Anda di halaman 1dari 51

IMUNODEFISIENSI

I. Skenario
Joni, laki-laki berusia 26 tahun, datang ke Puskesma Baloi dengan keluhan
adanya papul merah disertai gatal disela jari tangan dan kaki, yang muncul 14
hari yang lalu. Gatal dirasakan terutama malam hari. Gatal dan papul merah
ini juga diderita oleh ibu si Joni. Sudah 3 bulan Joni menderita berak-berak
encer. Kadang demam tapi hanya beberapa jam. Penderita mengeluh sering
batuk berlendir, batuk berdarah dan disertai sesak napas. la mengatakan ada
beberapa luka dialat kelamin yang berulang, nyeri dan tidak gatal. Biasanya
dimulai sebagai bentul berair, yang dengan cepat pecah dan membentuk luka.
Joni seorang lajang yang sebelumnya sehat walafiat, sejak 4 bulaan lalu
datang ke Batam dan tinggal di rumah susun perusahaan bersama-sama
dengan kawan-kawannya sesama buruh kontrak satu pabrik perakitan
elektronik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bercak putih pada lidah Joni.
Nampak tato pada beberapa bagian tubuh penderita, dan pembesaran kelenjar
di ketiak dan lipat paha.

II. Kata Sulit


1. Bengkak (edema) : Edema merupakan pengumpulan cairan secara
abnormal di ruang interseluler tubuh. Sedangkan menurut Buku Ajar
Patologi Robbins, edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan

III. Kalimat Kunci


1. Laki-laki berusia 26 tahun
2. Papul merah gatal disela jari tangan dan kaki sejak 14 hari
3. Gatal dirasakan terutama di malam hari
4. Gatal dirasakan terutama malam hari.
5. Gatal dan papul merah juga diderita oleh ibu si Joni
6. Berak-berak encer sejak 3 bulan lalu
7. Kadang demam tapi hanya beberapa jam
8. Sering batuk berlendir, berdarah dan sesak napas
9. Ada beberapa luka dialat kelamin yang berulang, nyeri dan tidak gatal
10. Pasien seorang lajang dan sehat walafiat sebelumnya
11. 4 bulan lalu pindah di lingkungan baru
12. Tinggal di rumah susun perusahaan bersama kawan-kawannya
13. Ditemukan bercak putih pada lidah
14. Nampak tato di bagian tubuh penderita
15. Pembesaran kelenjar di ketiak dan lipat paha

IV. Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud dengan imunodefisiensi dan pembagiannya?
2. Apa yang menyebabkan timbul papul merah yang gatal disela jari tangan
dan kaki?
3. Mengapa keluhan gatal yang dirasakan terjadi pada malam hari?
4. Apa hubungan gatal yang dialami pasien dengan ibu penderita?
5. Apa penyebab berak-berak encer?
6. Bagaimana patomekanisme batuk berlendir, berdarah, dan sesak nafas?
7. Apa penyebab timbulnya luka di alat kelamin, nyeri, dan tidak gatal
padahal penderita seorang lajang?
8. Bagaimana hubungan infeksi dengan lingkungan tinggal penderita?
9. Apa yang menyebabkan terdapat bercak putih pada lidah penderita?
10. Bagaimana hubungan antara tato dan keluhan yang dirasakan?
11. Mengapa bisa terjadi pembesaran kelenjar di ketiak dan lipatan paha?
12. Bagaimana reaksi imun pada scenario?
13. Bagaiaman langkah-langkah diagnosis pada gejala yang dialami pasien?
14. Bagaimana DD (Diagnosa Differensial) dan DS (Diagnosa Sementara)
berdasarkan scenario?
15. Bagaimana tata laksana dari DS (diagnosis sementara)?
16. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan agar keluhan tidak terulang
kembali?
V. Pembahasan
1. Apa yang dimaksud dengan imunodefisiensi dan pembagiannya?
Imunodefisiensi adalah kelompok penyakit dengan defek pada
salah satu komponen sistem imun. Secara garis besar imunodefisiensi
dibagi dalam dua golongan yaitu imunodefisiensi primer atau congenital
dan imunodefisiensi sekunder atau di dapat.Imunodefisiensi primer
biasanya terjadi karena adanya peningkatan suseptibilitas terhadap infeksi
yang biasanya muncul pada masa balita atau kanak-kanak.
Imunodefisiensi sekunder terjadi anatara lain akibat malnutrisi,kanker
yang meluas,pengobatan dengan obat-obat imunosupresif dan radiasi serta
infeksi pada sel system imun, khususnya infeksi dengan human
immunodeficiency virus (HIV). Imunodefisiensi dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Immunodefisiensi Primer
Pada berbagai imunodefisiensi primer kelainan utama terletak
pada komponen-komponen system imun bawaan dan komponen-
komponen system imun di dapat,khususnya kelainan maturasi dan
aktivitas limfosit. Kelainan yang menyangkut pada fagosit dan atau
komplemen,sedangkan kelainan pada perkembangan limfosit biasanya
disebabkan mutasi gen yang menjadi berbagai molekul,termasuk di
antaranya enzim dan factor transkripsi yang diperlukan untuk
perkembangan limfosit.

2. Immunodefisiensi Sekunder
Golongan imunodefisiensi sekunder lebih sering dijumpai, dan
dapat disebabkan oleh berbagai factor etiologic,misalnya
malnutrisi,infeksi virus yang bersifatsititoksik terhadap sel limfosit
seperti yang dijumpai pada acquired immune deficiency syndrome
(AIDS), defidiensi akibat sinar X,obat obat sitotoksik dan
imunosupresif. Mungkin jugs imunodefisiensi sekunder terjadi akibat
keganasan misalnya pada penyakit Hodgkin, leukemia limfositik
kronik,myeloma dan penyakit waldenstrom, atau Karena adanya
hambatan pada proses respon imun seperti yang dijumpai pada penyakit
lepra lepromatosis atau malaria.

2. Apa yang menyebabkan timbul papul merah yang gatal disela jari
tangan dan kaki?
Gatal adalah suatu persepsi akibat terangsangnya serabut
mekanoreseptor. Biasanya impuls berawal dari rangsangan permukaan
ringan, misalnya pada rambatan kutu, bahan iritan, gigitan serangga yang
bertujuan untuk memberi sensasi nyeri yang cukup. Jalur
patomekanismenya yaitu pengeluaran histamine sebagai mediator
inflamasi yang menyebabkan pruritus atau gatal.Histamine dibentuk oleh
sel mast jaringan dan basofil.
Pada saat patogen berupa parasit bernama Sarcoptes scabies masuk
dalam tubuh dengan membawa antigen dan mencetuskan reaksi inflamasi
yang ditandai kalor, dolor, rubor, tumor, dan funsi lesia. Terjadi edema di
subepidermis maupun dermis menyebabkan peninggian permukaan yang
membentuk papul pada kulit. Pelebaran pembuluh darah menyebabkan
warna kemerahan disekitar papul atau eritema. Pelebaran pembuluh darah
atau telangiektasis pada wajah terutama akibat vasodilatasi arteriole yang
menetap yang disebabkan oleh kelemahan dinding pembuluh darah serta
perubahan yang timbul pada jaringan ikat sekitarnnya akibat paparan sinar
matahari yang menahun (Goldsmith LA, Katz SI, Poller AS, Wolff K,
2019.)

3. Mengapa keluhan gatal yang dirasakan terjadi pada malam hari?


Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitiasi terhadap Sarcoptes scabiei var. hominis dan produknya ditandai
gatal pada malam hari. (Fadhilah N, 2021)
Adanya rasa gatal pada pada malam hari merupakan gejala utama
yang mengganggu aktivitas dan produktivitas. Sarcoptes scabiei memiliki
karakteristik berwarna putih cream dan tubuhnya simestris bilateral
berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal dan ventral. Tungau
jantan memiliki warna yang lebih gelap dari pada tungau betina.
Permukaan tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan kutikula serta
banyak dijumpai garis garis parallel yang berjalan transversal.

