Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

“KOLELITIASIS”

Oleh :

Titin Maulina Anggraini


H1A014075

Pembimbing:
Dr. Santyo Wibowo, Sp.B

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus yang berjudul “Erupsi Acneiformis” ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu KesehatanKulit dan
Kelamin RSUD Praya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada dr. H. Yudha Permana, Sp.DV selaku pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan kasus ini.

Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan


pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Praya, Oktober 2019

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kolelitiasis adalah endapan dari komponen empedu yang akhirnya


mengeras dan membentuk batu. Prevalensi kolelitiasis berbeda-beda di setiap
negara. Letak geografi suatu negara dan etnis memiliki peran besar dalam
prevalensi penyakit kolelitiasis (Stinton,2012). Di Amerika Serikat, pada tahun
2017, sekitar 20 juta orang (10-20 % populasi orang dewasa) memiliki
kolelitiasis. Setiap tahun,1-3 % orang akan memiliki kolelitiasis dan sekitar 1-3 %
orang akan timbul keluhan. Setiap tahunnya, diperkirakan 500.000 pasien
kolelitiasis akan timbul keluhan dan komplikasi sehingga memerlukan
kolesistektomi (Heuman,2017). Prevalensi kolelitiasis di Eropa yaitu 5-15%
berdasarkan beberapa survey pemeriksaan ultrasonografi. Di Asia, pada tahun
2013, prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3% sampai10%. Berdasarkan data
terakhir, prevalensi kolelitiasis di negara Jepang sekitar 3,2 %, China 10,7%, India
Utara 7,1% dan Taiwan 5,0% (Chang etal., 2013). Angka kejadian kolelitiasis di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia Tenggara
(Wibowo et al., 2010). Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Jakartapada 05
Oktober sampai dengan 31 Desember 2015 didapatkan 101 kasus kolelitiasis
(Febyan, 2017). Sedangkan di Rumah Sakit Prof. Dr. R.D. Kandou Manado di
dapatkan jumlah kasus kolelitiasis periode Oktober 2015 –Oktober 2016 di bagian
rekam medik sebanyak 113 kasus (Tuuk, 2016).
Walaupun demikian, kolelitiasis juga memiliki faktor resiko lain
sepertisekresi bilirubin yang berlebihan, kelainan genetik, diabetes mellitustipe 2,
pemberian nutrisi parenteral total, sindrom metabolik, obat obatan, dan faktor
lainnya (Heuman,2017). Kolelitiasis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pria (Njeze,2013). Menurut Third National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES III), prevalensi kolelitiasis di Amerika Serikat yaitu 7,9% pada
laki-laki dan 16,6%pada perempuan (Chang et al., 2013). Risiko untuk terkena
kolelitiasis meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40
tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
dengan usia yang lebihmuda (Stinton, 2012). Pasien kolelitiasis sering ditemukan

3
pada usia rata rata 40-50 tahun (Wibowo et al., 2010).Kolelitiasi khususnya
kolelitiasiskolesterol lebih sering terjadi pada wanita yang telah mengalami
kehamilan lebih dari sekali (Multiple pregnancy).Hal ini diduga akibat tingginya
kadarprogesteronpada saat kehamilan (Heuman, 2017).Tatalaksana kolelitiasis
dapat dibagi menjadi 2, yaitu bedah dan non bedah. Terapi non bedah dapat
berupa lisis batu yaitu disolusi batudengan sediaan garam empedu kolelitolitik,
ESWL(extracorporealshock wave lithotripsy)dan pengeluaran secara endoskopik.
Sedangkan terapi bedah dapat berupa laparoskopi kolesistektomi, open
kolesistektomi, dan eksplorasi saluran koledokus (Wibowo et al., 2010).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kandung Empedu dan Saluran Empedu

Embriologi1

Saluran empedu dan hati berasal dari penonjolan pada daerah ventral usus

depan pada proses embriogenesis. Bagian kranialnya tumbuh menjadi hati,

bagian kaudal menjadi pankreas dan bagian sisanya menjadi kandung

empedu. Bagian padat dari tonjolan berongga akan berkembang menjadi

sel hati yang diantaranya akan berkembang menjadi empedu yang

bercabang.

Anatomi2

Saluran empedu menghubungkan empedu dari hati ke duodenum. Empedu

diproduksi terus menerus oleh hati dan disimpan dan dipekatkan dalam

kantong empedu, dan melepaskannya ketika lemak memasuki duodenum.

Empedu mengemulsi lemak sehingga bisa diserap di usus bagian distal.

