Anda di halaman 1dari 39

FISIOLOGI RETINA

Cahaya akan diterima oleh mata di retina dan mengalami proses


fototransduksi. Informasi visual kemudian akan dihantarkan melalui jaras
penglihatan dan diinterpretasikan oleh korteks visual primer yang berada di lobus
oksipital. Area visual yang berada di korteks memiliki kemampuan untuk
memproses bentuk, gerak, warna, atau kedalaman, yang disebut persepsi visual.
- Fototransduksi
Proses visual diawali saat sel fotoreseptor retina mendeteksi adanya sinyal cahaya.
Sel fotoreseptor retina memiliki 2 tipe sel, yaitu sel batang dan sel kerucut.
Manusia memiliki 120 juta sel batang dan 6 juta sel kerucut yang terpusat di
bagian sentral atau bagian makula dari retina. Sel fotoreseptor memiliki segmen
luar, segmen dalam, dan badan sel yang ikut berperan dalam proses
fototransduksi.
Fototransduksi adalah proses penangkapan energi cahaya oleh sel fotoreseptor
untuk diubah menjadi stimulus elektrik. Sel batang sangat sensitive terhadap
cahaya dan akan bekerja saat keadaan redup atau skotopik. Sel kerucut akan
bekerja saat keadaan terang dan bertanggung jawab untuk penglihatan warna dan
ketajaman visual yang tinggi atau fotopik. Proses fototransduksi terjadi pada
bagian segmen luar dari sel fotoreseptor retina.

Fotoreseptor di retina (Dikutip dari: Scwartz)


Sel batang memiliki membran protein yang disebut rodopsin. Penyerapan
cahaya oleh rodopsin menyebabkan pelepasan ikatan 11-cis-retinal menjadi
alltrans-retinal. Perubahan konfigurasi ini menyebabkan molekul opsin
mengalami fase aktif dalam bentuk metarhodopsin II. Rodopsin dalam fase aktif
menyebabkan reaksi aliran kation menuju segmen luar sel batang melalui kanal
cyclic guanosinemonophosphate (cGMP). Kanal cGMP mengontrol aliran natrium
(Na+) dan kalsium (Ca2+). Keseimbangan ion di segmen dalam sel diatur oleh
pompa Na+, K+-, ATPase, sedangkan pertukaran Na+, K+-Ca2+ terjadi di
segmen luar sel, keduanya berfungsi untuk metabolisme energi. Pertukaran ion
akan menyebabkandepolarisasi. Depolarisasi sel batang menyebabkan terjadinya
pelepasan glutamat.
Rodopsin dalam fase aktif juga akan menggerakan molekul transdusin.
Transdusin membuat guanosine diphosphate (GDP) mengalami perubahan
menjadi bentuk guanosine triphosphate (GTP). Aktivasi dari transdusin akan
merangsang protein ke tiga, yaitu rod phosphodiesterase (rod PDE). Rod
phosphodiesteraseakan menghidrolisis cGMP menjadi 5’-noncyclic GMP.
Penurunan cGMP akan menyebabkan penutupan kanal ion, sehingga
menghentikan aliran Na+ dan Ca2+ yang masuk dan membuat sel fotoreseptor
menjadi hiperpolarisasi.

Skema fototransduksi (Sumber: Cantor LN., dkk.)


Hiperpolarisasi sel fotoreseptor menyebabkan penghentian pelepasan glutamat
dari terminal sinaps. Penurunan glutamat menyebabkan terjadinya
hiperpolarisasisel bipolar on dan depolarisasi sel bipolar off. Sel kerucut akan
bersinaps dengan sel bipolar on dan bipolar off, sedangkan seluruh sel batang
akan bersinaps dengan sel bipolar on. Sel kerucut akan merespon cahaya dengan
cepat dan sel batang akan merespon cahaya lebih lambat. Sel bipolar akan
mengirimkan impuls saraf menuju sel ganglion retina.
- Jaras Penglihatan
Jaras penglihatan dimulai dari retina dan berakhir di area korteks visual. Sel
bipolar akan mengirim impuls saraf menuju sel ganglion kemudian diteruskan
hingga nervus optikus. Impuls saraf dari nervus optikus akan dihantarkan menuju
kiasma optikus Serabut saraf makula dari bagian temporal retina yang akan
berjalan secara ipsilateral dan dari bagian nasal retina akan berjalan secara
kontralateral pada kiasma optikus. Impuls saraf selanjutnya akan berjalan menuju
traktus optikus.

Jaras penglihatan (Sumber: Schwartz)


Serabut saraf dari traktus optikus memiliki 3 daerah tujuan, yaitu badan
genikulatum lateralis, nukleus pretektal, dan kolikulus superior. Badan
genikulatum lateralis akan menyampaikan informasi menuju korteks visual.
Nukleus pretektal bertangggung jawab untuk konstriksi pupil. Kolikulus superior
berperan untuk respon terhadap refleks cahaya. Badan genikulatum lateralis
merupakan tempat akhir impuls dihantarkan dari traktus optikus. Badan
genikulatum lateralis terdiri dari 6 lapisan, yaitu lapisan ke 1, 4, dan 6 yang
menerima serabut saraf darikontralateral nervus optikus dan lapisan ke 2, 3, dan 5
yang menerima serabut saraf dari ipsilateral nervus optikus.
Badan genikulatum lateralis terdiri dari 3 daerah, yaitu magnoselular,
parvoselular, dan sel konio. Lapisan magnoselular memiliki serabut saraf besar
yang disebut sel M dan berfungsi dalam persepsi gerak dan kedalaman. Sel P
adalah serabut saraf yang lebih kecil yang berada di lapisan parvoselular dan
berfungsi untuk persepsi warna. Sel konio adalah sel kecil diantara 6 lapisan
tersebut.
Impuls saraf dari badan genikulatum lateralis kemudian akan bergerak secara
posterior menuju radiasi optik dan berakhir di korteks visual. Serabut saraf paling
inferior akan berjalan secara anterior, kemudian ke arah lateral dan posterior
melalui lobus temporalis atau disebut dengan Meyer loop. Serabut saraf dari
bagian superior akan berjalan secara posterior melalui lobus parietalis. Serabut
saraf dari macula bagian sentral berjalan secara lateral dan serabut saraf bagian
perifer makula akan lebih terkonsentrasi di bagian superior dan inferior dari
radiasi optik.
- Korteks Visual
Korteks visual primer, disebut juga area V1, korteks striata, atau area
Broadmann 17 berada memanjang secara horizontal pada fisura kalkarina yang
membagipermukaan medial lobus oksipital. Serabut saraf dari jalur genikulo
kalkarina berakhir di lapisan ke 4 dari 6 lapisan korteks visual primer. Serabut
yang menuju macula berakhir di bagian yang lebih posterior. Serabut saraf yang
berasal dari bagian paling lateral dan saraf kontralateral berakhir di bagian
anterior.
Korteks visual primer menerima informasi visual dari magnoselular, parvoselular,
dan konioselular dari badan genikulatum lateral. Area V1 menghasilkan gambaran
persepsi seperti ukuran, orientasi, pergerakan, dan kedalaman. Area V1 juga
mengirimkan informasi menuju area visual ekstrastriata V2, V3, V4 dan area
visual temporal tengah atau area V5 untuk analisis visual yang lebih spesifik
seperti warna, kedalaman, bentuk, pergerakan, dan penglihatan binokular.
Jalur untuk area visual ekstrastriata terdiri dari jalur dorsal atau where system dan
jalur ventral atau what system. Jalur dorsal membawa informasi arah
danpergerakan melalui area V3 dan area V5 menuju lobus parietal. Jalur
ventralmembawa informasi pengenalan bentuk dan warna melalui area V4 menuju
lobustemporal.
Korteks parastriata disebut juga area V2 atau area Broadmann 18. Area V2
merupakan kelanjutan dari korteks visual primer dan menerima input dari area
V1. Area V3 berada pada lobus parietal posterior dan menerima input langsung
dari area V1. Area V3 tidak memiliki batasan secara histologis dengan area V2
dan mengirimkan informasi eferen menuju ganglia basalis dan pons. Sel pada area
ini berfungsi untuk merespon lebih dari satu stimulus visual. Area V4 berada di
lingual dan girus fusiformis yang sensitif terhadap informasi warna. Area V5 yang
sensitif terhadap gerakan dan arah, terdapat pada bagian anterior dan lateral dari
area V4. Area V5 menerima informasi dari ipsilateral area V1 dan mendapat
impuls langsung dari lapisan sel M di badan genikulatum lateralis. Serabut saraf
yang berakhir di area V5 berfungsi dalam respon terhadap kecepatan dan stimulus
gerak.
Central Retinal Artery Occlusion (CRAO)
Definisi
Central Retinal Artery Occlusion (CRAO) merupakan suatu penyumbatan
padapembuluh arteri retina sentral yang umumnya disebabkan oleh emboli.
Keadaan ini berlangsung secara akut dan merupakan emergensi oftamologi yang
dapat menyebabkan kebutaan. Oklusi pada arteri retina sentral hanya berpengaruh
terhadap bagian dalam retina yang diperdarahinya, yaitu membran limitans
interna, lapisan serabut saraf, lapisan sel ganglion, lapisan pleksiform dalam dan
lapisan inti dalam.
Etiologi
CRAO bukan suatu penyakit yang berdiri sendiri. Penyebab dari CRAO dianggap
sebagai proses multifaktorial, yang disebabkan oleh kelainan-kelainan sistemik
yang lain. CRAO dapat diakibatkan oleh:
- Proses aterosklerosis dan trombosis yang terjadi pada lamina cribosa.
- Emboli yang berasal dari arteri karotis atau proses lain di jantung. Emboli
dianggap sebagai penyebab CRAO yang tersering. Emboli dapat terbentuk
dari berbacam sumber di tubuh. Jenis emboli yang dapat menyebkan
obstruksi pada arteri retina adalah:

