Anda di halaman 1dari 68

SKENARIO 1

Benjolan Di Leher
Seorang anak perempuan berusia 7ntahun dating dibawa orang tuanya ke Polikliknik
Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sejak 1 minggu yang lalu. Benjolan
berisi nanah disertai rasa gatal. Awalnya benjolan berukuran kecil,namun semakin
lama menyebar dan semakin banyak karena sempat digaruk oleh pasien. Pada
pemeriksaan didapatkan ujud kelainan kulit seperti pada gambar dibawah. Dokter
segera memberikan penanganan dan edukasi terkait penyakit pasien.

STEP 1
1. Ujud kelainan kulit : Eflorensi pada kulit dapat dilihat dengan mata telanjang
dan perabaan
STEP 2
1. Bagaimana penyebab kelainan pada keluhan pasien?
2. Bagaimana mekanisme yang terjadi pada keluhan pasien?
3. Apa saja macam-macam ujud kelainan kulit?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus?
5. Bagaimana penanganan dan edukasi dokter?
STEP 3
1. Penyebab kelainan pada pasien
a. Kontak langsung dengan penderita
b. Bakteri : Staphylococcus aureus,Steptococcus
c. Virus : Herpes simplex,Varicella zoster
d. Kontak tidak langsung :
1) Higienitas yang buruk
2) Handuk penggunaan bersama
3) Gangguan imunitas: Diabetes mellitus
4) Reaksi hipersensitivitas 1/alergi
2. Mekanisme terjadinya keluhan pada pasien

1
a. Faktor penyebab dan gangguan imun terjadi cidera dermal terasa nyeri
dan gatal serta terdapat pus pada kulit
b. Gangguan imunitas seperti Diabetes mellitus mudah terinfeksi
c. Infeksi pada kulit masuk ke KGB lalu pembuluh darah pada kulit timbul
lesi,nyeri,gatal kemudian digaruk terjadi luka yang sebagai port de entry
masuknya bakteri
3. Macam- macam ujud kelainan kulit
Isi cairan:
a. Abses
b. Vesikel
c. Pustule
d. Bulla
e. Kista
Isi padat:
a. Papul e. Anoderma
b. Nodul f. Erosi
c. Sikatrik
d. Plak
4. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis: Benjolan berisi nanah disertai rasa gatal
b. PF: rasa nyeri
c. PP: H2V: PCR( Polymerase chain reaction), Tzank smear
5. Penanganan dan edukasi untuk pasien
Penangaan : Antibiotik topical maupun sistemik
Edukasi : Menjaga higienitas diri maupun lingkungan dan Menjaga
kekebalan tubuh

2
STEP 4
1. Penyebab keluhan pasien
a. Kontak langsung dengan penderita
b. Bakteri : Staphylococcus aureus,Steptococcus
c. Virus : Herpes simplex,Varicella zoster
d. Kontak tidak langsung :
1) Higienitas yang buruk
2) Handuk penggunaan bersama
3) Gangguan imunitas: Diabetes mellitus
4) Reaksi hipersensitivitas 1/alergi
2. Mekanisme terjadinya keluhan pada pasien
Penyebab infeksi masuk ke kulit kolonisasi miroorganisme terjadi
pengumpiulan sel APC selanjutnya terdapat sel radang yang menyebabkan
infeksi berupa tanda peradangan yaitu rubor, kalor,dolor,tumor dan fungsio
lessa.Luka yang digaruk akan menyebabkan penyebaran pada kulit sekitar
3. Ujud kelainan kulit
a. Urtikaria: edema timbul mendadak berisi cairan
b. Pustul: berisi cairan
c. Bulla: vesikel ukurannya >0,5-1 cm
d. Abses: kumpulan nanah
e. Kista: berisi cairan sisa peradangan,berdinding
f. Papul: kelainan kulit yang mengalami penonjolan
g. Plak: permukaan datar >1 cm
h. Tumor: kantong padat atau setengah padat terisi cairan serosa
i. Macula: peradangan warna bias berupa hiperpigmentasi: hitam atau
hipopigmentasi: putih
j. Skuama: pelepasan lapisan tanduk

3
k. Krusta: vesikel yang kering
l. Ulkus: luka terbuka pada kulit
4. Penegakan diagnosis pada pasien
Anamnnesis: lokasi,menjalar/menetap
PF : Lokasi: difus,unilateral.
Jenis lesi: linier,lingkaran,bulan sabit
Distribusi dan ukuran lesi
PP: Tzank smear: ditemukan multinucleotid giant cell
PCR: nucleotide acid
5. Penanganan dan edukasi untuk pasien
Antibiotik topical maupun sistemik
Menjaga higienitas diri maupun lingkungan dan Menjaga kekebalan tubuh

MIND MAP

Penegakan diagnosis Etiologi Patomekanisme

Benjolan di Kulit

Tatalaksana Macam-macam UKK

Farmakologi Nonfarmakologi

4
STEP 5
Etiologi sampai dengan tatalaksana
1. Varicella zoster 8. SSSS
2. Herpes zoster 9. Selulitis
3. Folikulitis 10. Eritrasma
4. Ektima 11. Abses
5. Erysipelas 12. Kerion
6. Paronikia 13. Hidradenitis
7. Impetigo bulosa dan krustosa 14. Skrofuloderma
STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
1. Herpes zoster
Definisi
Herpes zoster atau Shigles adalah penyakit neurokutan dengan
manifestasi erupsi vesicular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai
nyeri radicular unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom.
Gejala klinis
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa
sensasi abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang
dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat
menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark jantung, nyeri duodenum, kolesistitis,
kolik ginjal atau empedu, appendicitis. Dapat juga dijumpai gejala konstitusi
misalnya nyeri kepala, malaise dan demam. Gejala prodromal dapat
berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari).
Setelah awitan gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau
nyeri terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa macula kemerahan.
Kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5

5
hari. Selanjutnya isi vesikel menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta
(berlangsung selama 7-10 hari). Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4
minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster, erupsi kulitya menyembuh secara
spontan tanpa gejala sisa.
Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain Zoster Sine
Herpete bila terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit.
Herpes Zoster Abortif bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa
vesikel yang langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya
berlangsung singkat. Disebut Herpes Zoster Aberans bila erupsi kulitnya
melalui garis tengah.
Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius terjadi
Sindrom Ramsay-Hunt yaitu erupsi kulit timbul di liang telinga luar atau
membrane timpani disertai paresis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan
pengecapan 2/3 bagian depan lidah, tinnitus, vertigo dan tuli.
Terjadi Herpes Zoster Oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama nervus
trigeminus. Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel dipuncak
hidung yang dikenal sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan besar terjadi
kelainan mata. Walaupun jarang dapat terjadi keterlibatan organ dalam.1
Penegakkan Diagnosis
Diagnosis penyakit herpes zoster sangat jelas, karena gambaran
klinisnya memiliki karakteristik sendiri. Untuk kasus-kasus yang tidak jelas,
deteksi antigen atau nucleic acid varicella zoster virus, isolasi virus dari sediaan
apus lesi atau pemeriksaan antibody IgM spesifik diperlukan. Pemeriksaan
dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) merupakan tes diagnostic yang
paling sensitive (dapat mendeteksi DNA virus varisela zoster dari cairan
vesikel).
Pemeriksaan kultur virus mempunyai sensitivitas yang rendah karena
virus herpes labil dan sulit to recover dari cairan vesikel. Pemeriksaan direct
immunofluorecent antigen-straining lebih cepat serta mempunyai sensitivitas

6
yang lebih tinggi daripada kultur dan dipakai sebagai tes diagnostic alternative
bila pemeriksaan PCR tidak tersedia.
Diagnosis banding
Herpes zoster awal dapat didiagnosis banding dengan dermatitis
venenata atau dermatitis kontak. Herpes zoster yang timbul di daerah genitalia
mirip dengan herpes simpleks, sedangkan herpes zoster diseminata dapat mirip
dengan varisela.
Tatalaksana
1. Sistemik
a) Obat antivirus
Antivirus famsiklovir 3x500mg atau valasiklovir 3x1000mg atau
asiklovir 5x800mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama 7 hari.
b) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun berbagai
penelitian menunjukkan hasil beragam. Prednisone yang digunakan
bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut.
c) Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons baik terhadap
AINS (Asetosal, Piroksikam, Ibuprofen, Diklofenak) atau analgetik non
opoid (Parasetamol, Tramadol, Asam Mefenamat) pernah dicoba
pemakaian kombinasi parasetamol dengan kodein 30-60mg.
d) Antidepresan dan antikonvulsan
Kombinasi antara asiklovir dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin
sejak awal mengurangi prevalensi NPH.
2. Topical
a) Analgetik topical
Kompres
Kompres terbuka dengan Solusio Burowi (aluminium asetat 5%)
dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60 menit. Kompres dingin atau cold
pack juga sering digunakan.

7
b) Anestesik lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras saraf
yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan untuk
menghilangkan nyeri.
c) Kortikosteroid
Krim/losio yang mengandung kortikosteroid tidak digunakan pada lesi
akut herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi resiko terjadinya
NPH.1
3. Pencegahan
Pemberian booster vaksin varisela strain Oka terhadap orangtua harus
dipikirkan untuk meningkatkan kekbalan spesifik terhadap VVZ sehingga
dapat memodifikasi perjalanan penyakit herpes zoster.

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah Neuralgia Pasca Herpes (NPH), yaitu
nyeri yang masih menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya
sudah mengalami resolusi. Selain itu, bisa terjadi infeksi sekunder, neuropati
motorik, meningitis, ensefalitis, atau myelitis.

2. Erisipelas
Definisi
Erysipelas adalah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan oleh
Streptococcus, gejala utamanya ialah eritema berwarna merah cerah dan
berbatas tegas serta disertai gejala konstitusi.
Etiologic
Streptococcus B hemolyticus.
Gejala klinis
Terdapat gejala konstitusi : demam, malaise. Lapisan kulit yang
diserang ialah epidermis dan dermis. Penyakit iini didahului trauma, karena itu
biasanya tempat predileksinya ditungkai bawah. Kelainan kulit yang utamanya
ialah eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas, pinggirannya

8
meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel, dan
bula. Terdapat leukositosis. Jika tidak diobati akan menjalar ke sekitarnya
terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi
elefantiasis.
Diagnosis banding
Selulitis, pada penyakit ini terdapat infiltrate di subkutan.
Pengobatan
Istirahat, tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan (elevasi),
sedikit lebih tinggi daripada letak jantung. Pengobatan sistemik ialah
antibiotika. Sedangkan topical diberikan kompres terbuka dengan larutan
antiseptic. Jika terdapat edema diberikan diuretika.

3. Selulitis
Definisi
Selulitis adalah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan oleh
Streptococcus, gejala utamanya ialah eritema berwarna merah cerah dan
berbatas tegas serta disertai gejala konstitusi.
Etiologic
Streptococcus B hemolyticus.
Gejala klinis
Terdapat gejala konstitusi : demam, malaise. Lapisan kulit yang
diserang ialah epidermis dan dermis. Penyakit ini didahului trauma, karena itu
biasanya tempat predileksinya ditungkai bawah. Kelainan kulit yang utamanya
ialah infiltrate yang difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut.
Diagnosis banding
Erysipelas, pada penyakit ini terdapat eritema yang berwarna merah
cerah, berbatas tegas, pinggirannya meninggi dengan tanda-tanda radang akut.
Pengobatan
Istirahat, tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan (elevasi),
sedikit lebih tinggi daripada letak jantung. Pengobatan sistemik ialah

9
antibiotika. Sedangkan topical diberikan kompres terbuka dengan larutan
antiseptic. Jika terdapat edema diberikan diuretika.

