MODUL I BENGKAK
OLEH
KELOMPOK IX
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
LAPORAN TUTORIAL MODUL BENGKAK
I. SKENARIO
Seorang anak perempuan umur 10 tahun datang berobat ke poliklinik
dengan keluhan bengkak pada muka setelah makan udang di sari laut. Selain itu
juga mengeluh gatal dan muncul bentol-bentol di badan. Keluhan ini telah
dirasakan sejak kecil. Ibunya mempunyai riwayat menderita asma.
2. Bentol-bentol
Bentol atau dalam bahasa medis Urtikaria adalah reaksi pada kulit akibat
bermacam-macam sebab. Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata,
hives, nettle rash. Ditandai oleh edema (bengkak) setempat yang timbul
secara mendadak dan menghilang perlahan-lahan, berwarna kemerahan dan
pucat, meninggi di permukaan kulit. (Aulady F., 2019)
3. Asma
Asma adalah penyakit kronis yang memengaruhi saluran udara dan paru-
paru yang di tandai dengan kesulitan bernapas/sesak napas dengan derajat
yang berbeda beda. (Umara AF, 2021)
1
IV. PERTANYAAN
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi dari bengkak (edema)!
2. Jelaskan etiologi dari bengkak (edema)?
3. Apakah penyebab dari edema terkait skenario di atas?
4. Bagaimana mekanisme pengaturan keseimbangan cairan dalam tubuh?
5. Jelaskan patomekanisme dari bengkak secara umum!
6. Jelaskan patomekanisme gatal dari skenario!
7. Jelaskan hubungan edema/bengkak dengan riwayat mengonsumsi udang!
8. Bagaimana hubungan gejala anak tersebut dengan asma yang diderita ibunya?
9. Jelaskan penyakit apa saja yang berkaitan dengan skenario?
10. Bagaimana cara menanggulangi penyakit pada anak tersebut?
V. JAWABAN PERTANYAAN
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi terkait edema !
Jawab :
1. Definisi Edema
Edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel
tubuh atau dalam berbagai rongga tubuh. (beberapa ahli juga memasukkan
dalam definisi tersebut penimbunan cairan yang berlebihan didalam sel).
2. Klasifikasi Edema
Berdasarkan peletakannya:
1. Edema lokalisata / lokal
Edema yang terbatas pada organ atau pembuluh darah tertentu.
Contoh : pada muka (facial edema): disebabkan oleh reaksi alergi
(angioedema), Pada ekstremitas (unilateral): disebabkan oleh obstruksi pada
vena atau pembuluh-pembuluh limfe, misalnya: trombosis vena dalam,
obstruksi obstruksi oleh tumor. (Ian Effendi, 2006)
2
Berdasarkan penekanan pada kulit:
3. Edema pitting
Edema pitting adalah mengacu pada perpindahan (menyingkirkan) air
interstisial oleh tekanan dari pada kulit yang meninggalkan cekungan.
Setelah tekanan dilepas memerlukan beberapa menit bagi cekungan ini
untuk kembali pada keadaan semula. (Kumar Abbas Aster. 2013)
3
tekanan kearah luar. Ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan
edema lokal yang berkaitan dengan cedera (lepuh) dan respon alergi
(biduran). (Sylvia A. 2003)
4
mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas secara langsung disebabkan oleh
mediator seperti histamin, bradikinin, leukotrien, dan substansi P yang
menyebabkan kontraksi sel endotel dan pelebaran gap (celah) interendothelial.