Tabel. Jenis-Jenis Emboli Dan Sumbernya Yang Mampu Menyebabkan


Oklusi Pada Arteri Retina
- Obliterasi arteri retina yang berkaitan dengan peradangan pada arteritis ma
upunperiarteritis.
- Proses inflamasi yang mencetuskan oklusi seperti pada arteritis temporal
merupakan penyebab yang jarang terjadi.
- Angiospasme merupakan penyebab yang jarang. Penyebab terjadinya
spasme pada pembuluh antara lain pada migren, keracunan alkohol,
tembakau, kina, atau timah hitam.
- Peningkatan tekanan intra okular yang sangat tinggi juga dikaitkan dengan
kejadian obstruksi pada arteri retina, seperti yang terjadi pada akut
glaukoma sudut tertutup.
- Gangguan trombofilia, dimana hal ini berkaitan dengan CRAO yang
terjadi pada usia muda.
Patofisiologi
Penyebab oklusi arteri retina sentral diantaranya emboli, trombosis,
vaskulitis, spasme pembuluh darah, dan nekrosis arterial hipertensif. Penyebab
tersering oklusi arteri retina sentral adalah sumbatan yang disebabkan oleh emboli
yang berasal dari jantung atau arteri mayor yang memperdarahi kepala. Bagian
yang paling sering terjadi sumbatan adalah lamina kribrosa. Emboli dapat berupa
lemak dari ateroma, endapan kalsium dari penyakit katup jantung, fibrin, dan
butir-butir trombin. Penyebab lain adalah giant-cell arteritis, penyakit kolagen
pembuluh darah, peningkatan tekanan bola mata seperti perdarahan retrobulbar
dan eksoftalmus. Penyebab oklusi yang lebih jarang adalah sickle cell disease.
Kira-kira 20%-40% penderita memperlihatkan adanya emboli pada
pembuluh darah retina. Emboli yang sering didapat adalah emboli kolesterol yang
berwarna kuning (Hollenhorst plaque). Emboli ini umumnya berasal dari endapan
aterosklerosis pada pembuluh darah karotis, disamping itu juga dapat berasal dari
arkus aorta, arteri oftalmikus, atau dari bagian proksimal arteri retina sentral.
Emboli kolesterol biasanya berukuran kecil dan tidak menyumbat arteri retina
secara total. Emboli akibat proses kalsifikasi dari katup jantung terlihat berukuran
besar dan berwarna putih. Emboli ini mempunyai kecenderungan lebih besar
untuk menyebabkan oklusi dibandingkan emboli dari kolesterol.
Pada penderita berusia dibawah 30 tahun, penyebab oklusi arteri retina
sentral berbeda dengan penyebab pada penderita yang berusia lanjut. Beberapa
penyakit yang umumnya menyebabkan oklusi arteri retina sentral pada orang
dewasa muda adalah migrain, kelainan jantung, trauma, dan sickle cell
hemoglobinopati. Brown dkk menemukan penyakit terbanyak yang berhubungan
dengan penderita oklusi arteri retina sentral berusia dibawah 30 tahun adalah
migrain, yang terdapat pada sepertiga penderita. Penelitian lain oleh Greven dkk.
terhadap penderita berusia dibawah 40 tahun mengidentifikasi penyakit jantung
sebagai penyebab terbanyak oklusi arteri retina sentral.21 Penyebab tersering
oklusi arteri retina sentral pada anak-anak diantaranya trauma, migrain, dan
keadaan yang menyebabkan terbentuknya emboli seperti prolaps katup mitral,
penyakit jantung rematik, dan atrial myxoma. Lee dkk melaporkan kasus oklusi
arteri retina sentral pada anak berumur 8 tahun yang diduga karena vaskulitis
post-viral.
Gejala klinis
Umumnya pasien akan mengeluhkan penurunan penglihatan yang terjadi
secara tiba-tiba, tanpa disertai rasa nyeri dan menetap pada salah satu mata. Pada
90% penderita, kemampuan visus menurun hingga menghitung jari, persepsi
cahaya, bahkan kebutaan. Keluhan nyeri pada pesien lebih mengarahkan pada
proses iskemik okular yang sedang berlangsung.
Hal ini umumnya disebabkan oleh gangguan sirkuasi pada arterikarotis dan bukan
disebabkan suatu oklusi arteri retina.
Pada beberapa pasien dapat dijumpai amaurosis fugax, merupakan proses
penurunan penglihatan secara transien yang dapat terjadi selama beberapa detik
hingga beberapa menit, namun dapat pula bertahan hingga 2 jam. Umumnya
penglihatan dapatkembali seperti sebelumnya setelah serangan amaurosis fugax
berakhir. Monokular amaurosis fugax dapat pula terjadi akibat hipotensi
ortostatik, spasme pembuluh darah, aritmia, migren retina, anemia, arteritis dan
koagulopati. Hilangnya penglihatan jarang mencapai total dan dapat merupakan
gejala awal dari obstruksi dini arterisentral. Amaurosis fugax merupakan tanda
yang paling sering dijumpai pada insufisiensi arteri karotis atau terdapatnya
emboli pada arteri oftalmika retina.
Pada ameurosis fugax umumnya tidak dijumpai kelainan fundus karena
pendeknya serangan. Kadang-kadang terlihat adanya plaque putih atau cerah atau
suatu embolus didalam arteriol. Penting untuk menanyakan riwayat penyakit
penderita yang dapat menjadi predisposisi pembentukan trombus, seperti atrial
fibrilasi, endokarditis, penyakit-penyakit atherosklerosis, keadaan koagulopati
ataupun hiperkogulasi.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada penderita yang diduga mengami
CRAO meliputi:
- Penilaian visus, umumnya menurun hingga menghintung jari, lambaian
tangan ataupun tanpa persepsi cahaya.
- Pemeriksaan reaksi pupil, menjadi lambat atau menghilang dan dapat
anisokor.
- Permeriksaan defek pada pembuluh retina dengan funduskopi, dapat
memberikan gambaran berupa seluruh retina menjadi pucat akibat edema
dan gangguan nutrisi. Gambaran cherry-red spot pada makula lutea. Hal
ini muncul setelah terjadi infark pada lapisan retina yang menyebabkan
terjadi edema. Akibatnya lapisan retina akan tampak pucat kecuali
pada daerah makula yang tetap berwarna merah karena lapisannya yang
tipis.
- Tanda Boxcar dapat terlihat pada arteri maupun vena, dimana hal ini
menunjukkan adanya obstruksi yang berat.
- Emboli dapat terlihat pada 20% kasus.
- Lakukan pemeriksaan kardiovaskular untuk mendengar adanya murmur
jantungataupun bruit karotis.
- Pemeriksaan menyeluruh untuk menilai kelemahan otot, demam, nyeri
tekan pada temporal ataupun adanya arteri yang teraba, untuk
menyingkirkan adanya arteritis temporal.
Diagnosis
Diagnosis oklusi arteri retina sentral ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologis, dan pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan
penunjang seperti fluorescein angiography dan electroretinography sangat
membantu dalam menegakkan diagnosa, tetapi dengan pemeriksaan funduskopi
yang seksama dapat menegakkan diagnosis oklusi arteri retina sentral.
Riwayat menderita penyakit sistemik yang dapat membentuk emboli
penting dalam menegakkan diagnosa. Penderita memerlukan pemeriksaan tekanan
darah, elektrokardiografi, kadar gula darah, kadar lemak dan kolesterol untuk
mendeteksi penyakit sistemik seperti hipertensi, aterosklerosis atau diabetes.
Hayreh dkk. mengemukakan beberapa tanda klinis klasik oklusi arteri retina
sentral sebagai dasar menegakkan diagnosis oklusi arteri retina sentral. Tanda
klinis ini berupa:
- Riwayat penurunan tajam penglihatan secara tiba-tiba,
- Pemeriksaan awal menunjukkan gambaran infark retina dengan cherry red
spot,
- Gambaran box-carring (cattle trucking) pada pembuluh darah retina,
- Pemeriksaan awal dengan fluorescein angiography menunjukkan
perlambatan atau tidak ada sirkulasi arteri retina.
Fluorescein Fundus Angiography (FFA) berguna untuk menunjukkan
detail sirkulasi abnormal aliran darah. Terdapat keterlambatan pengisian arteri
retina dan biasanya pada fase arteri-vena (normal pengisian arteri kira-kira 12
detik). Pengisian pembuluh darah koroid biasanya masih normal.
Elektroretinography (ERG) memperlihatkan amplitudo gelombang-a yang normal
dan penurunan amplitudo gelombang-b yang menunjukkan adanya iskemik
lapisan dalam retina. Orbital Color Doppler Imaging (OCDI) dapat
memperlihatkan adanya emboli dalam arteri retina sentral berupa retrobulbar
hyperechoic material (plaque). Foroozan dkk menemukan emboli pada pasien
dengan OCDI, yang tidak tampak dengan pemeriksaan biasa.
Gambar. Gambaran cherry red spot pada pemeriksaan funandoskop CRAO
Diagnosis Banding
Diagnosis banding oklusi arteri retina sentral adalah oklusi arteri
oftalmikus dan Tay-Sachs disease. Oklusi arteri oftalmikus memberikan
gambaran retina yang lebih putih, tetapi tidak memperlihatkan gambaran cherry
red spot. Tay-Sachs disease memberikan gambaran cherry red spot, tetapi lebih
sering terdapat pada usia muda, dan bersifat bilateral. Pemeriksaan
elektroretinography pada oklusi arteri oftalmikus, memperlihatkan penurunan
amplitudo gelombang-a dan gelombang-b, yang menunjukkan adanya iskemik
pada lapisan dalam dan luar retina.
Tatalaksana
Sebagai suatu keadaan emergensi, penanganan yang segera untuk
mengembalikan aliran darah pada retina kemungkinan akan sangat bermanfaat
bila dilakukan sedini mungkin. Penanganan awal sebagai tindakan emergensi
yang dapat dilakukan adalah:
1. Menurunkan tekanan intraokular.
Dapat diberikan obat topikal (tetes mata) golongan β-blocker ataupun
pemberian acetazolamide secara intavena dapat mennyebabkan penurunan
TIO yang segera.
2. Ocular massage
Dilakukan dengan gerakan berputar selama 10 detik pada bola mata dan
dilepas kemudian dilakukan berulang-ulang. Cara tradisional tersebut
bertujuan meningkatkan tekanan introkular di dalam mata akibat tekanan
yang terputus dan merangsang mekanisme autoregulator. Saat pemijatan
dengan jari, tenaga yang diberikan akan membuat retina menganggap
adanya hipoxia sehingga terjadi dilatasi vaskular retina sehingga aliran
darah meningkat. Ketika pemijatan dihentikan, cairan akan mengalir dan
terjadi penurunan resistensi dari aliran darah. Harapannya adalah terjadi
perpindahan emboli menjadi lebih dalam dan menyelamatkan sebagian
