BAB 1
PENDAHULUAN
dan beberapa negara di dunia. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh
masyarakat, keluarga dan termasuk petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan
masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta
suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon imun seluler atau respon imun
humoral), dengan akibat yang merugikan penderita. Reaksi kusta dapat terjadi
sebelum, selama atau sesudah pengobatan dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai lesi kulit
memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis dan gangguan fungsi saraf serta dapat
terjadi demam. Sebaliknya reaksi tipe II merupakan reaksi humoral, yang ditandai
dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi, gangguan
Faktor pencetus reaksi kusta antara lain : usia penderita saat didiagnosis > 15
tahun, jenis kelamin, tipe kusta MB, bakteri indeks (BI) positif, status gizi, lama
kali dan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Penelitian R. Bwire dan H.J.S Kawuma
(1993), menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan adalah 14,8
%, selama pengobatan 80,5 % dan setelah pengobatan 4,7 %.31. Studi dari Scollard
D.M, et.al (1994), menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I adalah 32
% dan frekuensi reaksi tipe II 37 %. Frekuensi kejadian reaksi kusta menurut jenis
kelamin adalah pada wanita 47 % dan laki-laki 26 %.32 Kajian dari Van Brakel W.H
(1994), menyebutkan bahwa prevalensi reaksi reversal adalah 28 % dan ENL adalah
5,7 %14.2
Apabila penanganan penderita reaksi kusta terlambat atau tidak adekuat, dapat
mengakibatkan kecacatan. Kecacatan tersebut akibat dari kerusakan saraf perifer saat
terjadinya reaksi kusta, seperti gangguan saraf sensorik, motorik maupun otonom.
Kecacatan akibat reaksi akan berdampak luas baik sosial, ekonomi, budaya dan
masalah sosial karena kehilangan produktifitas dan masa depannya. Kecacatan karena
penyakit kusta menjadi beban pada penderita keluarga maupun masyarakat. Banyak
penderita yang menjadi tuna wisma, tuna sosial, tuna karya dan kemungkinan dapat
merupakan penyakit dengan kompetensi 4, yang berarti bahwa dokter umum harus
sampai tuntas. Oleh karena itu sebagai calon lulusan dokter umum, diwajibkan untuk
memahami dengan baik mengenai perjalanan penyakit kusta, termasuk reaksi kusta.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Etiologi
Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan
asam dan alkohol serta bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan
rata-rata 3-5 tahun. Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan sel yang lama,
yaitu antara 2 – 3 minggu dan di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta
pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Beberapa
Pada klasifikasi kusta ini penderita kusta di tempatkan pada dua kutub,
satu kutub terdapat kusta tipe tuberculoid (T) dan kutub lain tipe lepromatous
(L) . Diantara kedua tipe ini ada tipe tengah yaitu tipe borderline (B). Di
samping itu ada tipe yang menjembatani yaitu disebut tipe intermediate
borderline (B).
klasifikasi kusta menjadi pausi basiler (PB) lesi tunggal, pausi basiler (PB lesi
2-5) dan multi basiler (MB). Sekarang untuk pengobatan PB lesi tunggal
disamakan dengan PB lesi 2-5. Sesuai dengan jenis regimen MDT (multi drug
therapy) maka penyakit kusta dibagi dalam 2 tipe, yaitu tipe PB dan MB.
Tabel 2.1 Perbedaan Gambaran Klinis Penyakit Kusta Tipe PB dan MB 1,3,6,7
dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan
6
fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal
satu tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut yaitu :
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat
c. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA
positif). 2, 3
Dewasa 50-70 kg : rifampisin 600 mg, ofloxacin 400 mg, minosiklin 100 mg
Anak 5-14 tahun : rifampisin 300 mg, ofloxacin 200 mg dan minosiklin 50 mg
Dewasa : rifampisin 600 mg, dapson 100 mg (diminum hari pertama di depan
petugas) dan dapson 100 mg (diminum di rumah hari 2-28) . Lama pengobatan
hari pertama di depan petugas) dan clofazimin 50 mg, dapson 100 mg (diminum
berat badan, yaitu : rifampisin 10-15 mg/kg BB, dapson 1-2 mg/kg BB dan
disebut RFT (release from treatment). Setelah RFT penderita tetap dilakukan
pengamatan secara pasif yaitu tipe kusta PB selama 2 tahun dan tipe kusta MB
selama 5 tahun. Penderita kusta yang telah melewati masa pengamatan setelah
RFT disebut RFC (release from control) atau bebas dari pengamatan.
