Anda di halaman 1dari 11

FUNDAMENTAL EKONOMI ISLAM

I. Pengertian Ekonomi Islam


Sebelum mengetahui tentang definisi Ekonomi Islam, pemahaman tentang
makna literalis kata ekonomi “ ‫ “ القاتصاد‬penting untuk diketahui. Dalam literatur arab
disebutkan: ‫( القصد‬ekonomis) berarti kelurusan cara, dan ‫( القصد‬ekonomis) juga
bermakna adil/keseimbangan. Ekonomis dalam suatu aktivitas merupakan lawan kata
dari pemborosan, yaitu sikap antara perilaku konsumtif dan penghematan yang
berlebihan. Sifat ekonomis berarti tidak terlalu boros dan juga tidak terlalu kikir.
Adapun pengertian menurut istilah, para pakar ekonomi Islam
mendefenisikannya secara beragam, antara lain sebagai berikut :
1. Dr. Muhammad bin Abdullah al Arabi mendefenisikan bahwa : Ekonomi
Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang diambil
dari al-Qur’an dan al-Sunnah serta fondasi ekonomi yang kita bangun atas
dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
waktu.
2. Dr. Muhammad Syauki al Fanjari mendefenisikan bahwa, Ekonomi Islam
adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi
sesuai denganpokok-pokok Islam dan polotik ekonominya.
3. Abdullah Abdul Husain al-Tariqi : Dengan posisinya sebagai cabang dari Ilmu
Fiqih, beliau mendefenisikan bahwa : Ekonomi Islam adalah ilmu tentang
hukum-hukum syariat aplikatif yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan dan
cara-cara mengembangkan harta.
II. Karakteristik Ekonomi Islam
Sistem ekonomi dalam Islam mempunyai beberapa kelebihan yang tercermin
dalam beberapa karakteristik, antara lain:
a. Bersumber Dari Tuhan dan Agama (‫)ربانى المصدر والتشريع‬
Sumber awal ekonomi Islam berbeda dengan sumber sistem ekonomi lainnya karena
merupakan kewajiban dari Allah. Ekonomi Islam dihasilkan dari agama Allah dan
mengikat semua manusia tanpa terkecuali. Sistem ini meliputi semua aspek universal
dan partikular dari kehidupan dalam satu bentuk. Dalam posisi sebagai pondasi,
ekonomi Islam tidak berubah. Yang berubah hanyalah cabang dan bagian
partikularnya, aturan-aturan ekonomi Islam sangat mendalam dan meyakinkan.
b. Ekonomi Pertengahan Dan Berimbang
Ekonomi Islam memadukan kepentingan pribadi dan kemaslahatan masyarakat dalam
bentuk yang berimbang. Ekonomi Islam berposisi tengah antara aliran individualis
(kapitalis) yang melihat bahwa hak kepemilikan individu bersifat absolut dan tidak
boleh diintervetasi oleh siapapun dan aliran sosialis (komunis) yang menyatakan
ketiaadaan hak individu dan mengubahnya ke dalam kepemilikan bersama dengan
menempatkannya di bawah dominasi negara.
c. Ekonomi Berkecukupan Dan Berkeadilan
Ekonomi Islam memiliki kelebihan dengan manjadikan manusia sebagai fokus
perhatian. Manusia diposisikan sebagai pengganti Allah di bumu untuk
memakmurkannya dan tidak hanya untuk mengeksploitasi kekayaan dan
memanfaatkannya saja. Ekonomi ini ditujukan untuk memberikan jaminan kepada
semua anggota masyarakat yang berupa jaminan kebutuhan pokok bagi seluruh warga
negara Islam.
d. Ekonomi Pertumbuhan dan Barakah
Ekonomi Islam memiliki kelebihan lain, yaitu beroperasi atas dasar pertumbuhan dan
investasi harta dengan cara-cara legal, agar harta tidak berhenti dari rotasinya dalam
kehidupan sebagai bagian dari mediasi jaminan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi
manusia. Islam memandang harta dapat dikembangkan hanya dengan bekerja. Hal itu
hanya dapat terwujud dalam usaha keras untuk menumbuhkan dan memperluas
unsur-unsur produksi demi terciptanya hasil yang lebih baik.
III. Pilar-pilar Ekonomi Islam
Ekonomi Islam berlandaskan 3 (tiga) pilar yaitu :
1. Pilar Kepemilikan Ganda
Kepemilikan ganda adalah kepemilikan khusus dan kepemilikan
umum. Penggunaan keduanya dikategorikan sebagai pemilikan ganda.
Ekonomi islam dibangun diatas dua macam pemilikan itu secara bersamaan.
Pada saat bersamaan, islam menetapkan kepemilikan personal dan
kepemilikan sosial serta ada bidang luas bagi keberlakuan dua jenis
kepemilikan ini.
2. Pilar Kebebasan Ekonomi Yang Terikat
Limitasi kebebasan dalam ekonomi Islam dimaksudkan sebagai
perwujudan aturan syri’at dalam hal menggali dan menggunkan kekayaan.
Sistem ini berbeda dengan sistem kapitalis yang memberikan kebebasan
mutlak dan menciptakan individu dengan kebebasan tanpa batas dalam
pencarian dan penggunaan kekayaan.
3. Pilar Jaminan Sosial
Salah satu karakter kodrati adalah kenyataan yang menunjukan bahwa
masing-masing manusia memiliki perbedaan fisik, karakter jiwa, dan
kemampuan intelektual. Mereka berbeda dalam kekuatan fisik dan susunan
tulang tubuh yang dimiliki. Mereka juga berbeda dalam keteguhan hati,
kekuatan untuk bersifat sabar, dan keberanian jiwa.
IV. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Berbeda dengan ekonomi modern yang telah dianggap maju dan
kelihatan sangat meyakinkan ini, lahir sebuah orde atau konsep ekonomi yang
lebih menitikberatkan pada issu ekonomi utama, yakni alokasi sumber daya
yang lebih efesien yang pertimbangannya pada dimensi transcendental, yang
hubungannya lebih benar, lurus dan baik serta menonjolkan hukum-hukum
Tuhan di muka bumi.
1. Prinsip Tauhid dan Persaudaraan (ukhuwah)
Motivasi utama ekonomi Islam adalah Tauhid dan Ukhuwah. Prinsip
ini sebagai landasan utama dalam mekanisme transaksi, atau pasar pertukaran,
alokasi sumber daya serta maksimasi kebutuhan dan keuntungan. Dampak
dari keyakinan ini dalam aktifitas ekonomi menurut ajaran Islam adalah
kesadaran manusia sebagai ciptaan Allah harus mampu mengolah bumi dan
sumber dayanya dengan memiliki rasa tanggung jawab kepada Allah yang
maha kuasa dan maha pemurah.
2. Prinsip Kerja dan Produktivitas
Prinsip kedua yang mendasari ekonomi islam adalah pekerjaan dan
kompensasinya. Upah perorangan harus sesuai dengan proporsi hasil
pekerjaan, jenis dan kategori pekerjaan, (berbeda antara satu dengan yang
lainnya, sesuia dengan keahlian dan keterampilan). Ketika individu
memperoleh pendapatan yang lebih besar dari input kerja dan sumber daya
lainnya, maka timbul komitmen rububiyyah yang mendasari keyakinannya
atas kepemilikan tunggal dari tujuan produksi.
3. Prinsip Persamaan dan Keadilan
Prinsip ini berkaitan dengan masalah kesejahteraan masyarakat.
Prinsip ini dalam Islam berkaitan dengan institusi-institusi ekonomi, seperti
zakat, shadaqah, ghanimah (rampasan perang), fai (perolehan kepemilikan
dalam perang tanpa bertarung), fidth (kewajiban dalam fai seperti zakat),
kharaj (pajak tanah yang diperoleh dari perang) dan ushr (zakat panen).