daerah retina.
3. Konsultasi urgensi pada opthamologist dengan persiapan untuk
dilakukannya tindakan penangan yang lebih agresif jika diindikasikan,
seperti parasintesis camera okuli anterior (COA).
Parasintesis dilakukan dengan anastesi lokal dan menggunakan jarum
suntik 30G pada spuit 1cc. Insersi dilakukan pada daerah limbus dengan
hati-hati dan menjaga agar jarum tidak merusak lensa. Cairan diambil
sebanyak 0.1-0.2 cc. Kemudian jarum ditarik keluar dan diberikan obat
tetes mata berupa antibiotik topikal. Dengan tindakan ini diharapkan
terjadi penurunan TIO yang akan memicu peningkatan perfusi yang akan
mendorong emboli bergerak lebih dalam.
Tujuan dari pengobatan yang diberikan pada kasus CRAO adalah untuk:
- Menurunkan TIO, hal ini dapat dicapai dengan pemberian obat-obatan
golongan karbonik anhidrase inhibitor, diuretik hiperosmolar,
simpatomimetik seperti yang diberikan pada penderita glaukoma.
Penurunan TIO dapat pula dicapai dengan parasintesis camera okuli
anterior, seperti yang dijelaskan di atas.
- Menambah perfusi pada retina, diperoleh melalui pemberian obat
vasodilator, peningkatan pCO, atau dengan pemberian agen trombolitik
perifer untuk memindahkan trombus. Pendapat lain mengatakan
pemberian aspirin pada fase akut dapat bermanfaat. Meningkatkan oxygen
delivery pada daerah yang hipoxia, dicapai dengan memberikan oxygen
konsentrasi tinggi maupun dengan Terapi Oxygen Hiperbarik. Hal ini
hanya dapat bermanfaat bila diberikan dalam 2-12 jam setelah onset.
Pemberian oxygen dan peningkatan pCO2 umumnya dilakukan dengan
pemberian bantuan nafas dengan campuran 5% CO2 dan 95% O2 selama
10 menit yang dilakukan setiap 2 jam selama 2 hari.
Prognosis
Prognosis Penderita oklusi arteri retina sentral memiliki prognosis buruk
terhadap penglihatan. Prognosis oklusi arteri retina sentral dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu umur penderita., tingkat oklusi, material penyebab oklusi,
dan lamanya oklusi. Pada 10% penderita oklusi ateri retina sentral yang memiliki
arteri silioretina, sebagian besar mengalami perbaikan tajam penglihatan hingga
20/50 setelah 2 minggu. Penderita oklusi arteri retina sentral yang mendapat terapi
hiperbarik dalam waktu 8 jam memberikan perbaikan penglihatan.
Metode multiterapi secara agresif dan sistematik yang mencakup tindakan
mekanik dan medis dalam waktu 12 jam dari keluhan juga menunjukkan
perbaikan sirkulasi retina dan tajam penglihatan. Terapi dengan LIF bahkan dapat
memperbaiki penglihatan meskipun oklusi telah berlangsung 20 jam.
Terdapat peningkatan angka kematian pada penderita oklusi arteri retina
sentral. Angka harapan hidup penderita oklusi arteri retina sentral adalah 5,5
tahun, yang menurun bila dibandingkan dengan rata-rata angka harapan hidup
umumnya sebesar 15,4 tahun. Tingkat kematian penderita oklusi arteri retina
sentral karena emboli setelah 9 tahun adalah 56%, sedangkan non emboli 27%.29
Sembilan puluh persen penderita dengan Hollenhorst plaque juga menderita
penyakit jantung, dengan 15% penderita meninggal dalam 1 tahun pertama dan
55% meninggal dalam kurun waktu 7 tahun akibat penyakit jantung yang
dideritanya.
Branch Retinal Artery Occlussion
Definisi
Arteri retina sentralis memasuki mata melalui diskus optikus dan
bercabang menjadi beberapa cabang untuk mengalirkan darah ke lapisan dalam
retina. Oklusi arteri retina cabang (BRAO) terjadi ketika salah satu cabang suplai
arteri ke retina ini tersumbat.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, Penyakit Oklusi Arteri Centralis Retina sebanyak
58% dari keseluruhan kasus oklusi akut arteri retina, 38% kasus oklusi cabang
arteri retina, dan 5 % kasus kasus oklusi arteri cilioretinal. Diantara pasien lansia,
pria lebih banyak mengalami penyakit emboli retina daripada wanita. Hal ini
berdasarkan angka kejadian stroke yang lebih banyak terjadi pada kaum pria.
Sehingga bisa disimpulkan angka kejadian stroke berbanding lurus dengan angka
kejadian emboli retina.
Dalam sebuah studi ditemukan tidak ada perbedaan resiko diantara ras
kluit putih dengan ras kulit hitam. Biasanya kasus oklusi cabang arteri retina
terjadi pada usia decade ketujuh. Pada penderita oklusi cabang arteri retina diduga
disebabkan oleh non-embolik. Beberapa studi menunjukkan bahwa adanya
peningkatan angka mortalitas pada pasien dengan emboli pada arteri retina.
Peningkatan angka mortalitas ini dikarenakan penyakit stroke atau yang paling
terjadi adalah kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Insidensi terjadinya neovaskularisasi pada arteri retina yang mengalami
obstruksi dilaporkan terjadi kurang dari 5%. Bahkan pada kasus oklusi
percabangan arteri retina, neovaskularisasi sangat jarang terjadi. Kalaupun terjadi
neovaskularisasi, umumnya terjadi pada pasien yang menderita penyakit diabetes.
Beberapa temuan kasus klinis juga dilaporkan bahwa adanya kemungkinan
terjadinya neovaskularisasi glaukoma setelah terjadinya oklusi percabangan arteri
retina.
Etiologi
Pada pasien lansia, penyakit embolik menjadi penyebab umum terjadinya
oklusi cabang arteri retina. Beberapa tipe emboli yang menjadi penyebab
terjadinya oklusi cabang arteri retina sebagai berikut:
- Kolesterol – Plak Aterosklerotik dari Arteri Carotis
- Platelet-Fibrin – Pada penyakit kelainan karotis dan thrombosis jantung
- Leukoemboli – pada penyakit vasculitis, purtscher retinopati, endocarditis
septic
- Fat Emboli – pada fraktur tulang
- Emboli cairan amnion – pada komplikasi kehamilan
- Tumor – atrial myxoma, mitral valve papillary fibroelastoma.
Patofisiologi
Pada umumnya penyakit oklusi cabang arteri retina merupakan penyakit
sekunder akibat embolus. Emboli berjalan melalui sistem peredaran darah dan
menyumbat di arteri dengan lumen yang lebih kecil. Emboli bisa berasal dari plak
atherosclerosis aorta karotis, platelet-fibrin dari penyakit thrombosis, dan
kalsifikasi emboli dari penyakit katup jantung.
Iskemik pada lapisan dalam retina akan berakibat edema intraselular yang
merupakan akibat dari jejas selular dan nekrosis. Pada pemeriksaan optalmoskpi,
edema intraselular ini akan terlihat berwarna putih keabu-abuan pada retina
superficial. Studi pada primata menunjukkan bahwa oklusi total arteri retina
berupa cedera iskemik arteri bersifat reversibel dalam rentang waktu hingga
97 menit. Ini mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa pasien kehilangan
penglihatan sementara sebelum sebuah episode dari cabang oklusi arteri retina
terjadi. Mungkin, episode emboli sekunder ini bersifat sementara,
menyebabkan oklusi sementara dan kemudian reperfusing retina ketika emboli
terlepas.
Oklusi cabang arteri retina yang paling sering terjadi pada bifurkasio arteri
yang berhubungan dengan penyempitan lumen pada bifurkasio. Dalam 90%
kasus, oklusi cabang arteri retina melibatkan pembuluh retina sementara. Belum
jelas apakah pembuluh retina temporal terkena lebih sering atau apakah oklusi
pembuluh retina di daerah nasal yang lebih sering terjadi.
Pasien dengan oklusi cabang arteri retina memiliki risiko lebih tinggi
untuk morbiditas dan mortalitas sekunder untuk kardiovaskular dan penyakit
serebrovaskular. Sebuah pemeriksaan medis menyeluruh perlu dilakukan pada
semua pasien dengan oklusi cabang arteri retina, dan etiologi dapat diidentifikasi
dalam sebanyak 90% dari pasien.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan oklusi cabang arteri retina datang dalam kondisi akut,
unilateral, tidak nyeri, kehilangan penglihatan parsial, adanya defek lapangan
pandang, baik bersifat sektoral maupun sentral.
Pasien kadang memiliki riwayat factor resiko berupa merokok, hipertensi,
hiperkolesterolemia, diabetes, penyakit arteri koroner, riwayat stroke
maupun transient ischemic attack. Pasien juga kadang mengalami amaurosis
fugax. Sebuah studi menunjukkan, 14,2 % pasien oklusi cabang arteri retina
mengalami amaurosis fugax.
Pada pemeriksaan funduskopi akan ditemukan adanya retina yang pucat
disepanjang arteri yang mengalami gangguan. Penyempitan cabang arteri retina,
boxcarring, segmentasi dari Blood Columns, cotton-wool spot, dan emboli adalah
beberapa temuan yang mungkin akan didapatkan.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan beberapa
pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan yang bisa dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan dengan beberapa tujuan :
- Pada pasien dengan umur lebih dari 50 tahun, Lakukan pemeriksaan ESR
untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit giant cell arteritis.
- Pemeriksaan gula darah puasa, glikosilat hemoglobin, kolesterol,
trigliserida, dan lipid, untuk mengevaluasi penyakit aterosklerosi.
- Pemeriksaan hitung CBC untuk mengevaluasi anemia, polisitemia, dan
gangguan platelet.
2. Pemeriksaan Funduskopi
Pada pemriksaan funduskopi biasanya akan ditemukan
penyempitan pembuluh cabang arteri atau tampilan arteri yang menghilang
(attenuasi). Gambaran edem berawan akan tampak pada daerah yang
mengalami iskemik.
3. Pemeriksaan Flourescens Angiographi
Pengisian yang tertunda pada arteri yang terkena
dan hipoflourescen pada retina sekitar akan terlihat setelah onset oklusi.
Pembuluh darah bagian distal dari arteri yang terkena akan
mengalami retrograde filling dari perfusi kapiler sekitar. Pewarnaan yang
tertunda pada dinding pembuluh juga dapat terlihat pada pemeriksaan ini.
Setelah fase resolusi dari obstruksi, aliran darah dapat kembal normal,
namun penyempitan ataupun sklerosis pada arteri yang terkena dapat
terjadi.

