Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

Lintasan penglihatan dibentuk mulai dari fotoreseptor yang terdapat di retina,


informasi meninggalkan mata melalui saraf optik, dan sebagian axon mengalami
persilangan di kiasma optik. Setelah kiasma optik, serabut-serabut tersebut dikenal
sebagai traktus optikus. Traktus optikus menuju korpus genikulatum lateral dimana
seluruh serabut-serabut saraf bersinaps dan selanjutnya melalui radis optik berakhir
pada korteks visual di lobus oksipital.(1,2)
Penglihatan manusia sendiri memerlukan kerjasama yang tepat dari bagian di
otak yang mengantar sinyal visual. Mulai dari mata sampai terbawanya ke korteks
serebral, terbangun kerjasama yang akhirnya akan menghasilkan suatu image.
Hubungan antara mata dengan otak sangatlah erat dan memberikan petunjuk
diagnosis yang penting pada gangguan sistem saraf pusat.(3)
Untuk menegakkan diagnosis kadang-kadang dibutuhkan berbagai macam
pemeriksaan pada mata untuk dapat melihat kelainan pada bagian neurooftalmology
untuk itu dalam sari pustaka ini akan dibahas pemeriksaan-pemeriksaan yang
dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis dalam bidang neuro oftalmology

1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI

Diskus Optik
Diskus optik berlokasi di nasal retina 3-4 mm dari fovea. Diameter vertikal
kira-kira 1,8 mm dan diameter horisontal kira-kira 1,76 mm. Diskus optik merupakan
bagian dari nervus optik intra okuler. Terdiri dari serabut-serabut sel ganglion.(1,7)

Bintik Buta ( Blind Spot )


Diskus optik tidak mengandung sel fotoreseptor sehingga menyebabkan
skotoma absolut pada lapangan pandang yang disebut “blind spot”. Blind spot berada
15° dari titik fiksasi atau sekitar 4-5 mm dari fovea dan sedikit dibawah meridian
horisontal pada lapangan pandang temporal. Kita tidak perlu merasa khawatir tidak
dapat melihat daerah pada bintik buta tersebut karena mata kita adalah binocular
vision yang artinya tiap mata akan melihat gambaran yang sama dari titik tempat yang
berbeda sehingga jika satu mata tidak melihat maka mata yang lain akan melihatnya,
dan selanjutnya otak kita yang akan memproses/mengisi bagian yang kosong tersebut.
(9)

Koroid dan seluruh lapisan retina kecuali lapisan serabut saraf, berakhir pada
tepi diskus optik. Nervus optik intraokular keluar dari mata lalu berhubungan dengan
lamina kribrosa yang dibentuk oleh jaringan ikat sklera, jaringan ikat koroid dan
membrana Bruch, serta astroglia yang berasal dari sistem septal saraf tersebut. Di
posterior diskus tersebut, serabut saraf mengalami mielinisasi, sedangkan bagian
anterior tidak bermielin. (5,6)

Keterangan gambar :

R=retina, C=koroid,
S=sclera
1. Superficial nerve fiber layer
2. Anterior prelaminar region
3. Postrior prelaminar region
4. Laminar region
5. Retrolaminar region

Gambar 1. Diskus Optik.


2
NERVUS OPTIK
Nervus optik berisi lebih dari 1 juta axon yang berasal dari sel ganglion di
retina dan berlanjut sampai korteks serebri di lobus oksipital. Nervus optik terbagi
secara topografi yaitu:
- Area intraocular dari nervus optik yang disebut diskus optik yang terbagi atas
prelaminar dan laminar ( ±1 mm )
- Area intraorbital yang berlokasi di muscle cone ( ±25 mm )
- Area intra canalicular yang berlokasi di kanalis optikus ( ±29 mm )
- Area intracranial yang berakhir di kiasma optikus ( ±16 mm )
Jadi panjang nervus optik kira-kira 40 mm. (5, 6)

Gambar 2. Nervus optik Dikutip


dari 1
Bagian orbital nervus optik berjalan dari bola mata ke kanal optik, berdiameter kira-
kira 3-4 mm, nervus optik orbital berjalan secara sinusoidal dalam kanal optik.
Ukurannya yang lebih panjang memudahkan pergerakan bola mata tanpa mengganggu
saraf tersebut. Bila terjadi proptosis lebih dari 10 mm saraf tersebut menjadi tegang
dan pergerakan bola mata jadi terhambat.
Secara histologis, nervus optik intraorbital terdiri dari kumpulan serabut-
serabut bermielin dipisahkan oleh septum jaringan ikat yang mengandung pembuluh
darah. Jumlahnya sekitar 1 juta serabut saraf. Serabut-serabut saraf tersebut berperan

3
dalam penglihatan dan refleks pupil. Nervus intraorbital dibungkus oleh 3 lapisan
menings yaitu : duramater merupakan lapisan terluar yang berbatasan dengan sklera,
arakhnoid di bagian tengah dan piamater merupakan lapisan terdalam yang bersatu
dengan permukaan luar saraf tersebut. (3,5,6,7)
Dekat apeks orbita, nervus optik berjalan melewati cincin jaringan ikat,
annulus Zinnii yang mana tersusun dari tendon yang berasal dari m.rektus. Pada apeks
orbita, nervus optik melewati kanal optik. Ukurannya sekitar 5-10 mm dan lebarnya
5-7 mm. Dinding tulangnya lebih tipis dibagian medial dimana memisahkan nervus
optik dari sinus sphenoid dan sinus ethmoid. Bersama nervus optik, dalam kanal
tersebut terdapat arteri oftalmikus, sebagian filamen plexus karotis simpatis dan
perluasan menings intrakranial yang membentuk pembungkus nervus optik. (2,5,6,7)
Di dalam kanalis optik, duramater dari nervus optik dan periostium bersatu.
Didalam orbita, nervus optik relatif bebas bergerak namun dalam kanalis lebih
terfiksasi. Sebagai akibatnya , suatu lesi kecil dalam kanalis dapat menyebabkan
neuropati kompressi.
Ketika nervus optik keluar dari lubang posterior kanal optik, nervus optik
melewati lipatan duramater, kemudian berlanjut ke posterior dan medial naik 45
derajat ke kiasma optik. Panjang bagian intrakranial setiap nervus optik antara 12-18
mm. Diatas nervus optik terdapat permukaan inferior lobus frontalis, traktus
olfaktorius , a.cerebralis anterior dan a.komunikans anterior. Dilateral , biasanya
langsung berbatasan dengan arteri karotis interna yang keluar dari sinus kavernosus.
Di inferior dan medial berbatasan dengan sinus sphenoid dan sinus ethmoid posterior.
(5,6,7)

Vaskularisasi
Disuplai oleh beberapa sumber yaitu : a. Retina sentralis , circle of Zinn-Haller
(pembuluh darah sklera), plexus koroid dan plexus pial ( cabang dari a.karotis
interna).(7)

KIASMA OPTIK
Kiasma optik mempunyai ukuran lebar kira-kira 13mm, ukuran
anteroposterior 8 mm, dan 4 mm vertikal dan merupakan penyatuan dari 2 nervus
optik . Serabut-serabut dari kedua nervus optik bersatu membentuk kiasma optik. .

4
Bidang dorsal atau posterior kiasma optik membentuk dasar ventrikel III,
berhubungan dengan tuber cinereum pada permukaan posteriornya, yang meluas ke
infundibulum atau tangkai dari hipofise. Kiasma optik dillekatkan ke permukaan
dorsal diencephalon oleh piamater dan arakhnoid.
Serabut-serabut nasal dari masing-masing retina menyilang di kiasma optik,
sementara serabut dari temporal tidak menyilang. Karena persilangan tersebut maka
tiap traktus optik terdiri dari serabut-serabut nasal kontralateral dan serabut temporal
ipsilateral, bersama-sama mewakili separuh lapangan pandang kontralaeral. Lebih
dari setengah (55%) serabut-serabut nervus optik yang menyilang, karena nasal retina
mengandung sel-sel ganglion lebih banyak dibanding temporal retina.
Serabut saraf yang menyilang, dari nasal retina bagian inferior mengadakan
putaran ke anterior sampai ke bagian ujung dari nervus optik sebelahnya (Wilbrand`s
knee) sebelum menuju posterior dan berlanjut ke traktus optikus. Jika ada lesi di
bagian ini akan menyebabkan defek lapangan pandang pada daerah superotemporal.
(7,8,9)

Relevansi letak kiasma dengan kelenjar Hypofise


Kiasma terletak 10 mm diatas kelenjar hipofise. Perlu diketahui bahwa
pembesaran tumor hipofise harus ukurannya sama atau lebih dari 10 mm diatas
diagfragma sella sebelum bertemu dengan kiasma yang baru dapat memberikan
kelainan defek lapangan pandang akibat kompressi tumor. Ruang yang relatif luas
diantara kiasma dan hipofise seringkali memungkinkan ekstensi supraselular dari
suatu tumor kecil hipofise tanpa adanya defek lapangan pandang.(9,10)

Gambar 3.
Struktur kelenjar hypofise
dan relevansinya dengan
posisi

5
perichiasmal region. 9
Vaskularisasi

Berasal dari anastomose pembuluh darah dari Circle of Willis. Bagian dorsal
berasal dari segmen posterior a.serebralis anterior dan sisanya bersal dari a.karotis
interna dan a.komunikans anterior. Terdapat kemungkinan juga a.komunikans
posterior, a.serebralis posterior dan a.basilaris mensuplai daerah kiasma.(7)

TRAKTUS OPTIKUS
Serabut saraf retina setelah melewati kiasma, berjalan menuju ke KGL melalui
traktus optikus. Traktus optik berawal dari bagian posterior chiasma optik,
berjalan agak ke lateral dan berlanjut ke posterior melingkari pedunkulus cerebri
( daerah ventral dari midbrain ) dan hipotalamus posterior, serta berakhir di KGL.
Terdiri dari serabut-serabut sel ganglion nasal retina pada sisi yang berlawanan dan
temporal retina pada sisi yang sama.
Setelah melewati kiasma, serabut saraf nasal inferior retina bertemu dengan
serabut saraf temporal inferior retina dan serabut saraf yang bersilangan bagian
superior akan bertemu dengan serabut saraf superior yang tdk bersilangan. Serabut
dari makula berada di superolateral, sedangkan bagian superior berada di
superomedial dan bagian inferior berada di bagian inferolateral.(7,10)

Distribusi serabut saraf traktus optik menuju pada beberapa tempat berbeda
Ada 5 tempat untuk distribusi dari serabut saraf di traktus optik yaitu KGL
(sebagian besar) , nukleus pretectal yang mengatur refleks pupil, colliculus superior
yang mengatur saccadic eye movement, pulvinar yang merupakan ekstragenikulate
visual pathway , dan ke suprachiasmatic nucleus yang mengatur circadian rhytms.(8)
Sebagian besar serabut saraf menuju ke KGL dan berperan dalam sensasi
visual; serabut ini membentuk akar lateral dari traktus optik. Sesaat sebelum saraf ini
memasuki KGL, yaitu sekitar 10 % serabut ini melanjutkan diri ke dalam brachium
quadrigeminal superior menuju ke colliculus superior dan berakhir di lapisan abu-abu
superfisial colliculus superior, serabut-serabut lainnya mencapai midbrain dan
berakhir di kompleks nukleus pretektal yang mengontrol refleks pupil dan akomodasi.
(1,7,9)

6
Vaskularisasi
Berasal dari plexus pial dan juga oleh cabang dari a.cerebralis middle.

KORPUS GENIKULATUM LATERAL


Korpus Genikulatum Lateral adalah bagian dari hipotalamus yang merupakan
bagian akhir dari sebagian besar serabut-serabut afferen lintas penglihatan. Berlokasi
pada diencephalon di lateral korpus genikulatum medial. Korpus Genikulatum
tersusun atas 6 lapisan sel ( nomor 1-6 ) dimulai dari hilus dan berlanjut ke bagian
dorsal nukleus.
Seperti kita ketahui bahwa sel ganglion retina terdiri atas 2 macam yaitu sel
Magnoselular dan Parvoselular. Neuron Magnoselular (lebih besar dan lebih uniform)
akan memasuki lapisan 1 dan 2, sedangkan neuron Parvoselular ( lebih kecil ) akan
memasuki lapisan 3,4,5 dan 6. Neuron Magno ( sel-sel M) berperan dalam mendeteksi
gerakan, stereopsis dan sensitivitas kontras frekuensi rendah, karena juga merupakan
proyeksi dari sel-sel batang. Sel-sel ini akan bersinaps dengan serabut saraf dari
korteks visual primer di lapisan 4Ca. Neuron Parvo (sel-sel P) berperan dalam
penglihatan warna yang merupakan proyeksi sel-sel kerucut, kemudian bersinaps
dengan serabut saraf dari korteks visual primer di lapisan 4Cb.
Sedangkan proyeksi sel-sel ganglion dari retina ipsilateral berakhir pada
lapisan 2,3 dan 5 dari KGL, dan sel-sel retina kontralateral bersinapsis pada lapisan
1,4 dan 6. Proyeksi sel-sel tersebut berputar ¼ putaran sehingga serabut-serabut dari
retina superior berada di medial KGL dan retina inferior berada i lateral KGL. Axon
foveal berlokasi di posterior KGL. Rotasi terjadi lagi setelah serabut tersebut
meninggalkan KGL sehingga serabut retina superior dan inferior kembali menempati
masing-masing bagian superior dan inferior radiasio optik .(2,8,9)

7
Gambar .4 Proyeksi serabut saraf dari korpus genikulatum lateral ke korteks visual

Source / Type of
Type Size* Location Response Number
Information

Rods; necessary for the


perception
M: Magnocellular Layers 1 rapid and
Large of movement, depth,  ?
cells and 2 transient
and small differences in
brightness

P: Parvocellular Small Cones; long- and Layers 3, 4, slow and  ?


cells (or medium-wavelength 5 and 6 sustained
"parvicellular") ("red" and "green"
cones); necessary for

8
the perception
of color and form (fine
details).

