Anda di halaman 1dari 23

Jurnal Reading

Risk Factors of Stunting in Children Aged 1-5


Years at Wire Primary Health Care, Tuban
Regency, East Java
Oleh:
Mush’ab 202011101033
Yunita Dewi Anggraeni 202011101043

Pembimbing
dr. Irawan Fajar Kusuma, M. Sc. Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Malnutrisi  masalah pada anak dan balita diseluruh dunia yang sulit dilawan
Stunting  akibat paling umum dari kondisi gizi buruk di dunia

Tahun 2010 berdasar standar pertumbuhan WHO, prevalensi stunting, underweight, dan wasting pada
anak usia <5 tahun masih tinggi (40%, 28% dan 11%)

165 juta anak usia <5tahun menderita Stunting, paling banyak di Asia dan Afrika.
Indonesia  peringkat 5 diantara Negara dengan stunting tertinggi

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018  stunting nasional sebesar 30,8%


1 dari 3 anak menderita gangguan pertumbuhan
PENDAHULUAN
Kabupaten Tuban, Jawa Timur memiliki prevalensi stunting paling tinggi

Pada tahun 2014, jumlah anak stunting di Tuban mencapai 36,6%, turun menjadi 31% pada tahun 2015
dan 28% pada tahun 2016. Meskipun mengalami penurunan namun tetap berada di atas prevalensi
Provinsi Jawa Timur

Penelitian Rachim dan Pratiwi (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
konsumsi jenis ikan terhadap stunting.
Kabupaten Tuban  konsumsi ikan rendah  per kapita hanya 45.824 ton per tahun. Turun dengan
kebutuhan makan ikan per kapita yang mencapai 52.564 ton per tahun.

Makanan tradisional Tuban  Ampo (tanah liat murni), sebagai camilan  belum ada penelitian
mengenai manfaat bagi kesehatan
PENDAHULUAN
Dampak jangka pendek stunting berkaitan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit infeksi terutama pneumonia, diare dan imunodefisiensi.

Stunting merupakan salah satu faktor risiko utama bersama dengan stimulasi kognitif yang tidak
memadai, kekurangan yodium dan kekurangan zat besi yang mengakibatkan kegagalan untuk
mencapai perkembangan anak yang tepat (Walkeret al., 2011). Stunting mempengaruhi fungsi kognitif,
memori dan kemampuan lokomotor di daerah otak (Ranade et al., 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor genetik, faktor sosial ekonomi, riwayat
kesehatan, dan praktik pemberian makan terhadap kejadian stunting pada anak usia 1-5 tahun di
Puskesmas Wire Kabupaten Tuban.
METODE

• Variabel terikat: stunting


• Variabel bebas:
Studi observasional - faktor genetik (tinggi badan ibu dan tinggi badan ayah)
dengan pendekatan cross - sosial ekonomi keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, anggota
sectional keluarga, pendapatan keluarga)
- riwayat kesehatan (berat lahir, riwayat imunisasi)
- praktik pemberian makan. (riwayat menyusui, riwayat makanan
pendamping ASI, lama menyusui, keragaman makanan, frekuensi
pemberian makan, konsumsi ikan, konsumsi ampo)
Sampel penelitian adalah 109 ibu
dengan anak berusia 1 sampai 5
tahun di Puskesmas Wire
Data dalam penelitian diolah dan diuji
Kabupaten Tuban.
menggunakan uji simple logistik regresi
DEFINISI OPERASIONAL
Tinggi badan ibu tinggi badan ibu yang sebenarnya saat ini

Tinggi badan ayah tinggi badan ayah yang sebenarnya saat ini

Pendidikan ibu jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh ibu

jumlah anggota keluarga dan orang-orang yang tinggal bersama dalam satu rumah dan bergantung pada sumber mata pencaharian yang sama
Ukuran keluarga
dan mengkonsumsi makanan yang disediakan oleh anggota keluarga

Pendapatan keluarga pendapatan rata-rata yang didapat keluarga per bulan

Berat lahir berat sebenarnya dari bayi saat lahir

Riwayat imunisasi jenis imunisasi yang telah diperoleh anak meliputi imunisasi dasar lengkap (BCG, difteri, Hepatitis B, Polio, dan Campak)

Riawayat menyusui anak yang menerima ASI tanpa makanan tambahan pada usia 0-6 bulan

Riwayat pemberian makanan


pemberian makanan tambahan kepada anak selain ASI dariusia 6 bulan
pendamping ASI

Durasi menyusui usia terakhir menyusui pada anak

Keanekaragaman pangan keragaman kelompok makanan yang dikonsumsi dalam satu hari

Frekuensi makan frekuensi makan makanan utuh untuk balita yang diberikan dalam sehari

Konsumsi ikan jumlah ikan (gram) yang dikonsumsi anak 1-5 tahun per hari dalam seminggu

Konsumsi ampo tidak pernah atau tidak makan jajanan ampo sejak lahir sampai usia sekarang
INSTRUMEN PENELITIAN

