Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem visual dimulai dari retina dan diakhiri pada beberapa bagian di korteks
serebri. Setiap mata memproyeksi hantaran sinar pada lobus oksipital melalui
penyilangan akson dari bagian nasal pada setiap retina. Struktur penting yang terlibat
dalam proses konduksi visual pada jalur aferen adalah retina, nervus optikus, chiasma
optikum, traktus optikus, badan genikulatum lateral di dalam thalamus dan jalur
thalamokortikal. Sel-sel rod dan cone yang berada pada lapisan fotoreseptor retina
berfungsi menangkap cahaya dan mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls
saraf yang disebut dengan fototransduksi. Kemudian impuls saraf tersebut bergabung
membentuk nervus optikus, lalu dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks
penglihatan di lobus oksipital. Sistem visual primer diproyeksikan di daerah striata
dan peristriata pada korteks oksipital (Broadmann 17,18, dan 19).1,2,3
Evoked potentials (EP) adalah sinyal bioelektrik yang diproduksi oleh sistem
saraf pusat saat dipicu oleh suatu kejadian eksternal eksplisit. VEP mulai diketahui
pada tahun 1930an ketika awal digunakannya EEG. Pada 1934, Adrian dan Matthew
menyadari perubahan potensi pada EEG oksipital dapat diobservasi dengan
menggunakan stimulasi dari cahaya. Pada tahun 1965, Hirsch dkk merekam VEP
pada lobus oksipital dan mereka menemukan amplitudo terbesar yang direkam adalah
pada fissura kalkarina. Suatu penelitian untuk melokalisasi struktur dalam jalur visual
primer dilakukan oleh Szikla dan kawan-kawan.8,9
Respon visual evoked normal didapat apabila tidak ada lesi pada seluruh jaras
visual, jika terjadi kelainan pada jaras maka akan mengakibatkan bacaan VEP yang
tidak normal. VEP telah tersedia selama lebih dari tiga dekade. VEP merekam rata-
rata dari aktivitas lobus oksipital yang dibangkitkan dari stimulasi sistem visual.
Meskipun kemajuan pada teknologi pencitraan seperti MRI telah ada, namun VEP
tetap menjadi sebuah alat yang berguna untuk mendeteksi lesi pada jalur visual
sentral, terutama di dalam nervus optikus.6,7,8
Visual evoked potential (VEP) adalah teknik sederhana dan non invasif yang
digunakan untuk menilai integritas dan keadaan relatif dari maturitas jaras visual pada
bayi dan anak. VEP telah menjadi alat yang penting pada bidang pediatrik
ophtalmologi dan neurologi yang telah banyak diterapkan untuk memberikan
informasi prognostik pada beberapa kelainan visual pada anak. Pemeriksaan ini sesuai
1
untuk dilakukan pada bayi dan anak kecil yang tidak bisa mengkomunikasikan gejala
visual atau bekerjasama untuk dilakukan penilaian visus yang standar. Nilai klinis dari
tes VEP adalah bukan pada pendeteksian maupun menentukan diagnosis banding dari
penyakit pada anak, melainkan kekuatan penilaian VEP terletak pada pengukurannya
yang kuantitatif yang dapat menentukan derajat dari kelainan visual. VEP ini berguna
untuk merekam respon listrik di korteks visual yang diawali dengan stimulus kilatan
cahaya warna merah. Fungsi utamanya adalah untuk mengukur integritas fungsional
jalur visual melalui nervus optikus hingga ke korteks visual. 7,8,9
Pada makalah ini akan dibahas mengenai fisiologi penglihatan, peran VEP
secara klinis dan penyakit-penyakit pada anak yang dapat diperiksa dengan VEP.

2
BAB II
JALUR PENGLIHATAN

2.1. Makula
Jaras visual aferen dimulai dari dalam retina. Retina merupakan lapisan
terdalam bola mata yang merupakan suatu membran yang tipis, halus dan transparan.
Retina memiliki ketebalan 0,12 mm di ora serata, 0,18 mm di ekuator , dan 0,56 mm
di sekeliling papil nervus optikus. Pada polus posterior terdapat makula lutea dan
papil nervus optikus. Makula lutea terlihat sebagai regio yang lebih gelap di sentral
retina dan dapat terlihat memiliki rona kuning karena pigmen xanthophyl, lutein, dan
zeaxanthin. Pigmen-pigmen ini terdapat pada seluruh retina, tetapi konsentrasi
terbesar adalah di makula. Pigmen secara primer terletak di dalam serat di
fotoreseptor tetapi juga ditemukan di segmen luar sel batang. Bayi baru lahir hanya
memiliki sedikit pigmen, tetapi secara bertahap terakumulasi dari sumber diet.
Pigmen ini berlaku sebagai filter, menyerap sinar terlihat dengan gelombang pendek
untuk mereduksi aberasi kromatis tapi dapat juga memiliki efek antioksidan, sebagai
peran protektif melawan sinar ultraviolet.1,2,3
Makula lutea berdiameter sekitar 5,5 mm pusatnya sekitar 3,5mm lateral ke
tepi diskus dan sekitar 1 mm inferior ke pusat diskus (gambar 1). Bagian paling
sentral dari makula, yakni fovea dibentuk oleh depresi dengan lebar sekitar 0,35mm
dan mewakili bagian retina dengan tajam penglihatan terbesar. Fovea, dengan
komposisi anatomi dan fotoreseptornya, dikhususkan untuk ketajaman spasial tinggi
dan penglihatan warna. Fovea adalah bagian tanpa pembuluh darah retina yang
dikenal sebagai foveal avascular zone (FAZ). Daerah fovea terdapat pada aksis
optikal dari bola mata, karena seberkas sinar yang lurus ke pusat sistem lensa mata
akan jatuh pada fovea.4,6
Di tengah fovea terdapat daerah yang dikenal dengan foveola, memiliki
diameter 0,35 mm dimana dipenuhi oleh sel kerucut. Foveola memiliki densitas
tertinggi dari fotoreseptor sel kerucut (119,000/mm2), yang disempitkan dan
dipanjangkan pada lokasi ini untuk memaksimalkan deteksi cahaya yang lebih jauh.
Secara klinis dikenal adanya refleks fovea, meredup atau hilangnya refleks ini dapat
mengindikasikan penyakit makula dini.5,6
Di tengah foveola terdapat sebuah penekanan kecil yang dikenal sebagai
umbo. Di sekeliling fovea terdapat cincin berdiameter 0,5mm, disebut dengan area
3
parafoveal, dimana terdapat lapisan sel ganglion, inti dalam, pleksiform luar yang
paling tebal. Di sekeliling zona ini, sebuah cincin dengan lebar sekitar 1,5 mm
diistilahkan dengan zona perifoveal.4,5

Gambar 1. Anatomi makula1

2.2. Nervus Optikus


Secara anatomis nervus optikus dimulai dari diskus optikus, tetapi secara
fisiologis dan fungsional dimulai dari dalam lapisan sel ganglion yang melapisi
seluruh bagian dari retina. Bagian pertama dari nervus optikus akan menembus sklera
melalui lamina kribrosa. Akson dari nervus optikus bergantung pada produksi
metabolik di dalam korpus sel ganglion di retina. Transpor aksonal dari molekul-
molekul, organel subselular, dan produk metabolik, terjadi sepanjang nervus optikus
dan merupakan sistem yang membutuhkan energi dan memerlukan konsentrasi
oksigen yang tinggi. Sistem transpor aksonal dapat dibagi menjadi kecepatan lambat,
intermediate dan cepat. Sistem transpor aksonal sensitif terhadap iskemik, inflamasi
dan proses kompresi.1,2,3
Di posterior dari sklera, nervus optikus memiliki pembungkus duramater yang
bersentuhan dangan periorbita dari kanalis optikus dan sebuah membran arakhnoid
yang melindungi akson dan menempel dengan arakhnoid dari spasium intracranial
subdural melalui kanalis optikus. Keadaan ini memungkinkan sirkulasi bebas dari
cairan serebrospinal (CSF) di sekeliling nervus optikus sampai ke diskus optikus.
Posterior dari lamina kribrosa, nervus optikus juga mendapatkan lapisan myelin, yang
meningkatkan diameternya menjadi kira-kira 3 mm (diameter 6mm, termasuk
pembungkus nervus optikus) dari 1.5 mm dari diskus optikus. Nervus optikus
intraorbital memanjang hingga sekitar 30 mm ke kanalis otikus. Panjang tambahan

4
dari nervus optikus intraorbital memungkinkan gerakan bebas dari rotasi bola mata
dan juga pergerakan aksial di dalam orbita. 2,3
Saat nervus optikus memasuki kanalis optikus, pembungkus duramater
bergabung dengan periorbita, juga dikelilingi oleh annulus Zinn, yang berfungsi
sebagai origo dari empat otot rektus dan oblik superior. Di dalam kanalis optikus,
nervus optikus sejalan dengan arteri oftalmika di sebelah inferior dan berakhir di
sebelah superior sebagai prosesus klinoideus anterior. Di sebelah medial, nervus
optikus dipisahkan dari sinus sphenoidalis oleh tulang yang tipis. Kanalis optikus
normalnya berukuran kira kira 8-10 mm dan lebarnya 5-7 mm. Kanalis memanjang
ke superior dan medial. Pada perjalanan intrakranialnya, nervus optikus lewat di
bawah lipatan duramater (ligamen falsiformis) Saat sudah berada di intrakranial,
nervus optikus tidak lagi memiliki pembungkus. 1,3

2.3. Chiasma Optikum


Chiasma optikum berukuran kira-kira 12 mm dan panjangnya 8 mm kearah
anteroposterior, serta ketebalan 4 mm. Chiasma berposisi miring condong 45 dan
disuplai oleh cabang kecil yang berasal dari proksimal arteri cerebri anterior dan arteri
communicans anterior. Chiasma terletak anterior dari hipotalamus dan anterior dari
ventrikel ketiga (membentuk bagian dari dinding anterior dan mengakibatkan
terjadinya invaginasi) sekitar 10 mm diatas dari sella. Lokasi pasti dari chiasma jika
dibandingkan dengan posisi sella adalah bermacam-macam. Kebanyakan terletak
tepat di atas, tetapi hampir 17% terletak anterior (prefixed) dan pada 4 % terletak
posterior (postfixed).4,5

2.4. Traktus Optikus


Serabut yang keluar dari chiasma kemudian berlanjut melingkari
diencephalon. Sebelum sampai badan genikulatum lateral (BGL), serabut yang
terlibat dengan jalur reflek pupil akan keluar ke nukleus pretektal, serabut lain keluar
ke lapisan superfisial dari kolikulus superior lewat brachium.5,6

2.5. Badan Genikulatum Lateral

5
BGL terletak di thalamus posterior di bawah dan di lateral dari pulvinar dan di
atas dari resesus lateral dari sisterna ambien. BGL adalah sebuah struktur berpuncak
runcing dan berbentuk seperti jamur yang dibagi menjadi 6 tingkat. 4 tingkatan
superior adalah terminal dari akson P-cell yaitu sel ganglion dengan lapang reseptif
yang lebih kecil dan bertanggung jawab terhadap pengaturan resolusi spasial
maksimal dan persepsi warna. Dua tingkatan inferior menerima input dari serabut M-
cell, yaitu sel ganglion dengan lapang reseptif yang lebih besar dan lebih sensitif
untuk mendeteksi gerakan. 3,5,6

2.5. Korteks Serebri


Dengan mengikuti sinaps di dalam BGL, akson akan berjalan di posterior saat
radiasio optikum berakhir di korteks visual primer (kalkarina) di lobus oksipital.
Korteks visual primer (yang sebelumnya disebut sebagai V1, korteks striata atau area
Broadmann 17) terletak pada fissura kalkarina horizontal, dimana membagi
permukaan medial dari lobus oksipital. Serabut dari radiation optika akan berakhir
pada lapisan ke-4 dari 6 lapisan pada korteks visual primer. Serabut makular berakhir
lebih ke posterior. Korteks sangat berperan dalam aktivitas retina sentral, dengan
50%-60% dari korteks merespon aktivitas di dalam 10 sentral dan kira-kira 80% dari
korteks berfungsi untuk aktivitas makular (di dalam 30). 4,6,10

BAB III

6
VISUAL EVOKED POTENTIAL (VEP)

3.1 Dasar Pemeriksaan VEP


Visual evoked potential (VEP) adalah alat untuk merekam respon listrik
seluruh korteks visual yang dirangsang atau distimulasi oleh kilatan cahaya. VEP
dapat mengidentifikasi kelainan visual pada pasien dengan keluhan pada penglihatan
dengan tanpa temuan objektif pada pemeriksaan dan pada pasien yang tidak
menunjukkan adanya gejala visual. VEP merupakan salah satu pemeriksaan
elektrofisiologi mata dan bersifat objektif. Untuk melakukan VEP pupil tidak perlu
didilatasi dengan obat-obatan midriatik. Pada stimulasi monokular, apabila
digunakan flash stimulation, harus dipastikan tidak ada cahaya yang masuk ke dalam
mata yang tidak diperiksa. Sehingga penutup mata yang kencang diberikan pada mata
yang tidak diperiksa. Untuk pemeriksaan VEP, keadaan yang relaks ataupun kondisi
tidur sangat dibutuhkan. Tetapi, pada bayi prematur, komponen kortikal bisa
dipengaruhi oleh kondisi tidur. Bayi prematur harus dalam keadaan sadar penuh
ataupun fase tidur aktif saat dilakukan pemeriksaan.7,8,9
Bentuk gelombang biasanya bermula dengan puncak negatif (N1 atau N75)
diikuti dengan puncak positif yang besar (P1 atau P100) kemudian diikuti lagi dengan
puncak negatif (N2 atau N135) (gambar 2). Nilai maksimum pada P100 adalah 115
msec pada pasien usia kurang dari 60 tahun, sedangkan pada usia lebih dari 60 tahun,
nilai pada wanita adalah 120 msec dan pada laki-laki 125 msec. Morfologi “W” pada
bentuk gelombang adalah variasi individual tetapi penurunan frekuensi stimulasi dari
2 Hz mengubah bentuk “W” menjadi puncak P100 yang konvensional. 7,8

Gambar 2. Bentuk sinyal elektrik VEP7

7
Daerah yang diduga menghasilkan VEP adalah peristriata dan korteks striata
oksipital. Pemanjangan dari latensi P100 adalah abnormalitas yang banyak dan biasa
ditemukan pada disfungsi nervus optikus. VEP, terdiri dari gelombang positif pada
awalnya dan gelombang negatif pada akhir, direkam terutama pada bagian oksipital
kontralateral dari lapang pandang visual yang distimulasi. Gelombang positif pada
awal VEP dibagi menjadi dua komponen:
 Komponen awal dengan puncak latensi sekitar 70-90 msec
 Komponen akhir dengan puncak latensi sekitar 100-120 msec8,9

3.2. Elektroda VEP


Elektroda standar berbentuk cakram ditempatkan pada area pada kulit kepala
yang sebelumnya telah disiapkan dengan menghilangkan minyak, dan dioleskan gel
konduktor atau electrode paste yang dioleskan perlahan pada area dengan cotton bud.
VEP yang ditimbulkan oleh rangsangan flash dapat direkam dari banyak lokasi kulit
kepala pada manusia. Rangsangan visual merangsang kedua daerah korteks visual
primer dan sekunder. VEP klinis biasanya direkam dari kulit kepala oksipital yang
terletak di atas fissura kalkarina (gambar 3). Lokasi ini terdekat ke korteks visual
primer (daerah Broadmanns 17). Metodologi standar yang digunakan adalah seperti
yang direkomendasikan oleh International Federation of Clinical Neurophysiology
(IFCN) Committee dan International Society for Clinical-Electrophysiology of Vision
(ISCEV). Sesuai dengan 10-20 International System of EEG placements, elektroda
referensi (Fz) ditempatkan pada area mid-frontal dan elektroda ground (Cz) pada
vertex kemudian elektroda aktif (Oz) ditempatkan 2 cm diatas inion. Inion adalah
proyeksi yang paling menonjol dari tulang oksipital di bagian belakang bawah
(posteroinferior dari tengkorak). 7,8,9

Gambar 3. Lokasi elektroda7

8
Elektroda standar silver-chloride atau elektroda yang dilapisi emas (gold-disc
surface) merupakan elektroda yang direkomendasikan untuk rekaman VEP.
Elektroda harus difiksasi pada kepala dan dipertahankan sepanjang prosedur seperti
yang direkomendasikan. Pada neonatus, elektroda harus ditempelkan pada kulit
kepala menggunakan plester yang tidak bersifat iritatif dan juga gel salin, dan
elektroda harus ditempelkan dengan lembut untuk mencegah agitasi maupun iritasi
yang tidak diperlukan. Pada bayi yang lebih besar dan pada anak-anak, elektroda
dapat ditempelkan dengan gel adhesif dan kasa (atau kapas) atau dengan collodion
dan kasa. Penggunaan collodion dan kasa biasanya sudah cukup, dan lebih mudah saat
pemasangan serta saat dilepas setelah selesai pemeriksaan. Walaupun elektroda yang
ditempelkan dengan gel lebih mudah terlepas pada anak yang rewel, elektroda jenis
ini lebih mudah untuk langsung dipasang. Apabila anak rewel, dan elektroda terlepas
terus menerus maka anak ini mungkin terlalu rewel untuk dapat dilakukan perekaman
VEP. Gabungan dari satu sampai empat elektroda di kulit kepala bagian oksipital
biasanya digunakan dengan respon maksimum yang diperkirakan pada Oz. Referensi
bisa terhadap Fz, lobulus telinga, dan elektroda mastoid. Pemilihan dari referensi
hanya memiliki efek yang sangat kecil pada komponen amplitudo.8,9
Jangka waktu analisa biasanya diantara 200-500 msec setelah onset dari setiap
stimulasi visual. Apabila dilakukan tes pada bayi, waktu analisa harus 300msec atau
lebih panjang karena komponen dari VEP mungkin mempunyai puncak latensi yang
panjang pada saat awal maturasi. Pada kebanyakan anak-anak dan orang dewasa
biasanya diuji menggunakan waktu analisa sekitar 250 msec atau kurang. Batas
frekuensi amplifier adalah 1Hz dan 100Hz. Sensitivitas amplifier bervariasi yaitu +/-
10 uV pada anak dan orang dewasa, +/- 20-50 uV pada balita dan anak kecil. 7,8

3.3. Metode Stimulasi VEP


3.3.1. Stimulasi Luminansi
Stimulasi luminansi merupakan stimulus visual tanpa pola biasanya terdiri dari
kilatan cahaya dalam waktu singkat tanpa pola maupun kontur yang terlihat.
Parameter dari penghasil stimulus harus dijaga selalu konstan. Stimulus dapat
disajikan dengan lampu photostimulator, kacamata goggle dengan LED berwarna
merah atau Gantzfield stimulator. Stimulus yang paling mudah didapatkan adalah
lampu photostimulator. Lampu ini memproduksi kilatan cahaya dalam waktu singkat
dengan discharge dari tabung lampu xenon seperti yang digunakan pada stroboskop.
9
Bila stroboskop memproduksi keluaran cahaya dengan suara klik ataupun suara lain,
maka perlu dilakukan masking untuk menghindari potensial yang dibangkitkan oleh
rangsang suara. Lampu harus ditempatkan kira-kira 30-45 cm didepan subjek.
Stimulasi harus terjadi saat mata subjek terbuka dan pandangan mengarah pada
lampu. Cahaya ruangan harus adekuat untuk memungkinkan observasi dari mata
subjek tanpa mengakibatkan silau maupun ketidaknyamanan pada mata. 12,13
Goggle sekarang lebih disukai karena lebih praktis untuk digunakan pada
ruang operasi dan ruang perawatan intensif (gambar 4), teknik ini dapat memberikan
intensitas kilatan cahaya yang konstan yakni 1 kilatan per detik dengan jarak yang
konstan antara pasien dengan sumber cahaya. Kecepatan yang lebih lambat mungkin
diperlukan pada bayi. Pengetesan klinis paling baik dilakukan dengan stimulasi
monokular. Mata yang tidak distimulasi harus ditutup dan dicegah cahaya masuk
untuk mencegah stimulasi yang tidak diinginkan. 9,12

Gambar 4. Goggle VEP9


Bentuk gelombang flash VEP terdiri dari gelombang negatif dan positif
yang berurutan. Gelombang pertama yang dapat dibedakan akan muncul 30 ms
setelah pemberian stimulus dan komponen selanjutnya akan muncul hingga 300 ms.
Puncak gelombang diberi nomor secara serial sebagai negatif dan positif. Sebagian
besar dari komponen flash VEP yang signifikan adalah puncak N2 dan P2. Amplitudo
P2 diukur dari puncak P2 pada kira-kira 120 ms ke puncak negatif N2 pada sekitar 90
ms. Flash VEP digunakan pada pasien yang tidak bisa dites menggunakan VEP
dengan pola dan saat stimulus pola nampak invalid karena adanya opasitas dari media
refraksi. 9,13,14

10
3.3.2. Stimulasi Pola
Pola stimulus yang direkomendasikan adalah pola papan catur dengan pola
hitam dan putih. Semua kotak harus berbentuk persegi dengan jumlah gelap dan
terang yang seimbang Pola papan catur dengan kontras tinggi dengan gerakan
membolak-balik (reversing) adalah pola yang biasa digunakan karena pola ini dapat
menghasilkan respon dengan amplitudo yang besar dan mudah untuk ditampilkan di
layar komputer (gambar 5). Stimulus berpola didefinisikan sebagai sudut visual yang
terukur pada sisi persegi dalam hitungan derajat (o) atau menit dari busur (arc) yang
terukur pada mata. Satu derajat sama dengan 60 menit dari busur. Ukuran dari kotak
persegi individual biasanya dilaporkan dalam sudut visual dalam menit busur.
Pattern reversal VEP, dapat diproduksi dengan stimulasi papan catur yang
menghasilkan kotak yang lebih besar 1 dengan sudut visual 60 menit busur dan kotak
yang lebih kecil 0.25 yaitu 15 menit busur. 14,15
VEP dapat dipicu dengan perubahan pola (reversal atau onset/offset atau
gerakan dari persegi). VEP kemudian dibagi menjadi transient VEP dan steady state
VEP. 13,14

Gambar 5. Stimulasi checkerboard pattern


Pada stimulasi dengan menggunakan pola, pemilihan dari ukuran kotak,
ukuran lapang dan lokasi lapang memungkinkan dilakukan tes yang selektif atau
spesifik untuk suatu segmen dari jaras visual. Stimulus yang diberikan haruslah sesuai
terhadap kondisi dan keadaan klinis dari pasien. Pembalikan pola papan catur
(reversal pattern ) adalah pola stimulus yang paling sering digunakan karena pola ini
relatif simpel. Penggunaan lebih dari satu stimulus mungkin akan menguntungkan.
13,14,15

11
3.4. Persiapan Subjek
Kemampuan pasien untuk fokus dan mempelajari pola yang ditampilkan
sangatlah krusial pada pemeriksaan VEP dengan stimulasi pola. Jika terjadi
kehilangan fokus terhadap pola maka akan mempengeruhi respon latensi, amplitdo
dan bentuk gelombang. Sikloplegik biasanya tidak boleh digunakan saat dilakukan
pemeriksaan. Pasien dengan kelainan refraksi harus diperiksa terlebih dahulu dan
dilakukan koreksi menggunakan lensa. Visus harus diukur untuk semua pasien.
Kelelahan dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk menjaga fokus pada benda
dalam jarak dekat. Untuk menghindari efek ini, maka subjek tidak boleh ditempatkan
lebih dekat dari 70 cm dari stimulus. Bila subjek memiliki defek lapang pandang yang
nampak, maka harus dilakukan tes konfrontasi dan hasil tes tersebut harus dicatat. 14,16
Pasien harus dapat menjaga fiksasi visual saat pemeriksaan. Posisi mata harus
dimonitor selama dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan harus dihentikan apabila
pandangan maupun perhatian dari subjek teralihkan. Pasien yang berpura-pura dapat
menghasilkan respon yang nampak abnormal dengan secara sengaja tidak
memfokuskan mata pada pola maupun tidak menjaga fiksasi. Penggunaan sikloplegik
untuk melumpuhkan akomodasi dapat berguna untuk mencegah hilangnya fokus,
apabila kelainan refraksi telah dikoreksi. Variasi dari ukuran pupil dapat
mempengaruhi hasil tes. Ukuran pupil yang sangat kecil atau ukuran pupil yang tidak
simetris dapat menghasilkan respon latensi, atau amplitudo yang abnormal, terutama
bila ditemukan juga adanya katarak atau opasitas media refrakta. Ukuran pupil harus
dicantumkan pada hasil tes apabila dapat mempengaruhi interpretasi klinis. 14,16

3.5. Kriteria Abnormalitas VEP


Abnormalitas dapat terjadi karena perubahan pada latensi, amplitude,
topografi dan bentukan gelombang. Pemanjangan latensi P100 adalah indikator dari
abnormalitas yang signifikan secara klinis, karena P100 adalah gelombang yang
paling sedikit dipengaruhi oleh faktor teknis dan kerjasama pasien. Ukuran amplitudo
dan topografi berhubungan erat dan merupakan indikator dari abnormalitas klinis
yang signifikan. Tetapi, hal ini lebih rentan terhadap perubahan faktor teknis, fiksasi,
kesadaran dan kerjasama dari pasien. Abnormalitas bentuk gelombang biasanya
subjektif dan susah untuk dikuantifikasi. 14,15,16

12
3.5.1. Kriteria Latensi
Terdapat 2 kriteria untuk abnormalitas latensi pada gelombang hasil
pemeriksaan VEP, yakni:
1. Pemanjangan abnormal latensi puncak P100
2. Pemanjangan abnormal perbedaan latensi interokular P100, dengan latensi
lebih panjang pada mata yang abnormal
Abnormalitas latensi mengindikasikan adanya disfungsi jaras visual hanya bila
kelainan mata dan retina telah disingkirkan dengan pemeriksaan fisik yang
sesuai.14,15,16

3.5.2. Kriteria Amplitudo


Selain latensi, amplitudo juga memiliki abnormalitas yang dapat terlihat pada
hasil pemeriksaan VEP, antara lain:
1. Tidak adanya respon pada perekaman dari lokasi midline dan oksipital,
dengan pemanjangan masa analisis sampai 500 ms.
2. Tidak adanya gelombang P100 yang dapat diidentifikasi saat perekaman
dilakukan pada lokasi oksipital dan midline. Namun puncak positif yang lain
mungkin dapat ditemukan.
3. Amplitudo abnormal P100 yang sangat rendah
4. Rasio amplitudo interokular P100 yang abnormal tinggi.
Batas toleransi atas untuk rasio amplitudo interokular biasanya terdapat pada
kisaran 2:1 hingga 2.5:1 saat digunakan stimulasi lapang besar. Abnormalitas
amplitudo mengindikasikan disfungsi jaras visual hanya saat faktor penyebab lain
telah disingkirkan. Nilai amplitudo P100 lebih sensitif terhadap penyakit mata dan
retina dibandingkan dengan nilai latensi. Amplitudo midoksipital juga dapat menurun
pada pasien dengan fiksasi yang jelek, tidak fokus, menangis, inattention atau
mengantuk. Saat faktor ini telah disingkirkan, abnormalitas monokular
mengindikasikan disfungsi prekiasma unilateral. Abnormalitas bilateral
mengindikasikan penyakit bilateral yang tidak dapat dilokalisir secara spesifik untuk
letak prekiasma tanpa analisis yang lebih detil dari gambaran topografis. Apabila
hasil pengukuran amplitudo P100 rendah terhadap stimulasi mata kanan dan kiri,
maka hal ini tidak memiliki kepentingan klinis yang pasti. Pada keadaan ini, tidak
adanya komponen N75 dan N145, ataupun tidak adanya pemanjangan latensi yang

13
berlebih pada komponen ini, dapat dianggap sebagai abnormalitas klinis yang
signifikan bila ditemukan komponen P100 yang normal. 14,15

3.5.3. Kriteria Bentuk Gelombang


Keanehan morfologi bentuk gelombang dari P100, pada latensi yang normal
dan amplitudo yang normal, tidak mewakili abnormalitas klinis yang signifikan.
Puncak ganda atau “W” bentukan P100 dapat mengakibatkan keraguan dalam
interpretasinya. Saat menganalisis respon seperti ini, tidaklah pantas untuk
menganggap bahwa salah satu puncak adalah gelombang P100 yang “asli”.
Pemeriksaan tambahan, dengan ukuran kotak yang berbeda harus dilakukan untuk
menentukan signifikansi klinis dari respon. 14,15,16

3.6. Aplikasi Klinis


3.6.1. Estimasi Visus
Karena bayi tidak dapat bekerjasama untuk dilakukan pemeriksaan standar
untuk visus, maka perkiraan visus yang didapat dari VEP memiliki kegunaan yang
luas pada bidang opthalmologi anak. Perkembangan korteks visual tergantung kepada
pengalaman visual dalam masa periode masa kritis pada awal kehidupan. Karena itu,
gangguan pada sistem visual harus segera dideteksi dan dikoreksi secepat mungkin.
Terdapat beberapa metode yang sekarang ini dipakai untuk melakukan estimasi visus
dengan menentukan ukuran pola terkecil yang dapat memicu VEP yang dapat
diidentifikasi, yakni dengan ukuran persegi sampai 15 menit busur atau lebih kecil
pada anak yang berumur lebih dari 3 bulan dengan penglihatan yang normal. Pada
anak dengan gangguan penglihatan, VEP tidak dapat terekam dan hanya terekam pada
pola yang lebih besar atau hanya dengan stimulus kilatan cahaya. Penilaian secara
empiris dari derajat kelainan didasarkan pada stimulus yang dibutuhkan untuk
memicu VEP. 16,17

3.6.2. Koreksi Refraksi


VEP juga dapat digunakan untuk koreksi refraksi pada anak. VEP dengan
amplitude terbesar dicatat saat gambar paling jelas. Tetapi, prosedur ini sangat
panjang dan VEP lebih baik digunakan untuk kroscek dari kelainan refraksi yang
sebelumnya ditentukan dengan retinoskopi. Untuk melakukan ini, VEP harus direkam
menggunakan ukuran persegi yang kecil dengan atau tanpa koreksi, amplitudo
14
harusnya akan mengalami peningkatan dan/atau latensi mengalami penurunan dengan
dilakukannya koreksi. Apabila tidak terdapat perbaikan pada VEP saat dilakukan
koreksi dengan lensa, maka perlu dipertimbangkan bahwa kelainan yang terjadi
adalah bukan kelainan refraksi. 16,17

3.6.3. Membedakan Kelainan pada Mata dan Media Refraksi


Saat pemeriksaan retina dan nervus optikus dihambat oleh adanya opasitas
media refraksi yang bersifat kongenital, flash VEP dapat memberikan informasi
sebelum dilakukan tindakan. Bayi dengan katarak kongenital, persistent hyperplastic
primary vitreous (PHPV), dan opasitas kornea, dapat diperiksa dengan kilatan cahaya
yang ditransmisikan melewati opasitas itu. Flash VEP yang normal akan
menyingkirkan lesi makular atau lesi nervus optikus berat yang terjadi bersamaan,
walaupun prognosis untuk pemulihan penglihatan penuh masih belum dapat
ditentukan karena semua bayi dengan opasitas media refraksi memiliki risiko tinggi
untuk terjadinya ambliopia yang berat. 16,18

3.6.4. Kelainan Jaras Visual Aferen


VEP mungkin dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis dari lesi
pada jaras visual, walaupun diagnosis definitif biasanya ditetapkan dengan
pemeriksaan dari nervus optikus dan pemeriksaan radiologis yang sesuai.
Pemeriksaan pattern VEP sangat berguna untuk pemeriksaan bayi yang belum dapat
berbicara dengan hipoplasia nervus optikus, atrofi nervus optikus (dengan atau tanpa
kelainan sistem saraf pusat yang lain), dan leukomalasia periventrikular. Monitoring
regular dengan pattern VEP direkomendasikan untuk pasien dengan lesi progresif
yang lambat maupun lesi yang stasioner, seperti pada glioma dari nervus optikus atau
kiasma, dan lesi kompresi dari jaras visual anterior. Pada anak yang menderita glioma
nervus optikus, VEP dapat membantu untuk menentukan luasnya kerusakan nervus
optikus dan dapat digunakan untuk evaluasi pasien setelah dilakukan intervensi
bedah. Namun saat terdapat nistagmus, perekaman menggunakan pattern reversal
VEP akan memiliki kualitas yang jelek dan visus akan dianggap jelek oleh VEP. 4,16,17

3.6.5. Ambliopia
Ambliopia adalah salah satu masalah yang sering dijumpai pada pediatrik
oftalmologi, dan kebanyakan kasus ditangani tanpa pemeriksaan VEP secara rutin.
15
Tetapi, pada beberapa pasien yang spesifik, VEP dapat menjadi alat yang sangat
berguna. Bayi dengan risiko ambliopia berat mungkin memerlukan tindakan
pembedahan yang sangat awal untuk ptosis maupun katarak kongenital. Pemeriksaan
VEP merupakan sebuah pengukuran yang sensitif terhadap fungsi visual dan dapat
digunakan untuk membantu menentukan apakah tindakan pembedahan diperlukan
pada kasus yang meragukan dan untuk memonitor perkembangan setelah dilakukan
tata laksana bedah. Pada pasien dengan ambliopia yang lebih ringan yang terkait
dengan strabismus atau anisometropia, pattern VEP berguna untuk mengevaluasi dan
memonitor anak yang belum dapat berbicara atau anak yang memiliki disabilitas.
Pattern VEP monokular sensitif untuk deteksi dini ambliopia dan sangat berguna
untuk memonitor hasil dan perkembangan terapi. Penemuan tipikal pada ambliopia
adalah berkurangnya amplitudo VEP pada mata yang ambliopia (gambar 6).18,19

Gambar 6. Perbandingan pola VEP pada mata normal (atas) dan ambliopia (bawah)18

3.6.6. Delayed Visual Maturation


Beberapa bayi tampak seperti buta pada usia yang sangat muda dan tidak
melakukan fiksasi maupun mengikuti objek. Apabila tidak ditemukan adanya
abnormalitas okular maupun sistem saraf pusat yang dapat menjelaskan kelainan ini,
lalu kemudian bayi pulih maka kondisi ini disebut sebagai maturasi visual yang
tertunda atau delayed visual maturation (DVM). Bayi dengan DVM biasanya datang
sebelum usia 2 bulan dan kemudian akan pulih sebelum usia 5 bulan bila tidak ada
kelainan lain, tetapi kadang memerlukan waktu sampai satu tahun pada bayi yang
menderita kelainan lain. Hampir separuh dari bayi dengan DVM memiliki kelainan
lain, seperti retardasi mental, kejang, atau masalah perinatal. 18,21

16
Saat bayi muda dianggap tidak responsif secara visual, VEP sangat berguna
untuk membedakannya dengan DVM dan penyebab kelainan lain yang lebih berat
yang menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen. Baik flash VEP maupun
pattern VEP biasanya ada pada bayi dengan DVM walaupun pada masa kebutaan
yang dinilai dari tingkah laku bayi, dan biasanya normal saat dibandingkan dengan
kontrol dengan usia yang sesuai. Pada beberapa pasien dengan DVM, VEP mungkin
menunjukkan pemanjangan latensi, amplitudo kecil atau bentukan gelombang yang
abnormal (gambar 7). Bacaan VEP akan kembali normal saat penglihatan pulih pada
pasien ini. Sehingga VEP normal merupakan tanda prognostik yang baik dalam
DVM, tetapi temuan VEP yang jelek belum tentu dihubungkan dengan prognosis
penglihatan yang buruk. Sebaliknya, bayi yang buta karena kelainan retina atau
kelainan nervus optikus akan memiliki bacaan VEP yang abnormal atau bahkan tidak
terbaca pada awal kehidupan. 19,21

Gambar 7. Pola VEP pada bayi DVM usia 10 minggu dan 6 bulan19

3.6.7. Kebutaan Kortikal


Anak dengan kebutaan kortikal terbagi menjadi dua kelompok yakni
kelompok dimana kebutaan kortikal kronis terjadi karena kelainan prenatal atau
perinatal dan kelompok dengan kebutaan kortikal yang terjadi secara tiba-tiba sebagai
akibat dari cederanya jaras visual posterior. Kelompok pertama terdiri dari pasien
dengan defisit neurologis berat dan disabilitas multipel. Pada kelompok ini, pola VEP
berguna untuk menentukan tingkat dari fungsi visual dan untuk membedakan antara
kebutaan kortikal dan DVM. Flash VEP tidak begitu berguna pada pasien dengan
kebutaan kortikal kronis. Namun pada anak dengan kebutaan kortikal dengan onset
akut, flash VEP memiliki nilai prognostik terhadap kepulihan fungsi penglihatan.
Flash VEP ini akan direkam pada masa kebutaan kortikal. Flash visual evoked
potential (FVEP) memperlihatkan respon kortikal yang masih utuh pada awal CVI.

17
Evaluasi ulang beberapa bulan setelahnya menunjukkan penurunan amplitudo yang
signifikan, tetapi dengan latensi yang normal untuk P100. Sehingga Flash VEP tidak
dapat memberikan prediksi dari outcome visual. 19,20

Gambar 8. VEP pada CVI dengan penurunan amplitudo20

3.6.8. Keganasan
Tumor yang mengkompresi nervus optikus atau kiasma optik atau tumor di
dalam nervus optik menunjukkan abnormalitas unilateral P100. Latensi P100
mungkin memanjang, tetapi yang lebih sering terjadi adalah penurunan amplitudo
(gambar 8). Morfologi dari gelombang VEP sangat terganggu dan P100 mungkin
tidak terekam. Neoplasma yang bisa menyebabkan kompresi nervus optikus adalah
glioma nervus optikus, meningioma, kraniofaringioma, dan tumor pituitari. Giant
aneurysma bisa juga menyebabkan kompresi nervus optikus. Perbaikan dari P 100
mungkin terjadi setelah pengangkatan tumor dilakukan. Anak dengan
neurofibromatosis tipe 1 sangat rentan untuk pembentukan glioma nervus optik. VEP
merupakan suatu tes yang sensitif untuk mengikuti perkembangan kelainan patologi
saraf selain MRI. Semua anak dengan NF1 menunjukkan perlambatan VEP terutama
pada usia sekolah. 19,21

18
Gambar 9. Flash VEP pada anak dengan NF 121

19
BAB IV
KESIMPULAN

1. Struktur penting yang terlibat dalam proses konduksi visual pada jalur aferen adalah
retina, nervus optikus, chiasma optikum, traktus optikus, badan genikulatum lateral di
dalam thalamus dan jalur thalamokortikal.
2. Visual evoked potential (VEP) adalah teknik sederhana dan non invasif yang
digunakan untuk menilai integritas dan keadaan relatif dari maturitas jaras visual
pada bayi dan anak, yang menggunakan stimulasi kilatan cahaya ataupun pola
checkerboard.
3. Bentuk gelombang biasanya bermula dengan puncak negatif (N1 atau N75)
diikuti dengan puncak positif yang besar (P1 atau P100) kemudian diikuti lagi
dengan puncak negatif (N2 atau N135). Nilai maksimum pada P100 adalah 115
msec pada pasien usia kurang dari 60 tahun, pada usia lebih dari 60 tahun, nilai
pada wanita adalah 120 msec dan pada laki-laki 125 msec.
4. Nilai rekaman VEP yang abnormal memiliki beberapa kriteria yakni kriteria
latensi, amplitudo, dan bentuk gelombangnya.
5. Pemeriksaan VEP memiliki beberapa manfaat yakni dapat memperkirakan visus
bayi atau anak yang kurang kooperatif, mengkonfirmasi koreksi kelainan refraksi,
membedakan kelainan retina dan makula, menyingkirkan kelainan media refraksi,
pada kasus delayed visual maturation, ambliopia, dan keganasan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Neural Retina. In: Fundamental and
Principles of Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology. Section 2: 2014-2015. p: 257-261.
2. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Neuroophthalmic Anatomy. In:
Neuroophthalmology. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology.
Section 12: 2014-2015. p: 24-30.
3. Cleary TS, Reichel E. Electrophysiology. In: Yanoff and Duker Ophthalmology.
China: Mosby Elsevier. 2009. pp: 545-546.
4. Eva PR. Examination of Ophthalmology. In: Vaughan and Asbury General
Ophthalmology. Singapore: McGraw Hill Company; 2008. pp: 58-59.
5. Khurana AK. Physiology of Vision. In: Ophthalmology. New Delhi: New Age
International. 2009. p: 14-18.
6. Toove J. Martin. The Eye and Forming the Image. In: Visual System. United
States of America: Cambridge University Press. 2008. p: 18-41.
7. Taylor, Margot, Daphne McCulloh. Visual Evoked Potentials in Infants and
Children. Journal of Clinical Neurophysiology · New York: University of
Toronto. 1992. p: 356-372.
8. Odom JV, Leys M, Weinstein GW. Clinical Visual Electrophysiology. In:
Duane’s Ophthalmology. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins. Vol. 3:
2006.
9. Ruchi, Kothari, Singh Smita, Jain Manish. Utility of Flash Visual Evoked
Potentials in Infants and Children with Delayed Milestones. India: Department
of Ophthalmology, Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences, India.
2010. p: 7-12.
10. Schlote T. Optic System and Physiology. In: Pocket Atlas of Ophthalmology.
New York: Thieme; 2006. p: 8-13.
11. Trattler WB, Kaiser PK, Friedman NJ. Posterior Segment. In: Review of
Ophthalmology, 2nd Ed, Elsevier; 2012. p: 289-297.
12. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Retinal Electrophysiology. In: Fundamental
and Principles of Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology. Section 2: 2014-2015. pp: 268-269.

21
13. Miyake Y, Shinoda K. Clinical Electrophysiology. In: Retina 5th Ed Vol.1.
China: Elsevier Mosby; 2013. p: 202-222.
14. American Clinical Neurophysiology Society. Recommended Standards for
Visual Evoked Potentials. Guideline 9B. 2008. p: 1-20.
15. Simon, John, John B. Siegfried, Monte D. Mills. A New Visual Evoked
Potential System for Vision Screening in Infants and Young Children.
Pennysilvania: Department of Ophthalmology Albany Medical College. 2004.
p: 549-554.
16. Bokariya, Pradeep, Smita Singh, Ramji Singh. A Comprehensive Review on
Methodologies Employed for Visual Evoked Potentials. India: Hindawi
Publishing Corporation Scientifica. 2016. p: 1-9.
17. Odom, Vernon, Michael Bach, Mitchell Brigel. ISCEV Standard for Clinical
Visual Evoked Potentials (2009 Update). Morgantown: West Virginia
University Eye Institute. 2009. p: 111-119.
18. Sokol, Samuel. Abnormal Evoked Potential Latencies in Amblyopia. USA:
British Journal of Ophthalmology. 1993. p: 310-314.
19. Sharma, Ruby, Sandeep Joshi, Avnish Kumar. Visual Evoked Potentials:
Normative Values and Gender Differences. India: Journal of Clinical and
Diagnostic Research. 2015. p:13-29.
20. McGlone, Laura, Hamilton, Daphne McCulloh. Neonatal Visual Evoked
Potentials in Infants Born to Mothers Prescribed Methadone. UK: Official
Journal of The American Academy of Pediatrics. 2013. p: 857-863.
21. Kraemer, Maria, Maths Abrahamson, Anders Sjostrom. The Neonatal
Development of The Light Flash Visual Evoked Potential. 1999. p: 21-39.

22

Anda mungkin juga menyukai