Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TUTORIAL

MODUL I BENGKAK

OLEH
KELOMPOK IX

TUTOR : dr. Fauziah Ibrahim


Nurhasanah Syifa K1A118019
Anita Lestari Ningrum K1A121074
Deswita Maharani K1A122006
Dilsa Amalia Kinanti K1A122007
Tiara Rizkya Iftinan K1A122027
Aulia Nur Ramadhani K1A122036
Ratu Tiara Batara K1A122065
Ridha Mardhatillah K1A122066
Siti Nadhifa Ayutia K1A122067
Cheezcia Amba Lembang M. K1A122088
Ditha Aulidya Nur Syahbani K1A122089
Nur Hasanah Rappe K1A122112
Nur Hikma Awalya K1A122113
Wa Ode Nur Azzahra K1A122134
Winda Yani K1A122135

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI
2022
LAPORAN TUTORIAL MODUL BENGKAK

I. SKENARIO
Seorang anak perempuan umur 10 tahun datang berobat ke poliklinik
dengan keluhan bengkak pada muka setelah makan udang di sari laut. Selain itu
juga mengeluh gatal dan muncul bentol-bentol di badan. Keluhan ini telah
dirasakan sejak kecil. Ibunya mempunyai riwayat menderita asma.

II. KATA/ KALIMAT SULIT


1. Bengkak/Edema
Edema (oedema) atau sembab adalah meningkatnya volume cairan
ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan
penimbunan cairan abnormal dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa
(jaringan ikat longgar dan rongga-rongga badan). (Wheda, 2010).

Edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel tubuh


atau dalam berbagai rongga tubuh. (Vinay Kumar, 2013)

2. Bentol-bentol
Bentol atau dalam bahasa medis Urtikaria adalah reaksi pada kulit akibat
bermacam-macam sebab. Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata,
hives, nettle rash. Ditandai oleh edema (bengkak) setempat yang timbul
secara mendadak dan menghilang perlahan-lahan, berwarna kemerahan dan
pucat, meninggi di permukaan kulit. (Aulady F., 2019)

3. Asma
Asma adalah penyakit kronis yang memengaruhi saluran udara dan paru-
paru yang di tandai dengan kesulitan bernapas/sesak napas dengan derajat
yang berbeda beda. (Umara AF, 2021)

III. KATA/KALIMAT KUNCI


1. Anak perempuan berumur 10 tahun.
2. Bengkak pada muka setelah makan udang.
3. Mengalami gatal dan bentol-bentol pada badan.
4. Keluhan dirasakan sejak kecil.
5. Ibunya mempunyai riwayat menderita asma.

1
IV. PERTANYAAN
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi dari bengkak (edema)!
2. Jelaskan etiologi dari bengkak (edema)?
3. Apakah penyebab dari edema terkait skenario di atas?
4. Bagaimana mekanisme pengaturan keseimbangan cairan dalam tubuh?
5. Jelaskan patomekanisme dari bengkak secara umum!
6. Jelaskan patomekanisme gatal dari skenario!
7. Jelaskan hubungan edema/bengkak dengan riwayat mengonsumsi udang!
8. Bagaimana hubungan gejala anak tersebut dengan asma yang diderita ibunya?
9. Jelaskan penyakit apa saja yang berkaitan dengan skenario?
10. Bagaimana cara menanggulangi penyakit pada anak tersebut?

V. JAWABAN PERTANYAAN
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi terkait edema !
Jawab :
1. Definisi Edema
Edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel
tubuh atau dalam berbagai rongga tubuh. (beberapa ahli juga memasukkan
dalam definisi tersebut penimbunan cairan yang berlebihan didalam sel).

2. Klasifikasi Edema
Berdasarkan peletakannya:
1. Edema lokalisata / lokal
Edema yang terbatas pada organ atau pembuluh darah tertentu.
Contoh : pada muka (facial edema): disebabkan oleh reaksi alergi
(angioedema), Pada ekstremitas (unilateral): disebabkan oleh obstruksi pada
vena atau pembuluh-pembuluh limfe, misalnya: trombosis vena dalam,
obstruksi obstruksi oleh tumor. (Ian Effendi, 2006)

2. Edema generalisata (umum)


Pembengkakan terjadi pada seluruh tubuh atau pada seluruh tubuh
atau sebagian besar tubuh penderita. Contoh : Pada ekstremitas bawah,
terutama setelah berdiri lama dan disertai dengan edema pada paru yang
disebabkan oleh kelainan jantung. (Ian Effendi, 2006)

2
Berdasarkan penekanan pada kulit:
3. Edema pitting
Edema pitting adalah mengacu pada perpindahan (menyingkirkan) air
interstisial oleh tekanan dari pada kulit yang meninggalkan cekungan.
Setelah tekanan dilepas memerlukan beberapa menit bagi cekungan ini
untuk kembali pada keadaan semula. (Kumar Abbas Aster. 2013)

4. Edema non pitting


Edema non pitting adalah terlihat pada area lipatan kulit yang longgar,
seperti periorbital pada wajah. Edema non pitting apabila ditekan, bagian
yang ditekan itu akan segera kembali ke bentuk semula. (Kumar Abbas
Aster. 2013)

2. Jelaskan etiologi dari bengkak (edema)!


Jawab :

Edema merupakan pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan


interstisium. Penyebab edema dapat dikelompokan menjadi lima kategori umum:

a. Penurunan konsentrasi protein plasma.


