Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN TUTORIAL

KELOMPOK 7 BLOK 3.5

MODUL 3
INFLAMASI KULIT DAN KELAMIN

Nama :Muhammad Naufal Arif

Farid Husaini

Tgk.Fikri Ardiansyah

Elsa Nur Salsabila

Fadhilah Amirah

Sofwatul Marfiyah

Intan Nurul Izzah

Nurhaliza

Rizky Adinda

Nurhaliza

Arvinnia Tannida Harefa

Aditya Fajar Perkasa

Kelompok :7

Tutor :dr.Rizka Sofia,MKT

PRODI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

TA.2019/2020
MODUL III
INFLAMASI PADA KULIT DAN KELAMIN
Skenario 3:

Ruam apa ini?!


Bonia, anak perempuan usia 9 tahun dibawa ibunya ke puskesmas dengan keluhan
munculnya gelembung-gelembung berisi cairan di sekitar punggung kanannya sejak 2 hari
yang lalu dan terus bertambah. Dari anamnesis diketahui bahwa 5 hari sebelum keluhan kulit
muncul, Bonia mengalami demam, tidak enak badan, nyeri otot serta lemas. Pada
pemeriksaan status dermatologis didapatkan efloresensi berupa vesikel dan bula berkelompok
unilateral dengan dasar kulit yang eritematous serta mengikuti dermatom, didapatkan
pembesaran KGB leher. Dokter puskesmas menjelaskan bahwa Bonia terkena infeksi virus
Herpes, kemudian memberikan salep topikal dan obat minum. Ibu Bonia jadi cemas dan
bertanya kepada dokter , apakah infeksi yang dialami Bonia sama dengan infeksi virus
herpes kelamin yang pernah ia baca di internet?
Esok harinya Charles kakak Bonia mengeluhkan muncul bercak-bercak kemerahan
yang membentuk tali sandal di kedua kaki. Bercak tersebut muncul sejak dua hari yang lalu
setelah Charles menggunakan sandal berbahan karet saat berkemah. Bercak tersebut makin
lama makin merah dan semakin gatal, ibu mereka langsung membawa ke puskesmas. Dokter
kemudian melakukan pemeriksaan, didapatkan makula eritematosa berbatas tegas mengikuti
bentuk tali sendal, tampak adanya vesikel berkelompok dan tanda erosi di sekitar lesi. Dokter
kemudian memberikan obat dan edukasi agar kasus tersebut tidak berulang.

Bagaimana anda menjelaskan kasus yang terjadi pada Bonia dan Charles?

JUMP 1 : TERMINOLOGI
1. Efloresensi : Kelainan kulit yang mempunya sifat tertentu; ruam.
2. Vesikel : Suatu penonjolan kulit dengan batas tegas, berisi cairan serous dan
diameternya < 1 cm.
3. Bula : Suatu penonjolan kulit dengan batas tegas, berisi cairan serous dan
diameternya > 1 cm.
4. Makula :

JUMP 2 & 3 : RUMUSAN MASALAH & HIPOTESA


1. Mengapa Bonia mengeluh munculnya gelembung-gelembung berisi cairan di sekitar
punggung kanannya sejak 2 hari yang lalu?
Invasi Virus Varicella kemudian Menyerang ganglion anterior pada susunan saraf lalu
mengakibatkan terjadinya gangguan motorik kemudian Masuk kesirkulasi darah dan
Menjalar melalui serabut saraf sensorik ke gonglion saraf dan virus memasuki masa
laten lalu Menetap di ganglion sensori terjadi Rektivasi virus dari ganglion ke kulit area
dermatom dan munculnya gambaran erupsi yang khas untuk erupsi horpes zoster
(gelembung-gelembung berisi cairan dan vesikel).
2. Apakah ada hubungan jenis kelamin dengan penyakit yg diderita bonia?
JK= tidak ada perbedaan pada wanita dan pria
Umur= insiden paling sering pada usia 60 tahun ke atas dan 10% di usia 20 tahun ke
bawah.
3. Bagaimana hasil interpretasi pemeriksaan status dermatologis?
- Vesikel dan bula: vesikel dan bula termasuk dalam efloresensi primer (ruam kulit
yang timbul pertama kali dan tidak dipengaruhi trauma seperti garukam dan gesekan).
- Berkelompok dan unilateral: merupakan distribusi lesi yaitu lesi yang mengenai
sebelah badan dan terdapat vesikel yang berkelompok atau disebut herptiformis.
- Dengan dasar kulit yang eritematous serta mengikuti dermatom: terdapat kelainan
kulit berbatas tegas setinggi permukaan kulit berupa perubahan warna semata tanpa
penonjolan/cekungan. Eritema akibat adanya ggn pembuluh darah akibat dari dilatasi
pembuluh darah  warna kemerahan/hiperemis. Mengikuti dermatome akibat dari
infeksi primer (berlangsung 3 minggu serta terdapat gejala sistemik dan lesi dikulit),
virus menuju ganglion radiks dorsalis dan mengikuti serabut saraf tepi).
- Didapatkan pembesaran KGB leher: akibat dari virus menuju ke kelenjar limfe
regional dan mengadakan invasi pada daerah tersebut.
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya herpes zoster pada Bonia?
5. Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk Bonia?
 Obat antivirus  tiga obat antivirus oral yang disetujui oleh food and drug
administration (FDA) untuk terapi herpes zoster, flamsiklovir , valasiklovir
hidrokhlorida, asiklovir
 Kortikosteroid  prednison yang digunakan bersama asiklovir dapar mengurangi
nyeri akut.
 Analgetik pasien dengan nyeri akut menunjukkan respon baik thdp AINS
(asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak) atau analgetik non opioid (parasetamol,
tramadol, asam mefenamat). Kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau
oksikodon) untk pasien dgn nyeri kronik hebat.
 Antidepresan dan antikonvulsan penelitian- penelitian terakhir menunjukkan
bahwa kombinasi terapi asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak
awal mengurangi prevalensi NPH
6. Apakah herpes zoster yang dialami Bonia sama dengan herpes genitalia yang dibacanya
di internet?
Berbeda, herpes zoster disebabkan oleh varisela zooster, sedangkan herpes genitalia
disebabkan oleh virus herpes simplex
7. Bagaimana prognosis dan kompliksai penyakit Bonia?
Prognosis: semakin baik jika diberikan penatalaksana dini dan dapat mencegah
penularan dgn pengobatan yg tepat.
Komplikasi: yang sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH) yaitu nyeri yg
masih menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya sudah mengalami
revolusi
8. Mengapa Charles mengeluhkan muncul bercak-bercak kemerahan yang membentuk tali
sandal di kedua kaki?
9. Dx dan dd untuk charles?
Dx : DKA (dermatitis kontak alergika)
Dd: DKI (dermatitis kontak iritan), dermatitis numularis, dermatitis atipik.
10. Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk Charles?.
-Pemberian antihistamin dan juga edukasi untuk menghindari kontak dengan bahan-
bahan yang bias menimbulkan alergi
11. Bagaimana prognosis dan komplikasi penyakit Charles?
Prognosis:bergantung pada seberapa mampu pasien menghindari alergen
pencetus.Dermatitis KA dapat bersifat persisten ataupun rekuren
Komplikasi:timbulnya area hipopigmentasi atau hiperpigmentasi.terkadang dapat pula
terjadi infeksi sekunder yang dapat teratasi dengan baik apabila diberikan antibiotic
yang sesuai kausa.
JUMP 4 : SKEMA
Inflamasi pada Kulit&Kelamin

Infeksi NonInfeksi

Epidemiologi

Etiologi

Patofisiologi

Manifestasi Klinis

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Penunjang

Dx&Dd

Tata Laksana

Prognosis&Komplikasi
JUMP 5 : LEARNING OBJECTIVE
1.Penyakit Infeksi
2.Penyakit NonInfeksi
JUMP 6 :SHARING INFORMATION
JUMP 7 : GATHERING INFORMATION

PENYAKIT INFEKSI

Herpes Simpleks

Definisi Herpes Simpleks


Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I
atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab
dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan.
Epidemiologi Herpes Simpleks
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I
biasa pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasa terjadi pada dekade II atau III
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual (Handoko, 2010). Infeksi genital yang
berulang 6 kali lebih sering daripada infeksi berulang pada oral-labial; infeksi HSV tipe II
pada daerah genital lebih sering kambuh daripada infeksi HSV tipe I di daerah genital; dan
infeksi HSV tipe I pada oral-labial lebih sering kambuh daripada infeksi HSV tipe II di
daerah oral.Walaupun begitu infeksi dapat terjadi di mana saja pada kulit dan infeksi pada
satu area tidak menutup kemungkinan bahwa infeksi dapat menyebar ke bagian lain.
Etiologi Herpes Simpleks
Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan
virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media
kultur, antigenic marker dan lokasi klinis tempat predileksi. HSV tipe I sering dihubungkan
dengan infeksi oral sedangkan HSV tipe II dihubungkan dengan infeksi genital. Semakin
seringnya infeksi HSV tipe I di daerah genital dan infeksi HSV tipe II di daerah oral
kemungkinan disebabkan oleh kontak seksual dengan cara oral-genital.
infeksi HSV tipe I pada daerah labialis 80-90%, urogenital 10-30%, herpetic whitlow pada
usia< 20 tahun, dan neonatal 30%. Sedangkan HSV tipe II di daerah labialis 10-20%,
urogenital 70-90%, herpetic whitlow pada usia> 20 tahun, dan neonatal 70%.
Patogenesis Herpes Simpleks
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan bereplikasi lokal
lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus bereplikasi. Dengan penyebaran
sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi
primer HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris.
Infeksi rekuren: pengaktifan kembali HSV oleh berbagai macam rangsangan (sinar UV,
demam) sehingga menyebabkan gejala klinis. infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer,
virus menyerang ganglion saraf; dan tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit
di tempat yang sama.
Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat dideteksi dengan kenanikan
titer antibody IgG. Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan penyakit meningkat seiring
bertambahnya usia. Virus dapat menyebar melalui udara via droplets, kontak langsung
dengan lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung virus seperti ludah. Gejala yang
timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu: kulit yang lembek disertai nyeri,
parestesia ringan, atau rasa terbakar akan timbul sebelum terjadi lesi pada daerah yang
terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan demam adalah karakteristik gejala prodormal.
Gejala Klinis Herpes Simpleks
Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer, fase laten dan
infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat predileksinya pada daerah
mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan infeksi primer herpes simpleks virus tipe
II tempat predileksinya daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital.Infeksi primer
berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan sering disertai gejala sistemik,
misalnya demam, malaise dan anoreksia.Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel
berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi. Pada fase laten penderita
tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes simpleks virus dapat ditemukan dalam keadaan
tidak aktif pada ganglion dorsalis.
Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak aktif di ganglia dorsalis
menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya: demam, infeksi, hubungan seksual) lalu
mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan dan berlangsung sekitar
tujuh sampai sepuluh hari disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas, gatal dan nyeri.
Infeksi rekuren dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat lain di sekitarnya.
Pemeriksaan Penunjang Herpes Simpleks
Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan.Pada
keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV.Dengan tesTzanck dengan pewarnaan
Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.
Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau kurang.Caranya dengan membuka
vesikel dan korek dengan lembut pada dasar vesikel tersebut lalu letakkan pada gelas obyek
kemudian biarkan mongering sambil difiksasi dengan alkohol atau dipanaskan.Selanjutnya
beri pewarnaan (5% methylene blue, Wright, Giemsa) selama beberapa detik, cuci dan
keringkan, beri minyak emersi dan tutupi dengan gelas penutup. Jika positif terinfeksi
hasilnya berupa keratinosit yang multinuklear dan berukuran besar berwarna biru. Identifikasi
virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur. Tes serologi menggunakan enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) spesifik HSV tipe II dapat membedakan siapa yang
telah terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar menularkan infeksi.
Diagnosa Banding Herpes Simpleks
Herpes simpleks pada daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan impetigo
vesikobulosa.Pada daerah genital harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan ulkus
mikstum. Pada Barankin (2006) diagnosa banding HSV tipe I yaitu stomatitis aftosa, penyakit
tangan-kaki-mulut, dan impetigo.Sedangkan diagnosa banding HSV tipe II yaitu chancroid,
sifilis, dan erupsi oleh obat-obatan.
Penatalaksanaan Herpes Simpleks
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang mengandung
preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklovir
(zovirax).Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis 5x200mg per hari selama 5 hari
mempersingkat kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren.Pemberian
parenteral asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit yang
lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ dalam.
Untuk terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika pasien
mengalami rekuren enam kali dalam setahun, pertimbangkan untuk menggunakan asiklovir
400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat oles
digunakan lotion zinc oxide atau calamine.Pada wanita hamil diberi vaksin HSV sedangkan
pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir intra vena.
Komplikasi Herpes Simpleks
Komplikasinya yaitu: pioderma, ekzema herpetikum, herpeticwhithlow, herpes gladiatorum
(pada pegulat yang menular melalui kontak), esophagitis, infeksi neonatus, keratitis, dan
ensefalitis . Menurut Hunter (2003) komplikasi herpes simpleks adalah herpes ensefalitis
atau meningitis tanpa ada kelainan kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke seluruh
tubuh, ekzema herpeticum, jaringan parut, dan eritema multiforme.
Prognosis Herpes Simpleks
Pengobatan dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit
berlangsung lebih singkat dan rekuren lebih jarang.Pada orang dengan gangguan imunitas,
infeksi dapat menyebar ke organ-organ dalam dan dapat berakibat fatal. Prognosis akan lebih
baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.
Penderita HSV harus menghindari kontak dengan orang lain saat tahap akut sampai lesi
sembuh sempurna. Infeksi di daerah genital pada wanita hamil dapat menyerang bayinya, dan
wanita tersebut harus memberi tahu pada dokter kandungannya jika mereka mempunyai
gejala atau tanda infeksi HSV pada daerah genitalnya.

