Anda di halaman 1dari 7

BAB IV

PEMBAHASAN

JENIS-JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN


1. Impetigo
Impetigo merupakan salah satu bentuk pioderma (infeksi kulit akibat bakteri
Staphylococcus, Streptococcus, atau keduanya) yang sangat menular.
Klasifikasi Impetigo
a. Impetigo Krustosa
Impetigo jenis ini ditandai dengan keropeng, sebagian besar terdapat
pada anak usia 2-5 tahun, karena sistem imun anak yang belum berkembang
sempurna. Impetigo krustosa merupakan infeksi kulit bakteri yang paling
sering dijumpai pada anak, terutama anak yang tinggal di iklim panas dan
lembab.
b. Impetigo Bulosa
Impetigo jenis ini ditandai dengan benjolan berisi cairan, sering ditemui
pada bayi baru lahir, namun juga bisa ditemui pada anak dan dewasa.
Kelainan kulit berupa benjolan kecil yang dengan cepat membesar menjadi
benjolan besar berisi cairan (bula).
Gejala Klinis
a. Impetigo Krustosa
- Kulit kemerahan, benjolan berisi cairan atau nanah, tidak nyeri, terasa
gatal
- Demam
- Pembesaran kelenjar getah bening
b. Impetigo Bulosa
- Benjolan berisi cairan (bula) dengan permukaan datar
- Demam

Pemeriksaan Fisik
a. Impetigo Krustosa
- Lokalisasi : daerah yang terpajan, terutama wajah (lubang hidung dan
mulut karena dianggap sebagai sumber infeksi dari daerah tersebut),
leher, dapat juga ditemui di lengan atau tungkai, namun jarang mengenai
telapak tangan dan telapak kaki.
- Efloresensi : macula eritematosa miliar sampai lentikular, difus, anular,
sirsinar; vesikel dan bula lentikular difus; pustule miliar sampai
lentikular; krusta kuning kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat.
b. Impetigo Bulosa
- Lokalisasi : di daerah lipatan kulit, seperti di leher, ketiak, dan lipat paha.
Kelainan kulit dapat menyebar ke daerah kulit lain akibat garukan
penderita.
- Efloresensi : tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar hingga
lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan kadang-kadang
tampak hipopion.

Pemeriksaan Penunjang
a. Impetigo Krustosa
1. Gambaran histopatologi : berupa peradangan superficial folikel
pilosebasea bagian atas. Terbentuklah vesikopustula subkornea yang
berisis kokus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis. Pada lapisan
dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi pembuluh
darah, edema, dan infiltrasi PMN.
2. Biakan bakteriologis eksudat lesi : biakan secret dalam media agar
darah, dilanjutkan dengan tes resistensi.

b. Impetigo Bulosa
1. Gambaran histopatologi : pada epidermis tampak vesikel subkornea
berisi sel-sel radang yaitu leukosit. Pada dermis tampak sebukan sel-sel
radang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah.
2. Preparat mikroskopik langsung dari cairan bula untuk mencari
stafilokokus.
3. Biakan cairan bula dan uji resistensi

2. Herpes Zoster
Penyakit yang disebabkan, oleh infeksi virus varicella zoster (VZV) pada kulit
dan mukosa, atau merupakan hasil reaktivasi virus setelah infeksi primer.
Etiologi
Setelah diaktifkan kembali, virus bereplikasi dalam badan sel saraf, dan
virion melepaskan sel-sel yang dibawa ke saraf ke area kulit yang dipersarafi
oleh ganglion. Di kulit, virus menyebabkan peradangan lokal dan melepuh.
Rasa sakit yang disebabkan oleh zoster adalah karena peradangan saraf yang
terkena virus.

Patofisiologi
Lesi kulit herpes zoster menghasilkan proliferasi sel T spesifik virus
varicella zoster, sementara produksi interferon mengarah pada resolusi herpes
zoster. Pada pasien imunokompeten, antibodi spesifik (IgG, IgM, dan IgA)
muncul lebih cepat dan mencapai titer yang lebih tinggi selama reaktivasi
(herpes zoster) dibandingkan selama infeksi primer yang menyebabkan
kekebalan jangka panjang, peningkatan, yang dimediasi sel terhadap virus
varicella zoster.

Gejala Klinis

- Gejala prodromal (demam, pusing, malaise, nyeri otot tulang, gatal dan
pegal)
- Lesi kulit berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa yang
disertai nyeri, bersifat unilateral dan dermatomal (tidak melewati batas
garis tengah) sesuai tempat persarafan
- Pembesaran kelenjar getah bening

Pemeriksaan Fisik

- Sekelompok vesikel dengan dasar eritem yang terletak unilateral sepanjang


distribusi saraf spinal dan kranial. Lesi bilateral jarang ditemui, namun
seringkali erupsi terjadi pada dermatome di dekatnya

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Tzank
b. Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur
c. Tes serologi dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
d. Biopsi kulit, pemeriksaan histopatologis tampak vesikel intraepidermal
dengandegenerasi sel epidermal dan acantholysis. 7ada dermis bagian atas
dijumpai adanyalymphocytic infiltrate.