Apabila konsentrasi protein plasma menurun maka dapat
menyebabkan penurunan tekanan osmotik plasma.Penurunan ini
menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih tinggi
sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari normal dengan
demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang-ruang
interstisium. Edema yang disebabkan oleh penurunan konsentrasi protein
plasma dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu, pengeluaran berlebihan
protein plasma di urin akibat penyakit ginjal, penurunan sintesis protein
plasma akibat penyakit hati (hati mensintesis hampir semua protein plasma),
makanan yang kurang mengandung protein atau pengeluaran protein akibat
luka bakar yang luas. (Sylvia A. 2003)

b. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler


Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein
plasma yang keluar dari kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih
banyak. Sebagai contoh, melalui pelebaran pori-pori kapiler yang
dicetuskan oleh histamin pada cedera jaringan atau reaksi alergi. Kemudian
terjadi penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang menurunkan kearah
dalam sementara peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstisium
yang diseabkan oleh kelebihan protein di cairan interstisium meningkatkan

3
tekanan kearah luar. Ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan
edema lokal yang berkaitan dengan cedera (lepuh) dan respon alergi
(biduran). (Sylvia A. 2003)

c. Peningkatan tekanan vena


Ketika darah terbendung di vena maka akan disertai peningkatan
tekanan darah kapiler kerena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena.
peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada
edema yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Edema regional juga dapat
terjadi karena restriksi lokal aliran balik vena. Salah satu contoh adalah
adalah pembengkakan di tungkai dan kaki yang sering terjadi pada masa
kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena- vena besar yang
mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena tersebut
masuk ke rongga abdomen. Pembendungan darah di vena ini menyebabkan
kaki yang mendorong terjadinya edema regional di ekstremitas bawah.
(Sylvia A. 2003)

d. Penyumbatan pembuluh limfe


Penyumbatan pembuluh limfe terjadi karena kelebihan cairan yang
difiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan
ke darah melalui sistem limfe. Akumulasi protein di cairan interstisium
memperberat masalah melalui efek osmotiknya. Penyumbatan limfe lokal
dapat terjadi, misalnya pada lengan wanita yang saluran drainase limfenya
dari lengan tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe selama
pembedahan untuk kanker payudara. Penyumbatan limfe yang lebih meluas
terjadi pada filariasis.Suatu penyakit parasitic yang ditularkan melalui
nyamuk dan terutama dijumpai di daerah-daerah tropis. Pada penyakit ini,
cacing-cacing filaria kecil mirip benang menginfeksi pembuluh limfe
sehingga terjadi gangguan aliran limfe. Bagian tubuh yang terkena terutama
skrotum dan ekstremitas akan mengalami edema.Kelainan ini sering disebut
sebagai elephantiasis atau kaki gajah karena ekstremitas yang mengalami
pembengkakan. (Sylvia A. 2003)

3. Jelaskan penyebab edema terkait skenario !


Jawab :

Menurut dari skenario tersebut, terjadinya edema oleh penderita disebabkan


oleh peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, Peningkatan permeabilitas
mikrovaskuler terjadi sebagai reaksi awal mikrovaskuler yang bermanifestasi
menjadi peradangan (inflamasi). Rangsangan dari allergen menginduksi
pelepasan mediator lokal oleh sel basophil dan sel mast menginduksi pelepasan
mediator lokal yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

4
mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas secara langsung disebabkan oleh
mediator seperti histamin, bradikinin, leukotrien, dan substansi P yang
menyebabkan kontraksi sel endotel dan pelebaran gap (celah) interendothelial.
Selanjutnya, pelepasan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor
(INF), dan y-interferon menginduksi penyusunan ulang sitoskeletal dalam sel
endotel yang mengakibatkan retraksi (penarikan kembali) sel endotel dan
pelebaran celah interendothelial yang lebih persisten. Pergerakan cairan
intravaskular melalui celah-celah ini ke interstitium menyebabkan terjadinya
edema lokal yang dapat mencairkan agen inflamasi akut. Reaksi ini berakhir
dengan terjadinya edema lokal dan akan kembali normal apabila rangsangan yang
terjadi mulai berkurang. (Price, S.A., 2006)

4. Jelaskan mekanisme keseimbangan cairan dalam tubuh !


Jawab :

Dari banyak sumber pemasukan dan pengeluaran H2 O, hanya dua yang


dapat diatur untuk mempertahankan keseimbangan H2 O. Disisi pemasukan, rasa
haus mempengaruhi jumlah cairan yang masuk; dan di sisi pengeluaran, ginjal
dapat menyesuaikan jumlah urin yang dibentuk. Pengendalian pengeluaran H2 O
di urin adalah mekanisme terpenting dalam mengontrol keseimbangan H2 O.
Sebagian dari faktor lain juga diatur, tetapi bukan untuk mempertahankan
keseimbangan H2 O. Asupan makanan diatur untuk mempertahankan
keseimbangan energi, dan kontrol keringat penting untuk mempertahankan suhu
tubuh. Produksi H2 O metabolik dan pengeluaran yang tidak dirasakan sama sekali
tidak berada di bawah kontrol. (Sherwood, L., 2011)
KONTROL PENGELUARAN AIR DI URIN OLEH VASOPRESIN