• Peneliti melakukan wawancara langsung dengan ibu atau keluarga yang memiliki anak usia 1
sampai 5 tahun saat mengisi kuesioner.
• Pengukuran tinggi badan balita dilakukan peneliti menggunakan microtoise untuk anak usia >24
bulan dan baby length board untuk anak usia 24 bulan. Jika anak berusia <24 bulan diukur berdiri,
0,7 cm ditambahkan ke hasil pengukuran. Jika anak berusia >24 bulan diukur berbaring, maka dari
hasil pengukuran dikurangi 0,7 cm. Hasilnya dinyatakan dengan standar deviasi z (Z-score) dalam
grafik Tinggi/Umur WHO.
• Tinggi orang tua diukur menggunakan microtoise.
HASIL
PENELITIAN
Hasil distribusi sampel penelitian,
berisikan jumlah kejadian stunting
usia 1-5 tahun dan faktor resiko
yang diteliti oleh peneliti
Uji multipel logistik regresi yang menjadi faktor resiko kejadian stunting. Menunjukkan tinggi ibu dan
ayah yang pendek serta keanekaragaman makanan dan konsumsi ikan yang rendah meningkatkan
kejadian stunting.
DISKUSI

 Tinggi badan ibu mempengaruhi gizi dan kesehatan anak. Tinggi badan ibu dan ayah berkontribusi
terhadap kejadian stunting pada anak usia 1-5 tahun. Pada wanita dengan perawakan pendek,
perkembangan sistem anatomi dan metabolisme tidak optimal. Kondisi glukosa dan protein ibu
yang kurang dapat mempengaruhi perkembangan intrauterine sehingga mengganggu pertumbuhan
bayi. Ibu dengan perawakan pendek merupakan indikator defisiensi nutrisi secara kumulatif selama
masa pertumbuhan. Status gizi ibu hamil yang buruk mempengaruhi pertumbuhan plasenta,
sehingga transfer nutrisi ke janin tidak baik.
 Kurang gizi ini akhirnya menyebabkan modifikasi epigenetic (metilasi DNA) sehingga
pertumbuhan janin abnormal dan menyebabkan BBLR.
 Bayi BBLR  gizi kurang dan system kekebalan tubuh belum matang  rentan terinfeksi  risiko
malnutrisi akibat kerusakan mukosa, gangguan penyerapan nutrisi esensial  menyebabbkan
penurunan BB.
DISKUSI

 Penelitian ini membuktikan bahwa faktor sosial ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap
kejadian stunting. Penelitian terkait pengaruh social dan ekonomi terhadap stunting masih
kontroversial.
 Riset di Kenya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu tidak mempengaruhi status gizi anak.
Berdasar hasil penelitian ini, mayoritas ibu (84,6%) ibu mencapai tingkat pendidikan dasar, 50%
tidak pendidikan formal, 5,0% pendidikan menengah, 4,4% telah menyelesaikan secondary
education.
 Sementara pengaruh signifikan ditemukan pada dua faktor, yaitu status perkawinan dan pekerjaan.
Pendapatan per kapita rumah tangga tidak termasuk faktor yang memepengaruhi status gizi anak
usia kurang dari 5 tahun, hal ini berhubungan dengan kemampuan keluarga dalam menghadapi
masalah lingkungan yang sulit dan selanjutnya diperlukan analisis ekonomi mikro untuk
menentukan adanya hubungan ini.
DISKUSI

 Hasil analisis regresi logistic penelitian ini menunjukkan bahwa BBL dan riwayat imunisasi tidak
mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 1-5 thn. Secara teori, dampak dari BBL akan
diteruskan ke generasi berikutnya.
 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak dengan BBLR memiliki risiko 5,87 kali mengalami
stunting. BBL erat hubungannya dengan mortalitas bayi, pertumbuhan dan perkembangan jangka
panjang. Dampak bayi yang memiliki BBLR berlanjut dari generasi ke generasi, anak dengan
BBLR akan memiliki ukuran antropometri yang kurang dalam perkembangannya.
 Studi lain di india menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan antara
kelengkapan imunisasi dengan kejadian stunting.
DISKUSI
 Tidak ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian stunting pada anak 1-5thn. Beberapa
penelitian tentang hubungan pemberian ASI dengan status gizi pada anak memiliki hasil yang
beragam.
 Sebuah studi di Rwanda menunjukkan hubungan yang signifikan antara stunting dan anak yang
diberi ASI  anak dengan ASI memiliki 0,02 kali risiko lebih rendah mengalami stunting daripada
anak yang tidak dapat ASI.
 Studi lain oleh Khan menunjukkan hasil berbeda, riwayat pemberian ASI tidak berhubungan
dengan stunting. Hal ini cukup konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Negara
berkembang.
DISKUSI