Herpes Zoster
Definisi
Herpes zoster adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral, sebelum timbul
manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut biasanya akan didahului oleh gejala
odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia pada Herpes zoster belum sepenuhnya diketahui,
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV) laten dari saraf tepi dan
saraf pusat. varicella zoster virus merupakan patogen utama terhadap dua infeksi klinis
utama pada manusia yaitu varicella atau chickenpox (cacar air) dan herpes zoster (cacar ular)
Epidemiologi Herpes zoster
Menurut Data Depkes pada tahun 2011-2013 Didapatkan prevalensi herpes zoster dari 13
rumah sakit pendidikan di Indonesia sepanjang 2011 hingga 2013 mencapai 2.232 kasus.
Puncak kasus terjadi pada penderita berusia 45-64 tahun dengan jumlah 851 kasus atau 37,95
persen dari total kasus herpes zoster.
Etiologi Herpes zoster
Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang menyebabkan cacar air (chicken pox) dan
herpes zoster (shingles). VZV memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Kelas : Kelas I (dsDNA)
Famili : Herpesviridae
Upafamili : Alphaherpesvirinae
Genus : Varicellovirus
Spesies : Human herpes zoster
Varicella zoster adalah virus yang hanya dapat hidup di manusia dan primata (simian).
Pertikel virus (virion) varicella zoster memiliki ukuran 120-300 nm. Virus ini memiliki 69
daerah yang mengkodekan gen tertentu sedangkan genom virus ini berukuran 125 kb (kilo-
basa). Komposisi virion adalah berupa kapsid, selubung virus, dan nukleokapsid yang
berfungsi untuk melindungi inti berisi DNA double stranded genom. Nukleokapsid memiliki
bentuk ikosahedral, memiliki diameter 100-110 nm, dan terdiri dari 162 protein yang dikenal
dengan istilah kapsomer. Virus ini akan mengalami inaktivasi pada suhu 56-60 °C dan
menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop virus ini rusak. Penyebaran virus ini dapat
terjadi melalui pernapasan dan melalui vesikel pada kulit pada penderita
Patofisiologi Herpes zoster
Virus dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion mengikuti dermatum saraf (daerah pada
kulit yang disarafi oleh satu spinal nerve) yang menimbulkan tanda dan gejala pada kulit
berupa cluster atau gerombolan benjolan yang kecil yang kemudian menjadi blister. Blister-
blister tersebut akan terisi cairan limfa dan kemudian pecah lalu menjadi krusta dan
menghilang
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Herpes zoster
Gejala awal herpes zoster yang tidak spesifik meliputi sakit kepala, demam, dan malaise.
Gejala-gejala tersebut lalu diikuti oleh sensasi nyeri terbakar, gatal, hyperesthesia atau
paresthesia pada dermatum yang terkena. Gejala yang timbul ini bisa berkembang menjadi
ringan maupun berat. Gejala herpes zoster pada anak anak lebih sering tidak menimbulkan
rasa nyeri, sedangkan pada usia lanjut cenderung lebih nyeri dan berkembang menjadi lebih
parah. Sensasi yang sering dirasakan pada dermatum dapat berupa rasa tersengat, tertusuk,
nyeri, mati rasa, maupun rasa seperti tertimpa beban berat
Cara mendiagnosis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi Tzank smear dimana untuk membedakan antara
herpes simplex virus (HSV) dan varicella zoster virus (VZV). Pemeriksaan laboratorium
untuk memeriksa IGM antibodi spesifik yang hanya muncul ketika seseorang mengalami
cacar air atau herpes zoster dan tidak muncul ketika virus dalam keadaan laten. Pada
pemeriksaan lebih canggih, dapat dilakukan dengan pemeriksaan DNA virus yang
menggunakan mikroskop elektron untuk partikel virus.
Komplikasi Herpes zoster
Presentase komplikasi yang timbul dari kasus herpes zoster adalah 7,9% postherpetic
neuralgia. 2,3% infeksi bakteri, 1,6% komplikasi okular (herpes zoster opthalmicus), 0,9%
motor neuropati, dan 0,5% neuropati motorik, 0,5% meningitis, dan 0,2% herTerapi antiviral
untuk herpes zoster dapat mengurangi waktu pembentukan
Penatalaksanaan Herpes zoster
Terapi antiviral untuk herpes zoster dapat mengurangi waktu pembentukanvesikel baru,
jumlah hari yang diperlukan untuk menjadi krusta, dan perasaan tidak nyaman atau nyeri
akut. Semakin awal antiviral diberikan, semakin efektif untuk mencegah postherpetic
neuralgia. Idealnya, terapi dimulai dalam jangka waktu 72 jam setelah onset, selama 7-10
hari. Antiviral oral berikut direkomendasikan
(Elston dkk., 2010). :
1) Acyclovir 800 mg PO 5 kali sehari selama 7-10 hari
2) Famciclovir 500 mg PO 3 kali sehari selama 7 hari
3) Valacyclovir 1000 mg PO 3 kali sehari selama 7 hari
Penelitian non randomised placebo controlled triali untuk pengobatan nyeri akut herpes
zoster menunjukan adanya pengaruh signifikan pemberian kombinasi antiviral dan analgesik
dalam jangka waktu 2-3 minggu onset untuk mencegah komplikasi postherpetic neuralgia.
Pengobatan primer untuk nyeri akut herpes zoster adalah (Elston dkk., 2010). :
1) Neuroaktif agen (contoh : antidepresan tricyclic [TCAs] Amytriptiline)
2) NSAIDs
3) Opioid Analgesic
4) Antikonvulsan
Diantara analgesik tersebut, antikonvulsan memiliki efikasi yang terendah sedangkan
Amytriptilin memiliki efikasi yang tertinggi (Elston dkk., 2010).
Masuk Rumah Sakit (MRS) direkomendasikan untuk pasien dengan keadaan berikut (Elston
dkk., 2010). :
1) Gejala berat (nyeri berat dan lesi yang blister)
2) Pesien imunocompressive
3) Presentasi atipikal (contoh : myelitis)
4) Keterlibatan 2 atau lebih dermatum
5) Superinfeksi bakteri khususnya pada wajah
6) Herpes zoster desiminata (mengenai organ lain selain kulit)
7) Keterlibatan optalmikus
8) Keterlibatan meningoensepalitis pes zoster oticus Penatalaksanaan Herpes zoster
Pencegahan Herpes zoster
Herpes zoster adalah penyakit yang dapat menular melalui cairan di dalam vesikel. Vesikel
pada pasien mudah pecah dan virus ini mudah tertular melalui udara ataupun kontak
langsung. Beberapa Institut Kesehatan di Inggris merekomendasikan untuk meliburkan
penderita herpes zoster pada perusahaan, sekolah, dan tempat umum lainnya sampai keadaan
krusta kering
Setiap orang memiliki kesempatan yang berbeda-beda untuk tertular penyakit herpes zoster.
Semakin rendah keadaan imunitas seseorang, semakin besar kesempatan untuk tertular. Di
Amerika Serikat, pemberian vaksin direkomendasikan sebagai pencegahan primer kepada ibu
hamil, infan yang lahir prematur, infan yang memiliki berat lahir rendah, dan pasien dengan
keadaan immunocompromised, dan pada lanjut usia >60 tahun. Vaksin herpes zoster yang
telah mendapatkan lisensi di Amerika Serikat adalah zostavax, varivax, dan proquad. Vaksin
ini diberikan secara intramuskular dan memiliki efikasi selama 3 tahun
VARICELLA
Definisi
Nama lain dari cacar air dan chicken pox. Merupakan infeksi akut primer oleh virus varisela-
zoster yang menyerang kulit dan mukosa berupa vesikula, klinis terdapat gejala
konstitusi (sakit kepala, malaise, demam), kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di
bagian sentral tubuh.
Etiologi
 Etiologinya adalah virus varisela zoster,
yaitu kelompok virus herpes berukuran 140-
200 m berinti DNA
 Manusia merupakan satu-satunya reservoir
yang dikenal untuk virus varisela zoster
 Virus ini hanya memiliki satu tipe serologi
dan menyebabkan infeksi primer akut
varisela, dan rekurensi/reaktivasinya yang
berupa herpes zoster (shingles)
 Tidak mungkin seseorang langsung
mengalami herpes zoster (shingles) tanpa
terkena varisela (chicken pox) terlebih dahulu
Epidemiologi
 Tersebar kosmopolit, di seluruh dunia
 Sangat menular  melalui udara (aerogen) atau kontak langsung
 Menyerang terutama pada anak (50% pada usia 5-9 tahun), namun dewasa juga dapat
terkena (lebih berat gejalanya daripada pada anak)
Gejala Klinis
 Gejala prodromal  demam tidak terlalu tinggi, malaise, nyeri kepala  pada dewasa
muncul 1 sampai 2 hari
 Gatal / pruritus
 Erupsi kulit berupa papul eritematosa dan dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
vesikel (berupa tetesan air/tear drops) dengan gambaran polimorfi
 Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta
 Daerah predileksi  daerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal ke muka
dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas
bagian atas
 Infeksi sekunder  pembesaran KGB regional
Patogenesis
 Periode inkubasi varisela berkisar antara 10-20 hari, tetapi biasanya antara 14 dan 17 hari
 Infeksi Primer
o Penularan lewat saluran
pernapasan atau kontak
langsung  replikasi
lokalisata virus  viremia 
virus menembus sel endotel
kapiler pergi ke epidermis 
bereplikasi dan merusak
epidermis
o Virus juga dapat menyebar
melalui kelenjar limfe. Pada masa inkubasi, replikasi virus terjadi di KGB regional 
virus bereplikasi dalam hati, limpa dan ganglion sensorik
 Infeksi Sekunder
o Viremia sekunder (sel MN sudah terinfeksi)  membawa virus ke kulit  dapat
timbul kelainan kulit  vesikel
o Gejala konstitusi atau prodormal juga dapat timbul saat viremia sekunder
o Jika terjadi infeksi pada ganglion radiks posterior saraf sensorik (karena virus menjadi
dorman setelah pemulihan varisela) maka akan dapat bermanifestasi sebagai herpes
zoster  terjadi pada 20% dari orang yang telah terinfeksi sebelumnya
Pemeriksaan Fisik
 Lokalisasi  terutama pada badan dan sedikit pada wajah dan ekstremitas. Mungkin juga
timbul pada mulut, palatum mole dan faring
 Efloresensi  vesikel (tetesan embun/air  tear drops) berukuran miliar sampai
lentikular, di sekitarnya terdapat daerah eritematosa. Dapat ditemukan beberapa stadium
perkembangan vesikel mulai dari eritema, vesikula, pustula, skuama hingga sikatriks
(polimorf)
Gambar: vesikel tetesan embun / air tear drops Gambar: terdapat vesikel, papul, maupun krusta