Fluktuasi osmolaritas Cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh


ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran H2 O cepat dikompensasi
dengan menyesuaikan ekskresi H2 O urin tanpa mengubah ekskresi garam.
Reabsorpsi dan ekskresi H2 O secara parsial dipisahkan dari reabsorpsi dan
ekskresi zar terlarut sehingga jumlah H2 O yang ditahan atau dikeluarkan dapat
cepat diubah untuk segera mengoreksi osmolaritas CES ke normal. Reabsorpsi
dan ekskresi H2 O bebas disesuaikan melalui perubahan sekresi vasopresin.
Hampir di sepanjang nefron, reabsorpsi H2 O penting untuk mengatur volume
CES, karena reabsorpsi garam disertai oleh reabsorpsi H2 O dalam jumlah
seimbang. Namun, di tubulus distal dan koligentes, dapat terjadi reabsorpsi H2 O
bebas dalam jumlah bervariasi ranpa disertai reabsorpsi garam, karena adanya
gradien osmotik vertikal di medula ginjal tempat sebagian dari tubulus ini

5
terpajan. Vasopresin meningkatkan permeabilitas bagian akhir tubulus ini
terhadap H2 O. Jumlah H2 O yang direabsorpsi dapat disesuaikan untuk
memulihkan osmolaritas CES ke normal, bergantung pada jumlah vasopresin
yang ada. Vasopresin diprodulai oleh hipotalamus dan disimpan di kelenjar
hipofisis posterior. Hormon ini dibebaskan dari hipofisis posterior berdasarkan
perintah dari hipotalamus. (Sherwood, L., 2011)

KONTROL PEMASUKAN AIR OLEH RASA HAUS

Rasa haus adalah sensasi subyektif yang mendorong anda menelan H2 O.


Pusat haus terletak di hipotalamus dekat dengan sel penghasil vasopresin. Kini
kita akan menguraikan mekanisme yang mengatur sekresi vasopresin dan rasa
haus. I Sekresi vasopresin dan rasa haus umumnya dipicu secara bersamaan.
Pusat-pusat kontrol hipotalamus yang mengatur sekresi vasopresin (dan
pengeluaran urin) serta rasa haus (dan minum) bekerja secara terpadu. Sekresi
vasopresin dan rasa haus di. rangsang oleh defisit H2 O bebas dan ditekan oleh
kelebihan H2 O bebas. Karena itu, keadaan yang mendorong terjadinya penurunan
pengeluaran urin untuk menghemat H2 O tubuh juga menimbulkan rasa haus untuk
mengganti H2 O tubuh. (Sherwood, L., 2011)
PERAN OSMORESEPTOR HIPOTALAMUS

Sinyal eksitatorik utama untuk sekresi vasopresin dan rasa haus berasal dari
osmoreseptor hipotalamus yang terletak dekat sel penghasil vasopresin dan pusat
haus. Osmoreseptor ini memantau osmolaritas cairan di sekeliling mereka, yang
selanjutnya mencerminkan konsentrasi keseluruhan lingkungan cairan internal.
Seiring dengan peningkatan osmolaritas (H2 O terlalu sedikit) dan kebutuhan akan
konservasi H2 O bertambah, sekresi vasopresin dan rasa haus diaktifkan.
Akibatnya, reabsorpsi H2 O di tubulus distal dan koligentes meningkat sehingga
pengeluaran urin berkurang dan H2 O dihemat, sementara asupan H2 O secara
bersamaan dirangsang. Efek-efek ini memulihkan simpanan H2 O yang berkurang
sehingga kondisi hipertonik mereda dengan pulihnya konsentrasi zat-zat terlarut
ke normal. Sebaliknya, kelebihan H2 O, yang bermanifestasi sebagai penurunan
osmolaritas CES, mendorong peningkatan ekskresi urin (melalui penurunan
sekresi vasopresin) dan menekan rasa haus, yang bersama-sama mengurangi
jumlah air di dalam tubuh. (Sherwood, L., 2011)
PERAN RESEPTOR VOLUME ATRIUM KIRI

Meskipun perangsang utama sekresi vasopresin dan rasa haus adalah


peningkatan osmolaritas CES, namun sel penghasil vasopresin dan pusat haus
juga dipengaruhi dalam tingkat moderat oleh perubahan volume CES yang
diperautarai oleh sinyal dari reseptor volume atrium kiri. Reseptor volume ini,