Skabies jantan memiliki Ukuran panjang (213-258 μm) dan lebar


(162-240 μm). sedangkan Skabies betina memiliki ukuran panjang (300-
504 μm) dan lebar (230-450). Skabies jantan memiliki ukuran lebih kecil
dari betina.
Penularan Skabies dapat terjadi ketika tungau betina telah dibuahi
menembus kulit dan masuk ke epidermis kulit. Tungau di permukaan
kulit mengeluarkan cairan bening (mungkin air liur) yang membentuk
kolam disekitar tubuh nya. Stratum korneum lisis dan tungau tenggelam
ke dalam kulit.
Skabies dapat ditularkan melalui kontak secara langsung atau tidak
langsung. Kontak langsung adalah kontak kulit ke kulit yang cukup lama
misalnya pada saat tidur bersamaan. Peularan Skabies secara tidak
langsung dapat terjadi melalui kontak dalam durasi lama contohnya
seperti pengunaaan seprei, sarung bantal dan guling, pakaian, selimut,
handuk, dan perabotan rumah tanggga lainnya yang terinfeksi S.Scabeie.
Skabies lebih mudah menular secara kontak langsung dari orang ke orang
yang tinggal di lingkungan yang padat dan berdekatan.
Salah satu gejala yang timbul saat seseorang menderita Skabies
adalah gatal yang sangat hebat pada malam hari maka dapat menyebabkan
terjadinya gangguan kenyamanan saat beristirahat pada malam hari.
Selain ketidaknyamanan dan gangguan tidur ada komplikasi yang lebih
serius. Saat lesi yang gatal tersebut digaruk terus-menerus akan
menimbulkan luka yang baru yang bisa dimasukkan oleh kulit atau infeksi
sekunder. (Simanjuntak AM, Andriyani Y, 2022)
Penegakkan diagnosis scabies dilakukan atas dasar terpenuhinya 2
dari 4 tanda kardinal, yaitu
1. Pruritus nokturnal artinya gatal pada malam hari yang disebabkan
karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lembab dan
panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi.
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok
rata-rata panjang 1cm. Pada ujung terowongan ini ditemukan papul
atau vesikel. Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan
stratum korneum yang tipis yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan
tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola
mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan
perut bagian bawah.
4. Ditemukan tungau.
(Abu Bakar N., 2016)

4. Apa hubungan gatal yang dialami pasien dengan ibu penderita?


Pada scenario pasien mengalami keluhan gatal dan papul merah
pada sela Sela jari dimana keluhan tersebut dapat dicurigai sebagai suatu
penyakit Immunodefisiensi salah satunya adalah penyakit sarcoptes
scabiei atau biasa .Disebut scabies yaitu penyakit kulit yang disebabkan
oleh infestasi dan Sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiel var, hominis, dan
produknya. Ditandai Dengan gatal malam hari, yang mengenai
sekelompok orang, dengan tempat Predileksi di lipatan kulit yang tipis,
hangat, dan lembab.Gejala klinis dapat Terlihat polimorfi tersebar di
seluruh badan.Sarcoptes scabies mudah Menular, penularan dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun cara penularannya adalah:
A. Kontak Langsung (Kulit Dengan Kulit)
Penularan scabies terutama melalui kontak langsung seperti
Berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual.Pada orang
Dewasa hubungan seksual merupakan hal tersering, sedangkan Pada
anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.Penyakit ini
menyerang manusia secara kelompok, misalnya Dalam keluarga,
biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula Dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian Besar tetangga yang
berdekatan akandiserang oleh tungau Tersebut. Dikenal keadaan
hiposensitisasi, yang seluruh anggota Keluarganya terkena.

B. Kontak Tidak Langsung (Melalui Benda)


Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui
Perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan Mempunyai
peran kecil pada penularan.Namun demikian,Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa hal tersebut memegang Peranan penting dalam
penularan scabies dan dinyatakan bahwa Sumber penularan utama
adalah selimut.
Semakin banyak jumlah parasite dalam tubuh seseorang, Semakin
besar juga Kemungkinan ia akan menularkan parasite melalui kontak
tidak langsung Maupun kontak langsung. (Adhi, Djuanda,2017)

5. Apa penyebab berak-berak encer?


Ada dua mekanisme utama yang menyebabkan diare encer: sekresi,
dan ketidakseimbangan osmotik. Infeksi usus dapat menyebabkan diare
melalui kedua mekanisme tersebut, diare sekretorik menjadi lebih umum,
dan keduanya dapat terjadi pada satu individu.
A. Diare Sekretoris
Diare sekretorik disebabkan oleh sekresi cairan (air dan garam)
yang tidak normal ke dalam usus halus. Hal ini terjadi ketika absorpsi
natrium oleh vili terganggu sementara sekresi klorida dalam kripta
terus berlanjut atau meningkat. Hasil sekresi cairan bersih dan
menyebabkan hilangnya air dan garam dari tubuh sebagai tinja yang
encer; ini menyebabkan dehidrasi. Pada diare menular, perubahan ini
mungkin terjadi akibat aksi racun bakteri pada mukosa usus, seperti
yang dimiliki Escherichia coli dan Vibrio cholerae 01, atau virus,
seperti rotavirus; mekanisme lain mungkin juga penting (WHO, 1992).

B. Diare Osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori; air dan garam bergerak
melewatinya dengan cepat untuk menjaga keseimbangan osmotik
antara isi usus dan darah. Dalam kondisi ini, diare dapat terjadi ketika
zat aktif osmotik yang tidak terserap dengan baik dan tertelan. Jika zat
tersebut diambil sebagai larutan isotonik, air dan zat terlarut hanya
akan melewati usus tanpa terserap, menyebabkan diare. Obat pencahar,
seperti magnesium sulfat, bekerja dengan prinsip ini.
Proses yang sama dapat terjadi jika zat terlarut adalah laktosa
(pada anak-anak dengan defisiensi laktase) atau glukosa (pada anak-
anak dengan malabsorpsi glukosa); kedua kondisi tersebut terkadang
merupakan komplikasi dari infeksi enterik. Jika zat yang diserap
dengan buruk diambil sebagai larutan hipertonik, air (dan beberapa
elektrolit) akan berpindah dari ECF ke dalam lumen usus, sampai
osmolalitas isi usus sama dengan ECF dan darah. Ini meningkatkan
volume tinja dan, yang lebih penting, menyebabkan dehidrasi karena
hilangnya air dalam tubuh. Karena kehilangan air tubuh lebih besar
daripada kehilangan natrium klorida, hipernatremia juga berkembang
(WHO, 1992).

Shigella berkolonisasi di ileum terminalis/kolon, terutama kolon


distal, invasi ke sel epitel mukosa usus, melakukan multiplikasi dan
menyebar di intrasel dan intersel kemudian memproduksi enterotoksin
dan eksotoksin yang aktivitasnya mempengaruhi usushalus, sehingga
umumnya menyebabkan sekresi cairan secara berlebihan ke dalam rongga
usus, menyebabkan diare dan muntah sertamenyebabkan meningkatnya
cAMP. cAMP yang meningkat menggakibatkan hipersekresi pada usus
(diare cair, diare sekresi).
Selain memproduksi enterotoksin, Shigella juga memproduksi
eksotoksin (Shiga toksin) yang bersifat sitotoksik sehingga
mengakibatkan infiltrasi sel radang, terjadi nekrosis sel epitel mukosa,
eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus sehingga tinja bercampur darah.
Sebagai enterotoksin zat ini dapat menimbulkan diare, sebagaimana
halnya enterotoksin pada E.coli. Sedangkan sebagai neurotoksin, zat ini
ikut berperan dalam menyebabkan keparahan penyakit dan sifat fatal
infeksi Shigella dysenteriae serta menimbulkan reaksi susunan saraf pusat
seperti meningismus dan koma. (Kresno, Siti Boedina., 2010)

6. Bagaimana patomekanisme batuk berlendir, berdarah, dan sesak


nafas?
A. Patomekanisme Batuk Berlendir
Mekanisme Terjadinya Batuk Batuk dapat lerjadi karena proses
yang normal atau patologis. Batuk yang nomal dapat terjadi karena
tidak disengaja maupun disengaja. terkadang seorang anak yang batuk
tidak merasa bahwa hal tersebut merupakan keluhan sehingga
dianggap sesuatu yang normal saja. Umumnya batuk merupakan suatu
refleks yang dapat timbul akibat adanya rangsang baik mekanis,
kimiawi, maupun iritan.
Refleks batuk dapat terjadi apabila komponen refleksnya
bekerja dengan baik. Komponen refleks batuk terdiri dari reseptor,
saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen, dan efektor.Reseptor batuk
dapat tersebar di larings, trakea, bronkus, telinga, lambung, hidung,
sinus paranasal, farings, dan perikardium serta diafragrma. Saraf yang
berperan sebagai saraf aferen adalah n.vagus, n.trigeminus, dan
n.frenikus. Pusat batuk tersebar merata di medula dekat pusat
pemapasan. Saraf yang berperan sebagai saraf eferen antara Iain adalah
n.vagus, n.frenikus, dan n.interkostal. Sedangkan yang bertindak
sebagai efektor adalah otot pada larings, trakea, bronkus, diafragma,
dan interkostal.

B. Patomekanisme Batuk Berdarah


Mekanisme Terjadinya Batuk Batuk dapat lerjadi karena proses
yang normal atau patologis. Batuk yang nomal dapat terjadi karena
tidak disengaja maupun disengaja. terkadang seorang anak yang batuk
tidak merasa bahwa hal tersebut merupakan keluhan sehingga
dianggap sesuatu yang normal saja. Umumnya batuk merupakan suatu
refleks yang dapat timbul akibat adanya rangsang baik mekanis,
kimiawi, maupun iritan.
Refleks batuk dapat terjadi apabila komponen refleksnya
bekerja dengan baik. Komponen refleks batuk terdiri dari reseptor,
saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen, dan efektor.Reseptor batuk
dapat tersebar di larings, trakea, bronkus, telinga, lambung, hidung,
sinus paranasal, farings, dan perikardium serta diafragrma. Saraf yang
berperan sebagai saraf aferen adalah n.vagus, n.trigeminus, dan
n.frenikus. Pusat batuk tersebar merata di medula dekat pusat
pemapasan. Saraf yang berperan sebagai saraf eferen antara Iain adalah
n.vagus, n.frenikus, dan n.interkostal. Sedangkan yang bertindak
sebagai efektor adalah otot pada larings, trakea, bronkus, diafragma,
dan interkostal.

