Anda di halaman 1dari 21

KASUS 1

BERCAK PUTIH

Ny. A 26 datang kepuskesmas dengan keluhan muncul becak-bercak putih


yang awalnya kecil namun sekarang makin membesar, klien mengatakan dia
juga tidak merasakan sakit pada area tersebut. keluarga klien mengatakan
mereka memiliki tetangga yang memiliki penyakit yang sama dengan klien

I. Klasifikasi Istilah
a.) puskesmas
menurut departemen kesehatan (2011) puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
b.)bercak putih
bercak putih pada kulit dikenal sebagai bercak hipopigmentasi, yaitu kondisi
dimana kulit tampak lebih teran atau putih, karena kekurangan pigmen
melanin.(Luo,E. Healthline (2017))
c.) klien/pasien
klien/pasien adalah orang yang memiliki kelemahan fisik atau mentalnya,
menyerahkan pengawasandan perawatannya, menerima dan mengikuti
pegobatan yang di tetapkan oleh tenaga kesehatan. (wilhamda,2011)
II. Kata Kunci
1. bercak putih
2. tidak merasakan sakit pada area luka
3. Memiliki tetangga yang memiliki penyakit yang sama
III. Mind Map

Morbus hansend

Pityriasis
Bercak putih Morfea
versicolor

Vitiligo
lembar check list
penyakit
Morbus Pityriasis Morfea Vitiligo
tanda hansend versicolor
dan gejala
Bercak putih    
Tidak  
merasakan
sakit
Menular  