Prinsip-prinsip Ekonomi
Ilmu ekonomi lahir sebagai sebuah disiplin ilmiah setelah berpisahnya
aktifitas produksi dan konsumsi. Ekonomi merupakan aktifitas yang boleh dikatakan
sama halnya dengan keberadaan manusia di muka bumi ini, sehingga kemudian
timbul motif ekonomi, yaitu keinginan seseorang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.Prinsip ekonomi adalah langkah yang dilakukan manusia dalam memenuhi
kebutuhannya dengan pengorbanan tertentu untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Konsep Ekonomi Islam
Islam mengambil suatu kaidah terbaik antara kedua pandangan yang ekstrim
(kapitalis dan komunis) dan mencoba untuk membentuk keseimbangan di antara
keduanya (kebendaan dan rohaniah). Keberhasilan sistem ekonomi Islam tergantung
kepada sejauh mana penyesuaian yang dapat dilakukan di antara keperluan
kebendaan dan keperluan rohani / etika yang diperlukan manusia.
Tiga Asas Sistem Ekonomi Islam
Dengan melakukan istiqra` (penelahaan induktif) terhadap hukum-hukum
syara’ yang menyangkut masalah ekonomi, akan dapat disimpulkan bahwa Sistem
Ekonomi (an-nizham al-iqtishady) dalam Islam mencakup pembahasan yang
menjelaskan bagaimana memperoleh harta kekayaan (barang dan jasa), bagaimana
mengelola (mengkonsumsi dan mengembangkan) harta tersebut, serta bagaimana
mendistribusikan kekayaan yang ada.
asas-asas yang membangun sistem ekonomi Islam terdiri dari atas tiga asas, yakni :
(1) bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
(2) bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
(3) bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat
Makna Kepemilikan
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya
merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan
tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman :
“Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada
kalian.” (QS. An-Nuur : 33)
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat
ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi
dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti
disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli).
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin As-Syari’ kepada suatu komunitas untuk
sama-sama memanfaatkan benda. Benda-benda yang termasuk dalam kategori
kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan
Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka
masing-masing saling membutuhkan.
3). Kepemilikan Negara (state properti)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak
seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana
negara dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan
kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang
dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai’, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam
Prinsip Ekonomi Islam:Tauhid dan persaudaraan; Bekerja dan produktivitas;
Distribusi kekayaan yang adil.
Tujuan Ekonomi Islam adalah: Pemenuhan kebutuhan dasar manusia, meliputi
pangan: 1) sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. 2) Memastikan kesetaraan
kesempatan untuk semua orang. 3) Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan dan
meminimalkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan, 4) Memastikan
kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral, 5) Memastikan
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
Kebijakan dasar dan Azas-azas Ekonomi Islam
Kebijakan dasar dalam sistem ekonomi Islam: Larangan riba (abolition of
riba); Penerapan mudharabah dalam perekonomian; Pelarangan israf (konsumsi yang
berlebihan); Kehadiran institusi zakat dalam mengatur distribusi kekayaan di
kalangan masyarakat.
Azas-azas yang mendasari perekonomian Islam: Asas suka sama suka, yaitu
kerelaan yang sebenarnya, bukan kerelaan yang sifatnya semu dan seketika; Asas
keadilan, yaitu keseimbangan atau kesetaraan antar ndividu atau komunitas; Asas
saling menguntungkan dan tidak ada pihak yang dirugikan; Asas tolong menolong
dan saling membantu serta dilarang untuk adanya pemerasan dan eksploitasi