C. Patomekanisme Sesak Nafas


Mekanisme sesak nafas (dyspnea) yaitu berawal dari aktivasi
sistem sensorik yang terlibat dalam sistem respirasi lalu kemudian
informasi sensorik sampai pada pusat pernapasan di otak dan
memproses respiratoryrelated signals dan menhasilkan pengaruh
kognitif, kontekstual, dan perilaku sehingga terjadi sensasi dyspnea
(Rasmin, 2009). Sesak napas disebabkan oleh adanya penyempitan
saluran napas.
Penyempitan saluran napas ini terjadi karena adanya
hiperreaktifitas dari saluran napas terhadap berbagai macam rangsang,
sehingga menyebabkan spasme otot- otot polos bronkus yang dikenal
dengan bronkospasme, oedema membrana mukosa dan hipersekresi
mukus, sehingga didalam saluran napas tersebut akan menyebabkan
sulitnya udara yang melewatinya, maka ekspirasinya akan lebih
panjang sehingga otot-otot ekspirasi akan turut bekerja , yang mana
akan menambah energi untuk pernapasan maka berakibat terjadinya
hambatan waktu mengeluarkan udara ekspirasi adalah adanya udara
yang masih tertinggal didalam paru-paru semakin meningkat. Bila hal
tersebut terjadi maka akan menyebabkan obstruksi saluran napas.
Obstruksi saluran napas terjadi saat ekspirasi karena secara fisiologis
saluran napas menyempit, sehingga mengakibatkan udara terjebak dan
tidak bisa diekspirasikan. (PDPI JATIM, 2017)

7. Apa penyebab timbulnya luka di alat kelamin, nyeri, dan tidak gatal
padahal penderita seorang lajang?
Luka di alat kelamin Ini adalah karena adanya virus di alat kelamin
yang menyebabkan nyeri atau rasa tidak nyaman dan Kemerahan pada
alat kelamin sehingga menyebabkan kebiasaan Menggores di atau
menggaruk kulit di area yang mampu dijangkau sehingga pasien
merasakan nyeri dan luka yang berulang. Berdasarkan keluhan pasien
Luka di alat kelamin berulang nyeri dan tidak gatal diduga disebabkan
oleh infeksi virus herpes simpleks.
Virus herpes simpleks sering disingkat HSV terdiri dari dua jenis
virus yaitu virus herpes simpleks tipe satu atau HSV-1 dan herpes
simpleks tipe dua atau HSV-2. Virus herpes simpleks satu dan dua
pertama kali menginveksi sel epitel mukosa rongga mulut,Genital,kulit
dan kornea. HSV-1 merupakan penyebab luka di bibir dan luka di kornea
mata.Biasanya dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan Sekresi
dari atau di sekitar mulut. HSV 2 penyebab ditularkan melalui kontak
langsung dengan luka selama melakukan hubungan seksual,oleh karena
itu Herpes tersebut sebagai satu penyakit menular seksual. luasnya Lesi
merupakan tanda yang spesifik.Lesi mungkin dapat dalam berbagai posisi
seperti vesikel,pustula atau ulkus.Gangguan pada organ Genital hampir
terjadi 80% dan kekambuhan nya pada umumnya terjadi hampir 90% di
mana kekambuhan infeksi HSP dua lebih sering dibandingkan dengan
infeksi satu dengan perbandingan 4 : 1. (Siti Setiati, dkk)

8. Bagaimana hubungan infeksi dengan lingkungan tinggal penderita?


Kondisi lingkungan yang dimaksud pada kasus adalah Joni yang
tinggal di rumah susun perusahaan bersama-sama dengan kawan-
kawannya sesama buruh kontrak satu pabrikperakitan elektronik sejak 4
bulan lalu di Batam. Rumah susun merupakan sarana pemukiman untuk
memberikan solusi dalam memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi
golongan masyarakat ber penghasilan rendah. Pembangunan perumahan
secara vertikal ini banyak diminati oleh masyarakat tersebut. Rumah
susun memiliki kondisi sanitasi yang kurang baik, tingkat kepadatan
penduduk di rumah susun yang sangat tinggi melebihi standar kepadatan
hunian terhadap luas ruangan serta kesadaran masyarakat akan pentingnya
kesehatan masih rendah. Tingkat kesehatan masyarakat yang tidak merata
dan sangat rendah khususnya terjadi pada masyarakat yang tinggal
dirumah susun. Hal tersebut terlihat dari lingkungan luar yang kurang
bersih dan rapi.
Karena lingkungan tersebut akan mempermudah transmisi agen
infeksi. Misalnya pada kasus ini adalah munculnya papul merah disertai
gatal disela jari tangan dan kaki, dan adanya pruritus nokturna. Gejala ini
timbul karena adanya infeksi tungau Sarcoptesscabei. Tungau ini bisa
bertransmisi melalui kontak tak langsung/melalui benda, misalnya pada
pakaian, handuk, sprei, bantal dll. Aktivitas S.scabiei di dalam kulit
menyebabkan rasa gatal dan menimbulkan respons imunitas selular dan
humeral serta mampu meningkatkan lgE baik di serum maupun di kulit.
Masa inkubasi berlangsung lama 4-6 minggu. (c ).

9. Apa yang menyebabkan terdapat bercak putih pada lidah penderita?


Bercak putih disebabkan oleh suatu jamur yaitu Candida albicans
yang merupakan flora normal rongga mulut saluran pencernaan dan
vagina, jamur ini dapat berubah menjadi patogen jika terjadi perubahaan
dalam diri pejamu. Perubahan yang terjadi pada pejamu tersebut dapat
bersifat lokal maupun sistemik. Lesi kandidiasis ini dapat berkembang di
setiap rongga mulut, tetapi lokasi yang paling sering adalah mukosa
bukal, lipatan mukosa bukal, orofaring dan lidah. Kandidiasis kronis yang
tidak segera dirawat dapat berkembang menjadi kandidiasis leukoplakia
yang bersifat pra ganas, dan kemudian mengakibatkan karsinoma sel
skuamosa. Selain itu, kandidiasis dapat berkembang menjadi infeksi
sistemik melalui aliran getah bening yang menyerang organ vital seperti
ginjal, paru-paru, otak dan dinding pembuluh darah yang bersifat fatal.
Penatalaksanaan kandidiasis yaitu berdasarkan penyebab yang
mendasarinya yaitu penatalaksanaan dalam bentuk lokal maupun
sistemik. (Wasitaatmadja SM, 2011)

10. Bagaimana hubungan antara tato dan keluhan yang dirasakan?


Penetrasi jarum tato pada kulit dapat memperkenalkan berbagai
mikroorganisme ke dalam seseorang, terutama jika jarum tidak steril atau
digunakan bersama di antara orang-orang, mengakibatkan berbagai
infeksi. Mikroorganisme juga dapat masuk ke dalam tubuh selama fase
penyembuhan tato. Infeksi bakteri mungkin termasuk tidak hanya infeksi
dengan spesies Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, dan
Clostridium dan bahkan tetanus tetapi juga infeksi dengan bakteri atipikal,
seperti mikobakteri komensal; tuberkulosis; dan kusta. Jamur, parasit, dan
spirochaetal (yaitu, sifilis) pada infeksi dapat diinokulasi. Infeksi virus
termasuk hepatitis B dan C; virus imunodefisiensi manusia (HIV); herpes;
dan virus penyebab infeksi lokal, seperti kutil, moluskum, dan kondiloma.
Mikroorganisme infektif juga berasal dari produk tinta tato atau air
terkontaminasi yang digunakan oleh pembuat tato untuk pengenceran
tinta. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa, sesuai dengan
penelitian lain, sebanyak 10% tinta baru terkontaminasi bakteri yang
bersifat patogen bagi manusia dan label 'Steril' pada suatu produk tidak
dapat diandalkan.
Jadi, ada kemumungkinan bahwa gejala-gejala yang di derita
pasien seperti papul merah disertai gatal di sela jari tangan dan kaki,
berak-berak encer dan penurunan berat badan lebih 10 kg, batuk
berlendir, batuk berdarah dan disertai sesak napas dan luka di alat kelamin
yang berulang, nyeri dan tidak gatal disebabkan oleh masuknya berbagai
macam mikroorganisme yang dapat memicu berbagai macam penyakit
yang berkaitan dengan gejala-gejala pasien tersebut (Serup J, 2015).