Very Between
K: Koniocellular
small Short-wavelength each of the
cells (or
cell "blue" cones. M and P
"interlaminar")
bodies layers

Gambar 5, sel-sel pada geniculatum lateral

Vaskularisasi
Merupakan dual vaskularisasi yaitu dari a.koroidal anterior (cabang dari
a.karotis interna) dan a. Koroidal lateral (cabang a.cerebralis posterior). (8)

RADIASIO OPTIK
Meyer (1907) menggambarkan radiasio optik ( traktus genikulokalkarina)
menjadi Radiasio optik terdiri dari 3 kelompok serabut utama yaitu :
- Bagian superior mengandung serabut saraf yang mewakili lapangan pandang
inferior
- Bagian inferior mengandung serabut saraf yang mewakili lapangan pandang
superior
- Bagian sentral mengandung serabut saraf dari makula dan jumlahnya lebih
dari bagian superior dan inferior.

9
Meyer`s Loop
Serabut saraf superior meninggalkan KGL, berjalan langsung ke posterior
ke korteks occipital melalui korteks parietal dan berakhir di bibir atas (dorsal)
fissura kalkarina. Serabut-serabut inferior melingkari sistem ventrikular ke lobus
temporal membentuk Meyer`s Loop dan berakhir di bibir bawah (ventral)
fissura kalkarina. (2,8,9)

\
\
korteks serebral. Dikutip dari 10

Gambar 8. Meyer`s Loop pada Radiasio Optik. Dikutip dari 9\

Gambar 6. Meyer`s Loop.

Vaskularisasi
Utamanya berasal dari a.cerebralis posterior dan a.cerebralis middle. (7)

KORTEKS VISUAL
Korteks visual terbagi atas area visual primer atau V1 atau korteks striata
(Broadman`s area 17) dan area visual sekunder atau extra striata yang dikenal dgn V2,
V3,V4 dan V5(Broadman `s area 18 dan 19).

10
Area visual Primer / Korteks Striata/ Area V1/Area 17
Area visual primer menempati dinding dari sulkus kalkarina yang berada pada
permukaan medial dari hemisfere dan meluas ke korteks di atas dan dibawah sulkus.
Area 17 ini meluas ke bagian posterior sejauh daerah oksipital, dan sebagian kecil dari
daerah ini meluas ke bagian posterolateral. Bagian anterior, area 17 ini meluas ke
depan atas sulkus kalkarina sejauh sulkus parieto-oksipital; dibawah sulkus kalkarina
area ini meluas sedikit. (2,8,9)

Korteks visual primer dapat dikenal karena area ini sangat tipis dan
mempunyai karakteristik berupa adanya garis putih atau stria yang bernama Line of
Gennari di dalam daerah abu-abu . Garis putih dibentuk pada lapisan keempat dari
korteks oleh adanya serabut-serabut bermielin yang berasal dari radis optik dan
serabut di sekitarnya.(10,11)
Secara histologis korteks visual terbagi atas 6 lapisan (terlihat di gambar),
dimana tiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda-beda. Lapisan 1
cenderung tidak memiliki neuron, lapisan 2 dan 3 (lapisan supragranular) akan
mengirimkan axon ke ekstrastriata (V2,V3,V4, V5). Lapisan 4 ( granular ), yang
terbagi atas sublapisan 4A,4B,4Ca dan 4Cb, dimana lapisan 4Ca dan 4Cb adalah
tempat menerima serabut saraf dari KGL terbanyak. (11,12)

11
Gambar 7. Lapisan korteks

Gambar 8. Proyeksi serabut saraf dari korpus genikulatum lateral ke korteks primer

Vaskularisasi
Korteks visual disuplai oleh arteri serebralis posterior. Pada bagian akhir dari
anterior sulkus kalkarina terdapat arteri serebralis middle yang ikut mensuplai.
Anastomose lanjut antara arteri serebralis middle dan posterior terdapat pada

12
permukaan lateral dekat daerah posterior yang mensuplai daerah fovea. Hal inilah
yang mempengaruhi terjadinya fenomena Macular Sparing pada kelainan lapangan
pandang.(8,9)

LINTASAN PENGLIHATAN
Dari Retina ke Lobus Oksipital
Sensasi visual yang berasal dari end organ yaitu sel batang dan kerucut
dihantarkan ke otak melalui 4 unit neuron. Neuron pertama adalah sel-sel
fotoreseptor, yang melalui proses fototransduksi akan mengubah sel cahaya (foton)
menjadi impuls saraf, selanjutnya impuls dibawa ke neuron kedua yaitu sel-sel bipolar
pada lapisan nuklear dalam dengan axonnya yang berada pada lapisan plexiform
dalam. Impuls tersebut kemudian ditransfer ke neuron ketiga yaitu sel-sel ganglion
retina. Axon-axon sel ganglion tersebut membentuk lapisan serabut saraf retina dan
kemudian berjalan sepanjang nervus optik, kiasma dan traktus optik untuk mencapai
korpus genikulatum lateral dan berakhir disitu. Dari sini bermula neuron keempat
yang membawa impuls visual sepanjang radiasio optik menuju ke korteks visual yang
terletak di bagian medial lobus occipital.(8)

Gambar 9.Skematik lintas penglihatan.

13
BAB III
PEMERIKSAAN DALAM NEURO OFTALMOLOGI

Sebelum membahas tentang pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan


diagnosis kelainan neuroftalmologi, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang
metode anamnesis yang dapat membantu dalam mengarahkan pemeriksaan.
Sembilan puluh persen diagnosis ditegakkan oleh neuro-ophthalmology klinis
dari melakukan anamnesis riwayat pasien. Perhatian penuh, pertanyaan spesifik, dan
evaluasi yang cermat terhadap informasi dapat membantu memperoleh dasar
subspesialisasi diagnostik. Usaha dalam mengumpulkan informasi ini menghemat
waktu dan menghindari yang tidak perlu, yang cenderung mengarah pada potensi
prosedur diagnostik berbahaya dan/ atau mahal. 22
Bila memungkinkan, catatan sebelumnya tentang perawatan pasien harus
ditinjau sebelum memulai wawancara. Biasanya, jika pasien mengijinkan , dapat
dimasukkan orang-orang lain yang datang menemani, seperti pasangan atau kerabat
dekat pasien. Orang-orang ini sering dapat memberikan informasi bahwa pasien tidak
tahu atau tidak ingat. Pasien sering cemas atau takut, dan dokter bisa membuatnya
lebih nyaman berbicara dengan menggunakan istilah orang awam daripada istilah
kedokteran. 22
Ketika menangani anak-anak, anamnesis diambil dari satu atau kedua orang
tua tidak boleh terlalu lama, karena keberhasilan pemeriksaan berikutnya mungkin
terhambat oleh ketidaksabaran anak itu. Bila perlu, dapat menunda pertanyaan yang
lebih rinci sampai setelah pemeriksaan telah selesai. 22
Skema yang diusulkan untuk pertanyaan historis, diberikan pada katalog
berikut, memberikan garis besar secara lebih umum rincian yang akan dibahas, dan
yang dapat dikompresi atau diperluas, tergantung pada detail kasusnya.
Katalog pertanyaan untuk dipertimbangkan saat mengambil riwayat neuro-
ophthalmik:
 Riwayat ofthalmik saat ini:
1. Gejala-gejala saat ini: waktu dan tanggal onset, faktor-faktor yang
menginisiasi, sejak permulaan
2. Gejala yang dialami selama permulaan
3. Mengaitkan gejala-gejala umum (non-visual)
14
4. Manajemen pengobatan yang telah didapatkan

 Riwayat oftalmik komperhensif (pertanyaan yang sesuai dengan waktu onset dan
usia pasien):
Untuk anak-anak:
1. Apakah kedua mata itu sama-sama melihat dengan baik? Apakah anak itu
memiliki mata malas, atau memiliki mata yang pernah ditambal selama lebih
dari satu hari?
2. Pada usia berapa kacamata pertama kali dibutuhkan, dan masalah visual apa
yang diperlukan kacamata?
3. Sejak usia berapa lensa kontak digunakan? Apakah mereka keras, semirigid,
atau lunak?
4. Apakah pernah ada masalah dengan penyelarasan mata?
5. Pernahkah ada operasi okular? Cedera mata? Periode nyeri mata dan
kemerahan?
6. Apakah satu atau kedua mata pernah mengalami tekanan yang tinggi?
Apakah sudah ada diagnosis glaukoma?
7. Apakah pernah ada diagnosis katarak?
8. Apakah ada defisiensi warna bawaan (untuk pasien pria)?
9. Apakah ada masalah lain: kehilangan penglihatan tepi? Gangguan membaca?
Ketakutan dipotret?
10. Adaptasi gelap yang buruk? Masalah dalam memahami gambar visual?
11. obat Ophthalmic? Obat tetes mata?
15
 Riwayat keluarga penyakit mata? Cacat lahir?
1. Pernahkah ada penyakit mata berat yang diwariskan dalam keluarga?
2. Penurunan visus sangat buruk? Strabismus? Katarak? Ablasi retina?
3. Tekanan mata yang meningkat? Glaukoma? defisiensi warna buruk?
4. Atrofi optik? Kebutaan? Degenerasi makula? membaaca yang buruk bahkan
dengan kacamata di anggota keluarga lanjut usia
 Riwayat medis umum (tergantung pada waktu onset dan / atau usia pasien):
1. Penyakit sistemik: Jantung? Paru-paru? Hati? Ginjal? Saluran pencernaan?
Otak? Penyakit vaskular? Tumor?
2. Operasi? Penerimaan rumah sakit? Kecelakaan? Cedera?
3. Gangguan metabolisme: gula darah tinggi? Kelenjar tiroid yang terlalu aktif?
Kolesterol Tinggi? Encok?
4. Hipertensi?
5. Tembakau, alkohol, dan / atau penggunaan narkoba?
6. Alergi?
7. Obat-obatan?
 Riwayat sosial
Tingkat pendidikan, pekerjaan, Status perkawinan / jumlah anak-anak Cacat?
Menerima manfaat jaminan sosial? 22

Dalam kasus penglihatan yang menurun, ada 3 aspek dari anamnesis yang dalam,
Selain usia pasien-sangat penting dalam menentukan etiologi: (1) lateralitas
kehilangan penglihatan, (2) waktu penglihatan hilang, dan (3) gejala terkait. 23

Keterlibatan unilateral versus bilateral


Laterality sangat penting untuk lokalisasi: kehilangan penglihatan unilateral biasanya
menunjukkan lesi anterior ke chiasma, sedangkan hilangnya penglihatan bilateral
dapat mencerminkan proses bilateral okular, chiasmal, atau retrochiasmal. Pasien
yang melaporkan kehilangan penglihatan harus diminta secara khusus jika mereka
telah memeriksa setiap mata secara individual. 23
Waktu penurunan visus
16
Kecepatan onset kehilangan penglihatan dapat membantu menentukan etiologinya.
Onset mendadak (yaitu, dalam beberapa menit) biasanya menunjukkan kejadian
iskemik, seperti oklusi arteri. Kehilangan penglihatan cepat yang berkembang selama
berjam-jam juga paling sering berasal dari iskemik. Sebuah gejala berkembang selama
beberapa hari hingga minggu lebih sering menunjukkan peradangan. Kemajuan
bertahap selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun paling konsisten dengan
penyebab kompresif. Lesi dapat hadir subakut atau dengan progresif penurunan
penglihatan. Pasien bisa menjadi sangat sadar akan proses kronis saat menutup mata
yang tidak terlibat atau hanya setelah mata kedua menjadi terpengaruh. Meskipun
waktu dapat bias mengarahkan penyebab hilangnya penglihatan, berbagai etiologi
menunjukkan cukup tumpang tindih di antara waktu yang berbeda. 23
Gejala Terkait
Rasa nyeri bola mata atau nyeri periorbital ipsilateral yang meningkat pada
pergerakan mata terjadi umumnya pada neuritis optik. Gejala sugestif penyakit
demyelinating termasuk diplopia, oscillopsia, hemiparesis, dan perubahan
hemisensori. Nyeri nonspesifik, mati rasa wajah, atau diplopia mungkin menunjukkan
lesi sinus orbital atau kavernosa. Sakit kepala, rahang klaudikasio, dan gejala sistemik
bisa menunjukkan arteritis giant sel. 23

PEMERIKSAAN FUNGSI PUPIL


Fungsi pupil merupakan tanda klinis objektif yang penting pada pasien
dengan kehilangan penglihatan dan penyakit neurologis. Fungsi pupil dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, gerakan pupil sebagai respon dalam perubahan cahaya, merupakan
alat untuk optimalisasi iluminasi retina agar persepsi visual menjadi maksimal. Pada
cahaya redup, dilatasi pupil berfungsi untuk memaksimalkan jumlah foton yang
mencapai retina, sehingga membantu memperlambat mekanisme adaptasi gelap yang
melibatkan kontrol retina pada level fotoreseptor dan sel bipolar. Dengan pemberian
cahaya terang, konstriksi pupil dapat mengurangi iluminasi retina sampai 1,5 log unit
dalam 0,5 detik.