Jaringan hati normal, ketika dibelah terlihat pola lobulus hati berbentuk

heksagonal bila dilihat dengan perbesaran rendah.

Saluran empedu terbentuk di tepi, bebas dari omentum. Panjang saluran

empedu bervariasi dari 5 hingga 15 cm. Saluran empedu turun ke posterior

ke bagian superior duodenum dan terletak di lekukan pada permukaan

posterior caput pankreas. Di sisi kiri dari bagian duodenum yang menurun,

saluran empedu bersentuhan dengan saluran pankreas utama. Saluran-

saluran ini berjalan melalui dinding bagian duodenum, tempat mereka

bersatu, membentuk dilatasi, ampula hepatopancreatic. Ujung distal

5
ampula terbuka ke duodenum melalui papilla duodenum mayor. Otot

sirkular di sekitar ujung distal saluran empedu menebal untuk membentuk

sfingter saluran empedu (L. ductus choledochus). Ketika sfingter ini

berkontraksi, empedu tidak dapat memasuki ampula dan duodenum;

karenanya,

empedu kembali dan melewati sepanjang saluran kistik ke kantong

empedu untuk

konsentrasi dan penyimpanan. Pendarahan saluran empedu berasal dari :

 Cystic artery yakni memasok bagian proksimal saluran.

 Right hepatica artery yakni memasok bagian tengah saluran.

 Posterior superior gastroduodenal artery yakni memasok bagian

retroduodenal dari duktus

Gambar 2.1. Aliran darah dan empedu di hati. (A) Saluran empedu
ekstrahepatik, kandung empedu, dan saluran pankreas ditunjukkan. (B)

6
Duktus empedu dan duktus pankreas memasuki ampula
hepatopankreatik, yang membuka ke bagian desenden duodenum2.

Kantung empedu (panjang 7-10 cm) terletak di fossa untuk

kandung empedu pada permukaan visceral hati. Fossa dangkal ini

terletak di persimpangan hati kanan dan kiri (bagian dari). Hubungan

kandung empedu dengan duodenum begitu akrab sehingga bagian

superior duodenum biasanya diwarnai dengan empedu dalam mayat.

Karena hati dan kantong empedu harus ditarik kembali secara superior

untuk mengekspos kantong empedu selama pendekatan bedah anterior

terbuka (dan atlas sering menggambarkannya dalam posisi ini), mudah

untuk melupakan bahwa, dalam posisi alami, tubuh kantong empedu

terletak di depan. bagian superior duodenum, dan leher serta duktus

kistiknya segera superior dibandingkan duodenum.

Kandung empedu berbentuk pir dapat menampung hingga 50 mL

empedu. Peritoneum sepenuhnya mengelilingin fundus kantong empedu

dan mengikat tubuh dan lehernya ke hati. Hati permukaan kantong

empedu menempel ke hati dengan ikat jaringan kapsul fibrosis hati.

Kantung empedu memiliki tiga bagian, yaitu:

• Fundus : ujung tumpul lebar yang biasanya diproyeksikan dari batas

inferior hati di ujung kosta ke-9 kanan tulang rawan di

MCL.

• Tubuh : bagian utama yang menyentuh permukaan visceral hati,

usus besar melintang, dan bagian superior duodenum.

7
• Leher : menyempit, ujung meruncing, berlawanan dengan fundus

dan diarahkan ke porta hepatis; biasanya membuat Tekuk

berbentuk S dan bergabung dengan saluran kistik. Duktus

kistik (panjang 3-4 cm) menghubungkan leher kantong

empedu ke saluran hati umum. Mukosa leher spiral ke

dalam lipatan spiral (spiral valve). Lipatan spiral membantu

menjaga saluran kistik terbuka; dengan demikian empedu

dapat dengan mudah dialihkan ke kantong empedu ketika

ujung distal dari saluran empedu ditutup oleh sfingter

saluran empedu dan / atau sfingter hepatopancreatic, atau

empedu dapat melewati duodenum saat kontak kantong

empedu. Lipatan spiral juga menawarkan resistensi

tambahan terhadap pembuangan empedu yang tiba-tiba

ketika sfingter tertutup, dan tekanan intra abdominal tiba-

tiba meningkat, seperti saat bersin atau batuk. Duktus kistik

melewati antara lapisan omentum yang lebih rendah,

biasanya sejajar dengan saluran hati umum, yang mana itu

bergabung untuk membentuk saluran empedu.

Fisiologi1

Empedu diproduksi sebanyak 500-1500 ml per hari oleh sel hepatosit.

Empedu juga disimpan sementara di kandung empedu dan dipekatkan.