IV. Pertanyaan Penting


1.) mengapa pada kasus di atas ditandai dengan bercak putih?
2.) mengapa pada kasus bercak putihnya semakin hari semakin membesar?
3.) mengapa pada kasus klien tidak merasakan sakit pada lukanya tersebut?
4.) apa hubungannya tetangga yang memiliki penyakit yang sama dengan
klien?
V. Jawaban Pertanyaan Penting
1. karena, adanya penebalan saraf perifer, kelainan ini terjadi karena karena
menurunnya aktivitas melanosit. melanosit adalah sel yang memproduksi
melanin pigmen gelap yang bertanggung jawab untuk warna rambut dan
kulit. pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit dapat normal atau
menurun.(ortonne JP, bahadoran P, 2015)
2. karena, seiring dengan berjalannya waktu bakteri ini akan berkembang
semakin banyak, secara otomatis sistem imun secara alami memperkuat
pertahanannya, saat sistem kekebalan tubuh sudah menyerang bakteri
timbul lah bercak putih yang semakin hari membesar dan bakteri
memrlukan waktu 12-14 hari untuk membelah diri. (dr. tania savitri, april
30,2019)
3. karena bakteri sudah masuk ke dalam saraf maka fungsi saraf lambat laun
akan berkurang bahkan hilang (mati rasa) sehingga menyebabkan klien
tidak merasakan sakit pada lukanya karena sistem sarafnnya sudah
bermasalah.(dr. tania savitri, april 30,2019)
4. penyebab utama dari kasus ini yaitu bakteri mycobacterium leprae bakteri
tersebut di tularkan melalu kontak kulit yang lama dan erat dengan
penderita, penyakit ini juga bisa ditularkan melalui inhalasi alias
menghirup udara, karena bakteri penyebab kasus ini dapat hidup beberapa
haari dalam bentuk droplet (butiran air) di udara.
(dr. tania savitri, april 30,2019) sehinga kemungkinan besar klien dapat
mengidap penyakit yang di derita oleh tetangganya tersebut.
VI. Tujuan Pembelajaran Selanjutnya
Untuk mengetahui keberhasilan pengobatan Morbus Hansen
VII. Informasi Tambahan
Jurnal : Hubungan Antara Kusta Tipe Pausi Basiler Dengan Angka
Keberhasilan Pengobatan Kusta Di Jawa Timur
VIII. Klarifikasi informasi
Gambaran kasus kusta tipe PB berdasarkan jenis kelamin dari tahun
2015-2017 menunjukkan adanya fluktuasi kasus antara laki-laki dan
perempuan setiap tahunnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Gero & Reinaldis (2015) yang menyatakan bahwa sejak tahun 2002
sampai dengan tahun 2011, atau selama 10 tahun berturut-turut mayoritas
penderita kusta di Rumah Sakit Pembantu Abad Naob, Kafamenanu adalah
laki-laki dengan jumlah total 797 selama 10 tahun, atau 89% dari jumlah total
penderita kusta yang ada. Jika dirata-rata penderita kusta laki-lakipertahunnya
berjumlah 80 orang. Penderita kusta perempuan yang ada yaitu hanya
berjumlah 102 penderita selama 10 tahun, atau hanya sekitar 11% saja.
ingginya kasus kusta tipe PB, terutama pada laki-laki daripada
perempuan disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah mobilitas
lakilaki lebih tinggi daripada perempuan, sehingga frekuensi paparan lebih
besar daripada perempuan (Kuswiyanto, 2015). Faktor lain yaitu perbedaan
perilaku pencarian pengobatan pada laki-laki biasanya lebih tidak peduli
dengan kondisi tubuhnya, dibandingkan dengan perempuan yang lebih cepat
dalam mencari pengobatan karena lebih peduli dengan penampilan (Ranjan,
Dogra, & Dogra, 2015). Perbedaan aktivitas juga bisa menjadi penyebabnya.
Besarnya frekuensi dan intensitas aktivitas pada seseorang diluar rumah
misalnya dalam bekerja, bersosialisasi, dan melakukan interaksi dengan
banyak orang bisa menjadi faktor risiko penularan kusta, sebab bisa jadi
interaksinya tersebut dilakukan dengan orang yang sudah terinfeksi oleh
bakteri kusta dan berpotensi menularkannya pada orang lain yang ada
disekitarnya (Susanti & Azam, 2016).
Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kusta tipe PB dengan angka keberhasilan pengobatan
kusta di Jawa Timur tahun 2015-2017. Kusta tipe PB memiliki angka
keberhasilan pengobatan yang jauh melampaui angka keberhasilan
pengobatan kusta tipe MB di Jawa Timur (Dinkesprov Jawa Timur, 2017).
Hal ini disebabkan karenan pengobatan kusta tipe MB ini sering mengalami
drop out (putus obat) dibandingkan tipe PB karena bosan mengonsumsi obat
dalam jangka yang lama 12 bulan ataupun ada efek samping (Afifah, 2014).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rukua, Martini, &
Notobroto (2015) bahwa kejadian drop out sebagian besar terjadi pada
penderita dengan efek samping dari obat yang dikonsumsinya (98,60%)
dibandingkan dengan yang tidak ada efek samping (3,20%).
Beberapa hal yang menjadi penyebab angka keberhasilan pengobatan
tipe PB lebih tinggi daripada tipe MB adalah berdasarkan tingkat
keparahannya kusta PB lebih ringan daripada kusta MB. Jumlah lesi kusta
tipe PB memiliki ciri adanya 1 hingga 5 lesi, sedangkan untuk kusta tipe MB
jumlah lesi sampai >5. Kusta MB seringkali menimbulkan kecacatan pada
penderitanya (Rafsanjani, Lukomono, Setyawan, Anies, & Adi, 2018). Tipe
kusta MB lebih sering mengalami kekambuhan yakni berupa timbulnya lesi
kecil kemerahan pada sebagian wajah, leher, lengan, telapak tangan dan kaki
setelah dilakukan pengobatan kusta berdasarkan regimen WHO (Basuki &
Rahmi, 2017). Reaksi pengobatan MB juga menunjukkan reaksi lebih berat
daripada tipe PB. Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et al (2018)
menunjukkan bahwa pada pengobatan kusta tipe MB reaksi yang seringkali
timbul selama 1 bulan pertama adalah adanya perubahan warna urin menjadi
merah dan perubahan warna kulit setelah mencapai bulan ke 3 pengobatan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Guragain, Upadhayay, & Bhattarai (2017)
juga menunjukkan adanya reaksi yang timbul dari pengobatan kusta dengan
regimen WHO di wilayah Nepal dari tahun 2010-2013. Reaksi ini banyak di
alami oleh penderita kusta tipe MB dibandingkan tipe PB. Faktor lain yang
juga mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan kusta dukungan dari
keluarga, stigma masyarakat, peran petugas kesehatan, dan ketersediaan obat
(Astuti, 2017)
IX. Analisa Dan Sintesa
Ny. A 26 datang kepuskesmas dengan keluhan muncul becak-bercak
putih yang awalnya kecil namun sekarang makin membesar, klien
mengatakan dia juga tidak merasakan sakit pada area tersebut. keluarga
klien mengatakan mereka memiliki tetangga yang memiliki penyakit
yang sama dengan klien.
berdasarkan kasus diatas kami menyimpulkan bahwa diagnosa medis
yang di ambil yaitu morbus hansend (kusta) dan manifestasi yang
berhubungan terdapat bercak putih dan klien tidak merasakan sakit pada
area bercak putih tersebut
Bercak Putih