 Penelitian ini menujukkan bahwa makanan yang beragam memiliki efek pada kejadian stunting
pada anak usia 1-5 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian di Kenya bahwa keragaman makanan
dalam keluarga dengan anak stunting berbeda secara signifikan dengan keluarga tanpa anak
stunting. Anak yang tidak mendapat makanan beragam cenderung terhambat dan kurus
dibandingkan dengan anak lainnya. Keragaman makanan penanda kecukupan gizi mikro, dapat
meningkatkan kepadatan zat gizi makanan pendamping ASI, sehingga mendorong tumbuh
kembang anak secara optimal. Mendapat makanan yang monoton dan tidak memadai dapat
menyebabkan malnutrisi dan membuat anak rentan terhadap infeksi oportunistik dan penyakit
parah.
DISKUSI
 Berdasar hasil penelitian ini, 73,5% anak kurang konsumsi ikan dan 22,7% anak menerima asupan
ikan yang cukup menderita stunting. Hasil regresi logistic menunjukkan bahwa konsumsi ikan
berpengaruh terhadap kejadian stunting anak usia 1-5 tahun. Kemungkinan stunting 0,106 lebih
tinggi pada anak kurang konsumsi ikan dibandingkan mereka yang makan cukup ikan.
 Studi di Zambia menunjukkan bahwa jumlah ikan dikonsumsi oleh anak berkorelasi dengan
stunting pada anak usia 6-23 bulan dan 24-59 bulan. Anak yang konsumsi ikan memiliki nilai Z-
score dalam batas normal. Hasil regresi logistic menunjukkan anak konsumsi ikan memiliki nutrisi
yang lebih baik.
 Spesies ikan kecil di Negara berkembang terbukti memiliki tingkat mikronutrien vit A, zat besi, dan
zinc yang ssangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Ikan juga kaya vit b12 yang
berfungsi sebagai pertumbuhan, fungsi otak, dan pemeliharaan system saraf. Ikan kecil merupakan
sumber kalsium yang penting.
DISKUSI
 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ampo tidak memiliki kontribusi terhadap kejadian stunting di
anak usia 1-5 tahun. Dalam penelitian ini, hanya 2 responden dimana anak makan ampo, salah
satunya menderita stunting. Konsumsi jajanan ini juga memiliki risiko karena tidak ada bukti ilmiah
manfaat ampo untuk kesehatan khusus gizi anak. Sebagian besar yang masih konsumsi ampo
adalah lansia. Ibu dalam penelitian ini mengatakan, nenek mereka yang memberi ampo tersebut
kepada anak mereka. Namun hanya dalam jumlah kecil karena anak menolak untuk memakannya.
DISKUSI
 Nilai OR tertinggi dimiliki oleh variable tinggi badan ibu sebagai penyebab stunting paling banyak.
 Studi di Palestina membuktikan bahwa tinggi badan ibu berpengaruh signifikan terhadap stunting.
Anak yang lahir dari TB ibu 1,55-1,60 m atau <1,55 m lebih mungkin mengalami stunting daripada
anak yang lahir dari ibu dengan TB >1,60m. Faktor gizi ibu yang buruk baik sebelum, selama dan
setelah kehamilan terkait dengan kegagalan tumbuh kembang anak. Dampak jangka panjang dari
status kesehatan ibu yang buruk dan nutrisi yang tidak memadai menyebabkan pertumbuhan buruk
dan BBLR, yang mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup anak.
KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor genetik seperti tinggi badan ayah dan ibu, keragaman
makanan, dan konsumsi ikan mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 1-5 tahun. Dalam rangka
penanggulangan stunting, strategi yang dilakukan adalah berfokus pada membimbing ibu yang
memiliki anak stunting dengan tujuan meningkatkan kualitas pemberian makan, terutama terkait
keragamanan makan dan konsumsi ikan. Selanjutnya, intervensi terhadap faktor lain seperti pendidikan
berbasis komunitas, memperluas pengetahuan dan keterampilan ibu tentang pemberian gizi yang
berkualitas untuk anak.
-CRITICAL APPRAISAL-

Risk Factors of Stunting in Children Aged 1-5 Years at Wire Primary Health Care, Tuban Regency, East Java
1. Ya. Dalam penelitian ini kriteria inklusi
adalah ibu dengan anak usia 1-5 tahun

2. Ya. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas


Wire Kabupaten Tuban

3. Unclear. Dalam penelitian ini instrumen


penelitian menggunakan quisioner saat
interview dan microtoise saat mengukur
tinggi badan. Untuk quisioner yang
digunakan masih belum jelas apakah
menggunakan quisioner yang terstandar
atau tidak.

4. Unclear. Penggunaan jenis quisioner masih


tidak diketahui

5. Tidak. Dalam penelitian ini tidak


dijelaskan apa saja variable perancu
6. Tidak. Strategi yang dilakukan dalam
mengatasi variable perancu dalam
penelitian ini tidak dijelaskan.

7. Ya. Dalam penelitian ini data dianalisis


menggunakan simple logistic regresi

8. Ya. Analisi yang digunakan adalah regresi,


dimana untuk melihat hubungan variabel
dependen dan independen, dengan variabel
dependen bersifat normal.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai