PENDAHULUAN
Sistem visual dimulai dari retina dan diakhiri pada beberapa bagian di korteks
serebri. Setiap mata memproyeksi hantaran sinar pada lobus oksipital melalui
penyilangan akson dari bagian nasal pada setiap retina. Struktur penting yang terlibat
dalam proses konduksi visual pada jalur aferen adalah retina, nervus optikus, chiasma
optikum, traktus optikus, badan genikulatum lateral di dalam thalamus dan jalur
thalamokortikal. Sel-sel rod dan cone yang berada pada lapisan fotoreseptor retina
berfungsi menangkap cahaya dan mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls
saraf yang disebut dengan fototransduksi. Kemudian impuls saraf tersebut bergabung
membentuk nervus optikus, lalu dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks
penglihatan di lobus oksipital. Sistem visual primer diproyeksikan di daerah striata
dan peristriata pada korteks oksipital (Broadmann 17,18, dan 19).1,2,3
Evoked potentials (EP) adalah sinyal bioelektrik yang diproduksi oleh sistem
saraf pusat saat dipicu oleh suatu kejadian eksternal eksplisit. VEP mulai diketahui
pada tahun 1930an ketika awal digunakannya EEG. Pada 1934, Adrian dan Matthew
menyadari perubahan potensi pada EEG oksipital dapat diobservasi dengan
menggunakan stimulasi dari cahaya. Pada tahun 1965, Hirsch dkk merekam VEP
pada lobus oksipital dan mereka menemukan amplitudo terbesar yang direkam adalah
pada fissura kalkarina. Suatu penelitian untuk melokalisasi struktur dalam jalur visual
primer dilakukan oleh Szikla dan kawan-kawan.8,9
Respon visual evoked normal didapat apabila tidak ada lesi pada seluruh jaras
visual, jika terjadi kelainan pada jaras maka akan mengakibatkan bacaan VEP yang
tidak normal. VEP telah tersedia selama lebih dari tiga dekade. VEP merekam rata-
rata dari aktivitas lobus oksipital yang dibangkitkan dari stimulasi sistem visual.
Meskipun kemajuan pada teknologi pencitraan seperti MRI telah ada, namun VEP
tetap menjadi sebuah alat yang berguna untuk mendeteksi lesi pada jalur visual
sentral, terutama di dalam nervus optikus.6,7,8
Visual evoked potential (VEP) adalah teknik sederhana dan non invasif yang
digunakan untuk menilai integritas dan keadaan relatif dari maturitas jaras visual pada
bayi dan anak. VEP telah menjadi alat yang penting pada bidang pediatrik
ophtalmologi dan neurologi yang telah banyak diterapkan untuk memberikan
informasi prognostik pada beberapa kelainan visual pada anak. Pemeriksaan ini sesuai
1
untuk dilakukan pada bayi dan anak kecil yang tidak bisa mengkomunikasikan gejala
visual atau bekerjasama untuk dilakukan penilaian visus yang standar. Nilai klinis dari
tes VEP adalah bukan pada pendeteksian maupun menentukan diagnosis banding dari
penyakit pada anak, melainkan kekuatan penilaian VEP terletak pada pengukurannya
yang kuantitatif yang dapat menentukan derajat dari kelainan visual. VEP ini berguna
untuk merekam respon listrik di korteks visual yang diawali dengan stimulus kilatan
cahaya warna merah. Fungsi utamanya adalah untuk mengukur integritas fungsional
jalur visual melalui nervus optikus hingga ke korteks visual. 7,8,9
Pada makalah ini akan dibahas mengenai fisiologi penglihatan, peran VEP
secara klinis dan penyakit-penyakit pada anak yang dapat diperiksa dengan VEP.
2
BAB II
JALUR PENGLIHATAN
2.1. Makula
Jaras visual aferen dimulai dari dalam retina. Retina merupakan lapisan
terdalam bola mata yang merupakan suatu membran yang tipis, halus dan transparan.