Ny. A 26 datang ke puskesmas dengan keluhan muncul bercak-bercak putih yang awalnya
kecil namun sekarang semakin membesar, klien mengatakan dia juga tidak merasakan sakit
pada area tersebut. Keluarga klien mengatakan mereka memiliki tetangga yang memiliki
penyakit yang sama dengan klien.

Mycobacterium Leprae

Lesi bercak 1-5 (penebalan saraf Ikuti di aliran darah


tepi dengan gangguan fungsi pada 1
saraf Kulit

Gangguan saraf tepi Bercak

Ulserasi
Gangguan saraf moorik

luka
Neuritis

Bakteri/kuman
Sensabilitas menurun

Risiko Infeksi
Kerusakan integritas
Kulit/Jaringan
X. Laporan Diskusi

A. Konsep Medis

1. Definisi

Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Marbus Hansen
adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae (Maharani, 2015). Kusta adalah penyakit tipe
granulomatosa pada saraf tepi dan mukos dari saluran pernafasan atas dan lesi
pada kulit. Bila tidak ditangani kusta dapat sangat progresif menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggita gerak dan mata (Kementrian
Kesehatan RI,2015).
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha yang berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari
Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruhdunia lewat
perpindahan penduduk. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada
abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang india yang datang ke
Indonesia untuk menyebarkan agama dan dagangan.
Pada 1995, World HealthOrganization (WHO) memperkirakan terdapat
dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen dikarenkan kusta.Berdasarkan
beberapa pengertian kusta di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa kusta
adalah suatu penyakit disebabkan oleh bakteri MycrobacteriumLeprae yang
menyerang saraf tepi jika tidak ditangani akan menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf, anggota gerak dan mata.
2. Etiologi

Penyebab penyakit kusta yaitu MycrobacteriumLeprae yang pertama kali


ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873. M.Leprae sendiri
hidup intraseluler dan memiliki afinitas yang besar pada sel saraf
(SchwanCell) dan sel dari retikuloendotenial. Waktu pembelahannya sangat
lama berkisar antara 2-3 minggu. Diluar tubuh manusia dalam kondisi tropis
kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Kementrian
Kesehatan RI, 2012).
Microbacterium ini adalah suatu kuman aerob, tidak berbentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin, berukuran panjang 1-8
micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan pula yang menyebar,
kuman ini hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (Kementrian Kesehatan RI,
2012).
3. Manifestasi klinis