penyakit yang sebenarnya sangat kronis. Reaksi ini adalah gambaran dari episode
merugikan yang disebut dengan reaksi imun patologik, salah satunya adalah
2.2.1 Epidemiologi
mengalami reaksi kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak
1 kali dan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder
(1998), sebanyak 12% penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama masa
pengobatan dan 1,6% terjadi setelah penderita RFT. Penelitian R. Bwire dan H.J.S
pengobatan adalah 14,8%, selama pengobatan 80,5% dan setelah pengobatan 4,7%. 2,5
Faktor risiko yang diduga berperan terhadap terjadinya reaksi kusta adalah
sebagai berikut : 2, 3, 4, 5, 7
a. Karakteristik individu, diantaranya adalah umur pasien saat didiagnosis kusta lebih
b. Karakteristik status klinis, yaitu tipe kusta MB, dimana tipe kusta dipengaruhi oleh
variasi dalam kesempurnaan sistem respon imun seluler. Pada kusta tipe PB
dengan respon imun seluler cukup tinggi lebih sering mendapat reaksi kusta tipe I
yang kadang gambaran klinisnya lebih hebat. Hal ini terjadi karena kuman yang
mati akan dihabiskan sistem fagosit tubuh, tetapi pada sebagian penderita akan
Sedangkan pada tipe MB dengan respon imun rendah, reaksi kusta ini tidak
tipe kusta MB memiliki resiko mengalami reaksi 2,45 sampai 4 kali lebih besar
Yang kedua adalah lama sakit lebih dari 1 tahun, dimana lama penderita
menderita sakit kusta mulai dari sebelum didiagnosa, sesudah didiagnosa dan
yang mati atau pecah dan menjadi antigen sehingga memicu terjadinya reaksi
kusta. 1 Reaksi ENL juga dapat terjadi pada pada kusta yang tidak diobati
Yang selanjutnya adalah jumlah lesi lebih dari 10, lalu menstruasi serta
hormonal yang akan menjadi faktor pencetus terjadinya reaksi kusta. Faktor
lainnya adalah stres, kelelahan fisik, kehamilan, laktasi dimana keempat faktor
biasanya akan mendapat reaksi kusta setelah 6 bulan atau lebih mendapat
berjalan lama mempunyai risiko mengalami reaksi kusta 2,9 kali dibandingkan
penderita yang mendapat pengobatan awal. Penelitian W.H Van Brakel (1994),
menyimpulakan bahwa reaksi kusta tipe I lebih banyak terjadi pada 6 bulan
pertama pengobatan dan reaksi kusta tipe II terjadi setelah pengobatan berjalan 1
tahun. 2,5,7
Pengobatan dengan obat reaksi kusta bersifat imunosupresan dan bila diberikan
tidak adekuat menyebabkan berbagai reaksi respons imun yang akan memicu
terjadinya reaksi kusta. Berikut ini adalah tabel mengenai beberapa faktor
resiko yang dapat memicu terjadinya reaksi kusta tipe 1 maupun tipe 2. 4
Tabel 2.2 Faktor Resiko Pencetus Terjadinya Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2 4
E.N.L terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan bisa juga pada BL,
timbulnya E.N.L. 1
11
Tabel 2.3 Perbedaan Reaksi Kusta tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (E.N.L)
Reaksi kusta tipe I terjadi pada penderita kusta tipe PB dan MB, terutama
pada fase 6 bulan pertama pengobatan.1 Pada penderita kusta tipe MB, reaksi
kusta tipe I sering terjadi salah diagnosis sebagai kasus kambuh. Reaksi tipe I
imun seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.
Apabila dilihat dari segi pembasmian kuman kusta reaksi tipe I ini dapat
dengan jumlah lesi yang banyak dan hasil kerokan kulit positip akan menaikkan
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe
terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga
IL-1b, IL-6, IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan
IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1)
lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFNγ dan TNF-α bertanggung
13
jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan
Reaksi tipe I merupakan masalah besar pada penyakit kusta karena dapat
saraf.
Gejala yang terjadi pada reaksi tipe I berupa adanya perubahan lesi kulit
maupun saraf akibat peradangan yang terjadi. Manifestasi lesi pada kulit dapat
berupa warna kemerahan, bengkak, nyeri dan panas. Pada saraf dapat terjadi
neuritis dan gangguan fungsi saraf. Kadang dapat terjadi gangguan keadaan
dengan sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul
lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi
infiltrat menjadi makin infiltratif, dan lesi lama menjadi bertambah luas. Satu
Beratnya reaksi tipe I dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat.