Gambar. (a) Gambaran Pemeriksaan Funduskopi BRAO, (b) Gambaran


Flourescens Angiographi BRAO
4. Pemeriksaan Transesophageal Echocardiography
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan
penyebab yang embolik kardio terutama pada pasien lansia dengan resiko
tinggi penyakit kardioemblik. Faktor resiko tersebut meliputi : riwayat
penyakit jantung rematik, prolaps katup mitral, pemasangan katup buatan,
riwayat penyakit subakut endokarditis, penyakit serangan jantung, dan
sebagainya.
5. Optical Coherence Tomography
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kerusakan structural pada
lapisan retina setelah terjadinya oklusi. Sebuah studi menunjukkan
terjadinya penebalan yang bersifat diffuse pada neurosensory retina yang
terkena. Adanya peningkatan refleksifitas pada lapisan retina dalam dan
penurunan refleksifitas pada fotoreseptor dan epitel pigmen juga akan
ditemukan yang mendukung patofisiologis terjadinya peningkatan cairan
intraselular pada lapisan retina dalam.

Gambar. Gambaran OCT pada BRAO


Sebuah studi juga dilakukan untuk menilai kondisi jangka panjang retina
setelah mengalami kerusakan akibat oklusi. Setahun setelah kejadian oklusi
percabangan arteri retina, ditemukan lapisan retina dalam yang segmental dan
terjadinya pengurangan ketebalan lapisan serabut saraf peripapillary retina. Hal ini
berhubungan dengan defek lapangan pandang dengan penebalan OCT dan
ditemukan bahwa jeleknya prognosis yang berhubungan dengan penipisan makula
dan lapisan serabut saraf retina.
Tatalaksana
1. Tatalaksana Awal
Kasus oklusi arteri retina merupakan kasus emergensi sehingga
memerlukan penanganan yang cepat. Keterlambatan penanganan pada
kasus ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan penglihatan yang
irreversible. Terapi berikut ini bisa dilakukan sebagai initial treatment
pada kasus oklusi retina yang dialami dalam waktu kurang dari 24-48 jam:
- Supine Posture
- Ocular Massage yang dilakukan dengan menggunakan “three mirror
contact lens” selama 10 detik, untuk mencapai pulsasi arteri central retina
(pada CRAO) atau penghentian aliran darah pada (BRAO) yang diikuti
dengan pelepasan aliran darah selama 5 detik. Tujuannya adalah untuk
menutup secara mekanis lumen arteri dan menyebabkan perubahan yang
cepat dalam aliran arteri. Pemijatan sendiri melalui kelopak mata tertutup
dapat dilanjutkan oleh pasien.
- Sublingual Isosorbide dinitrat. Terapi ini diberikan untuk menginduksi
vasodilatasi.
- Pemberian campuaran O2 dan CO2. Hal ini bisa dilakukan dengan
melakukan terapi “Rebreathing” menggunakan “paper bag” atau yang
sejenisnya untuk meningkatkan kadar karbondioksida dalam darah dan
menginduksi proses asidosis sehingga merangsang tubuh untuk melakukan
vasodilatasi pembuluh darah.
- Pemberian Campuran O2 (95%) dan CO2 (5%), untuk memperlambat
terjadinya iskemik dan menginduksi vasodilatasi.
Semua terapi diatas belum memiliki evidence yang cukup untuk
mengukur tingkat efektifitas dan besarnya resiko terapi sehingga
pemilihan terapi diatas harus mempertimbangkan aspek individual
penderita seperti durasi terjadinya oklusi, usia, kondisi kesehatan secara
umum.
2. Tatalaksana Lanjutan
- Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa yang diberikan disesuaikan dengan
penyakit yang mendasari kejadian oklusi cabang arteri retina.
Antikoagulasi bisa diberikan sesuai temuan pada pemeriksaan penunjang.
Antiplatelet bisa diberikan pada pasien dengan kausa stroke.
- Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan
eksisi embolus. Tindakan ini dilaporkan memberi hasil visus yang baik
dan aman untuk dilakukan.
Prognosis
Prognosisi penyakit oklusi arteri yang diakibatkan oleh emboli kalsifikasi
jauh lebih jelek daripada oklusi arteri yang diakibatkan oleh kolesterol maupun
platelet. Proses penyembuhan dari penyakit oklusi cabang arteri retina umumnya
sangat baik bila ditangani dalam masa “golden period”, dimana 80-90%
mengalami perbaikan ketajaman visual 20/40 atau lebih. Namun, biasanya defek
lapangan pandang yang terjadi bersifat persistent.
RETINOPATHY OF PREMATURITY
Definisi
Retinopati prematuritas atau Retinopathy of Prematurity (ROP) adalah
suatu keadaan dimana terjadi gangguan dalam perkembangan pembuluh darah
retina pada bayi prematur. Retinopati yang berat ditandai dengan proliferasi
pembuluh retina, pembentukan jaringan parut dan pelepasan retina. Retinopati
prematuritas terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina di masa
perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi (kondisi ketika neonatus harus
bertahan akibat ketidakmatangan paru). Pajanan oksigen konsentrasi tinggi
(hlperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga
memperlambat perkembangan pembuluh darah retina (vaskulogenesis) yang
selanjutnya menimbulkan daerah iskemia pada retina.
Epidemiologi
Retinopati prematuritas menjadi fokus permasalahan di berbagai negara.
Temuan menunjukkan bahwa kebutaan pada anak-anak akibat ROP lebih tinggi
pada negara-negara yang cukup berkembang sebesar 24% secara keseluruhan
daripada negara yang sangat berkembang, yaitu 9% secara keseluruhan dan
negara yang kurang berkembang, di mana hanya Guatemala dan Afrika Selatan
yang mencatat kebutaan pada anak akibat ROP, yaitu masing-masing 4% dan
10,6%. Prevalensi ROP terjadi lebih dari 6-18% dari semua kelahiran prematur
di negara maju dan menyebabkan gangguan penglihatan pada 1300 bayi baru lahir

per tahun di Amerika Serikat. Tiga ratus per sejuta bayi hidup mengalami
kebutaan akibat kelainan ini. Prevalensi kebutaan karena ROP sebesar 1, 1 % dari
800.000 bayi baru lahir di Indonesia.
Di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah, studi faktor risiko

menunjukkan bahwa paparan oksigen yang berkepanjangan, sindrom gangguan


pernapasan dan sepsis dapat menjadi faktor risiko independen untuk ROP.
Penelitian di Korea juga melaporkan bahwa usia gestasi ≤28 minggu dan berat
lahir ≤1000 gr adalah faktor risiko yang paling signifikan. Penelitian lainnya
melaporkan insidensi 29.2% (165 dari 564 bayi dengan BBLASR). Usia median
dari onset ROP adalah 35 minggu (kisaran 31-40 minggu).

Faktor Resiko
1. Predisposisi genetic
Mutasi gen NDP, FZD4, LRP5 and TSPAN12 diduga sebagai salah
satu
dari faktor resiko ROP. Gen – gen ini mempengaruhi pertumbuhan
pembuluh darah retina. Retinopati Prematuritas juga dilaporkan 70%
diwariskan dalam studi kembar monozigot dan dizigotik yang prematur.
Selain itu, varian genetik dalam VEGF seperti EPAS1 yang berkaitan
dengan regulasi hipoksia dan gen SOD yang berperan dalan mengkodekan
superoksida dismutase, enzim antioksidan juga dilaporkan mempunyai
hubungan dalam terjadinya ROP. Stres oksidatif dan nutrisi dapat
mempengaruhi ekspresi gen melalui asetilasi dan metilasi DNA dan telah
membantu menjelaskan efek tak terduga akibat hubungan faktor eksternal
dan genetik dalam pembentukan ROP.
2. Paparan terapi oksigen
Terapi oksigen merupakan faktor resiko utama terjadinya
Retinopati
Prematuritas. Hubungan oksigen terhadap perkembangan retinopati
prematuritas tidak sepenuhnya dipahami dan bersifat kompleks.
Kebutuhan
metabolik dan oksigen akan meningkat selama perkembangan pembuluh
darah retina dan fotoreseptor. Pembuluh darah retina pada fase awal juga
sangat sensitif terhadap perubahan transpor oksigen dari luar. Pada bayi
prematur terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi transpor oksigen
ke
pembuluh darah retina dan saraf retina, diantaranya faktor oksigenasi
darah
yang buruk pada paru-paru yang belum matang, terdapatnya penyakit pada
pernapasan, anemia prematuritas dan terdapatnya perubahan rasio
hemoglobin janin terhadap dewasa yang berperan dalam afinitas oksigen
ke hemoglobin.
Efek primer oksigen pada pembuluh darah retina yang imatur pada
binatang percobaan adalah terjadinya vasokonstriksi retina. Vasokonstriksi

awal pada pembuluh darah retina yang imatur terjadi dalam beberapa
menit
pertama setelah paparan terhadap oksigen, ukuran pembuluh darah
berkurang sampai 50% dan kemudian kembali ke ukuran normal. Oksigen
yang dilakukan terus menerus selama 4 – 6 jam akan menimbulkan
vasospasme bertahap sampai pembuluh darah tersebut mengecil sampai
80%. Sampai pada tahap ini vasokonstriksi pembuluh darah retina masih
bersifat reversibel, namun apabila keadaan ini bertahan (misalnya
pemberian oksigen sampai 10 – 15 jam) maka beberapa pembuluh darah
perifer retina yang belum matur tersebut menimbulkan kerusakan endotel
yang pada akhirnya akan mengalami penutupan yang permanen. Pembuluh
darah baru akan terbentuk pada daerah yang mengalami kerusakan kapiler
retina. Pembuluh darah baru ini akan menyebar di permukaan retina dan
berkembang sampai ke korpus vitreus. Hal ini biasanya terjadi pada fase
akut retinopati prematuritas.
3. Usia gestasi kurang dari 30 minggu
ROP terjadi pada 84.2% bayi dengan usia gestasional dibawah 30
minggu, sedangkan 15.7% pada usia gestasional diatas 31 minggu. Tingkat

keparahan penyakit berbanding terbalik dengan usia gestasional. Studi


melaporkan pre-threshold disease terjadi pada 84.9 % usia gestasional ≤27
minggu, 14.8 % pada usia gestasional 27 – 32 minggu, dan 0.2 % pada
usia gestasional >32 minggu. Dalam perjalanan penyakit Retinopati
Prematuritas, jika ada regresi biasanya terjadi pada usia 15 minggu. Pada
kasus – kasus ringan seperti pada tahap 2 atau derajat 2 retinopati
prematuritas dapat terjadi resolusi yang komplit. IGF-1 adalah hormon
yang penting untuk perkembangan janin selama semua tahap kehamilan
dan ditandai melalui reseptor IGF-1 (IGF-1R) yang dipasok oleh ibu
melalui plasenta. IGF-1 plasma meningkat sesuai dengan usia kehamilan,
khususnya selama trimester ketiga kehamilan dan menurun setelah
kelahiran prematur. Sebagian besar bayi yang lahir sebelum usia
kehamilan 33 minggu memiliki peningkatan produksi IGF-1 yang sangat
lambat setelah lahir sampai 44 minggu Post Menstrual Age atau sampai
keadaan aterm. Konsentrasi IGF-1 pascanatal tergantung dengan nutrisi
pada bayi prematur sehingga konsentrasi berkurang saat kondisi kelaparan,

infeksi dan stress.