Tanda kulit pada penyakit kusta adalah :

a. Kelainan pada kulit yang beruba bercak kemerahan, keputihan atau


benjolan.
b. Kulit mengkilap.
c. Bercak yang tidak terasa gatal.
d. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat dan tidak berambut.
e. Lepuh tapi tidak tersa nyeri.
Tanda-tanda pada syaraf pada penyakit kusta adalah :
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.
b. Gangguan kerak pada anggota badan dan muka.
c. Adanya kecacatan (deformitas) pada bagian tubuh.
d. Terdapat luka tapib tidak tersa sakit.
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penderita kusta antara lain :
a. Panas dari derajat yang rendah sampai mengigil.
b. Anoreksia.
c. Nausea, yang terkada4ng disertai dengan vernitus.
d. Cephalgia.
e. Kadang disertai dengan iritasi, orchitis dan pleuritis.
f. Kadang juga dapat disertai dengan nephrosia, nepritis dan
hepatospleenomegali.
g. Neuritis (Maharani,2015)
4. Klasifikasi
Klasifikasi kusta memiliki beberapa klasifikasi, antara lain klasifikasi
Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi WHO. Penentuan klasifikasi
ini didasarkan pada kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman.
Tahun 1982 WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan
pengobatan. Dalam klasifikasi ini hanya dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
Pausibasilar (PB) dan tipe Multibasilar (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah
gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui pemeriksaan kerokan
jaringan kulit.

Tabel 2.1 Kriteria penentuan tipe kusta

Kriteria kusta menurut Dinas Kesehatan RI 2012 dan Pedoman Nasional


Pemberantasan Penyakit Kusta.

Kelainan Kulit dan PB MB


Hasil Pemeriksaan
Bakteriologis
1. Bercak (makula)
a. Jumlah - 1-5 - Banyak
b. Ukuran - Kecil dan besar - Kecil-kecil
c. Distribusi - Unirateral atau - Bilateral, simetris
bilateral asimetris
d. Konsistensi - Kering dan kasar - Halus, mengkilat
e. Batas - Tegas - Kurang tegas
f. Kehilangan sensasi - Selalu ada dan - Tidak jelas ; jika
rasa pada area bercak jelas ada terjadi pada
yang sudah lanjut
g. Kehilangan - Bercak masih
kemampuan - Bercak tidak berkeringat, bulu
berkeringat, bulu berkeringat, bulu rontok
rontok pada area rontok pada area
bercak bercak
2. Ilfitrat
a. Kulit - Tidak ada - Ada, kadang tidak
ada
b. Membran mukosa - Tidak pernah ada - Ada, kadang tidak
(hidung tersumbat, ada
perdarahan dihidung)
3. Ciri-ciri khusus - Central healing - Lesi punched out
(penyembuhan di - Madarosis
tengah) - Ginekomastia
- Hidung pelana
- Suara sangau
4. Nodulus - Tidak ada - Kadang-kadang ada
5. Penebalan syaraf - Lebih sering - Terjadi pada
perifer terjadi dini, penyakit lanjut
asimetris biasanya lebih dari
satu dan simetris
6. Diformitas (cacat) - Biasanya - Terjadi pada
asimetris, -terjadi stadium lanjut
dini
7. Apusan - BTA negatif - BTA positif
Depkes RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 1998
dalam Buku penyakit Tropis, 2011.

5. Patofisiologis
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa
hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari
udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman
Mycobacterium leprae menderita kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab diet,
status gizi, status sosial ekonomi dan genetik Juga ikut berperan, setelah
melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di
keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta
yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak
antara orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap
insiden, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per
1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India
Selatan.
Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa
kasus lepramatosa menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa organism tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan
asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri
tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa
mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang
besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal
ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar
melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae
telah ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi
mukosa hidung pada kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000
hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien
lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita.
Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien lepromatosa
dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

6. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik

akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi

reaksi kusta.