3. Herpes Simpleks
Infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe
II yang ditandai dengan adanya vesikel berkelompok di kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan (Handoko, 2010).
Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes
hominis yang merupakan virus DNA. Terdapat dua tipe virus herpes, yaitu HSV
tipe I dan HSV tipe II. HSV tipe I tidak ditularkan secara seksual, sedangkan
HSV tipe II ditularkan secara seksual.
Menurut Wolff (2007) infeksi HSV tipe I pada daerah labialis 80-90%,
urogenital 10-30%, herpetic whitlow pada usia< 20 tahun, dan neonatal 30%.
Sedangkan HSV tipe II di daerah labialis 10-20%, urogenital 70-90%, herpetic
whitlow pada usia> 20 tahun, dan neonatal 70%.
Patofisiologi
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa
dan bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus
bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya
menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam
masa laten di ganglia sensoris.
Infeksi rekuren: pengaktifan kembali HSV oleh berbagai macam
rangsangan (sinar UV, demam) sehingga menyebabkan gejala klinis

Gejala klinis
- Gejala sistemik (demam, malaise, anoreksia) pada infeksi primer
- Lesi kulit berupa vesikel berkelompok diatas kulit yang sembab dan
eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat menjadi
krusta dan dapat mengalami ulserasi
- Pembesaran kelenjar getah bening
- Fase laten tidak ditemukan gejala klinis
- Infeksi rekuren ditemukan gejala klinis berupa vesikel berkelompok yang
gatal, panas, dan nyeri

Pemeriksaan Fisik
- Papul eritema diikuti oleh munculnya vesikel berkelompok dengan dasar
eritem. Vesikel ini dapat cepat menjadi keruh, kemudian pecah, membsah,
dan berkrusta. Kadang-kadang timbul erosi/ulkus.

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Tzank dalam waktu ≤30 menit. Jika positif terinfeksi hasilnya berupa
keratinosit yang multinuklear dan berukuran besar berwarna biru (Frankel,
2006).
b. Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur
c. Tes serologi dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

4. Dermatitis Venenata
Dermatitis venenata merupakan dermatitis kontak iritan tipe akut lambat yang
biasanya disebabkan oleh gigitan, liur, atau bulu serangga yang terbang pada malam
hari.
Etiologi
Dermatitis venenata disebabkan oleh serangga semai (Paederus
littoralis) yang dapat mengeluarkan toxin serangga (paederine), paling sering
terjadi didaerah panas serta beriklim tropis. Serangga ini tidak menggigit atau
menyengat, tapi secara tidak sengaja tersapu atau tergaruk tangan sehingga
bagian tubuhnya hancur. Akibatnya, hemolimfe yang berisi paderin akan
menimbulkan reaksi gatal-gatal, rasa terbakar, dan eritema.

Patofisiologi
Toksin dikeluarkan serangga bila terjadi sentuhan atau benturan dengan
kulit secara langsung atau tidak langsung melalui handuk, baju, atau alat lain
yang tercemar oleh racun serangga tersebut (Fahri, Hidayat dan Ismail, 2019).

Gejala Klinis
- Demam, neuralgia, atralgia, dan muntah
- Kelainan kulit berupa lepuhan, kulit kemerahan, terdapat vesikel papul,
pustule, bentuk polimorf, multipel, tersebar tergantung penyebaran racun

Pemeriksaan Fisik
- Makula eritem berukuran plakat disertai erosi dan krusta, lesi berbentuk
linear, dan difus dengan bentuk tidak teratur.

Pemeriksaan Penunjang
a. Uji tempel (patch test) untuk mengetahui alergi kontak tertentu
b. Biopsi kulit
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, Ann M. 1996. Varicella-Zoster Virus.CLINICALMICROBIOLOGY REVIEWS, July


1996, p. 361–381.

DjuandaA, DjuandaS, HamzahM, dkk.2010.IlmuPenyakitKulitdanKelamin Edisi Kelima.


Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.p.6

Dumasari L, Ramona.2008.Varicella dan Herpes Zoster. pp.3-12.viewed 20 january 2015,


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3425/1/08E00895.pdf

Goh CL, Khoo L. 1997. A retrospective study of the clinical presentation and outcome of
herpes zoster in a tertiary dermatology outpatient referral clinic.Int J
Dermatol.1997;36:667–672.

Goldsmith, L.A., Katz, S. & Gilchrest,B.A.2012Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine


(pp.2383-2401) chapter 194 Varicella and Herpes Zoster. United states: the macgraw-
hill, companys Vol 8.

James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.

Janniger, C.K. Eastern, J.S., Hispenthal, D.R., Moon, J.E. 2014. Herper zoster. Medscape.

Pandeleke, T.A., Pandaleke, H.E.J., Susanti, R.I., dan Dotulong, J.D.P. 2018. Herpes Zoster
pada Anak – Laporan Kasus. Jurnal Biomedik, Vol. 10, No. 1, hlm. 66-69

Anda mungkin juga menyukai