D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK III
FARA DILLA
RAHMAT FAZIL
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadist Malu Bagian
Dari Iman” dengan sebaik-baiknya. Adapun tujuan penulisan ini untuk menuntaskan
pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………………..10
B. Saran ……………………………………………………………………10
Daftar Pustaka
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malu adalah perasaan tidak enak, bersalah, sesal yang dimiliki semua
manusia, dan berada di dalam diri manusia, ketika ia melakukan sesuatu yaitu
perbuatan yang tidak baik , rendah, jelek terhadap sesuatu yang dilarang oleh
norma dan agama, sehingga menyebabkan keengganan orang tersebut untuk
melakukan kejahatan maupun juga kesalahan.
Sifat malu adalah salah satu ciri orang beriman, bahkan malu dan iman akan
selalu beriringan. Apabila salah satu hilang yang lain juga akan ikut hilang.
Semakin kuat iman seseorang, semakin tebal ilmunya, begitu sebaliknya.
Sebagai orang tua dan para pendidik perlu menanamkan rasa malu, agar
mereka nanti di masa depan tidak terjebak untuk melanggar agama dan norma
masyarakat. Dengan cara kalau mereka membuat kesalahan, segeralah untuk
diluruskan apa yang benar dan apa yang salah, bukan hanya orang tua dan para
pendidik hanya diam saja tidak melakukan apa-apa atas kesalahannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadis terjemahan dari malu sebagian dari iman ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadist Terjemah
Dituturkan dari Ibn ‘Umar r.a.
B. Sababul Wurud :
Sababul Wurud:
Seperti tercantum dalam al-Jaami’ul Kabiir dari Hasan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi
SAW mendengar seorang laki-laki memberi nasehat kepada saudaranya mengenai hal
malu. Maka Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”
ِ ِ ِ ِ ِ ات2 ِ ِ ِ ِ
َ ْرأ2َّ 2 2 2 2 2 2 2َظ ال22 2 2 2 2 2ف2َ ق اْحلَيَاء َف ْليَ ْح2َّ 2 2 2 2 2 2تَ ْح َى م َن اهلل َح2 2 2 2 2 2 2م ْن ا ْس،
س َ 2 2 2 2 2 2 2َق اْحلَي2َّ 2 2 2 2 2 2ح2َ تَ ْحُي ْوام َن اهلل2 2 2 2 2 2 2ا ْس
2ِ ْن اََر َادا2ْ و َم،ى
ر َك2َ 2 2 2 2 2 ت2َ َر َة2 2 2 2 2آلخ َ َ ْذ ُك ِرالْ َم ْوَت َوالَْبل2 2 2 2 2 2َولْي،واى
َ اح2
ِ
َ 2 2 2 2 2م2َ ظ اْلبَطْ َن َو22 2 2 2 2ف2َ ولْيَ ْح،اى2
َ 2 2 2 2 2 2َو َم َاوع
اهلل ُكاَّل حْلَيَ ٍاء
ِ َك َف َق ِداستَحى ِمن
َ ْ ْ َ
ِفَمن َفعل ذَال،الد ْنيا ِ
َ َ ْ َ َ ُّ َز ْينَة
Artinya:
“malulah kalian kepada Allah sebenar-benar malu. Barang siapa malu kepada Allah
sebenar-benar malu, maka hendaknya memelihara kepalanya dan benaknya;
memelihara perutnya dan apa yang dimakannya dan ingat akan mati serta apa yang
terjadi di dalamnya. Dan barang siapa menginginkan akhirat, tinggalkanlah
perhiasan dunia. Siapa yang melakukan itu semua maka benar-benar ia telah malu
4
Diriwayatkan oleh: Iman Ahmad, At-Tumidzi dan Al Hakim dari Ibnu Mas’ud. Hadis
ini telah dishahihkan oleh Al-Hakim, demikian pula menurut As-Suyuthi dan
menurut penjelasannya, di dalam sanadnya ada orang bernama Aban Bin Ishaq yang
menurut At-Turmidzi, dia gharib (asing, kurang dikenal).
Sababul Wurud :
Kata Ibnu Mas’ud, telah bersabda Rasulullah SAW pada suatu hari kepada pada
sahabatnya: “Malulah kalian kepada Allah!.” Mereka berkata: “Alhamdulillah, kami
telah merasa malu kepada Allah ya Rasulullah.” Kata beliau: “Bukan demikian, tetapi
barang siapa yang malu kepada Allah, maka hendaknya ia memelihara kepalanya…
dan seterusnya.”
Keterangan:
Malu kepada Allah harus dengan cara meninggalkan syahwat dan perbuatan buruk
atau keji, mengerjakan amal kebaikan sehingga akhlak dan budi pekerti menjadi
bersih, kelak akan memancar cahaya iman di dalam hati. Juga harus memelihara
kepala dan semua indera dengan tidak melakukan sesuatu kecuali yang diridhai
Allah; memelihara perut, hati, kemaluan, tangan dan kaki semua digunakannya untuk
taat kepada Allah. Selain itu, hendaknya selalu ingat akan mati dan hal-hal yang akan
terjadi dalam kematian itu, dengan demikian nafsu keduniaan akan menurun. Siapa
yang menghendaki; kebahagiaan akhirat, tinggalkanlah kemewahan dunia dan
perbanyaklah taat, niscaya ia akan memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat. Dan
jadilah ia seorang yang benar-benar malu kepada Allah.
5
C. Fiqhul Hadist
1. Malu Termasuk Cabang Keimanan :
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Malik bin Anas
telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdillah dari
ayahnya bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lewat dihadapan seorang
lelaki dari kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya karena sifat
pemalunya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepadanya,
“Biarkanlah dia! Karena malu itu merupakan bagian dari keimanan.”1
Syarah Hadis : Pembahasan mengenai malu telah disebutkan sebelumnya, dan kita
telah menerangkan bahwa ia termasuk cabang keimanan sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW lewat di hadapan
seorang Anshar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka
Rasulullah SAW. bersabda, “Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari
iman.”