7. Penatalaksanaan

Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO sebagai
berikut:
a). Tipe PB ( Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak
lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b). Tipe MB ( Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24
dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum
24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.

c). Dosis untuk anak


Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian
50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian
50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
d). Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan
dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai
obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e). Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe
MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
B. Konsep Keperawatan
a. Pengkajian

Kategori dan Subkategori Data Subjektif dan Objektif


Fisiologis Respirasi Tidak terkaji
Sirkulasi Tidak terkaji
Nutrisi dan cairan Tidak terkaji
Eliminasi Tidak terkaji
Aktivitas dan istirahat Tidak terkaji
Neurosensori Tidak terkaji
Reproduksi dan Tidak terkaji

Seksualitas
Psikologis Nyeri dan Tidak terkaji

Kenyamanan
Integritas ego Tidak terkaji
Pertumbuhan dan Tidak terkaji

perkembangan
Perilaku Kebersihan diri Tidak terkaji
Penyuluhan dan Tidak terkaji

pembelajaran
Relasional Interaksi social Tidak terkaji
Lingkungan Keamanan dan Ds : klien mengatakan tidak merasakan sakit

proteksi pada daerah yang muncul bercak.

Do : Terdapat bercak-bercak putih

b. Analisa Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


Ds : klien mengatakan tidak Gangguan Integritas
Lesi bercak 1-5 (penebalan
merasakan sakit pada area saraf tepi dengan gangguan Kulit/Jaringan
bercak fungsi pada 1 saraf
Do : Terdapat bercak-
Gangguan saraf tepi
bercak putih

Gangguan saraf moorik

Neuritis

Sensabilitas menurun

Ds : - Risiko Infeksi
Ikuti di aliran darah
Do: -
Kulit

Bercak

Ulserasi

luka

Bakteri/kuman
c. Diagnosa Keperawatan

NO DIAGNOSA SLKI SIKI RASIONAL


1. Gangguan integritas 1. Integritas kulit dan jaringan 1. Perawatan integritas kulit 1. Perawatan integritas
kulit/jaringan (D.0129) Kriteria hasil: Observasi: kulit
Kategori: lingkungan 1. Setelah dilakukan tindakan - Identifikasi penyebab Observasi:
Subkategori: keamanan keperawatan selama 3x24 gangguan integritas - Mengurangi terjadinya
dan proteksi jam masalah keperawatan kulit (mis. Perubahan gangguan integritas
Integritas kulit teratasi sirkulasi, penurunan kulit yang lebih parah
Definisi: dengan indikator: kelembaban) Terpeutik:
Kerusakan kulit (dermis, 1. Kerusakan jaringan (4) Terapeutik: - Meminimalisir
dan/atau epidermis) atau 2. Kerusakan lapisan kulit - Gunakan produk kemungkinan terjadinya
jaringan (membrane (4) berbahan ringan/alami infeksi
mukosa, kornea, fasia, otot, Ket: dan hipoalergik pada Edukasi:
tendon, tulang, kartilago, 1. Meningkat kulit sensitive - Kebutuhan cairan
kapsul sendi dan/atau 2. Cukup meningkat Edukasi: mempengaruhi tingkat
ligament) b.d neuropati 3. Sedang - Anjurkan minum air alastisitas dan
perifer, perubahan 4. Cukup menurun yang cukup kelembaban pada kulit.
pigmentasi d.d kerusakan 5. Menurun Kolaborasi: - Kolaborasi: -
jaringan dan/atau lapisan 2. Pemberian obat 2. Pemberian obat
kulit. Observasi: Observasi:
- Identifikasi - Meminimalisir
kemungkinan alergi, kemungkinan terjadinya
interaksi, dan kerusakan lebih parah
kontraindikasi obat pada kulit.
Terapeutik: Terapeutik:
- Lakukan prinsip enam - Pemberian obat sesuai
benar (pasien, obat, prosedur akan
dosis, rute, waktu, mendapatkan efek obat
dokumentasi) yang diinginkan.
Edukasi: Edukasi:
- Jelaskan jenis obat, - Pasien perlu mengetahui
alasan pemberian, hal-hal mengenai obat
tindakan yang yang diberikan agar
diharapkan, dan efek kooperatif saat
samping sebelum pengobatan
pemberian berlangsung.
Kolaborasi: -
2. Risiko infeksi (0142) 1. Tingkat infeksi 1. pencegahan infeksi 1. pencegahan infeksi
Kategori: lingkungan 2. Kontrol resiko observasi: observasi:
Subkategori: kemanan dan Kriteria hasil: - monitor tanda dan gejala - mengetahui tanda
proteksi 1. Setelah dilakukan tindakan infeksi local dan sistemik infeksi dan keadaan
keperawatan selama 3x24 jam terapeutik abnormal yang terjadi
Definisi: masalah keperawatan tingkat - berikan perawatan kulit pada pasien
Beresiko mengalami infeksi teratasi dengan pada area edema terapeutik:
peningkatan terserang indikator: edukasi: - mengurangi edema
organism patogenik b.d 1. Kemerahan (2) - jelaskan tanda dan gejala edukasi:
Peningkatan paparan 2. Bengkak (2) infeksi - untuk menghindari
organism pathogen Ket: kolaborasi: - infeksi yang mungkin
lingkungan, 1. Meningkat timbul
Ketidakadekuatan 2. Cukup meningkat kolaborasi: -
pertahanan tubuh primer: 3. Sedang
Kerusakan integritas kulit 4. Cukup menurun
5. Menurun
2. Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
masalah keperawatan Integritas
kulit teratasi dengan indikator:
1. Kemampuan mencari
informasi tentang faktor
resiko (4)
2. Kemampuan mengenali
perubahan status kesehatan(4)
Ket:
1. Menurun
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. meningkat
Daftar Pustaka