Adapun perbedaan antara reaksi kusta tipe I ringan dan berat dapat dilihat pada
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL. Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat
juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgG,
maka E.N.L termasuk dalam golongan penyakit imun, oleh karena salah satu
bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe
tuberkuloid. Hal ini terjadi karena pada tipe lepromatosa, jumlah basil jauh lebih
banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan
tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena saat pengobatan, banyak basil lepra yang
mai dan hancur, yang berarti ada banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi
terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai
lokasi peradangan utama yaitu : klasikal (subkutis), kulit dalam, dan permukaan. 7
Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit, dimana pada kulit akan
timbul gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di
15
lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain maka dapat menimbulka gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis arthritis, orkitis, dan nefritis akut
Kalau diperhatikan lagi reaksi E.N.L dan reaksi reversal secara klinis,
E.N.L dengan lesi eritema nodosum sehingga disebut reaksi lepra nodular,
sedangkan reaksi reversal tanpa nodus, sehingga disebut juga reaksi non-nodular.
Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau
tidak adanya nodus. Jika ada berarti disebut reaksi nodular atau E.N.L, dan
sebaliknya. 1,4
Lama perjalanan ENL dapat berlangsung 3 minggu atau lebih, kadang lebih lama.
Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat
Perbedaan reaksi tipe II ringan dan berat dapat dilihat pada tabel 2.4.
Gambar 2.1 Spektrum Reaksi Kusta Tipe 1 (RR) dan Tipe 2 (E.N.L)
16
Tabel 2.4 Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat dari Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2 4
meliputi pemeriksaan pada lesi kulit, saraf tepi dan keadaan umum penderita.
cacat atau preventions of disabillity (POD), yang dilakukan setiap satu bulan
sekali. Formulir POD digunakan untuk mencatat dan memonitor fungsi saraf serta
17
alat untuk mendeteksi dini adanya reaksi kusta. Fungsi saraf utama yang diperiksa
adalah saraf di muka (nervus facialis), tangan (nervus medianus, nervus ulnaris
dan nervus radialis) dan di kaki (nervus peroneus, nervus tibialis posterior). Bila
didapatkan tanda klinis seperti adanya nodul, nodul ulserasi, bercak aktif atau
bengkak di daerah saraf tepi, nyeri tekan saraf, berkurangnya rasa raba dan
penderita sedang mengalami reaksi kusta. Cara memeriksa gangguan fungsi saraf
dan kelemahan otot adalah dengan teknik voluntary muscle test (VMT) atau tes
kekuatan otot dan untuk memeriksa berkurangnya rasa raba dilakukan sensitivity
3). Reaksi kusta ringan yang tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu
4). Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit
Prednison untuk penderita reaksi kusta anak diberikan dengan dosis awal
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak, sebab jika
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi tambahan pengobatan. Jika ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgesik dan sedativa dapat diberikan
jika perlu. 1
20
b. Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
dosisnya, begitu pula sebaliknya. Dosis diturunkan perlahan sampai berhenti sama
antipiretik dan sedativa atau bila berat penderita bisa menjalani rawat inap.
dapat timbul kembali jika obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis
Klofazimin selain sebagai obat anti kusta, dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi E.N.L, tetapi dengan dosis lebih tinggi, dan juga tergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat reaksi makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-
pemakaian klofazimin ini dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
oleh banyak penderita adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, terutama
pada dosis tinggi. Namun hal ini bersifat reversibel, dapat hilang setelah
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal (reaksi tipe 1), lesi kulit multipel dan
dengan pembesaran atau nyeri pada saraf juga memiliki resiko tersebut.
Pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD) adalah suatu usaha untuk
cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta. Kegiatan
yang dilakukan berupa pemeriksaan klinis penderita (lesi kulit dan saraf) dengan
cara voluntary muscle test (VMT) dan sensitivity test (ST) menggunakan formulir
POD. Dengan POD reaksi kusta paling lambat dapat diketahui dalam waktu 1
bulan.1,2,8
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
a. Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf motorik,
misalnya claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos dan cacat pada fungsi
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon,
ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata. 2,4
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi
berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya
memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
WHO Expert Comitte on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
Technical Report Series No. 607 (1977) telah membuat klasifikasi cacat bagi
\
25
BAB 3
KESIMPULAN
imunologik. Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum
pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini
dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau
reaksi ENL.
belum jelas. Beberapa faktor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian
reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis,
risiko cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta. Cara
MDT yang cepat dan tepat, sehingga diharapkan dengan penatalaksanaan yang
baik dan cepat, dapat mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada
penderita kusta.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih, A, Wisnu, M, Sjamsoe, E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
4. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI. 2012. Pedoman Nasional Program
5. Zulkifli, dr. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkan, diunduh tanggal
zulkifli2.pdf
2009.