17
Kedua, diameter pupil juga berkontribusi meningkatkan kualitas gambar pada
retina, ketika diameter steady-state pupil kecil. Pupil yang kecil mengurangi derajat
aberasi kromatik dan sferis.
Ketiga, pupil kecil meningkatkan ketajaman fokus dari sistem optik mata,
berfungsi mirip dengan efek pinhole pada lensa kamera yang digunakan untuk
fotografi. Ketika subjek melihat objek yang dekat, bukan hanya kekuatan akomodasi
yang berubah, tetapi kontraksi pupil juga membawa objek agar lebih fokus dan
meningkatkan ketajamannya. Pada beberapa pasien, respon pupil abnormal mungkin
merupakan satu-satunya tanda objektif dari disfungsi visual organik; sebagian lain,
dapat merupakan life-threatening akibat aneurisma cerebral atau tumor. Hal yang
menguntungkan adalah terdapatnya defek pupil pada afferen dan efferen dapat
ditemukan dengan cepat dan mudah di klinik dengan mengevaluasi ukuran dan reaksi
pupil.
Pemeriksaan pada pupil, sebagai bagian dari evaluasi pasien dengan
penurunan penglihatan, bertujuan untuk mendeteksi Relative Afferen Pupillary Defect
(RAPD). Pemeriksaan pada pupil mempunyai dua tujuan, pertama, untuk menemukan
disorder fungsi pupil sendiri, kedua, untuk mendeteksi disorder sistem visual afferen
dan innervasi otonom mata. Pendekatan sistemik dapat sangat membantu interpretasi
dari penemuan tersebut.
Pemeriksaan pupil memerlukan 2 sinar terang (oftalmoskop indirect dan senter
yang terang), alat untuk mengukur diameter pupil, filter densitas netral, slitlamp,
larutan kokain 5%, biasanya larutan hidroksiamphetamin 1% (lebih tersedia), tetes
mata pilokarpin 0,1% dan 1,0%, fenilefrin 2,5%.
Step pertama : Periksa apakah pupil respon terhadap cahaya
Pupil efektif diperiksa dalam ruangan gelap, kedua pupil bereaksi positif
terhadap cahaya dengan miosis. Pasien diarahkan untuk melihat jauh. Gunakan
sumber cahaya yang kuat (seperti oftalmoskop indirek) untuk menstimulasi kedua
mata secara bersamaan. Jika kedua pupil terlihat berkonstriksi secara simetris,
lanjutkan ke langkah kedua. Tapi jika satu atau kedua pupil tidak bereaksi, keadaan
patologis ini membutuhkan pemeriksaan lanjut lanjutkan ke langkah keempat. .
Step kedua : Bandingkan ukuran kedua pupil
Pemeriksaan ini untuk mengetahui fungsi dari jalur efferen, jika terdapat
anisokoria, ulangi dengan iluminasi yang lebih kuat.
18
Step ketiga : Lakukan swinging flash light test
Langkah ini untuk membandingkan respon afferen dari kedua pupil. Jika
pupil tidak bereaksi baik terhadap cahaya maka tes ini tidak dapat dilakukan. Jika
ditemukan anisokoria, maka tes yang dibutuhkan akan berbeda. Pengalaman
menemukan bahwa jika terdapat perbedaan diameter pupil interokular 0,5 mm atau
lebih maka tes ini paling baik dilakukan dengan menilai gerakan pupil yang lebih
memiliki respon terhadap cahaya, membandingkan respon langsung dan tidak
langsungnya.
Step keempat : Memeriksa penemuan patologis.
Setelah menyelesaikan 3 langkah utama, maka keadaan patologis yang
mungkin terjadi adalah :
1. RAPD
2. Anisokoria dengan respon normal kedua pupil
3. Defisit monokular atau bilateral terhadap respon cahaya.

Pemeriksaan lain Ketika Terdapat Tanda Abnormal Pupil

Relative Afferent Pupillary Defect


Mengukur RAPD adalah bagian yang paling penting dari pemeriksaan pupil
merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan, dan memberikan informasi
klinis yang lebih bermakna. Swinging flashlight test untuk menilai defek aferen
biasanya berdasarkan asumsi bahwa anda bekerja dengan sepasang iris, setiap iris
memiliki sfingter normal dan otot dilator yang dipersarafi seimbang, sehingga reaksi
terhadap cahaya dapat dibandingkan. Cahaya yang dipindahkan dari mata satu ke
mata yang lain pada ruangan redup, amplituda kontraksi pada pupil yang disinari
dibandingkan dengan reaksi pupil pada mata sebelahnya ketika sinar dipindahkan ke
mata tersebut.
Untuk memeriksa RAPD, mulailah dengan memindahkan cahaya dari satu
mata ke mata lainnya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pertahankan cahaya
tepat di depan mata selama 3 detik, untuk merangsang konstriksi pupil, dan untuk
membiarkan pupil berdilatasi atau escape (akibat adaptasi) pada akhir detik ke tiga.
Komponen escape ini penting, karena untuk memastikan akan terdapat konstriksi

19
pupil pada mata lainnya ketika cahaya dipindahkan ke mata tersebut. Jika cahaya
terlalu terang, pupil tidak akan mengalami re-dilatasi atau escape dan kita akan
melihat gerakan pupil yang minimal ketika cahaya dipindahkan. Jika hal ini terjadi,
maka intensitas cahaya dapat dikurangi, atau dapat dengan mengurangi jarak antara
mata dan cahaya menjadi 3 atau 4 inchi, kemudian tes ini dapat dilanjutkan. Cara
lainnya adalah meningkatkan interval gelap dengan melewatkan cahaya di bawah
hidung pada saat cahaya dipindahkan.
Menyeimbangkan respon pupil dengan filter untuk menyediakan unit log
RAPD dilakukan dengan memberikan filter densitas netral pada mata dengan respon
yang baik dan mengulangi tes. Jika masih terjadi asimetri, densitasnya ditingkatkan
sampai tercapai keseimbangan amplitudo pupil terhadap cahaya. Kadang-kadang
asimetri yang sangat kecil ditemukan (misalnya defek log < 0,3 pada mata kiri) dan
pemeriksa tidak yakin apakah kelainan ini disebabkan oleh kelainan fisiologis (hippus
atau variabilitas respon) atau RAPD. Pada kasus ini, konfirmasi dapat dilakukan
dengan membandingkan RAPD kedua mata dengan filter log 0,3 (pada subjek normal,
RAPD yang kecil akan terangsang pada mata yang menggunakan filter). Pada pasien
tanpa RAPD, asimetri yang sama akan tampak pada kedua mata. Pada pasien dengan
RAPD yang kecil, filter log 0,3 akan menambah RAPD pada mata dengan filter dan
akan terminimalisir (atau mengalami netralisasi) ketika filter diletakkan pada mata
lainnya.
Studi terbaru menggunakan pupillografi komputerisasi untuk lebih unit log
suatu RAPD telah menunjukkan bahwa beberapa subjek dengan dengan pemeriksaan
dan lapangan pandang normal juga dapat memiliki 0,3 unit log RAPD. Sehingga
penemuan secara tidak sengaja terhadap RAPD yang kecil pada pasien tanpa keluhan
dan pemeriksaan lainnya normal dapat diabaikan.

Swinging light Test


Tes ini digunakan untuk mendeteksi RAPD. Dasar fisiologi dari tes ini
bahwa, pada mata yang sehat, reaksi pupil pada mata kanan dan kiri berhubungan.
Dengan kata lain, jika salah satu mata disinari menghasilkan konstriksi yang
seimbang pada kedua pupil. Ketika sinar dijauhkan , kedua pupil akan melebar secara
bersamaan.

20
RAPD positif berarti terdapat perbedaan antara dua mata dalam jalur afferen
akibat dari penyakit retina atau nervus optik. Jika sinar yang digunakan cukup terang,
bahkan katarak yang padat atau sikatriks kornea tidak akan menghasilkan RAPD jika
retina dan nervus optik sehat. Sebagai contoh, tes ini dapat dilakukan untuk menilai
retina dan nervus optik walaupun terdapat katarak yang padat.
Pada glaukoma jika pemeriksaan lain sudah tidak dapat dilakukan (seperti
tes lapangan pandang), mendeteksi RAPD dapat sangat berguna dalam menilai
kerusakan nervus optik pada salah satu mata, walaupun penglihatan pada kedua mata
tersebut sama.
Langkah-langkah Swinging light test:
 Gunakan senter terang dan fokus. Lakukan tes ini dalam ruangan redup. Jika
ruangan terlalu gelap akan sulit untuk mengamati respon pupil, terutama pada
mata berpigmen.
 Minta pasien melihat objek yang jauh dan tetap kepada objek tersebut.
Gunakan snellen chart, atau gambar. Ini untuk mencegah respon pupil-dekat
( kontriksi pupil saat melihat objek dekat). Ketika melakukan tes ini, mata
harus tetap pada fiksasinya.
 Gerakkan senter dari satu mata ke mata lain sehingga sorotan sinar langsung
mengenai /setiap mata. Jangan mengayunkan sinar melalui aksis sentral
(misalnya dengan memegangnya di depan hidung pasien) karena hal ini dapat
merangsang refleks dekat.
 Jaga agar sumber cahaya pada jarak yang sama pada setiap mata agar stimulus
yang diterima oleh tiap mata sama
 Biarkan sorotan cahaya selama 3 detik pada mata pertama. Hal ini membuat
ukuran pupil stabil. Perhatikan apakah pupil bereaksi cepat terhadap cahaya
dan berkonstriksi penuh. Perhatikan juga apakah pupil pada mata sebelahnya
berkontriksi cepat?
 Pindahkan senter dengan cepat ke mata sebelahnya. Tahan selama 3 detik.
Perhatikan juga apakah pupil tetap dalam ukuran yang sama, atau menjadi
lebih besar. Perhatikan juga apa yang terjadi pada mata sebelahnya.
 Lakukan pengulangan tes, amati apa yang terjadi pada pupil di kedua mata
ketika kedua mata tersebut disinari secara bergantian.

21
A. B.
Gambar 10. A. Pemeriksaan pada mata yang tidak memiliki RAPD B. Mata kiri
dengan optik neuropati yang menghasilkan RAPD.

Keadaan Khusus
1. Hippus
Pupil normal, terutama pada orang muda, kadang-kadang
memperlihatkan fluktuasi ukuran (kurang dari 1 mm) bahkan ketika sinar yang
diberikan konstan. Ini disebut hippus dan hal ini dapat menyulitkan
pemeriksaan RAPD.
2. Pupil non-reactive
RAPD masih dapat dideteksi bahkan jika pupil tidak dapat berubah
ukuran (fixed pupil), karena trauma, sinekia posterior, atau karena penggunaan
tetes mata sebelumnya.

22
Gambar 11. RAPD pada optik neuropati dan nonreaktif pupil.

3. Makulopati

Biasanya tidak disertai dengan RAPD kecuali penyakit ini sudah


sangat berat, grade RAPD tidak lebih dari 1-2 +. Kerusakan retina yang luas,
seperti oklusi vena retina sentral, ablasi retina, dapat menghasilkan RAPD
high-grade. (Broadway DC 2012).

Gambar 12. Perkiraan distribusi unit log RAPD yang diharapkan untuk kehilangan
input retina, dengan mata satu yang normal

23
Anisokoria dengan Kedua Pupil Bereaksi Normal terhadap Cahaya
Tes Dilatasi
Tes dilatasi digunakan untuk membedakan kecepatan dilatasi kedua pupil
setelah menghilangkan stimulus cahaya terang. Ini menentukan apakah terdapat
masalah pada inervasi simpatis pupil.
Ketika pupil berdilatasi dengan baik dan tidak ada perbedaan kecepatan antara
keduanya, anisokoria yang terlihat bersifat fisiologis. Anisokoria fisiologis lebih dari
1 mm sangat jarang, sehingga diperlukan tes kokain jika diperlukan, juga, ketika pupil
yang lebih kecil berdilatasi dengan lambat, maka tes kokain diindikasikan.
Tes Kokain dan Hidroksiamfetamin
Tes kokain diindikasikan pada tiga situasi :
1. Anisokoria lebih dari 1 mm dengan reaksi pupil normal
2. Pupil kecil dan berdilatasi lambat
3. Ptosis ipsilateral terhadap pupil yang lebih kecil (suspek sindrom Horner)

Kokain menghambat re-uptake presinap terhadap pelepasan norepinephrin di


sinaps neuromuskular post-ganglion. Sehingga berfungsi sebagai simpatis tidak
langsung. Ketika inervasi simpatis intak, terdapat laju pelepasan konstan noradrenalin
ke dalam sinaps, dan kokain menghalangi reuptake-nya, menyebabkan akumulasi
neurotransmitter, dan menyebabkan dilatasi pupil hebat, menyebabkan anisokoria.
Ketika melakukan tes ini pada bayi dan anak kecil, larutan yang digunakan adalah
kokain 2,5%. Diameter pada kedua pupil diukur sebelum dan 1 jam setelah penetesan
menggunakan level iluminasi yang sama. Jika menginginkan pengukuran yang lebih
teliti, pengukuran harus dilakukan dengan fotograf. Gunakan 2 tetes (setiap 1 menit)
larutan kokain 4% atau 10% dan tunggu 45-60 menit.
Lensa kontak, tes refleks kornea, dan tetes mata tidak boleh digunakan dalam
24 jam sebelum tes kokain dilakukan untuk mencegah perbedaan absorpsi kokain
yang dapat menyebabkan /perbedaan palsu pada pupil. Sebelum memulai tes ini,
harus selalu diinformasikan bahwa kokain ini akan terdapat di urin selama 48 jam.

24
Gambar 13. Sindrom Horner pada sisi kanan, sebelum dan setelah tes kokain

Tetes mata kokain digunakan pada kedua mata (semua tes farmakologis pupil,
harus dilakukan pada kedua mata, agar dapat membandingkannya). Tes kokain dapat
membedakan anisokoria fisiologis dan sindrom Horner. Pada kasus dengan hasil yang
meragukan, tes ini sebaiknya diulang. Di Amerika Serikat, dimana tes ini secara acak
digunakan pada pekerja, pekerja yang telah dites dengan kokain diberikan sertifikat
yang menyatakan bahwa mereka telah terekspos kokain sebagai bahan tes medis.
Setelah tes kokain dilakukan, juga sebaiknya dilakukan penetesan fenilefrin
5% atau 10% untuk melebarkan pupil yang miosis. Hal ini penting untuk meyakinkan
bahwa pupil yang gagal berdilatasi bukan akibat otot pupillodilator yang bermasalah
(seperti pupil tonik Adie yang sudah lama atau akibat sikatriks atau sinekia).
Fenilefrin dapat membedakan pupil miosis akibat sindrom Horner atau akibat mekanis
(adesi atau sinekia). Pupil miosis akibat sindrom Horner akan berdilatasi cepat
sedangkan pupil miosis akibat mekanis tidak akan melebar.
Konsentrasi rendah fenilefrin (sekitar 2%) lebih tepat dipakai untuk
mendeteksi kelemahan dilator pupil. Pada bayi, kadang ditemukan anisokoria dengan
refleks pupil baik dan tanpa ptosis yang menetap setelah penetesan larutan kokain.
Jika anisokoria menetap setelah penetesan fenilefrin 2,5%, maka dapat disimpulkan
bahwa dilator pupil pada pupil yang lebih kecil mengalami hipoplasia. Ini kelainan
yang ringan dan tidak berhubungan dengan abnormalitas segmen anterior, serta dapat
membaik seiring dengan waktu.

25
Agen adrenergik indirek lainnya, seperti hidroksiamphetamin 1% atau 2,5%
tyramin, menstimulasi pelepasan noradrenalin kedalam katup sinaps di ujung terminal
saraf dari rantai simpatis (bagian post-ganglion dari jalur okulosimpatis). Obat ini
hanya berefek jika ujung saraf intak dan berfungsi baik. Jika lesi mengenai neuron ini
maka pupil Horner tidak akan berdilatasi terhadap hidroksiamfetamin. Jika lesi yang
menyebabkan sindrom Horner melibatkan jalur simpatis sentral atau preganglion,
dilatasi pada pupil Horner dan pupil yang sehat. Tes ini dilakukan setelah 24-72 jam
setelah tes kokain atau apraclonidin. Setelah 45 penetesannya, efek midriatik akan
timbul seperti pada tes kokain. Jika kedua pupil berdilatasi dengan baik, maka
kehilangan fungsi adrenergik dapat dikaitkan dengan kerusakan neuron ketiga
(terminal) pada jalur simpatis, misalnya di atas ganglion servikalis superior pada
rantai simpatis.

Anisocoria 1 h After topical The effect of 5 % cocaine eye


installation of 5 % cocaine drops on the smaller pupil
solution
Horner’s Syndrome > 1 mm < 0,5 mm
No Horner Syndrome < 0,3 mm > 1,5 mm
Horner syndrome suspected 0,4- 0,9 mm Borderline values with no
persuasive evidence of
Horner Syydrome

Tes kokain untuk sindrom Horner

Tes Apraclonidin
Apraklonidin merupakan reseptor-alfa agonis dengan aktifitas alpha-2 yang
kuat dan alpha-1 lemah. Pada pupil normal, aktifitas presinap alfa-2 dapat
mengurangi produksi dan pelepasan norepinefrin di junction, yang akan menghasilkan
pupil lebih kecil dari biasanya. Pada mata yang mengalami denervasi simpatis, terjadi
upregulasi reseptor post-simpatik alfa-1 menghasilkan denervasi supersensitifitas. Ini
diperlihatkan oleh dilatasi pupil Horner sebagai respon terhadap agonis adrenergik
lemah. Teteskan 1 tetes aprakloniidin 0,5% atau 1% di setiap sakkus konjungtiva,
tunggu selama 30 menit. Midriasis ( 1-4,5 mm ) pada pupil yang miiosis merupakan
tanda positif denervasi supersensitifitas dan pada kebanyakan kasus pupil yang miosis
akan tampak lebih besar, menghasilkan “anisokoria terbalik”. Penemuan ini
merupakan diagnostik sindrom Horner. (Purvin V 2006, Kawasaki 2004)
26
Gambar 14. Terdapat retraksi kelopak mata dan peningkatan ukuran pupil setelah pemberian
apraklonidin di kedua mata pada pasien cocain-confirmed Horner syndrom. Terjadi
“anisokoria terbalik”

Gangguan Unilateral atau Bilateral Refleks Pupil


Memeriksa Refleks Dekat
Refleks dekat harus diperiksa ketika ditemukan abnormalitas refleks pupil
unilateral atau bilateral. Belum ada laporan tentang refleks dekat yang terisolasi.
Ketika memeriksa refleks dekat pupil, level iluminasi harus cukup terang
sehingga pupil dapat terlihat dengan mudah dan sebuah objek dengan detail yang
bagus dibawa ke depan secara perlahan. Pada beberapa kasus respon dekat terlihat
lebih baik dibandingkan refleks cahaya. Hal ini disebut light-near dissociation.

Gambar 15. Sifat pupil pada pupillotonia. Tidak terdapat reaksi pupil (atas), sementara
refleks dekat dengan mudah dapat dideteksi meskipun terlambat (bawah).

Pemeriksaan Okulomotor
Defek monokular pada refleks pupil menimbulkan kecurigaan terhadap parese
nervus III. Sementara defisit bilateral disertai palsi gerakan vertikal dihubungkan
dengan sindrom Parinaud.

27
Pemeriksaan Slit-lamp
Slit-lamp dapat mengevaluasi anatomi pupil dan iris, terutama terhadap
adanya atropi sfingter atau kerusakan akibat trauma. Pemeriksa sebaiknya
memperhatikan apakah terdapat gerakan spontan sfingter terhadap cahaya atau apakah
hanya sebagian sfingter yang berkontraksi. Re-dilatasi lambat pada pupil yang
konstriksi dapat terlihat pada slit-lamp dan membantu mengkonfirmasi gejala tonik
dari pupil Adie.
Tes Pilokarpin 1% dan 0,1%
Tes dengan pilokarpin konsentrasi lemah (0,1%) digunakan ketika diagnosis
pupil tonik tidak dapat dikonfirmasi melalui slit-lamp. Pupil tonik memiliki
karakteristik denervasi hipersensitivitas terhadap rangsangan kolinergik. Pengunaan
pilokarpin lemah sebaiknya dilakukan lebih dulu sebelum pemeriksaan lain yang
mengganggu permeabilitas kornea.
Tes pilokarpin konsentrasi tinggi diindikasikan bila pupil tidak bereaksi
terhadap cahaya, usaha akomodasi maksimal, atau pilokarpin lemah. Jika pilokarpin
kuat gagal dalam mengkonstriksi pupil, maka terdapat masalah pada iris/pupil
tersebut. Jika obat-obatan antikolinergik (seperti atropin atau scopolamin)
menyebabkan dilatasi pupil, maka pilokarpin 1% tidak akan menyebabkan konstriksi
pupil (tes positif). Pada pasien dengan paralisis okulomotor, pilokarpin 1% akan
menyebabkan miosis.

28
Gambar 16. Respon pupil pada status normal dan gangguan klasik pupil selama pemeriksaan
rutin. A. Memeriksa anisokoria dan refleks pupil. B. Respon tehadap swinging flashlight tes
dengan fungsi aferen normal. C. Respon pada gangguan jalur refleks aferen monokular. 1.
Pemeriksaan pada ruangan gelap; 2 pemeriksaan dengan cahaya terang; tidak ditemukan
anisokoria, dan respon normal atau tanda dari defek aferen;3,4 perbandingan interokular
refleks cahaya selama swinging flashlight test dan tidak ada RAPD; 5,6 RAPD pada mata
kiri; 7-12 respon pupil pada kasus dengan dilatasi pupil pada mata kanan yang tdk berespon
terhadap cahaya; 9,10 tdk ada RAPD; 11-12 terdapat RAPD pada mata kanan.

29
FUNDUSKOPI
Evaluasi papil nervus optik dapat dilakukan menggunakan funduskopi direk
dan indirek. Juga dengan menggunakan lensa +78D, +66D, +60D dan +90D.
Pemeriksaan papil nervus optik harus dilakukan dalam keadaan pupil dilatasi
maksimal. Pemeriksaan monokular hanya untuk menilai perubahan warna
neuroretinal rim dan optik diskus sehingga didapatkan perbandingan cup disc ratio
(CDR), sedangkan untuk menilai bentuk, topografi dan gambaran yang lebih
mendetail dari papil nervus optik haruslah dengan pemeriksaan binokular
(stereoskopik).
Pemeriksaan menggunakan slit lamp biomikroskopi dengan menggunakan
lensa condensing indirek (+78D, +66D, +60D, dan +90D) memiliki kelebihan
stereoskopik dan magnifikasi, tetapi kurang nyaman bagi pasien. Bayangan yang
terbentuk terbalik 180o dengan gambaran yang didapatkan pada pemeriksaan. Lensa
+78D dan +66D memberikan gambaran yang lebih luas dalam menilai segmen
posterior. Lensa +60D memberikan gambaran magnifikasi tetapi lapangan pandang
yang lebih kecil. Dan lensa +90D memberikan lapangan yang lebih luas dan
magnifikasi yang lebih kecil, baik digunakan bila pupil tidak dilatasi. (1,7)

Gambar 17. Lensa +90D (kiri) dan Lensa +78D (kanan)

Funduskopi direk memberikan gambaran dua dimensi, non-stereoskopik, dan


sekedar mengestimasi papil nervus optik. Dapat digunakan sebagai salah satu alat saat
screening glaucoma di lapangan. Funduskopi inderek memberikan gambaran
stereoskopik tetapi banyangan yang terbentuk sangat kecil, sehingga sulit
mengidentifikasi perubahan bentuk dari papil nervus optik. Cupping dan perubahan
bentuk papil nervus optik dapat kelihatan berbeda dengan alat yang berbeda pula.
Pemeriksaan papil nervus optik sebaiknya dilakukan menggunakan alat dan metode

30
yang sama, disarankan menggunakan slit lamp biomikroskopi dengan lensa +90D
atau +78D.
Papil nervus optik berbentuk bulat atau oval ‘plughole’ dimana mengandung
ratusan serabut saraf retina yang menembus lamina kribrosa. Serabut saraf retina ini
selanjutnya akan bersatu dalam nervus optik dan berlanjut hingga ke otak. Serabut
saraf retina keluar dari margin cup hingga margin diskus (membentuk skleral ring).
Cup merupakan area sentral dari neuroretinal rim. Tepi cup akan terlihat jelas saat
terlihat pembuluh darah yang melengkung (bend) keluar dari cup.

31
Gambar 18. Papil Nervus Optik Normal

Kebanyakan diskus normal lebih oval arah vertikal, dan cup lebih oval arah
horizontal. Sebagai tambahan, papil nervus optik mengikuti ISNT rule : Inferior
(bawah) rim biasanya lebih tebal dibandingkan Superior (atas) rim, Nasal rim lebih
tipis dari Superior rim, dan Temporal rim merupakan lapisan yang paling tipis. (3,6,7)

Gambar 19. Neuroretinal Rim Rule ISNT


(Inferior, Superior, Nasal, Temporal) (6)

Beberapa penilaian dalam pemeriksaan papil nervus optik diantaranya :


1. Ukuran
2. Bentuk
3. Optik Cup
4. Neuroretinal Rim (NRR)
5. Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL)
6. Area Parapapil
IV. 1. Ukuran
Pengukuran diskus optik harus dilakukan secara vertikal dan horizontal
diameter area diskus. Ukuran diskus optik bervariasi antara 0.80 – 6.00 mm 2 (sekitar
1:7 pada populasi normal). Ukuran diskus tergantung dari morfologinya, dan
berkorelasi positif dengan Cup Disc Ratio (CDR). Ukuran diskus akan lebih besar

32
pada penderita miopia, dan akan lebih kecil pada penderita hipermetropia (perbedaan
lebih dari 5.0 D).
Ukuran diskus optik juga dipengaruhi ras (etnik). Caucasian memiliki ukuran
diskus yang lebih kecil dibandingkan ras Afrika Baltimore Eye Study (2004) ukuran
diskus optik pada orang dewasa kulit putih berkisar 1.15 - 4.94 mm 2, sedangkan pada
orang dewasa kulit hitam sekitar 0.90 – 6.28 mm2. Penelitian pada populasi Indian
juga didapatkan hal yang sama yakni sekitar 2.25 – 3.37 mm2. (6,7)

Gambar 20. Variasi ukuran dikus optik pada populasi normal. (A)Kecil.
(B)Rata-rata. (C)Besar.
Dimana ukuran cup sesuai dengan ukuran diskus. (6)

Optik diskus yang besar memiliki neuroretinal rim yang lebih banyak pula bila
dibandingkan dengan optik diskus yang lebih kecil. Pada diskus yang kecil biasanya
serabut saraf lebih tumpang tindih dan lebih banyak rongga pada lamina kribrosa.
Ukuran diskus optik juga berhubungan dengan anamali morfologi tertentu.
Optik diskus yang kecil dapat ditemukan pada drusen papil nervus optik, non-arteritic
AION, dan pseudopapiledema. Sedangkan optik diskus yang besar dapat ditemukan
pada miopia tinggi, morning glory sindrom, koloboma diskus optik. Perbedaan > 2
mm2 standar deviasi normal dikatakan makro-diskus, dan perbedaan < 2 mm 2
dikatakan mikro-diskus. (7,8,9)

Gambar 21. (A)Drusen papil nervus optik. (B)Koloboma diskus optik. (7)

33
Bentuk
Normalnya papil nervus optik lebih oval vertikal dibandingkan horizontal
sekitar 7-10%. Bentuk papil nervus optik tidak dipengaruhi tinggi, berat, dan jenis
kelamin. Bentuk abnormal papil nervus optik ada hubungan dengan ambliopia dan
astigmat kornea. Gambaran papil nervus optik yang bergeser di satu sisi (tilted) sering
didapatkan pada pasien dengan miopia tinggi. Orientasi tilted papil nervus optik yang
paling sering adalah kuadran temporal dan inferior. Papil nervus optik pada miopia
astigmat >8D lebih lonjong dan oblik, Nampak traksi asimetrik pada diskus sehingga
dicurigai dapat menyebabkan glaucoma.

Gambar 22. (A,B) Variasi bentuk papil nervus optik pada orang normal. (C) Papil nervus optik
pada miopia tinggi (9)

Parameter diskus optik dapat dinilai dengan mengidentifikasi margin diskus.


Margin diskus adalah tepi skleral ring bagian dalam, biasanya mudah diidentifikasi
kecuali pada kasus miopia tinggi dan tilted diskus. Neuroretinal rim (NRR)
merupakan daerah berwarna pink peralihan bentuk cup optik. Peripapilar skleral ring
bermakna untuk melihat pembesaran area NRR dan penurunan CDR. (3,8,9)

Gambar 23. Margin diskus terlihat pada arah panah putih (3)

Menurut Elschnig, bentuk optik cup dapat dibagi berdasarkan


5 tipe, yakni :

34
- Tipe I : small tunnel shaped
- Tipe II : temporal silinder
- Tipe III : central-through shaped
- Tipe IV : temporal atau central dengan nasal step wall dan
sloping temporal margin
- Tipe V : developmental anomalies

Optik cup
Optik cup normal lebih oval horizontal dibandingkan vertikal, dengan
diameter 8% lebih panjang. Bentuk konfigurasi ini menjelaskan mengapa neuroretinal
rim normal paling luas pada regio inferior dan superior dibanding regio nasal dan
temporal diskus optik. Cup Disc Ratio (CDR) tergantung dari perbandingan ukuran
optik cup dan ukuran diskus.