IGF-1 yang rendah dikaitkan dengan pertumbuhan vaskular retina
yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa IGF-1 yang rendah mungkin
berkontribusi terhadap penekanan pertumbuhan vaskular dalam retinopati
prematuritas. IGF-1 mempunyai peran sebagai faktor permisif untuk
pertumbuhan sel endotel vaskular dependen VEGF.
4. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Bayi prematur dengan berat badan lahir kurang dari 1500 memiliki
resiko yang besar untuk menderita ROP. Resiko bertambah pada berat
badan lahir yang lebih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Early
Treatment for Retinopathy of Prematurity (ETROP) menunjukkan bahwa
ROP terjadi pada 44% bayi dengan berat badan lahir 1000 – 1250 gram,
76% dengan berat badan lahir 751 – 999 gram, dan 93% dengan berat
badan lahir kurang dari sama dengan 750 gram.
5. APGAR score menit pertama kelahiran
Penilaian APGAR adalah sebuah tes cepat yang dilakukan pada
menit pertama dan kelima pasca kelahiran, skor pada menit ke-1 memberi
gambaran seberapa baik bayi melakukan toleransi terhadap proses
kelahiran. Menit ke-5, skor memberikan penilaian akan bagaimana bayi
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Penelitian menunjukkan bahwa
bayi yang dilahirkan dengan ROP memiliki nilai skor APGAR yang lebih
rendah dibandingkan dengan bayi yang tidak menderita ROP.
6. Hyaline Membrane Disease (HMD)
Diagnosis Hyaline Membran Disease (HMD) atau yang dikenal
sebagai Respiratory Distress Syndrome yang idiopatik merupakan keadaan
akut yang ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera saat lahir,
lebih sering pada bayi dengan usia kurang dari 32 minggu yang
mempunyai berat badan lahir kurang dari 1500 gram. Hyaline Membran
Disease (HMD) merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan oleh
defisiensi surfaktan. Keadaan hipoxia, hiperkarbia dan asidosis metabolik
terjadi pada HMD yang secara signifikan berhubungan dengan
perkembangan ROP.
Bayi dengan HMD berat mendapatkan terapi surfaktan yang
bertujuan untuk membantu proses pengembangan paru. Dalam mengobati
neonatus dengan masalah pernapasan, konsentrasi oksigen darah 8-12kPa
dianggap sudah optimal. Terapi surfaktan dapat meningkatkan oksigenasi
awal ke level 20-30kPa sehingga oksigen tambahan dikurangi untuk
mengoptimalkan oksigenasi jaringan sehingga dapat menghindari risiko
hiperoksemia. Penelitian menujukkan bahwa 96% ROP menderita HMD.
7. Transfusi darah
Penelitian menunjukkan transfusi darah sebagai faktor mayor ROP
dan perkembangannya menjadi threshold disease. Transfusi darah dapat
mempengaruhi perkembangan pembuluh darah retina, yaitu tidak hanya
dengan meningkatkan pengiriman oksigen ke retina, namun juga dengan
kelebihan zat besi akibat transfusi darah akan dapat meningkatkan radikal
oksigen bebas. Hemoglobin yang ditransfusikan juga meningkatkan
pengiriman oksigen ke retina yang pada akhirnya meningkatkan risiko
ROP.
Lackman dalam studinya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah free
iron
dapat mengkatalisasi reaksi fenton yang menghasilkan radikal hidroksil
bebas dari superoksida dan hidrogen peroksida yang mampu merusak
retina.
8. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Patent Ductus Arteriosus (PDA) pada bayi dapat dikonfirmasi
menggunakan pemeriksaan fisik dan echocardiogram. Bayi dengan PDA
lebih lambat dalam mendapatkan kembali berat badan lahir, membutuhkan
ventilasi untuk waktu yang lebih lama dan menunjukkan status pernapasan
yang buruk. Perkembangan ROP pada bayi dengan PDA juga berkaitan
dengan paparan oksigen lebih sering. Elemen dari shunt kanan ke kiri
bergantian dengan predominan shunt kiri ke kanan akan menyebabkan
tekanan oksigen arteri yang terlalu rendah sehingga akibatnya terdapat
suplai oksigen tambahan yang berlebihan. Selain itu, predominant shunt
kiri ke kanan dapat menyebabkan retina relatif iskemik.
Penelitianmenunjukkan 90% penderita ROP mengalami PDA.
9. Apneu of Prematurity
Apneu of prematurity adalah henti nafas >20 detik atau henti nafas
<20 detik yang disertai dengan penurunan saturasi oksigen dan atau
bradikardi Apneu of prematurity adalah henti nafas >20 detik atau henti
nafas <20 detik yang disertai dengan penurunan saturasi oksigen dan atau
bradikardi.
10. Hiperglikemia
Sebuah studi oleh Garg et al mengevaluasi hiperglikemia dengan
perkembangan ROP Stadium III atau IV. Penelitian ini menunjukkan
bahwa
setiap peningkatan 10 mg / dL rata-rata glukosa serum, terdapat
peningkatan
2,7 kali lipat dalam risiko perkembangan ROP. Blanco et al juga
menemukan bahwa hiperglikemia berkaitan dengan peningkatan 4,5 kali
lipat dalam kejadian ROP pada populasi Hispanic.
Hiperglikemia dapat mempengaruhi ROP melalui efeknya yang
signifikan pada aliran darah retina. Hasil penelitian menunjukkan pada
tikus diabetes, penurunan kadar glukosa menghasilkan peningkatan aliran
darah retina dibandingkan dengan tikus diabetes yang tetap hiperglikemik.
Selain itu, hiperglikemia telah terbukti meningkatkan pembentukan
diasilgliserol, yang dapat meningkatkan aktivasi protein kinase C. Protein
kinase C telah terbukti
berpengaruh pada beberapa Faktor Pertumbuhan, seperti Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang menyebabkan angiogenesis dan
permeabilitas vaskular. Hiperglikemi dalam kondisi hipoksia juga telah
terbukti meningkatkan produksi VEGF dalam sel Muller retina. Durasi
hiperglikemia juga berpotensi lebih menjadi faktor risiko untuk
perkembangan ROP ringan (Stadium I) atau sedang (Stadium II)
dibandingkan ROP berat (Stadium III).
Klasifikasi
Klasifikasi ROP berdasarkan The International Classification of
Retinopathy of Prematurity (ICROP) berdasarkan lokasi, luas, stadium dan ada
atau tidaknya plus disease:
1. Lokasi
a. Zona I
Merupakan polus posterior, berupa area lingkaran dengan radius 30°,
jarak radius dua kali jarak antara discus opticus dan pusat macula, pusat
berada pada discus opticus
b. Zona II
area dengan jarak radius dari batas zona I sampai ora serrata nasal,
melingkar sampai di dekat ekuator temporal
c. Zona III
area berbentuk bulan sabit, meliputi retina anterior di luar zona I dan II.