Selanjutnya, pelepasan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor
(INF), dan y-interferon menginduksi penyusunan ulang sitoskeletal dalam sel
endotel yang mengakibatkan retraksi (penarikan kembali) sel endotel dan
pelebaran celah interendothelial yang lebih persisten. Pergerakan cairan
intravaskular melalui celah-celah ini ke interstitium menyebabkan terjadinya
edema lokal yang dapat mencairkan agen inflamasi akut. Reaksi ini berakhir
dengan terjadinya edema lokal dan akan kembali normal apabila rangsangan yang
terjadi mulai berkurang. (Price, S.A., 2006)
5
terpajan. Vasopresin meningkatkan permeabilitas bagian akhir tubulus ini
terhadap H2 O. Jumlah H2 O yang direabsorpsi dapat disesuaikan untuk
memulihkan osmolaritas CES ke normal, bergantung pada jumlah vasopresin
yang ada. Vasopresin diprodulai oleh hipotalamus dan disimpan di kelenjar
hipofisis posterior. Hormon ini dibebaskan dari hipofisis posterior berdasarkan
perintah dari hipotalamus. (Sherwood, L., 2011)
Sinyal eksitatorik utama untuk sekresi vasopresin dan rasa haus berasal dari
osmoreseptor hipotalamus yang terletak dekat sel penghasil vasopresin dan pusat
haus. Osmoreseptor ini memantau osmolaritas cairan di sekeliling mereka, yang
selanjutnya mencerminkan konsentrasi keseluruhan lingkungan cairan internal.
Seiring dengan peningkatan osmolaritas (H2 O terlalu sedikit) dan kebutuhan akan
konservasi H2 O bertambah, sekresi vasopresin dan rasa haus diaktifkan.
Akibatnya, reabsorpsi H2 O di tubulus distal dan koligentes meningkat sehingga
pengeluaran urin berkurang dan H2 O dihemat, sementara asupan H2 O secara
bersamaan dirangsang. Efek-efek ini memulihkan simpanan H2 O yang berkurang
sehingga kondisi hipertonik mereda dengan pulihnya konsentrasi zat-zat terlarut
ke normal. Sebaliknya, kelebihan H2 O, yang bermanifestasi sebagai penurunan
osmolaritas CES, mendorong peningkatan ekskresi urin (melalui penurunan
sekresi vasopresin) dan menekan rasa haus, yang bersama-sama mengurangi
jumlah air di dalam tubuh. (Sherwood, L., 2011)
PERAN RESEPTOR VOLUME ATRIUM KIRI
6
yang terletak di atrium kiri, memantau tekanan darah yang mengalir, yarg
mencerminkan volume CES. Sebagai respons terhadap penurunan mencolok
volume CES (kehilangan volume >7%) dan tekanan darah arteri, seperti ketika
terjadi perdarahan, reseptor volume arrium kiri secara refleks merangsang sekresi
vasopresin dan rasa haus. Pengeluaran vasopresin dan meningkatnya rasa haus
masing-masing menurunkan pengeluaran urin dan meningkatkan pemasukan
cairan. Selain itu, vasopressin yang dipicu oleh penurunan mencolok volume CES
dan tekanan arteri, di sirkulasi menimbulkan vasokonstriksi pada arteriol. Dengan
membantu memperbesar CES dan volume plasma serta dengan meningkatkan
resistensi perifer total, vasopresin membantu mengatasi penurunan tekanan darah
yang memicu sekresi vasopresin. Sebaliknya, vasopresin dan rasa haus dihambat
ketika volume CES/plasma dan tekanan darah arteri meningkat. Penekanan
asupan H2 O, disertai oleh eliminasi kelebihan volume CES/plasma melalui urin,
membantu memulihkan tekanan darah ke normal. Ingatlah bahwa volume CES /
plasma yang rendah serta penurunan tekanan darah arteri juga secara refleks
meningkatkan sekresi aldosteron. Peningkatan reabsorpsi Na. yang terjadi
akhirnya menyebabkan retensi osmorik H2 O ekspansi volume CES, dan
peningkatan tekanan darah arteri. Pada kenyataannya, reabsorpsi Na. yang
dikontrol oleh aldosteron. (Sherwood, L., 2011)
Gambar 1. kontrol peningkatan sekresi vasopresin dan rasa haus selama defisit H2 O