Gambar 24. (A)Neuroretinal rim (NRR) normal. (B) Marking tepi NRR dan optik cup. (C) Optik
nerve glaucomatous (11)

Ada empat tipe optik cup normal yang sering ditemukan, yakni:
-Tidak ada cupping
- Batas cup jelas dengan tepi datar
- Batas cup dengan sloping temporal NRR
- Optik cup dengan sloping seluruh NRR (Inferior, superior, nasal dan temporal)

35
Gambar 25. Ilisutrasi optik cup. (A) Normal. (B) Perubahan kedalaman optik cup. (C) Shelving
optik cup. (D) Ekskavakasi unipolar. (E) Ekskavakasi bipolar (12)

TES SENSIFITAS KONTRAS


Sensitivitas kontras adalah ukuran yang sangat penting dari fungsi visual,
terutama dalam situasi cahaya rendah, kabut atau silau, ketika kontras antara obyek
dan latar belakang mereka sering berkurang. Mengemudi di malam hari adalah contoh
kegiatan yang membutuhkan sensitivitas kontras yang baik untuk keselamatan.
Bukan merupakan indikator yang spesifik untuk masalah – masalah yang
bervariasi di dalam sistem penglihatan. Sensitivitas kontras merupakan kemampuan
mendeteksi benda pada kontras yang rendah.
Tes sensitivitas kontras mengukur kemampuan untuk membedakan antara
halus dan lebih halus penambahan cahaya dibandingkan gelap (kontras). Ini berbeda
dari pengujian ketajaman visual dalam pemeriksaan mata rutin, yang mengukur
kemampuan untuk mengenali huruf kecil dan lebih kecil pada grafik mata standar.
Pembesaran dilakukan apabila tidak dapat mengenal huruf dengan kontras
tinggi saat membaca Penurunan sensitivitas kontras sering terjadi atau ditemukan
pada penderit a macular udem.
Perangkat yang paling banyak digunakan untuk menguji sensitivitas kontras
adalah Pelii Robson

36
Pasien membaca huruf jarak 1 meter dengan iluminasi yang cukup dan
konstan, biasanya dimulai dari kontras tinggi sampai tidak dapat membaca 2-3 huruf
pada 1 baris (setiap baris terbagi dalam 2 variasi kontras). Score 2,0 berarti normal
kontras sensitivity (100 %) ,skor dibawah 1,5 menujukkan adanya visual impairment
dan score dibawah 1 menunjukkan visual disability
Perangkat lain, lebih canggih juga dapat digunakan untuk menguji sensitivitas
kontras Anda. Perangkat ini sering menggunakan target disebut kisi-kisi sinus-
gelombang yang terdiri dari sejumlah fuzzy, palang sejajar terang dan gelap. Bar ini
dapat bervariasi lebar (frekuensi spasial) serta kontras dari target target, untuk
memberikan evaluasi yang lebih menyeluruh tentang bagaimana sensitif mata dengan
perbedaan kontras.
Beberapa tes kisi gelombang sinus termasuk sumber cahaya terang yang dapat
diarahkan mata selama tes untuk mensimulasikan situasi silau seperti melaju lampu
pada malam-mengemudi.

37
(1) (2)

(3) (4)
Uji CSV-1000Rs (2) digunakan secara luas untuk skrining pasien bedah
refraktif. Tes menyajikan ETDRS LogMAR ketajaman antara 20/10 akan 20/100 dan
satu baris frekuensi spasial pada 12 siklus / derajat.
Pasien dapat dengan mudah diputar di kursi pemeriksaan untuk ETDRS ketajaman
dan sensitivitas kontras. Jika defisit sensitivitas kontras ditemukan, pengujian ulang
pasien dengan semua empat frekuensi spasial menggunakan CSV-1000E dianjurkan.
Uji CSV-1OOOS (3) banyak digunakan untuk evaluasi katarak. Tes ini
menyajikan ketajaman visual standar dari tahun 15 / 20-20 / 200, dua baris frekuensi
spasial (6 dan 12 siklus / derajat) dan adegan sopir nyata-dunia.
Tes ini sangat berguna untuk dokumentasi katarak karena menyediakan skor
ketajaman standar, skor ketajaman fungsional dan simulasi dunia nyata. Dunia nyata
adegan merupakan alat pendidikan yang sangat baik untuk menunjukkan fungsional
kehilangan penglihatan katarak untuk kedua pasien dan keluarga pasien sebelum
operasi katarak.
 Uji CSV-lOOOSLanC (4) menyediakan tes yang sama sebagai standar CSV-
1OOOS, kecuali bahwa uji ketajaman disajikan dalam format Landolt C. Tes ini
sangat berguna ketika menguji pasien yang tidak bisa membaca abjad Inggris.

TES PENGLIHATAN WARNA


Penglihatan warna adalah suatu respon kortikal terhadap rangsangan fisik
khusus yang diterima oleh retina. Penglihatan warna merupakan kemampuan mata
untuk mendiskriminasi antara warna yang berbeda yang dieksitasi oleh cahaya dengan
panjang gelombang yang berbeda. Proses analisa warna dimulai dari retina dan tidak
38
sepenuhnya diatur oleh otak. Langkah awal pada proses visual adalah absorbsi cahaya
oleh fotoreseptor rod dan cone. Persepsi warna merupakan suatu respon terhadap
energi elektromagnetik pada panjang gelombang antara 400 dan 700 nm yang
diabsobsi oleh segmen luar pigmen visual cone

Gambar 26 Pseudoisochromatic Plate tests

Skrening tes yang tersering adalah tes lempeng pseudoisochromatic. Pertama


kali diperkenalkan oleh Stilling, tes ini memberikan sebuah gambar yang terdiri atas
titik-titik warna dengan latar belakang titik-titik warna yang berbeda. Biasanya, warna
sengaja dipilih sehingga observer dengan defek warna tidak dapat melihat gambar
tersebut. Lempeng-lempeng itu berupa bintik-bintik warna primer yang dicetak di atas
latar belakang mosaik bintik-bintik serupa dengan aneka warna sekunder yanng
membingungkan. Bintik-bintik primer disusun dengan pola sederhana (angka atau
bentuk geometrik) yang tidak dapat dikenali oleh pasien dengan gangguan persepsi
warna. Desain yang paling cerdas adalah desain yang menggunakan empat set warna
sehingga observer normal melihat gambar lain juga. Tes warna ini hanya akurat
dengan pencahayaan yang tepat, biasanya iluminasi biru-putih yang menyerupai
cahaya matahari. Contoh lempeng pseudoisochromatic adalah Isihara dan hardy-
Rand-Rittler plates.(1,2,8)

39
Gambar 27. Isihara plate
Kebanyakan tes lempeng pseudoisochromatic didesain untuk mengidentifikasi
observer dengan defek color vision kongenital yang terkait kromosom X. Pemilihan
warna dioptimalkan untuk melihat gangguan diskriminasi warna tertentu yang didapat
pada defek kongenital ini, dan tes ini dapat dilakukan dengan cepat dan sukses
mendeteksi 90%-95% observer dengan defek color tetapi tidak efektif untuk
mengklasifikasikan defisiensinya. Tes Lempeng pseudoisochromatic kurang baik
untuk mendeteksi defek color vision dapatan. Biasanya pada pasien ini akan cukup
memperlihatkan abnormalitas warna sebelum didapat gagal pada tes lempeng. Saat ini
lempeng pseudoisochromatic telah didesain khusus untuk defek color vision dapatan,
namun efisiensinya masih belum jelas.
Ishihara tes adalah cara yang umum digunakan, efektif untuk menyaring
penglihatan warna. Iluminasi harus disediakan berupa lampu meja dengan cahaya
yang cukup. Setiap mata diuji secara terpisah. Plate dipegang pada jarak 75 cm dan
setiap lempeng diberikan pada waktu 3 detik. Pasien dengan penglihatan miskin 6/60
mungkin masih bisa melihat pelat kendali Ishihara. Dalam versi 16 plate, 3 kesalahan
dianggap normal. Plate demonstrasi harus dilihat oleh semua pasien. lembar respons
yang diharapkan standar untuk kekurangan warna merah-hijau disediakan dengan
tes.22
The HRR (hardy-Rand-Rittler plates) Pseudoisochromatic Plate Sangat
efektif untuk pemeriksaan buta warna.
1. Empat plate pertama digunakan untuk menunjukkan kepada pasien bagaimana
tes bekerja.
2. Lima plate berikutnya (screening series) menunjukkan paling banyak kesulitan
pada protan, deutan and tritan (red, green, yellow, and blue) targets.
3. Keberhasilan pada plate ini menunjukkan subjek memiliki normal color vision.
4. 14 plates berikutnya adalah diagnostic series and menyediakan diagnosis yang
lebih mendalam(mild, medium or strong) and type of defect (Protan, Deutan,
Tritan).

40
Gambar 28. Hardy-Rand-ritler

Rapid Tes Lainnya


Rapid tes lainnya untuk abnormalitas color vision dengan memisahkan topi
warna. Prinsipnya, pendekatan ini dipergunakan untuk defek color vision dapatan,
dikarenakan tidak memepergunakan campuran dari beberapa warna.
Beberapa tes lainnya adalah:
- The lantern test
- City university color vision test
- Holmgren’s wools test

Diskriminasi
Pemeriksaan klinik dari kemapuan mendiskriminasikan warna (color
discrimination) dilakukan dengan membuat beberapa tes yang membutuhkan observer
untuk mengatur satu set contoh berdasarkan kemiripannya. Bila contoh warna
diletakkan berdekatan, maka tugas ini menjadi satu dari fine chromatic discrimination
(contoh Farnsworth-munsell 100-hue test). Tes-tes ini biasanya memakan waktu lama.
Bila contoh warna diletakkan berjauhan, maka tes mengevaluasi kebingungan antara
contoh yang tampak dengan observer normal (contoh Farnsworth panel D-15).
Beberapa tes dapat dilakukan dengan cepat dan bahkan dapat digunakan untuk
skrening. Penatalaksanaan tes dapat menggunakan contoh yang berbeda hanya dalam
chromaticity hingga tes diskriminasi hue, hanya pada luminasi untuk tes diskriminasi
kecerahan (ligthness discrimination), atau hanya dalam keabu-abuan untuk tes

41
diskriminasi saturasi. Penatalaksanaan tes mudah dilakukan tetapi membutuhkan
konsep pengaturan abstrak, keterampilan manual dan kesabaran. Oleh karena itu, tes
ini kurang cocok untuk digunakan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun.
Tes pengaturan yang paling terkenal adalah Farnsworth_munsell 100-hue test.
Tes ini memeberikan 84 cap yang berbeda dalam hue tetapi konstan dalam kecerahan
dan saturasi. Tes panel termasuk Farnsworth Panel D-15 dan Farnswort-Munsell
100-hue test ini lebih akurat dalam mengklasifikasikan defisiensi warna. Farnsworth-
Munsell 100-hue test sangat sensitive karena perbedaan hue antara tablet diatasnya
mendekati minimal, yang dapat dikenali oleh observer (1-4 nm). Karena
spektrumnyadibagi menjadi 4 bagian selama pemeriksaan dan pasien diminta
membedakan antara gradasi warna yang berbeda. Tes ini sangat melelahkan dan
memakan waktu.
Observer dengan defek penglihatan warna kongenital membuat kesalahan
karakteristik dalam tes pengaturan karena kemampuan diskriminasi chromatic maka
melemah atau hilang pada aksis tertentu dari ruang chromaticity. Pada defek
penglihatan warna dapatan, maka hilangnya dapat lebih bervariasi.

Gambar 29. Farnsworth-Munsell 100-hue test

Gambar 30 . Farnsworth Panel D-15

42
The farnsworth panel D-15 merupakan tes yang lebih mudah untuk
penggunaan klinik karena terdiri dari satu kotak yang berisi 15 tablet warna. Tes ini
tidak terlalu sensitive dan dapat saja tidak mendeteksi individu dengan gangguan
warna ringan, namun kecepatan dan akurasinya sangat berguna. Tes ini kemungkinan
tes warna yang sangat berguna dalam menilai penyakit retina karena dapat
mendiskriminasikan dengan baik antara defek kongenital dan defek dapatan.
Test Illuminants
Tes lempeng dan tes diskriminasi yang telah dijelaskan di atas menggunakan
material yang memantulkan cahaya (reflective) sebagai objek tes warna. Warna yang
sebenarnya diberikan pada pasien tergantung pada iluminasi cahaya tes dengan
menggunakan dengan bahan yang reflektif. Tes lempengpseudoisochromatic asli di
desain untuk dilihat dalam pencahayaan siang hari pada daerah utara. Cahaya siang
hari yang diinginkan telah distandarisasi iluminasinya (disebut Illuminat C atau
Illuminant D65) yang menstimulasi spektrum dari keadaan siang menjelng sore.
Harus diingat bahwa lampu fluorescen siang hari yasng konvensionsal tidak benar-
benar sama dengan cahaya siang hari sehingga tidak sesuai iluminasinya dalam tes
color vision.
Color matching
Pada percobaan color-matching, observer normal harus dapat memiliki tiga
warna primer untuk mencocokkan tes warna. Percobaan ini membutuhkan peralatan
optik yang rumit dan penentuan tiga warna primer bukan berdasarkan intuisi.
Instrumen yang dapat dipakai untuk mengevaluasi kecocokan ini disebut
anomaloscopes dan warna-warna yanag cocok disebut equations.
Penggunaan Anomaloscopes
Instrumen yang paling akurat untuk mengklasifikasikan defek warna merah-
hijau kongenital adalah anomaloscope, namun alat ini belum banyak digunakan.
Pasien melihat layar yang terputus-putus dan diminta untuk mencocokkan warna
kuning yang tampak dan dibagian lain, diminta untuk mencapur proporsi cahaya
merah dan hijau. Individu dengan defisiensi warna merah-hijau akan memberikan
proporsi warna yang abnormal untuk mencocokkannya.
Walaupun pemeriksaan color-matching lebih sederhana dibandingkan
prosedur laboratorium color-matching biasanya, namun anomaloscope tidak mudah
43
digunakan dengan tepat, anomaloscopes dapat menjadi instrumen diagnostik yang
sangat baik.

Gambar 31. Anomaloscopy

Clinical Test Batteries


Kebanyakan klinisi yang tertarik dalam defek color vision memiliki baerbagai
variasi tes dalam laboratorium mereka maupun klinik. Seringkali digunakan suatu tes
battery yang mengkombinasikan skrening awal dengan tes diskriminasi dan color
matching. Tabel di bawah akan memperlihatkan contoh suatu battery yang digunakan
dalam tes defek penglihatan warna dapatan.