Sifat malu ini telah dibahas sebelumnya dalam masalah iman. Adapun
pengulangannya disini bertujuan untuk membahasnya sebelumnya bukanlah
pembahasan tersendiri yang tidak berhubungan dengan pembahasan dalam bab ini.
ل2ٍ ج2ُ ر َعلي َر2َّ 2َم (Nabi lewat di hadapan kaum Anshar) Dalam Shahih Muslim
lafazhnya adalah ل2ٍ 2 2 2ر َعلَى َر ُج2َّ 2 2 2َم Marra berarti melewati, kata tersebut biasa
digabungkan dengan “`ala” atau “ba’.” Saya tidak mengetahui nama dua orang yang
ada diatas, baik yang memberikan nasihat atau yang diberi nasihat.
ُ 2 2ِ يَعberarti
ظ menasihati, menakuti-nakuti atau mengingatkan. Demikianlah
mereka menerangkan kata tersebut. Keterangan yang lebih bagus adalah seperti yang
diterangkan oleh Imam Bukhari, dalam bab Adab melalui jalur Abdul Aziz bin Abu
7
Ada kemungkinan bahwa dua lafazh tersebut وعظ (menasihati) dan ‘itaab
( عتابmencela) disebutkan secara bersamaan dalam satu hadist, akan tetapi sebagian
periwayat ada yang menyebutkan dan ada yang tidak. Hal tersebut dilakukan dengan
keyakinan bahwa salah satu dari kedua lafazh tersebut dapat mewakili lafazh yang
lain.
seakan-akan pria tersebut sangat pemalu sampai tidak ingin meminta haknya. Karena
Untuk itu, pernyataan bahwa sifat malu merupakan sebagaian dari iman
termasuk majaz (kiasan). Dalam hadist tersebut, tampaknya orang yang melarang itu
tidak mengetahui bahwa malu termasuk salah satu kesempurnaan iman, sehingga
setelah itu ditegaskan kembali eksistensi dari sifat malu tersebut. Penegasan itu juga
disebabkan karena masalah itu adalah masalah yang harus diperhatikan, meskipun
tidak ada yang mSengingkarinya.
Ar-Raghib berkata, “Malu adalah menahan diri dari perbuatan buruk.” Sifat
tersebut merupakan salah satu ciri khusus manusia yang dapat mencegah dari
perbuatan yang memalukan dan membedakannya dengan binatang. Sifat tersebut
merupakan
gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri). Oleh karena itu, orang
yang malu bukan orang yang fasik, meskipun jarang sekali kita temukan seorang
pemberani yang pemalu. Terkadang sifat malu juga berarti menahan diri secara
mutlak.
Ada pula yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti menahan diri, karena
takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan.
Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci syariat, maka ia termasuk dalam
kategori orang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia
termasuk orang bodoh. Adapun perkataan Rasulullah SAW, “Malu adalah sebagian
dari iman” mengandung arti, bahwa malu merupakan salah satu pengaruh iman.
Al Hulaimi berkata, “Esensi dari rasa malu adalah takut akan dosa, karena
melakukan perbuatan yang tidak terpuji.” Yang lain menambahkan, bahwa rasa malu
terhadap sesuatu yang diharamkan, adalah wajib hukumnya. Sedangkan terhadap
sesuatu yang diperbolehkan (mubah) hukumnya masih harus disesuaikan dengan adat
kebiasaan. Inilah maksud dari perkataan, “Perasaan malu selalu mendatangkan
kebailan.” Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa menetapkan dan menafikan mubah
harus sesuai dengan hukum syariat.
Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, “Aku melihat bahwa kemaksiatan itu
adalah perbuatan hina, dan demi kehormatan kutinggalkan kemaksiatan tersebut.
Setelah itu, terbentuklah ruh agama.” Terkadang rasa malu kepada Allah lahir karena
besarnya nikmat yang diberikan, sehingga merasa malu menggunakan nikmat
tersebut untuk melakukan kemaksiatan kepada-Nya. Sebagian ulama berkata,
Takutlah kepada Allah sebesar kekuasaan-Nya atas dirimu, dan malulah kepada-Nya
sebesar kedekatan-Nya kepada dirimu.” Wallahu A’lam.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hadis shahih diatas dikatakan bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman,
karena itu orang yang mempunyai rasa malu akan terdorong untuk tidak melakukan
kemaksiatan.
Sifat malu harus dimiliki oleh setiap umat manusia yang ada di dunia ini,
karena salah satu akhlak terpuji yang dimiliki dan dicontohkan Rasulullah SAW.
adalah sifat malu.
Sifat malu adalah salah satu ciri orang beriman, bahkan malu dan iman akan
selalu beriringan. Apabila salah satu hilang yang lain juga akan ikut hilang. Semakin
kuat iman seseorang, semakin tebal ilmunya, begitu sebaliknya.
Jika di dalam dirinya tidak ada rasa malu maka ia akan bebas mekakukan apa
saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Dan jika seseorang telah merasa malu
kepada dirinya sendiri, ia juga akan malu mengerjakan perbuatan yang merugikan
orang lain.
B. Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
Al Asqalani, Ibnu Hajar, dan Al Iman Al Hafizh. 2014. Fathul Baari Syarah Shahih
Al Bukhari. Jakarta: PUSTAKA AZZAM.
Al-Utsaimin, Muhammad Bin Shalih. 2010. Syarah Shahih Al-Bukhari (jilid 1).
Jakarta Timur: Darus Sunnah Press.