Retina memiliki ketebalan 0,12 mm di ora serata, 0,18 mm di ekuator , dan 0,56 mm
di sekeliling papil nervus optikus. Pada polus posterior terdapat makula lutea dan
papil nervus optikus. Makula lutea terlihat sebagai regio yang lebih gelap di sentral
retina dan dapat terlihat memiliki rona kuning karena pigmen xanthophyl, lutein, dan
zeaxanthin. Pigmen-pigmen ini terdapat pada seluruh retina, tetapi konsentrasi
terbesar adalah di makula. Pigmen secara primer terletak di dalam serat di
fotoreseptor tetapi juga ditemukan di segmen luar sel batang. Bayi baru lahir hanya
memiliki sedikit pigmen, tetapi secara bertahap terakumulasi dari sumber diet.
Pigmen ini berlaku sebagai filter, menyerap sinar terlihat dengan gelombang pendek
untuk mereduksi aberasi kromatis tapi dapat juga memiliki efek antioksidan, sebagai
peran protektif melawan sinar ultraviolet.1,2,3
Makula lutea berdiameter sekitar 5,5 mm pusatnya sekitar 3,5mm lateral ke
tepi diskus dan sekitar 1 mm inferior ke pusat diskus (gambar 1). Bagian paling
sentral dari makula, yakni fovea dibentuk oleh depresi dengan lebar sekitar 0,35mm
dan mewakili bagian retina dengan tajam penglihatan terbesar. Fovea, dengan
komposisi anatomi dan fotoreseptornya, dikhususkan untuk ketajaman spasial tinggi
dan penglihatan warna. Fovea adalah bagian tanpa pembuluh darah retina yang
dikenal sebagai foveal avascular zone (FAZ). Daerah fovea terdapat pada aksis
optikal dari bola mata, karena seberkas sinar yang lurus ke pusat sistem lensa mata
akan jatuh pada fovea.4,6
Di tengah fovea terdapat daerah yang dikenal dengan foveola, memiliki
diameter 0,35 mm dimana dipenuhi oleh sel kerucut. Foveola memiliki densitas
tertinggi dari fotoreseptor sel kerucut (119,000/mm2), yang disempitkan dan
dipanjangkan pada lokasi ini untuk memaksimalkan deteksi cahaya yang lebih jauh.
Secara klinis dikenal adanya refleks fovea, meredup atau hilangnya refleks ini dapat
mengindikasikan penyakit makula dini.5,6
Di tengah foveola terdapat sebuah penekanan kecil yang dikenal sebagai
umbo. Di sekeliling fovea terdapat cincin berdiameter 0,5mm, disebut dengan area
3
parafoveal, dimana terdapat lapisan sel ganglion, inti dalam, pleksiform luar yang
paling tebal. Di sekeliling zona ini, sebuah cincin dengan lebar sekitar 1,5 mm
diistilahkan dengan zona perifoveal.4,5
4
dari nervus optikus intraorbital memungkinkan gerakan bebas dari rotasi bola mata
dan juga pergerakan aksial di dalam orbita. 2,3
Saat nervus optikus memasuki kanalis optikus, pembungkus duramater
bergabung dengan periorbita, juga dikelilingi oleh annulus Zinn, yang berfungsi
sebagai origo dari empat otot rektus dan oblik superior. Di dalam kanalis optikus,
nervus optikus sejalan dengan arteri oftalmika di sebelah inferior dan berakhir di
sebelah superior sebagai prosesus klinoideus anterior. Di sebelah medial, nervus
optikus dipisahkan dari sinus sphenoidalis oleh tulang yang tipis. Kanalis optikus
normalnya berukuran kira kira 8-10 mm dan lebarnya 5-7 mm. Kanalis memanjang
ke superior dan medial. Pada perjalanan intrakranialnya, nervus optikus lewat di
bawah lipatan duramater (ligamen falsiformis) Saat sudah berada di intrakranial,
nervus optikus tidak lagi memiliki pembungkus. 1,3
5
BGL terletak di thalamus posterior di bawah dan di lateral dari pulvinar dan di
atas dari resesus lateral dari sisterna ambien. BGL adalah sebuah struktur berpuncak
runcing dan berbentuk seperti jamur yang dibagi menjadi 6 tingkat. 4 tingkatan
superior adalah terminal dari akson P-cell yaitu sel ganglion dengan lapang reseptif
yang lebih kecil dan bertanggung jawab terhadap pengaturan resolusi spasial
maksimal dan persepsi warna. Dua tingkatan inferior menerima input dari serabut M-
cell, yaitu sel ganglion dengan lapang reseptif yang lebih besar dan lebih sensitif
untuk mendeteksi gerakan. 3,5,6
BAB III
6
VISUAL EVOKED POTENTIAL (VEP)
7
Daerah yang diduga menghasilkan VEP adalah peristriata dan korteks striata
oksipital. Pemanjangan dari latensi P100 adalah abnormalitas yang banyak dan biasa
ditemukan pada disfungsi nervus optikus. VEP, terdiri dari gelombang positif pada
awalnya dan gelombang negatif pada akhir, direkam terutama pada bagian oksipital
kontralateral dari lapang pandang visual yang distimulasi. Gelombang positif pada
awal VEP dibagi menjadi dua komponen:
Komponen awal dengan puncak latensi sekitar 70-90 msec
Komponen akhir dengan puncak latensi sekitar 100-120 msec8,9
8
Elektroda standar silver-chloride atau elektroda yang dilapisi emas (gold-disc
surface) merupakan elektroda yang direkomendasikan untuk rekaman VEP.