6
yang terletak di atrium kiri, memantau tekanan darah yang mengalir, yarg
mencerminkan volume CES. Sebagai respons terhadap penurunan mencolok
volume CES (kehilangan volume >7%) dan tekanan darah arteri, seperti ketika
terjadi perdarahan, reseptor volume arrium kiri secara refleks merangsang sekresi
vasopresin dan rasa haus. Pengeluaran vasopresin dan meningkatnya rasa haus
masing-masing menurunkan pengeluaran urin dan meningkatkan pemasukan
cairan. Selain itu, vasopressin yang dipicu oleh penurunan mencolok volume CES
dan tekanan arteri, di sirkulasi menimbulkan vasokonstriksi pada arteriol. Dengan
membantu memperbesar CES dan volume plasma serta dengan meningkatkan
resistensi perifer total, vasopresin membantu mengatasi penurunan tekanan darah
yang memicu sekresi vasopresin. Sebaliknya, vasopresin dan rasa haus dihambat
ketika volume CES/plasma dan tekanan darah arteri meningkat. Penekanan
asupan H2 O, disertai oleh eliminasi kelebihan volume CES/plasma melalui urin,
membantu memulihkan tekanan darah ke normal. Ingatlah bahwa volume CES /
plasma yang rendah serta penurunan tekanan darah arteri juga secara refleks
meningkatkan sekresi aldosteron. Peningkatan reabsorpsi Na. yang terjadi
akhirnya menyebabkan retensi osmorik H2 O ekspansi volume CES, dan
peningkatan tekanan darah arteri. Pada kenyataannya, reabsorpsi Na. yang
dikontrol oleh aldosteron. (Sherwood, L., 2011)

Gambar 1. kontrol peningkatan sekresi vasopresin dan rasa haus selama defisit H2 O

7
RAA-System

Gambar 2. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA)

Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA). Ginjal mengeluarkan hormon


renin sebagai respons terhadap penurunan NaCl, volume cairan ekstraseluler, dan
tekanan darah arteri. Renin mengaktifkan angiotensinogen, suatu protein plasma
yang diproduksi dihati, menjadi angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi
angiotensin ll oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) yang diproduksi di paru.
Angiotensin ll merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan hormon
aldosteron, yang merangsang reabsorpsi 𝑁𝑎+ oleh ginjal. Rentesi Na yang terjadi
menimbulkan efek osmotik yang menahan lebih banyak H2 O di CES. Bersama-
sama, konservasi 𝑁𝑎+ dan H2 O membantu mengoreksi rangsangan semula yang
mengaktifkan sistem hormon ini. Angiotensin ll juga memiliki efek lain yang
membantu mengoreksi rangsangan semula, misalnya dengan mendorong
vasokonstriksi arteriol. (Sherwood, L., 2011)

8
5. Jelaskan patomekanisme dari bengkak secara umum?
Jawab :

Secara umum terdapat empat mekanisme terjadinya edema diantaranya


yaitu: (a) peningkatan permeabilitas mikrovaskuler; (b) peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskuler; (c) penurunan tekanan osmotik intravaskuler; dan (d)
penurunan aliran limfatik.

a. Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler


Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler biasanya berkaitan dengan reaksi
awal dari mikrovaskuler terhadap peradangan (inflamasi) atau rangsangan
immunologis. Rangsangan ini menginduksi pelepasan mediator lokal yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler.
Peningkatan permeabilitas secara langsung disebabkan oleh mediator seperti
histamin, bradikinin, leukotrien, dan substansi P yang menyebabkan kontraksi sel
endotel dan pelebaran gap (celah) interendothelial. Selanjutnya, pelepasan sitokin
seperti interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF), dan interferon gamma
menginduksi penyusunan ulang sitoskeletal dalam sel endotel yang
mengakibatkan retraksi (penarikan kembali) sel endotel dan pelebaran celah
interendothelial yang lebih persisten. Pergerakan cairan intravaskular melalui
celah-celah ini ke interstitium menyebabkan terjadinya edema lokal yang dapat
mencairkan agen inflamasi akut. Reaksi ini berakhir dengan terjadinya edema
lokal dan akan kembali normal apabila rangsangan yang terjadi mulai berkurang.
Namun, sebahagian besar kasus dapat berlajut mengakibatkan kebocoran protein
plasma dan emigrasi leukosit sebagai awal dari pembentukan eksudat inflamasi
akut. (Price, S.A., 2006)
b. Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler

Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler dapat disebabkan oleh


peningkatan volume darah di mikrovaskuler yang mengakibatkan peningkatan
aliran aktif darah ke mikrovaskuler (hiperemia), seperti yang terjadi pada
peradangan akut. Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler juga dapat terjadi
akibat dari akumulasi pasif darah (kongesti), hal ini sering disebabkan oleh
kegagalan jantung atau kompresi dari vena lokal atau terjadi obstruksi.
Peningkatan volume mikrovaskuler dan adanya tekanan menyebabkan
peningkatan filtrasi dan mengurangi atau bahkan terjadi penyerapan cairan
kembali ke pembuluh darah. Ketika peningkatan tekanan hidrostatik
mempengaruhi sebahagian dari mikrovaskuler lokal, peristiwa ini disebut dengan
edema lokal. Pada kasus gagal jantung, kongesti dapat meningkatkan tekanan
hidrostatik pada sistem vena portal (gagal jantung kanan) yang dapat