Pemeriksaan Penunjang
1. Gambaran Histopatologi  vesikula terdapat dalam epidermis, terbentuk akibat
‘degenerasi balon’, sangat sukar dibedakan dari kelainan histopatologik pada herpes zoster
dan herpes simpleks, yaitu:
a. Temuan “sel balon”  sel stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan
membesar
b. Badan inklusi (‘lipschutz’) yang tersebar dalam inti epidermis, dalam jaringan ikat dan
endotel pembuluh darah
2. Percobaan Tzanck  bahan diambil dari kerokan dasar vesikel menggunakan pewarnaan
Giemsa  akan didapati sel datia berinti banyak
3. Pemeriksaan serologis  untuk memeriksa respons pejamu yang mendeteksi antibodi
imunofluorosensi terhadap antigen membrana virus varisela-zoster (tes FAMA), dan
pemeriksaan imunosorben ikatan enzim (ELISA)  paling sensitif
Diagnosis Banding
 Herpes zoster  lesi monomorf dengan pola dermatom, nyeri, panas atau seperti rasa
terbakar
 Variola  lebih berat, lesi monomorf, penyebaran dari akral tubuh (telapak tangan dan
kaki), disebabkan oleh virus pox
Tata Laksana
 Pengobatan bersifat simtomatik  analgetik dan antipiretik seperti metampiron atau
asetaminofen
 Lokal diberikan bedak basah atau bedak kering yang mengandung salisil 2% atau mentol
2%  untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa gatal
 Infeksi sekunder  antibiotik salep atau oral
 Terapi varisela  imunokompeten:
o Anak-anak : Asiklovir 20 mg/KgBB selama 7 hari tiap 6 jam
o Dewasa : Asiklovir 5x800 mg/hari selama 7 hari
Valasiklovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari
Famsiklovir 3x200 mg/hari selama 7 hari
 Terapi varisela  immunocompromised  Asiklovir 5x800 mg/hari selam 7 hari
 Penyakit berat/wanita hamil: Asiklovir IV 10 mg/KgBB tiap 8 jam selama 7 hari
Profilaksis
 Melalui imunisasi pasif atau pemberian percobaan vaksin virus hidup yang sudah
dilemahkan
 Pemberian  globulin imun varisela zoster (VZIG, varicella zoster immune globulin) 
pada yang berumur 12 bulan atau lebih
 Pemberian secara subkutan, 0,5 ml pada yang berusia 12 bulan – 12 tahun. Pada usia > 12
tahun diberikan 0,5 ml, setelah 4-8 minggu diulangi dengan dosis yang sama
 Yang harus mendapatkan vaksinasi:
o Rutin
Anak-anak yang belum pernah menderita cacar air harus mendapat 2 dosis vaksinasi
cacar air pada usia:
 Dosis pertama: 12-15 bulan
 Dosis kedua: 4-6 tahun (bisa diberikan lebih cepat, jika jaraknya minimal 3 bulan
setelah dosis pertama)
Mereka yang berusia 13 tahun ke atas (yang belum menderita cacar air atau mendapat
vaksinasi cacar air) harus mendapat dua dosis minimal dalam jarak waktu 28 hari
o Susulan
Siapapun yang belum mendapat vaksinasi lengkap dan tidak pernah terkena cacar air
harus diberi satu atau dua dosis vaksinasi cacar air. Waktu pemberian kedua dosis ini
tergantung pada usia orangnya
 Vaksinasi cacar air dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksinasi lain
Catatan: vaksinasi “kombinasi” yang bernama MMRV dan mengandung vaksinasi MMR dan
varicella, bisa diberikan daripada dua vaksinasi secara individu pada anak usia 12 tahun ke bawah

Komplikasi
 Superinfeksi kulit bakterial sekunder yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes atau
Staphylococcus aureus  akibat ekskoriasi kulit setelah garukan
 Pada organ lain  pada anak jarang, dewasa sering  ensefalitis, pneumonia,
glomerulonefritis, karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan
darah (beberapa macam purpura)
Prognosis
Umumnya prognosis cenderung baik (dubia et bonam). Cacar air pada anak-anak bersifat
ringan namun kejadian fatal yang kadang-kadang terjadi disebabkan oleh komplikasi septik
atau ensefalitis. Angka fatalitas kasus dapat menjadi 15% pada pasien immunocompromised
dan hingga 30% pada cacar air neonatal berat bila tidak diobati dengan tepat.

SCABIES

EPIDEMIOLOGI

Penularan penyakit ini terjadi secara kontak langsung. Penyakit ini tersebar hampir diseluruh dunia
terutama pada daerah tropis dan penyakit ini endemis di beberapa negara berkembang. Di beberapa
wilayah lebih dari 50% anak-anak terinfestasi Sarcoptes scabiei.

Scabies masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Prevalensi penyakit scabies di Indonesia
adalah sekitar 6-27% dari populasi umum dan cenderung lebih tinggi pada anak-anak dan remaja
(Sungkar,1997 cit Ma’rufi, 2005). Beberapa faktor yang berperan dalam penyebaran scabies adalah :
kondisi pemukiman yang padat,

hygiene perorangan yang jelek,

 social ekonomi yang rendah,

 kebersihan lingkungan yang kurang baik,

 serta perilaku yang tidak mendukung kesehatan (Ma’rufi, 2005).

Pada daerah yang berhawa dingin dan higiene sanitasi yang kurang bagus banyak ditemukan kasus
scabies. Melihat hygiene para siswa sekolah dasar maka sangat memungkinkan sekali para siswa
tersebut untuk menderita penyakit scabies. Mengingat penyebaran penyakit ini terjadi melalui kontak
langsung dan pada kondisi populasi yang padat tinggal bersama maka kemungkinan penyebaran
penyakit ini akan dapat menginfestasi sebagian besar siswa sekolah dasar, apabila penyebarannya
tidak segera diatasi. Gejala klinis penyakit ini adalah gatal pada daerah predileksi terutama pada
malam hari. Jika para siswa menderita penyakit ini maka rasa gatal yang dialami akan dapat
mengganggu konsentrasinya dalam proses belajar, sehingga secra tidak langsung akan dapat
menurunkan prestasi belajar dari para siswa tersebut. Oleh sebab itu sangat perlu memberikan
pengobatan pada siswa yang terinfeksi guna memutus rantai penularan.

Patogenesis

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri
akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang
memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah infeksi.

Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan
lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.

Diagnosis dan Gejala Klinis

Diagnosis di buat berdasarkan gejala klinis dengan menemukan minimal 2 dari 4 tanda cardinal
penyakit scabies.

Tanda kardinalnya adalah:

1. adanya keluhan pada malam hari yang diakibatkan oleh aktifitas dari parasit,

2. Penyakit menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh
keluarga terkena infeksi.

3. Adanya terowongan atau lesi polimorf jika sudah terjadi infeksi sekunder pada tempat-tempat
predileksi,

4. Menemukan Sarcoptes scabiei. Jika memungkinkan diagnosis di buat dengan menemukan


Sarcoptes scabiei yang didapat dengan cara mencongkel/mengeluarkan.

Diagnosa dapat ditegakkan dengan menentukan 2 dari 4 tanda dibawah ini :

a. Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktifitas tungau yang lebih tinggi pada suhu
yang lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam keluarga, biasanya seluruh
anggota keluarga, begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar
tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang
seluruh anggota keluarganya terkena.

c. Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang dicurigai berwarna putih atau keabu-
abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata 1 cm, pada ujung 8 terowongan ditemukan
papula (tonjolan padat) atau vesikel (kantung cairan). Jika ada infeksi sekunder, timbul polimorf
(gelembung leokosit).

d. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik.


Penatalaksanaan skabies dibagi menjadi 2 bagian :

Penatalaksanaan secara umum. Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi secara
teratur setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan harus dicuci secara teratur
dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula dengan anggota keluarga yang beresiko
tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk
sementara waktu menghindari terjadinya kontak langsung. Secara umum meningkatkan kebersihan
lingkungan maupun perorangan dan meningkatkan status gizinya. Beberapa syarat pengobatan yang
harus diperhatikan

a. : 1) Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi pengobatan secara
serentak.

b. 2) Higiene perorangan : penderita harus mandi bersih, bila perlu menggunakan sikat untuk
menyikat badan. Sesudah mandi pakaian yang akan dipakai harus disetrika.

c. 3) Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal, kasur, selimut harus
dibersihkan dan dijemur dibawah sinar matahari selama beberapa jam.

Penatalaksanaan secara khusus.

Dengan menggunakan obat-obatan (Djuanda, 2010), obat-obat anti skabies yang tersedia dalam
bentuk topikal antara lain:

1) Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim.
Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.
Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.

2) Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam
selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadangkadang makin
gatal setelah dipakai.

3) Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane) kadarnya 1% dalam krim atau losio,
termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang
memberi iritasi. Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu
kemudian.

4) Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua efek
sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.

5) Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik dibandingkan gameksan,


efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh
diulangi setelah seminggu. Tidak anjurkan pada bayi di bawah umur 12 bulan. Evaluasi hasil
dilihat dari penurunan infeksi (tingkat kesembuhan) yaitu 2 minggu setelah dilakukan
pengobatan.

Prognosis

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta syarat pengobatan dapat
menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hiegene), maka penyakit ini memberikan prognosis
yang baik .
Pencegahan

Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan :

a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.

b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2 kali dalam
seminggu.

c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.

d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.

e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau
skabies.

f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infeksi parasit. Sebaiknya mandi dua kali
sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular pada
kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa,
namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah dilakukan
secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, langkah yang dapat diambil adalah sebagai
berikut : a. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan antiseptik.

b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan seterika panas untuk
membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.

c. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket, serta hindari pemakaian bersama sisir, mukena
atau jilbab (Depkes, 2007).