4. Eritrasma
Definisi
Eritrasma ialah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang
disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi
berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.

Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum. Bakteri
ini adalah bakteri batang gram positif, berbentuk non-spora, aerobik, dan
katalase-positif diphtheroid.
Faktor predisposisi eritrasma meliputi4 :
1) Berkeringat berlebihan / hiperhidrosis
2) Kegemukan
3) Diabetes mellitus
4) Iklim yang panas
5) Higine yang buruk
6) Lanjut usia
7) Gangguan immunocompromised lainnya
Patofisiologi
Corynebacterium minutissimum berada pada lapisan superficial stratum
korneum. Bakteri ini menginvasi bagian superficial stratum korneum pada
kondisi yang cenderung panas dan kelembaban, organism ini berkembang biak
akibat gangguan pada flora normal yang diikuti oleh kerusakan pada barrier
kulit, sehingga menyebakan stratum korneum menjadi tebal. Bakteri ini dapat
dilihat di rongga antar sel, seperti juga di sel-sel, menghancurkan fibril-fibril
keratin. Corynebacterium minutissimum merupakan basil diphtheroid yang

10
menghasilkan porfirin. Substansia fluoresensi adalah senyawa porfirin yang
larut air sehingga tidak bisa dilihat pada daerah yang baru saja dicuci.

Gejala Klinis
Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi
eritoskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklat-
coklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit
penderita.
Tempat predileksi di daerah ketiak dan lipat paha. Kadang-kadang
berlokasi di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk.
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginosa.
Lesi tidak menimbulkan dan tidak terlihat vesikulasi. Skuama kering yang halus
menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak.
Beberapa penulis beranggapan ada hubungan erat antara eritrasma dan
diabetes melitus. Penyakit ini terutama menyerang pria dewasa dan dianggap
tidak begitu menular, berdasarkan observasi pada pasangan suami-isteri yang
biasanya tidak terserang penyakit tersebut secara bersama-sama. Eritrasma
tidak menimbulkan keluhan subyektif, kecuali bila terjadi ekzematisasi oleh
karena penderita berkeringat banyak atau terjadi maserasi pada kulit.

Gambar.1.1 eritrasma pada daerah inguinal

11
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pembantu terdiri atas pemeriksaan dengan lampu Wood
dan sediaan langsung. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi terlihat
berfluoresensi merah membara (coral-red).
Fluoresensi ini terlihat karena adanya porfirin. Pencucian atau
pembersihan daerah lesi sebelum diperiksa akan mengakibatkan hilangnya
fluoresensi dan memberikan hasil negatif.
Bahan untuk sediaan langsung dengan cara mengerok. Lesi dikerok
dengan skalpel tumpul atau pinggir gelas obyek. Bahan kerokan kulit ditambah
satu tetes eter, dibiarkan menguap. Bahan tersebut yang lemaknya sudah
dilarutkan dan kering ditambah biru metilen atau biru laktofenol, ditutup
dnegan gelas penutup dan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran
10x100. Bila sudah ditambah biru laktofenol, susunan benang halus belum
terlihat nyata, sediaan dapat dipanaskan sebentar di atas api kecil dan gelas
penutup ditekan, sehingga preparat menjadi tipis.
Gambaran histology menunjukkan organisme terlihat pada stratum
korneum sebagai batang pendek halus, bercabang, berdiameter 1u atau kurang,
yang muda putus sebagai bentuk basil kecil atau difteroid. Pemeriksaan harus
teliti untuk melihat bentuk terakhir ini.

Gambar.1.2 eritrasma dengan pemeriksaan Lampu Wood

12
Diagnosis Banding
Kelainan kulit kronik, non-inflamasi pada daerah intertriginosa, yang
berwarna merah kecoklatan, dilapisi skuama halus merupakan tanda eritrasma.

Tabel 1 Diagnosis Banding


Pada kandidiasis intertriginosa lesi umumnya terdapat di lipatan kulit
ketiak, lipatan paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki,
gland penis, dan umbilicus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, dan
eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oeh satelit berupa vesikel-vesikel dan
pustule kecil atau bula yang bila pecah menimbulkan daerah yang erosif.
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum,
dan sekitar anus. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi
berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata (lebih aktif) daripada daerah
tengahnya.
Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung KOH dapat
menentukan diagnosis. Pitiriasis versikolor biasanya tidak terbatas pada daerah
intertriginosa. Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung dapat
membedakan kedua penyakit tersebut. Tinea kruris dan dermatitis seboroik,
maupun dermatitis kontak lebih nyata tanda radangnya, apalagi bila terlihat
vesikulasi.

13
Penatalaksanaan
Tujuan dari farmakoterapi untuk eritrasma adalah untuk mengurangi
morbiditas, membasmi infeksi, dan mencegah komplikasi. Obat topikal,
misalnya salap tetrasiklin 3% juga bermanfaat. Demikian pula obat antijamur
yang baru yang berspektrum luas. Hanya pengobatan topikal memerlukan lebih
ketekunan dan kepatuhan penderita.
Terdapat penelitian pada 151 pasien berusia lebih dari 18 tahun secara
acak menjadi 5 kelompok dan diberi eritromisin, klaritromisin dosis tunggal,
asam fusidic topikal, krim plasebo, atau tablet plasebo. Krim asam fusidic
secara signifikan lebih efektif daripada terapi lain. Selain itu, kelompok yang
menerima klaritromisin melakukan yang lebih baik pada 48 jam daripada
kelompok yang menerima eritromisin.
a. Eritromisin merupakan obat pilihan.
Eritromisin dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan
dengan menghambat disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom,
menyebabkan sintesa protein yang tergantung RNA untuk menangkap.
Pada anak-anak, usia, berat badan, dan beratnya infeksi menentukan
dosis yang tepat.4 Dosis yang diberikan yaitu satu gram sehari
(4x250mg) untuk 2-3minggu.
b. Klaritromisin (Biaxin)
Menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan menghambat
disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom, menyebabkan sintesa protein
yang tergantung RNA untuk menangkap.
c. Asam fusidic (Zeta)
Topikal antibakteri yang menghambat sintesis protein bakteri,
menyebabkan kematian bakteri. Gunakan 2% krim.
d. Miconazole topikal (Femazole, Lotrimin, Monistat)
Kerusakan membran sel jamur dinding dengan menghambat biosintesis
ergosterol. Permeabilitas membran meningkat, menyebabkan nutrisi
bocor keluar dan mengakibatkan kematian sel jamur. Lotion lebih

14
disukai di daerah intertriginosa. Jika krim digunakan, berlaku hemat
untuk menghindari efek maserasi. Gunakan 2% krim.
e. Asam benzoat 6%, asam salisilat 3% (salep Whitfield)
Digunakan untuk infeksi dan peradangan yang terkait dengan
erythrasma.
f. Klindamisin (Cleocin)
Memiliki efek bakteriostatik, mengganggu sintesis protein bakteri mirip
dengan eritromisin dan kloramfenikol dengan mengikat subunit 50S
ribosom bakteri.
g. Tetrasiklin (Achromycin)
Menghambat pertumbuhan sel oleh translasi penghambat mRNA.
Mengikat 16S bagian dari subunit ribosom 30S dan mencegah amino-
asil tRNA dari mengikat ke situs A dari ribosom.
Prognosis
Prognosis cukup baik, bila semua lesi diobati dengan tekun,
menyeluruh, menjaga daerah yang terkena tetap kering dan mengeliminasi
faktor predisposisi
Pencegahan
Beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi resiko
terjadinya eritrasma:
a. Menjaga kebersihan badan
b. Menjaga agar kulit tetap kering
c. Menggunakan pakaian yang bersih dengan bahan yang menyerap
keringat
d. Menghindari panas atau kelembaban yang berlebihan.

15
5. Hidradenitis Suppurativa
Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kronis yang
berasal dari kelenjar apokrin, yang dapat menjadi kronis dan cenderung
menimbulkan sikatriks.
Penyakit ini secara klinis ditandai dengan pembentukan nodul bulat dan
abses dengan jaringan parut hipertrofik dan supurasi yang rekuren,
menyakitkan dan dalam yang terjadi terutama pada area lipatan-lipatan kulit
yang memiliki ujung rambut dan kelenjar apokrin. Penyakit ini cenderung
menjadi kronis dengan ekstensi subkutan yang mengarah pada pembentukan
jaringan parut hipertrofi, sinus, dan fistula.
Daerah axillae, inguinal, dan perineal merupakan daerah yang sering
terkena, sementara bokong dan submamary jarang terkena. Penyakit ini
biasanya terjadi setelah pubertas dan empat kali lebih banyak menyerang
wanita daripada pria serta lebih sering terjadi pada orang yang obesitas.
Etiologi Dan Faktor Risiko
Etiologi HS masih belum diketahui pasti. Studi histologik pada HS
memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel
dan pelepasan keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan dermis
menyebabkan terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin. Terjadinya reaksi
inflamasi pada kelenjar apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut menyebabkan
ruptur pada kulit, fibrosis, dan pembentukan sinus. Infeksi sekunder oleh
bakteri S. Aureus, Streptococcus pyogenes, dan berbagai bakteri gram negatif
lain dapat terjadi.
Beberapa faktor risiko terjadinya HS antara lain:
1) Faktor genetik
Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit hidradenitis
supurativa diperoleh pada 26% pasien. Beberapa studi tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan HLA. Namun beberapa studi
lainnya menunjukkan adanya penurunan autosomal dominan dengan

16
single gene transmission. Namun, lokus genetik yang terkait tidak
ditemukan.
2) Hormonal
Kecenderungan terjadinya hidradenitis suppurativa ketika pubertas
atau setelah pubertas menunjukkan adanya pengaruh androgen. Selain
itu, adanya peningkatan kejadian yang dilaporkan pada pasien
postpartum yang berhubungan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral
dan pada periode premenstrual (sekitar 50% pasien). Terapi
antiandrogen juga memperlihatkan keuntungan terapetik pada
beberapa studi.
Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat
ditemukan pada 66 wanita dengan hidradenitis suppurativa. Selain itu,
tidak seperti kelenjar sebacea, kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh
androgen. Karenanya, pengaruh androgen terhadap kejadian
hidradenitis suppurativa masih belum jelas.
3) Obesitas
Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis
suppurativa namun sering dianggap sebagai faktor yang memperberat
melalui peningkatan gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan
maserasi. Obesitas juga memperberat penyakit ini dengan
meningkatkan androgen. Penurunan berat badan dianjurkan bagi
pasien dengan berat badan berlebih dan dapat membantu mengontrol
penyakit.
4) Infeksi bateri
Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis suppurativa masih
belum jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan
peranan bakteri pada terjadinya jerawat. Obat antibakteri biasa
digunakan sebagai terapi. Keterlibatan bakteri terjadi secara sekunder.
Kultur biasanya menunjukkan hasil yang negatif, namun sejumah
bakteri dapat ditemukan dari lesi. Staphylococcus aureus dan

17
coagulase-negative-staphylococcus adalah yang peling sering
diisolasi. Namun, bakteri lain termasuk Streptococcus, basil gram
negaif, dan anaerob, juga dapat ditemukan.
5) Merokok
Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis
suppurativa dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi
kohort menunjukkan bahwa 70% dari 43 pasien dengan hidradenitis
suppurativa perineal adalah perokok. Diperkirakan bahwa merokok
dapat mempengaruhi kemotaxis sel polymorphonuclear. Penghentian
merokok dapat memperbaiki manifestasi klinis penyakit ini.
Patogenesis
Regio axilla dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering terkena
HS, regio lain yang juga biasa terkena HS adalah areola mammae, regio
submamary, periumbilicalis, scalp, fasialis, meatus ekternal auditori, leher dan
punggung.
Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang dari
dermis ke jaringan subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas komponen
sekretori yang dalam dan melingkar yang mengalir melalui duktus eksketorius
yang lurus dan panjang, biasanya menuju folikel rambut. Sekresi dari kelenjar
ini berbau.
Walaupun penyebab yang jelas dari HS masih belum diketahui dengan
jelas, telah disepakati secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin
atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin, yang menyebabkan dilatasi duktus
dan stasis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem apokrin melalui
folikel rambut dan terperangkap di bawah sumbatan keratin yang kemudian
bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang mengandung banyak
nutrisi dari keringat apokrin. Kelenjar dapat ruptur, sehingga menyebabkan
penyebaran infeksi ke kelenjar dan area sekitarnya. Infeksi Strptococcus,
Staphylococcus, dan organisme lain menyebabkan inflamasi lokal yang lebih

18
luas, destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses penyembuhan yang kronis
menimbulkan fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit di atasnya.
Pada hidradenitis yang melibatkan regio perineal, ada peningkatan
insiden infeksi oleh Streptosossus milleri, yang berhubungan dengan aktivitas
penyakit. Organisme lain yang juga dapat diidentifikasi ketika penyakit ini
menyerang daerah ini adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob
dan Bacteroides.