9
mengakibatkan terjadinya asites, sedangkan pada sistem vena pulmonary (gagal
jantung kiri) menyebabkan edema paru-paru dan apabila terjadi peningkatan
hidrostatik pada kedua sistem vena (gagal jantung umum) akan menyebabkan
terjadinya edema umum. Edema umum dapat mengakibatkan penurunan volume
sirkulasi plasma yang dapat mengaktifkan berbagai pengaturan volume respon
dari kompensasi. Volume plasma meningkat melalui retensi natrium disebabkan
oleh aktivasi jalur renin- angiotensin-aldosteron dan retensi air dimediasi oleh
pelepasan hormone antidiuretik (ADH) diikuti dengan aktivasi volume
intravaskuler dan resepto tekanan. Hasil dari volume intravaskuler yang
berlebihan semakin mempersuli pergerakan distribusi cairan yang diikuti dengan
terjadinya gagal jantung. (Price, S.A., 2006)
c. Penurunan tekanan osmotik intravaskuler

Penurunan tekanan osmotik intravaskuler biasanya terjadi karena


penurunan konsentrasi plasma protein terutama albumin (hipoalbuminemia).
Hipoalbuminemia dapat mengurangi tekanan osmotik koloid intravaskuler yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan filtrasi cairan dan penurunan absorbsi
(penyerapan) yang puncaknya mengakibatkan terjadinya edema.
Hipoalbuminemia dapat terjadi karena penurunan produksi albumin oleh hati atau
terjadi kehilangan plasma yang berlebihan. Penurunan produksi hepatik paling
sering terjadi karena kekurangan protein yang memadai untuk jalur sintesis
sebagai akibat dari kekurangan gizi atau malabsorbsi usus terhadap protein
sertapenyakit pada hati yang berat dengan terjadinya penurunan massa hepatosit
atau gangguan fungsi hepatosit yang dapat menyebabkan kekurangan produksi
albumin. Kehilangan albumin dari plasma dapat terjadi pada penyakit
gastrointestinal yang ditandai dengan kehilangan darah yang parah seperti pada
infeksi yang disebabkan oleh parasit. Pada penyakit ginjal, dimana glomerulus
dan/atau fungsi tubular terganggu dapat mengakibatkan hilangnya
albuminbersama urin. Eksudasi plasma yang menyertai luka bakar merupakan
penyebab yang jarang menyebabkan kehilangan albumin. (Price, S.A., 2006)
d. Penurunan aliran limfatik
Penurunan aliran limfatik dapat mengurangi kemampuan sistem limfatik
untuk mengeliminasi kelebihan cairan yang biasanya terakumulasi dalam
interstitium selama pertukaran cairan antar plasma dan interstitium. Hal ini dapat
terjadi karena tekanan pada pembuluh limfe oleh tumor atau pembengkakan
inflamasi penyempitan pembuluh limfe akibat fibrosis atau penyumbatan internal
pembuluh limfe oleh trombus. Edema terjadi akibat dari kerusakan kemampuan
limfatik dan terlokalisi pada daerah yang terkena dampak akibat gangguan pada
pembuluh limfe. (Price, S.A., 2006)

10
6. Jelaskan patomekanisme gatal dari skenario !
Jawab :

Pada skenario, anak tersebut diketahui memakan udang sebelum mengalami


keluhan gatal, hal ini termasuk salah satu respon imun terhadap allergen yang
dikenali sebagai ancaman. Berikut mekanisme singkatnya :
Gejala gatal diinduksi melalui berbagai mediator dengan neuroreseptor pada
ujung saraf bebas. Histamin, telah dikenal dalam beberapa dekade sebagi
pruritogen (penyebab gatal), disekresi oleh sel mast dan keratinosit setelah
berikatan dengan reseptor H1 (terutama) dan H2. Neuropeptide seperti substansi
P dilepaskan dari pruriseptor akibat stimulasi oleh histamin. Agen tersebut
mendorong pelepasan kemokin (TNF-a, hismatin, leukotriene B4 dan
prostaglandin D2) dan meningkatkan produksi IL-2 serta proliferasi sel T. sel mast
dan keratinosit tidak hanya melepaskan histamin tetapi juga tryptase dimana
merangsang inflamasi neurogenic dengan mengaktifkan proteinase-acrivates
reseptor 2 (PAR2). Opiat yang terikat pada reseptor dapat memprovokasi rasa
gatal dan beraksi tanpa dimediasi oleh hitamin. (Idris, J., 2010)

7. Jelaskan hubungan edema dengan riwayat mengkonsumsi udang?


Jawab :

Alergi adalah reaksi berlebihan terhadap benda atau bahan makanan tertentu
dimana makanan atau bahan-bahan tersebut sebenarnya tidak berbahaya bagi
orang yang tidak menderita alergi, bahan bahan ini dinamakan allergen sedangkan
orang yang rentan alergi disebut atopi.
Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler biasanya berkaitan dengan reaksi
awal dari mikrovaskuler terhadap peradangan (inflamasi) atau rangsangan
immunologis, yang mana rangsangan ini dicetuskan oleh allergen makanan
berupa Udang. Sebagai reaksi tubuh terhadap allergen, immunitas tubuh akan
bekerja sama melawan penyebab allergen tersebut. Rangsangan allergen tersebut
menginduksi pelepasan mediator lokal yang menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas secara
langsung disebabkan oleh mediator seperti histamin, bradikinin, leukotrien, dan
substansi P yang menyebabkan kontraksi sel endotel dan pelebaran gap (celah)
interendothelial. Selanjutnya, pelepasan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), tumor
necrosis factor (INF), dan IFN-γ menginduksi penyusunan ulang sitoskeletal
dalam sel endotel yang mengakibatkan retraksi (penarikan kembali) sel endotel