11. Mengapa bisa terjadi pembesaran kelenjar di ketiak dan lipatan


paha?
Pembesaran pada kelenjar ketiak dan lipatan paha atau yang lebih
tepatnya nodulus limfatikus axillary dan nodulus limfatikus iliaca
eksterna adalah dampak dari proliferasi sel-sel pertahanan tubuh yang
berada dinodulus limfatikus yang dimaksudkan, sel-sel tersebut dapat
berupa limfosit, sel plasma, monosit, dan histiosit atau dengan kedatangan
neutrofil dalam melawan radang apabila terjadi limfadenitis (radang pada
nodulus limfatikus). Pembesaran nodulus limfatikus pada tempat tertentu
dapat menjadi indikasi terjadi suatu proses yang terlokalisir disekitar
lokasi pembengkakan terjadi.(Kesno et Siti Boedina, 2010)
Pembesaran nodulus limfatikus yakni proliferasi sel-sel imun
terjadi ketika antigen datang masuk kedalam tubuh, sel dendritik sebagai
APC akan mengantarkan informasi kepada sel-sel imun yang berada
dinodulus limfatikus untuk aktif berproliferasi dan memperbanyak diri
dengan tujuan melawan antigen tersebut, semakin besar serangan dari
antigen semakin besar-besaran pula proses proliferasi dari sel-sel imun
didalam nodulus limfatikus, ditambah lagi terjadi pada pasien
immunodefisiensi dimana terjadi kerusakan bagi jaringan limfoid
khususnya CD4+ T limfosit, monosit, dan sel dendritik.
Di bawah mikroskop, proliferasi sel dalam folikel limfoid dapat
diidentifikasi sebagai beberapa angka mitosis. Saat kapsul limfatik
meregang karena peningkatan aktivitas, pasien mungkin mengalami nyeri
tekan lokal. Perkembangan sel B berasal dari sel induk berpotensi
majemuk dari sumsum tulang. Sel B yang berhasil membangun rantai
berat imunoglobulin mereka bermigrasi ke pusat germinal untuk
memungkinkan diversifikasi antibodi dengan hipermutasi somatik.
Limfoma sel B diyakini sebagai hasil dari pergantian hipermutasi somatik
dan translokasi kromosom.
Perkembangan sel T juga dimulai dari sel induk berpotensi
majemuk, yang matang di dalam korteks timus. Sementara di korteks
timus, sel T memulai penataan ulang spesifik pada reseptor sel T.
Dipahami bahwa translokasi kromosom pada tingkat reseptor sel T
menyebabkan limfomagenesis sel T. Nekrosis folikel kelenjar getah
bening dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai kondisi, baik itu
inflamasi, infeksi, atau ganas. Dominasi infiltrat neutrofilik menunjukkan
infeksi bakteri, sedangkan dominasi limfositik mungkin menunjukkan
infeksi virus. Namun, dokter harus ingat bahwa etiologi dapat bervariasi;
limfoma, leukemia, tuberkulosis, atau bahkan lupus sistemik mungkin
merupakan diagnosis yang lebih tepat dalam konteks klinis yang sesuai.
Pembesaran kelenjar getah bening/limfadenopati merupakan gejala
yang paling sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV, dapat
terjadi pada awal manifestasi infeksi atau dapat juga ditemukan pada
stadium manapun dari infeksi HIV sedikitnya 23% pasien dengan AIDS
memiliki limfadenopati yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik.
(Wahid, 2019)
Diagnosis infeksi HIV sangat penting dalam memutuskan mata
rantai penularan HIV karena pasien yang terkena infeksi HIV dapat
menjadi sumber infeksi akibat viremia yang sangat tinggi atau akibat
pasien tidak mengetahui bahwa ia terinfeksi HIV sehingga tidak
melakukan pencegahan dalam aktivitas seksualnya. Namun secara klinis
sulit untuk mendiagnosis HIV stadium awal dengan gejala pembesaran
kelenjar getah bening saja. Klinikus belum tentu menyertakan hasil
pemeriksaan serologik pada keadaan limfadenopati (Coco, 2005).
Perubahan yang paling mencolok yang dapat ditemukan pada
kelenjar getah bening yang terinfeksi HIV adalah adanya kerusakan
progresif germinal center yang berkembang menjadi follicular depletion.
(Paiva et al, 1996; Ioachim & Mederios, 2008; Alo et al, 2005, Yvonne et
al, 2010). Limfadenitis HIV dapat dideteksi melalui pemeriksaan patologi
anatomi dan imunohistokimia anti HIV, walaupun masih memerlukan
konfirmasi serologi sehingga memungkinkan pasien HIV dapat segera
diobati dengan Anti Retro Viral (ARV).
Pasien yang berada pada fase awal tidak menunjukkan gejala selain
pembesaran kelenjar getah bening, sehingga klinisi sering tidak
mencurigai kemungkinan adanya infeksi HIV karena adanya keterbatasan
pemeriksaan serologi pada fase laten dimana kadar CD4+ dan
pemeriksaan viral loadbelum menunjukkan penurunan bermakna (Mac
Adam & Sharpe, 2005).

12. Bagaimana reaksi imun pada scenario?


Sebelum mengalami respon imun, tubuh memiliki respon non-
spesifik untuk mengatasi infeksi. Apabila respon alami non-spesifik tidak
berhasil mengatasi infeksi, maka respons spesifik akan menyusul.
Pertahanan imunologik didefinisikan apabila mekanismenya bersifat
spesifik terhadap patogen yang menyerbu tubuh dan responsnya akan
meningkat apabila kela memperoleh paparan kembali. Pertahanan imun
yang spesifik dapat diperantarai dengan antibodi. Virus bebas dapat
dinetralisasi oleh antibodi sendiri, tetapi banyak virus yang berkapsul
akan lebih mudah dinetralisasi apabila bersama komplemen. Komplemen
sendiri bekeria melalui mekanisme inaktivasi mikroorganisme dan
opsonisasi yang mempermudah fagositosis.
Di samping itu hasil simpangan aktivasi komplemen akan
menginduksi vasodilatasi dan mempunyai dampak sebagai kemoatraktan
yang merupakan respon inflamasi. Tubuh juga mengaktivasi sistem
pertahanan yang diperantarai limfosit T. Peran utama limfosit T adalah
penyediaan, fasilitasi dan memperbesar efektor lain. Khususnya sel
makrofag, dibandingkan dengan menghadapi langsung patogen. Sekresi
limfokin oleh limfosit T helper, khususnya IFN-gamma, akan
mengaktifkan sel makrofag yang merupakan komponen penting dalam
pertahanan terdahap infeksi bakteri, jamur, dan parasit. Hal tersebut
berbeda dengan sat melawan virus, limfosit T sitotoksik CD8+ akan
menyerang sel sampai sel tersebut mengalami lisis. Imunitas seluler juga
melibatkan sel fagosit dalam fagositosis dan sekresi berbagai monokin
dan enzim. Sel-sel fagosit dan NK dapat terinfeksi melalui mekanisme
ADCC (antibody dependent cell mediated cytotoxicity). Jika sel yang
terinfeksi virus atau jamur terbungkus oleh molekul-molekul antibodi
(igG) sangat rawan terbunuh ole sel NK memiliki reseptor untuk Fc
(Subowo,2010).

13. Bagaiaman langkah-langkah diagnosis pada gejala yang dialami


pasien?
A. Anamnesis
Anamnesis yang baik harus mengacu pada pertanyaan
sistematis, Yaitu berpedoman pada The Fundamental Four
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Anamnesis pertama pada Riwayat penyakit sekarang
berpedoman pada The Sacred 7. Perlu ditanyakan identitas pasien,
yaitu umur, sex, ras, status Perkawinan, agama, dan pekerjaan.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Ditanyakan apakah penderita pernah sakit serupa sebelumnya,
bila Dan kapan terjadinya dan sudah berapa kali dan telah diberi
obat apa Saja, serta mencari penyakit yang relevan terhadap keadaan
sekarang, Perawatan lama, rawat inap, imunitas, riwayat pengobatan
danriwayat menstruasi untuk wanita.

3. Riwayat Keluarga
Anamnesis ini digunakan untuk mencari ada tidaknya
penyakit Keturunan dari pihak keluarga atau riwayat penyakit yang
menular.

4. Riwayat Social Dan Ekonomi


Hal ini untuk mengatahui status social dan ekonomi dari
pasien,Meliputi pendidikan, pekerjaan, pernikahan, kebiasaan yang
sering Dilakukan (alcoholic atau merokok, obat-obatan, aktivitas
seksual,Sumber keuangan, asuransi kesehatan dan kepercayaan).

B. Pemeriksaan Fisik
1. Suhu, demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila
tidakada Gejala lain. Demam kadang-kadang bisa menjadi tanda dari
jenis penyakit infeksi tertentu atau kanker yang lebih umum pada
Orang yang mempunyai sistem kekebalan tubuhlemah. Dokter akan
Memeriksa suhu anda pada setiap kunjungan.
2. Berat badan, pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap
kunjungan. Kehilangan 10% atau lebih dari berat badan Anda
mungkin akibat Darisindrom wasting, yang merupakan salah satu
tanda-tandaaids, Danyang paling parah Tahap terakhir infeksi HIV.
Diperlukan Bantuan tambahan gizi yang cukup jika anda telah
kehilangan berat Badan.
3. Mata, Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum
AIDS. Hal ini terjadi lebih sering pada orang yang memiliki CD4
jumlah Kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL). Termasuk gejala
floaters, Penglihatan kabur, atau kehilangan penglihatan. Jika
terdapat gejala Retinitis CMV, diharuskan memeriksakan diri
kedokter matasesegera Mungkin. Beberapa dokter menyarankan
kunjungan dokter mata Setiap 3 sampai 6bulan jika jumlah CD4
anda kurang dari 100 sel permikroliter (MCL).
4. Mulut, infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum
padaorang Yang terinfeksi HIV. Dokter akan akan melakukan
pemeriksaanmulut Pada setiap kunjungan. Pemeriksaan gigi
setidaknya dua kalisetahun. Jika Anda beresiko terkena penyakit
gusi (penyakit Periodontal),Anda perlu ke dokter gigi Anda lebih
sering.
5. Kelenjar getah bening, pembesaran kelenjar getah bening
(limfadenopati) tidak Selaludisebabkan oleh HIV. Pada
pemeriksaankelenjar getah Beningyangsemakin membesar atau jika
ditemukan ukuran yang Berbeda, Dokter akan memeriksa kelenjar
getah bening Anda pada Setiap kunjungan.
6. Perut, pemeriksaan abdomen mungkin menunjukkan hati yang
membesar (hepatomegali) atau pembesaran limpa (splenomegali).
Kondisi ini Dapat disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin
menunjukkan Kanker. Dokter akan melakukan pemeriksaan perut
pada kunjungan Setiap atau jika pasien mengalami gejala-gejala
seperti nyeri di kanan Atas atau bagian kiri atasperut Anda.
7. Kulit, merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV.
Pemeriksaan yang teratur dapat mengungkapkan kondisi yang
dapatdiobati mulai tingkat keparahan daridermatitis seboroik dapat
sarkoma Kaposi. Dokter akan melakukan pemeriksaan kulit setiap 6
bulan atau kapan gejala berkembang.