Gambar 2.1 Patogenesis Hidradenitis suppurativa


Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hidradenitis suppurativa yang paling sering adalah lesi
nodular, nyeri, lunak, dan tegas di ketiak. Keluhan yang sering dikatakan oleh
penderita adalah gatal dan nyeri. Mula-mula gatal, lalu timbul nodus merah dan
nyeri. Dapat lebih dari satu kelenjar sehingga tampak berbenjol-benjol dan
saling bertumpuk tidak teratur. Kemudian terjadi pelunakan yang tidak
serentak, disebut abses multipel. Jika abses pecah keluar sekret tanpa mata.
Karena perlunakan tidak serentak dan kelenjar yang bertumpuk-tumpuk, sekret
yang keluar sedikit-sedikit menimbulkan sinus dan fistel.
Hidradenitis suppurativa biasanya diawali dengan nodul dalam (ukuran
0,5-2 cm) (gambar 2). Pustul juga dapat terlihat. (gambar 3). Nodul ini dapat
sembuh secara lambat atau justru berkembang dan bergabung dengan nodul
disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga menghasilkan abses inflamasi nyeri

19
yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral dan dapat sembuh atau fuptur
spontan, menghasilkan discharge purulen (gambar 4).

Gambar 2.2 Bisul besar pada area genitalia wanita yang menderita hidradenitis
suppurativa

Gambar 2.3. Pustul dan papul inflamasi yang terdapat pada area yang terkena
hidradenitis suppurativa pada pasien laki-laki.

20
Gambar 2.4 Abses yang ruptur mengeluarkan material purulen pada individu yang
menderita hidradenitis suppurativa.
Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena inflamasi
periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan. Proses
penyembuhan dapat menghasilkan sikatrik dengan fibrosis (gambar 5),
kontraktur dan peninggian kulit rope-like, dan double-ended comedones
(gambar 6). Sinus juga dapat terbentuk (gambar 7). Sinus telah dilaporkan
melibatkan jaringan dalam, termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses
kemudian terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain yang
mengandung kelenjar apokrin.

Gambar 2.5. Sikatriks dengan fibrosis dan Double ended comedone

21
Gambar 2.5. Pembentukan sinus pada daerah vulva seorang wanita yang
menderita hidradenitis suppurativa
Perinanal hidradenitis suppurativa dapat disertai nyeri, edema, discharge
purulen, pruritus atau perdarahan dan dapat menyerupai penyakit lain seperti
furunculosis, fistula ani, penyakit pilonidal, abses perianal atau penyakit Crohn.
Fistula pada canalis analis dapat terjadi pada hidradenitis, namun hanya akan
terjadi pada bagian terbawah canalis analis, pada kulit yang mengandung
kelenjar apokrin.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk hidradenitis
suppurativa. Kultur dari eksudat yang diambil dapat menumbuhkan berbagai
bakteri saprofit dan patogen seperti staphylococcus dan streptococcus. Pada
pemeriksaan laboratorium pasien dengan lesi HS akut dapat memperlihatkan
peningkatan laju endap darah atau C-reactive protein. Bila pasien tampak
toksik atau demam, pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, kultur eksudat,
dan kimia rutin perlu dilakukan.
Diagnosis Banding
Adanya papul, nodul, atau abses nyeri pada lipat paha dan axilla dapat
didiagnosis banding sebagai: furunkel, karbunkel, limfadenitis, cat-scratch
disease, limfogranuloma venerum, scrofuloderma. Adanya sinus dan fistula
dapat didiagnosis banding dengan colitis ulserativa dan enteritis regional.

22
Diagnosis
Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis dan
telah memenuhi kriteria yang diadopsi oleh 2nd International Conference on
Hidradenitis suppurativa. Kriteria hidradenitis supurativa tersebut antara lain:
1. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: “blind boils” pada lesi awal;
abses, sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo-comedones pada lesi
sekunder.
2. Topografi tipikal seperti axillae, paha dan regio perianal, bokong, lipatan
infra dan inter mamary
3. Kronik dan rekuren
Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk
masing-masing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem sederhana
namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara global.
Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya mempertimbangkan
sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan lesi secara individual.
Tabel 2. Klasifikasi Hurley:

Tingkat Karakteristik
I Abses soliter atau multipel tanpa sikatriks atau sinus.
(sejumlah sisi minor dengan inflamasi yang jarang;
mungkin keliru untuk jerawat)
II Abses rekuren, lesi soliter atau multipel yang terpisah
jauh, dengan sinus (inflamasi yang membatasi
pergerakan dan mungkin membutuhkan bedah minor
seperti insisi dan drainase)
III Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas dengan
sinus dan abses yang saling berhubungan. (inflamasi
berukuran sebesar bola golf atau terkadang sebesar
bola baseball; timbul sikatriks, termasuk infeksi

23
subkutan. Pasien pada tingkat ini mungking tidak
dapat berfungsi)

Gambar 2.6. (A) dan (B) Tingkat I klasifikasi Hurley

A
B
Gambar 2.7. (A) dan (B) Tingkat II klasifikasi Hurley

A B C

Gambar 2.8. (A), (B), dan (C). Tingkat III klasifikasi Hurley

24
Sistem klasifikasi Hurley dinilai tidak dinamis dalam menjelaskan hasil
terapi. Sartorius Score yang menghitung skor keterlibatan regio, nodul, dan
sinus, kemudian dijadikan panduan untuk menilai keparahan penyakit.

Gambar 2.8. Sartorius Score

Penatalaksanaan
Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan
antibiotik sistemik hanyalah merupakan bagian dari program
penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan glukokortikoid intralesi,
pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.
Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan
lesi primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti
sikatriks atau pembentukan sinus. Lesi yang timbul paling awal sering kali
sembuh dengan cepat dengan pemberian terpai steroid intralesi, dan sebaiknya
dicoba untuk memulai kombinasi dengan cleocin topikal atau tetracycline atau
minocycline oral.
Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan
triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (3-5

25
mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik oral
yang dapat digunakan adalah erythromycin (250-500 mg qid), tetracycline
(250-500 mg qid), atau minocycline (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh,
atau kombinasi klindamisin 2 x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg 2 kali
perhari) selama beberapa minggu. Prednison dapat diberikan bila nyeri dan
inflamasi sangat berat dosisnya 70 mg perhari selama 2-3 hari, diturunkan
(tappered) selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral tidak bermanfaat pada
penyakit yang kronis namun bermanfaat pada awal penyakit untuk mencegah
sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi.
Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri dan pemberian
clindamycin topikal penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan dengan
menggunakan pakaian longgar dan penurunan berat badan bila diperlukan, dan
mencegah timbulnya keringat berlebih dengan menggunakan aluminium
klorida topikal.
Pada kondisi adanya draining sinus, kultur dari pus mungkin akan
menunjukkan S. Aureus atau organisme gram negatif. Pemilihan antibiotik
harus didasarkan pada sensitivitas kultur organisme. Isotretinoin efektif pada
beberapa kasus. Pada suatu studi diberikan isoretinoin dengan dosis 0,56 mg/kg
selama 4 sampai 6 bulan.
Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat adalah
modalitas pengobatan. Rekurensi postoperatif dapat terjadi. Pembedahan yang
dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul fibrotik atau
sinus. Pada penyakit yang luas dan kronis, dibutuhkan eksisi komplit pada
axilla atau area yang terlibat. Eksisi mungkin mendalam hingga lapisan fascia
sehingga dibutuhkan skin grafting untuk penutupannya. Beberapa peneliti
menyarankan penggunaan laser CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan primer,
grafting, atau flaps telah digunakan secara luas, namun mungin berhubungan
dengan hasil yang tidak begitu baik.

26
Radioterapi. Beberapa peneliti melaporkan kesuksesan radioterapi dalam
pengobatan HS. Lebih sering diberikan pada populasi pasien muda. Efek
samping jangka panjang perlu diperhatikan.

Prognosis
Keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya
mengalami gejala ringan yang rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak
berobat. Penyakit ini biasanya mengalami remisi spontan pada usia > 35 tahun.
Pada beberapa individu, gejalanya dapat menjadi progresif, dengan morbiditas
nyata terkait pada penyakit kronis, pembentukan sinus, dan sikatriks yang
menimbulkan keterbatasan gerak.
Komplikasi
Komplikasi sistemik yang dapat terjadi antara lain disebabkan oleh
infeksi lokal yang dapat menimbulkan septikemia. Anemia atau leukositosis
dapat terjadi namun tidak signifikan. Komplikasi lokal dapat berupa sikatriks
yang membatasi mobilitas. Inflamasi genitofemoral dapat mengakibatkan
striktur anus, uretra, atau rektum. Fistula uretra juga dapat terjadi. Selain itu,
dapat juga terjadi kecacatan persisten pada penis dan skrotum, atau limfedema
vulva yang menyebabkan kerusakan fungsi yang signifikan. Limfedema ini
diduga terjadi karena fibrosis dan obstruksi saluran limfe. Squamous cell
carcinoma (SCC) dapat terjadi pada area yang mengalami inflamasi dan
sikatriks kronis. SCC dilaporkan terjadi pada 3,2% pasien dengan perianal HS
yang terjadi selama 20-30 tahun. SCC sering terjadi pada pria di regio
anogenital.

