Pendahuluan
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis (TB) sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi
tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.
Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.1
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika
yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap
tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap
100.000 penduduk.1
Mengingat sulitnya penegakan diagnosis TB pada anak, pelaporan jumlah kasus TB
anak yang akurat juga mengalami kesulitan. Estimasi jumlah pasien TB anak adalah sekitar
10-15% dari jumlah kasus TB dewasa. Laporan TB anak di Indonesia pada tahun 2012
menyatakan jumlah kasus TB anak 8,2% dari seluruh kasus, namun permasalahannya adalah
jika dirinci data dari masing-masing propinsi, angkanya bervariasi antara 1,7-15,6%. Angka
ini menyiratkan belum adanya standar penegakan diagnosis TB pada anak sehingga
menghasilkan rentang data yang sangat besar; kemungkinan overdiagnosis di beberapa
propinsi, tetapi underdiagnosis di propinsi lainnya.2
1
Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis.1
Morfologi bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 m dan panjang 1 4 m.
Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complexwaxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester.1
Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.1
Patogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru,
dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening
di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus).
3. Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar
kesekitarnya.
Salah
satu
contoh
adalah
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru.
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan
alat kelamin.2
Diagnosis TB anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama dan
pengambilan dahak pada anak biasanya sulit. Mengingat kesulitan penegakan diagnosis pasti,
maka anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan cermat sangat diperlukan.
Rekomendasi pendekatan diagnosis TB pada anak:2
1. Anamnesis (riwayat kontak erat dengan pasien TB dan gejala klinis sesuai TB)
2. Pemeriksaan fisis (termasuk analisis tumbuh-kembang anak)
3. Uji tuberkulin
3
Batuk lama atau persisten 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab lain batuk telah
disingkirkan.
Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi
thrive).
Berat badan turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas ATAU berat
badan tidak naik dengan adekuat ATAU tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah
panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis): bengkak pada persendian tangan atau
kaki
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan fistula/jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. TB mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
Skleritis TB
6. TB organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala
gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya
infeksi TB.
Pemeriksaan fisik
Pada sebagian besar kasus TB anak, tidak dijumpai kelainan fisik yang khas. Gejala secara
umum berupa:4
Penurunan berat badan, dengan grafik berat badan dan tinggi badan menunjukkan
malnutrisi/gizi kurang.
Suhu subfebris
Kelainan yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah apabila TB mengenai organ
tertentu seperti berikut:4
inguinal.
Konjungtivitis fliktenularis: bintik putih pada limbus kornea yang sangat nyeri.
Pemeriksaan penunjang
i.
Uji tuberkulin
5
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Selain itu, variabilitas antar pembaca hasil foto toraks cukup besar. Dengan demikian
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut:2,5
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya
selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral).
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
Gambar 1. Gambaran foto thorax pada kasus TB milier anak usia 7 bulan.
Sumber: Andrea TC, Jeffrey RS. Pediatric tuberculosis. Pediatrics in Review. January
2010; 31(1):13-26.
Pemeriksaan foto toraks memiliki sensitivitas sebesar 67% dan spesifisitas 59%. 5
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan harus memenuhi kualitas yang baik, dan
direkomendasikan dibaca oleh radiologist yang terlatih membaca hasil Rontgen toraks pada
anak. Deskripsi hasil foto toraks yang bersifat umum seperti bronkopneumonia dupleks, TB
masih mungkin perlu disikapi dengan hati-hati dalam arti harus disesuaikan dengan data
klinis dan penunjang lain. Kecuali gambaran khas seperti milier, deskripsi radiologis saja
tidak dapat dijadikan dasar utama diagnosis TB anak.2
iii.
Pemeriksaan bakteriologis:
Pemeriksaan bakteriologis mengidentifikasi adanya basil tahan asam secara langsung
dan Mycobacterium tuberculosis dari biakan atau metode pemeriksaan lainnya. Upaya
untuk melakukan konfirmasi diagnosis harus dilakukan bahkan di tempat dengan
fasilitas terbatas. Spesimen yang tepat dari organ yang terlibat dievaluasi untuk
pemeriksaan bakteriologis yaitu dengan pulasan langsung (direct smear) untuk
menemukan basil tahan asam (BTA) dan pemeriksaan biakan untuk menumbuhkan
kuman TB.2
Ada 3 cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sampel spesimen bakteriologis pada
anak:
Ekspektorasi
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemerisaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan
dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun dan
Streptomisin tidak dimasukkan dalam pengobatan lini pertama untuk anak dengan TB paru
atau dengan lemfadenitis TB.9
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis
Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2
macam tablet, yaitu:8,9,10
Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid) dan
Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
11
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan komposisi
dari tablet KDT tersebut. Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT
Kombipak Anak. Dosis paket OAT adalah seperti pada tabel di bawah.