Astuti, Y. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita


kusta untuk datang berobat teratur di wilayah Jakarta Selatan tahun 2014.
Jurnal Ilmiah Widya, 4(2), 262–267.

Basuki, S., & Rahmi, M. (2017). Relapse of multibacillary leprosy treated with
rifampicin and ofloxacin: a case report. Journal of Pigmentary Disorders,
4(2), 1–3. https://doi.org/10.4172/2376-0427.1000267

Dinkesprov Jawa Timur. (2017). Profil kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun
2016. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Surabaya

Gero, S., & Reinaldis, S. (2015). Perkembangan penyakit morbus hansen atau
kusta (tahun 2002-2011) di RS. Pembantu Abadi Naob, Kefamenanu. Jurnal
Ilmiah Keperawatan, 3(2), 39–45

Gunawan, H., Sasmojo, M., Putri, H. E., Avriyanti, E., Hindritiani, R., &
Suwarsa, O. (2018). Clinical pilot study : clarithromycin efficacy in
multibacillary leprosy therapy. International Journal of Mycobacteriology,
7(2), 152–155. https://doi.org/10.4103/ijmy.ijmy

Kuswiyanto. (2015). Ciri tanda kusta terhadap BTA swab hidung siswa SD di
daerah endemis kusta Kabupaten Kayong Utara. Jurnal Vokasi Kesehatan,
1(4), 119–123.

Rafsanjani, T. ., Lukomono, D. T., Setyawan, H., Anies, & Adi, S. (2018).


Analisis faktor host terhadap kecacatan kusta tingkat II di Kabupaten Nagan
Raya Provinsi Aceh. Jurnal Vokasi Kesehatan, 4(1), 33–38.

Ranjan, S., Dogra, D., & Dogra, N. (2015). A study of factors associated with
disabilities of hands and feet among leprosy patients. International Journal
of Recent Trends in Science and Technology, 15(1), 122–127.
Rukua, M. S., Martini, S., & Notobroto, H. B. (2015). Pengembangan indeks
prediktif kejadian default pengobatan kusta tipe MB di Kabupaten
Sampang. Jurnal Berkala Epidemiologi, 3(3), 387–399

Susanti, K. N., & Azam, M. (2016). Hubungan status vaksinasi BCG, riwayat
kontak, dan personal hygiene dengan kusta di Kota Pekalongan. Unnes
Journal of Public Health, 5(2), 130–139

Anda mungkin juga menyukai