BERCAK PUTIH
I. Klasifikasi Istilah
a.) puskesmas
menurut departemen kesehatan (2011) puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
b.)bercak putih
bercak putih pada kulit dikenal sebagai bercak hipopigmentasi, yaitu kondisi
dimana kulit tampak lebih teran atau putih, karena kekurangan pigmen
melanin.(Luo,E. Healthline (2017))
c.) klien/pasien
klien/pasien adalah orang yang memiliki kelemahan fisik atau mentalnya,
menyerahkan pengawasandan perawatannya, menerima dan mengikuti
pegobatan yang di tetapkan oleh tenaga kesehatan. (wilhamda,2011)
II. Kata Kunci
1. bercak putih
2. tidak merasakan sakit pada area luka
3. Memiliki tetangga yang memiliki penyakit yang sama
III. Mind Map
Morbus hansend
Pityriasis
Bercak putih Morfea
versicolor
Vitiligo
lembar check list
penyakit
Morbus Pityriasis Morfea Vitiligo
tanda hansend versicolor
dan gejala
Bercak putih
Tidak
merasakan
sakit
Menular
Ny. A 26 datang ke puskesmas dengan keluhan muncul bercak-bercak putih yang awalnya
kecil namun sekarang semakin membesar, klien mengatakan dia juga tidak merasakan sakit
pada area tersebut. Keluarga klien mengatakan mereka memiliki tetangga yang memiliki
penyakit yang sama dengan klien.
Mycobacterium Leprae
Ulserasi
Gangguan saraf moorik
luka
Neuritis
Bakteri/kuman
Sensabilitas menurun
Risiko Infeksi
Kerusakan integritas
Kulit/Jaringan
X. Laporan Diskusi
A. Konsep Medis
1. Definisi
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Marbus Hansen
adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae (Maharani, 2015). Kusta adalah penyakit tipe
granulomatosa pada saraf tepi dan mukos dari saluran pernafasan atas dan lesi
pada kulit. Bila tidak ditangani kusta dapat sangat progresif menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggita gerak dan mata (Kementrian
Kesehatan RI,2015).
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha yang berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari
Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruhdunia lewat
perpindahan penduduk. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada
abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang india yang datang ke
Indonesia untuk menyebarkan agama dan dagangan.
Pada 1995, World HealthOrganization (WHO) memperkirakan terdapat
dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen dikarenkan kusta.Berdasarkan
beberapa pengertian kusta di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa kusta
adalah suatu penyakit disebabkan oleh bakteri MycrobacteriumLeprae yang
menyerang saraf tepi jika tidak ditangani akan menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf, anggota gerak dan mata.
2. Etiologi
5. Patofisiologis
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa
hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari
udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman
Mycobacterium leprae menderita kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab diet,
status gizi, status sosial ekonomi dan genetik Juga ikut berperan, setelah
melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di
keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta
yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak
antara orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap
insiden, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per
1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India
Selatan.
Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa
kasus lepramatosa menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa organism tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan
asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri
tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa
mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang
besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal
ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar
melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae
telah ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi
mukosa hidung pada kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000
hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien
lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita.
Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien lepromatosa
dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
6. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta.
7. Penatalaksanaan
Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO sebagai
berikut:
a). Tipe PB ( Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak
lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b). Tipe MB ( Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24
dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum
24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
Seksualitas
Psikologis Nyeri dan Tidak terkaji
Kenyamanan
Integritas ego Tidak terkaji
Pertumbuhan dan Tidak terkaji
perkembangan
Perilaku Kebersihan diri Tidak terkaji
Penyuluhan dan Tidak terkaji
pembelajaran
Relasional Interaksi social Tidak terkaji
Lingkungan Keamanan dan Ds : klien mengatakan tidak merasakan sakit
b. Analisa Data
Neuritis
Sensabilitas menurun
Ds : - Risiko Infeksi
Ikuti di aliran darah
Do: -
Kulit
Bercak
Ulserasi
luka
Bakteri/kuman
c. Diagnosa Keperawatan
Basuki, S., & Rahmi, M. (2017). Relapse of multibacillary leprosy treated with
rifampicin and ofloxacin: a case report. Journal of Pigmentary Disorders,
4(2), 1–3. https://doi.org/10.4172/2376-0427.1000267
Dinkesprov Jawa Timur. (2017). Profil kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun
2016. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Surabaya
Gero, S., & Reinaldis, S. (2015). Perkembangan penyakit morbus hansen atau
kusta (tahun 2002-2011) di RS. Pembantu Abadi Naob, Kefamenanu. Jurnal
Ilmiah Keperawatan, 3(2), 39–45
Gunawan, H., Sasmojo, M., Putri, H. E., Avriyanti, E., Hindritiani, R., &
Suwarsa, O. (2018). Clinical pilot study : clarithromycin efficacy in
multibacillary leprosy therapy. International Journal of Mycobacteriology,
7(2), 152–155. https://doi.org/10.4103/ijmy.ijmy
Kuswiyanto. (2015). Ciri tanda kusta terhadap BTA swab hidung siswa SD di
daerah endemis kusta Kabupaten Kayong Utara. Jurnal Vokasi Kesehatan,
1(4), 119–123.
Ranjan, S., Dogra, D., & Dogra, N. (2015). A study of factors associated with
disabilities of hands and feet among leprosy patients. International Journal
of Recent Trends in Science and Technology, 15(1), 122–127.
Rukua, M. S., Martini, S., & Notobroto, H. B. (2015). Pengembangan indeks
prediktif kejadian default pengobatan kusta tipe MB di Kabupaten
Sampang. Jurnal Berkala Epidemiologi, 3(3), 387–399
Susanti, K. N., & Azam, M. (2016). Hubungan status vaksinasi BCG, riwayat
kontak, dan personal hygiene dengan kusta di Kota Pekalongan. Unnes
Journal of Public Health, 5(2), 130–139