Sekresi cairan empedu diatur oleh sekresi empedu oleh hati, kontraksi

kandung empedu, dan kontraksi sfingter koledokus. Sesaat setelah

8
makan, empedu akan dialirkan dengan kontraksi kandung empedu dan

relaksasi sfingter, kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum.

Kontraksi kandung empedu berkaitan dengan dilepaskan hormon

kolesistokinin yang disekresikan di mukosa duodenum.

2.2 Kolelitiasis (Batu Empedu)

Kolelitiasis atau batu empedu adalah endapan cairan pencernaan yang

mengeras yang dapat terbentuk di kantong empedu. Kantung empedu adalah

organ kecil yang terletak tepat di bawah hati. Kantung empedu memegang cairan

pencernaan yang dikenal sebagai empedu yang dilepaskan ke usus kecil. Di

Amerika Serikat, 6% pria dan 9% wanita memiliki batu empedu, yang sebagian

besar tidak menunjukkan gejala. Pada pasien dengan batu empedu asimptomatik

yang ditemukan secara tidak sengaja, kemungkinan timbulnya gejala atau

komplikasi adalah 1% hingga 2% per tahun. Batu empedu ini dapat berkembang

lebih lanjut untuk mengembangkan komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis,

koledocholithiasis, pankreatitis batu empedu, dan jarang kolangiokarsinoma3,4,5.

Etiologi

Ada tiga jalur utama dalam pembentukan batu empedu6:

1) Supersaturasi kolesterol

Biasanya, empedu dapat melarutkan jumlah kolesterol yang diekskresikan

oleh hati. Tetapi jika hati memproduksi lebih banyak kolesterol daripada

yang bisa dilarutkan oleh empedu, kelebihan kolesterol bisa mengendap

sebagai kristal. Kristal terperangkap dalam lendir kandung empedu,

9
menghasilkan lumpur kandung empedu. Seiring waktu, kristal dapat

tumbuh membentuk batu dan menutup saluran yang akhirnya

menghasilkan penyakit batu empedu.

2) Kelebihan bilirubin

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan sel darah merah,

dikeluarkan ke dalam empedu oleh sel-sel hati. Kondisi hematologis

tertentu menyebabkan hati membuat terlalu banyak bilirubin melalui

proses pemecahan hemoglobin. Bilirubin berlebih ini juga dapat

menyebabkan pembentukan batu empedu.

3) Hipomotilitas kandung empedu atau gangguan kontraktilitas

Jika kandung empedu tidak kosong secara efektif, empedu dapat menjadi

pekat dan membentuk batu empedu.

Bergantung pada etiologinya, batu empedu memiliki komposisi yang

berbeda. Tiga jenis yang faktor risiko yang unik. Beberapa faktor risiko untuk

pengembangan batu empedu kolesterol adalah obesitas, usia, jenis kelamin

wanita, kehamilan, genetika, nutrisi paling umum adalah batu empedu kolesterol,

batu empedu pigmen hitam, dan batu empedu pigmen coklat. Sembilan puluh

persen batu empedu adalah batu empedu kolesterol.

Setiap batu memiliki serangkaian parenteral total, penurunan berat badan yang

cepat, dan obat-obatan tertentu7.

Sekitar 2% dari semua batu empedu adalah batu pigmen hitam dan coklat.

Ini dapat ditemukan pada individu dengan pergantian hemoglobin tinggi. Pigmen

sebagian besar terdiri dari bilirubin. Pasien dengan sirosis, penyakit ileum, anemia

10
sel sabit, dan fibrosis kistik berisiko terkena batu pigmen hitam. Pigmen coklat

terutama ditemukan pada populasi Asia Tenggara dan tidak umum di Amerika

Serikat. Faktor risiko untuk batu pigmen coklat adalah stasis intraductal dan

kolonisasi kronis empedu dengan bakteri8,9.

Patofisiologi10

Pembentukan empedu adalah satu-satunya jalur yang secara signifikan mampu

untuk mengeliminasi kelebihan kolesterol tubuh, baik sebagai kolesterol bebas

atau sebagai garam empedu. Kolesterol menjadi larut dalam air oleh karena

bersatu dengan garam empedu dan Ketika konsentrasi kolesterol melebihi

kapasitas untuk melarutkan empedu (supersaturasi), kolesterol tidak bisa lagi larut

dan kemudian mengkristal keluar dari larutan. Hipomobilitas kandung empedu

(stasis) dapat meningkatkan pembentukan batu empedu, dengan cara

mempromosikan nukleus, kristal kolesterol agar terjebak oleh mukus yang berasal

dari hipersekresi mukus, sehingga terjadi peningkatan agregasi kristal menjadi

batu. Pembentukan batu pigmen lebih mudah apabila terdapat bilirubin tak

terkonjugasi dalam saluran empedu, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik

dan infeksi saluran empedu. Endapan terutama berupa garam kalsium bilirubin

yang tidak larut.