Mazhab-mazhab dalam Ekonomi Islam


Mazhab IqtishadunaIlmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan
Islammenolak pernyataan bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan
manusia yang tidak terbatas sedangkan sumber daya jumlahnya terbatasDalil QS Al
Qamar: 49. “Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-
tepatnya”Permasalahan dalam ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak
merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membenarkan terjadinya
eksploitasi pihak yang kuat terhadap kelompok pihak yang lemahTokoh-tokohnya:
Muhammad Baqir As Sadr, Abbas Mirakhor, Bagir Al Hasani, dan Kadim As Sadr
Mazhab mainstream; Masalah ekonomi muncul karena sumberdaya yang
terbatas yang dihadapkan kepada keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalil yang
digunakan QS Albaqarah: 155, “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira bagi orang-orang yang sabar”Mazhab Mainstream dan ekonomi
Konvensional memandang persoalan ekonomi tidak terdapat perbedaan. Perbedaan
hanya pada cara menyelesaikan masalahTokoh-tokohnya: Umer Chapra, Metwally,
M.A. Mannan, M.N. Siddiqi.
Posisi Ekonomi Islam

Berdasarkan kilas sejarah sistem-sistem ekonomi, kita dapat membandingkan


sistem-sistem tersebut sekaligus kita dapat melihat bagaimana posisi ekonomi Islam
diantara sistem ekonomi lainnya (sistem ekonomi konvensional). Mengacu pada
pengertian ekonomi sebagai kegiatan manusia memenuhi kebutuhannya, maka
pemikiran dasar ekonomi islam berkaitan erat dengan sistem ekonomi islam, yaitu
kajiannya mengarah kepada pelaku ekonomi yang meliputi produsen, distributor dan
konsumen. Kegiatan ekonomi yang meliputi produksi, distribusi dan konsumsi, serta
prinsipnya adalah bagaimana memperoleh hasil maksimal dan motif ekonominya
adalah kemakmuran.
Membangun Kekuatan Ekonomi Syariah
Kaum Muslimin diperintahkan untuk mengaplikasikan ajaran tersebut dalam
semua tatanan kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi,