IMPECTIGO

DEFINISI
Impetigo adalah suatu infeksi/peradangan kulit yang terutama disebabkan oleh bakteri
Streptococcus pyogenes, yang dikenal dengan Streptococcus beta hemolyticus grup A
(GABHS). Kadang-kadang disebabkan oleh bakteri lain seperti Staphylococcus aureus pada
isolasi lesi impetigo. Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan
epidermis kulit.Impetigo bisa terjadi akibat trauma superficial yang membuat robekan kulit
dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis,
Skabies, Infeksi jamur, dan pada Insect bites.

ETIOLOGI

Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus Aureus atau Group A Beta Hemolitik


Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan pathogen primer pada
impetigo bulosa dan ecthyma.
KLASIFIKASI

a. Impetigo contagiosa (tanpa gelembung cairan, dengan krusta / keropeng /


koreng)

Impetigo krustosa hanya terdapat pada anak-anak, paling sering muncul di muka, yaitu di
sekitar hidung dan mulut. Jenis ini biasanya berawal dari luka warna merah pada wajah anak,
dan paling sering di sekitar hidung dan mulut. Luka ini cepat pecah, berair dan bernanah,
yang akhirnya membentuk kulit kering berwarna kecoklatan.

a. Bullous impetigo (dengan gelembung berisi cairan)


Impetigo jenis ini utamanya menyerang bayi dan anak di bawah usia 2 tahun.
Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Impetigo bulosa terdapat pada
anak dan juga pada orang dewasa, paling sering muncul di ketiak, dada, dan
punggung. Kulit di sekitar luka biasanya berwarna merah dan gatal tapi tak terasa
sakit. Luka akibat infeksi ini dapat berubah menjadi koreng dan sembuhnya lebih
lama ketimbang serangan impetigo jenis lain.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk
menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negatif. Bisa
dilanjutkan dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara
Staphylococcus dan Streptococcus.
MANIFESTASI KLINIS

a. Impetigo Krustosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di wajah, terutama
sekitar lubang hidung dan mulut, karena pada daerah tersebut dianggap sumber
infeksi. Tempat lainnya yang dapat terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak
tangan dan kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas
dapat terjadi (Boediardja, 2005; Djuanda, 2005).
Biasanya mengenai anak pra sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat
terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih
sering disebabkan oleh Streptococcus.
Kelainan kulit didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm.
Kemudian segera terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan
erosi. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan
yang memberi gambaran karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi akan melebar
sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung
membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara
autoinokulasi (Boediardja, 2005).
b. Impetigo Bulos
Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada,
punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa.
Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter 0,5cm)
kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan.
Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh.
Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya.
Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan
memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan
karena sangat rapuh (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat
menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat lokal
atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan
kulit, ketiak atau lipatan leher. Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di
dekat lesi. Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare.
Jarang sekali disetai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang.

PENATALAKSANAAN

Prinsip-prinsip penatalaksanaan antara lain :

1. Membersihkan luka yang lecet atau mengalami pengausan secara perlahan-lahan.


Tidak boleh melakukan gosokan-gosokan pada luka terlalau dalam.
2. Pemberian mupirocin secara topical merupakan perawatan yang cukup adekuat
untuk lesi yang tunggal atau daerah-daerah kecil.
3. Pemberian antibiotik sistemik diindikasikan untuk lesi yang luas atau untuk
impetigo bulosa.
4. Pencucian dengan air panas seperti pada Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
diindikasikan apabila lesi menunjukkan keterlibatan daerah yang luas.
5. Diagnosis dan penatalaksanaan yang dini dapat mencegah timbulnya sikatrik dan
mencegah penyebaran lesi.
6. Kebutuhan akan konsultasi ditentukan dari luasnya daerah yang terserang/terlibat
dan usia pasien. Neonatus dengan impetigo bulosa memerlukan konsultasi
dengan ahli neonatologi.
Medikamentosa:
Pemberian antibiotik merupakan terapi yang paling penting. Obat yang dipilih
harus bersifat melindungi dan melawan koagulasi-positif Streptococcus aureus dan
Streptococcus beta hemolyticus grup A.

2.PENYAKIT NON INFEKSI

DERMATITIS KONTAK ALERGI

DEFINISI

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh
faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi
polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan yang menempel pada kulit.

Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis
kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.1 Dermatitis kontak alergik
terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu allergen. Ini
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau tipe lambat.2

EPIDEMIOLOGI

Bila dibandingan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai
orang yang keadaan kulitnya sangat peka. Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat
kerja sebanyak 80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup tinggi yaitu
berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA
akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat kerja.

Perbedaan jenis kelamin dalam perkembangan terjadinya dermatitis kontak alergi tidak
sepeuhnya diketahui karena hanya sedikit penelitian yang mempelajari induksi sensitasi
bahan alergen pada laki-laki dan wanita.3

Angka kematian dermatitis kontak akibat kerja menurut laporan dari beberapa negara
berkisar 20-90 dari penyakit kulit akibat kerja. Ada variasi yang besar oleh karena tergantung
pada derajat dan bentuk industrialisasi suatu negara dan minat dokter kulit setempat terhadap
dermatitis kontak akibat kerja. Di Amerika Serikat penyakit kulit akibat kerja perseribu
pekerja paling banyak dijumpai berturut-turut pada pekerja pertanian 2,8%, pekerja pabrik
1,2%, tenaga kesehatan 0,8% dan pekerja bangunan 0,7%. Menurut laporan Internasional
Labour Organization terbanyak dijumpai pada tukang batu & semen 33%, pekerja rumah
tangga 17% dan pekerja industri logam dan mesin 11% sedangkan tenaga kesehatan 1%.4

ETIOLOGI

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<
1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses disebut hapten, bersifat lipofilik,
sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis
dibawahnya (sel hidup). Faktor penunjang yang mempermudah timbulnya dermatitis kontak
tersebut yaitu potensi sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, status imunologik, suhu udara, kelembaban lingkungan.1

Dupuis dan Benezra membagi jenis -jenis hapten berdasarkan fungsinya yaitu:

1. Asam, misalnya asam maleat.

2. Aldehida, misalnya formaldehida.

3. Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin.

4. Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah.

5. Ester, misalnya Benzokain

6. Eter, misalnya benzil eter

7. Epoksida, misalnya epoksi resin

8. Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida.

9. Quinon, misalnya primin, hidroquinon.

10. Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+.

11. Komponen tak-larut, misalnya terpentin

PATOGENESIS

Gambar 1. Mekanisme dermatitis kontak alergi 5


Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun yang
diperantarai oleh sel atau reaksi imunologik tipe IV suatu hipersensitivitas tipe lambat. 1,6
Reaksi ini melalu dua fase yaitu fase sensitisasi dan fase eksitasi. Hanya individu yang telah
mengalami sensitasi dapat menderita DKA.1

Terdapat dua tahap dalam terjadinya dermatitis kontak alergik, yaitu tahap induksi
(sensitivitasi) dan tahap elisitasi.1,2

Fase Sensitisasi

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel
Langerhans dengan cara pinositosis dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lenkap. Setelah keratinosit terpajan
oleh hapten, akan melepaskan IL-1 yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu
menstimulasi sel-T.1 Di kelenjar limfe, kompleks yang terbentuk akan merangsang sel
limfosit T di daerah parakorteks untuk memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi sel T
efektor dan memori.7 Interleukin 2 yang dihasilkan oleh sel T akibat pelepasan IL-1 oleh sel
Langerhans akan mengakibatkan proliferasi sel T memori yang akan bersirkulasi ke seluruh
tubuh dan akan memasuki fase eksitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses
ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit.1

Fase elisitasi

Fase kedua hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang alergen (hapten).
Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara
kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.
Selanjutnya kompleks HLA-DR antigen akan dipresntasikan kepada sel T yang terlah
tersensitisasi (sel T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses
aktifasi.1
Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi
Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan
merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang
langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi
dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti
eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.4

TANDA DAN GEJALA

Keluhan yang umum dirasakan penderita adalah gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang
berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesike, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya
kelopak mata, penis, skrotum eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang
kronis terlihat kulit kering berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas.1

1.Fase akut.

Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak dengan bahan
penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat.
Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat selain
eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula yang bila pecah akan
terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan
subyektif berupa gatal.

2.Fase Sub Akut

Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada maka proses akut
akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan terlihat eritema, edema ringan, vesikula,
krusta dan pembentukan papul-papul.

3.Fase Kronis

Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut yang hilang timbul
karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit
berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi,
krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk
kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang
tidak dikenal.

Berbagai lokasi terjadinya DKA

Tangan:
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di tangan, misalnya pada
ibu rumah tangga. Sebagian besar dermatitis pada tangan disebabkan oleh bahan iritan. Bahan
penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan pestisida.

Lengan:

Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan (nikel), sarung
tangan karet, debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya oleh deodorant, antiperspirant.

Wajah

Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, obat topikal, alergen yang
ada di udara, nikel (tangkai kaca mata). Pada bibir dan disekitar bibir dapatdisebabkan oleh
lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh
cat kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.

Telinga

Sering kali disebabkan oleh anting atau jepit telinga terbuat dari nikel. Penyebab lainnya
meliputi obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut dan alat bantu pendengaran.

Leher dan Kepala

Pada leher penyebabnya antara lain kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian. Kulit kepala relatif tahan terhadap alergen
kontak, namun pada keadaan tetentu dapat terjadi dermatitis akibat cat rambut, hair spray,
shampo atau larutan pengeriting rambut.

Badan

Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastik dan
deterjen.

Genitalia

Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita dan alergen
yang berada di tangan.

Paha dan tungkai bawah

Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal
(anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan sepatu.

DIAGNOSIS

Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetik, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi.
Anamnesis

Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya.
Karena hal ini penting dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah
kekambuhan. Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan
pasien.

Pemeriksan Fisik

Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan
pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah.
Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat
meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah
tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi regional
diagnosis regional akan sangat membantu penegakan diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang

Kelainan kulit pada DKA seringkali tidak menunjukkan gambaran morfologi yang khas,
dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang terutama ialah DKI. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk dapat memastikan apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.

Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah pemeriksaan patch test (uji tempel).1
Uji tempel digunakan untuk alergen dengan BM rendah yang dapat menembus stratum
korneum yang utuh (membran barier kulit yang intak).4

Kriteria diagnosis dermatitis kontak alergik adalah :

1. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa kali atau
satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa.

2. Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada tempat kontak.

3. Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dan lain tempat yang serupa
dengan tempat kontak tetapi lebih ringan serta timbulnya lebih lambat, yang
tumbuhnya setelah pada tempat kontak.

4. Rasa gatal

5. Uji tempel dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.

DIAGNOSIS BANDING

A. Dermatitis atopik

Erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat -tempat tertentu seperti lipat siku, lipat
lutut dise rtai riwayat atopi padapenderita atau keluarganya. Penderita dermatitis atopik
mengalami efek padasisitem imunitas seluler, dimana sel TH2 akan memsekresi IL-4 yang
akanmerangsang sel Buntuk memproduksi IgE, dan IL-5 yang merangsangpembentukan
eosinofil. Sebaliknya jumlah sel T dalam sirkulasi menurun dankepekaan terhadap alergen
kontak menurun.