2. Nutrisi
Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB, dan malnutrisi
berat berhubungan dengan mortalitas TB. Penilaian yang terus menerus dan cermat pada
pertumbuhan anak perlu dilakukan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi,
lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle
wasting. Pemberian air susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode menyusui.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang mudah diterima
anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai
anak stabil dan TB dapat di atasi. Pada bayi di bawah usia 6 bulan, pemberian suplementasi
diberikan pada ibu yang menyusuinya.2,9
Pencegahan
1. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)
Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi M. bovis hidup yang dilemahkan. Efek
proteksi sangat bervariasi mulai dari 0-80% bahkan di wilayah endemis TB diragukan efek
13
proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi yang cukup baik terhadap
terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB). Sebaliknya pada anak terinfeksi HIV
maka vaksin BCG tidak banyak memberikan efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat
menimbulkan BCG-itis diseminata, yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada
pasien
imunokompromais.
WHO
menetapkan
bahwa
vaksinasi
BCG
merupakan
kontraindikasi pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Hal ini sering menjadi dilema bila
bayi mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila
status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV
(PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG dapat diberikan pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif, kecuali jika ada konfirmasi bayi telah terinfeksi HIV.2,11,12
2. Pemberian profilaksis INH
Sekitar 50-60% anak kecil yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA
sputum positif, akan terinfeksi TB. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit
TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB diseminata yang berat (misalnya
TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk
mencegah sakit TB. Profilaksis primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak
dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak
didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.2
Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan, dengan
pemantauan dan evaluasi minimal satu kali per bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH
selesai dan anak belum atau tidak terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada anak dengan kontak
erat TB yang imunokompromais seperti pada HIV, keganasan, gizi buruk dan lainnya,
profilaksis INH tetap diberikan meskipun usia di atas 5 tahun. Profilaksis sekunder diberikan
kepada anak-anak dengan bukti infeksi TB (uji tuberkulin atau IGRA positif) namun tidak
terdapat gejala dan tanda klinis TB. Dosis dan lama pemberian INH sama dengan pencegahan
primer.2
Dengan pemberian profilaksis INH setelah pengobatan TB tuntas pada pasien dewasa
yang terinfeksi HIV, sekitar 83 kasus rekurens dapat dicegah per 1000 kasus. WHO
merekomendasikan pemberian terapi profilaksis dengan INH 6-36 bulan setelah pengobatan
dengan OAT selesai pada semua pasien TB dengan infeksi HIV, termasuk anak-anak yang
tinggal di kawasan dengan prevalensi TB yang tinggi.12
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
tuberkulosis di Indonesia (Konsensus TB). 2011. Hal.1-5.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis pada anak. Dalam:
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta; 2013.
Hal.81-102.
3. Rigouts L. Clinical practice: diagnosis of childhood tuberculosis. Eur J Pediatr.
2009;168:1285-90.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis. Dalam: Pedoman pelayanan medis.
2009. Hal. 323-8.
5. Robert G. Interpretation of the Chest X-ray in Children. Desmond Tutu Tuberculosis
Centre, Department Paediatrics and Child Health Stellenbosch University. 2009.
Tersedia dari: http://www.who.int/tb/challenges/CXRtalk.pdf. Diunduh pada 19 Juli
2015.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tatalaksana TB anak. Dalam: Pedoman
nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi 2. 2007. Hal. 24-6.
7. Nastini NR, Bambang S, Darmawan BS, penyunting. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Tuberkulosis. Dalam: Buku ajar respirologi IDAI. Edisi pertama. 2012. Hal.162-226.
8. International child health review collaboration. Tuberkulosis: tatalaksana. 2012.
Tersedia dari: http://www.ichrc.org/482-tuberkulosis-tatalaksana. Diunduh pada 20
Juli 2015.
9. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. 2nd edition. Geneva: WHO Document
Production Services; 2014. Hal.33-40.
10. Centers for Disease Control and Prevention. Tuberculosis in children. October 10,
2014. Tersedia dari:http://www.cdc.gov/tb/topic/populations/tbinchildren/default.htm.
Diunduh pada 17 Juli 2015.
11. IGNG Ranuh et al. Tuberkulosis. Dalam: Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi 4.
Jakarta: Satgas Imunisasi, IDAI; 2011. Hal. 131-4.
12. Carlos MPV, Ben JM. Tuberculosis in Children. N Engl J Med 2012;367:348-61.
15