7
RAA-System
8
5. Jelaskan patomekanisme dari bengkak secara umum?
Jawab :
9
mengakibatkan terjadinya asites, sedangkan pada sistem vena pulmonary (gagal
jantung kiri) menyebabkan edema paru-paru dan apabila terjadi peningkatan
hidrostatik pada kedua sistem vena (gagal jantung umum) akan menyebabkan
terjadinya edema umum. Edema umum dapat mengakibatkan penurunan volume
sirkulasi plasma yang dapat mengaktifkan berbagai pengaturan volume respon
dari kompensasi. Volume plasma meningkat melalui retensi natrium disebabkan
oleh aktivasi jalur renin- angiotensin-aldosteron dan retensi air dimediasi oleh
pelepasan hormone antidiuretik (ADH) diikuti dengan aktivasi volume
intravaskuler dan resepto tekanan. Hasil dari volume intravaskuler yang
berlebihan semakin mempersuli pergerakan distribusi cairan yang diikuti dengan
terjadinya gagal jantung. (Price, S.A., 2006)
c. Penurunan tekanan osmotik intravaskuler
10
6. Jelaskan patomekanisme gatal dari skenario !
Jawab :
Alergi adalah reaksi berlebihan terhadap benda atau bahan makanan tertentu
dimana makanan atau bahan-bahan tersebut sebenarnya tidak berbahaya bagi
orang yang tidak menderita alergi, bahan bahan ini dinamakan allergen sedangkan
orang yang rentan alergi disebut atopi.
Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler biasanya berkaitan dengan reaksi
awal dari mikrovaskuler terhadap peradangan (inflamasi) atau rangsangan
immunologis, yang mana rangsangan ini dicetuskan oleh allergen makanan
berupa Udang. Sebagai reaksi tubuh terhadap allergen, immunitas tubuh akan
bekerja sama melawan penyebab allergen tersebut. Rangsangan allergen tersebut
menginduksi pelepasan mediator lokal yang menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas secara
langsung disebabkan oleh mediator seperti histamin, bradikinin, leukotrien, dan
substansi P yang menyebabkan kontraksi sel endotel dan pelebaran gap (celah)
interendothelial. Selanjutnya, pelepasan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), tumor
necrosis factor (INF), dan IFN-γ menginduksi penyusunan ulang sitoskeletal
dalam sel endotel yang mengakibatkan retraksi (penarikan kembali) sel endotel
11
dan pelebaran celah interendothelial yang lebih persisten. Pergerakan cairan
intravaskular melalui celah-celah ini ke interstitium menyebabkan terjadinya
edema lokal yang dapat mencairkan agen inflamasi akut. (Wilson LM, 1995)
Reaksi ini berakhir dengan terjadinya edema lokal dan akan kembali normal
apabila rangsangan yang terjadi mulai berkurang. Namun, sebahagian besar kasus
dapat berlajut mengakibatkan kebocoran protein plasma dan emigrasi leukosit
sebagai awal dari pembentukan eksudat inflamasi akut. (Wilson LM, 1995)
Beberapa narasumber menyebutkan pernah memiliki riwayat alergi berat
terhadap makanan seperti udang, kacang-kacangan, dan kepiting. Alergi sendiri
merupakan suatu penyakit yang dapat disebabkan oleh faktor genetik yang
diturunkan dari orang tua, faktor lingkungan dan nutrisi yang dapat berpengaruh
terhadap penurunan fungsi sistem imun sehingga hipersensitivitas tubuh
meningkat. Gejala alergi ringan yang terjadi bisa berupa timbul rasa gatal pada
kulit, kemerahan pada kulit atau mata, pembengkakan pada mata, wajah,
tenggorokan, dan bibir, bersin-bersin serta hidung berair. (Salsabilla NA, 2018)
Fakta bahwa udang menjadi makanan yang banyak sebagai allergen pada
orang Indonesia didukung oleh penelitian Candra (2011) yang menunjukkan