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Kerokan Kulit (Scabies)
Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit untak
menemukan tungau.

2. Isolasi Virus Dari Sampel (HIV)


Umumnya dengan menggunakan mikroskop electron deteksi
antigen virus. Biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked
immunoabsorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immune binding
assay. Namun, di Indonesia metode yang biasa digunakan adalah
metode ELISA.

3. ELISA (Enzyme-Linked Immunoabsorbent Assay)


Elisa adalah suatu tes skrining yang digunakan untuk
mendiagnosis HIV Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV,
tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, maksudnya
penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga
menyebabkan positif palsu diantaranya penyakit autoimun ataupun
karena infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat
mendeteksi adanya antibody terhadap HIV dalam darah.

4. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk
menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% – 100%.
Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan
waktu sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama.
Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test
Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan.

5. PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION)


PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan
spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes
yang lain tidak jelas. Bila skrining menunjukkan pasien terinfeksi
HIV (HIV positif), maka pasien perlu menjalani tes selanjutnya.
Selain untuk memastikan hasil skrining, tes berikut dapat membantu
dokter mengetahui tahap infeksi yang diderita, serta menentukan
metode pengobatan yang tepat. Sama seperti skrining, tes ini
dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien, untuk diteliti di
laboratorium. Beberapa tes tersebut antara lain:
1) Hitung Sel CD4.
CD4 adalah bagian dari sel darah putih yang dihancurkan
oleh HIV. Oleh karena itu, semakin sedikit jumlah CD4, semakin
besar pula kemungkinan seseorang terserang AIDS. Pada kondisi
normal, jumlah CD4 berada dalam rentang 500-1400 sel per
milimeter kubik darah. Infeksi HIV berkembang menjadi AIDS
bila hasil hitung sel CD4 di bawah 200 sel per milimeter kubik
darah.

2) Pemeriksaan Viral Load (HIV RNA)


Pemeriksaan viral load bertujuan untuk menghitung RNA,
bagian dari virus HIV yang berfungsi menggandakan diri. Jumlah
RNA yang lebih dari 100.000 kopi per mililiter darah,
menandakan infeksi HIV baru saja terjadi atau tidak tertangani.
Sedangkan jumlah RNA di bawah 10.000 kopi per mililiter darah,
mengindikasikan perkembangan virus yang tidak terlalu cepat.
Akan tetapi, kondisi tersebut tetap saja menyebabkan kerusakan
perlahan pada sistem kekebalan tubuh.
3) Tes Resistensi (Kekebalan) Terhadap Obat.
Beberapa subtipe HIV diketahui kebal pada obat anti
HIV. Melalui tes ini, dokter dapat menentukan jenis obat anti
HIV yang tepat bagi pasien.
(Djauzi, S, Djoerban, 2007)

14. Bagaimana DD (Diagnosa Differensial) dan DS (Diagnosa Sementara)


berdasarkan scenario?
A. HIV/AIDS
1. Definisi
AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah
sekumpulan gejala penyakit yang mengenai seluruh organ tubuh
sesudah sistem kekebalan dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan
kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis
infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat
oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering sekali menderita
keganasan, khususnya Sarkoma Kaposi dan limfoma yang hanya
menyerang otak.

2. Epidemiologi
Setelah kasus pertama yang dilaporkan oleh Gottlieb dkk di
Amerika Serikat pada musim semi tahun 1981 , maka mulailah
bermunculan laporan dari berbagai negara maju di Eropa, dan
umumnya ditemukan pada kelompok masyarakat tertentu. Pada
waktu ini keadaan banyak berubah, kasus-kasus HIV dan AIDS
sudah sangat meningkat. Hal ini disebabkan oleh cara deteksi yang
makin canggih termasuk diagnosa laboratorik yang lebih mudah
dilakukan, dan yang terpenting adalah kesadaran penderita dan
pemberi layanan kesehatan. Di Indonesia, kasus HIV/AIDS pertama
dilaporkan pada tahun 1986 pada seorang warga Belanda dan sejak
itu infeksi HIV/AIDS terus meningkat dan tersebar di 33 provinsi

3. Etiologi
HIV ialah retrovirus yang disebut Lymphadenopathy
Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukemia Virus (HTL-
11 1 yang juga disebut Human T-Cell Lymphotropic Virus
(retrovirus). LAV ditemukan oleh Montagnier dkk. pada tahun 1983
di Perancis, sedangkan HTLV-111 ditemukan oleh Gallo di Amerika
Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini temyata banyak
ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet
hijau Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa
menimbulkan penyakit. Nama lain virus tersebut ialah HIV. HIV
terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1 . Partikel HIV
terdiri atas dua untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi
envelop lipid asal sel hospes.

4. Patogenesis
Masuknya virus HIV ke dalam tubuh, dapat melalui
hubungan seksual, cairan tubuh atau jarum suntik yang tercemar
HIV, dan transfusi darah.
HIV menginfeksi sistem imun terutama sel limfosit CD4 dan
menimbulkan destruksi sel tersebut. HIV dapat berada laten dalam
sel imun dan dapat sewaktu-waktu aktif kembali. Replikasi virus di
dalam sel menimbulkan kematian sel dan menyebar juga limfosit
yang tidak terinfeksi, defisiensi imun dan AIDS. Bila sel CD4 turun
di bawah 100/µI, infeksi oportunistik dan terjadinya keganasan
meningkat. Dimensia akibat infeksi HIV dapat terjadi akibat
bertambahnya virus di otak.

5. Gejala klinis dan kriteria diagnosis


Gejala klinis infeksi HIV/AIDS bervariasi mulai dari tanpa
gejala, gejala ringan, sampai berat. Pembagian tingkat klinis
penyakit infeksi HIV, menurut WHO 2013 dibagi sebagai berikut:
I. Tingkat Klinis 1 (asimptomatik/limfadenopati generalisata
persisten (LGP)
1. Tanpa gejala sama sekali
2. LGP Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan
dan dapat melakukan aktivitas normal

II. Tingkat Klinis 2 (Dini)


1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis
seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus pada mulut yang
berulang dan keilitis angularis
3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
4. lnfeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya
sinusitis Pada tingkat ini penderita sudah menunjukkan
gejala, tetapi aktivitas tetap normal.

III. Tingkat Klinis 3 (Menengah)


1. Penurunan berat badan lebih dari 10%
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya
3. Demam yang tidah diketahui sebabnya selama lebih dari 1
bulan, hilang timbul maupun terus menerus
4. Kandidosis mulut
5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia)
6. Tuberkulosis paru setahun terakhir
7. lnfeksi bakterial berat, misalnya pneumonia

IV. Tingkat klinis IV


Neoplasma yang kemungkinan AIDS : memberikan 493 petunjuk
1. Sarkoma Kaposi laki-laki di bawah umur 60 tahun
2. Limfoma (non-Hodgkin)
3. Karsinoma sel skuamosa pada mulut dan anus
Selain gejala klinis dan laboratorium ada golongan yang
ditemukan termasuk high-risk group. Menurut CDC orang Haiti
sudah dapat digolongkan berisiko tinggi. Bila sindrom ditemukan
pada penderita yang termasuk golongan berisiko tinggi, maka
akan memperkuat diagnosis.