Faktor Risiko10

11
 Usia dan jenis kelamin

Prevalensi batu empedu meningkat mengikuti pertambahan usia. Di

Amerika Serikat, mereka yang memiliki batu empedu di usia kurang dari

40 tahun kurang dari 5% sampai 6%, berbeda dengan mereka yang lebih

tua dari 80 tahun yang mencapai 25% sampai 30% dari populasi.

Prevalensi pada wanita dari segala usia adalah sekitar dua kali lebih tinggi

daripada pria.

 Etnis dan geografis.

Prevalensi batu empedu kolesterol mendekati 50% sampai 75% pada

beberapa populasi asli Amerika (Pima, Hopi, dan Navajos), sedangkan

batu pigmen jarang; prevalensi tampaknya berhubungan dengan

hipersekresi kolesterol empedu.

 Herediter

Selain etnis, adanya riwayat keluarga memiliki batu empedu dapat

meningkatkan risiko, seperti juga berbagai kelainan metabolisme bawaan

yang terkait dengan gangguan sintesis dan sekresi garam empedu.

 Lingkungan

Pengaruh estrogenik, termasuk kontrasepsi oral dan kehamilan,

meningkatkan penyerapan dan sintesis kolesterol hati, menyebabkan

sekresi kolesterol empedu yang beriebihan. Obesitas, penurunan berat

badan yang cepat, dan pengobatan dengan zat hipokolesterolemik klofibrat

sangat terkait dengan peningkatan sekresi kolesterol empedu.

 Kelainan didapat

12
Setiap kondisi yang menyebabkan motilitas kandung empedu berkurang

merupakan predisposisi batu empedu, seperti kehamilan,penurunan berat

badan yang cepat, dan cedera korda spinalis. Pada kebanyakan kasus,

hipomotilitas kandung empedu terjadi tanpa penyebab yang jelas.

Morfologi10

Batu kolesterol terjadi secara khusus di kandung empedu dan 50% sampai 100%

kandungannya terdiri atas kolesterol. Batu kolesterol murni berwarna kuning

pucat; dengan peningkatan proporsi kalsium karbonat, fosfat, dan bilirubin yang

memberikan warna putih keabu-abuan hingga hitam, bentuknya oval dan padat.

dapat terbentuk secara tunggal, tetapi paling sering terbentuk beberapa batu,

dengan permukaan bergelombang akibat proses pembentukannya (aposisi).

Sebagian besar batu kolesterol tampak radiolusen, meskipun sebanyak 20%

mungkin memiliki cukup kalsium karbonat untuk menjadi radiopak. Batu pigmen

dapat terbentuk di mana saja dalam saluran empedu dan diklasifikasikan menjadi

batu hitam dan coklat. Secara umum, batu pigmen hitam ditemukan pada kandung

empedu yang steril, sedangkan batu coklat ditemukan pada saluran intrahepatik

atau ekstrahepatik yang terinfeksi. Batu mengandungi garam kalsium bilirubin

yang tak terkonjugasi dan sedikit garam kalsium unsur lainnya berupa,

glikoprotein musin, dan kolesterol. Batu hitam biasanya berukuran kecil, rapuh

bila disentuh. dan jumlahnya banyak. Batu coklat cenderung tunggal atau sedikit

jumlahnya dan memiliki konsistensi lunak, berminyak. seperti sabun yang

dihasilkan dari adanya retensi garam asam lemak yang dilepaskan oleh fosfolipase

bakteri pada lesitin empedu. Oleh karena mengandungi kalsium karbonat dan

13
fosfat, maka 50% sampai 75% batu hitam tampak radiopak. Batu coklat, yang

mengandungi sabun kalsium, tampak radidusen.

Gambar 2.2 Batu empedu kolesterol. Manipulasi mekanik selama kolesistektomi


laparoskopi telah menyebabkan fragmentasi beberapa batu empedu kolesterol,
tampak bagian dalam yang berpigmen menunjukkan pigmen empedu yang
terperangkap di dalamnya. Mukosa kandung empedu memerah dan iregular akibat
adanya kolesistitis akut dan kronik10.

Gambar 2.3 Batu empedu berpigmen. Beberapa batu empedu hitam


bergelombang tampak dalam kandung empedu yang terlihat biasa-biasa saja yang

14
diambil dari pasien yang memiliki prostesis katup mitral mekanik, menyebabkan
hemolisis intravaskular kronik10.

Gejala Klinis

Pasien dengan penyakit batu empedu biasanya menunjukkan gejala kolik

bilier (episode intermiten nyeri perut konstan, tajam, kuadran kanan atas (RUQ)

yang sering dikaitkan dengan mual dan muntah), temuan pemeriksaan fisik

normal, dan hasil tes laboratorium normal. Mungkin disertai dengan diaforesis,

mual, dan muntah. Kolik bilier biasanya disebabkan oleh kandung empedu yang

berkontraksi sebagai respons terhadap beberapa bentuk stimulasi, memaksa batu

melalui kandung empedu ke dalam pembukaan saluran kistik, yang menyebabkan

peningkatan tekanan dan tekanan dinding kandung empedu yang sering

mengakibatkan rasa sakit yang dikenal sebagai kolik bilier. Saat kantong empedu

mengendur, batu-batu itu sering jatuh kembali ke kantong empedu, dan rasa

sakitnya mereda dalam waktu 30 hingga 90 menit3,4.

Makanan berlemak adalah pemicu umum kontraksi kandung empedu.

Rasa sakit biasanya dimulai dalam satu jam setelah makan berlemak dan sering

digambarkan sebagai intens dan kusam, dan dapat berlangsung dari 1 hingga 5

jam. Namun, hubungan dengan makanan tidak universal, dan pada sebagian besar

pasien, rasa sakitnya bersifat nokturnal. Frekuensi episode berulang bervariasi,

meskipun sebagian besar pasien tidak memiliki gejala setiap hari3,4.

15
Pemeriksaan fisik menyeluruh berguna untuk membedakan nyeri bilier

karena kolesistitis akut, kolelitiasis tanpa komplikasi, atau komplikasi lain.

Kolesistitis akut terjadi ketika batu persisten berkontak denga saluran kistik

menyebabkan kantong empedu menjadi buncit dan meradang. Pasien juga dapat

mengalami demam, nyeri di kuadran kanan atas dan nyeri tekan di atas kantong

empedu (ini dikenal sebagai tanda Murphy). Ketika demam, takikardia persisten,

hipotensi, atau ikterus hadir, perlu dicari komplikasi kolelitiasis, termasuk

kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, atau penyebab sistemik lainnya.

Choledocholithiasis adalah komplikasi batu empedu ketika batu

menghalangi saluran empedu yang umum sehingga menghambat aliran empedu

dari hati ke usus. Tekanan meningkat yang mengakibatkan peningkatan enzim hati

dan penyakit kuning. Cholangitis dipicu oleh kolonisasi bakteri dan pertumbuhan

berlebih pada empedu statis di atas batu saluran yang menghalangi. Ini

menghasilkan radang bernanah hati dan pohon empedu. Trias Charcot terdiri dari

nyeri RUQ yang parah dengan demam dan penyakit kuning dan klasik untuk

kolangitis. Operasi pengangkatan obstruksi batu dengan antibiotik intravena

diperlukan untuk mengobati kondisi ini5,6.

Pemeriksaan Penunjang

Ultrasound (USG) tetap menjadi lini pertama dan modalitas pencitraan

terbaik untuk mendiagnosis batu empedu. Tinjauan sistematis memperkirakan

bahwa sensitivitasnya adalah 84% dan spesifisitasnya 99%, lebih baik daripada

modalitas lainnya. Beberapa studi dalam literatur telah menunjukkan bahwa USG

di tempat perawatan oleh dokter adalah akurat dan dapat diandalkan dalam

16
mendiagnosis atau mengecualikan penyakit empedu. Batu empedu pada USG

memiliki penampilan struktur hyperechoic di dalam kantong empedu dengan

bayangan akustik distal. Sludge di kantong empedu juga dapat terlihat, dengan

penampilan lapisan hyperechoic di dalam kantong empedu. Lumpur, tidak seperti

batu, tidak menghasilkan bayangan akustik. Jika tanda-tanda tambahan berikut

dicatat, kecurigaan harus ditingkatkan untuk kolesistitis akut: penebalan dinding

kandung empedu anterior (lebih dari 3 mm), adanya cairan pericholecystic atau

tanda sonografi Murphy yang positif. Selain itu, pengukuran common bile duct

(CBD) dapat diperoleh dengan ultrasound, dan jika ditingkatkan, dapat

menyarankan choledocholithiasis. Kisaran CBD normal adalah empat mm pada

pasien hingga usia 40 tahun, dengan tambahan 1 mm diizinkan untuk setiap

dekade kehidupan tambahan3.

Penatalaksanaan

Manajemen batu empedu dapat dibagi menjadi dua kategori: batu empedu

asimptomatik dan batu empedu simptomatik. Batu empedu asimptomatik

mengharuskan pasien untuk dikonseling mengenai gejala kolik bilier dan kapan

harus mencari perhatian medis. Kolelitiasis tanpa komplikasi dapat diobati dengan

analgesia oral atau parenteral di unit gawat darurat atau pusat perawatan darurat

segera setelah diagnosis ditegakkan dan diagnosis alternatif dikeluarkan. Pasien

juga harus ditawari saran diet untuk mengurangi kemungkinan episode berulang

dan dirujuk ke ahli bedah umum untuk kolesistektomi laparoskopi elektif. Pasien

dengan gejala dan pemeriksaan yang konsisten dengan kolesistitis akut akan

17
memerlukan rawat inap, konsultasi bedah dan antibiotik intravena. Pasien dengan

choledocholithiasis atau pankreatitis batu empedu juga akan memerlukan masuk

ke rumah sakit, konsultasi gastrointestinal (GI) dan ERCP atau MRCP. Pasien

dengan kolangitis asenden akut biasanya tampak buruk dan septik. Mereka sering

juga memerlukan resusitasi agresif dan perawatan tingkat ICU selain intervensi

bedah untuk mengeringkan infeksi pada saluran empedu11,12,13.

18
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 71 tahun
Alamat : Bima
Suku : Mbojo
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tanggal Pemeriksaan : 20 November 2019

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri perut
B. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 bulan
yang lalu. Nyeri perut sudah di rasakan 1 tahun yang lalu dan
memberat 1 bulan terakhir. Sebelumnya nyeri perut bisa di tahan
oleh pasien dengan meminum obat yang di jual bebas. Namun 1
bulan terakhir pasien tidak bisa menahan nyeri perutnya walaupun
sudah meminum obat biasa. Karakteristik nyeri yang di rasakan
hilang timbul di ulu hati. Kencing sama eek, mual (-) muntah (-)
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan keluhan yang di rasakan pertama kali, riwayat
oprasi batu ginjal 26 tahun yang lalu, dan 1 tahun yang lalu pasien
pernah mengeluhkan adanya benjolan di payudara.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya keluhan serupa di keluarga. Riwayat
Hipertensi, Diabetes Militus, Asma, Batuk lama, penyakit kuning
juga di sangkal.

19
E. Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki alergi makanan dan
obat-obatan.
F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga yang memiliki anak 5.
Pekerjaan pasien hanya bermain dengan cucu karena sudah berusia
lanjut. Pasien menyangkal pernah mengkonsumi rokok dan
alkohol.
III. PEMERIKSAAN
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Laju Nadi : 84 kali per menit
Laju Napas : 20 kali per menit
Suhu : 36,5oC

Kepala
Inspeksi: Normocephali, rambut normal
Palpasi: Massa (-), nyeri tekan (-), cepalhematome (-)

Wajah dan Leher


Wajah: edema (-), mongoloid face (-)
Mata Inspeksi: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), edema
palpebra (-/-), refleks pupil langusng (+/+), refleks pupil
tidak langsung (+/+), isokor 3mm/3mm, fotofobia (-/-),
Palpasi: Nyeri tekan (-/-), edema palpebra (-/-).
Telinga Inspeksi: Bentuk normal, simetris, anatomi lengkap (+/+),
deformitas (-), serumen (-/-).
Palpasi: Nyeri tekan (-/-), pembesaran kelenjar (-/-).
Hidung Inspeksi: Bentuk normal, simetris, deviasi septum (-), rhinorrhea (-),
perdarahan (-) mukosa normal, hiperemis, darah yang
keluar dari hidung (-), napas cuping hidung (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Mulut Inspeksi: Sianosis sentral (-), mukosa kering (-).
Leher Inspeksi: Massa (-), pelebaran vena jugularis (-)
Palpasi: Pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-)

20
Thoraks
Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris (+/+), Retraksi (-/-), massa (-),
pelebaran sela iga (-), fossa supraclavicula dan infraclavicula :
cekung, simetris kiri dan kanan,
Palpasi: Pengembangan dinding dada simetris (+/+), krepitasi (-), iktus kordis
teraba pada ICS5 linea midclavicula line sinistra, massa (-)
Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop(-)
: Pulmo: vesikuler (+/+), rhonki halus/kasar(-/-), wheezing (-/-),
stridor (-/-)