B. Dermatitis numularis

Merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif dengan lesi berukuran sebesar uang logam
dan umumnya berlokasi pada sisi ekstensor ekstremitas.

C. Dermatitis dishidrotik

Erupsi bersifat kronik residif, sering dijumpai pada telapak tangan dan telapak kaki, dengan
efloresensi berupa vesikel yang terletak di dalam.

D. Dermatomikosis

Infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur denganefloresensi kulit bersifat polimorf, berbatas
tegas dengan tepi yang lebih aktif.

E. Dermatitis seboroik

Bila dijumpai pada muka dan aksila akan sulit dibedakan. Pada muka terdapat di sekitar alae
nasi, alis mata dan di belakang telinga.

F. Liken simplek kronikus

Bersifat kronis dan redisif, sering mengalami iritasi atau sensitisasi. Harus dibedakan dengan
dermatitis kontak alergik bentuk kronik.

G. Dermatitis Kontak Iritan

Perbedaan DKA dan DKI

Perbedaan DKI DKA

Keluhan Itching, smarting, Nyeri, itching


stinging,nyeri

Batas tegas, terbatas pada Lesi dapat melebihi


daerah yang terpapar bahan daerah yang terpapar
Lesi iritan nahan alergen, biasanya
berupa vesikel yang
kecil
Bahan Bahan iritan, tergantung Bahan alergen, tidak
pada konsentrasi dan letak tergantung konsentrasi
kulit yang terpapar, semua bahan, hanya pada orang
orang bisa kena yang mengalami
hipersensitifitas

Reaksi yang Akibat kerusakan jaringan Proses reaksi


muncul hipersensitivitas tipe 4

PENATALAKSANAAN

A. Non medikamentosa

1. Pada prinsipnya penatalaksanaan dermatitis kontak alergik


adalah dengan mengidentifikasikan penyebab dan menghindari
penyebab tersebut, terapi individual yang sesuai dengan tahap
penyakitnya, dan perlindungan terhadap kulit.

2. Pasien disarankan untuk melakukan pencegahan, antara lain


dengan cara penggantian asesoris yang berbahan nikel dengan bahan
lainyang tidak menyebabkan alergi, penggunaan detergen sesuai
petunjuk, dan mengganti sarung tangan karet dengan sarung tangan
plastic.

3. Tidak menggaruk atau menambah luka pada daerah lesi.

B. Medikamentosa

1. Topikal

Medikamentosa topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip umum pengobatan dermatitis
yaitu bila basah diberikan terapi basah (kompres terbuka), bila kering diberikan terapi kering.
Medikamentosa saja dapat diberikan pada kasus-kasus ringan.

a. Kortikosteroid

Mempunyai peran penting dalam sistem imun. Pemberian secara topikal akan menghambat
fase sensitisasi dan elitisasi. Steroid menghambat ektivasi dan proliverasi spesifik antigen.2

Cara pemakaian topikal dengan menggosok secara lembut pada daerah lesi. Untuk
meningkatkan penetrasi obat dan mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara
tertutup dengan film plastik selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek
samping berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.2,4

b. Radiasi ultraviolet

Paparan ultraviolet mneyebabkan hilangnya fungsi sel Langerhans dan menginduksi


timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum tulang yang dapat mengaktivasi sel
T supresor. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel
langehans (CDI dan HLA-DR), sehingga menghilangkan fungsi penyaji antigennya.
Kombinasi 8-methoxy-psoralen dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi peradangan dan
imunitis. Secara imunologis dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis,
menurunkan jumlah sel Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi
mononuklear.

Fase induksi dan elisitasi dapat diblok oleh UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF
maka jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan sel
Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi ICAM-1 pada keratinosit
dan sel Langerhans.2,4

c. Siklosporin A

Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari hipersensitivitas kontak pada


marmut percobaan, tapi pada manusia hanya memberikan efek minimal, mungkin disebabkan
oleh kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis atau dermis.2

d. Imunosupresif topikal

Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus) dan SDZ ASM
981. Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi sel T melalui penurunan sekresi
sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap sitokin eksogen lain. Hal ini
akan mengurangi peradangan kulit dengan tidak menimbulkan atrofi kulit dan efek samping
sistemik.2

SDZ ASM 981 merupakan derivat askomisin makrolatum yang berefek anti inflamasi yang
tinggi. Pada konsentrasi 0,1% potensinya sebanding dengan kortikosteroid klobetasol-17-
propionat 0,05% dan pada konsentrasi 1% sebanding dengan betametason 17-valerat 0,1%,
namun tidak menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang diajurkan adalah 1%. Efek anti
peradangan obat tersebut tidak mengganggu respon imun sistemik dan penggunaan secara
topikal sama efektifnya dengan pemakaian secara oral.2

2. Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema, juga pada kasus-
kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik.

a. Antihistamin

Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek sedatifnya. Ada yang
berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang
berpendapat dengan adanya reaksi antigen-antobodi terdapat pembebasan histamin, serotonin,
SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.2,4,5

b. Kortikosteroid
Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral, intramuskular atau intravena.
Pilihan terbaik adalah prednison dan prednisolon. Bila diberikan dalam waktu singkat maka
efek sampingnya akan minimal. Efek sampingnya terutama pertambahan berat badan,
gangguan gastrointestinal dan perubahan dari insomnia hingga depresi.2,4,5

Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1


dan HLA- DR pada sel Langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit T dan
menghambat sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.1,2,4

c. Siklosporin

Mekanisme kerja siklosporin adalah menghambat fungsi sel T penolong dan menghambat
produksi sitokin terutama IL-2, INF-r, IL-1 dan IL-8. Mengurangi aktivitas sel T, monosit,
makrofag dan keratinosit serta menghambat ekspresi ICAM-1.2

d. Pentoksifilin

Bekerja dengan menghambat pembentukan TNF-a, IL-2R dan ekspresi ICAM-1 pada
keratinosit dan sel Langerhans. Merupakan derivat teobromin yang memiliki efek
menghambat peradangan.2

e. FK 506 (Takrolimus)

Bekerja dengan menghambat respon imunitas humoral dan selular. Menghambat sekresi IL-
2R, INF-r, TNF-a, GM-CSF . Mengurangi sintesis leukotrin pada sel mast serta pelepasan
histamin dan serotonin. Dapat juga diberikan secara topikal.2

Prognosis

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah penyebab dermatitis
kontak, kapan terapi mulai dilakukan, apakah pasien sudah menghindari faktor pencetusnya,
terjadinya kontak ulang dan adanya faktor individual seperti atopi.

Dengan adanya uji tempel maka prognosis dermatitis kontak alergik lebih baik daripada
dermatitis kontak iritan dan DKI yang akut lebih baik daripada DKI kronis yang bersifat
kumulatif dan susah disembuhkan.
Alergi Kulit

Definisi Alergi

The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah menyampaikan revisi
nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara global. Alergi adalah reaksi
hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. Pada keadaan normal
mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B
dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan
suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri
berarti gejala atau tanda yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh
pajanan terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang
normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga

reaksi anafilaktik atau reaksi alergi.

Etiologi Alergi

Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan
banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Antibiotik dapat menimbulkan reaksi
alergi anafilaksis misalnya penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin,
streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu
anestesi lokal seperti prokain atau lidokain serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan
atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga
dapat menyebabkan reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur
diagnosis dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloilpolilisin. Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran
tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti gamaglobulin dan
kriopresipitat juga dapat merangsang mediator alergi sehingga timbul manifestasi

Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan maturitas
mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu),
contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan manifestasi
penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap asing oleh mukosa
usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna
oleh enzim

pencernaan kemudian menimbulkan hipersensitivitas.

Epidemiologi Alergi

Prevalensi penyakit alergi terus meningkat secara dramatis di dunia, baik di negara maju
maupun negara berkembang, terlebih selama dua dekade terakhir. Diperkirakan lebih dari
20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi alergi seperti asma, rinokonjungtivitis,
dermatitis atopi atau eksema dan anafilaksis. WHO memperkirakan alergi terjadi pada 5-15%
populasi anak di seluruh dunia. Pada fase 3 dari studi yang dilakukan oleh International Study
of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) pada tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa
prevalensi asma bronkial, rhinitis alergi dan dermatitis atopik cenderung meningkat di
sebagian besar lembaga dibandingkan data 5 tahun sebelumnya.

Pada tahun pertama kehidupan bayi dengan kadar IgE <0,1 IU/ml, manifestasi alergi yang
sering dijumpai adalah atopi simptom (40%), dermatitis atopi (35,3%), rhinitis
alergi/hipersekresi nasal (15,4%), asma/”wheezy infant (7,7%), gangguan gastrointestinal
(7,7%), dan konjungtivitis alergi (1,5%). Dermatitis atopi merupakan manifestasi awal
penyakit atopi dengan insiden tertinggi pada 3 bulan pertama kehidupan dan mencapai
prevalensi tertinggi selama 3 tahun pertama kehidupan. The Copenhagen Prospective Study
on

Asthma in Childhood (COPSAC) melaporkan dermatitis atopi pertama kali dijumpai pada
usia 1 bulan, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 2,5 tahun.

Manifestasi klinis Alergi

Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ target yang terkena.
Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi, ditandai dengan
reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan
predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Lesi yang paling
menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta
dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi
gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu.
Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan nasal pruritis, rinorea,
hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis.

Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan dengan gejala nyeri
perut kolik, muntah, diare. Jika reaksi alergi terjadi sistemik dapat terjadi syok anafilaksis.

Penyakit alergi pada mata juga dapat dijumpai pada bayi namun dengan presentase kecil.
Secara klinis ditandai dengan mata berair, hiperemia konjungtiva, gatal mata, bayi
menunjukkan gerakan menggosok mata. Gejala muncul setidaknya 2 minggu dan tidak ada
hubungannya dengan infeksi.

Diagnosis Alergi

Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dengan melakukan

anamnesis. Anamnesis diperjelas dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan

sensitivitas IgE, tes pada kulit atau allergen specific serum IgE measurements (RAST).

Skin-prick testing (SPT) dilakukan dengan ekstrak alergen, diujikan pada kulit. Pemeriksaan
darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik (RAST). Pemeriksaan IgE total
digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan. IgE meningkat pada
penyakit alergi dan juga non alergi seperti infestasi parasit, sehingga kurang spesifik.
Sedangkan pemeriksaan IgE spesifik untuk mengukur IgE spesifik alergen dalam serum
pasien.

Adapun pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi

adalah skrining antibody IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation
test (CAST).

Penatalaksanaan

Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan immunotherapy. Untuk
terapi farmakologi dengan obat anti inflamasi non steroid, anti histamin, steroid, teofilin atau
epinefrin. Sedangkan immunotherapy atau

yang juga dikenal dengan suntikan alergi, pasien diberikan suntikan berulang dari alergen
untuk mengurangi IgE pada sel mast dan menghasilkan IgG.