Tiga Langkah Strategis

Dalam memperkuat sistem ekonomi syariah, paling tidak terdapat tiga


langkah strategis (Adiwarman Karim, 2005) yang harus dilakukan oleh kaum
Muslimin secara bersama-sama, baik para alim ulama dan para tokoh, para pakar, dan
masyarakat secara luas, sebagai realisasi dari hasil Kongres Umat Islam tersebut,
yaitu pengembangan ilmu ekonomi syariah, pengemabngan sistem ekonomi syariah
dalam bentuk regulasi dan peraturan, serta pengembangan ekonomi umat.

Pertama, pengembangan ilmu ekonomi syariah dapat dilakukan melalui dunia


pendidikan formal maupun non formal, baik itu di kampus-kampus, lembaga
penelitian ilmiah, kelompok-kelompok kajian, media massa, pondok-pondok
pesantren dan lainnya. Alhamdulillah kini ekonomi syariah, secara formal telah
menjadi kurikulum di beberapa perguruan tinggi, sehingga dikaji dan dipelajari secara
sistematis dan terorganisasi dengan baik.

Kedua, ditumbuhkembangkan regulasi-regulasi yang mendukung penguatan


ekonomi syariah dalam praktik, baik melalui institusi keuangan maupun melalui
kegiatan bisnis dan usaha riil. Harus diakui, peran Bank Indonesia (Direktorat
Perbankan Syariah) sangat besar, yang selalu bekerja sama dengan Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam melahirkan berbagai regulasi. DSN MUI
pun sangat aktif di dalam menjawab (dalam bentuk fatwa) berbagai permasalahan
yang diajukan maupun yang ditemukan dalam praktik keseharian. Kerjasama yang
harmonis selama ini harus terus menerus dijaga dan diperkuat, apalagi salah satu
agenda utama sekarang adalah mengusahakan Rancangan Undang-Undang Perbankan
Syariah menjadi sebuah Undang-Undang yang memiliki kekuatan hukum yang
bersifat pasti.

Ketiga, ketika ekonomi syariah dikembangkan dan didukung oleh sebuah


sistem yang baik, maka yang paling penting adalah membangun perekonomian umat
secara nyata, sehingga bisa dirasakan secara lebih luas oleh masyarakat dalam bentuk
pengembangan sektor riil dengan ditopang oleh Lembaga keuangan yang berbasis
syariah. Sehingga pada akhirnya diharapkan produktivitas dan kegiatan ekonomi
masyarakat akan lebih meningkat. Kita berharap sistem ekonomi syariah (dengan
langkah-langkah tersebut di atas) akan berkembang dari ekonomi alternatif menjadi
satu-satunya sistem ekonomi yang mampu mensejahterakan umat dan bangsa kita,
sekarang maupun di masa yang akan datang.(ikw/HG).

Pendapat Sekitar Hukum Riba dan Bunga Bank


1. Perbedaan Pendapat tentang Riba
Ayat-ayat yang terkait dengan riba seperti dikemukakan di atas dilihat dari
proses pelarangannya dengan pendekatan gradual atau melalui tahapan-tahapan yang
pada akhirnya menunjukkan keharaman riba itu dalam segala bentuknya, yakni
dipahami dari perintah Allah untuk meninggalkan riba, sekalipun hanya sisa-sisanya
(wa dzaru ma baqiya min al-riba) dan dari larangan untuk tidak memakan riba yang
pada saat itu keadaannya sudah sampai tingkat yang berlipat ganda (La ta’kulu al-
riba adh’afan mudha’afatan). Namun demikian terdapat beberapa pandangan ulama
dalam menafsirkan ayat-ayat di atas. Ada sebagian ulama berpandangan bahwa riba
yang keharamannya telah disepakati ulama dalam ayat-ayat di atas adalah riba
jahiliyah atau riba nasi’ah.1 Pada jual beli terdapat dua macam riba, yaitu riba
nasi’ah dan riba fadhl. Namun Ibnu Abbas dalam riwayatnya menolak riba fadhl.
Beliau meriwayat dari Nabi saw: “La riba illa fi al-nasi’ah”. Tetapi jumhur fuqaha
berpendapat dua jenis riba itu terdapat dalam jual beli.2 Berbeda dengan Muhammad
Abduh yang berpendapat bahwa riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an itu hanya
riba yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afatan). Riba dimaksud adalah riba
jahiliyah atau riba nasi’ah.
Analisis Tentang Hukum Riba dan Bunga
Merujuk pada pengertian dan beberapa pendapat tentang riba dan bunga,
maka penulis dapat mengemukakan analisa sederhana dicelah-celah perbedaan
pandangan yang dikemukakan di atas, solusi dalam menentukan sikap dan pendirian
kita sebagai muslim yang percaya (beriman) bahwa dibalik setiap larangan-larangan

