Disusun Oleh:
Mush’ab
202011101083
Pembimbing
dr. Anselma Dyah Kartikahadi, Sp. KK
Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit granuloma
kronik progesif yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium leprae, yang
menyerang kulit dan sistem saraf tepi. Pada kebanyakan orang yang
terinfeksi dapat asimtomatik namun pada sebagian kecil memperlihatkan
gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada
tangan dan kaki. Kusta termasuk salah satu penyakit menular dengan angka
kejadian yang tinggi di dunia. Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun
2011 adalah sekitar 219.075 dan jumlah terbanyak ditemukan di Asia
Tenggara. Menurut Weekly Epidemiological Report oleh World Health
Organization, jumlah pasien baru kusta di Indonesia mengalami penurunan
dari tahun 2011 ke 2012, yaitu dari 20.023 pasien baru menjadi 18.994
pasien baru. Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta
pada tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per
100.000 penduduk. Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79
hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan telah
mencapai target
<1 per 10.000 penduduk atau <10 per 100.000 penduduk, dan hal ini
mengalami penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3167 jiwa. Penularannya
dapat melalui kontak langsung dengan sekret nasal atau inokulasi pada kulit
dari individu yang terinfeksi.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Morbus hansen adalah penyakit infeksi granulomatosa kronik yang disebabkan
oleh infeksi basil Mycobacterium leprae yang bersifat sebagai obligat intraseluler. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, kemudian menyerang kulit, lalu menyebar ke organ
lain seperti mukosa mulut, traktus respiratorius bagian atas, sistem retikulosit endotelial,
tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat.
2.2 Epidemiologi
Morbus hansen banyak ditemukan di Asia, Afrika, Amerika latin, serta daerah
dengan masyarakat sosial ekonomi rendah. Pada tahun 2017, kejadian morbus hansen di
seluruh dunia sebanyak 193.118 kasus dengan prevalensi 0.3 per 10.000 kasus. Negara
berkembang seperti Bangladesh, Brazil, India, Indonesia, dan Myanmar merupakan
negara dengan kejadian morbus hansen tinggi. Tipe multibasiler terjadi pada 61%
penderita morbus hansen (WHO, 2019).
Kejadian morbus hansen di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 15.920 kasus
dengan prevalensi 0,7 per 10.000 kasus. Jawa timur merupakan provinsi dengan jumlah
penderita morbus hansen terbayak pada periode 2015-2017 sebanyak 15.95%.
Meskipun sudah mengalami penurunan kejadian kusta, Indonesia masih belum bisa
dinyatakan bebas kusta (PUSDATIN, 2018).
2.3 Etiologi
Mycobacterium leprae merupakan bakteri penyebab morbus hansen atau yang
dikenal pula sebagai kusta atau lepra. Bakteri ini termasuk bateri aerob yang tidak
membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi sel lilin yang merupakan ciri khas dari
spesies Mycobacterium. Mycobacterium leprae memiliki panjang 1-8 nm dengan lebar
0,2-0,5 nm. Bakteri ini dapet hidup berkelompok atau tersebar satu-satu, hidup dalam
sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif. M.leprae tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga
dinamakan basil tahan asam (Wisnu, dkk. 2015; PUSDATIN. 2018)
Gambar 1. Mycobacterium leprae
2.4 Patofisiologi
M.leprae memiliki daya invasi yang rendah. Penderita yang memiliki lebih
banyak kuman belum tentu memberikan gejala yang lebih berat. Gejala klinis sebanding
dengan tingkat selularnya dari pada intensitas infeksinya. Sehingga morbus hansen
disebut sebagai penyakit imunologi (Wisnu, dkk. 2015).
M.leprae yang masuk kedalam tubuh manusia selanjutnya berjalan di sel schwan
yang terletak di perineum. Basil M.leprae memiliki kecenderungan berada di daerah
yang dingin dan dekat dengan kukit dengan suhu 27-30° C. Bakteri ini bersarang di sel
schwan sehingga menghambat aktivitas regenerasi saraf dan kerusakan progresif. Jika
proses ini berlanjut, sel schwan dapat mengalami kematian dan pecah sehingga
M.leprae dapat dikenali oleh sistem imun tubuh host. Tubuh kemudian melakukan
proteksi imunitas spesifik dan non spesifik. Makrofag menjadi aktif dan memfagosit sel
asing. Pada Morbus hansen tipe multibasiler, imunitas penderita mengalami penurunan
sehingga M.leprae dapat berkembang biak dengan beebas dan kemudian merusak
jaringan (Wisnu, dkk. 2015; PUSDATIN, 2018).
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan panduan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)
tahun 2017, klasifikasi morbus hansen dapat dibedakan menjadi:
a. Kepentingan riset
b. Kepentingan program kusta berkaitan pengobatan
c. Bentuk kusta lain
Lanjutan Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriostatik, dan Imunologi Morbus Hansen Multibasiler
2.8 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan satu dari tiga tanda kardinal, yaitu:
Kelainan kulit atau lesi yang berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi).
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf merupakan akibat dari peradangan saraf tepi kronis.
Adanya BTA didalam kerokan kulit.
Jika tidak atau belum dapat ditemukan, maks disebut suspek kusta, pasien diamati dan
diperiksa ulang tiga sampai enam bulan sampai dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Selain tanda kardinal, perlu ditanyakan mengenai:
Riwayat kontak dengan pasien kusta
Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di epidermis dan keadaan sosial
ekonomi
Riwayat pengobatan kusta
Palpasi: Perhatikan kelainan kulit seperti nodus, infiltritat, jaringan parut, dan
ulkus khususnya pada bagian ekstremitas. Kelainan saraf tepi juga harus
diperiksa meliputi pembesaran, konsistensi, nyeri tekan, dan nyeri sponta.
Tes fungsi saraf (PERDOSKI, 2017)
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Timbul bercak kemerahan sejak 3 bulan yang lalu
a. Pemeriksaan sensibilitas
- Rasa raba : Sensibilitas menurun pada lesi
- Rasa nyeri : hipoesteri pada lesi
- Rasa suhu : tidak dilakukan
b. Pemeriksaan Otonom: Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan Saraf Perifer
- N. Aurikularis Magnus : menebal D/D (-/-), nyeri D/S (-/-)
- N. Ulnans : menebal D/D (-/-), nyeri D/S (-/-)
- N. Radialis : menebal D/D (-/-), nyeri D/S (-/-)
- N. Medianus : menebal D/D (-/-), nyeri D/S (-/-)
- N. Peroneus Lateral : menebal D/D (-/-), nyeri D/S (-/-)
d. Pemeriksaan Motorik
- Mata : Lagoftalmus (-)
- Ekstremitas superior : Tahanan baik
- Ekstremitas inferior : Tahanan baik
3.7 Penatalaksaan
Terapi diberikan regimen MDT tipe multibasiler yang dilakukan selama 12- 18 bulan.
a. Pengobatan bulanan (obat diminum di depan petugas)
a) 2 kapsul rifampisin 300 mg (600 mg)
b) 3 tablet klofazimin 100 mg (300 mg)
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg
3.8 Edukasi
- Memberikan semangat dan motivasi pada pasien untuk sembuh
- Menjelaskan lwaktu pengobatan, penyakit kusta dapat disembuhkan, tetapi
membutuhkan kepaytuhan dalam pengobatan
- Menjelaskan efek samping obat
- Segera mencari pertolongan jika terjadi reaksi atau bercak baru
- Merawat diri dengan baik
- Menjaga kebersihan
- Menjaga kesehtaan dengan mengonsumsu makanan bergiai untuk
meningkatkan sistem pertahanan tubuh
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
1. Menaldi, S.LSW et al. 2013. Kusta Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit FKUI