Clinical Test Batterey in a University Clinic


Screening Test*
- The Isihara (or other validated paseudoisochromatic plate test) is used to
screen for congenital X chromosome-linked color vision defects
- The Farnsworth F-2 plate, AO Hardy-Rand Rittler, or Sahlgreen’s saturation
test is used to screen for blue defects and acquired color vision/defect
Discrimination Test*
The Lanthony New color Test or Farnsworth-Munsell 100 hue test may be used to
assess discrimination.
The former test is used especially for children.
Color Matching
- The Rayleigh equation is assessed on the Nagel or Neitz anomaloscope
- The Moreland equation can be assessed only on special anomaloscope, e.g.,
the Besancon anomalometer is one commersial anomaloscope capable of
44
producing this equation
*Correct test illuminant needed

Tes Color Vision Praktis


Banyak klinisi menginginkan tes color vision tanpa menggunakan instrumen
dan ahli dalam mengawasi dan mendiagnosa secara profesional. Tes menggunakan
kertas berwarna (tes pigmen) dan dengan iluminasi yang tepat memungkinkan klinisi
dapat mengevaluasi beberapa penglihatan warna dengan praktis.
Tes lempeng skrening dan iluminasi yang tepat merupakan peralatan
minimum. Sekitar 8-10% dari pria Amerika memiliki satu dari defek warna terkait
kromosom X. Identifikasi defek warna pada anak-anak sebelum mereka masuk
sekolah memungkinkan klinisi untuk memberikan konsseling pada orang tuanya. Tes
lempeng skrening kurang sukses dalam mengidentifikasi defek penglihatan warna
dapatan.
Pemeriksaan color vision nantinya diharapkan dapat mengkombinasi tes
lempeng skrening dengan tes color discrimination. Suatu tes diskriminasi warna
(contohnya Farnsworth-Munsell 100 hue test dan lanthony New Color Test)
memungkinkan klinisi untuk mengikuti perubahan dalam penglihatan warna pada
kondisi seperti neuritis optik.
Tidak jarang klinisi menemukan pasien dengan bentuk defek warna yang
sangat jarang ditemukan. Sebagai contoh Cerebral Achromatopsia yang merupakan
kasus yang sangat menarik yang memberikan kemungkinan untuk mempelajari lebih
lanjut lagi mengenai proses visual tingkat lanjut. Dokumentasi minimal terhadap
pasien dengan defek penglihatan warna yang sangat jarang, meliputi:
1. Evaluasi color matching untuk melihat apakah fotopigmen visual normal. The
Reyleigh dan Moreland equations dapat dipergunakan untuk kepentingan ini
2. Evaluasi sensitivitas spektral. Sensitivasi spektral photopic sebaiknya dinilai
dengan pemeriksaan brightness matching
3. Evaluasi diskriminasi warna dan saturasi. Dapat digunakan tes klinik
Lanthony’s New Color Test
4. Evaluasi diskriminasi kontras. Tes klinik seperti Verriet’s lightness
discrimination Test dapat digunakan. Kebanyakan tes-tes ini dapat ditemukan
di klinik universitas yang menyiapkan pemeriksaan penglihatan warna. Bila

45
tidak ada maka pasien sebaliknya dirujuk ke laboratorium psikofisik spesialis
dalam penglihatan warna

TES LAPANG PANDANGAN DAN PERIMETRI


Lapangan Pandang adalah area disekitar kita, dimana mata dapat melihat dengan
jelas secara bersamaan. Lapangan pandang merefleksikan daerah di retina yang
memiliki sel fotoreseptor yang dapat menangkap cahaya yang selanjutnya oleh nervus
optik akan meneruskan sampai ke area penglihatan primer kita. Khusus untuk daerah
visus perifer ditentukan oleh sel rod yang sangat sensitif terhadap gerakan dan cahaya
redup

Lapangan pandang dapat meliputi daerah sentral yang diukur dengan tes
ketajaman penglihatan dan daerah perifer yang diukur dengan cara berbeda dan
memberikan gambaran yang berbeda dari fungsi penglihatan, yaitu dengan tes
Perimetri
Berbagai macam metode telah digunakan untuk mengetahui bagaimana fungsi
penglihatan melalui melihat lapangan pandang. Tekhnik yang sederhana dapat berupa
Tes Konfrontasi, Amsler Grid , sedangkan Tes Perimetri menggunakan metode yang
lebih kompleks .
Perimetri sebagai metode untuk memeriksa lapangan pandang, berdasarkan cara
kerjanya dibagi menjadi 2 bagian yaitu
1. Perimeter Kinetik
Termasuk didalamnya adalah Tangent Screen Test dan Perimeter Goldmann .
Semua ini dilakukan secara manual, dan sangat bergantung kepada
kemampuan operator sebagai pemeriksa.
2. Perimeter Statik
Perimeter statik umumnya akan dioperasikan oleh komputer. Perimeter
Humprey adalah contoh yang paling terkenal, disamping Perimeter Octopuss
dan perimeter Dicon.

Prinsip kerja Perimetri Kinetik dan Perimetri Statik


Perimetri kinetik sangat bergantung pada kemampuan operator sebagai
pemeriksa yang akan menggerakkan stimulus dari satu area yang tidak terlihat ke
arah area yang terlihat. Ukuran dan intensitas stimulus yang bervariasi telah
46
ditentukan besar dan intensitasnya oleh pemeriksa. Titik dimana stimulus mulai
terlihat dari sebelumnya tidak terlihat merupakan batas terluar dari lapangan pandang,
sehingga jika titik-titik tersebut dihubungkan akan membentuk garis isopter.
Perimetri kinetik hanya mengukur secara kuantitatif dan secara 2 dimensi saja.
Sedangkan perimetri statik dapat mengukur secara 3 dimensi.

Pada perimeter Statik, setiap titik yang berbeda dalam lapangan pandang
ditentukan sensitivitasnya dengan menggunakan stimulus yang tidak digerakkan.
Stimulus hanya akan bertambah intensitas cahaya dan ukurannya mulai dari yang
paling terlemah dan terkecil sampai dapat terlihat pertama kali oleh pasien, yang akan
mengindikasikan batas ambang dari setiap titik dari area dalam lapangan pandang.
Threshold / ambang batas diartikan sebagai angka yang menunjukkan
sejumlah 50 % kemungkinan suatu titik dalam area lapangan pandang untuk
menangkap suatu stimulus dimana titik tersebut mempunyai daerah batas tertentu
yang akan diukur dalam dB atau asb.

Gambar 32. Threshold = 50 % log stimulus luminance dari 100% probability of seeing

47
Gambar 33. Stimulus pada perimeter kinetik yang tetap ukuran dan intensitasnya akan
digerakkan sedangkan perimetri statik tidak digerakkan tapi intensitas cahayanya akan
bertambah

Dibawah ini akan dijelaskan bagaimana teknik pemeriksaan Tangent Screen


Test, Perimeter Goldman dan Perimeter Humphrey.
Tes Tangent Screen / Campimetri
Merupakan suatu teknik perimetri yang efektif untuk mengevaluasi 30 ° dari
lapangan pandang. Metode ini dipakai pada pasien dengan keadaan- keadaan tertentu,
misalnya :
- Pasien tidak dapat meletakkan dagunya di kubah perimeter
- Pasien tidak dapat menekan tombol
- Pasien tidak dapat memusatkan padangan pada titik fiksasi terlalu lama
Metode ini murah karena hanya memakai selembar kain hitam dan tongkat
hitam dengan target/stimulius putih diujungnya, dan dapat dibawa kemana-mana,
sehingga dapat dipakai sebagai tes skrining.
Pada kain hitam tersebut tergambar lingkaran konsentris berjarak 5° dengan
garis radier berjarak 15°. Pada daerah sentral terdapat titik putih sebagai objek
dengan ukuran maksimal 6 mm.

48
Cara kerja :
Pasien didudukkan didepan layar sejauh 1 meter. Tutup satu mata dan mata
harus sejajar dengan objek di sentral layar . Ruangan yang dipergunakan harus agak
gelap . Tongkat digerakkan dari perifer (area yang tidak terlihat ) menuju kesentral
dengan kecepatan 5° perdetik. Pada prinsipnya dokter akan menandai daerah yang
dapat terlihat dan tidak terlihat dari pasien sehingga akan didapatkan sejumlah titik
yang menggambarkan peta lapangan pandang dari pasien. Setiap titik yang telah
diberi tanda lalu dihubungkan sehingga mendapatkan isopter yaitu batas terluar yang
masih dapat dilihat atau terdapatnya skotoma dari pasien tersebut.(8)

Gambar 34 : Tes Tangent Screen / Kampimetri

Perimetri Goldmann
Beberapa tahun terakhir ini standar pemeriksaan lapangan pandang adalah
perimetri klinis yaitu perimeter Goldman atau perimeter Humprey, dimana perimetri
klinis ini dalam pemeriksaan lapangan pandang bertujuan untuk mengidentifikasi

49
adanya defek lapangan pandang dan sebagai pemeriksaan kuantitatif untuk follow up
penyakit, khususnya penyakit glaukoma.
Perimeter Goldmann adalah alat yang berbentuk setengah kubah dengan warna
latar belakang putih dan berjari-jari 30 cm. Sebuah alat yang dapat digerakkan dan
memancarkan cahaya target ke dalam kubah dengan jarak 30 cm dari kornea yang
secara kontinyu atau berkala dengan ukuran yang berbeda-beda serta intensitas yang
berbeda pula. Pemeriksa akan mengamati pasien melalui sebuah teleskop dan pasien
akan merespon stimulus melalui sebuah tombol. (1,5,9)

Gambar 34 Perimetri Goldmann

Indikasi menggunakan perimeter Goldmann yaitu :


- Jika menginginkan pemeriksaan lapangan pandang yang lebih dari 30°, dimana
perimeter statik hanya dapat membatasi sampai 30°.
- Jika terdapat indikasi terjadi Functional Field Loss.
- Jika kepatuhan pasien kurang baik dalam memfiksasi mata sehingga diperlukan
operator dalam memonitor fiksasi mata pasien .(9)

A. Prinsip Kerja Perimeter Goldmann


Ketajaman penglihatan yang jauh dari fovea dapat diukur dari suatu pengukuran
lapangan pandang. Tetapi pengukuran lapangan pandang dengan menggunakan
perimetri yang manual / kinetik ( Perimetri Goldman ), tidak dapat mengukur
kemampuan kuantitatif atau sensitivitas retina pada setiap titik /daerah yang berbeda
dalam area lapangan pandang tersebut, hanya mengukur batas terluar dari lapangan
pandang serta melihat adanya defek . Tetapi tidak demikian halnya dengan perimetri

50
otomatis yang dapat mengukur besarnya fungsi ketajaman visual pada tiap titik
berbeda dalam area lapangan pandang.
Pada perimeter Goldmann, digunakan target yang ukuran serta intensitas yang
telah ditetapkan yang akan menentukan batas dan ambang (threshold) dari lapangan
pandang. Perimeter ini menggunakan pencahayaan latar belakang (background
luminance) sebesar 31,5 asb.
Stimulus ini akan digerakkan dari area yang tidak dapat dilihat (infratreshold) ke
area yang yang dapat terlihat (supratreshold). Selanjutnya dilakukan pada beberapa
tempat berbeda. Titik-titik sepanjang batas terluar dari lapangan pandang didapatkan
dengan mencari kemampuan pasien untuk melihat stimulus terlemah ( threshold ).
Garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki batas ambang ( threshold ) yang
sama atau batas daerah antara yang terlihat dan yang tak terlihat disebut isopter.
(1,7,9)

B. Cara Kerja dan Persiapan Pasien


- Pasien duduk dalam keadaan nyaman. Perhatikan pupil pasien jika kurang dari 2
mm maka lakukan penetesan 2,5 % phenylephrine.
- Ketajaman penglihatan dekat harus dikoreksi sebelum dilakukan pemeriksaan.
Sangat diutamakan jika pasien memakai kontak lensa. Posisikan frame kacamata
jangan sampai menyentuh bulumatanya.
- Siapkan seluruh peralatan sebelum pasien didudukkan depan mesin. Pasang
kertas perimeter. Pastikan posisi kertas tepat pada framenya.
- Jelaskan kepada pasien tentang cara kerja pemeriksaan ini. Berikan latihan pada
pasien dalam mempergunakan tombol jika melihat stimulus cahaya.
- Tutup mata yang tidak diperiksa dengan baik. Jika terdapat dermatokalasis,
plester lipatan kulit keatas, jika ada ptosis, elevasi palpebra superior ke atas
dengan plester tapi jika kurang kuat, siapkan seseorang untuk mengangkat
palpebra selama pemeriksaan. Posisikan dagu dan dahi pasien pada tempatnya.
- Redupkan lampu ruangan dan berikan kesempatan kepada pasien untuk
beradaptasi sebelum memulai pemeriksaan.
- Perhatikan mata pasien melalui teleskop, dan instruksikan untuk tetap terfiksasi
tetap di sentral. Jika tidak pada posisi sentral, atur posisi vertikal dan horisontal
dari dudukan dagu melalui alat dibawah kertas.
51
- Instruksikan kepada pasien untuk terus melihat lurus kedepan, walaupun akan ada
cahaya yang lain yang mungkin lebih terang dan yang lain akan lebih redup.
Perintahkan untuk menekan tombol kapan saja dia melihat cahaya.
- Pilih ukuran dan intensitas cahaya target . Mulai dengan daerah perifer tanpa
lensa koreksi.
- Gerakkan pantograf dari area tak terlihat menuju area yang dapat dilihat oleh
pasien dengan kecepatan 3-5 derajat perdetik.
- Instruksikan pasien jika melihat cahaya untuk menekan tombol.
- Jika telah didapatkan isopter daerah perifer, pasangkan lensa koreksi , jika
memang diperlukan, dan mulai kembali untuk daerah sentral dengan memakai
beberapa isopter.
- Blind spot didapatkan dengan target yang paling kecil.
- Untuk menghindari kelelahan dari pasien, jangan lakukan pemeriksaan lebih dari
10 menit permata. Jika terlihat tanda kelelahan , berikan waktu untuk istirahat
pada pasien.
- Sangat penting untuk mengevaluasi konsistensi pasien dalam melakukan
pemeriksaan ini Biasanya kita mematikan alat untuk beberapa detik, seharusnya
pasien akan tidak memberikan respon selama waktu tersebut. Dan yang
terpenting juga adalah kita harus memperhatikan fiksasi mata pasien melalui
teleskop, jika tidak terfiksasi dengan baik, instruksikan untuk memperbaiki
fiksasi matanya.
- Jika ingin melanjutkan pada mata sebelahnya, berikan waktu untuk istirahat.
Pastikan semua kuadran telah diperiksa semua. (9)