Abdomen
Inspeksi: Scopoid (+), distensi (-), ascites (-), massa (-), hernia umbilikalis (-),
jejas (-)
Palpasi: Nyeri tekan (+), turgor kulit normal, massa (-), hepar lien dan ren
tidak teraba, nyeri tekan mac burney (-), rovsing sign (-), psoas sign
(-), obturator sign (-),
+ + -
- - -
- - -
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi Bising usus (+) 8 x/menit
:

Ekstremitas
Atas: Akral hangat (+/+), edema (-/-), deformitas (-/-), sianosis (-/-),
CRT <2s,
Bawah: Akral hangat (+/+), edema (-/-), deformitas (-/-), sianosis (-/-),
CRT <2s,

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.4.1 Laboratorium
A. Pre Laparotomy
Jenis Pemeriksaan Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal
Hematologi (21-09-2019)
Hemoglobin (g/dL) 10,6 12 – 16
Hematokrit (%) 31% 37 – 47
Eritrosit (juta/uL) 3,80 4,2 – 5,4
Leukosit (/uL) 8350 4.800 – 10.800
Trombosit (/uL) 1063000 150.000 – 450.000

21
Elektrolit (22-09-2019)
Natrium (mmol/L) 139 135 – 145
Kalium (mmol/L) 5,1 3,4 – 5,4
Klorida (mmol/L) 110 95 – 108

Hemostasis (27-09-2019)
PT (detik) 15.0 11,5 – 15,5
APTT (detik) 31,6 28,0 – 38,0
Fungsi Ginjal (24-09-2019)
Ureum (mg/dL) 138 10 – 50
Kreatinin (mg/dL) 1,9 0,6 – 1,1
Fungsi Hati (24-09-2019)
SGOT (U/l) 105 0 – 40
SGPT (U/l) 57 0 – 41

Analisa gas darah (21-


09-2019)
pH 7,43 7,20-7,60
PCO2 31,0 30,0-50,0
PO2 72,0 70-700
BE (Base Excess) -3,4
HC03 20,0 21,0-28,0
SO2 89,0 90,0-100,0
FIO2 0,9%

B. Post Laparotomy
Jenis Pemeriksaan Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal
Hematologi (27-09-2019)
Hemoglobin (g/dL) 9,8 12 – 16
Hematokrit (%) 29% 37 – 47
Eritrosit (juta/uL) 3,57 4,2 – 5,4
Leukosit (/uL) 38360 4.800 – 10.800
Trombosit (/uL) 339.000 150.000 – 450.000
Elektrolit (27-09-2019)
Natrium (mmol/L) 155 135 – 145
Kalium (mmol/L) 4,1 3,4 – 5,4
Clorida 125 95-108
Fungsi Hati (27-09-
2019)
Albumin 2,6 3,5-5,2
Diabetes (27-09-2019)
GDS 32 <160.0

22
IV. RESUME
Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri pada epigastium dan
perut kanan atas. Pasien telah merasakan nyeri pada perut kanan atas
kurang lebih selama 1 bulan yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul.
Pasien sering memakan makanan yang berlemak seperti gorengan.
Pasien tidak merasakan adanya panas badan, buang air kecil normal
warnanya kekuningan dan buang air besar normal warnanya kuning
kecoklatan, tidak ada mual, tidak ada muntah, dan rasa sakit yang
pasien rasakan sampai mengganggu aktivitas. Pada pemeriksaan status
generalis, semua dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis
didapatkan nyeri tekan pada perut kanan atas dan nyeri ulu hati.
Sebelumnya pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini dan di
keluarga juga tidak pernah ada yang menderita keluhan seperti ini.

V. DIAGNOSIS
 Diagnosis kerja
Kolelitiasis
 Diagnosis Banding
Kolesistitis
Hepatitis
VI. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad kosmetika : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

23
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini membahas menegenai seorang perempuan usia 71


tahun yang datang dengan keluhan nyeri ulu hati dan perut kanan atas. Pasien di
diagnosis dengan kolelitiasis dan hal ini dapat ditegakan dengan anamnesis serta
pemeriksaan fisik. Berdasarkan anamnesis ditemukan beberapa informasi
mengenai keluhan pasien yang mendukung kearah kolelitiasis seperti keluhan
nyeri yang dirasakan sudah 1 tahun yang lalu dan memberat 1 bulan terakhir. Hal
ini sama dengan gejala klinis dari kolelitiasis yaitu nyeri di epigastrium dan
abdomen kanan atas3,4. Pada pasien ini perempuan 71 tahun mengalami gejala
nyeri ulu hati menjalan ke perut kanan atas dan dalam teori kolelitiasis ini paling
sering terjadi pada perempuan di bandingakan laki-laki. Untuk usia kolelitiasis ini
lebih sering terjadi pada usia >40 tahun10.