Elektroda harus difiksasi pada kepala dan dipertahankan sepanjang prosedur seperti
yang direkomendasikan. Pada neonatus, elektroda harus ditempelkan pada kulit
kepala menggunakan plester yang tidak bersifat iritatif dan juga gel salin, dan
elektroda harus ditempelkan dengan lembut untuk mencegah agitasi maupun iritasi
yang tidak diperlukan. Pada bayi yang lebih besar dan pada anak-anak, elektroda
dapat ditempelkan dengan gel adhesif dan kasa (atau kapas) atau dengan collodion
dan kasa. Penggunaan collodion dan kasa biasanya sudah cukup, dan lebih mudah saat
pemasangan serta saat dilepas setelah selesai pemeriksaan. Walaupun elektroda yang
ditempelkan dengan gel lebih mudah terlepas pada anak yang rewel, elektroda jenis
ini lebih mudah untuk langsung dipasang. Apabila anak rewel, dan elektroda terlepas
terus menerus maka anak ini mungkin terlalu rewel untuk dapat dilakukan perekaman
VEP. Gabungan dari satu sampai empat elektroda di kulit kepala bagian oksipital
biasanya digunakan dengan respon maksimum yang diperkirakan pada Oz. Referensi
bisa terhadap Fz, lobulus telinga, dan elektroda mastoid. Pemilihan dari referensi
hanya memiliki efek yang sangat kecil pada komponen amplitudo.8,9
Jangka waktu analisa biasanya diantara 200-500 msec setelah onset dari setiap
stimulasi visual. Apabila dilakukan tes pada bayi, waktu analisa harus 300msec atau
lebih panjang karena komponen dari VEP mungkin mempunyai puncak latensi yang
panjang pada saat awal maturasi. Pada kebanyakan anak-anak dan orang dewasa
biasanya diuji menggunakan waktu analisa sekitar 250 msec atau kurang. Batas
frekuensi amplifier adalah 1Hz dan 100Hz. Sensitivitas amplifier bervariasi yaitu +/-
10 uV pada anak dan orang dewasa, +/- 20-50 uV pada balita dan anak kecil. 7,8
10
3.3.2. Stimulasi Pola
Pola stimulus yang direkomendasikan adalah pola papan catur dengan pola
hitam dan putih. Semua kotak harus berbentuk persegi dengan jumlah gelap dan
terang yang seimbang Pola papan catur dengan kontras tinggi dengan gerakan
membolak-balik (reversing) adalah pola yang biasa digunakan karena pola ini dapat
menghasilkan respon dengan amplitudo yang besar dan mudah untuk ditampilkan di
layar komputer (gambar 5). Stimulus berpola didefinisikan sebagai sudut visual yang
terukur pada sisi persegi dalam hitungan derajat (o) atau menit dari busur (arc) yang
terukur pada mata. Satu derajat sama dengan 60 menit dari busur. Ukuran dari kotak
persegi individual biasanya dilaporkan dalam sudut visual dalam menit busur.