ACNE VULGARIS
Pengertian
Acne Vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit peradangan kronis dari folikel pilosebasea
yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista, dan pustula (Tahir, 2010).
Klasifikasi
Selama ini, tidak terdapat standar internasional untuk pengelompokan dan sistem grading
pada acne. Hal ini sering menimbulkan kesulitan dalam pengelompokan acne. Saat ini,
terdapat lebih dari 20 metode yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan
acne.
Klasifikasi acne yang paling ‘lampau’ adalah klasifikasi oleh Pillsburry pada tahun 1963
yang mengelompokkan acne menjadi 4 skala berdasarkan perkiraan jumlah, tipe lesi, luas
dan kulit yang terlibat (Barratt dkk., 2009).
Berdasarkan keparahan klinis akne vulgaris dibagi menjadi ringan, sedang dan berat.
Klasifikasi dari bagian Ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI / RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusomo sebagai berikut : (Djuanda, 2007).
a. Ringan, bila:
- beberapa lesi tidak beradang pada 1 predileksi
- sedikit lesi tidak beradang pada beberapa tempat predileksi
- sedikit tempat beradang pada 1 predileksi.
b. Sedang, bila:
- banyak lesi tidak beradang pada 1 predileksi
- beberapa lesi tidak beradang pada beberapa tempat predileksi
- beberapa lesi beradang pada 1 predileksi.
c. berat, bila:
- banyak lesi tidak beradang pada 1 predileksi.
- banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi.
Epidemiologi
Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka sering dianggap sebagai
kelainan kulit yang timbul secara fisiologis dan pada masa remajalah Acne Vulgaris
menjadi salah satu problem. Umumnya prevalensi jerawat 80-100% pada usia dewasa muda
yaitu 14-17 tahun pada wanita dan 16-19 tahun pada pria. Diketahui pula bahwa ras
Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita Acne Vulgaris dibanding dengan ras
Kaukasia (Eropa dan Amerika) dan lebih sering terjadi nodulo-kistik pada kulit putih
daripada Negro (Wasiaatmadja, 2007).
Pada umumnya banyak remaja yang bermasalah dengan jerawat, bagi mereka jerawat
merupakan gangguan psikis (Ayudianti & Indramaya, 2010). Sedangkan menurut Catatan
Kelompok Studi Dermatologi Kosmetika Indonesia menunjukkan terdapat 60% penderita
Acne Vulgaris pada tahun 2006 dan 80% pada tahun 2007 (Kabau, 2012).
Etiopatogenesis
Etiologi Acne Vulgaris belum diketahui secara pasti. Secara garis besar terdapat empat
faktor yang berperan dalam patogenesis Acne Vulgaris yaitu:
1. Peningkatan produksi sebum
Acne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu kelenjar sebasea
membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak dari sebelumnya. Terdapat
korelasi antara keparahan acne dengan produksi sebum. Pertumbuhan kelenjar
sebasea dan produksi sebum berada di bawah pengaruh hormon androgen. Pada
penderita acne terdapat peningkatan konversi hormon androgen yang normal
beredar dalam darah (testoteron) ke bentuk metabolit yang lebih aktif (5>alfa
dehidrotestoteron).
Hormon ini mengikat reseptor androgen di sitoplasma dan akhirnya menyebabkan
proliferasi sel penghasil sebum. Meningkatnya produksi sebum pada penderita acne
disebabkan oleh respon organ akhir yang berlebihan (end-organ hyperresponse)
pada kelenjar sebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah, sehingga terjadi
peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik sebagai penyebab terjadinya
acne. Terbukti bahwa pada kebanyakan penderita, lesi acne hanya ditemukan di
beberapa tempat yang kaya akan kelenjar sebasea.
2. Keratinisasi folikel
Keratinisasi pada saluran pilosebasea disebabkan olah adanya penumpukan
korneosit dalam saluran pilosebasea. Hal ini dapat disebabkan oleh bertambahnya
produksi korneosit pada saluran pilosebasea, pelepasan korneosit yang tidak
adekuat, atau dari kombinasi kedua faktor. Bertambahnya produksi korneosit dari sel
keratinosit merupakan salah satu sifat komedo. Terdapat hubungan terbalik antara
sekresi sebum dan konsentrasi asam linoleik dalam sebum. Dinding komedo lebih
mudah ditembus bahan–bahan yang dapat menimbulkan peradangan. Walaupun
asam linoleik merupakan unsur penting dalam seramaid-1, lemak lain mungkin juga
berpengaruh pada patogenesis acne. Kadar sterol bebas juga menurun pada komedo
sehingga terjadi keseimbangan antara kolesterol bebas dengan kolesterol sulfat,
sehingga adhesi korneosit pada akroinfundibulum bertambah dan terjadi retensi
hiperkeratosis folikel.
3. Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium acnes Terdapat tiga macam
mikroba yang terlibat pada patogenesis acne adalah Corynebacterium Acnes
(Proprionibacterium Acnes), Staphylococcus epidermidis dan Pityrosporum ovale
(Malassezia furfur). Adanya seborea pada pubertas biasanya disertai dengan kenaikan
jumlah Corynebactirium Acnes, tetapi tidak ada hubungan antara jumlah bakteri pada
permukaan kulit atau dalam saluran pilosebasea dengan derajat hebatnya acne. Dari
ketiga macam bakteri ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis acne.
Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang hidup sedangkan pada
lesi yang lain mikroorganisme mungkin memegang peranan penting. Bakteri mungkin
berperan pada lamanya masing– masing lesi. Apakah bakteri yang berdiam di dalam
folikel (resident bacteria) mengadakan eksaserbasi tergantung pada lingkungan mikro
dalam folikel tersebut.
Menurut hipotesis Saint-Leger, skualen yang dihasilkan oleh kelanjar sebasea dioksidasi
di dalam folikel dan hasil oksidasi ini menjadi penyebab terjadinya komedo. Kadar
oksigen dalam folikel berkurang dan akhirnya terjadi kolonisasi Corynebacterium
Acnes. Bakteri ini memproduksi porfirin, yang bila dilepaskan dalam folikel akan
menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi skualen sehingga oksigen dan tingginya
jumlah bakteri ini dapat menyebabkan peradangan folikel. Hipotesis ini dapat
menerangkan bahwa acne hanya dapat terjadi pada beberapa folikel sedangkan folikel
yang lain tetap normal
4. Inflamasi
Faktor yang menimbulkan peradangan pada acne belum diketahui dengan pasti.
Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan produk yang dihasilkan oleh
Corynebacterium Acnes, seperti lipase, hialuronidase, protease, lesitinase, dan
neuramidase, memegang peranan penting pada proses peradangan. Faktor kemotatik
yang berberat molekul rendah (tidak memerlukan komplemen untuk bekerja aktif) bila
keluar dari folikel dapat menarik leukosit nukleus polimorf (PMN) dan limfosit. Bila
masuk ke dalam folikel PMN dapat mencerna Corynebacterium Acnes dan
mengeluarkan enzim hidrolitik yang bisa menyebabkan kerusakan dari folikel
pilosebasea. Limfosit dapat merupakan pencetus terbentuknya sitokin.
Bahan keratin yang sukar larut yang terdapat di dalam sel tanduk serta lemak dari
kelenjar sebasea dapat menyebabkan reaksi non spesifik yang disertai oleh mekrofag
dan sel–sel raksasa. Pada fase permulaan peradangan yang ditimbulkan oleh
Corynebacterium Acnes, juga terjadi aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif
(classical and alternative complement pathways). Respon pejamu terhadap mediator
juga amat penting. Selain itu antibodi terhadap Corynebacterium Acnes juga
meningkat pada penderita acne yang berat (Tahir, 2010).
Menurut Pindha (dalam Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya acne adalah:
a. Faktor genetik.
Faktor genetik memegang peranan penting terhadap kemungkinan seseorang
menderita acne. Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa acne terjadi pada 45%
remaja yang salah satu atau kedua orang tuanya menderita acne, dan hanya 8%
bila ke dua orang tuanya tidak menderita acne. (Ayudianti & Indramaya, 2010)
b. Kebersihan wajah.
Meningkatkan perilaku kebersihan diri dapat mengurangi kejadian Acne Vulgari
pada remaja (Nami, 2009).
c. Faktor ras.
Warga Amerika yang berkulit putih lebih banyak menderita acne dibandingkan
dengan ras yang berkulit hitam dan acne yang diderita lebih berat dibandingkan
dengan orang Jepang.
d. Hormonal
Hormonal dan keringat yang berlebih dapat mempengaruhi keparahan dari acne.
Beberapa faktor fisiologis seperti menstruasi dapat mempengaruhi timbulnya atau
memperparah acne. Rata-rata 60-70% wanita yang mengalami masalah acne
menjadi lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi dan menetap sampai
seminggu setelah menstruasi dan lesi acne menjadi lebih aktif rata-rata satu
minggu sebelum menstruasi yang disebabkan oleh hormon progesteron. Hormon
estrogen dalam kadar tertentu dapat menghambat pertumbuhan acne karena
hormon tersebut dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari
kelenjar hipofisis dan hormon Gonadotropin mempunyai efek menurunkan
produksi sebum sehingga dapat menghambat pertumbuhan Acne Vulgaris
(Nguyen dkk.,2007).
e. Diet
Tidak ditemukan adanya hubungan antara acne dengan asupan total kalori dan
jenis makanan, karena hal tersebut tidak dapat menimbulkan acne tetapi
mengkonsumsi coklat dan makanan berlemak secara berlebihan dapat
memperparah terjadinya Acne Vulgaris.
f. Iklim.
Cuaca yang panas dan lembab dapat memperparah acne. Hidrasi pada stratum
koreneum epidermis dapat merangsang terjadinya acne dan pajanan sinar
matahari yang berlebihan dapat memperburuk acne.
g. Lingkungan
Acne lebih sering ditemukan dan gejalanya lebih berat di daerah industri dan
pertambangan dibandingkan dengan di pedesaan.
h. Stres.
Acne dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita stres emosional.
Mekanisme yang tepat dari proses acne tidak sepenuhnya dipahami, namun lebih sering
disebabkan oleh sebum berlebih, hiperkeratinisasi folikel, stres oksidatif dan peradangan.
Selain itu androgen, mikroba dan pengaruh pathogenetic juga bekerja dalam proses
terjadinya acne (Thiboutot, 2008).
Manifestasi Klinis
Lesi utama acne adalah mikrokomedo atau mikrokomedone, yaitu pelebaran folikel
rambut yang mengandung sebum dan P. acnes. Sedangkan lesi acne lainnya dapat berupa
papul, pustul, nodul, dan kista. Predileksi acne yaitu pada wajah, bahu, dada, punggung,
dan lengan atas. Komedo yang tetap berada di bawah permukaan kulit tampak sebagai
komedo white head, sedangkan komedo yang bagian ujungnya terbuka pada permukaan
kulit disebut komedo black head karena secara klinis tampak berwarna hitam pada
epidermis (Baumann dan Keri, 2009 ; Sukanto dkk., 2005).
Acne baik itu ada atau tidak adanya inflamsi dapat menimbulkan scar. Scar karena
acne terdiri dari empat tipe yaitu, scar icepick, rolling, boxcar dan hipertropik. Scar icepick
adalah scar yang dalam dan sempit, dengan bagian terluasnya berada pada permukaan kulit
dan semakin meruncing menuju satu titik ke dalam dermis. Scar rolling adalah scar yang
dangkal, luas, dan tampak memiliki undulasi. Scar boxcar adalah scar yang luas dan
berbatas tegas. Tidak seperti scar icepick, lebar permukaan dan dasar scar boxcar adalah
sama. Pada beberapa kejadian yang jarang, terutama pada truncus, scar yang terbentuk
dapat berupa scar hipertropik (Zaenglein dkk., 2008).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding Acne Vulgaris antara lain yaitu:
a. Erupsi akneiformis
Disebabkan oleh obat (kortikosteroid, INH, barbiturat, yodida, bromida, difenil
hidantoin). Berupa erupsi papulo pustul mendadak tanpa adanya komedo dihampir
seluruh tubuh, dapat disertai demam.
b. Acne rosasea adalah peradangan kronis kulit, terutama wajah dengan predileksi di
hidung dan pipi. Gambaran klinis acne rosasea berupa eritema, papul, pustul, nodul,
kista, talengiektasi dan tanpa komedo.
c. Dermatitis perioral adalah dermatitis yang terjadi pada daerah sekitar mulut sekitar
mulut dengan gambaran klinis yang lebih monomorf
d. Moluskulum kontagiosum merupakan penyakit virus, bila lesinya di daerah seborea
menyerupai komedo tertutup.
e. Folikulitis adalah peradangan folikel rambut yang disebabkan oleh Staphylococcus
sp. Gejala klinisnya rasa gatal dan rasa gatal di daerah rambut berupa makula
eritem disertai papul atau pustul yang ditembus oleh rambut (Afriyanti, 2015)
Diagnosis
Diagnosis Acne Vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Keluhan
penderita dapat berupa gatal atau sakit, tetapi pada umumnya keluhan penderita lebih
bersifat kosmetik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka
maupun komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan diagnosis Acne
Vulgaris (Wolff dan Johnson, 2009). Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul, nodul
dan kista pada daerah–daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar lemak. Secara
umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi untuk penderita Acne
Vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya hyperandrogenism (Zaenglein dkk., 2008).
Pengobatan Acne Vulgaris
Pengobatan acne dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:.
a) Pengobatan topikal
Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan
peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri atas: bahan iritan
yang dapat mengelupas kulit, antibiotika topikal yang dapat mengurangi jumlah
mikroba dalam folikel Acne Vulgaris, anti peradangan topikal dan lainnya seperti atil
laktat 10% yang untuk menghambat pertumbuhan jasad renik (Burns dkk.,2005).
b) Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik dilakukan terutama untuk menekan pertumbuhan jasad renik di
samping itu juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum dan
mempengaruhi perkembangan hormonal. Golongan obat sistemik terdiri atas: anti
bakteri sistemik, obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara
kompetitif menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea, vitamin A dan retinoid
oral sebagai antikeratinisasi dan obat lainnya seperti anti inflamasi non steroid (Burns
dkk.,2005).
Pencegahan Acne Vulgaris
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari jerawat adalah sebagai berikut:
a) Menghindari terjadinya peningkatan jumlah lipis sebum dengan cara diet rendah
lemak dan karbohidrat serta melakukan perawatan kulit untuk membersihkan
permukaan kulit dari kotoran.
b) Menghindari terjadinya faktor pemicu, misalnya pola hidup sehat, olahraga teratur,
hindari stres, penggunaan kosmetika secukupnya, menghindari memicu terjadinya
kelenjar minyak berlebih misalnya minuman keras, pedas, dan rokok.
c) Memberikan informasi yang cukup pada penderita mengenai penyebab penyakit,
pencegahan dan cara maupun lama pengobatannya serta prognosisnya
(Wasitaatmadja, 2007).
Prognosis Acne Vulgaris
Umumnya prognosis acne baik dan umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30-40an.
Acne Vulgaris jarang terjadi sampai gradasi yang sangat berat sehingga memerlukan rawat
inap di Rumah Sakit (Wasitaatmadja, 2007).
Psoriasis

