Anda di halaman 1dari 5

BAB II

Konsep Kepemilikan
Dalam Ekonomi Islam
Muqaddimah
Islam sebagaimana yang kita ketahui merupakan agama yang kamil dan mutakkamil, sudah
barang tentu memiliki konsep kehidupan yang sempurna dan paripurna. Islam mengatur hubungan
manusia dengan tuhanNya, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan dirinya sendiri.
Pengaturan hubungan manusia dengan tuhanNya disebut dengan ibadah mahdhoh atau ibadah ritual.
Pengaturan hubungan manusia dengan dirinya, seperti makan dan minum, berpakaian, akhlak.
Pengaturan hubungan manusia dengan manusia lainnya disebut dengan muamalah.

Salah satu pembahasan yang terdapat dalam masalah muamalah adalah masalah ekonomi
(iqtishodiyah). Islam mengatur masalah ekonomi secara gamblang. Pengaturannya diawali dengan
pembahasan tiga pilar dalam masalah ekonomi (baca: sistem ekonomi), adalah: (1) Konsep kepemilikan;
(2) Konsep Pengembangan kepemilikan harta dan (3) Konsep pendistribusian harta kekayaan di tengah
masyarakat. Tiga pilar inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam sistem ekonomi Islam.

Perbincangan mengenai konsep kepemilikan sebenarnya sudah mulai muncul puluhan abad
yang silam. Pada zaman Romawi kuno, masalah kepemilikan menjadi perdebatan di kalangan mereka.
Mereka menganggap perlunya manusia diberi kebebasan dalam memiliki sesuatu alias tidak boleh
dibatasi. Sehingga pada waktu itu, mereka bersepakat bahwa kepemilikan individu setiap manusia tidak
boleh dibatasi. Mereka mendefinisikan hak pribadi merupakan “hak yang tak terlarang dan tak terbatasi
oleh apapun terhadap sebuah obyek, untuk menggunakan atau menghancurkan, sesuai dengan
keinginan pemiliknya.” Inilah menjadi dasar kepemilikan dalam sistem Ekonomi Kapitalisme-Liberal,
hanya mengenal satu jenis kepemilikan, yakni Kepemilikan Individu (private property).

Lain halnya dengan hak milik menurut filsafat Yunani. Menurut Aristoteles, idealnya “Kekayaan
itu menjadi milik pribadi, tetapi digunakan untuk kepentingan umum. Artinya, mereka tidak membatasi
individu atau seseorang memiliki harta kekayaan, yang penting digunakan untuk kepentingan umum.
Dan pendapat ini diikuti oleh ajaran Kristen dan Filsafat Skolastik. Mereka menambahkan kepemilikan
pribadi dianjurkan, utamanya berpijak pada prinsip efisiensi ekonomi yang tinggi. Sehingga, mereka
menerima sistem ekonomi pasar bebas sebagai kerangka ekonomi.

Sehingga, hak milik menurut filsafat Yunani mendasari konsep kepemilikan dalam sistem
Ekonomi Sosialis-Komunis, yang hanya mengenal konsep kepemilikan Negara (state property). Ketika
Negara menguasai semua hak milik, maka dalam teori filsafat Yunani, akan terwujud distribusi secara
merata melalui konsep egaliter (sama rata, sama rasa).
Kepemilikan Hakiki dalam Ekonomi Islam
Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia, memberikan batasan yang jelas
terhadap definisi hak milik atau kepemilikan. Dalam surat An-Nur (24) ayat 33, Allah SWT berfirman: ْ ُ ‫م‬
‫َاكِ ي آتَّ ِ الَّ َ ِ ال اللْ مْ ِ من مُ ُ وهَ آت و‬

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta kekayaan Allah yang telah dikaruniakan
kepadamu.”

Makna dari firman Allah SWT tersebut adalah bahwa hak milik atau kepemilikan terhadap
kekayaan seluruhnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang memiliki hak penuh, bukan manusia. Hanya
saja, Allah SWT telah memberikan hak kepemilikan tersebut kepada manusia dalam bentuk penguasaan
(istikhlaf) terhadap zat atau manfaat harta kekayaan tersebut. Hal ini sesuai dengan makna kepemilikan
itu sendiri, adalah izin Asy-Syari’ (Allah SWT) untuk memanfaatkan zat/benda tertentu (idznu asy-Syaari’
bi al-intifaa’i bi al-‘ain) (An-Nabhani, 2004: 71).