Pattern reversal VEP, dapat diproduksi dengan stimulasi papan catur yang
menghasilkan kotak yang lebih besar 1 dengan sudut visual 60 menit busur dan kotak
yang lebih kecil 0.25 yaitu 15 menit busur. 14,15
VEP dapat dipicu dengan perubahan pola (reversal atau onset/offset atau
gerakan dari persegi). VEP kemudian dibagi menjadi transient VEP dan steady state
VEP. 13,14
11
3.4. Persiapan Subjek
Kemampuan pasien untuk fokus dan mempelajari pola yang ditampilkan
sangatlah krusial pada pemeriksaan VEP dengan stimulasi pola. Jika terjadi
kehilangan fokus terhadap pola maka akan mempengeruhi respon latensi, amplitdo
dan bentuk gelombang. Sikloplegik biasanya tidak boleh digunakan saat dilakukan
pemeriksaan. Pasien dengan kelainan refraksi harus diperiksa terlebih dahulu dan
dilakukan koreksi menggunakan lensa. Visus harus diukur untuk semua pasien.
Kelelahan dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk menjaga fokus pada benda
dalam jarak dekat. Untuk menghindari efek ini, maka subjek tidak boleh ditempatkan
lebih dekat dari 70 cm dari stimulus. Bila subjek memiliki defek lapang pandang yang
nampak, maka harus dilakukan tes konfrontasi dan hasil tes tersebut harus dicatat. 14,16
Pasien harus dapat menjaga fiksasi visual saat pemeriksaan. Posisi mata harus
dimonitor selama dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan harus dihentikan apabila
pandangan maupun perhatian dari subjek teralihkan. Pasien yang berpura-pura dapat
menghasilkan respon yang nampak abnormal dengan secara sengaja tidak
memfokuskan mata pada pola maupun tidak menjaga fiksasi. Penggunaan sikloplegik
untuk melumpuhkan akomodasi dapat berguna untuk mencegah hilangnya fokus,
apabila kelainan refraksi telah dikoreksi. Variasi dari ukuran pupil dapat
mempengaruhi hasil tes. Ukuran pupil yang sangat kecil atau ukuran pupil yang tidak
simetris dapat menghasilkan respon latensi, atau amplitudo yang abnormal, terutama
bila ditemukan juga adanya katarak atau opasitas media refrakta. Ukuran pupil harus
dicantumkan pada hasil tes apabila dapat mempengaruhi interpretasi klinis. 14,16
12
3.5.1. Kriteria Latensi
Terdapat 2 kriteria untuk abnormalitas latensi pada gelombang hasil
pemeriksaan VEP, yakni:
1. Pemanjangan abnormal latensi puncak P100
2. Pemanjangan abnormal perbedaan latensi interokular P100, dengan latensi
lebih panjang pada mata yang abnormal
Abnormalitas latensi mengindikasikan adanya disfungsi jaras visual hanya bila
kelainan mata dan retina telah disingkirkan dengan pemeriksaan fisik yang
sesuai.14,15,16
13
berlebih pada komponen ini, dapat dianggap sebagai abnormalitas klinis yang
signifikan bila ditemukan komponen P100 yang normal. 14,15
3.6.5. Ambliopia
Ambliopia adalah salah satu masalah yang sering dijumpai pada pediatrik
oftalmologi, dan kebanyakan kasus ditangani tanpa pemeriksaan VEP secara rutin.
15
Tetapi, pada beberapa pasien yang spesifik, VEP dapat menjadi alat yang sangat
berguna. Bayi dengan risiko ambliopia berat mungkin memerlukan tindakan
pembedahan yang sangat awal untuk ptosis maupun katarak kongenital. Pemeriksaan
VEP merupakan sebuah pengukuran yang sensitif terhadap fungsi visual dan dapat
digunakan untuk membantu menentukan apakah tindakan pembedahan diperlukan
pada kasus yang meragukan dan untuk memonitor perkembangan setelah dilakukan
tata laksana bedah. Pada pasien dengan ambliopia yang lebih ringan yang terkait
dengan strabismus atau anisometropia, pattern VEP berguna untuk mengevaluasi dan
memonitor anak yang belum dapat berbicara atau anak yang memiliki disabilitas.