PERIMETRI HUMPHREY
Perimetri Humphrey didesain menyerupai kondisi perimetri Goldmann.
Sehingga kedua alat ini memiliki jarak view yang sama yaitu 33cm, background
luminance yang sama yakni 31,5 asb, ukuran target yang sama dengan penunjukan
yang sama yakni I-IV, dan intensitas dari perimetri Humphrey dapat dengan mudah
dikonversikan ke perimetri Goldmann. Rentang target luminance mungkin lebih besar
pada Humphrey dibanding Goldmann.10,14
Perimetri Humphrey dengan hasil pemeriksaan yang begitu lengkap dan akurat
akan dapat:10,19
52
- Menentukan adanya kelainan lapang pandangan
- Menentukan derajat kelainan lapang pandangan
- Melihat adanya defek karena penyakit glaukoma yang masih ringan
( Early glaucomatous defect ) dan progresifitasnya
Pada primetri Humphrey juga disertakan hasil statistik yang disebut visual
field indices untuk memberikan gambaran penurunan sensitivitas yang generalisata
atau luas (Mean deviation/MD), penurunan sensitivitas yang terlokalisir (Pattern
standard deviation/PSD), hilangnya lapang pandangan sebagai akibat dari kerusakan
asimetris lapang pandangan superior dan inferior yang merupakan karakteristik
glaukoma (glaucoma hemifield test/GHT), serta progresi lapang pandangan
(glaucoma progression analysis/GPA) dan tingkat progresitivitas (Glaucoma
progression index/GPI).3
Walau dengan segala keuntungan tersebut diatas, perimetri otomatis ini juga
memberikan kerugian karena perlu pembelajaran serta berbagai macam data yang
diperlukan dan interpretasinya yang sangat sulit.6,10
Pencahayaan latar belakang sama dengan perimeter Goldmann yaitu sekitar
31,5 asb yang telah ditentukan oleh International Perimetric Society. Perimeter ini
akan menggunakan stimuli yang dipancarkan ke kubah dengan intensitas yang
bervariasi sampai 51 dB, tetapi ukuran stimuli telah ditentukan sebelum pemeriksaan
dilakukan. Ukuran besarnya stimulus sama dengan perimetri Goldmann.10,14

Gambar 35: Humphrey Visual Field Analizer II- I series 14

I. Prinsip kerja Perimeter Humphrey

53
Satu prinsip kerja yang paling utama yang membedakan perimeter kinetik
dengan perimeter statik, yaitu perlakuan dari stimulusnya. Stimulus atau target dari
perimeter Humphrey tidak akan bergerak tetapi tetap / statik hanya akan bercahaya
selama 200 ms pada beberapa lokasi yang berbeda-beda dalam bentuk sebaran /grid.10
Stimulus ini akan menentukan threshold dari titik-titik pada pola sebaran.
Stimulus ini sudah ditentukan ukuran besar stimulus biasanya ukuran III atau V tetapi
intensitas cahayanya akan berubah-ubah. Stimulus ini akan memberikan pencahayaan
dimulai pada satu titik tertentu yang selanjutnya akan berpindah ke daerah yang
terdekat sampa pada daerah yang terjauh dari titik awal seperti anak tangga, sampai
seluruh lapang pandangan terpenuhi.10,14
Pola sebaran pada lapang pandangan ini tidak ada hubungan interpolarisasi,
yang berarti bahwa daerah antara dua titik tidak akan mendapatkan cahaya sehingga
skotoma yang sangat kecil yang berada pada 2 titik tidak akan terdeteksi, jika jarak
antara titik terlalu jauh.10
Semakin banyak titik yang diperiksa maka semakin lama waktu pemeriksaan.
Biasanya pemeriksaan hanya melihat 50-120 titik, dimana yang tersering adalah 76
titik dengan jarak 6° dengan luas lapang pandangan 30° ( 30-1 atau 30-2 ).10

Gambar 36: pola sebaran titik A : 30 derajat, B : 20 derajat, C : 10 derajat 10

Setiap titik ini akan memiliki angka sebagai threshold dari sensitivitas
retina/kemampuan dari titik tersebut untuk menangkap stimulus yang terlemah (50%).
Angka tersebut akan diukur dalam decibel (dB).10,14
54
Semakin besar angka numeriknya yang berarti semakin tinggi sensitivitas
retina untuk menangkap stimulus, maka dengan Graytone simbol akan menampakkan
gambaran titik yang semakin putih dan sebaliknya.10,11

Gambar 37: Sensitivitas retina digambarkan secara kuantitatif dalam decibel (dB) dan
digambarkan secara simbolik Graytone dalam gambaran titik-titik

Prinsip kerja yang lain dari perimeter otomatis ini adalah bahwa data hasil
pemeriksaannya akan dikalkulasikan secara statistik dengan data kharakteristik
normal lapang pandangan pada umur yang sama dan abnormal yang telah dimiliki
oleh perimeter ini. Dengan perimeter ini juga akan mengukur berapa besar deviasi/
perbedaan gambaran lapang pandangan pasien dengan gambaran normal pada umur
yang sama, sehingga sangat perlu pengambilan data umur dan riwayat kelainan
lainnya.19
Hasil pemeriksaan ini akan memberikan kesimpulan akhir tentang, adanya
defek lapang pandangan, jenis defek, seberapa luas dan besar defek, serta seberapa
besar kemungkinan perubahan dari hasil normal dengan umur yang sama.19
Perimeter statik telah memiliki program tertentu yang setiap jenis memiliki
program tersendiri dimana program ini akan menentukan batas luas daerah
pemeriksaan, kecepatan serta keakuratan dalam pemeriksaan.10,19

55
Gambar 38: contoh defek lapang pandangan akibat kerusakan pada visual pathway di
berbagai lokasi mulai dari retina hingga korteks visual 3

II. Cara Kerja dan Persiapan Pasien


Persiapan pasien sama saja dengan perimeter Goldmann, tapi pemeriksaan
akan sepenuhnya dilakukan oleh komputer. Sama seperti perimetri lain, ruangan
pemeriksaan harus gelap dan bebas dari bising yang dapat mengganggu konsentrasi
pasien. Yang perlu sangat diperhatikan bahwa karena keterbatasan lapang pandangan
yang diperiksa hanya sampai pada 30 derajat maka pasien harus diberikan koreksi
penglihatan dekatnya. Pemberian instruksi juga harus tepat, utamanya pada pasien
yang baru pertama kali melakukan pemeriksaan ini.10

56
Gambar 39: hasil pemeriksaan dengan perimetri Humphrey 30-2
1. Nama, Umur dan data rekam medis
2. Jenis program
3. Koreksi penglihatan
4. Besar Pupil
5. Question Ask
6. Indeks kebenaran
7. Data Numreik
8. Gray Scale
9. Total Deviasi
10. Pattern Deviasi
57
11. Glaukoma hemifield test
12. Global indices

TES PERGERAKAN BOLA MATA


Posisi primer bola mata adalah posisi bola mata dengan kepala yang tegak
lurus pada saat fiksasi objek dengan jarak yang tidak terhingga. Untuk tujuan praktik,
jarak tersebut dihitung pada jarak 6 m (20 kaki). Pada posisi primer, otot-otot rektus
horizontal bergerak horizontal mengelilingi aksis-Z (aksis vertikal) dan hanya
mempunyai gerakan primer. Otot-otot rektus vertikal memiliki gerakan menarik bola
mata terutama ke arah vertikal sebagai aksi primernya. Sudut yang dibentuk antara
aksis otot rektus vertikal (superior dan inferior) dengan aksis visual sebesar 23º
menyebabkan terjadinya gerakan torsi, yaitu gerakan rotasi terhadap meridian kornea
vertikal. Intorsi (insikloduksi) merupakan gerakan sekunder dari otot rektus superior,
ekstorsi (eksikloduksi) merupakan gerakan sekunder dari otot rektus inferior, serta
adduksi adalah gerakan tersier dari kedua otot. Oleh karena otot-otot oblik
membentuk sudut 51º terhadap aksis visual, maka torsi merupakan gerakan primer
dari otot tersebut. Gerakan rotasi vertikal adalah aksi sekundernya dan gerakan rotasi
horizontal (abduksi) adalah aksi tersiernya.4

Gambar 35, Otot-otot ekstraoculer pada posisi primer

Tabel 1. Gerakan otot-otot ekstraokuler pada Posisi Primer. 4


Muscle primary secondary tertiary
Medial rectus Adduction - -

58
Lateral rectus Abduction - -
Inferior rectus Deppression Extorsion Adduction
Superior rectus Elevation Intorsion Adduction
Inferior Oblique Extorsion Elevation Abduction
Superior Oblique Intorsion Depression Abduction
Posisi Cardinal
Posisi Cardinal adalah 6 posisi bola mata dimana penggerak utama adalah satu
otot pada setiap mata, bersama-sama disebut yoke muscles. Contoh : otot rektus lateral
kiri dan otot rektus medial kanan menghasilkan gerakan mata ke arah kiri.

Yoke muscle
Midline positions adalah gerakan keatas dan ke bawah dari posisi primer.
Posisi ini membantu menilai kemampuan elevasi dan depresi dari bola mata, tapi tidak
mengisolasi salah satu otot karena pada gerakan tersebut masing-masing melibatkan 2
otot.
Istilah diagnostic posistions of gaze telah digunakan untuk menggabungkan 9
posisi gerakan bola mata ; 6 posisi Cardinal, posisi bola mata ke atas dan ke bawah,
serta posisi primer.

Posisi Primer

Elevasi

Depresi

59
Gambar 36. Skema diagnostic posistions of gaze

Gambar 37 nine diagnostic posisition of gaze

Pemeriksaan klinis dari sistem pergerakan mata sentral meliputi penilaian


fiksasi, VOR, OKN, saccadic dan pengejaran gerakan mata, dan konvergensi. Masing-
masing gerakan ini dikendalikan oleh jalur anatomi, tujuan kolektifnya adalah untuk
memungkinkan gerakan mata yang akurat untuk target yang diinginkan dan untuk
mempertahankan posisi kedua mata pada target yang diinginkan. Metode menilai
setiap subsistem adalah dijelaskan pada bagian berikut. Penilaian menyeluruh dari
motilitas mata juga membutuhkan pencarian nistagmus.

Stabilitas Ocular
Uji stabilitas okular yang paling mudah dilakukan dengan mengamati kemampuan
pasien untuk terpaku pada target ketika kepala dan tubuh tidak bergerak. Pengujian
fiksasi juga dapat mengungkapkan nistagmus spontan, yang paling sering disebabkan
60
oleh ketidakseimbangan input vestibular ke inti motor okular. Gerakan mata abnormal
yang terjadi sekunder akibat disfungsi vestibular dapat ditekan oleh fiksasi visual (dan
akan memburuk dengan tidak adanya input visual

PEMERIKSAAN DIPLOPIA
Kemampuan untuk mempertahankan penyelarasan sumbu visual tergantung
pada koordinasi gerakan kedua mata. Pemeriksaan eksternal dapat mengungkapkan
petunjuk yang jelas untuk etiologi, terutama jika proptosis atau mata merah. Gerakan
mata harus dinilai secara individual (pengurangan) dan bersama-sama (versi).
Gerakan mata juga harus dinilai di semua posisi tatapan, dengan perbandingan dibuat
di posisi utama dan downgaze (2 posisi pandangan yang paling sering digunakan)
antara dekat dan jauh fiksasi.
Salah satu tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk menentukan apakah ocular
misalignment adalah comitant atau incomitant. Ketidakselarasan yang terjadi
seringkali hadir dalam strabismus bawaan, sedangkan misalignment incomitant adalah
bukti gangguan yang didapat. Penilaian ketidakselarasan okular adalah dibuat oleh
strategi penyaringan berurutan. Duction yang tidak normal seringkali dapat ditemukan
secara sepintas, tetapi dalam banyak kasus alternating crosscover tes (termasuk
pengukuran jumlah ketidakselarasan), dilakukan pada semua 9 posisi standar tatapan,
digunakan untuk menentukan apakah misalignment okular adalah comitant atau
incomitant.
Dengan pasien yang kooperatif, kasus strabismus yang halus dapat terungkap dengan
menggunakan Maddox Rod Red, yang berisi serangkaian silinder paralel. Saat melihat
sumber cahaya melalui Maddox Rod, seorang pasien melihat garis yang tegak lurus
dengan orientasi silinder. Biasanya, Maddox Rod ditempatkan di depan mata kanan,
menghasilkan garis merah, sementara mata kiri melihat lampu fiksasi. Sering melihat
gambar berbeda seperti itu memudahkan pasien untuk medeteksi ketidakselarasan
visual axis. Kaca merah juga bisa digunakan, tetapi menghasilkan yang besar dan
agak gambaran lampu merah difus, yang sering membuatnya lebih sulit bagi pasien
merasakan ketidakselarasan gambar. Karena tes-tes ini menggunakan 2 mata, pasien
yang memiliki phoria dapat melaporkan ketidaksejajaran visual aksis. Oleh karena itu
sering berguna untuk menggabungkan hasil subjektif Maddox rod tes dengan hasil

61
yang lebih objektif dari tes prisma alternat cover, memperhatikan pola
ketidaksejajaran di semua 9 posisi tatapan.
Namun demikian, tes Maddox Rod adalah metode sensitif untuk memperoleh
informasi kuantitatif tentang derajat dan pola misalignment okular, seperti halnya
pengujian Hess-Lancaster dalam 9 posisi pandangan.