11
dan pelebaran celah interendothelial yang lebih persisten. Pergerakan cairan
intravaskular melalui celah-celah ini ke interstitium menyebabkan terjadinya
edema lokal yang dapat mencairkan agen inflamasi akut. (Wilson LM, 1995)
Reaksi ini berakhir dengan terjadinya edema lokal dan akan kembali normal
apabila rangsangan yang terjadi mulai berkurang. Namun, sebahagian besar kasus
dapat berlajut mengakibatkan kebocoran protein plasma dan emigrasi leukosit
sebagai awal dari pembentukan eksudat inflamasi akut. (Wilson LM, 1995)
Beberapa narasumber menyebutkan pernah memiliki riwayat alergi berat
terhadap makanan seperti udang, kacang-kacangan, dan kepiting. Alergi sendiri
merupakan suatu penyakit yang dapat disebabkan oleh faktor genetik yang
diturunkan dari orang tua, faktor lingkungan dan nutrisi yang dapat berpengaruh
terhadap penurunan fungsi sistem imun sehingga hipersensitivitas tubuh
meningkat. Gejala alergi ringan yang terjadi bisa berupa timbul rasa gatal pada
kulit, kemerahan pada kulit atau mata, pembengkakan pada mata, wajah,
tenggorokan, dan bibir, bersin-bersin serta hidung berair. (Salsabilla NA, 2018)

Fakta bahwa udang menjadi makanan yang banyak sebagai allergen pada
orang Indonesia didukung oleh penelitian Candra (2011) yang menunjukkan
sebagian besar 49% responden sensitif terhadap alergen makanan. Jenis makanan
yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-anak dan dewasa berturut-
turut adalah udang, putih telur dan maizena. (Candra, Y, 2011)

8. Bagaimana hubungan gejala anak tersebut dengan asma yang diderita


ibunya?
Jawab :

Seperti yang dibahas sebelumnya, anak tersebut mengalami gejala bengkak,


gatal dan bentol disebabkan oleh reaksi sistem pertahanan tubuh. Kondisi ini
digolongkan dalam hipersensitivitas tipe 1.

Alergi dapat dipengaruhi oleh faktor genetik (intrinsik) maupun


lingkungan (ekstrinsik) yang mampu mengatur ekspresi genetik pada tingkat
tertentu. Meskipun tidak sebesar faktor lingkungan namun faktor genetik dapat
menjadi cikal bakal lahirnya penyakit atopi dari anak apabila orang tua ataupun
saudara memiliki riwayat penyakit atopi baik itu asma, dermatitis atopik ataupun
rhinitis atopik (Hidayah, N. 2014).

Banyak penelitian epidemiologi telah membuktikan bahwa faktor genetik


mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit atopi. Anak yang lahir dari
keluarga yang mempunyai riwayat penyakit atopi, kemungkinan besar akan

12
menderita penyakit atopi di kemudian hari. Bila salah satu orang tua mempunyai
riwayat penyakit atopi, maka kemungkinan anaknya menjadi atopi juga adalah
19,8%. Bila atopi mengenai kedua orang tua, maka frekuensi kemungkinan
anaknya menderita atopi membesar menjadi 42,9%,. dan 72,2% mengalami atopi
bila kedua orang tua mempunyai riwayat atopi yang sama misalnya sama-sama
asma, serta 85% menjadi atopi jika baik kedua orang tua maupun saudara kandung
mempunyai riwayat atopi. (Bachtiar, 2010)

Riwayat keluarga dengan penyakit alergi sangat berguna sebagai penanda


dini penyakit atopi. Bayi dan anak dengan riwayat keluarga alergi lebih mudah
mengalami peningkatan kadar IgE dan memperlihatkan manifestasi klinis alergi
jika terpajan dengan alergen pada usia dini. Penyakit atopi ada berbagai macam,
tidak hanya DA melainkan juga jenis penyakit atopi yang lain, dimana
kesemuanya dapat diturunkan secara genetik oleh orang tua. Beberapa orang
mempunyai kecenderungan “alergik”. Alergi semacam ini disebut alergi atopik
karena disebabkan oleh respons sistem imun yang tidak lazim. Kecenderungan
alergi ini diturunkan secara genetis dari orang tua ke anak, dan ditandai dengan
adanya sejumlah besar antibodi IgE dalam darah. Bila suatu alergen spesifik yang
dalam skenario berupa makanan yakni udang memasuki tubuh penderita, maka
akan terjadi reaksi alergen-reagin, dan kemudian terjadi reaksi alergi. (Guyton,
Arthrur C., 2008)

9. Jelaskan penyakit apa saja yang berkaitan dengan skenario?


Jawab :

Berdasarkan gejala yang diderita oleh anak pada skenario, berikut ini
beberapa penyakit/kelainan yang berkaitan :

1. Angiodema
Angiodema dapat terjadi karena reaksi alergi dan non alergi yang dimediasi
oleh histamin atau bradikinin. Beberapa pemicu terjadinya angioedema akibat
reaksi alergi diantaranya adalah obat-obatan, makanan, bulu binatang, serbuk sari,
spora jamur, gigitan serangga dan lain-lain. Beberapa makanan yang dapat memicu
terjadinya angioedema diantaranya yaitu buah-buahan, ikan, udang, babi, kerang,
produk susu, kacang-kacangan, serta cokelat.
Angioedema ditandai dengan karakteristik berikut:
1. Edema dermis bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul mendadak,
dapat berwarna kemerahan ataupun warna lain, sering disertai edema membran
mukosa.