2. Luas
Luas kelainan ditulis berdasarkan arah putaran jam dan dicatat sebagai
jumlah jam atau derajat (1 jam = 30°). Pemeriksa melihat pada setiap mata, Posisi
jam 3 berada di sisi nasal mata kanan dan sisi temporal mata kiri. Posisi jam 9
berada di sebelah temporal mata kanan dan sisi nasal mata kiri. Pukul 12 terletak
di superior kedua mata, sedangkan pukul 6 berada di inferior.
3. Stadium
Stadium ditentukan berdasarkan respon retina terhadap pertumbuhan
pembuluh darah abnormal. Satu mata mungkin terdapat gambaran retina abnormal
dengan stadium yang berbeda, pada keadaan seperti ini yang dipakai untuk
penentuan stadium berdasarkan gambaran abnormal terberat. Deskripsi semua
temuan tetap ditulis lengkap dengan mencantumkan lokasi arah jam. Retinopathy
of prematurity berdasarkan stadium diklasifikasikan menjadi lima
a. Stadium 1 (demarcation line)
Demarcation line adalah struktur garis tipis, tegas, putih, dan datar yang
memisahkan daerah retina avaskular di anterior dengan retina vaskular di
posterior. Arkade pembuluh darah tampak mengarah ke arah garis.
b. Stadium 2 (ridge)
Ridge merupakan peninggian jaringan mesenkim. Peninggian ini muncul di
area demarcation line, memiliki tinggi dan lebar, memanjang di atas bidang retina.
Ridge dapat berubah dari putih menjadi merah muda dan pembuluh darah retina
akan masuk ke intraretina.
c. Stadium 3 (proliferasi fibrovascular ekstraretinal)
Proliferasi fibrovaskular ekstraretina atau neovaskularisasi memanjang dari
peninggian mesenkimal ke dalam vitreus. Proliferasi ini berpotensi menimbulkan
tarikan pada retina.
d. Stadium 4 (ablasio retina subtotal)
Ablasio retina terjadi karena progresifitas proliferasi fibrovaskular. Tingkat
ablasio tergantung pada luas dan derajat traksi fibrovaskular.
e. Stadium 5 (ablasio retina total)
Ablasio retina pada retinopati prematuritas umumnya traksional. Ablasio yang
terjadi berbentuk corong, dapat dibagi menjadi bagian
anterior dan posterior.
Patofisiologi
Pada masa embriologi, vaskularisasi retina dimulai pada bulan keempat
kehamilan atau 16 minggu setelah gestasi. Sel mesenkim tumbuh dari regio
diskus optikus. Sel ini kemudian berkembang menjadi sel endotel dan membentuk
sistem kapiler. Kapiler yang terbentuk sebagian akan berkembang menjadi
arteriole dan venule, sisanya akan mengalami apoptosis bila remodelling terjadi.
Vaskularisasi retina berkembang secara sentrifugal dari diskus optikus ke arah
perifer. Pembuluh darah berkembang ke area temporal retina hingga mencapai
area makula pada bulan kelima dan pada lapisan sel ganglion di dareah fovea
pada bulan keenam. Vaskularisasi retina bagian nasal selesai berkembang pada
usia kehamilan 36 minggu, sedangkan bagian temporal pada usia kehamilan 40
minggu. Sistem hialoid dan tunika vaskulosa lentis akan mengalami atrofi pada
trimester akhir kehamilan. Namun, kadang-kadang keduanya dapat menetap
hingga lahir.

Patogenesis ROP dapat terjadi dalam dua fase yaitu:


a. Fase I
Fase pertama terjadi dari saat lahir sampai dengan postmenstrual
age (PMA) sekitar 30 minggu. Fase ini ROP ditandai dengan hilangnya pembuluh
darah. Pertumbuhan normal pembuluh darah retina yang
seharusnya terjadi di uterus akan melambat atau berhenti disertai
hilangnya beberapa pembuluh darah yang sedang berkembang. Pembuluh
darah imatur sangat rentan terhadap oksigen, sehingga keadaan ini akan
mempengaruhi pemberian oksigen tambahan pada bayi prematur untuk
mengatasi kekurangan oksigenasi paru-paru yang belum berkembang.
Kondisi hiperoksia relatif ekstra uterin ini secara fisiologis akan
menurunkan produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
sehingga menghambat pertumbuhan normal pembuluh darah. Hal ini
diikuti terjadinya vasokonstriksi retina dan kerusakan sel endotel kapiler
secara ireversibel. Keadaan hyperoxia-vasocessation ini dikenal sebagai
stadium I dari retinopati prematuritas.