Definisi

Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronis dengan karakteristik berupa plak
eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis, dan berwarna putih keperakan. Penyakit
ini bersifat kronis dan rekuren, dimana pasien akan terus mengalami periode remisi dan
eksaserbasi secara bergantian. Psoriasis dikenal sebagai penyakit autoimun paling prevalen
yang disebabkan oleh aktivasi berlebihan dari sistem imunitas seluler.

Epidemiologi

Psoriasis menyerang sekitar 2% - 3% populasi dunia, dimana laki-laki dan perempuan


memiliki kemungkinan terkena yang sama besar. Ras Asia memiliki angka prevalensi
psoriasis yang cukup rendah yakni sekitar 0,4%. Psoriasis jarang muncul pada usia dibawah
10 tahun dan usia puncaknya adalah sekitar 15 – 30 tahun.

Faktor Pencetus

Psoriasis dianggap sebagai penyakit autoimun, namun antigen pemicunya hingga kini belum
dapat diidentifikasi. Faktor predisposisi genetik yang kompleks ditambah dengan faktor
pemicu dari lingkungan dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini. Belakangan telah
dilaporkan bahwa fenomena genetik yang bertanggung jawab atas timbulnya psoriasis adalah
mutasi pada gen caspase recruitment domain 14 (CARD14) yang berfungsi mengkode
protein untuk fosforilasi BCL10, promotor apoptosis, dan mengaktivasi NF-kB.

Faktor lingkungan yang dapat memicu psoriasis antara lain adalah infeksi viral dan bakterial
seperti HIV dan faringitis streptokokal. Trauma fisik (respons Koebner), tingkat stres yang
berlebihan, obesitas, serta konsumsi obat-obatan seperti beta bloker, ACE inhibitor, lithium
dan hidroksiklorokuin juga telah diasosiasikan dengan timbulnya psoriasis.

Gambaran Klinis

psoriasis akan menimbulkan gejala berupa perubahan pada kulit, yaitu:


 muncul ruam yang tampak seperti bercak berwarna merah
 ruam tersebut terasa kering dan tebal
 ruam bersisik dan berwarna putih keperakan
 ruam menyebabkan kulit pecah-pecah dan mudah berdarah

ruam kulit pada psoriasis terasa gatal, nyeri, dan perih seperti terbakar. ruam ini biasanya
muncul padda daerah siku, lutut, tangan, kaki, leher, kepala, wajah, dan kulit kepala. selain
menimbulkan keluhan pada kulit, psoriasis juga dapat menimbulkan keluhan pada kuku dan
sendi. kuku penderita psoriasis akan menebal dan penderita akan mengalami radang sendi
(psoriasis arthritis).

gejala psoriasis juga dapat bervariasi tergantung jenis psoriasis yang diderita. jenis psoriasis
yang paling sering adalah psoriasis plak. kondisi ini ditandai dengan bercak merah kering dan
bersisik. ruam juga dapat menyerupai tetesan air, yang merupakan tanda psoriasis gutata.
selain psoriasis plak dan psoriasis gutata, ada juga psoriasis pustular. psoriasis pustular yaitu
ruam kulit yang muncul nanah/pus.

Diagnosis

biasanya dari anamnesa dan manifestasi klinis yang muncul dapat langsung ditegakkan
diagnosisnya. tapi jika membutuhkan kepastian diagnosisnya, maka dapat dilakukan biopsi
yang kemudian akan diperiksa di laboratorium. tujuannya untuk lebih memastikan jenis
psoriasis yang diidap dan sekaligus menghapus didiagnosis bandingnya deperti dermatitis
seboroik. apabila pasien diduga memiliki gejala psoriasis arthritis maka dapat dilakukan
pemeriksaan rontgen pada sendi yang terkena.

Pengobatan

ada 3 jenis pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi psoriasis yng mana tujuan
pengobatannya hanya bersifat mengurangi gejala yang dirasakan dan bukan memberikan
kesembuhan total pada psoriasis tersebut. jika pasien tersebut terpapar lagi dengan faktor
pemicunya maka gejala yang dirasakan sebelumnya akan timbul kembali.

1. penggunaan obat oles


pengobatan ini bertujuan untuk meredakan rasa gatal dan peradangan, mengurangi
kulit bersisik serta menghambat pembentukan sel baru secara cepat. jenis obat salep
yang dapat digunakan adalah tacrolimus, emolien (gliserol topikal) dan dithranol.
2. obat minum
terapi obatnya seperti methrotrexate (menghambat pertumbuhan sel kulit baru) dan
ciclosporin (menekan sistem kekebalan tubuh).
3. terapi cahaya (fototerapi)
terapi dilakukan dengan menggunakan sinar ultraviolet pada kasus psoriasis berat.
Biang keringat kerap kita temui pada neonatus ,bayi dan balita, karena kulit mereka
cenderung lebih sensitif daripada orang dewasa. Bahkan 70 persen dari tubuh bayi
mengandung air, itulah mengapa bayi mudah sekali mengeluarkan keringat bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah kembali bertambah saat anak Anda
rewel karena rasa gatalnya yang terus mengganggu. Jangan panik, sebelum tergesa-
gesa memberi anak Anda bermacam-macam obat, kenali dulu tanda-tanda dan
Miliaria
deskripsi dari biang keringat itu sendiri, jangan sampai nantinya Anda salah
mendeskripsikan keadaan anak Anda dan memberinya obat yang salah.
Biang keringat atau biasa disebut dalam istilah medis dengan miliaria adalah penyakit
kulit yang ditandai dengan kemerahan, muncul papul (bintil-bintil), dan gatal.
Penyebabnya bisa terjadi pada cuaca yang lembab, panas, karena peredaman yang
terus- menerus pada kulit oleh keringat sehingga lemak kulit terbuang. Biang keringat
biasanya muncul pada anak-anak yang bertempat tinggal di daerah yang lembab dan
sangat pamnas. Gatalnya yang hebat menyebabkan gangguan tidur,men gurangi nafsu
makan, dan gangguan umum infeksi sekunder.
Definisi Miliaria
Miliaria atau biang keringat adalah kelainan kulit yang sering muncul pada
bayi dan balita akibat tersumbatnya kelenjer keringat, sehinga keringat yang keluar
berkumpul di bawah kulit dan mengakibatkan timbulnya bintik-bintik merah
(Desiana, 2009; h. 97).
Biang keringat adalah gangguan pada kulit berupa ruam kemerahan yang terasa gatal.
Biang keringat sering terjadi pada anak-anak, walaupun tidak sedikit orang dewasa
yang mengalaminya terutama saat cuaca panas dan lembab. Biang keringat juga dapat
terjadi pada pasien yang lama berbaring di rumah sakit misalnya pasien strokeatau
pasca operasi besar (Djunarko dan Hendrawati, 2011; Knott, 2010).
Miliariasis adalah kelainan kulit yang ditandai dengan kemerahan, disertai dengan
gelembung kecil berair yang timbul akibat keringat berlebihan disertai sumbatan
saluran kelenjar keringat yaitu di dahi, leher, bagian yang tertutup pakaian (dada,
punggung), tempat yang mengalami tekanan atau gesekan pakaian dan juga kepala.
Miliariasis adalah dermatosis yang timbul akibat penyumbatan kelenjar keringat dan
porinya, yang lazim timbul dalam udara panas lembab seperti daerah tropis atau
selama awal musim panas atau akhir musim hujan yang suhunya panas dan lembab.
Karena sekresinya terhambat maka menimbulkan tekanan yang menyebabkan
pecahnya kelenjar atau duktus kelenjar keringat. Keringat yang masuk ke jaringan
sekelilingnya menimbulkan perubahan anatomi. Sumbatan disebabkan oleh bakteri
yang menimbulkan peradangan dan oleh edema akibat keringat yang tak keluar
(E.Sukardi dan Petrus Andrianto, 1988).
Miliariasis atau biang keringat adalah kelainan kulit yang timbul akibat keringat
berlebihan disertai sumbatan saluran kelenjar keringat, yaitu di dahi, leher, bagian-
bagian badan yang tertutup pakaian (dada dan punggung), serta tempat yang
mengalami tekanan atau gesekan pakaian dan dapat juga dikepala. Keadaan ini
biasanya di dahului oleh produksi keringat yang berlebihan, dapat diikuti rasa gatal
seperti ditusuk, kulit menjadi kemerahan dan disertai banyak gelembung kecil berair.
(Arjatmo Tjoktronegoro dan Hendra Utama, 2000).

Klasfikasi Miliaria
a. Miliaria crystalline
Miliaria crystalline disebut juga miliaria sudamina. Hal ini terjadi saat penyumbatan
saluran keringat dekat dengan permukaan kulit/stratum corneum. Ruam biasanya
berbentuk sangat kecil, bintik jelas yang muncul dalam bentuk kumpulan. bintik-
bintik tersebut akan hilang dalam beberapa jam atau hari dan merupakan bentuk yang
paling tidak gatal atau bahkan tidak gatal sama sekali (Knott, 2010)

Biang keringat yang terjadi pada bayi baru lahir (neonatus) sumbatan terjadi pada
permukaan atau lapisan kulit sehingga terlihat gelembung-gelembung kecil berukuran
1-2 mm berisi cairan jernih, namun tidak terdapat kemerahan pada kulit,biang
keringat ini yang paling umum yang sering terjadi. Gejalanya, pada kulit tubuh bayi
yang sering keringatan akan tampak mengelupas, kering, dan kasat, gejala ini
biasanya dipicu oleh panasnya udara. Biang keringat bayi seperti ini ditandai bintik-
bintik kecil berisi air dan akan dan akan mudah pecah sendiri karena lokasinya masih
teramat dangkal.

b. Miliaria rubra
Jenis ini merupakan jenis yang paling umum dan sebagian besar orang
mengidentifikasinya sebagai biang keringat. Penyebabnya adalah sumbatan saluran
keringat pada bagian lebih dalam dari epidermis. Kumpulan bintik-bintik merah tidak
rata berkembang. Jenis ini dapat sangat gatal, kulit yang terkena berwarna merah, dan
ruam biasa terjadi saat iklim panas serta hilang ketika berhenti berkeringat. Apabila
keringat tidak dapat diekskresikan maka dimungkinkan terjadinya demam karena
keseimbangan (homeostasis) suhu tubuh terganggu (Knott, 2010).
Biang keringat ini terjadi pada anak yang biasa tinggal di daerah atau lingkungan
panas dan lembab. Terdapat bintik-bintik kecil (1-2 mm) berwarna merah, biasanya
disertai keluhan gatal dan perih. Bayi yang mengalami biyang keringat jenis ini akan
menjadi rewel karena rasa gatal dan perih,orang tua biasanya akan cemas karena pola
tidurnya akan terganggu hingga gelisah atau tidak nyenyak. Ini bisa dijadikabn
indsikatorrasa gatal pada bayinya yang belum bisa bicara.tidak bisa menyebabkan
panas karena biang keringat bukan penyakit infeksi. Orang tua hanya bisa melihat
reaksi tubuh bayinya yang kegatalan. Apabila anda merawat bayi itu sendiri, maka
biang keringat akan segera diketahui karena naluri seorang ibu barparan basar.

c. Miliaria profunda
Jenis ini sangat jarang terjadi. Penyebabnya adalah penyumbatan saluran keringat
pada lapisan dermis (lapisan tengah kulit) atau dermal-epidermal. Ini terjadi pada
orang yang tinggal pada iklim panas atau yang mengalami miliaria rubra berulang-
ulang. Gumpalan besar berkembang pada kulit ketika berkeringat, warnanya
cenderung lebih pudar seperti daging karena terjadi di tengah kulit. Gatal cenderung
ringan namun memiliki risiko demam apabila banyak permukaan kulit yang
terpengaruh (Knott, 2010).
Pada biang keringat jenis ini
terdapat bintik-bintik putih,
keras dan berukuran (1-3 mm).
Kulit tidak berwarna merah,
namun kasus ini jarang
terjadi,dan biasanya terjadi di
daerah- daerah bersuhu sangat
panas.walaupun
indonasia termasuk negara tropis,
namun biang keringat separti
ini jarang terjadi. Mungkin faktor
angin sangat mempengaruhi
sehingga suhu di indonesia tidak terlalu panas. Lain halnya dengan negara lain yang
bersuhu 40 derajat celsius. Biang keringat seperti ini ditandai bintil-bintil pada kulit
dan bila diraba akan terasa agak keras. Bintil-bintil ini sekilas mirip jerawat batu.
Etiologi Miliaria
Biang keringat disebabkan
karena adanya sumbatan pada
pori-pori saluran keluarnya
keringat sehingga keringat
merembes pada pori
kulit terdekat dan
mengakibatkan inflamasi/peradangan. Biang keringat berhubungan erat dengan cuaca
yang sangat panas, lembab atau dapat terjadi selama penyakit yang menyebabkan
berkeringat. Biang keringat juga diakibatkan dari ketidakmampuan kulit untuk
“bernafas” (berinteraksi dengan udara) karena pakaian yang terlalu ketat atau tebal
seperti kulit dan polyester (Levin, et al, 2012).
Sumbatan pada biang keringat ini dapat disebabkan oleh debu ataupun daki. Saat
tubuh banyak berkeringat, misalnya saat cuaca panas atau setelah demam, adanya
sumbatan tadi akan membuat keringat tertahan di bawah kulit, kemudian membentuk
tonjolan-tonjolan kecil berwarna merah karena terjadi peradangan (Djunarko dan
Hendrawati, 2011).
Menurut Assyari Abdullah (2008), Penyebab biang keringat yaitu :
a. Ventilasi ruangan kurang baik sehingga udara di dalam ruangan panas atau lembab.
b. Pakaian bayi terlalu tebal dan ketat, pakaian yang tebal dan ketat menyebabkan suhu
tubuh bayi meningkat.
c. Bayi mengalami panas atau demam.
d. Bayi terlalu banyak beraktivitas sehingga banyak mengeluarkan keringat.
Faktor penyebab timbulnya keringat berlebihan yaitu :
a. Udara panas dan lembab dengan ventilasi udara yang kurang baik
b. Pakaian yang terlalu lembab dan ketat
c. Pakaian banyak memberikan pengaruh pada kulit, misalnya menimbulkan pergeseran,
tekanan yang berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan suhu tubuh.
d. Aktivitas yang berlebihan, misalnya berolahraga
e. Setelah menderita sakit panas
f. Penyebab lain berupa penyumbatan pori-pori yang berasal dari kelenjar keringat.
Sumbatan ini dapat diakibatkan debu atau radang pada kulit anak. Butiran-butiran
keringat yang terperangkap dibawah kulit akan mendesak ke permukaan kulit dan
menimbulkan bintik-bintik kecil yang terasa gata.
Patofisiologi Miliaria
Pori-pori pada kelenjar keringat tersumbat pada biang keringat. Ketidakmampuan
sekresi keringat dan keluarnya keringat dari pori menyebabkan dilatasi/pelebaran dan
rupture/kerusakan pada lapisan epidermal pori keringat. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi akut pada lapisan dermis yang menimbulkan rasa perih, terbakar atau gatal
(Levin, et al, 2012).
Terjadinya milliariasis diawali dengan tersumbatnya pori-pori kelenjar keringat,
sehingga pengeluaran keringat tertahan. Tertahannya pengeluaran keringat ditandai
dengan adanya vesikel miliar di muara kelenjar keringat lalu disusul dengan
timbulnya radang dan edema akibat perspirasi yang tidak dapat keluar kemudian
diabsorpsi oleh stratum korneum. (Vivian, 2010)
Milliariasis sering terjadi pada bayi prematur karena proses diferensiasi sel epidermal
dan apendiks yang belum sempurna. Kasus milliariasis terjadi pada 40-50% bayi baru
lahir. Muncul pada usia 2-3 bulan pertama dan akan menghilang dengan sendirinya
pada 3-4 minggu kemudian. Terkadang kasus ini menetap untuk beberapa lama dan
dapat menyebar ke daerah sekitarnya. (Vivian, 2010)

Tanda dan Gejala Miliaria


Bintik-bintik merah atau ruam pada leher dan ketiak bayi. Keadaan ini
disebabkan peradangan kulit pada bagian tersebut. Penyebabnya adalah proses
pengeringan yang tidak sempurna saat dilap dengan handuk setelah bayi dimandikan.
Apalagi jika si bayi gemuk sehingga leher dan ketiaknya berlipat-lipat.
Biang keringat juga dapat timbul di daerah dahi dan bagian tubuh yang tertutup
pakaian (dada dan punggung). Gejala utama ialah gatal-gatal seperti ditusuk-tusuk,
dapat disertai dengan warna kulit yang kemerahan dan gelembung berair berukuran
kecil (1-2 mm). kondisi ini bisa kambuh berulag-ulang terutama jika udara panas dan
berkeringat
Penatalaksanaan Miliaria
Tujuan terapi pada biang keringat yakni menghilangkan penyebab biang keringat,
mengatasi dan meringankan gejala biang keringat. Terapi non-farmakologis meliputi
mengurangi keringat, berada di tempat sejuk, menggunakan pakaian yang longgar,
berwarna cerah, dan tipis untuk melancarkan sirkulasi udara. Pada anak-anak sering
mengganti popok dan menggunakan sabun antiseptik ringan untuk mengurangi
ketidaknyamanan biang keringat (Padron, 2006).
Asuhan yang diberikan pada neonatus, bayi, dan balita dengan milliaria bergantung
pada beratnya penyakit dan keluhan yang dialami. Asuhan yang umum diberikan
adalah sebagai berikut:
a. Perawatan kulit yang benar dan selalu menjaga kebersihan tubuh bayi.
b. Prinsip asuhan adalah mengurangi penyumbatan keringat dan menghilangkan
sumbatan yang sudah timbul.
c. Upayakan untuk menciptakan lingkungan dengan kelembaban yang cukup serta suhu
yang sejuk dan kering, misalnya pasien tinggal diruangan ber-AC atau didaerah yang
sejuk dan kering.
d. Gunakan pakaian yang menyerap keringat dan tidak terlalu sempit.
e. Segera ganti pakaian yang basah dan kotor.
f. Biang keringat yang tidak kemerahan dan kering diberi bedak salycil atau bedak
kocok setelah mandi.
g. Bila membasah, jangan berikan bedak, karena gumpalan yang terbentuk memperparah
sumbatan kelenjar
h. Bila sangat gatal, pedih, luka dan timbul bisul dapat diberikan antibiotic.
i. Menjaga kebersihan kuku dan tangan. kuku pendek dan bersih, sehingga tidak
menggores kulit saat menggaruk.

Pencegahan Miliaria
Pencegahan lebih baik daripada mengobati. Sebagian besar miliaria akan sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan. Bahkan, Anda sebenarnya juga dapat
mengurangi timbulnya biang keringat pada si kecil antara lain dengan menjaga
kenyamanan lingkungan sekitar si kecil, memakaikan baju yang terbuat dari jenis-
jenis bahan yang mudah menyerap keringat, lembut, dan tidak ketat pada si kecil.
Beberapa kondisi menyebabkan bayi atau anak dibawa ke dokter, seperti kondisi
biang keringat yang tidak membaik setelah penanganan selama lebih dari 3 hari,
timbul demam atau rasa sakit/gatal yang berat, dan timbul tanda-tanda infeksi seperti
terlihat nanah atau sering berulang beberapa kali dalam waktu yang pendek sehingga
mengganggu aktivitas anak sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai