stunting pada anak usia 1-5 tahun. Sejalan dengan penelitian Sinha, bahwa panjang bayi berdasar z-score dari ibu dengan perawakan pendek secara signifikan lebih rendah dari bayi yang TB ibu >150cm. pada waita dengan perawakan pendek, perkembangan system anatomi dan metabolism tidak optimal. Kondisi glukosa dan protein ibu yang kurang juga dapat mempengaruhi perkembangan intrauterine sehingga mengganggu pertumbuhan bayi. Hasil tersebut juga sejalan dengan penelitian Khatun, ibu dengan perawakan pendek merupakan indicator defisiensi nutrisi secara kumulatif selama masa pertumbuhan. Status gizi bumil yang buruk mempengaruhi pertumbuhan plasenta, sehingga transfer nutrisi ke janin tidak baik. Kurang gizi ini akhirnya menyebabkan modifikasi epigenetic (metilasi DNA?) sehingga pertumbuhan janin abnormal dan akhirnya BBLR. Bayi BBLR gizinya kurang dan system kekebalan tubuh belum matang sehingga rentan terinfeksi. Ketika ada infeksi maka dapat menyebabkan risiko malnutrisi karena adanya kerusakan mukosa, gangguan penyerapan nutrisi esensial, sehingga bikin penurunan BB. Penelitian ini membuktikan bahwa factor sosek tidak berpengaruh signifikan terhadap stunting. Penelitian terkait pengaruh sosek terhadap stunting masih kontroversial. Riset di Kenya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu tidak mempengaruhi status gizi anak. Berdasar hasil penelitian ini, mayoritas ibu (84,6%) ibu mencapai tingkat pendidikan dasar, 50% tidak pendidikan formal, 5,0% pendidikan menengah, 4,4% telah menyelesaikan secondary edu(?). sementara pengaruh signifikan ditemukan pada dua factor, yaitu status perkawinan dan pekerjaan. Pendapatan per kapita rumah tangga tidak termasuk factor yang memepengaruhi status gizi, hal ini berhubungan dengan kemampuan keluarga dalam menghadapi masalah lingkungan yang sulit dan selanjutnya diperlukan analisis ekonomi mikro untuk menentukan adanya hubungan ini. Hasil analisis regresi logistic penelitian ini menunjukkan bahwa BBL dan riw imunisasi tidak mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 1-5 thn. Secara teori, dampak dari BBL akan diteruskan ke generasi berikutnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak dengan BBLR memiliki risiko 5,87 kali mengalami stunting. BBL erat hubungannya dengan mortalitas bayi, pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang. Dampak bayi yang memiliki BBLR berlanjut dari generasi ke generasi, anak dengan BBLR akan memiliki ukuran antropometri yang kurang dalam perkembangannya. Studi lain di india menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian stunting. Tidak ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian stunting pada anak 1-5thn. Beberapa penelitian tentang hubungan pemberian ASI dengan status gizi pada anak memiliki hasil yang beragam. Sebuah studi di Rwanda menunjukkan hubungan yang signifikan antara stunting dan anak yang diberi ASI> anak dengan ASI memiliki 0,02 kali risiko lebih rendah mengalami stunting daripada anak yang tidak dapat ASI. Studi lain oleh Khan menunjukkan hasil berbeda, riwayat pemberian ASI tidak berhubungan dengan stunting. Hal ini cukup konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Negara berkembang. Penelitian ini menujukkan bahwa makanan yang beragam memiliki efek pada kejadian stunting pada anak usia 1-5 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian di Kenya bahwa keragaman makanan dalam keluarga dengan anak stunting berbeda secara signifikan dengan keluarga tanpa anak stunting. Anak yang tidak mendapat makanan beragam cenderung terhambat dan kurus dibandingkan dengan anak lainnya. Keragaman makanan penanda kecukupan gizi mikro, dapat meningkatkan kepadatan zat gizi makanan pendamping ASI, sehingga mendorong tumbang anak secara optimal. Mendapat makanan yang monoton dan tidak memadai dapat menyebabkan malnutrisi dan membuat anak rentan terhadap infeksi oportunistik dan penyakit parah. Berdasar hasil penelitian, 73,5% anak kurang konsumsi ikan dan 22,7% anak menerima asupan ikan yang cukup menderita stunting. Hasil regresi logistic menunjukkan bahwa konsumsi ikan berpengaruh terhadap kejadian stunting anak usia 1-5 tahun. Kemungkinan stunting 0,106 lebih tinggi pada anak kurang konsumsi ikan dibandingkan mereka yang makan cukup ikan. Studi di Zambia menunjukkan bahwa jumlah ikan dikonsumsi oleh anak berkorelasi dengan stunting pada anak usia 6-23 bulan dan 24-59 bulan. Anak yang konsumsi ikan memiliki nilai Z-score dalam batas normal. Hasil regresi logistic menunjukkan anak konsumsi ikan memiliki nutrisi yang lebih baik. Spesies ikan kecil di Negara berkembang terbukti memiliki tingkat mikronutrien vit A, zat besi, dan zinc yang ssangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Ikan juga kaya vit b12 yang berfungsi sebagai pertumbuhan, fungsi otak, dan pemeliharaan system saraf. Ikan kecil merupakan sumber kalsium yang penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ampo snack (?) tidak memiliki kontribusi terhadap kejadian stunting di anak usia 1-5 tahun. Dalam penelitian ini, hanya 2 responden yang anaknya memiliki makan ampo, salah satunya menderita stunting. Konsumsi jajanan ini juga memiliki risiko karena tidak ada bukti ilmiah manfaat ampo untuk kesehatan khusus gizi anak. Sebagian besar yang masih konsumsi ampo adalah lansia. Ibu dalam penelitian ini mengatakan, nenek mereka yang memberi ampo tersebut kepada anak mereka. Namun hanya dalam jumlah kecil karena anak menolak untuk memakannya. Nilai OR tertinggi dimiliki oleh variable TB ibu sebagai penyebab stunting paling banyak. Studi di Palestina membuktikan bahwa TB ibu berpengaruh signifikan terhadap stunting. Anak yang lahir dari TB ibu 1,55-1,60 m atau <1,55 m lebih mungkin mengalami stunting daripada anak yang lahir dari ibu dengan TB >1,60m. factor gizi ibu yang buruk baik sebelum, selama dan setelah kehamilan terkait dengan kegagalan tumbang anak. Dampak jangka panjang dari status kesehatan ibu yang buruk dan nutrisi yang tidak memadai menyebabkan pertumbuhan buruk dan BBLR, yang mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup anak. Penelitian ini menyimbulkan bahwa factor genetic seperti TB ayah dan ibu, keragaman makanan, dan konsumsi ikan mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 1-5 tahun. Dalam rnagka penanggulangan stunting, strategi yang dilakukan adaah berfokus pada membimbing ibu yang memiliki anak stunting dengan tujuan meningkatkan kualitas pemberian makan, terutama terkait keragamanan makan dan konsumsi ikan. Selanjutnya, intervensi terhadap factor lain seperti pendidikan berbasis komunitas, memperluas pengetahuan dan keterampilan ibu tentang pemberian gizi yang berkualitas untuk anak.