b. Fase II
Fase ini dimulai antara PMA 31-34 minggu. Fase kedua ROP
ditandai dengan proliferasi pembuluh darah baru yang diinduksi oleh
retina avaskular yang membutuhkan metabolisme aktif yang tinggi
sehingga menyebabkan keadaan hipoksia. Keadaan ini, memicu area
hipoksia untuk menstimulasi faktor angiogenik Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF) dan mengakibatkan pertumbuhan neovaskularisasi.
Vaskularisasi baru ini bersifat immatur dan tidak
berespon terhadap regulasi yang normal. Nutrisi dan oksigen dapat dikirim
ke retina melalui proses difusi dari kapiler-kapiler yang berada pada
lapisan choroid. Retina terus tumbuh semakin tebal dan akhirnya melebihi
area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya. Seiring waktu, terjadilah
hipoksia retinal yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan pembuluh darah yang berlebihan; keadaan hypoxia-
vasoproliferation ini dikenal sebagai ROP stadium II.
Patogenesis ROP juga terjadi melalui dua proses pertumbuhan
vaskularisasi
yang berbeda dalam hal waktu, lokasi dan prognosis fungsi penglihatan. Proses
pertumbuhan vaskularisasi tersebut adalah vaskulogenesis dan angiogenesis.
Diagnosis
Pemeriksaan dalam mendiagnosis Retinopati Prematuritas dapat
ditegakkan dengan menggunakan oftalmoskopi binokular indirek. Persiapan
sebelum pemeriksaan, lakukan pemberian midriasis ± 90 menit sebelum
pemeriksaan (misalnya: fenilefrin 2.5% dan tropicamide 0.5%, satu tetes, 2-3
kali, selang-seling tiap 5-10 menit) sampai dicapai dilatasi pupil yang cukup.
Instrumen yang dibutuhkan saat pemeriksaan antara lain binocular indirect
ophthalmoscope, condensing lens 25D atau 28D, sauer speculum, dan flynn
scleral depression. Anestesi topikal diteteskan pada kedua mata pasien. Sauer
speculum dipasang pada mata yang akan diperiksa.
Pemeriksaan dimulai dengan penilaian pupil, dilanjutkan dengan
pemeriksaan segmen anterior, kemungkinan adanya rubeosis iridis atau tunika
vaskulosa lentis. Pemeriksaan segmen posterior meliputi kondisi retina, area
perbatasan vaskularisasi, dan periksa pembuluh darah retina untuk kemungkinan
adanya “plus disease”.
Incontinentia pigmenti merupakan kelainan x-linked dominan yang
bisa menstimulasi ROP. Penyakit ini bersifat letal pada bayi laki-laki,
hanya terdapat pada bayi perempuan. Pada bulan pertama, bayi memiliki
pembuluh darah retina yang berkelok-kelok dengan tidak adanya perfusi
pembuluh darah retina perifer. Anomali okular lainnya seperti strabismus,
katarak, miopia, nistagmus, dan blue sclera. Selain terjadi anomali okular,
juga terjadi kelainan pada kulit dan gangguan sistem susunan saraf pusat.
Kelainan kulit yang terjadi adalah kumpulan vesikel saat baru lahir yang
kemudian berkembang menjadi bula pada punggung telapak tangan,
lengan, lutut, tubuh. Alopecia dapat ditemukan di kepala pada bayi dengan
kelainan ini. Gangguan syaraf pusat dapat berupa kejang, microcephali,
dan retardasi mental. Kelaian juga didapatkan pada gigi dan
payudara.
Familial exudatif vitreoretinopathy adalah kelainan pembuluh
darah retina perifer yang dan traksi vitreus, tanpa disertai dengan penyakit
sistemik lainnya dan tidak berhubungan dengan prematuritas. Penyakit ini
diturunkan secara autosomal dominan, ditandai dengan kegagalan
vaskularisasi retina perifer bagian temporal, adanya gambaran
neovaskularisasi, deposit/eksudat subretinal akibat kebocoran vaskular
retina dan ablasio retina traksional.
Screening
Screening pada Retinopati Prematuritas merupakan aktivitas klinis yang
mutlak harus dilakukan mendeteksi awal Retinopati Prematuritas. Pemeriksaan
skrining ROP yang direkomendasi oleh American Academy of Pediatrics
dilakukan pada bayi dengan berat badan lahir <1500 gram, umur gestatsi ≤30
minggu, dan bayi dengan berat badan lahir 1500 – 2000 gram atau umur gestasi
>30 minggu dengan terapi oksigen atau klinis yang tidak stabil.
Onset ROP berhubungan lebih erat dengan post menstrual age (PMA) atau
post conceptional age dibandingkan dengan usia post natal atau usia kronologis.
Post menstrual age adalah usia gestasi saat lahir ditambah usia kronologis.
Multicenter Trial of Cryotherapy for Retinopathy of Prematurity (Cryo-ROP)
merekomendasikan jadwal pemeriksaan skrining awal ROP yang telah
dikonfirmasi oleh Light Reduction in ROP Study (LIGHT-ROP).
Komite Nasional ROP juga merekomendasikan pemeriksaan skrining
ROP pada tahun 2010 pada bayi dengan berat lahir ≤1500 gram, atau usia gestasi
≤34 minggu, atau bayi dengan berat badan lahir besar atau umur gestasi lebih tua
dengan permintaan neonatologis atau dokter spesialis anak. Rekomendasi untuk
pemeriksaan skrining ROP.
Penatalaksanaan
Regresi spontan terjadi pada 74,2 – 90 % kasus Retinopati Prematuritas.
Usaha preventif optimal berupa pengendalian faktor resiko dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya ROP. Tindakan dapat dilakukan pada kasus yang
diduga dapat berkembang menjadi retinal detachment dan beresiko tinggi
menyebabkan kebutaan pada perkembangannya, yaitu kategori pre-threshold
disease resiko tinggi atau threshold disease. ET-ROP atau Earlier
Treatment for ROP merekomendasikan Terapi Awal pada Retinopati
Prematuritas, sebagai berikut:
1. Observasi
Wait-and-watch dilakukan pada retinopati prematuritas dengan resiko
rendah, yaitu pada ROP tipe II untuk kemudian dilakukan tindakan jika ROP
bertambah berat menjadi tipe I, pre-threshold disease resiko tinggi atau
threshold disease. Pemeriksaan follow up dilakukan mengikuti jadwal sesuai
temuan awal
2. Tindakan
Peneliti – peneliti dalam studi Early Treatment for ROP (ET-ROP)
melakukan terapi pada keadaan prethreshold lebih cepat dibandingkan pada
studi CRYO-ROP. Menurut studi Earlier Treatment ini dilakukan pada
sejumlah bayi berusia 9 bulan dan ditemukan perbaikan visus dan keadaan
klinis yang signifikan dimana 14,5% lebih baik dibandingkan dengan 19,5%
pada saat threshold:
a. Cryotherapy
Cryotherapy dilaporkan pertama kali digunakan untuk Retinopati
prematuritas pada tahun 1972 dan pindah ke garis depan pengobatan
ROP setelah studi CRYO-ROP. Pada saat uji coba CRYO-ROP,