24
BAB V

KESIMPULAN

Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne yang


berupa reaksi peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular.

Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Induksi obat yang diberikan
secara sistemik diakui sebagai faktor penyebab yang paling utama. Reaksi ini
terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas
obat, over dosis, interaksi antarobat dan perubahan dalam metabolisme. Erupsi
akneformis dapat timbul secara akut, subakut, dan kronis. Tempat terjadinya tidak
hanya terjadi di tempat predileksi akne saja, namun dapat terjadi di seluruh bagian
tubuh yang mempunyai folikel pilosebasea. Tempat tersering pada dada,
punggung bagian atas dan lengan. Gambaran klinis berupa papul yang
eritematous, pustul, monomorfik atau oligomorfik, biasanya tanpa komedo,
komedo dapat terjadi kemudian setelah sistem sebum ikut terganggu. Dapat
disertai demam, malese, dan umumnya tidak terasa gatal.

Umur penderita bervariasi, mulai dari remaja sampai orang tua dan pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pemakaian obat. Erupsi akneformis secara
klinis mempunyai karakteristik tersendiri seperti erupsi akneformis akibat steroid
(akne steroid), erupsi akneformis akibat paparan senyawa halogen (chloracne),
dan erupsi akneformis akibat antibiotik. Penghentian konsumsi obat-obat
penyebab dapat menghentikan bertambahnya erupsi dan secara perlahan
menghilangkan erupsi yang ada. Apabila penghentian pemakaian obat tidak bisa
dilakukan, maka pemberian obat-obatan yang digunakan untuk mengobati akne,
baik secara sistemik maupun topikal dapat memberikan hasil yang cukup baik.

Terdapat beberapa macam penyakit yang memiliki manifestasi klinis yang


hampir serupa dengan erupsi akneiformis, diantaranya akne, folikulitis, dan
dermatitis perioral. Sehingga perlu dilakukan identifikasi dan anamnesis yang
tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk
memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan
membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong. Jakarta :


EGC. ,., 2011
2. Moore, K.L., Dalley, A.F., Agur, A. M. R. Clinically Oriented Anatomy
7th Ed. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014
3. Kurzweil A, Martin J. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Jan 9, 2019. Transabdominal Ultrasound.
4. Di Ciaula A, Portincasa P. Recent advances in understanding and
managing cholesterol gallstones. 2018;7
5. Chen X, Yan XR, Zhang LP. Ursodeoxycholic acid after common bile
duct stones removal for prevention of recurrence: A systematic review and
meta-analysis of randomized controlled trials. Medicine (Baltimore).
2018 ; 97(45).
6. Chung AY, Duke MC. Acute Biliary Disease. Surg. Clin. North Am. 2018
Oct;98(5):877-894.
7. Yoo KS. [Management of Gallstone]. Korean J Gastroenterol. 2018 May
25;71(5):253-259.
8. Rebholz C, Krawczyk M, Lammert F. Genetics of gallstone disease. Eur.
J. Clin. Invest. 2018 Jul;48(7)
9. Ibrahim M, Sarvepalli S, Morris-Stiff G, Rizk M, Bhatt A, Walsh RM,
Hayat U, Garber A, Vargo J, Burke CA. Gallstones: Watch and wait, or
intervene? Cleve Clin J Med. 2018 Apr;85(4):323-331.
10. Kumar, V., Abbas, A. K. & Aster, J. C. Buku Ajar Patologi Robbins. 9th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2013.
11. Yeh DD, Chang Y, Tabrizi MB, Yu L, Cropano C, Fagenholz P, King DR,
Kaafarani HMA, de Moya M, Velmahos G. Derivation and validation of a
practical Bedside Score for the diagnosis of cholecystitis. Am J Emerg
Med. 2019 Jan;37(1):61-66.
12. Kruger AJ, Modi RM, Hinton A, Conwell DL, Krishna SG. Physicians
infrequently miss choledocholithiasis prior to cholecystectomy in the
United States. Dig Liver Dis. 2018 Feb;50(2):207-208.

26
13. Parkin E, Stott M, Brockbank J, Galloway S, Welch I, Macdonald A.

Patient-Reported Outcomes for Acute Gallstone Pathology. World J Surg.

2017 May;41(5):1234-1238.

27

Anda mungkin juga menyukai