dan kaum muslim.

4. Bangunan dan Blairung

Yaitu setiap bangunan, yang dikuasai ole negara-negara yang sebelumnya

dipakai untuk struktur lembaga-lembaga yang dilakukan untuk urusan organisasi-

organisasi yang dan badan-badan pengawas, perguruan tinggi, sekolah-sekolah,

rumah sakit, atau bangunan yang dimiliki negara itu. Termasuk pula pemilik

negara adalah setiap bangunan yang dibangun negara dan dibeli dari harta baitul

mal, lalu diperuntukkan bagi aparat/ lembaga negara, untuk kepentingan negara

dan biro milik negara dan sarana apapun yang dibangun negara. Selain itu setiap

bangunan atau blairung yang dihadiahkan atau dihibahkan kepada negara, atau

diwasiatkan kepada negara. Atau yang tida memiliki ahli waris, atau milik orang
murtad yang mati atau dihuku mati karena murtadnya, semua itu milik

negara.17[17]

Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan

negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan

pandangan ijtihadnya adalah:

a. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang

kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus.

b. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari

orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)

c. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim

dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)

d. Harta yang berasal dari daribah (pajak)

e. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari

pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan

berdasarkan agamanya)

f. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-

fadla)

g. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad

h. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang

didapat tidak sejalan dengan shara'


i. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah

mati yang tidak ada pemiliknya.

Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber

penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misal,

untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan

tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn taimiyah,

sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang

(ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber pengahsilan dengan

mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya

meningkat. Demikian pula, berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya,

wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan negara.

Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala

negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban

negara untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat

dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan

kewajiban negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi kemajuan

ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi

jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.18[18]


PENUTUP

Kesimpulan

Aset Publik adalah Harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh as-syari’

(Allah), dan menjadikan harta tersebut milik bersama. Benda-benda yang

tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan

oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama

dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka

setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.

Jenis dan macam Aset Publik seperti: barang tambang (sumber alam) yang

jumlahnya tak terbatas, sarana umum diperlukan bagi seluruh rakyat yang

diperlukan dalam pemenuhan hidup sehari-hari, yang tidak akan menyebabkan

perpecahan, harta yang keadaannya asal pembentukannya menghalangi seseorang

untuk memilikinya secara pribadi.

Kemudian ada kepemilikan Negara (milkiyyah daulah) adalah harta milik

Negara sebagai hak seluruh rakyat, yang pengelolaannya menjadi wewenang

kepala Negara, dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai

dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya

kekuasaan yang dimiliki kepala Negara untuk pengelolaannya.

Diantara harta milik Negara adalah: Padang pasir, Gunung, Pantai, dan

Tanah Mati yang tidak ada pemilikinya, Tanah Endapan Sungai, Asy-Syawafis,

Bangunan dan Blairung seperti: Harta ghanimah, anfal, fay' dan khumus. Harta

yang berasal dari kharaj. Harta yang berasal dari jizyah. Harta yang berasal dari
daribah (pajak). Harta yang berasal dari usyur. Harta yang tidak ada ahli warisnya

atau kelebihan harta dari sisa waris. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang

murtad. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara,

harta yang didapat tidak sejalan dengan shara’. Harta lain milik negara, semisal:

padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman I.Doi, Muamalah Syari'ah III. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1996.

------------Penjelasan lengkap hukum-hukum Allah (Syari'ah). Jakarta:PT Raja Grafindo

Persada 2002.

Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah,

Abu ‘Ubaid al-Qasim, Ensiklopedia Keuangan Publik (al-Amwal), cetk. I, alih bahasa

Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Gema Insani, 2006),

al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam, (jakarta: pt raja

grafindo persada,2007)

As-Sarakhsi, al-Mabsûth, xxiii/164, Dar al-Ma’rifah, Beirut.

Hendi Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010,

Jalaluddin As-Sayuthi, Al-Asybah wa An-Nazhair fi Al-Furu', Dar Al-Fikr,

Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia

yang Lebih Adil, cet. I, alih bahasa Edrijani Azwaldi, (Bandung: Mizan, 2007),

Meity Taqdir Qodratullah, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta: BPPB

Kemendikbud RI, 2011),


Muhammad Abu Zahrah, Al-Milikiyah wa Nazhariyah Al'Aqd fi Asy-Syariah Al-

Islamiyah, Dar Al- Fikr Al-'Arabiy 1976. disadur dari buku Drs. H. Ahmad Wardi

Muslich, Fiqih Muamalat.

Muhammad ibnu Abi Bakar Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shahah, Mushthafa Al-Babiy Al-

Halabiy, Mesir 1338 H, disadur dari buku Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih

Muamalat. Jakarta: Amzah 2010.

Rachmat Syafe'I, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001

Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, cet. VI, Hafidz Abd. Rahman, (Bogor:

Hizbut Tahrir Indonesia, 2004),

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiyah wa Adilatuh, Juz 4, dar Al-Fikr, Damaskus, cet.III

1989. disadur dari buku Drs.H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat.

http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html Konsep

Kepemilikan Dalam Islam.

https://id.wikipedia.org/wiki/Publik

Anda mungkin juga menyukai