sebagian besar 49% responden sensitif terhadap alergen makanan. Jenis makanan
yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-anak dan dewasa berturut-
turut adalah udang, putih telur dan maizena. (Candra, Y, 2011)
12
menderita penyakit atopi di kemudian hari. Bila salah satu orang tua mempunyai
riwayat penyakit atopi, maka kemungkinan anaknya menjadi atopi juga adalah
19,8%. Bila atopi mengenai kedua orang tua, maka frekuensi kemungkinan
anaknya menderita atopi membesar menjadi 42,9%,. dan 72,2% mengalami atopi
bila kedua orang tua mempunyai riwayat atopi yang sama misalnya sama-sama
asma, serta 85% menjadi atopi jika baik kedua orang tua maupun saudara kandung
mempunyai riwayat atopi. (Bachtiar, 2010)
Berdasarkan gejala yang diderita oleh anak pada skenario, berikut ini
beberapa penyakit/kelainan yang berkaitan :
1. Angiodema
Angiodema dapat terjadi karena reaksi alergi dan non alergi yang dimediasi
oleh histamin atau bradikinin. Beberapa pemicu terjadinya angioedema akibat
reaksi alergi diantaranya adalah obat-obatan, makanan, bulu binatang, serbuk sari,
spora jamur, gigitan serangga dan lain-lain. Beberapa makanan yang dapat memicu
terjadinya angioedema diantaranya yaitu buah-buahan, ikan, udang, babi, kerang,
produk susu, kacang-kacangan, serta cokelat.
Angioedema ditandai dengan karakteristik berikut:
1. Edema dermis bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul mendadak,
dapat berwarna kemerahan ataupun warna lain, sering disertai edema membran
mukosa.
13
2. Lebih sering dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal, dan dapat
menghilang setelah 72 jam. (Guyton, 2008)
Epidemiologi Angiodema
Angiodema dapat terjadi pada semua usia tetapi paling sering terjadi pada
usia dewasa muda. Sekitar 10 – 20 % penduduk di seluruh dunia akan mengalami
angioedema dalam masa kehidupan mereka, kejadiannya sama antara wanita dan
laki-laki. (Rafikasari, A., 2019)
2. Urtikaria
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit
yang timbul mendadak dan/atau disertai angiodema.(Siannoto, M., 2017).
Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan
menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang
dilepaskan setempat akan menimbulkan : vasodilatasi yang menyebabkan
timbulnya kemerahan dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga
dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat yang
berbatas jelas.(Guyton, Arthur C., 2008)
Epidemiologi Urtikaria
Dalam sebuah studi deskriptif retrospektif yang dilakukan di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, didapatkan 463 pasien urtikaria pada periode 2015-2017.
Kelompok usia yang paling banyak menderita urtikaria adalah umur 12-25 tahun.
Pasien perempuan menderita urtikaria 1,8 kali lebih banyak dari pasien laki-laki.
(Rafikasari, A., 2019)
3. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang paling sering
ditemui pada praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi
dan anak-anak.1-3 Penyakit kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai oleh
inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan episode eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan
orang-orang terdekat pasien.(Movita, T., 2014)
Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus/gatal, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya pada malam hari akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, ekskoriasi, eksudasi dan krusta (Anglingsari, 2000).