Maddox Rod Red test


Maddox ditunjukkan dengan punggungan dipegang secara vertikal, yang menyebabkan
sabar melihat garis horizontal. Dalam contoh ini, cahaya yang dilihat oleh mata kiri berada di bawah
garis, menunjukkan hyperdeviation kiri meningkat pada pandangan kanan bawah. Temuan ini adalah
kompatibel dengan disfungsi miring superior kiri atau palsi saraf kiri keempat

Double Maddox rod test membantu mengidentifikasi dan mengukur torsional


misalignment ketika diplopia vertikal hadir. Biasanya, Maddox rod red ditempatkan di
depan mata kanan dan Maddox rod white kiri. Ketika kedua batang disejajarkan
secara vertikal, pasien merasakan 2 garis horizontal cahaya (garis merah, mata kanan;
garis putih, mata kiri) dan bias menilai apakah garis tampak paralel atau jika satu
dimiringkan sehubungan dengan yang lain. Jika dimiringkan, 1 batang Maddox
diputar ke arah yang sesuai untuk menghitung jumlah misalignment torsional.
Metode kualitatif untuk mendeteksi siklotropia relatif menggunakan logam
pointer atau garis horizontal lainnya. Prisma base-down ditempatkan di atas 1 mata
pisahkan pointer sedemikian rupa sehingga 2 garis yang dipindahkan secara vertikal
dapat terlihat. Pasien ditanya apakah kedua garis sejajar atau jika mereka bertemu ke

62
1 sisi. Kelumpuhan saraf keempat biasanya terkait dengan konvergensi garis menuju
sisi palsy. Petunjuk tentang adanya deviasi okular dapat diberikan oleh miringnya
kepala secara konsisten atau kepala putar pada pemeriksaan. Bukti kronisitas mungkin
ada di foto-foto lama (misalnya, foto SIM).

Gambar 38 Double Maddox rod test

Parks-Bielschowsky 3-step test adalah pendekatan algoritmik mengidentifikasi


pola motilitas okular yang sesuai dengan disfungsi spesifik otot ekstraokular yang
bekerja secara vertikal. 3 langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Temukan sisi hipertropia.
2. Tentukan apakah hipertropia lebih besar pada pandangan kiri atau kanan.
3. Tentukan apakah hipertropia lebih besar pada kemiringan kepala kiri atau kanan.
Eksiklotropia mata yang terkena harus dinilai dengan Maddox ganda
pengujian batang. Tes 3 langkah paling membantu dalam menentukan apakah suatu
vertical strabismus sesuai dengan pola kelumpuhan N. IV ; misalnya, kelumpuhan
saraf keempat kanan menunjukkan hiperdeviasi kanan yang memburuk pada
pandangan kiri dan memiringkan kepala kanan (uji 3 langkah positif) dan juga dalam
downgaze, dengan relative eksiklotropia mata kanan.
63
Step 1 : lakukan cover-uncover test pada posisi primer bola mata dan tentukan mata
mana yang hipertropik. kurangi kemungkinan jumlah otot yang berefek dari 8 otot
menjadi 6 otot. seperti dicontohkan pada seorang pasien yang mengalami hipertropia
mata kanan. sebuah RHT diimplikasikan oleh beberapa kemungkinan :
 kelemahan depressor otot mata kanan : RIR, RSO , atau
 kelemahan elevator otot mata kiri : LIO, LSR

gambar seperti berikut :

Step 2 : Tentukan mata yang paling hiperropia dengan cover-uncover tes. Jika RHT
mata kanan maka kemungkinan otot mata yang terlibat : LSR, LIR, RIO,RSO, lalu
gambar seperti berikut

Step 3 : Cover test dilakukan untuk mengkomparasikan HT dengan heat tilt 30 derajat
ke bahu dengan pasien fiksasi penglihatannya kearah yang tidak terlalu jauh.
Jika RHT lebih luas ketika kepala terangkat ke kanan, 4 otot yang mungkin terkena :
RSR, RSO, LIR, LIO

sehingga dari gambar dia tas dapat disimpulkan RSO adalah penyebab HT.
64
NEURO IMAGING
Radiologic imaging merupakan pemeriksaan penting untuk mengevaluasi
penyakit orbita dan akan berkontribusi untuk membuat suatu kemungkinan diagnosa.
Setiap modalitas imaging akan berkontribusi terhadap data-data yang berlebih, tapi
masing-masing juga dapat memberi informasi yang unik yang kemungkinan tidak
terlihat pada teknik imaging lain. Computerized tomography (CT) memanfaatkan
sinar-X untuk menciptakan image dua-dimensi di semua bidang/plane ini merupakan
modalitas uniparametrik yang hanya didasarkan pada transparansi jaringan bagi
lintasan sinar-X. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan modalitas
multiparametrik yang memanfaatkan karakteristik atomic proton jaringan dan
perilaku-perilakunya pada medan magnetik eksternal, oleh karena itu, image
mencerminkan perbedaan biokimia di antara jaringan-jaringan yang didasarkan pada
lingkungan molekular yang didalamnya proton berada. Positron emission tomography
(PET) merupakan teknik baru yang meng-image jaringan-jaringan yang didasarkan
pada aktivitas biologis, paling spesifiknya metabolisme fluoridated glucosa pada
jaringan yang bermetabolisme aktif, seperti tumor.1
Memilih tipe scan mana yang digunakan, area yang akan di-scan, dan apakah
menggunakan peninggian kontras memiliki arti sangat penting dalam mendapatkan
informasi maksimal dari proses imaging. Pertimbangan-pertimbangannya meliputi
keseriusan kondisi, potensi menangani atau mengobati kondisi ketika sudah
didiagnosa, urgensi terkait scan mana yang harus digunakan, dan rasio antara biaya
dan manfaatnya untuk pasien. CT scan betul-betul lebih murah dibandingkan MRI
scan dan biasanya tepat untuk banyak studi orbital. CT hampir selalu memberi
informasi yang lebih baik dibandingkan film biasa sinar-x konvensional, yang
seringkali merupakan menjadi standar komunitas karena alasan biaya, jaminan
pembayaran kembali, dan ketersediaan scanner. Secara umum, CT scan dilakukan
pada situasi akut, khususnya trauma, dimana kemungkinan ada benda asing. Jika
dicurigai adanya benda asing metalik, maka CT scan terbatas pendahuluan dapat
memastikan kemungkinan tersebut, yang memungkinkan MRI dilakukan.4
CT sudah memadai untuk membuat image tumor kelenjar lakrimalis dimana
faktor-faktor kritis adalah adanya lekukan tulang kortikal dan remodeling fossa
65
kelenjar lakrimalis dengan tumor campuran jinak, sebagai kebalikan dari destruksi
tulang ireguler dan karakteristik region enhancing dan non-enhancing dari karsinoma
kelenjar lakrimalis. Peninggian regional malignansi kelenjar lakrimalis dapat juga
dilihat dengan MRI. CT scan digunakan evaluasi awal gangguan sinus paranasal dan
fraktur orbital. Tumor intraocular dapat dievaluasi baik dengan CT maupun MRI.
Pada kasus retinoblastoma, CT berguna untuk mendeteksi deposit kalsium dalam
tumor. MRI dapat lebih membantu dibandingkan CT untuk sebagian besar tumor
intraocular lain, khususnya melanoma, yang paramagnetic. Tumor saraf terbuka akan
selalu memerlukan penilaian porsi intracanalicular dan intracranial saraf optik
sehingga MRI lebih disukai, meskipun CT untuk imaging apeks tulang orbita dapat
memberi informasi yang berguna dan komplementer. Sebagian besar kondisi
demyelinating dan inflamasi saraf optik lebih baik di-image dengan MRI
dibandingkan CT. Ada sedikit kondisi intracranial yang pada awalnya tidak bagus
diperiksa dengan MRI, kecuali untuk perdarahan intracranial akut atau pada pasien
yang MRI-nya kontraindikatif. 4
Bila men-scanning lesi tidak akan membuat perbedaan apa-apa dalam
pengobatan yang ditawarkan, maka teknik tersebut tidak diperlukan. Ketersediaan di
lokasi geografis dari suatu praktek juga menjadi pertimbangan utama. Pasien dapat
memetik manfaat dengan menjalankan suatu prosedur yang memberi informasi yang
agak sedikit tapi tanpa perlu melakukan perjalanan beratus-ratus mil. Selain itu,
suatu scan yang dilakukan pada jarak yang sangat jauh boleh jadi sulit dikaji atau
dibahas dengan keterlibatan radiolog, yang menciptakan permasalahan dalam situasi
akut ketika image-image yang di-scan diperlukan di kamar operasi

Comparison of magnetic resonance and computed tomography modalities


Advantages Disadvantages Contraindication
MRI  Better able white from  Contrast eye reaction  Cochlear implant
grey matter and systemic  Ferromagnetic
 Better able to visualize nephrogenic fibrosis implant
posterior fossa pathology  Greater cost  Gadolinium should
 Better for soft tissue not be administrated
 Better resolution of optic in Pregnancy
nerve and orbital apex  Metalic cardiac valves
 Can establish evolution  Non MRI Intracranial
pf intraparenchymal aneurysm
hemmoragge  Pacemaker
 No ionizing radiaton  Technocal
consideration :
66
Claustrophobia/ to
large for the bore
CT  Assesment of bony  Exposure to ionizing
scan abnormalities radiation bone (CT
 Assesment of orbital and head radiation dose =
hyperacute intracranial 150 millirem)
abnormalities  Iodine based dye
 Detection of contast reaction
calcification in lesion  Lack of direct sagittal
 Evaluation of globe and imaging
orbital trauma (include  Limited resolution in
high resolution bone the posterior fossa
alghorithms  Poor resolution of
orbital apex

Indikasi-indikasi pemeriksaan Neuroimaging pada neuro opthalmologi


 Penurunan penglihatan (amaurosis fugax, neuropati optik)
 Anisokoria atau ptosis (sindrome horner parese N III)
 Proptosis (grave disease,tumor orbita, pseudotumor,carotid cavernous fistula)
 Diplopia atau opthalmoplegia
 Oscilopsia (nystagmus) papil edema, drusen nervus optik, choroidal folds

Gambar 38

67
Gambar 39. a Axial CT at the inferior region of the orbit. b Corresponding diagram: 3.7 =
inferior orbital fissure, 3.12 = sphenoid sinus, 4.2 = temporal fossa, 9.1 = lens, 9.3 = sclera,
10.1= inferior rectus muscle, 14.2 = internal carotid artery (ICA). c Corresponding bone
window. d Corresponding diagram: 3.7 = inferior orbital fi ssure, 3.8 = great wing of the
sphenoid bone, 4 =zygomatic bone, 8 = petrous bone, 11.4 = temporal bone

68
69
Gambar 40 Contoh MRI

70
BAB IV
PENUTUP

Teknik pemeriksaan dalam Neuro Opthalmology sangat kompleks karena


pemeriksaan ini meliputi anamnesis yang terarah dan teknik pemeriksaan yang
banyak serta mendetail. Pemeriksaan yang tepat berdasarkan keluhan utama, letak
lesi dan hasil pemeriksaan oftalmologi akan membantu untuk mentukan diagnosa
secara tepat sehingga penanganannya pun tepat dan dapat meminimalkan kesalahan
diagnosa

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Visual Perception. Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/visual


perception.Acessed : 7/03/20012.
2. Snell RS, Lemp MA. Clinical Anatomy of The Eye : the visual pathway. 2nd ed.
Malden, USA: Blackwell Science, 1998;379-408.
3. Vaughan D, Asbury T. Neuro-opthalmology. In : General Opthalmology, 7th ed.
California. Lange Medical Publication, 1980 : 140-52.
4. Ayyub G. Visual Transduction and Non-Visual Light Perception .In : Optical
Path, 1st ed. Totowa, USA. Springer, 2008 ; 3-13.
5. Newman SA, Arnold AC, Friedman DI, Kline LB, Rizzo III JF. BCSC : Neuro-
opthalmology. Section 5. San Francisco, USA : AAO, 2008-2009; 23-28.\
6. Cibis GW, Abdel Latief AA, Bron AJ, Chalam KV, Tripathy BJ et al. BCSC :
Fundamental and principles of opthalmology. Section 2. San Francisco, USA :
AAO, 2015-2016 ; 77-86.
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical opthalmology a systematic approach. 7th edition.
Elsevier Saunders. 2015: 789-835
8. Kardon RH, Kawasaki A, Miller NR. Origin of the relative afferent pupillary
defect in optic tract lesions. Ophthalmology. 2006 Aug;113(8): 1345-53.
9. Rowe F. Visual Field via visual pathway.1 st ed.Oxford, USA. Blackwell
Science, 2006 ; 83-237.
10. Pearlman AL, The central visual pathways. In : Adler`s Physiology of the eye.
Clinical application, 8 th ed. St Louis, Washington DC, Toronto. The CV Mosby
Company, 1987 ; 311-321,583-589.
11. Schiefer.U, Hart.W, Clinical Neuro Opthalmology : Functional Anatomy of The
Human Visual Pathway. St.Louis.USA:Springer,2007;19-28.

12. Dutton JJ. Modern consepts in orbital imaging in : Oculoplastic and Orbit.
Volume 3. Mc. Graw Hill Companies.USA.2004:124-128
13. Pettersson H. Global Text Book of Radiology. Volume 1. Nicer Centennial Book.
San Fransisco.1995:18 &54
14. Pokorny J., Smith V.C., Color Vision and Night vision in Basic Science and
Inherited Retinal Disease, Molsby, 1989; 171-85

72
15. Regillo C et all, Retina and Vitreous, American Academy of Ophthalmology,
Section 12, 2008-2009; 48-52

16. Barton J, Benatar M. Field of Vision. A Manual and Atlas of Perimetri. First
Edition. Humania Press Totowa, New Jersey, 2003 ; 31-206
17. Liesegang TJ, Skuta GL, Cantor LB. The Patient with Decreased Vision: Neuro-
ophthalmology. American of Ophthalmology. USA.2008-2009 : 87-102

18. Pupillary light refleks and visual pathways. Available from :


http://wiki.cns.org/wiki/index.php/Pupillary_light_reflex_and_visual_pathway.
Acessed : 07/03/2009.
19. Neurology: Basic Visual Pathways. Available from :
www.neurology.org/crg/Bsic visual pathway. Acessed : 12/03/2009.
20. Kahle, W. Color Atlas of Human Anatomy. In : Ocular pathway and visual
reflexes.5th ed. Stutgart, Newyork.Thieme,2001; 345-356.
21. Neuroscience: What and Where Pathway. Available from :
www.neuroscience.org/crg/what and where pathway. Acessed: 23 /04/2009.
22. (Satya karna, Neuro-ophthalmology : Clinical Examination and Diagnosis,
2006; Jaypee Brothers)
23. American Academy of Ophthalmology, 2016, Neuro-ophthalmology. The
Patient With Decreased Vision : Evaluation, Chapter 3

73

Anda mungkin juga menyukai