6. Paronikia
Paronikia adalah suatu reaksi peradangan mengenai lipatan kulit dan
jaringan di sekitar kuku. Biasanya disebabkan oleh trauma karena maserasi
pada tangan yang sering terkena air. Paronikia akut paling sering diakibatkan

27
oleh infeksi bakteri, umumnya Staphylococcus aureus atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan, paronikia kronis disebabkan oleh jamur Candida
albicans.
Paronikia ditandai dengan jaringan kuku menjadi lunak dan
membengkak serta dapat mengeluarkan pus (nanah), kuku bertambah tebal dan
berubah warna. Bila infeksi telah kronis, maka terdapat celah horizontal pada
dasar kuku biasanya menyerang 1-3 jari. Penyakit ini selain diderita pada
orang-orang yang tangannya lama terendam air, juga berkembang pada
penderita diabetes dan kekurangan gizi.
Kasus paronikia lebih banyak terjadi pada wanita, pekerjaan bar, tukang
cuci dan kadang-kadang penyakit ini muncul pada anak-anak, khususnya yang
gemar menghisap jari tangannya. Setiap jari tangan dapat terkena, tetapi yang
lebih sering adalah jari manis dan jari kelingking.
Etiologi
Gejala pertama karena adanya pemisahan lempeng kuku dari
eponikium, biasanya disebabkan oleh trauma karena maserasi pada tangan yang
sering kena air. Celah yang lembab itu kemudian terkontaminasi oleh coccus
pyogenic atau jamur. Jamur yang tersering adalah Candida albicans, sedang
bakteri adalah Staphylococcus atau Pseudomonas aeruginosa.
Patogenesis
Faktor predisposisi utama yang dapat diidentifikasi adalah pemisahan
dari eponikium terhadap lempeng kuku. Pemisahan ini biasanya disebabkan
oleh trauma sebagai dampak dari kelembaban maserasi pada lipatan-lipatan
kulit terhadap keseringan tangan dalam keadaan basah. Alur yang lembab pada
kuku dan lipatan kuku menjadi daerah serbuan oleh coccus pyogenic dan ragi.
Bakteri kausatif biasanya berupa Staphylococcus Aureus, Streptococcus
pyogenes, Pseudomonas sp., Proteus sp., atau bakteri anaerob lainnya. Dapat
juga disebabkan oleh Candida Albicans.5
Sebagaimana yang diketahui, faktor risiko yang paling banyak pada
paronikia akut adalah trauma ringan pada kutikula atau lipatan kuku seperti

28
pada saat cuci piring, onycopagia (menggigit kuku), memotong kuku, keadaan
kuku yang mengalami pertumbuhan kedalam, dan proses manicure. Dengan
adanya trauma dapat menyebabkan inokulasi bakteri sehingga terjadi infeksi.
Hal ini sesuai dengan laporan kasus Riesbeck Christian yang
menunjukkan bahwa paronikia disebabkan oleh bakteri Prevotellabivia yang
merupakan bakteri anaerob gram negatif, dimana infeksi oleh bakteri ini
dihubungkan dengan infeksi pada saluran genital wanita dan khususnya pada
infeksi oral. Sedangkan pada kronik disebabkan oleh bakteri patogen dan jamur
yaitu Candida albicans. Paronikia akut sering terjadi pada pekerja laundry,
pekerja rumah tangga, cleaning service dan perenang. Beberapa kasus
menunjukkan adanya kolonisasi Candida albicans atau bakteri lainnya pada
lesi. Paronikia kronik juga merupakan suatu komplikasi dari paronikia akut
pada pasien yang tidak mendapatkan pengobtan yang adekuat.
Proses patologis inflamasi di daerah kuku terutama mempengaruhi
matriks, dasar kuku, hyponychium, dan lipatan kuku. Perubahan lempeng kuku
terjadi setelah inflamasi di daerah kuku tersebut. Karena anatomi yang unik dari
kuku, ada sejumlah pola reaksi yang memungkinkan untuk terjadinya proses
inflamasi. Pola-pola reaksi mungkin memiliki fitur yang berbeda dari yang
terlihat di kulit, karena kuku menghasilkan produk berupa lempeng kuku.
Beberapa proses inflamasi dari matriks kuku dapat menyebabkan kerusakan
irreversible. Di sisi lain, proses yang mempengaruhi dasar kuku dan
hyponychium yang tidak mempengaruhi pembentukan plat, dapat
mempengaruhi bentuk atau kelengketan pada kuku. Bantalan kuku yang
mengalami cedera sehingga terjadi metaplastik, yaitu dengan beralih dari
keratinisasi onycholemmal (tanpa butiran keratohyalin) untuk keratinisasi
epidermoid. Kemudian menjadi hiperplastik, hiperkeratosis, parakeratosis,
hipergranulosis, spongiosis, dan pembentukan krusta eksudat. Proses ini
mengarah pada berubahnya bentuk dan pola lempeng kuku yang umum untuk
beberapa penyakit yang mempengaruhi dasar kuku, seperti psoriasis,
onikomikosis dan paronikia.

29
Gejala Klinis
Pasien datang dengan riwayat memotong kuku terlalu pendek, pernah
trauma, memiliki kebiasaan menggigit kuku, menghisap jari atau sering
terendam air. Pasien yang memiliki penyakit diabetes akan lebih sulit
perawatannya. Keluhan tersering adalah pasien merasa nyeri dan bengkak di
sekitar kuku.
Paronikia dapat dibagi:
1) Paronikia akut
Paronikia akut merupakan infeksi akut pada lipatan kuku. Patogenesis
dari paronikia akut ini paling sering adalah infeksi oleh bakteri, difasilitasi
oleh kerusakan kutikula, sering pada herpes simpleks, jarang pada
iatrogenik. Dari pemeriksaan, akan tampak pinggir kuku kemerahan,
bengkak dan nyeri. Kutikula biasa tidak ditemukan. Pada saat kuku ditekan
bisa keluar nanah. Bengkak dan kemerahan pada tepi kuku disebabkan oleh
penumpukan nanah di bawah kulit.
Trauma minimal merupakan salah satu penyebab terbanyak dari
paronikia akut dan perlu dilakukan penatalaksanaan berupa operasi. Infeksi
mungkin saja menimbulkan retakan pada kulit (sebagai contoh: jika bintil
kuku terkoyak), serpihan dibawah tepi kuku, tusukan dari duri pada pinggir
lekukan atau terkadang berasal dari infeksi sekunder subungual sampai
perdarahan.
Infeksi dimulai pada bagian pinggir area paronikia dengan kemerahan
disekitarnya, bengkak dan nyeri. Pada fase ini, pengobatan dilakukan:
kompres basah (contohnya dengan menggunakan larutan aluminium asetat
Burrow) dan pengobatan antiobiotik sistemik yang tepat juga diberikan.
Karena pemberian antibiotik secara terus menerus dapat menyembunyikan
proses patologis yang semakin berkembang sehingga dapat menyebabkan
kerusakan struktur kuku, jika paronikia akut tidak menunjukkan tanda-
tanda yang jelas berupa respon yang baik selama 2 hari, maka tindakan

30
operasi harus dilakukan dengan menggunakan anastesi lokal. Reaksi
purulen dapat memakan waktu beberapa hari utnuk melokalisir dan selama
waktu tersebut nyeri yang berdenyut sering menjadi gejala utama.
Kumpulan pus dapat dengan mudah terlihat pada kuku atau pada lipatan
paronikial. Terkadang pus dapat tumbuh pada bagian lekukan periungual.
Dengan tidak terlihatnya pus, kumpulan tersebut akan meningkatkan
tekanan dan lesinya di insisi pada daerah dengan nyeri yang hebat, tidak
dilakukan pada daerah dengan pembengkakan yang besar.

Gambar 3.1 Paronikia akut kausa bakteri.

Gambar 3.2. Paronikia akut kausa bakteri, tamapak pus disepanjang


lipatan kuku lateral.

31
Gambar 3.3 Lipatan kuku proksimal memerah dan edema disertai pus
pada paronikia akut.
2) Paronikia kronik
Paronikia kronik adalah penyakit inflamasi pada bagian proksimal
lipatan kuku, khususnya pada tangan yang terus menerus terpapar dengan
lingkungan yang lembab atau basah dan diikuti dengan trauma minimal
sehingga menyebabkan kerusakan pada lapisan kutikula. Ketika kutikula
rusak atau terkikis, pelindung epidermal pada lipatan kuku proksimal
melemah dan lipatan kuku kemudian akan lebih mudah terpapar pada
bahaya atau resiko lingkungan. Iritan dan alergen akan dengan mudah
penetrasi kebagian proksimal lipatan kuku dan menimbulkan dermatitis
kontak yang akan menuju pada inflamasi kronik. Jenis dari reaksi
hipersensitivitas cepat (tipe I) pada bahan-bahan makanan dapat terjadi.
Terkadang dapat didahului oleh reaksi iritan.
Paronikia kronik sangat umum terjadi, utamanya pada pasien wanita
dengan usia 30-60 tahun. Faktor utama dari penyakit ini adalah karena
sering terkena air dan kerusakan kutikula. Agen kausatif yang sering
ditemukan adalah candida albicans. Pasien dengan gejala yang menetap
lebih dari 6 minggu perlu dicurigai sebagai paronikia kronik. Kuku

32
cenderung kering, bengkak dan kemerahan tidak begitu nyata pada
paronikia kronik. Kuku tampak menebal dan berwarna pucat dan bisa
terpisah sehingga tampak ada ruang diantara kuku dengan nail bed.

Gambar 3.4 Paronikia kronik akibat paparan air terus menerus.

Gambar 3.5 Candida albicans pada paronikia kronik.

33
Gambar 3.6 Perubahan warna pada lempeng kuku akibat Pseudomonas
pyocyanea.

Pemeriksaan Penunjang
Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang tepat untuk paronikia antara lain pemeriksaan
mikroskopik, pemeriksaan potassium hydroxide (KOH), merupakan
pemeriksaan yang cepat dan mudah dilakukan untuk menemukan adanya jamur
yang menyebabkan infeksi. Bila dalam infeksi terdeteksi adanya spesies jamur
maka dianjurkan untuk melakukan kultur jamur. Jika infeksi jamur dicurigai
tanpa adanya faktor mikologi maka untuk mengetahui spesies dari jamur
potongan kuku yang terinfeksi, kerokan Nail bed (bantalan kuku), atau biopsi
kuku dapat dikirim untuk dilakukan histopatologi dan pewarnaan dengan PAS.
Namun bila dicurigai terinfeksi oleh bakteri, kultur bakteri dan sensifitas harus
dilakukan sehingga dapat mengidentifikasi bakteri yang ada kemudian
memberikan antibakteri yang sesuai.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-positif, nonmotile dan
fakultatif anaerob yang membentuk karakteristik seperti kelompok cocci
terlihat dalam warna ungu pada pewarnaan gram.

Gambar 3.7 Pewarnaan gram pada bakteri Staphylococcus Aureus.

Biopsi Kuku
Ketika anamnesis dan pemeriksaan fisis saja tidak menghasilkan
diagnosis yang pasti, maka biopsi kuku harus dipertimbangkan untuk

34
dilakukan. Lokasi untuk dilakukan biopsi kuku tergantung pada bagian mana
dari struktur kuku yang terlihat patologis. Proses patologis pada lempeng kuku
paling sering terjadi di matrix kuku atau terdapat ruang lesi pada lipatan kuku
(Nail fold).
Pemeriksaan mikrobiologi dapat juga membantu dalam menegakkan
diagnose pada penyakit ini. Kultur dari sampel yang diambil dari tempat infeksi
dapat membantu mengidentifikasi jenis bakteri yang menyebabkan infeksi pada
pasien tersebut dimana pada kasus paronikia biasanya ditemukan bakteri
Staphylococcus aureus.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Untuk menentukan
penyebabnya, dilakukan pembiakan pus di laboratorium. Pada pasien dengan
infeksi berat atau abses, dilakukan pengambilan spesimen untuk
mengidentifikasi bakteri patogen penyebab infeksi.6
Penatalaksanaan
Paronikia akut
Pada kondisi ini dapat digambarkan sebagai kondisi lipatan kuku yang
menebal dan juga nyeri. Penatalaksanaan dari paronikia akut adalah tergantung
pada derajat peradangan yang terjadi, jika tidak terjadi abses, cukup kompres
dengan menggunakan air panas kemudian olesi dengan Burrow’s solution
(aluminium asetat). Acetaminophen atau obat anti inflamasi non-steroid harus
dipertimbangkan untuk digunakan bila keadaan sudah menunjukkan gejala
yang nyata. Pada kasus yang ringan cukup diberikan antibiotik topikal,
contohnya salep mupirocin (bactroban) 2-4 kali sehari selama 5-10 hari, salep
gentamicin 3-4 kali sehari selama 5-10 hari, bacitracin/neomycin/polymicin B
(Neosporin) 3 kali sehari selama 5-10 hari, atau dapat juga dikombinasikan
dengan kortikosteroid seperti betamethason 0,05% 2 kali sehari selama 1-2
minggu merupakan pengobatan yang aman dan efektif untuk paronikia akut.

35
Untuk lesi yang parah, pemberian antibiotik oral yang digunakan setelah
dikompres pada lesi. Pasien yang memiliki kebiasaan menghisap jari atau
menggigit kuku harus ditangani dengan antibiotik oral spectrum seperti
amoxicillin 500 mg 3x1 selama 7 hari atau clavulanate 125 mg 2x1 selama 7
hari, clindamysin 150-450 mg 3-4x1 selama 7 hari, karena tidak menutup
kemungkinan bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya resisten
terhadap penicillin dan ampicillin.
Paronikia kronik
Paronikia kronik dapat ditangani dengan perlindungan yang ekstra pada
bagian lesi. pengobatan anti jamur topikal yang berspektrum luas bisa
digunakan untuk mengatasi kondisi ini dan mencegah rekurensi. Aplikasi dari
emollient lotion yang diolesi pada daerah kutikel di tangan yang terhadi
peradangan, biasanya sangat berguna. Suatu percobaan pada orang dewasa
umur 45 tahun dengan paronikia kronik yang dialaminya, melakukan
pengobatan dengan kelompok antifungal sistemik seperti Itraconazole
(Sporanox) 200 mg 2x1 selama 7 hari atau terbinafen (Lamisin) atau krim
topikal steroid seperti metylprednisolon dalam 3 minggu, setelah 9 minggu
dampak dari pengobatan topikal steroid baru mulai terlihat. Kortikosteroid
sistemik dapat digunakan pada paronikia yang sudah terjadi inflamasi pada
beberapa kuku jari.
Pengobatan steroid pada paronikia kronik yang disebabkan oleh jamur
(Candida) sangat tidak efektif, sedangkan dengan topikal steroid menjadi
pilihan utama pada infeksi paronikia akut mengingat risiko dan harga yang
murah dibandingkan dengan pengobatan antifungal sistemik, atau pengobatan
kombinasi topikal steroid dengan kelompok antijamur dapat juga digunakan
pada pasien dengan paronikia kronis yang sederhana walaupun belum ada data
yang akurat tentang ini. Penggunaan kortikosteroid dapat juga digunakan pada
kasus-kasus intralesi. Apabila tindakan terapi yang diberikan tidak responsif,
maka alternatid terakhir dapat dilakukan dengan pembedahan.

36
7. Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit kepala yang disebabkan oleh
jamur dermatofit. Tinea kapitis biasanya terjadi terutama pada anak – anak,
meskipun ada juga kasus pada orang dewasa yang biasanya terinfeksi
Trichophyton tonsurans. Tinea kapitis juga dapat dilihat pada orang dewasa
sengan AIDS.1,2
Etiologi
Dermatofit ectothrix biasanya menginfeksi pada perifolikuler stratum
korneum, menyebar keseluruh dan kedalam batang rambut dari pertenganahan
sampai akhir rambut sebelum turun ke folikel untuk menembus folikel rambut
dan diangkut keatas pada permukaannya. Dan biasanya disebabkan spesies
dermatofita seperti golongan Trichopiton dan Microsporum.
Gambaran Klinis
Gambaran tinea kapitis tergantung dari etiologinya.
1. Grey patch ringworm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus
Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai
dengan papul merah yang kecil disekitar rambut. Papul ini melebar dan
membentuk bercak, yang menjadi pusat dan bersisik. Keluhan penderita
adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu dan tidak berkilat lagi.
Rambut mulai patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang
oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat – tempat
ini terlihat sebagai grey patch.

37
Gambar 4.1 Gray patch ringworm
2. Kerion
Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang
yang padat disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan
Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lehih sering dilihat. Agak
kurang bila penyebabnya Tricophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila
penyebabnya adalah Tricophyton violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap.
Jaringan parut yang menonjol kadang – kadang dapat terbentuk.

Gambar 4.2 kerion

38
3. Black Dot Ringworm
Terutama disebabkan oleh Tricophyton tonsurans dan Tricophyton
violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai
kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena
infeksi patah tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung
rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut
ini memberi gambaran khas, yaitu black dot. Ujung rambut yang patah,
kalau tumbuh kadang – kadang masuk ke bawah permukaan kulit. Dalam
hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan biakan jamur.

Gambar. 4.4 black dot ringworm

Diagnosis
Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan mikroskopis dapat membuktikan infeksi jamur dalam beberapa
menit, tidak sering kali memungkinkan untuk spesiasi atau untuk
mengidentifikasi kerentanan terhadap agen. Evaluasi mikroskopis juga dapat
menghasilkan hasil negatif palsu, dan kultur jamur sebaiknya dilakukan ketika
diduga adanya infeksi klinisdermatofit.
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan mikroskopik

39
Pemeriksaan lesi yang melibatkan kulit kepala atau jenggot dengan
menggunakan lampu wood mungkin memperlihatkan gambaran
pteridin dari pathogen tertentu. Jika demikian, rambut dengan
flouresensi tersebut harus diperiksa lebih jauh. Perlu diketahui bahwa
organisme ektotrik seperti Microsporum canis dan Microsporum
audouinii akan tampak flouresensi pada pemeriksaan lampu wood,
sedangkan organisme endotrik, Tricophyton tonsurans tidak tampak
flouresensi.
Flouresensi positif terinfeksi oleh Microsporum audouinii,
Microsporum canis, Microsporum femgineum, Microsporum
distorturn, dan Trichopiton schoenleinii. Pada ruangan yang gelap kulit
dibawah lampu ini berflouresensi agak biru. Ketombe umumnya cerah
putih kebiruan. Rambut yang terinfeksi berflouresensi hijau terang atau
kuning kehijauan.
Pada pemeriksaan mikroskopi, rambut harus dicabut tidak di
potong melihat di mikroskop dengan pemeriksaan KOH 10 – 20%.
b) Pemeriksaan Kultur
Spesiasi jamur didasarkan pada karakteristik mikroskopik, makroskopik
danmetabolisme organisme. Saboraud dextrose agar (SDA) adalah
media isolasi yang paling umum digunakan dan sebagai basis untuk
gambaran yang paling morfologi. Namun kontaminasi saprobes tumbuh
pesat pada media ini.1
Penatalaksanaan
Infeksi yang melibatkan rambut dan kulit memerlukan antijamur oral untuk
menembus dermatofit yang menembus folikel rambur.

 Pengobatan topical
- Selenium sulfide
- Iodine
- Ketoconazole

40
 Pengobatan sistemik
- Grisofulvin 20-25mg/kg/hr/8minggu
- Fluconazole 6 mg/kg/hr/20hr
- Itraconazole 3-5mg/kg/hr/4-6minggu
- Terbinafine 3-6mg/kg/hr/2-4minggu

8. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome


Definisi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome ialah infeksi kulit oleh
Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri yang khas yaitu terdapatnya
epidermolisis.
Etiologi
Disebabkan oleh Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55, dan/atau
faga 71.

Patogenesis
Sumber infeksi adalah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga.
Ektotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin)
yang beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis dan menyebabkan
kerusakan, karena epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin
ini. Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin.
Pada anak-anak dan bayi, diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna, karena
itu umumnya penyakit ini terdapat pada golongan usia tersebut. Jika menyerang
orang dewasa, diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau dapat
gangguan imunologik, termasuk yang mendapat obat imunosupresif.
Gejala klinis
Pada umumnya, terdapat demam tinggi disertai infeksi di saluran nafas
bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul
mendadak pada kulit muka, leher, ketiak, dan lipatan paha, kemudian

41
menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-
bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang nampaknya normal ditekan dan
digeser, kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi tanda Nikolsky
positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan
lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah erosif. Akibat
epidermolisis tersebut, gambarannya mirip kombustio. Daerah-daerah tersebut
akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Deskuamasi pada
daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas terjadi dalam waktu 10
hari. Meskipun bibir sering terkenai, tetapi mukosa jarang diserang.
Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.
Pemeriksaan Bakteriologi
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas, dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe
kuman, karena S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertent.
Pada kulit, seperti telah disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena
kerusakan kulit akibat toksin.

Histopatologi
Pada S.S.S.S. terdapat gambaran yang khas, yaitu terlihat lepuh
intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh
sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya akan tampak utuh
tanpa disertai nekrosis sel.

Tatalaksana
Pengobatannya menggunakan antibiotik, jika dipilih derivat penisilin,
hendaknya yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk
penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa
per os. Pada neonatus dosisnya adalah 3 x 50 mg sehari per os. Obat lain yang
dapat diberikan adalah klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat

42
diberikan sufratulle atau krim antibiotik. Selain itu harus diperhatikan juga
keseimbangan cairan dan elektrolit.

9. EKTIMA
Definisi
Ektima adalah ulkus superfisial dengan krusta diatasnya, disebabkan oleh
infeksi Streptococcus B hemolyticus.
Etiologi
Streptococcus B hemolyticus
Gejala klinis
Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi di
tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika krusta
diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus yang dangkal.
Diagnosis Banding
Impetigo krustosa. Persamaannya, kedua-duanya berkrusta kuning.
Berbedaannya, impetigo krustosa terdapat pada anak, berlokasi di muka, dan
dasarnya adalah erosi. Sebaliknya, ektima terdapat baik di anak maupun
dewasa, tempat predileksi di tungkai bawah, dan dasarnya ialah ulkus.
Tatalaksana
Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salep
antibiotik. Jika krusta berjumlah banyak, juga diobati dengan antibiotik
sistemik.

10. VARISELA
Definisi
Infeksi akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan
mukosa. Disebut juga sebagai cacar air atau chicken pox.
Etiologi

43
Virus varisela-zoster, transmisinya melalui udara.
Manifestasi klinis
1) Gejala prodromal: demam, malaise, dan nyeri kepala;
2) Lesi kulit: papul eritematosa yang berubah menjadi vesikel berbentuk
menyerupai tetesan embun (tear drops). Vesikel ini menjalar secara
sentrifugal dari badan kemudian ke wajah, ekstremitas, selaput lendir
mata, mulut, dan saluran napas atas. Vesikel dapat berkembang
menjadi pustul, kemudian pecah, mengering dan membentuk krusta;
3) Gejala lain: gatal pada lesi kulit dan pembesaran kelenjar getah bening.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain
itu, diagnosis ditegakkan jga menggunakan pemeriksaan penunjang, yaitu:
pemeriksaan Tzanck dari kerokan dasar vesikel dengan temuan sel datia berinti
banyak.

Tatalaksana
Analgetik dan antipiretik;
Bedak: untuk menghilangkan gatal dan mencegah vesikel pecah;
Antibiotik: untuk mencegah infeksi sekunder;
Obat antivirus: asiklovir 5x800 mg PO selama 7 hari.

11. Impetigo
Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan
epidermis kulit. Impetigo bisa terjadi akibat trauma superficial yang membuat
robekan kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary
infection) dari Pediculosis, Skabies, Infeksi jamur, dan pada Insect bites.
Etiologi

44
Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus Aureus atau Group A Beta
Hemolitik Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus
merupakan pathogen primer pada impetigo bulosa dan ecthyma.
Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif yang memiliki
bentuk bulat dan berukuran 1 µm, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang
tidak teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa
didapatkan.
Cara kerja Staphylococcus dengan melakukan pembelahan diri dan
menyebar luas masuk ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan
ekstraseluler. Bahan-bahan tersebut berupa enzim dan yang lain berupa toksin
meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan
beberapa bahan seperti katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin,
lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin.
Streptococcus mempunyai karakteristik dapat berbentuk pasangan atau
rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20 produk ekstraseluler yang
antigenic termasuk dalam grup A, (Streptococcus pyogenes) diantaranya adalah
Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin pirogenik,
disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin.
Klasifikasi
Impetigo contagiosa (tanpa gelembung cairan, dengan krusta /
keropeng / koreng), Impetigo krustosa hanya terdapat pada anak-anak, paling
sering muncul di muka, yaitu di sekitar hidung dan mulut. Kelainan kulit berupa
eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga penderita datang berobat
yang terlihat adalah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan
tampak erosi dibawahnya. Jenis ini biasanya berawal dari luka warna merah
pada wajah anak, dan paling sering di sekitar hidung dan mulut. Luka ini cepat
pecah, berair dan bernanah, yang akhirnya membentuk kulit kering berwarna
kecoklatan. Bekas impetigo ini bisa hilang dan tak menyebabkan kulit seperti
parut. Luka ini bisa saja terasa gatal tapi tak terasa sakit. Impetigo jenis ini juga

45
jarang menimbulkan demam pada anak, tapi ada kemungkinan menyebabkan
pembengkakan kelenjar getah bening pada area yang terinfeksi. Dan karena
impetigo sangat mudah menular, makanya jangan menyentuh atau menggaruk
luka karena dapat menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya.
Bullous impetigo (dengan gelembung berisi cairan, Impetigo jenis
ini utamanya menyerang bayi dan anak di bawah usia 2 tahun. Namun ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa Impetigo bulosa terdapat pada anak dan
juga pada orang dewasa, paling sering muncul di ketiak, dada, dan punggung.
Kelainan kulit berupa eritema, vesikel, dan bula. Kadang-kadang waktu
penderita datang berobat, vesikel atau bula telah pecah. Impetigo ini meski tak
terasa sakit, tapi menyebabkan kulit melepuh berisi cairan. Bagian tubuh yang
diserang seringkali badan, lengan dan kaki. Kulit di sekitar luka biasanya
berwarna merah dan gatal tapi tak terasa sakit. Luka akibat infeksi ini dapat
berubah menjadi koreng dan sembuhnya lebih lama ketimbang serangan
impetigo jenis lain.

Patofisiologi
Infeksi akibat Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik
Streptococcus dimana sebelumnya diketahui bakteri-bakteri tersebut dapat
menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan
menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan
ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa
toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat
menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin
eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Toksin yang
dihasilkan bakteri staph ini dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area
lainnya. Toksin ini menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit.
Sehingga membuat protein ini rusak, dan semakin memudahkan bakteri
menyebar dengan cepat. Dan enzim yang dikeluarkan oleh Stap akan membuat

46
struktur kulit rusak dan akan timbul rasa gatal yang dapat
menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit.
Pada awalnya, rasa gatal dengan lesi berbentuk berupa makula
eritematosa yang berukuran 1-2 mm, kemudian berubah menjadi bula atau
vesikel. Pada Impetigo contagiosa Awalnya berupa warna kemerahan pada
kulit (makula) atau papul (penonjolan padat dengan diameter <0,5cm) yang
berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula yang
berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul
dengan keropeng/koreng berwarna kunig madu dan lengket yang berukuran
<2cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya,
sekret seropurulen kuning kecoklatan yang kemudian mengering membentuk
krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat
daerah erosif yang mengeluarkan sekret, sehingga krusta akan kembali
menebal. Sering krusta menyebar ke perifer dan menyembuh di bagian tengah.
Kemudian pada Bullous impetigo bula yang timbul secara tiba tiba pada kulit
yang sehat dari plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah,
berdiameter 1-5cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor),
bervariasi dari miliar sampai lentikular dengan dinding yang tebal, dapat
bertahan selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah, dapat menimbulkan krusta yang
berwarna coklat, datar dan tipis.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram
untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negatif.
Bisa dilanjutkan dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara
Staphylococcus dan Streptococcus

Manifestasi Klinis
Impetigo Krustosa, Tempat predileksi tersering pada impetigo
krustosa adalah di wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena
pada daerah tersebut dianggap sumber infeksi. Tempat lainnya yang dapat

47
terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan,
tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi.
Biasanya mengenai anak pra sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat
terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe
regional lebih sering disebabkan oleh Streptococcus. Kelainan kulit didahului
oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera terbentuk
vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa
dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi
gambaran karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi akan melebar sampai
1-2 cm, disertai lesi satelit disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung
membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar
secara autoinokulasi.
Impetigo Bulosa, Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa
adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria.
Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung
berisi cairan dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh,
dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan
yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan
meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike”
terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar
yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh.
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat
menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat
lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang
lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher. Tidak ada pembengkakan
kelenjar getah bening di dekat lesi. Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai
dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang paru,
infeksi sendi atau tulang.
Penatalaksanaan

48
Prinsip-prinsip penatalaksanaan antara lain : Membersihkan luka yang
lecet atau mengalami pengausan secara perlahan-lahan. Tidak boleh melakukan
gosokan-gosokan pada luka terlalau dalam. Pemberian mupirocin secara topical
merupakan perawatan yang cukup adekuat untuk lesi yang tunggal atau daerah-
daerah kecil. Pemberian antibiotik sistemik diindikasikan untuk lesi yang luas
atau untuk impetigo bulosa. Pencucian dengan air panas seperti pada
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome diindikasikan apabila lesi
menunjukkan keterlibatan daerah yang luas.
Diagnosis dan penatalaksanaan yang dini dapat mencegah timbulnya
sikatrik dan mencegah penyebaran lesi. Kebutuhan akan konsultasi ditentukan
dari luasnya daerah yang terserang/terlibat dan usia pasien. Neonatus dengan
impetigo bulosa memerlukan konsultasi dengan ahli neonatologi.

Medikamentosa:
Pemberian antibiotik merupakan terapi yang paling penting. Obat yang
dipilih harus bersifat melindungi dan melawan koagulasi-positif Streptococcus
aureus dan Streptococcus beta hemolyticus grup A.

12. Abses
adalah suatu infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri dan
mengandung nanah yang merupakan campuran dari jaringan nekrotik, bakteri,
dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik.

Klasifikasi Abses
a) Abses septic
Kebanyakan abses adalah septik, yang berarti bahwa mereka
adalah hasil dari infeksi. Septic abses dapat terjadi di mana saja di
tubuh. Hanya bakteri dan respon kekebalan tubuh yang diperlukan.
Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah putih yang terinfeksi
berkumpul di situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia yang
disebut enzim yang menyerang bakteri dengan terlebih dahulu tanda dan

49
kemudian mencernanya. Enzim ini membunuh bakteri dan
menghancurkan mereka ke potongan-potongan kecil yang dapat
berjalan di sistem peredaran darah sebelum menjadi dihilangkan dari
tubuh. Sayangnya, bahan kimia ini juga mencerna jaringan tubuh.
Dalam kebanyakan kasus, bakteri menghasilkan bahan kimia yang
serupa. Hasilnya adalah tebal, cairan-nanah kuning yang mengandung
bakteri mati, dicerna jaringan, sel-sel darah putih, dan enzim.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang
diawali dengan proses yang disebut peradangan. Awalnya, seperti
bakteri mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa kejadian
terjadi:
1) Darah mengalir ke daerah meningkat.
2) Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
3) Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan
lainnya.
4) Ternyata merah.
5) Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas
kimia.
Keempat tanda-panas, bengkak, kemerahan, dan sakit-
ciri peradangan. Ketika proses berlangsung, jaringan mulai
berubah menjadi cair, dan bentuk-bentuk abses. Ini adalah sifat
abses menyebar sebagai pencernaan kimia cair lebih banyak dan
lebih jaringan. Selanjutnya, penyebaran mengikuti jalur yang
paling resistensi, umum, jaringan yang paling mudah dicerna.
Sebuah contoh yang baik adalah abses tepat di bawah kulit.
Paling mudah segera berlanjut di sepanjang bawah permukaan
daripada bepergian melalui lapisan terluar atau bawah melalui
struktur yang lebih dalam di mana ia bisa menguras isi yang
beracun. Isi abses juga dapat bocor ke sirkulasi umum dan

50
menghasilkan gejala seperti infeksi lainnya. Ini termasuk
menggigil, demam, sakit, dan ketidaknyamanan umum.
b) Abses steril
Abses steril kadang-kadang bentuk yang lebih ringan dari proses
yang sama bukan disebabkan oleh bakteri, tetapi oleh non-hidup iritan
seperti obat-obatan. Jika menyuntikkan obat seperti penisilin tidak
diserap, itu tetap tempat itu disuntikkan dan dapat menyebabkan iritasi
yang cukup untuk menghasilkan abses steril. Seperti abses steril karena
tidak ada infeksi yang terlibat. Abses steril cukup cenderung berubah
menjadi keras, padat benjolan karena mereka bekas luka, bukan
kantong-kantong sisa nanah.
Etiologi
Staphylococus Aureus & Streptococcus Aureus
Patofisiologi
Jika bakteri masuk ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
suatu infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut,
dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati, sel darah putih yang
mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan
terdorong. Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi
dinding pembatas.Abses dalam hal ini merupakan mekanisme tubuh mencegah
penyebaran infeksi lebih lanjut.Jika suatu abses pecah di dalam tubuh, maka
infeksi bisa menyebar kedalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit,
tergantung kepada lokasi abses.
Manifestasi Klinis
Gejalanya bisa berupa: Nyeri, nyeri tekan, Pembengakakan,
Eritem,demam, Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya

51
tampak sebagai benjolan. Adapun lokasi abses antaralain ketiak, telinga, dan
tungkai bawah. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih
putih karena kulit diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum
menimbulkan gejala seringkali terlebih tumbuh lebih besar.Paling sering, abses
akan menimbulkan nyeri tekan dengan massa yang berwarna merah, hangat
pada permukaan abses , dan lembut.
Abses yang progresif, akan timbul “titik” pada kepala abses sehingga
Anda dapat melihat materi dalam dan kemudian secara spontan akan terbuka
(pecah).
Sebagian besar akan terus bertambah buruk tanpa perawatan. Infeksi
dapat menyebar ke jaringan di bawah kulit dan bahkan ke aliran darah. Jika
infeksi menyebar ke jaringan yang lebih dalam, Anda mungkin mengalami
demam dan mulai merasa sakit. Abses dalam mungkin lebih menyebarkan
infeksi keseluruh tubuh.

Pemerisaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium : leukositosis
Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan
sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif
(gangren). Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh
dengan sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika
terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan
konsekuensi yang fatal.Meskipun jarang, apabila abses tersebut mendesak
struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakea.
Penatalaksanaan medis

52
a. Abses lukabiasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan
antibiotik Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan
intervensi bedah, debridemen , dan kuretase hal yang sangat penting untuk
diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan menggunakan antibiotik
tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif. Hal
tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses,
selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam PH
yang rendah.
b. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda
asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing,
biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan
pemberian obat analgetik dan mungkin juga antibiotik
c. drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya
diindikasikan apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang
keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak.
d. Apabila menimbulkan resiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis,
tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan
terakhir yang perlu dilakukan.
13. Folikulitis
Definisi Folikulitis
Folikulitis adalah infeksi folikel rambut, biasanya oleh bakteri
staphylococcus aureus. Peradangan terjadi di folikel. Faktor resiko terjadi
trauma pada kulit dan higien buruk. Folikulitis merupakan infeksi bakteri pada
folikel rambut yang menyebabkan pembentukan pustula. Folikulitis adalah
peradangan yang hanya terjadi pada umbi akar rambut saja. Berdasarkan letak
munculnya, bisul jenis ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu superficial atau
hanya di permukaan saja dan yang letaknya lebih dalam lagi disebut profunda.
Folikulitis adalah peradangan pada selubung akar rambut (folikel) yang

53
umumnya disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus. Folikulitis timbul
sebagai bintik-bintik kecil disekeliling folikel rambut.
Klasifikasi Folikulitis
A. Folikulitis berdasarkan letaknya
1. Folikulitis Superficial
a. Pseudomonas Folikulitis
Sekitar 12 sampai 48 jam, akan timbul papul kemerahan
sampai dengan adanya pustul. Ruam akan bertambah berat pada
bagian tubuh yang tertutup pakaian renang dengan air yang
terkontaminasi dengan pseudomonas.
b. Tinea Barbae
Di sebabkan oleh
Trychopytonverrucosumatau Trychopyton mentagrophytes.
Folikulitis tipe ini juga terjadi di daerah dagu pria ( jenggot ).
Tinea barbae menyebabkan timbulnya bintik-bintik putih yang
gatal.
c. Pseudofolikulitis Barbae
Pada inflamasi folikel rambut di daerah jenggot,
pseudofolikulitis barbae menyebabkan jenggot menjadi keriting.
d. Pityrosporum Folikulitis
Lebih sering terjadi pada dewasa muda. Folikulitis tipe
ini menimbulkan gejala kemerahan, pustul dan gatal pada daerah
punggung, dada dan kadang-kadang daerah bahu, lengan atas
dan wajah. Disebabkan oleh infeksi ragi, seperti malassezia
furfur, sama halnya seperti jamur yang menyebabkan ketombe.
2. Folikulitis Profunda
a. Folikulitis Gram negative
Lebih sering berkembang pada seseorang dengan terapi
antibiotik jangka panjang dengan pengobatan akne. Antibiotik

54
mengganggu keseimbangan normal bakteri pada hidung, yang
akan mempermudah berkembangnya bakteri yang berbahaya (
Bakteri Gram-negatif ). Pada umumnya hal ini tidak
membahayakan, karena flora di hidung akan kembali normal
apabila pemakaian antibiotik dihentikan.
b. Folikulitis Eosinofilik
Terutama terjadi pada penderita dengan HIV positif.
Folikulitis tipe ini memiliki gejala khas yaitu inflamasi yang
berulang, luka yang bernanah (pus), terutama terjadi pada wajah
tetapi dapat juga terjadi pada punggung dan lengan atas. Luka
biasanya menyebar, sangat gatal dan seringkali menimbulkan
hipopigmentasi.
B. Folikulitis berdasarkan penyebabnya
1. Folikulitis bakterial
Folikulitis bakterial terjadi ketika bakteri memasuki tubuh lewat
luka, goresan, sayatan bedah, atau berkembang biak pada kulit dekat
folikel rambut. Bakteri dapat terperangkap
di folikel dan infeksi dapat menyebar dari folikel rambut ke bagian
lain dari tubuh. Folikulitis bakterial bisa dangkal atau mendalam.
Folikulitis dangkal, yang disebut juga impetigo, terdiri dari bintil
berisi nanah yang terangkat dari kulit. Bintil itu sering dikelilingi
oleh lingkaran kemerahan.
Folikulitis bakterial biasanya terjadi pada anak-anak dan orang
dewasa. Staphylococcus aureus adalah penyebab folikulitis bakterial
terbanyak. Ini juga menyebabkan sikosis, yaitu infeksi kronis yang
melibatkan seluruh folikel rambut. Selain itu spesies
streptococcus, pseudomonas, proteus dan bakteri coliformjuga
menjadi penyebab folikulitis bakterial.
2. Folikulitis jamur

55
Seperti namanya folikulitis jamur ini disebabkan karena infeksi
jamur. Infeksi jamur dangkal ditemukan di lapisan atas kulit, infeksi
jamur dalam menyerang lapisan kulit yang lebih dalam. Infeksi dari
folikel rambut juga dapat menyebar ke dalam darah atau organ
dalam.Jamur Dermatophytic , jamur Pityrosporum dan folikulitis
ragi kandida adalah penyebab utama folikulitis jamur. Folikulitis
dermatophytic paling sering disebabkan oleh spesies zoofilik, yaitu
spesies jamur yang menunjukkan daya tarik atau persamaan dengan
hewan. Kondisi ini ditandai dengan munculnya bintil folikuler di
sekitar plak eritematosa berwarna merah yang mengeras. Penetrasi
jamur yang dalam menyebabkan peradangan yang tinggi dan
menentukan besarnya kerontokan rambut yang terjadi akibat infeksi.
3. Folikulitis virus
Folikulitis Virus melibatkan berbagai infeksi virus pada folikel
rambut. Infeksi karena virus herpes sederhana (HSV) sering berubah
menjadi luka berbintil atau borok, dan akhirnya menjadi kerak.
Infeksi yang disebabkan oleh kontagiosum
moluskummengindikasikan sebuah imunitas tertahan yang
bermanifestasi sebagai papula berwarna keputihan dan gatal yang
berada di daerah jenggot. Ada juga beberapa laporan tentang
folikulitis yang disebabkan oleh infeksi herpes zoster.
4. Folikulitis parasit
Parasit yang menyebabkan folikulitis biasanya adalah patogen
kecil yang bersembunyi di dalam folikel rambut untuk tinggal atau
bertelur di sana. Kutu rambut seperti demodex
folliculorum dandemodex brevis adalah penghuni alami pada
folikel pilo-sebaceousmanusia.

Prognosis
Insidensi folikulitis pada masyarakat luas sulit ditentukan
karena banyak individu yang terkena infeksi ini tidak pernah berobat ke

56
dokter. Dengan penanganan yang tepat, pasien folikulitis memiliki
prognosis yang baik. Gangguan ini biasanya menghilang dalam dua
hingga tiga minggu. Prognosis pasien folikulitis tergantung pada
intensitas infeksi dan kondisi fisik pasien serta kemampuan tubuhnya
untuk menahan infeksi.
Etiologi Folikulitis
Setiap rambut tubuh tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu
kantong kecil di bawah kulit. Selain menutupi seluruh kulit kepala,
folikel juga terdapat pada seluruh tubuh kecuali telapak tangan, telapak
kaki dan membran mukosa seperti bibir.Etiologi yang paling sering
menyebabkan folikulitis adalah kumanstaphylococcus
aureus koagulase-positif. Penyebab lainnya dapat meliputi :
1) Klabsiella, Enterobacter, atau Proteus (mikroorganisme ini
menyebabkan folikulitis gram negatif pada pasien yang mendapat
terapi antibiotik jangka panjang).
2) Pseudomonas aeruginosa (mikroorganisme yang hidup dalam
lingkungan hangat dan memiliki PH tinggi serta kandungan klorin
yang rendah).
Faktor Risiko
Faktor resiko yang menjadi predisposisi infeksi ini adalah :
a. Luka yang terinfeksi
b. Higiene yang buruk
c. Keadaan umum yang jelek
d. Pakaian yang ketat
e. Gesekan
f. Pencukuran
g. Terapi imunosupresan
h. Pajanan pelarut tertentu
i. Diabetes

57
Patofisiologi Folikulitis
Mikroorganisme penyebab ini memasuki tubuh dan biasanya lewat
retakan sawar kulit (serta tempat luka). Kemudian mikroorganisme
tersebut menyebabkan reaksi inflamasi dalam folikel rambut.

Gambar 5.1 Patofisiolofi Folikulitis


Manifestasi Klinis
Gejala klinis folikulitis berbeda beda tergantung jenis
infeksinya. Pada bentuk kelainan superfisial, bintik-bintik kecil (papul
) berkembang di sekeliling satu atau beberapa folikel. Papul kadang-

58
kadang mengandung pus ( pustul ), ditengahnya mengandung rambut
serta adanya krusta disekitar daerah inflamasi. Infeksi terasa gatal dan
agak sakit, tetapi biasanya tidak terlalu menyakitkan. Tempat predileksi
folikulitis superfisial yaitu di tungkai bawah.
Folikulitis profunda akan merusak seluruh folikel rambut
sampai ke subkutan sehingga akan teraba infiltrat di subkutan dan dapat
menimbulkan gejala yang lebih berat yaitu sangat sakit, adanya pus
yang akhirnya dapat meninggalkan jaringan ikat apabila telah sembuh.

Komplikasi Folikulitis
Pada beberapa kasus folikulitis ringan, tidak menimbulkan
komplikasi meskipun infeksi dapat rekurens atau menyebar serta
menimbulkan plak.
Komplikasi pada folikulitis yang berat, yaitu :
1. Selulitis
Sering terjadi pada kaki, lengan atau wajah. Meskipun infeksi
awal hanya superfisial, akhirnya akan mengenai jaringan dibawah
kulit atau menyebar ke nodus limfatikus dan aliran darah.
2. Furunkulosis
Kondisi ini terjadi ketika furunkel berkembang ke jaringan
dibawah kulit ( subkutan ). Furunkel biasanya berawal sebagai
papul berwarna kemerahan. Tetapi beberapa hari kemudian dapat
berisi pus, sehingga akan membesar dan lebih sakit.
3. Skar
Folikulitis yang berat akan meninggalkan skar atau jaringan
ikat ( hipertropik / skar keloid ) atau hipopigmentasi.
4. Kerusakan folikel rambut
5. Hal ini akan mempermudah terjadinya kebotakan permanen

Pemeriksaan Diagnostic Folikulitis

59
1) Riwayat pasien yang memperlihatkan folikulitis sebelumnya
sudah ada.
2) Pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya lesi kulit untuk
penegakan diagnosis folinokulitis.
3) Pemeriksaan kultur luka pada tempat yang terinfeksi (biasanya
memperlihatkan S. aureus).
4) Kanaikan jumlah sel darah putih (leukositosis) yang mungkin
terjadi.

Penatalaksanaan Folikulitis
Kadang folikulitis dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga
hari, tetapi pada beberapa kasus yang persisten dan rekurens perlu
penanganan lebih lanjut.Pengobatan dapat diberikan antibiotik sistemik,
antibiotik topical seperti salep mupirosin atau klindamisin atau larutan
eritromisin serta penggunaan antiseptik ( contoh, chlorhexidine ) dapat
diberikan sebagai terapi tambahan, tetapi jangan digunakan tanpa
pemberian antibiotik sistemik. Dianjurkan pemberian antibiotik
sistemik dengan harapan dapat mencegah terjadinya infeksi kronik
Pembersihan daerah yang terinfeksi dengan sabun antiseptik dan
air serta kompres basah dan hangat untuk menimbulkan vasodilatasi
serat pengaliran pus dari daerah lesi dapat dilakukan pada penderita
folikulitis.

Pencegahan
a. Perawatan hiegine perorangan serta keluarga yang baik.
b. Untuk menghindari penularan bakteri kepada anggota keluarga
lain, beri tahu pasien agar menggunakan handuk dan lap
mukanya sendiri. Beri tahu pula bahwa barang-barang ini harus
direndam dulu dalam air panas sebelum dicuci (atau cuci dengan
mesin cuci yang menggunakan air panas).

60
c. Pasien harus mengganti pakaian dan perlengkapan tidurnya
(seperti sprei, selimut, sarung bantal, dll) setiap hari dan semua
barang ini harus dicuci memakai air panas.
d. Anjurkan pasien untuk mengganti perban dengan sering dan
segera membuangnya dalam kantung kertas ke tempat sampat.
Pada kandidiasis intertriginosa lesi umumnya terdapat di lipatan
kulit ketiak, lipatan paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan
atau kaki, gland penis, dan umbilicus, berupa bercak yang berbatas
tegas, bersisik, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oeh satelit
berupa vesikel-vesikel dan pustule kecil atau bula yang bila pecah
menimbulkan daerah yang erosif.
Penatalaksanaan
Tujuan dari farmakoterapi untuk eritrasma adalah untuk
mengurangi morbiditas, membasmi infeksi, dan mencegah komplikasi.4
Obat topikal, misalnya salap tetrasiklin 3% juga bermanfaat. Demikian
pula obat antijamur yang baru yang berspektrum luas. Hanya
pengobatan topikal memerlukan lebih ketekunan dan kepatuhan
penderita.1
Terdapat penelitian pada 151 pasien berusia lebih dari 18 tahun
secara acak menjadi 5 kelompok dan diberi eritromisin, klaritromisin
dosis tunggal, asam fusidic topikal, krim plasebo, atau tablet plasebo.
Krim asam fusidic secara signifikan lebih efektif daripada terapi lain.
Selain itu, kelompok yang menerima klaritromisin melakukan yang
lebih baik pada 48 jam daripada kelompok yang menerima eritromisin.4
h. Eritromisin merupakan obat pilihan.
Eritromisin dapat menghambat pertumbuhan bakteri,
kemungkinan dengan menghambat disosiasi peptidil t-RNA dari
ribosom, menyebabkan sintesa protein yang tergantung RNA
untuk menangkap. Pada anak-anak, usia, berat badan, dan

61
beratnya infeksi menentukan dosis yang tepat.4 Dosis yang
diberikan yaitu satu gram sehari (4x250mg) untuk 2-3minggu.1
i. Klaritromisin (Biaxin)
Menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan
menghambat disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom,
menyebabkan sintesa protein yang tergantung RNA untuk
menangkap.4
j. Asam fusidic (Zeta)
Topikal antibakteri yang menghambat sintesis protein bakteri,
menyebabkan kematian bakteri. Gunakan 2% krim.4
k. Miconazole topikal (Femazole, Lotrimin, Monistat)
Kerusakan membran sel jamur dinding dengan menghambat
biosintesis ergosterol. Permeabilitas membran meningkat,
menyebabkan nutrisi bocor keluar dan mengakibatkan kematian
sel jamur. Lotion lebih disukai di daerah intertriginosa. Jika krim
digunakan, berlaku hemat untuk menghindari efek maserasi.
Gunakan 2% krim.
l. Asam benzoat 6%, asam salisilat 3% (salep Whitfield)
Digunakan untuk infeksi dan peradangan yang terkait dengan
erythrasma.
m. Klindamisin (Cleocin)
Memiliki efek bakteriostatik, mengganggu sintesis protein
bakteri mirip dengan eritromisin dan kloramfenikol dengan
mengikat subunit 50S ribosom bakteri.
n. Tetrasiklin (Achromycin)
Menghambat pertumbuhan sel oleh translasi penghambat
mRNA. Mengikat 16S bagian dari subunit ribosom 30S dan
mencegah amino-asil tRNA dari mengikat ke situs A dari
ribosom.
Prognosis

62
Prognosis cukup baik, bila semua lesi diobati dengan tekun,
menyeluruh, menjaga daerah yang terkena tetap kering dan
mengeliminasi faktor predisposisi.1,5
PENCEGAHAN
Beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi
resiko terjadinya eritrasma6:
e. Menjaga kebersihan badan
f. Menjaga agar kulit tetap kering
g. Menggunakan pakaian yang bersih dengan bahan yang
menyerap keringat
h. Menghindari panas atau kelembaban yang berlebihan.

14. Sklofuloderma
Definisi
Skrofuloderma adalah infeksi mikrobakterial tuberkulosis yang
menyerang anak-anak dan dewasa muda, dimana terjadi penyebaran langsung
tuberkulosis ke dalam kulit dari struktur dibawahnya seperti kelenjar getah
bening (terutama servikal), tulang atau paru atau dengan pajanan kontak
terhadap tuberkulosis dengan manifestasi berupa pembengkakan subkutan yang
tidak nyeri yang berubah menjadi abses dingin, ulkus multipel dan pengaliran
traktus sinus.

Epidemiologi
Skrofuloderma merupakan bentuk tuberkulosis kutis terbanyak yang
ditemukan di Indonesia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo,
skrofuloderma ditemukan sebanyak 84%, disusul tuberkulosis kutis verukosa
sekitar 13%. Sama seperti tuberkulosis kutis pada umumnya, skrofuloderma
sering terjadi terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Prevalensinya tinggi

63
pada anak-anak yang mengonsumsi susu yang telah terkontaminasi
Mycobacterium bovis.

Etiologi
Penyebab skrofuloderma adalah mikobakterium obligat yang bersifat
patogen terhadap manusia yang juga berperan sebagai penyebab terjadinya
tuberkulosis kutis pada umumnya. Untuk penyebab utamanya sendiri, yang
ditemukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo ialah Mycobacterium
tuberculosis berjumlah 91,5%. Sisanya disebabkan oleh mikobakteria atipikal.
a. Bakteriologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang bersifat aerob dan
merupakan patogen pada manusia, dimana bakteri ini bersifat tahan asam
sehingga biasa disebut bakteri tahan asam (BTA), dan hidupnya intraselular
fakultatif, artinya bakteri ini tidak mutlak harus berada didalam sel untuk
dapat hidup. Mycobacterium tuberculosis mempunyai sifat-sifat yaitu
berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan asam, panjang 2-
4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu optimal pertumbuhan pada
370 C. Bakteri ini merupakan kuman yang berbentuk batang yang lebih
halus daripada bakteri Mycobacterium leprae, sedikit bengkok dan biasanya
tersusun satu-satu atau berpasangan.
Di lain pihak, penyebab lain dari penyakit ini adalah mikobakterium
atipikal. Dimana kuman tahan asam ini agak lain sifatnya dibandingkan M.
tuberculosis, yakni patogenitasnya rendah, pada pembiakan umumnya
membentuk pigmen dan tumbuh pada suhu kamar. Menurut klasifikasi
Runyon, kuman tersebut dibagimenjadi empat golongan yaitu
fotokromogen yang dapat membentuk pigmen bila mendapat cahaya,
skotokromogen yang dapat membentuk pigmen dengan atau tanpa cahaya,
non-fotokromogen yang tidak dapat atau sedikit membentuk pigmen dan
rapid growers yang tumbuh cepat dalam beberapa hari. Infeksi M.
scrofulaceum dari golongan skotokromogen dapat menimbulkan

64
limfadenitis dan skrofuloderma dimana gambaran klinis yang ditampilkan
sama dengan yang disebabkan M. tuberculosis.

Patogenesis
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari
organ di bawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang
tersering berasal dari kgb, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Tempat
predileksinya pun banyak dijumpai pada kgb superfisialis, yang tersering
ialah kelenjar getah bening pada supraklavikula, submandibula, leher
bagian lateral, ketiak, dan yang terjarang pada lipatan paha.
Port d’entre skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru.
Jika di ketiak kemungkinan port d’entre pada apeks pleura, bila di lipat paha
pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut
diserang sekaligus dimana kemungkinan sudah terjadi penyebaran secara
hematogen.

Gambaran Klinis
Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis tuberkulosis,
berupa pembesaran kgb, tanpa tanda-tanda radang akut, selain tumor. Mula-
mula hanya beberapa kgb yang diserang, lalu makin lama makin banyak
dan sebagian berkonfluensi. Selain limfadenitis, juga terdapat periadenitis
yang menyebabkan perlekatan kgb tersebut dengan jaringan di sekitarnya.
Kemudiaan kelenjar-kelenjar tersebut mengalami perlunakan tidak
serentak,mengakibatkan konsistensinya kenyal dan lunak (abses dingin).
Abses akan memecah dan membentuk fistel. Kemudian muara fistel
meluas, hingga menjadi ulkus yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya
memanjang dan tidak teratur, di sekitarnya berwarna merah kebiru-biruan
(livid), dindingnya bergaung, jaringan granulasinya tertutup oleh pus
seropurulen, jika mongering menjadi krusta berwarna kuning. Ulkus-ulkus
tersebut dapat sembuh spontan menjadi sikatriks-sikatriks yang juga
memanjang dan tidak teratur. Kadang-kadang di atas sikatriks tersebut

65
terdapat jembatan kulit (skin bridge), bentuknya seperti tali, yang kedua
ujungnya melekat pada sikatriks tersebut, hingga sonde dapat dimasukkan.
Gambaran klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya
penyakit. Jika penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya
lengkap, artinya terdapat semua kelainan yang telah disebutkan. Bila
penyakitnya belum menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit belum
terbentuk.
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan bakteriologik
penting untuk mengetahui penyebabnya. Pemeriksaan
bakteriologik menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan
bakteriologik yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan BTA,
kultur dan PCR. Pemeriksaan BTA dengan menggunakan
pewarnaan Ziehl Nielson mendeteksi kurang lebih 10.000 basil per
mL. Pada pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat
juga digunakan untuk mendeteksi M. tuberculosis. Pemeriksaan
kultur menggunakan medium non selektif (Lowenstein-Jensen),
tetapi hasilnya memerlukan waktu yang lama karena M.
tuberculosis butuh waktu 3-4 minggu untuk berkembang biak.
b) Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan
diagnosis. Pada gambaran histopatologi tampak radang kronik dan
jaringan nekrotik mulai dari lapisan dermis sampai subkutis tempat
ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami nekrosis kaseosa oleh
sel-sel epitel dan sel-sel Datia Langhan’s.
c) Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)
Diagnosis pasti tuberkulosis kutis tidak dapat ditegakkan
berdasarkan tes tuberkulin yang positif karena tes ini hanya
menunjukkan bahwa penderita pernah terinfeksi tuberkulosis tetapi

66
tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut masih berlangsung
aktif atau telah berlalu.
d) LED
Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi
LED ini lebih penting untuk pengamatan obat daripada untuk
membantu menegakkan diagnosis. Peninggian LED menunjukkan
terjadinya kerusakan jaringan.
Diagnosis
Diagnosis pada skrofuloderma dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi.
Selain itu dapat juga ditunjang dengan pemeriksaan bakteriologik.
Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa: istirahat dan isolasi
2. Medikamentosa:
a. Sistemik
Digunakan kombinasi 3 obat:
 INH: 5-10 mg/kgBB
 Rifampisin: 10 mg/kgBB
 Pirazinamid: 20-35 mg/kgBB, hanya diberikan 2 bulan; bila
belum sembuh diteruskan dengan etambutol dengan dosis
bulan I/II 25 mg/kgBB, berikutnya 15 mg/kgBB
b. Topikal
Pada ulkus dengan pus diberi kompres permanganas kalikus 1/5000.
Kriteria penyembuhan pda skrofuloderma ialah semua fistel dan ulkus
telah menutup, seluruh kelenjar getah bening mengecil (kurang dari 1 cm dan
berkonsistensi keras), dan sikatriks yang semula eritematosa menjadi tidak
eritema lagi. LED dapat dipakai sebagai pegangan untuk menilai penyembuhan
pada penyakit tuberkulosis. Jika terjadi penyembuhan, LED akan menurun dan
menjadi normal.

67
Daftar pustaka
1. Sri Linuwih SW Menaldi. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Ketujuh.
Cetakan Keempat. FKUI : Jakarta. 2017.
2. Verma. S, Heffernan. MP. Fungal Disease. In, Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Ed.7th. Vol 1 & 2. New York, Amerika. 2008. P.1807-1818.

68

Anda mungkin juga menyukai