Tahap-tahap dermatitis atopik dimulai dari kemerahan kulit yang bisa
dipicu oleh bahan-bahan iritan, atau alergen. Terjadi proses inflamasi yaitu
14
mediator inflamasi (sel mast, basofil, sel Th2, eosinofil) yang dilepaskan dikulit
sehingga pada akhirnya bermanifestasi menjadi bengkak yang dapat nampak pada
kulit. (Monica S, 2008)
Epidemiologi Dermatitis Atopik
Prevalensi Dermatitis Atopik meningkat dua sampai tiga kali lipat di negara
industri selama tiga dekade terakhir yaitu 15-30% pada anak dan 2-10% pada
dewasa. Data terbaru menunjukkan bahwa Dermatitis Atopik merupakan masalah
utama di negara berkembang. Sekitar 85% pasien dengan Dermatitis Atopik adalah
anak usia dini, dan 70% dari pasien Dermatitis Atopik berlanjut menjadi asma atau
rhinitis alergi. (Eliska, N., 2015)
Jawab :
Makanan yang paling sering menimbulkan alergi ialah telur, susu, gandum,
kacang kedelai, kacang tanah dan ikan. Selain itu juga menghindari aeroallergen
seperti tungau debu rumah, bulu binatang, rumput, dan serbuk sari. Stress
emosional juga turut menjadi penyebab bagi beberapa penderita, terutama
kalangan remaja dan dewasa akibat frustasi dan rasa gatal yang berlebihan. .
(Widjaja, M.C., 2005)
Didalam proses pengobatan dikenal pula pemberian diet ketat untuk
beberapa makanan yang menimbulkan reaksi alergi. Ada makanan yang tidak atau
sedikit menimbulkan reaksi alergi jika dikonsumsi sendiri, tetapi akan
menimbulkan reaksi hebat jika dikonsumsi bersamaan (kombinasi). Hal ini
disebut alergi fixed type. Sedangkan apabila tidak mengonsumsi suatu makanan
dalam tempo yang lama dan ketika dimakan lagi tidak menimbulkan reaksi alergi.
Hal ini disebut clinical type. (Widjaja, M.C., 2005)
15
Memberikan obat
Obat antialergi yang diberikan biasanya berupa antihistamin yang bekerja
dengan cara berkompetisi dengan zat histamin. Antihistamin tidak bertindak
menghalangi pembentukan histamin oleh IgE, tetapi menghambat masuknya
histamin ke dalam sel penerima (reseptor). Karena itu, antihistamin diberikan
bukan untuk mencegah serangan. Contoh obat anti histamin yakni cholpheniramin
maleat (ctm). (Widjaja, M.C., 2005)
Kortikosteroid oral adalah obat yang mampu mengatasi pembengkakan
dan peradangan yang mencetuskan serangan asma. Obat jenis ini butuh 6-8 jam
untuk mulai bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya
kerjanya bisa dirasakan. (Iwan Hadibroto, 2005)
16
Tabel. Obat kortikosteroid
Nama Generik Dosis (Bentuk
oral)
Fluodrokortison asetat 0,1 mg
Kortisol/Hidrokortison 5-20 mg
Kortisol Sipionat 5-20 mg
Prednison 5 mg
Prenisolon 5 mg
Metilprednisolon 4 mg
6-metil prednisolon 4 mg
Deksametason 0,5 mg (eliksir)
Parametason asetat 1,2 mg
Betametason 0,6 mg
Triamsinolon 4 mg
17
DAFTAR PUSTAKA
18
14. Movita, Theresia. "Tatalaksana Dermatitis Atopik." Cermin Dunia
Kedokteran, vol. 41, no. 11, 2014
15. Monica Santi Samwestu. Penggunaan Steroid Topikal untuk Eksim, 2008
16. Anglingsari. Kulit Cermin Kepribadian, 2000
17. Rafikasari A, Fetarayani D, Setyaningrum T. Profil pasien urtikaria.
Periodical of Dermatology and Venereology. 2019;31(3):222-7.
18. Widjaja, M.C ; Mulyono. Mencegah & mengatasi alergi & asma pada
balita. Edisi 4 Depok : Kawan Pustaka : 2005
19. Iwan Hadibroto, Syamsir Alam. Asma: informasi lengkap untuk penderita
dan keluarganya. Indonesia: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
20. Sulistia Gan Gunawan. 2016. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI
19