Threshold ROP didefinisikan sebagai Retinopati prematuritas stadium 3
pada zona I atau II dengan neovaskularisasi ekstraretina pada area lebih
dari lima arah jarum jam secara kontinu atau delapan arah jarum jam
secara kumulatif dan disertai plus disease. Keberhasilan cryotherapy
mencapai 80% pada threshold disease.29 Cryotherapy pada umumnya
dilakukan dengan pembiusan total. Tindakan ini dilakukan setelah pupil
dilebarkan dan eye speculum diposisikan dalam keadaan
mempertahankan kelopak mata agar tetap terbuka. Cryotherapy diaplikasikan
pada zona perifer avaskular dengan menggunakan hand-
held cryo-pencil. Cryo-pencil dapat digunakan sebagai scleral depressor
untuk melihat lapangan pandang perifer. Spot putih akan terlihat setelah
1 – 2 detik. Studi CRYO-ROP menunjukkan hasil penurunan
progresivitas dari 92% menjadi 75% dalam 3 bulan follow up pada kasus
pre-treshold resiko tinggi.27,36 Namun, Cryotherapy dapat menyebabkan
lebih banyak peradangan dalam patogenesis retinopati prematuritas dan
menimbulkan hasil yang lebih buruk dibandingkan laser.
b. Laser Fotokoagulasi
Laser Fotokoagulasi merupakan standar emas dari terapi retinopati
prematuritas yang bertujuan untuk mencegah progresi ke tractional
retinal detachment.37 Laser fotokoagulasi pada retina yang avaskular
menunjukkan hasil yang lebih baik daripada cryotherapy dan sekarang
cryotherapy sebagian besar telah diturunkan sebagai terapi sekunder
untuk pengelolaan ET-ROP tipe 1. Sebuah uji klinis prospektif pada 52 bayi
dengan threshold disease menunjukkan mata yang diterapi dengan
laser hampir tujuh kali lebih menunjukkan ketajaman visual 20/50 atau
lebih baik setelah pengobatan 5,8 tahun. Laser fotokoagulasi paling tepat
diaplikasikan dalam 72 jam setelah diagnosis. Laser ditembakkan pada
seluruh batas retina avaskular dengan oftalmoskop indirek. Laser
fotokoagulasi memberikan hasil visual yang lebih baik, kurang traumatik
secara sistemik serta lebih sedikit menginduksi terjadinya miopia
daripada cryotherapy.
c. Scleral bucking dan/atau lens-sparing vitrectomy
Pembedahan vitreous direkomendasikan untuk retinopati prematuritas
stadium 4A yang progresif dikarenakan stadium ini merupakan stadium akhir, di
mana penglihatan dapat diselamatkan dan pada perjalanan stadium 4A yang
progresif juga dapat berkembang menjadi stadium 5. Waktu operasi sangat
penting setelah stadium ROP benar – benar terdiagnosis jelas pada ROP stadium 4
progresif. Keadaan ini memicu tindakan operatif yang harus segera dilakukan.
Tindakan operatif dilakukan sebelum terjadinya dilaatasi pembuluh darah dan
tortuositas pembuluh retina atau proliferasi fibrovaskular yang meluas ke
bagian depan lensa karena bila kondisi ini terjadi akan membuat
pembedahan menjadi lebih sulit untuk menyelamatkan lensa.
d. Antivascular endhotelial growth factor (VGEF) therapy
VEGF merupakan mitogen paten sel endotel pembuluh darah pada
pertumbuhan pembuluh darah yang dipicu oleh jaringan hipoksia.38
Penghambatan VEGF diharapkan dapat menghambat vaskularisasi
patologis yang terkait dengan retinopati prematuritas. 38 Injeksi anti-
VEGF bertujuan meningkatkan vaskularisasi retina tanpa ditandai
kerusakan permanen pada retina perifer sehingga mempunyai resiko yang
lebih kecil dibandingkan terapi laser konvensional. 38 Terapi anti-VEGF
memiliki dua peranan pada retinal detachment (RD) dalam Retinopati
Prematuritas dimana anti-VEGF dapat digunakan sebagai terapi
tambahan dalam terapi retinal detachment namun disamping itu anti-
VEGF juga dapat menyebabkan suatu keadaan retinal detachment ketika
digunakan untuk terapi ROP stadium 1. 39 Ada dua jenis retinal
detachment yang dapat terjadi yang diakibatkan oleh penggunaan obat
anti-VEGF dalam pengobatan Retinopati Prematuritas. Pada tipe
pertama, retinal detachment berkembang segera setelah injeksi dimana
terapi yang diberikan terlambat dan sudah terdapat traksi yang signifikan
pada retina. Hal ini disebut ROP crunch. Tipe kedua retinal detachment
dapat terjadi dengan onset yang tertunda setelah penggunaan obat anti-
VEGF, meskipun awalnya terjadi regresi terlebih dahulu.
Daftar Pustaka
Badriah C, Amir I, Elvioza. Prevalence and Risk Factors of Retinopathy of
Prematurity. Paediatr Indones. 2012; 52:138-4

Dorta, P and Kychenthal, A. (2017). Treatment Of ROP With Anti-VEGF


Therapy: A Chilean Perspective. Retina Today, [online] (6). Available at:
http://www.retinatoday.com [Accessed 22 Oct. 2021].

Eva, Paul Riordan, John P Witcher. 2009. Vaughan dan Ashbury Optalmologi
Umum Edisi ke-17 . Jakarta: EGC. hal. 185-195

Graham, Robert H, et al. Central Artery Retinal Occlusion.[online].2014. [cited :


16-7-2015] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1223362-
overview

Gross AK, Wensel TG. Biochemical Cascade of Phototransduction. Dalam :


Krachmer JH, Mannis JM, Holland EJ, editor. Adler’s physiology of the eye.
Edisi 11. USA : Mosby Inc; 2011 hal 411 –7

Hellström, A, Smith LE, Dammann O. Retinopathy of Prematurity. Lancet


[internet]. 2013; 382(9902): 1445–1457. Available from: PMC

Ilyas Sidarta, Sri Rahayu Yulianti. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-5 . Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. hal. 10-1

Kahle, Werner, Michael Frotscher. 2003. Color Atlas and Textbook Of Human
Anatomy 3rd Volume. New York : Thieme p.338-41

Kanski, Jack J, Brad Bowling. Synopsis of Clinical Ophthalmology. 3 rd Edition.


Elsevier Saunders. p.255-6
Khurana, AK. 2007. Comprehensive Opthalmology 4th Edition. New Delhi : New
Age International p.260

Lang, Gerhard K. 2000. Ophthamology – A Short Textbook. New York : Thieme


p.299-323

Nathan, Niraj R,et.al. Branch Retinal Artery Occlusion. [online]. 2014. [citied : 8
Juni 2014] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1223362-
overview

Netter FH, Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology, 2002, Comtan: U.S.A.


P. 82

Pokja Nasional ROP dan Bayi Prematur. Bagaimana Mencegah ROP dengan
Fasilitas Terbatas di Indonesia. In: Indonesia National Workshop of Retinopathy
of
Prematurity (ROP) II. Surabaya. 2010: 1-8

Anda mungkin juga menyukai