6. Diagnosis
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala
klinis dan pemeriksaan laboratorium.Seperti juga halnya penyakit
infeksi lainnya, diagnosis laboratorium HIV dapat dengan cara
deteksi langsung virus HIV atau bagian-bagian dari virus HIV
misalnya dengan pemeriksaan antigen p24, PCR HIV-RNA atau
kultur virus; atau dengan cara tidak langsung yaitu adalah dengan
deteksi respon imun terhadap infeksi HIV atau konsekuensi klinis
dari infeksi HIV. Pemeriksaan tidak langsung lebih sering
dipergunakan karena lebih mudah dan murah daripada pemeriksaan
langsung, tetapi mempunyai kerugian terutama karena respon imun
memerlukan jangka waktu tertentu sejak mulai infeksi HIV hingga
timbul reaksi tubuh. Pada waktu yang sering disebut masa jendela
atau 'window period'\n\ tubuh telah terinfeksi tetapi pemeriksaan
antibodi memberikan hasil negatif.Masa jendela dapat berlangsung
hingga 6 bulan, tetapi sebagian besar berlangsung kurang dari 3
bulan.
A. Anamnesis
1) Kemungkinan sumber infeksi HIV
2) Gejala dan keluhan pasien saat ini
3) Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan
yang diterima termasuk infeksi oportunistik
4) Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB)
termasuk kemungkinan kontak dengan TB sebelumnya
5) Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
6) Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
7) Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral
Therapy (ART)) termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT
(prevention of mother to child transmission) sebelumnya
8) Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada
perempuan
9) Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
10) Kebiasaan merokok
11) Riwayat alergi
12) Riwayat vaksinasi
13) Riwayat penggunaan NAPZA suntik
B. Pemeriksaan fisis
1) Tanda vital
2) Berat badan
3) Tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistik
C. Pemeriksaan penunjang
1) Anti HIV rapid
2) Anti- HIV ELISA 3X
3) Anti-HIV Western Blot 1X

7. Pembantu Diagnosis
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk
mendeteksi HIV, yang rutin dikerjakan di Kelompok Studi Khusus
AIDS (POKDISUS AIDS) Rumah Sakit Umum Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) ialah pemeriksaan anti-HIV yang baru
reaktif setelah 12 minggu sejak infeksi. Pemeriksaan tersebut
dilakukan dengan 3 jenis Elisa yang berbeda. Bila hasilnya
nonreaktif tetapi klinis diduga menderita AIDS perlu pemeriksaan
lebih lanjut untuk konfirmasi dengan metode Western blot

B. GENORE
1. Definisi
Istilah Gonore, digunakan pada seluruh infeksi yang
dsebabkan oleh kuman Neisseria gononhoeae. lnfeksi ini merupakan
infeksi menular seksual (IMS) yang mempunyai insidens yang
cukup tinggi di antara l.M.S lainnya. Data morbiditas di RSCM
infeksi ini menempati urutan ke -3, setelah kondiloma akuminata,
infeksi genital non spesifik.
Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae.

2. Etiologi
Etiologi Penyebab gonore adalah gonokok yang ditemukan
oleh NEISSER pada tahun 1879 dan baru berhasil dilakukan kultur
pada tahun 1882, oleh LEISTIKOW. Kuman tersebut termasuk
dalam grup Neisseria, terdapat 4 spesies, yaitu N.gonoffhoeae dan
N.meningitidis yang bersifat patogen serta N.catanhalis dan
N.pharyngis sicca yang sukar dibedakan kecuali dengan tes
fermentasi.
Daerah yang paling mudah terinfeksi ialah daerah dengan
mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang
(immatur), yakni pada vagina perempuan sebelum pubertas.

3. Gejala Klinis
Masa inkubasi sangat singkat, pada laki-laki umumnya
bervariasi antara 2-5 hari, kadangkadang lebih lama dan hal ini
disebabkan karena penderita telah mengobati diri sendiri, tetapi
dengan dosis yang tidak cukup atau gejala sangat samar sehingga
tidak diperhatikan oleh penderita. Pada perempuan masa tunas sulit
ditentukan karena pada umumnya asimtomatik. Gambaran klinis dan
komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan
anatomi dan faal genitalia.
A. Infeksi Genital
a) Pada laki-laki
 Uretritis
Yang paling sering dijumpai adalah uretritis
anterior akuta dan dapat meluas ke proksimal, selanjutnya
mengakibatkan komplikasi lokal, asendens, dan diseminata.
Keluhan subyektif berupa rasa gatal dan panas di bagian
distal uretra di sekitar orifisium uretra ekstemum, kemudian
disusul disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen
dari orificium uretra ekstemum yang kadang-kadang
disertai darah, dan disertai perasaan nyeri pada waktu
ereksi. Pada pemeriksaan tampak orifisium uretra
ekstemum hiperemis, edema dan ektropion. Pada beberapa
kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening
inguinal medial unilateral atau bilateral.

 Tysonitis
Kelenjar Tyson ialah kelenjar yang menghasilkan
smegma. lnfeksi biasanya terjadi pada penderita dengan
preputium yang panjang dan kebersihan yang kurang baik.
Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukannya butir pus atau
pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan.
Bila duktus tertutup akan timbul abses dan merupakan
sumber infeksi laten.

 Parauretritis
Sering pada orang dengan orifisium uretra
ekstemum terbuka atau hipospadia. lnfeksi pada duktus
ditandai dengan butir pus pada kedua muara parauretra.

 Littritis
Tidak ada gejala khusus, hanya pada urin ditemukan
benang-benang atau butir-butir. Bila salah satu saluran
tersumbat, dapat terjadi abses folikular. Diagnosis dengan
bantuan pemeriksaan uretroskopi.

 Cowperitis
Bila hanya duktus yang terkena biasanya tanpa
gejala, sedangkan infeksi yang mengenai kelenjar Cowper,
dapat terjadi abses. Keluhan berupa nyeri dan adanya
benjolan pada daerah perineum disertai rasa penuh dan
panas, nyeri pada saat defekasi, dan disuria. Jika tidak
diobati abses akan pecah melalui kulit perineum, uretra,
atau rektum dan mengakibatkan proktitis.

 Prostatitis
Prostatitis akut ditandai dengan rasa tidak nyaman
di daerah perineum dan suprapubis, malese, demam, nyeri
saat berkemih hematuri, spasme otot uretra hingga terjadi
retensi urin, tenesmus ani, sulit buang air besar, serta
obstipasi. Pada pemeriksaan teraba pembesaran prostat
dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan, dan didapatkan
fluktuasi bila telah terjadi abses. Jika tidak diobati, abses
akan pecah, masuk ke uretra posterior atau rektum dan
mengakibatkan proktitis. Bila prostatitis berlanjut menjadi
kronik, gejalanya ringan dan intermiten, tetapi kadang-
kadang menetap. Terasa tidak nyaman pada perineum
bagian dalam dan bila duduk terlalu lama. Pada
pemeriksaan prostat teraba kenyal, berbentuk nodus, dan
sedikit nyeri pada penekanan.

 Vesikulitis
Vesikulitis ialah radang akut yang mengenai
vesikula seminalis dan duktus ejakulatoris, dapat timbul
menyertai prostatitis akut atau epididimitis akut. Gejala
subyektif menyerupai gejala prostatitis akut, berupa
demam, polakisuria, hematuria terminal, nyeri pada saat
ereksi atau ejakulasi. Pada pemeriksaan colok dubur dapat
diraba vesikula seminalis yang membengkak dan keras
seperti sosis, memanjang di atas lokasi prostat. Ada kalanya
sulit menentukan batas kelenjar prostat yang membesar.

 Vas deferentitis atau funiculitis


Gejala berupa rasa nyeri pada daerah abdomen
bawah pada sisi yang sama dengan terjadinya infeksi.

 Epididimitis
Epididimitis akut biasanya unilateral, dan umumnya
disertai deferentitis. Keadaan yang mempermudah
timbulnya epididimitis ini adalah trauma pada uretra
posterior yang disebabkan oleh tatalaksana tidak tepat atau
kelalaian pasien sendiri. Epididimitis dan tali spermatika
membengkak dan teraba panas, juga testis, sehingga
menyerupai hidrokel sekunder. Pada penekanan terasa nyeri
sekali. Bila mengenal kedua epididimis dapat
mengakibatkan sterilitas.

 Trigonitis
lnfeksi asendens dari uretra posterior dapat
mengenai trigonum vesika urinaria. Trigonitis
menimbulkan gejala poliuria, disuria terminal, dan
hematuria.

b) Pada Perempuan
 Uretritis pada laki-laki dan perempuan
Gejala utama ialah disuria, kadang-kadang poliuria.
Pada pemeriksaan, orifisium uretra eksternum tampak
merah, edematosa dan ditemukannya sekret mukopurulen.

 Parauretritis/Skenitis
Kelenjar parauretra dapat terkena, tetapi abses
jarang terjadi.

 Servisitis
Dapat asimtomatik, kadang-kadang menimbulkan
rasa nyeri pada punggung bawah. Pada pemeriksaan,
serviks tampak hiperemis dengan erosi dan sekret
mukopurulen. Duh tubuh akan terlihat lebih banyak, bila
terjadi servisitis akut atau disertai vaginitis.

 Bartholinitis
Labium minor pada sisi yang terkena membengkak,
merah dan nyeri tekan. Kelenjar Bartholin membengkak,
terasa nyeri sekali bila berjalan dan pasien sukar duduk.
Bila saluran kelenjar tersumbat dapat timbul abses atau
dapat pecah melalui mukosa atau kulit. Bila kelainan tidak
diobati dapat rekuren atau menjadi kista.

 Salpingitis
Peradangan dapat bersifat akut, subakut atau kronis.
Ada beberapa faktor predisposisi, yaitu: masa puerperium
(nifas) dilatasi setelah kuretase pemakaian IUD, tindakan
pemasangan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim).

B. Infeksi Gonore non Genital


 Proktitis
Proktitis pada laki-laki dan perempuan pada umumnya
asimtomatik. Pada perempuan infeksi dapat terjadi akibat
perluasan infeksi di vagina dan kadang- kadang akibat infeksi
yang ditimbulkan akibat hubungan seksual anogenital,
seperti pada laki-laki yang melakukan hubungan sesama jenis.
Keluhan pada perempuan biasanya lebih ringan daripada laki-
laki, terasa seperti terbakar pada daerah anus dan pada
pemeriksaan tampak mukosa hiperemis, edema, dan tertutup
duh genital mukopurulen.

 Orofaringitis
lnfeksi terjadi melalui kontak seksual orogenital.
Faringitis dan tonsilitis gonore lebih sering daripada
ginggivitis, stomatitis, atau laringitis. Keluhan umumnya
asimtomatik. Bila ada keluhan sukar dibedakan dengan
infeksi tenggorokan yang disebabkan kuman lain. Pada
pemeriksaan daerah orofaring tampak eksudat mukopurulen
jumlah sedikit atau sedang.

 Konjungtivitis
lnfeksi ini terjadi pada bayi baru lahir dari ibu yang
menderita servisitis gonore. Konjungtivitis pada dewasa
terjadi akibat penularan pada konjungtiva melalui tangan atau
alat-alat. Keluhan yang timbul berupa fotofobi, konjungtiva
bengkak dan merah dan keluamya eksudat mukopurulen. Bila
tidak diobati dapat berakibat terjadinya ulkus komea,
enoftalmitis hingga kebutaan.

 Gonore diseminata
Kira-kira 1 % kasus gonore akan berlanjut menjadi
gonore diseminata. Penyakit ini banyak didapat pada
penderita dengan gonore asimtomatik sebelumnya, terutama
pada perempuan. Gejala yang timbul dapat berupa: artritis
(terutama monoartritis), miokarditis, endokarditis, perikarditis
dan meningitis.
4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan
klinis, dan pemeriksaan pembantu. Apabila pada layanan kesehatan
tidak didapatkan fasilitas untuk melakukan pemeriksaan dalam dan
laboratorium, dapat digunakan alur pendekatan sindrom baik untuk
pasien lakilaki maupun perempuan.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2011, diagnosis
gonorea di tegakan berdasarkan:
A. Anamnesis
1) Pada wanita : Keluhan yang sering menyebabkan wanita
datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau kekuningan
dari vagina, disertai dengan disuria, dan nyeri abdomen
bawah
2) Pada pria : keluhan tersering adalah kencing nanah. Gejala
diawali oleh rasa panas dan gatal di distal uretra, disusul
dengan disuria, polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung
uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, terdapat perasaan
nyeri saat terjadi ereksi.
B. Pemeriksaan Fisik
Infeksi gonokokal dapat dikenali melalui tanda dan gejala
khas, namun pada saat penyakit diseminata atau tractus
reproduksi atas terjadi, mukosa tempat infeksi primer dapat
tampak normal dan pasien tidak mengalami tanda dan gejala
lokal. Pada infeksi orofaring, dapat ditemukan gambaran
faringitis ringan. Pada infeksi rektal, ditemukan discharge yang
mukopurulen.
Pada infeksi okuler, biasanya berasal dari autoinoculation
dari infeksi genital. Infeksi didapatkan pembengkakan jelas
kelopak mata, hyperemia hebat dan kemosis, dan discharge yang
banyak dan purulen. Konjungtiva yang terinflamasi mungkin
menutupi kornea dan limbus, bisa didapatkan ulserasi kornea dan
kadang terjadi perforasi. Pemeriksaan fisis juga dianjurkan
mencari tanda dari infeksi menular seksual lainnya (herpes
simpleks, sifilis, chanchroid, lymphogranuloma venerum, dan
kutil genital).

C. Pemeriksaan Laboratorium
 Mikroskokop
 Kultur
 Pemeriksaan definitive

Berikut adalah uraian lima tahapan pemeriksaan pembantu:

1) Sediaan langsung

Pada sediaan langsung dengan pewamaan Gram


ditemukan gonokok Gram- negatif, intraselular dan
ekstraseluler. Bahan duh tubuh pada laki-laki diambil dari
daerah fosa navikularis, sedangkan pada perempuan diambil
dari uretra, muara kelenjar Bartholin, serviks, untuk pasien
dengan anamnesis berisiko melakukan kontak seksual
anogenital dan orogenital, maka pengambilan bahan duh
dilakukan pada faring dan rektum. Sensitivitas pemeriksaan
langsung ini bervariasi, pada spesimen duh uretra laki-laki
sensitivitas berkisar 90-95%, sedangkan dari spesimen
endoserviks sensitivitasnya hanya berkisar antara 45-65%,
dengan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-99%.

2) Kultur

Untuk identifikasi spesies perlu dilakukan pemeriksaan


biakan (kultur). Dua macam yang dapat digunakan:

a) Media Transport

 Media Stuart

Merupakan media transpor saja, sehingga


perlu ditanam kembali pada media pertumbuhan.
 Media Transgrow
Media ini selektif dan nutritif untuk N.
Gononhoeae dan N.meningitidis; dapat bertahan
hingga 96 jam dan merupakan gabungan media
transpor dan media pertumbuhan, sehingga tidak
perlu ditanam pada media pertumbuhan lagi.
Media ini merupakan modifikasi media Thayer
Martin dengan menambahkan trimetoprim untuk
mematikan Proteus spp

b) Media Pertumbuhan

 Mc Leod's chocolate agar

Merupakan media nonselektif. Berisi agar


coklat, agar serum. Selain kuman N. Gononhoeae,
kuman-kuman yang lain juga dapat tumbuh.

 Media Thayer Martin

Media ini selektif untuk isolasi N.


Gonoffhoeae. Mengandung vankomisin untuk
menekan pertumbuhan kuman Gram-positif,
kolestrimetat untuk menekan pertumbuhan bakteri
Gram-negatif, dan nistatin untuk menekan
pertumbuhan jamur.

 Modified Thayer Martin agar

lsinya ditambah dengan trimetoprim untuk


mencegah pertumbuhan kuman Proteus spp.

3) Tes identifikasi presumtif dan konfirmasi (definitif)


a) Tes oksidase
Reagen oksidasi yang mengandung larutan
tetrametil-p-fenilendiamin hidroklorida 1 %
ditambahkan pada koloni gonokok tersangka.
Semua Neisseria memberi reaksi positif dengan
perubahan wama koloni yang semula bening
berubah menjadi merah muda sampai merah
lembayung.

b) Tes fermentasi
Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes
fermentasi memakai glukosa, maltosa, dan sukrosa.
N. Gononhoea hanya meragikan glukosa

4) Tes beta-laktamase
Pemeriksaan beta-laktamase dengan menggunakan cefinase
TM dis. BBL 961192 yang mengandung chromogenic
cephalosporin, akan menyebabkan perubahan warna dari
kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim
beta-laktamase.

5) Tes Thomson
Tes Thomson ini berguna untuk mengetahui sampai di mana
infeksi sudah berlangsung. Dahulu pemeriksaan ini perlu
dilakukan karena pengobatan pada waktu itu ialah
pengobatan setempat. Pada tes ini ada syarat yang perlu
diperhatikan:
 Sebaiknya dilakukan setelah bangun pagi
 Urin dibagi dalam dua gelas
 Tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas II
Syarat mutlak ialah kandung kencing harus mengandung air
seni paling sedikit 80-100 ml, jika air seni kurang dari 80 ml,
maka gelas II sukar dinilai karena baru menguras uretra
anterior.

C. SIFILIS
1. Definisi
Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Treponema palidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada
perjalannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat
menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin.

2. Epidemiologi
Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum
dikenal di Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari
penduduk Indian yang dibawa oleh anak buah Columbus waktu
mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492.
lnsidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun
1996 berkisar antara 0,04- 0,52%. lnsidens yang terendah di Cina,
sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia
insidensnya 0,61 %. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah
stadium laten, di susul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka
ialah sifilis stadium II.

3. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn
dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo
Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema.
Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar
0, 15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan.
Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan
pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada
stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.
Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar
badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam
darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.

4. Patogenesis
A. Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, T.pallidum masuk ke dalam
kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui
sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan
membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan selsel
plasma, terutama di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah
kecil berproliferasi di kelilingi oleh T.pallidum dan sel-sel
radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler
dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh
darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium yang
menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan
pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis
tampak sebagai S I.
Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah
bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu
terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar ke semua
tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan
sebagai S II, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S
I. S I akan sembuh perlahan- lahan karena kuman di tempat
tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-
fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga
mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun
infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium
ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenita.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi
sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan
menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui
jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II,
yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu.
Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada
umumnya tidak melebihi dua tahun 3-10 tahun.
B. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya
treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi
tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara
treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,
sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu
faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma.
Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.pallidum,
reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung
bertahun-tahun. Setelah mengalama masa laten yang bervariasi
guma tersebut timbul di tempat-tempat lain.
Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem
saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan
sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan
gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat
gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya.
Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi
gejala.

5. Diagnosis
A. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat seksual dan
sosial pasien. Pertanyaan meliputi jumlah pasangan seksual,
penggunaan kondom, riwayat infeksi menular seksual pada
pasien dan pasangannya, penggunaan napza, dan paparan
terhadap produk darah. Tanyakan juga riwayat munculnya
chancre yang sembuh sendiri pada daerah kelamin, anus, vulva,
atau perineum.

B. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan data dari Perhimpuan Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin Indonesia tahun 2017, pemeriksaan fisik dan
penunjang dibagi berdasarkan stadium sifilis, yaitu:
I. Stadium 1 (Sifilis Primer)
Tempat predileksi
 Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus koronarius,
wanita di labia minor dan mayor.
 Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus.

II. Stadium 2 (Sifilis Sekunder)


Bentuk lesi
 Roseola sifilitika
 Papul
 Pustul
 Konfluensi papul, pustul dan krusta

III. Stadium 3 (Sifilis Tersier)


 Bentuk lesi yang khas yaitu guma
 Nodus

15. Bagaimana tata laksana dari DS (diagnosis sementara)?


Secara umum, penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan
antiretrovial (ARV), pengobatan terhadap infeksi oportunistik, dan
pengobatan suportif.
Tatalaksana setelah diagnosis HIV ditegakkan:
A. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap
kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
Tabel stadium klinis infeksi HIV:
Sumber: (Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral; 2011)

B. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan Jumlah CD4)


Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA). Pemeriksaan CD4 melengkapi
pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan
pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4
adalah sekitar 70-100 sel/mm3 per tahun. Pengobatan ARV pada
pasien HIV diberikan ketika perhitungan CD4 telah mencapai nilai
kurang dari 350 sel/mm3.

C. Pemeriksaan Laboratorium Sebelum Memulai Terapi


Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan
persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4
dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien
yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan
dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV.
Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal
sebelum memulai ART apabila sumber daya memungkinkan:
 Darah lengkap*
 Jumlah CD4*
 SGOT / SGPT*
 Kreatinin Serum*
 Urinalisa*
 HbsAg*
 Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau dengan riwayat IDU)
 Profil lipid serum
 Gula darah
 VDRL/TPHA/PRP
 Ronsen dada (utamanya bila curiga ada infeksi paru)
 Tes Kehamilan (perempuan usia reprodukstif dan perluanamnesis
mens terakhir)
 PAP smear / IFA-IMS untuk menyingkirkan adanya Ca Cervix yang
pada ODHA bisa bersifat progresif)
 Jumlah virus / Viral Load RNA HIV** dalam plasma (bila tersedia
dan bila pasien mampu)
Catatan:
* Adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi
ARV karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini
perlu mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
** Pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila
pasien punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan
menentukan suatu keadaan gagal terapi.

D. Persyaratan Lain Sebelum Memulai Terapi ARV


Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling VCT (Voluntary Counseling and Testing),
karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

E. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)


Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah
dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam
pengobatan pencegahan, yaitu:
 Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan
pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan
kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan
dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma)
dan Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci,
disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah
(secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis
disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).

Tatalaksana Pengobatan ARV:


A. Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan
pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis
infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah
penderita sudah memenuhi syarat terapi ARV atau belum.
B. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang
Aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu
pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam
tabel berikut.

Sumber: (Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral; 2011)

C. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam
pengobatan ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu:
 Efektivitas
 Efek samping / toksisitas
 Interaksi obat
 Kepatuhan
 Harga obat
 Prinsip dalam pemberian ARV adalah
 Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap
dan berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin
efektivitas penggunaan obat.
 Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan
mendekatkan akses pelayanan ARV.
 Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan
menerapkan manajemen logistik yang baik.
D. Berbagai Pertimbangan dalam Penggunaan dan Pemilihan Paduan
Terapi ARV
 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
 Pemberian Triple NRTI
 Penggunaan Zidovudin (AZT) dan Tenofovir (TDF)
 Penggunaan Stavudi (d4T) • Penggunaan Protease Inhibitor (PI)

E. Sindrom Pulih Imun (SPI - immune reconstitution syndrome = IRIS)


Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution
Inflammatory Syndrome (IRIS) adalah perburukan kondisi klinis
sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan
respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral. Sindrom pulih
imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun
non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa
inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini
didefinisikan sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan
infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons imun spesifik
patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV. Mekanisme
SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan
respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap
rangsangan antigen tertentu setelah pemberian ARV.

F. Kepatuhan
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan
dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri,
bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena
diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat.
Kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada
setiap kunjungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan:
 Fasilitas layanan Kesehatan
 Karakteristik pasien
 Paduan terapi ARV
 Karaktersitik penyakit penyerta
 Hubungan pasien dengan tenaga Kesehatan
 Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan:
 Memberikan informasi
 Konseling perorangan
 Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat rencana terapi
(Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2011.)

16. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan agar keluhan tidak


terulang kembali?
A. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah
dengan pemberian pengobatan profilaksis.Terdapat dua macam
pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis
sekunder.
 Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya Berbagai penelitian telah membuktikan
efektifitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi
infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan
Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci,
disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah
(secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis
disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).

B. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), National Institutes of


Health, dan sumber lainnya, penularan HIV dapat dicegah dengan:
1. Hindari Penggunaan Narkoba
Hindari menggunakan narkoba, apalagi berbagi jarum
suntik dengan orang lain.
2. Jangan Menjadi Donor Bila Positif
Jika seseorang dinyatakan positif HIV, maka dirinya tidak
diperbolehkan mendonorkan darah, plasma, organ tubuh, atau
sperma.
3. Praktik Seks yang Aman
Terapkan praktik seks yang aman.Misalnya, menggunakan
kondom lateks untuk mencegah penularan HIV.Selain itu,
hindarilah untuk bergonta-ganti pasangan seks.
4. Sunat Pada Pria
Terdapat beberapa studi dan bukti yang mengatakan bahwa,
sunat pada pria dapat membantu mengurangi risiko tertular HIV.
5. Hindari Kontak dengan Darah
Penularan HIV juga bisa dicegah dengan menghindari
kontak dengan darah.Bila tak memungkinkan, kenakan pakaian
pelindung, masker, dan kacamata saat merawat orang yang
terluka.
6. Tes HIV secara Rutin
Tes HIV sebaiknya dilakukan oleh tiap individu, terutama
di usia 13-64 tahun (terutama aktif secara seksual, pekerja medis,
atau orang yang rentan terkena), sebagai bagian dari pemeriksaan
kesehatan secara rutin.
7. Lakukan Profilaksis Pasca Pajanan (PEP)
Lakukan post-exposure prophylaxis (PEP) atau profilaksis
pasca pajanan.PEP adalah bentuk perawatan untuk mencegah
HIV, yang biasanya dilakukan setelah terjadi tindakan-tindakan
yang berisiko menyebabkan HIV.
Lakukanlah PEP sesegera mungkin dalam 72 jam pertama,
karena prosedur ini dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV.
Dalam perawatan PEP, pseseorang nanti akan diberikan obat-
obatan yang perlu dikonsumsi kira-kira selama 28 hari.
8. Hindari pemakaian jarum suntik berulang kali.
(Pusponegoro EHD, Nilasari H, Niode NJ,. Daili SF, Djauzi S,
Lumintang H.)

DAFTAR PUSAKA
Abubakar R. 2016. Management of Scabies in Children Orphanage. Journal
Majority. Juke Kedokteran.unila.ac.id.4

Adhi, Djuanda,2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

Baratawidjaja, Karnen Garna dan Rengganis, Iris. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta:
FKUI

Coco A. 2005. The cost-effectiveness of expanded testing for primary HIV


infection AIDS. Ann Fam Med. 3:391-9.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.


Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis HIV dan Terapi Antiretroviral pada
Orang Dewasa dan Remaja. Jakrta: Kementrian Kesehatan RI 2011.

Djauzi, S, Djoerban. 2007. HIV/AIDS Di Indonesia (Ilmu Ajar Penyakit Dalam).


Jakarta: Erlangga, 2007.

Fadhilah N. 2021. Faktor Demografi yang Berhubungan dengan Kejadian


SCABIES di Panti Asuhan Kota Palembang. respiratory.radenfatah.ac.id.

Goldsmith LA, Katz SI, Poller AS, Wolff K,. 2019. In: Structure of Skin Lesions
and Fundamental of Clinical Diagnosis. Fitzpatrick General Dermatology
9th edition, McGrawHill, 2019.

Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium,.


Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mac Adam AJ and Sharpe AH. 2005. Infectious disease. In: Kumar V, Abbas AK,
Fausto N. Pathology basis of disease. 7th. Pennsylvania: Saunders
Elsevier. p.386-7.

PDPI JATIM. 2017. Batuk Berdahak Dan Kering, Kenali Perbedaannya Hingga
Penyebabnya. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jawa Timur.
Pusponegoro EHD, Nilasari H, Niode NJ,. Daili SF, Djauzi S, Lumintang
H. 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di. Indonesia. Jakarta: Badan
Penerbit FK. UI

Robbins S.L, Cotran R.S, Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi Dasar Robbins.
Edisi 10. EGC, Jakarta

Simanjuntak AM, Andriyani Y. 2022. Pengetahuan dan Sikap Santi Mengenai


Personal Hygiene terhadap Kejadian Skabies di Pesantren Modern Ta'bih
Al Syakrin. Scripta score scientific medical journal.

Siti Setiati, dkk. 2014. Ilmu penyakit dalam ( IPD) jilid 1 edisi VI. Internal
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.  Jakarta.

Siti Setiati, Idrus Alwi, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
VI. Jakarta : Interna Publishing

Sri Linuwih SW Menaldi, Kusmarinah Bramono, et al. 2015. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi Ketujuh. Depok : Balai Penerbit FKUI

Subowo. 2010. Imunologi Klinik. SagungSeto. Jakarta

Teguh H., Karjadi, Siti Setiati. 2016. Department of Dermatology,Jurnal ‘Tattoo


Clinic. Vol.3, No.2.

Wasitaatmadja SM. 2011. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofima. Dalam:


Djuanda, Adhi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6.
Jakarta: FKUI

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya (Edisi 2). Hal.146

Windarti Indri. 2014. Limfadenitis HIV vol. 2. Lampung: Bagian Patologi


Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Medula.

Anda mungkin juga menyukai