1
2.
Allah ada banyak hikmahnya bagi kepentingan kehidupan manusia, baik dalam
kehidupan individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Larangan praktek riba dan bunga sudah jelas, lugas dan tegas, sehingga
seyogianya kita posisikan sebagai sesuatu yang sudah tuntas. Antara riba dan bunga
adalah sama dan sebangun, dan oleh karena itu hukumnya haram. Indikator mengapa
riba dan bunga dilarang dan diharamkan oleh Allah, karena terdapat unsur-unsur
ketidak adilan, saling menzalimi, eksploitatif, merugikan salah satu pihak dan
terkonsentrasinya modal pada kelompok orang-orang tertentu saja (yang kaya).
Indikator-indikator tersebut dapat kita pahami dari konteks ayat “ ‫ل تظلمون ول تظلمون‬
“ Dampak negatif yang ditujukkannya adalah dampak sosial, moral dan material,
baik kepada salah satu pihak dan atau kedua belah pihak. Sehingga itu sistem
pendekatan Al-Qur’an dalam pelarangan riba sama dengan sistem dalam pelarangan
judi dan khamar, karena memang juga keduanya sudah mengakar dan melembaga
dalam kehidupan masyarakat, yang akibat-akibatnya telah banyak menimbulkan
kegoncangan sosial, kerusakan moral dan kerugian material.

Pengaruh Riba dan Bunga dalam Kehidupan Ekonomi


Nabi Muhammad saw mengingatkan betapa malapetaka yang dialami oleh
ummat terdahulu sebagai suatu pembuktian kebenaran hadisnya yang menyebutkan
“jika telah muncul wabah zina dan riba di suatu negeri, maka sesungguhnya mereka
telah mempersilahkan datangnya azab Allah kepada mereka”. Isyarat Nabi ini dapat
dipahami dengan contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan manusia dewasa ini.
Dengan menyebarnya perbuatan zina merupakan bukti hancurnya tatanan sosial.
Merebaknya praktek riba dan bunga sebagai pertanda hancurnya sistem ekonomi.
Bukan sesuatu yang tidak beralasan Allah mengharamkan riba dengan bahasa yang
mengancam pelakunya dengan azab yang pedih dan menempatkan pelakunya sebagai
golongan yang dimusuhi Allah dan Rasulnya, maka pasti di balik larangan itu ada
dampak negatif yang akan menimpa kehidupan ummat.
KONSEP AL- QUR’AN TENTANG PERILAKU BISNIS
Islam menghormati segala bentuk pekerjaan untuk menghasilkan sarana
hidup, sepanjang tidak ada pertentangan dan ketidak senonohan serta jauh dari
tindakan yang salah dan merugikan, tulis Abdal A’ti dalam “Islam in Focus”.
Frekuensi penyebutan kerja dalam Al-Qur’an demikian banyaknya. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya segala bentuk kerja produktif dan aktifitas yang
menghasilkan. Banyak hadits yang menyeru dan mendesak manusia untuk bekerja
dengan penekanan khusus pada bidang tertentu, seperti bidang pertanian,
keterampilan dan bisnis (perdagangan). Pekerjaan atau aktifitas yang disebutkan
terakhir, yakni Bisnis yang dalam bahasa Al Qur’an dikenal dengan “Tijarah”,
pembahasannya terkait dengan kerja dan pekerja secara umum. Kebaikan dan
kesuksesan serta kemajuan suatu bisnis sangat tergantung pada kesungguhan dan
ketekunan kerja seorang pelaku bisnis.Al Qur’an menggunakan terminologi bisnis
demikian ekstensif.

Anda mungkin juga menyukai