Pattern VEP monokular sensitif untuk deteksi dini ambliopia dan sangat berguna
untuk memonitor hasil dan perkembangan terapi. Penemuan tipikal pada ambliopia
adalah berkurangnya amplitudo VEP pada mata yang ambliopia (gambar 6).18,19
Gambar 6. Perbandingan pola VEP pada mata normal (atas) dan ambliopia (bawah)18
16
Saat bayi muda dianggap tidak responsif secara visual, VEP sangat berguna
untuk membedakannya dengan DVM dan penyebab kelainan lain yang lebih berat
yang menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen. Baik flash VEP maupun
pattern VEP biasanya ada pada bayi dengan DVM walaupun pada masa kebutaan
yang dinilai dari tingkah laku bayi, dan biasanya normal saat dibandingkan dengan
kontrol dengan usia yang sesuai. Pada beberapa pasien dengan DVM, VEP mungkin
menunjukkan pemanjangan latensi, amplitudo kecil atau bentukan gelombang yang
abnormal (gambar 7). Bacaan VEP akan kembali normal saat penglihatan pulih pada
pasien ini. Sehingga VEP normal merupakan tanda prognostik yang baik dalam
DVM, tetapi temuan VEP yang jelek belum tentu dihubungkan dengan prognosis
penglihatan yang buruk. Sebaliknya, bayi yang buta karena kelainan retina atau
kelainan nervus optikus akan memiliki bacaan VEP yang abnormal atau bahkan tidak
terbaca pada awal kehidupan. 19,21
Gambar 7. Pola VEP pada bayi DVM usia 10 minggu dan 6 bulan19
17
Evaluasi ulang beberapa bulan setelahnya menunjukkan penurunan amplitudo yang
signifikan, tetapi dengan latensi yang normal untuk P100. Sehingga Flash VEP tidak
dapat memberikan prediksi dari outcome visual. 19,20
3.6.8. Keganasan
Tumor yang mengkompresi nervus optikus atau kiasma optik atau tumor di
dalam nervus optik menunjukkan abnormalitas unilateral P100. Latensi P100
mungkin memanjang, tetapi yang lebih sering terjadi adalah penurunan amplitudo
(gambar 8). Morfologi dari gelombang VEP sangat terganggu dan P100 mungkin
tidak terekam. Neoplasma yang bisa menyebabkan kompresi nervus optikus adalah
glioma nervus optikus, meningioma, kraniofaringioma, dan tumor pituitari. Giant
aneurysma bisa juga menyebabkan kompresi nervus optikus. Perbaikan dari P 100
mungkin terjadi setelah pengangkatan tumor dilakukan. Anak dengan
neurofibromatosis tipe 1 sangat rentan untuk pembentukan glioma nervus optik. VEP
merupakan suatu tes yang sensitif untuk mengikuti perkembangan kelainan patologi
saraf selain MRI. Semua anak dengan NF1 menunjukkan perlambatan VEP terutama
pada usia sekolah. 19,21
18
Gambar 9. Flash VEP pada anak dengan NF 121
19
BAB IV
KESIMPULAN
1. Struktur penting yang terlibat dalam proses konduksi visual pada jalur aferen adalah
retina, nervus optikus, chiasma optikum, traktus optikus, badan genikulatum lateral di
dalam thalamus dan jalur thalamokortikal.
2. Visual evoked potential (VEP) adalah teknik sederhana dan non invasif yang
digunakan untuk menilai integritas dan keadaan relatif dari maturitas jaras visual
pada bayi dan anak, yang menggunakan stimulasi kilatan cahaya ataupun pola
checkerboard.
3. Bentuk gelombang biasanya bermula dengan puncak negatif (N1 atau N75)
diikuti dengan puncak positif yang besar (P1 atau P100) kemudian diikuti lagi
dengan puncak negatif (N2 atau N135). Nilai maksimum pada P100 adalah 115
msec pada pasien usia kurang dari 60 tahun, pada usia lebih dari 60 tahun, nilai
pada wanita adalah 120 msec dan pada laki-laki 125 msec.
4. Nilai rekaman VEP yang abnormal memiliki beberapa kriteria yakni kriteria
latensi, amplitudo, dan bentuk gelombangnya.