Adapun izin pemanfaatan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya dalam surat Al-
Hadid (57) ayat 7: َ ‫“ ِفيِهِ ني فَ لْ َ خ تْ ُ سْ مُ مَ ك لَ َ عَّ ا جُ ِ وا ممِ ق فْ نَ أَ ُ وِل ِ وَ سَ رِ وَّ ِ اللُ وا بِ آمن‬Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya.”

Penguasaan (istikhlaf) ini umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak
pemilikan, tetapi bukan pemilikan aktual (yang sebenarnya). Mereka diberi kekuasaan dalam hak
pemilikan. Adapun pemilikan aktual bagi individu tertentu, maka Islam mensyaratkan adanya izin dari
Allah SWT. Bagi individu itu untuk memilikinya. Oleh sebab itu, harta dimiliki secara aktual berdasarkan
izin dari Pembuat Syara’ (Allah SWT) untuk memilikinya. Sehingga, pemilikan (penguasaan) oleh manusia
sesuai yang ditetapkan dan dibenarkan oleh hukum syara’ (hukum Islam). Selanjutnya, manusia dilarang
menguasai (istikhlaf), ketika As-Syari’ (hukum Islam) melarang untuk memilikinya.

Berdasarkan izin yang diberikan oleh Asy-Syari’ (Hukum Syara’/Islam) ditemukan tiga jenis
kepemilikan, yaitu: Pertama, Kepemilikan Individu (private property/milkiyyah fardhiyah; Kedua,
Kepemilikan Umum (collective property/milkiyah ‘amm), dan Ketiga, Kepemilikan Negara (state
property/milkiyah daulah).

Kepemilikan Individu dan Sebab-sebab Kepemilikannya


Fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu
juga merupakan fitrah, jika manusia berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tersebut, serta berusaha untuk bekerja agar bisa memperoleh kekayaan tadi. Sebab,
keharusan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak
mungkin dipisahkan dari dirinya. Kepemilikan individu merupakan pewujudan dari naluri
mempertahankan diri (gharizatul Baqo’/survival instink). Setiap naluri termasuk naluri mempertahankan
diri dan tidak boleh dikekang, namun disalurkan sesuai dengan mekanisme yang dizinkan oleh Sang
Pembuat Syara’.
Kepemilikan Individu adalah izin asy-Syari’ (Pembuat Hukum Syara’) kepada manusia untuk
memanfaatkannya dengan cara habis pakai, dimanfaatkan atau ditukar. (An-Nabhani, 2004: 71).

Setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
Sehingga, Islam menjelaskan secara rinci mengenai sebab-sebab kepemilikan dan sebab-sebab
pengembangan kepemilikan. Sebab-sebab kepemilikan merupakan perolehan harta yang sebelumnya
belum menjadi miliknya, atau memperoleh harta yang belum dimiliki sebelumnya. Sedangkan sebab-
sebab pengembangan kepemilikan adalah memperbanyak kuantitas harta yang sebelumnya sudah
menjadi hak miliknya.

Sebab-sebab kepemilikan adalah:

1. Bekerja (menghidupkan tanah mati, memburu, menggali kandungan bumi, makelar,


mudharabah, musaqat, ijarah)
2. Warisan
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4. Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat
5. Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga
apapun (Abdullah, 1990: 54-55, An-Nabhani, 2004: 77).

Sedangkan sebab-sebab pengembangan kepemilikan adalah:

1. Jual beli

2. sewa menyewa

3. Berproduksi (Istishna’) (Zulhelmy, 2013: 15)

Dalil-dalil mengenai sebab-sebab kepemilikan dan pengembangan kepemilikan secara rinci telah
dijelaskan dalam fiqh muamalah.