13
2. Lebih sering dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal, dan dapat
menghilang setelah 72 jam. (Guyton, 2008)

Epidemiologi Angiodema
Angiodema dapat terjadi pada semua usia tetapi paling sering terjadi pada
usia dewasa muda. Sekitar 10 – 20 % penduduk di seluruh dunia akan mengalami
angioedema dalam masa kehidupan mereka, kejadiannya sama antara wanita dan
laki-laki. (Rafikasari, A., 2019)
2. Urtikaria
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit
yang timbul mendadak dan/atau disertai angiodema.(Siannoto, M., 2017).
Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan
menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang
dilepaskan setempat akan menimbulkan : vasodilatasi yang menyebabkan
timbulnya kemerahan dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga
dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat yang
berbatas jelas.(Guyton, Arthur C., 2008)
Epidemiologi Urtikaria
Dalam sebuah studi deskriptif retrospektif yang dilakukan di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, didapatkan 463 pasien urtikaria pada periode 2015-2017.
Kelompok usia yang paling banyak menderita urtikaria adalah umur 12-25 tahun.
Pasien perempuan menderita urtikaria 1,8 kali lebih banyak dari pasien laki-laki.
(Rafikasari, A., 2019)

3. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang paling sering
ditemui pada praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi
dan anak-anak.1-3 Penyakit kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai oleh
inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan episode eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan
orang-orang terdekat pasien.(Movita, T., 2014)
Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus/gatal, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya pada malam hari akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, ekskoriasi, eksudasi dan krusta (Anglingsari, 2000).
Tahap-tahap dermatitis atopik dimulai dari kemerahan kulit yang bisa
dipicu oleh bahan-bahan iritan, atau alergen. Terjadi proses inflamasi yaitu

14
mediator inflamasi (sel mast, basofil, sel Th2, eosinofil) yang dilepaskan dikulit
sehingga pada akhirnya bermanifestasi menjadi bengkak yang dapat nampak pada
kulit. (Monica S, 2008)
Epidemiologi Dermatitis Atopik

Prevalensi Dermatitis Atopik meningkat dua sampai tiga kali lipat di negara
industri selama tiga dekade terakhir yaitu 15-30% pada anak dan 2-10% pada
dewasa. Data terbaru menunjukkan bahwa Dermatitis Atopik merupakan masalah
utama di negara berkembang. Sekitar 85% pasien dengan Dermatitis Atopik adalah
anak usia dini, dan 70% dari pasien Dermatitis Atopik berlanjut menjadi asma atau
rhinitis alergi. (Eliska, N., 2015)

10. Bagaimana cara menanggulangi penyakit tersebut ?

Jawab :

Indentifikasi dan eliminasi faktor pencetus

Mengidentitifikasi dan mengeliminasi faktor pemicu merupakan sesuatu


yang essensial, baik selama periode akut maupun didalam perjalanan penyakit
untuk mencegah rekurensi. Misalnya dari segi makanan, dalam kasus diterangkan
salah satu makanan pencetus gejala penderita yakni Udang, artinya udang ini
harus dihindari oleh penderita sebagai pencegahan timbulnya manifestasi klinis
seperti gatal, bentol dan bengkak. (Widjaja, M.C., 2005)

Makanan yang paling sering menimbulkan alergi ialah telur, susu, gandum,
kacang kedelai, kacang tanah dan ikan. Selain itu juga menghindari aeroallergen
seperti tungau debu rumah, bulu binatang, rumput, dan serbuk sari. Stress
emosional juga turut menjadi penyebab bagi beberapa penderita, terutama
kalangan remaja dan dewasa akibat frustasi dan rasa gatal yang berlebihan. .
(Widjaja, M.C., 2005)
Didalam proses pengobatan dikenal pula pemberian diet ketat untuk
beberapa makanan yang menimbulkan reaksi alergi. Ada makanan yang tidak atau
sedikit menimbulkan reaksi alergi jika dikonsumsi sendiri, tetapi akan
menimbulkan reaksi hebat jika dikonsumsi bersamaan (kombinasi). Hal ini
disebut alergi fixed type. Sedangkan apabila tidak mengonsumsi suatu makanan
dalam tempo yang lama dan ketika dimakan lagi tidak menimbulkan reaksi alergi.
Hal ini disebut clinical type. (Widjaja, M.C., 2005)