5. Pemeriksaan VEP memiliki beberapa manfaat yakni dapat memperkirakan visus
bayi atau anak yang kurang kooperatif, mengkonfirmasi koreksi kelainan refraksi,
membedakan kelainan retina dan makula, menyingkirkan kelainan media refraksi,
pada kasus delayed visual maturation, ambliopia, dan keganasan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Neural Retina. In: Fundamental and
Principles of Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology. Section 2: 2014-2015. p: 257-261.
2. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Neuroophthalmic Anatomy. In:
Neuroophthalmology. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology.
Section 12: 2014-2015. p: 24-30.
3. Cleary TS, Reichel E. Electrophysiology. In: Yanoff and Duker Ophthalmology.
China: Mosby Elsevier. 2009. pp: 545-546.
4. Eva PR. Examination of Ophthalmology. In: Vaughan and Asbury General
Ophthalmology. Singapore: McGraw Hill Company; 2008. pp: 58-59.
5. Khurana AK. Physiology of Vision. In: Ophthalmology. New Delhi: New Age
International. 2009. p: 14-18.
6. Toove J. Martin. The Eye and Forming the Image. In: Visual System. United
States of America: Cambridge University Press. 2008. p: 18-41.
7. Taylor, Margot, Daphne McCulloh. Visual Evoked Potentials in Infants and
Children. Journal of Clinical Neurophysiology · New York: University of
Toronto. 1992. p: 356-372.
8. Odom JV, Leys M, Weinstein GW. Clinical Visual Electrophysiology. In:
Duane’s Ophthalmology. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins. Vol. 3:
2006.
9. Ruchi, Kothari, Singh Smita, Jain Manish. Utility of Flash Visual Evoked
Potentials in Infants and Children with Delayed Milestones. India: Department
of Ophthalmology, Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences, India.
2010. p: 7-12.
10. Schlote T. Optic System and Physiology. In: Pocket Atlas of Ophthalmology.
New York: Thieme; 2006. p: 8-13.
11. Trattler WB, Kaiser PK, Friedman NJ. Posterior Segment. In: Review of
Ophthalmology, 2nd Ed, Elsevier; 2012. p: 289-297.
12. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Retinal Electrophysiology. In: Fundamental
and Principles of Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology. Section 2: 2014-2015. pp: 268-269.
21
13. Miyake Y, Shinoda K. Clinical Electrophysiology. In: Retina 5th Ed Vol.1.
China: Elsevier Mosby; 2013. p: 202-222.
14. American Clinical Neurophysiology Society. Recommended Standards for
Visual Evoked Potentials. Guideline 9B. 2008. p: 1-20.
15. Simon, John, John B. Siegfried, Monte D. Mills. A New Visual Evoked
Potential System for Vision Screening in Infants and Young Children.
Pennysilvania: Department of Ophthalmology Albany Medical College. 2004.
p: 549-554.
16. Bokariya, Pradeep, Smita Singh, Ramji Singh. A Comprehensive Review on
Methodologies Employed for Visual Evoked Potentials. India: Hindawi
Publishing Corporation Scientifica. 2016. p: 1-9.
17. Odom, Vernon, Michael Bach, Mitchell Brigel. ISCEV Standard for Clinical
Visual Evoked Potentials (2009 Update). Morgantown: West Virginia
University Eye Institute. 2009. p: 111-119.
18. Sokol, Samuel. Abnormal Evoked Potential Latencies in Amblyopia. USA:
British Journal of Ophthalmology. 1993. p: 310-314.
19. Sharma, Ruby, Sandeep Joshi, Avnish Kumar. Visual Evoked Potentials:
Normative Values and Gender Differences. India: Journal of Clinical and
Diagnostic Research. 2015. p:13-29.
20. McGlone, Laura, Hamilton, Daphne McCulloh. Neonatal Visual Evoked
Potentials in Infants Born to Mothers Prescribed Methadone. UK: Official
Journal of The American Academy of Pediatrics. 2013. p: 857-863.
21. Kraemer, Maria, Maths Abrahamson, Anders Sjostrom. The Neonatal
Development of The Light Flash Visual Evoked Potential. 1999. p: 21-39.
22