Kepemilikan Umum dan Pembagiannya


Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama

memanfaatkan benda (Abdullah, 1990: 55; An-Nabhani, 2004: 218). Benda-benda ini tampak pada tiga
macam, yaitu:

1. Harta benda yang merupakan fasilitas umum


Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia
secara umum, seperti air, hutan, dan berbagai sumber energi. Hal ini berdasarkan hadits:

‫ يف امالء والكأل وانالر‬:‫املسلمون رشاكء يف ثالث‬

“Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu Air, Padang Gembalaan, dan Api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Kemudian, Anas meriwayatkan dari Ibnu Abbas :

ِ‫َّل صُ ُ ولَ سَ رَ الَ قَ الَّ ٍ اس ق بَ ِ عْ نْ ابَ ن عٌ َ ام‬GG‫فُ ءَ َ شُ َ كُ ونِ لمْ ُ س مْ َ ال مَّ لَ َ سِ ه وْ يَ لَ ُ عَّ الَّلَ ل اِ ل‬
‫“ َرُ ح هُ نَ مَ ثَ ِ وَّ ارَ انلِ وَ َ ل كْ َ الَ ِ اء و مْ َ ٍ ثِ ف الَ ل ث‬Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu Air, Padang
Gembalaan, dan Api, dan harganya haram.” (HR. Ibnu Majjah)

Artinya, berbagai jenis fasilitas tersebut jika diperjualbelikan kepada masyarakat, maka aktifitas
memperjual-belikannya dan hasil penjualan yang dilakukan hukumnya haram.

2. Barang Tambang yang Tidak Terbatas


Dari Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta
kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah SAW memberikannya.
Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:

‫أتدري ما قطعت هل إنما قطعت هل امالء العد قال فانزتعه منه‬

“Wahai Rasulullah tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau
telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah
tambang tersebut darinya” (HR. At-Tirmidzi)

Dengan demikian, semua jenis barang tambang dengan jumlah yang banyak atau berlimpah,
merupakan jenis kepemilikan umum yang harus dikelola negara, dan hasilnya dikembalikan kepada
rakyat secara umum. Dalam hal ini, negara menetapkan ukuran dari barang tambang dengan kategori
terbtas dan yang tidak terbatas. Karena, barang tambang dengan jumlah yang terbatas dapat dimiliki
oleh individu, diperoleh dengan cara bekerja.

3. Sumber daya Alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk


dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
“Mina adalah tempat tinggal orang yang terlebih dahulu datang” Hadist ini menunjukkan bahwa
ada sumber daya alam yang tidak mungkin dimiliki oleh individu, seperti jalan, laut, sungai, selat, danau,
bahkan mesjid, sekolah negara, gedung kantor, rumah sakit negara, lapangan, dan sebagainya.

Kepemilikan Negara
Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum Muslimin, sementara
pengelolaannya menjadi wewenang Negara (Abdullah, 1990: 55; An-Nabhani, 2004: 224). Sumber-
sumber kepemilikan negara adalah:

1. Jizyah: hak yang diberikan Allah SWT kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir karena ada
ketertundukannya kepada pemerintah Islam.
2. Kharaj: hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum Muslim dari kaum Kuffar, baik dengan jalan
damai maupun peperangan.
3. Ghanimah: hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum Muslimin dari kaum Kuffar dengan jalan
perang.
4. Fa’i adalah hak yang diberikan Allah SWT kepada kaum Muslim dari kaum Kuffar tanpa melalui
peperangan (musuh melarikan diri).
5. Seperlima dari Rikaz
6. ‘Usyur
7. Harta orang meninggal yang tidak punyai ahli waris
8. Harta orang murtad
9. Harta Ghulul
10. Berbagai macam tanah, bangunan, perkantoran, sekolah, rumah sakit milik negara, dan sebagainya.

Khatimah
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam memiliki konsep kepemilikan yang
khas dibandingan dengan konsep kepemilikan yang lain, baik dari sistem Kapitalisme-Liberal,
maupun sistem Sosilisme-Komunis. Islam membagi hak kepemilikan menjadi tiga yaitu kepemilikan
individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Islam juga membedakan sebab-sebab
kepemilikan dan sebab-sebab pengembangan kepemilikan. Dengan demikian, Sistem ekonomi Islam
dengan gamblang dan rinci telah menjelaskan konsep kepemilikan.

Khatimah
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam memiliki konsep kepemilikan
yang khas dibandingan dengan konsep kepemilikan yang lain, baik dari sistem Kapitalisme-Liberal,
maupun sistem Sosilisme-Komunis. Islam membagi hak kepemilikan menjadi tiga yaitu kepemilikan
individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Islam juga membedakan sebab-sebab
kepemilikan dan sebab-sebab pengembangan kepemilikan. Dengan demikian, Sistem ekonomi Islam
dengan gamblang dan rinci telah menjelaskan konsep kepemilikan.

Anda mungkin juga menyukai