15
Memberikan obat
Obat antialergi yang diberikan biasanya berupa antihistamin yang bekerja
dengan cara berkompetisi dengan zat histamin. Antihistamin tidak bertindak
menghalangi pembentukan histamin oleh IgE, tetapi menghambat masuknya
histamin ke dalam sel penerima (reseptor). Karena itu, antihistamin diberikan
bukan untuk mencegah serangan. Contoh obat anti histamin yakni cholpheniramin
maleat (ctm). (Widjaja, M.C., 2005)
Kortikosteroid oral adalah obat yang mampu mengatasi pembengkakan
dan peradangan yang mencetuskan serangan asma. Obat jenis ini butuh 6-8 jam
untuk mulai bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya
kerjanya bisa dirasakan. (Iwan Hadibroto, 2005)

Tabel. Penggolongan Anti Histamin, Dosis, Masa Kerja


Golongan dan contoh obat Dosis dewasa Masa kerja
ANTIHISTAMIN GENERASI I
Etanolamin
karbinoksamin 4-8 mg 3-4 jam
difenhidramin 25-50 mg 4-6 jam
dimenhidrinat 50 mg 4-6 jam
(garam difenhidramin)
Etilenediamin
Pirilamin 25-50 mg 4-6 jam
tripelenamin 25-50 mg 4-6 jam
Piperazin
Hidroksizin 25-100 mg 6-24 jam
Siklisizin 25-50 mg 4-6 jam
meklizin 25-50 mg 12-24 jam
Alkilamin
klorfenamin 4-8 mg 4-6 jam
bromfeniramin 4-8 mg 4-6 jam
Derivat fenotiazin
prometazin 10-25 mg 4-6 jam
Lain lain
ANTIHISTAMIN GENERASI II
astemizol 10 mg <24 jam
feksofenadin 60 mg 12-24 jam
Lain-lain

16
Tabel. Obat kortikosteroid
Nama Generik Dosis (Bentuk
oral)
Fluodrokortison asetat 0,1 mg
Kortisol/Hidrokortison 5-20 mg
Kortisol Sipionat 5-20 mg
Prednison 5 mg
Prenisolon 5 mg
Metilprednisolon 4 mg
6-metil prednisolon 4 mg
Deksametason 0,5 mg (eliksir)
Parametason asetat 1,2 mg
Betametason 0,6 mg
Triamsinolon 4 mg

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Aulady F, Gunawan A, Ryansyah M. Penerapan Algoritma Certainty


Factor Untuk Sistem Pakar Diagnosis Urtikaria Pada Wanita Dewasa. J
SWABUMI. 2019;7(1):90–8
2. Umara AF, Wulandari ISM, Supriadi E, Rukmi DK, Silalahi LE.
Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi. 2021
3. Vinay Kumar, Abul K. Abbas, Jon C. Aster. Buku Ajar Patologi Robbins.
Ed.9, 2013
4. Robbins, S.L., Aster, J.C., Abbas, A.K., and Kumar ,V. (2013). Robbins
Basic Pathology. Philadelphia : Elsevie
5. Ian Effendi, Restu pasaribu. Edema Patofisiologi & Penanganan. BAIPD.
Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2006
6. Price, Sylvia A. 2003. Patofisiologi Volume II Edisi 6. Jakarta: EGC
7. Price, S.A., dan Wilson, L. M., Pathofisiologi Konsep Klinik ProsesProses
Penyakit. Jakarta: EGC. 2006
8. Sherwood L. 2022. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi IX. Jakarta:
ECG
9. Idris, Jennifer, and Linda J. Wijayadi. "Penatalaksanaan Lini Pertama Pada
Dermatitis Atopik." Ebers Papyrus, vol. 16, no. 3, 2010
10. Wilson LM, editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th
edition. Volume 1. Jakarta: Penerbit buku kedokteran; 1995. P.302-326
11. Salsabilla NA. Analisis Pencegahan dan Penanganan Anafilaksis di
Masyarakat. 2018
12. Hidayah, Nurul. "Atopik Dermatitis Management in Children Under Five
with Family History of Atopy." Medula: Jurnal Profesi Kedokteran
Universitas Lampung, vol. 3, no. 01, 2014, pp. 189-198
13. Bakhtiar. "Faktor Risiko, Diagnosis, Dan Tatalaksana Dermatitis Atopik
Pada Bayi Dan Anak." Maranatha Journal of Medicine and Health, vol. 9,
no. 2, 2010

18
14. Movita, Theresia. "Tatalaksana Dermatitis Atopik." Cermin Dunia
Kedokteran, vol. 41, no. 11, 2014
15. Monica Santi Samwestu. Penggunaan Steroid Topikal untuk Eksim, 2008
16. Anglingsari. Kulit Cermin Kepribadian, 2000
17. Rafikasari A, Fetarayani D, Setyaningrum T. Profil pasien urtikaria.
Periodical of Dermatology and Venereology. 2019;31(3):222-7.
18. Widjaja, M.C ; Mulyono. Mencegah & mengatasi alergi & asma pada
balita. Edisi 4 Depok : Kawan Pustaka : 2005
19. Iwan Hadibroto, Syamsir Alam. Asma: informasi lengkap untuk penderita
dan keluarganya. Indonesia: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
20. Sulistia Gan Gunawan. 2016. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI

19

Anda mungkin juga menyukai