Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

Infeksi Dengue Pada Anak

Penyaji : Novia Febiola Sihite


Pembimbing : dr. Henry Wijaya,DTM&H,M.Ked(Ped),Sp.A(K)
Hari/Tanggal : Rabu, 29 April 2021

Pendahuluan

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit, asites,
efusi pleura, hipoalbuminemia). Dapat disertai gejala-gejala tidak khas seperti
nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata. 1

Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi


DBD berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh
dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit
(asimtomatik). Sebagian lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak
menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian.1

Dengue ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia, terutama di


daerah perkotaan dan semi-perkotaan. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia
menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.
Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di
Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah
seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.2
Di Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung semakin
meningkat angka kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit semakin luas.
Pada tahun 2016, DBD berjangkit di 463 kabupaten/kota dengan angka kesakitan
sebesar 78,13 per 100.000 penduduk, namun angka kematian dapat ditekan di
bawah 1 persen, yaitu 0,79 persen. KLB DBD terjadi hampir setiap tahun di
tempat yang berbeda dan kejadiannya sulit diduga. 1

DBD diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan meluas sebarannya.


Hal ini karena vektor penular DBD tersebar luas baik di tempat pemukiman
maupun ditempat umum. Selain itu kepadatan penduduk, mobilitas penduduk,
urbanisasi yang semakin meningkat terutama sejak 3 dekade yang terakhir. 1

Refarat ini bertujuan memahami definisi, etiologi, epidemiologi, faktor


risiko, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
komplikasi dan tatalaksana dari Infeksi Dengue

DEFINISI

Demam dengue merupakan demam akut yang sering ditemukan pada anak yang
lebih tua (pada usia lebih dari 10 tahun), remaja, dan dewasa. Setelah melalui
masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa
demam, mialgia, sakit punggung, dan gejala lain seperti malaise, anoreksia, dan
gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya timbul mendadak, tinggi (39 OC-
40OC), terus-menerus, bifasik, biasanya berlangsung 2-7 hari. Demam disertai
dengan artralgia, muntah, fotofobia, dan nyeri retroorbital pada saat mata
digerakkan. Gejala lain dapat ditemukan seperti diare atau konstipasi, nyeri perut,
nyeri tenggorokan, dan depresi. Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat
ringan berupa uji tourniquet positif atau beberapa petekie spontan.3

Demam berdarah dengue adalah demam akut yang didefinisikan oleh adanya
demam disertai dua atau lebih manifestasi berikut :
1. Demam berlangsung 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi,
terus-menerus
2. Bukti pendarahan spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena;
maupun uji Tourniquette positif
3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital
4. Trombositopenia (≤100,000 sel per mm3)
5. Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan dengan satu
tanda/gejala:
a. Peningkatan hematokrit ≥20% di atas rata-rata atau
penurunan hematokrit ≥ 20% dari awal setelah
pemberian terapi penggantian cairan
b. Dijumpai adanya efusi pleura, asites
c. Hipoproteinemia3

ETIOLOGI

Infeksi virus dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dengue,
yaitu DENV-1, 2, 3, dan 4 yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
Dengue virus merupakan virus RNA single-stranded. Flavivirus adalah virus
RNA yang terbungkus lipid, berindra positif, dan bermerek tunggal. Premembran
struktural (prM) dan protein amplop (E) tertanam di dalam amplop lipid dan
ditampilkan di permukaan virion. Keempat serotipe DEN hanya berbagi sekitar
60% –75% identitas pada tingkat asam amino, dan karena itu virus yang berbeda.
Setelah inokulasi manusia, virus bereplikasi di lokal sel dendritik. Masuk
berikutnya ke makrofag dan aktivasi limfosit diikuti dengan masuk ke dalam
aliran darah. Virus dengue terutama menginfeksi sel garis keturunan myeloid,
termasuk makrofag, monosit, dan sel dendritik. Ada bukti infeksi hepatosit dan sel
endotel. Hematogen penyebaran adalah mekanisme yang mungkin untuk
penyemaian perifer organ dan infeksi yang kadang-kadang dilaporkan sistem
syaraf pusat.3

Transmisi penyebaran virus dengue dapat melalui berbagai cara seperti:

1. Gigitan Nyamuk
Virus dengue menyebar ke manusia melalui gigitan nyamuk spesies Aedes
yang terinfeksi (Ae. Aegypti atau Ae. Albopictus). Nyamuk ini biasanya
bertelur di dekat genangan air dalam wadah yang menampung air, seperti
ember, mangkuk, piring hewan, pot bunga, dan vas bunga. Nyamuk
menjadi terinfeksi ketika menggigit orang yang terinfeksi virus. Nyamuk
yang terinfeksi kemudian dapat menyebarkan virus ke orang lain melalui
gigitan.
2. Transmisi vertikal ibu ke janin
Seorang wanita hamil yang sudah terinfeksi dengue dapat menularkan
virus tersebut ke janinnya selama kehamilan atau sekitar waktu kelahiran.4
Infeksi dengan salah satu serotipe akan memberikan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotipe yang lain. Masa inkubasi virus dengue dalam darah nyamuk 8-12 hari
sebelum menularkan kepada individu yang rentan. Sekali nyamuk terinfeksi,
virus dengue akan menetap seumur hidup nyamuk dan dapat menularkan
kepada manusia yang digigit.3

EPIDEMIOLOGI
Jumlah kasus infeksi dengue dilaporkan setiap tahun ke WHO telah meningkat
dari 0,4 menjadi 1,3 juta dalam dekade 1996–2005, mencapai 2,2 juta pada
tahun 2010 dan 3,2 juta pada tahun 2015. Kejadian tahunan global diperkirakan
sekitar 50 juta - 100 juta kasus simptomatik dalam beberapa tahun terakhir,
terutama di Asia, disusul Amerika Latin dan Afrika, dengan klinis kasus
cenderung mewakili sekitar 25% dari semua infeksi virus dengue. Pada tahun
2013 kasus dengue diperkirakan sekitar 3,2 juta kasus parah dan 9.000 kasus
kematian, sebagian besar terjadi pada negara dengan pendapatan menengah ke
bawah, dan untuk 1,1 juta disability adjusted life years (DALYs) secara global.
Virus dengue termasuk dalam siklus manusia-nyamuk-manusia. Vektor utama
adalah Nyamuk Aedes aegypti, yang sangat mudah beradaptasi di tempat
tinggal manusia. Aedes albopictus juga bisa menjadi vektor penularan virus
dengue pada manusia. Spesies lain termasuk dalam siklus monyet-nyamuk di
Asia Tenggara dan Afrika Barat, yang kasusnya sangat langka. Penyebaran
vektor mengikuti urbanisasi dan penurunan dalam upaya pengendalian vektor
telah mengakibatkan peningkatan kejadian infeksi virus dengue. Namun,
infeksi dengue tidak terbatas hanya di perkotaan dan semakin banyak
dilaporkan dari daerah pedesaan. Selain itu, faktor seperti pertumbuhan
penduduk, globalisasi, dan perubahan iklim memfasilitasi peningkatan
penularan virus dengue.5

Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam
jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968
hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara
Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di
kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24
orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.6

Gambar 1. Epidemiologi Dengue Haemorrhagic Fever


Infeksi virus ini sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa
wilayah, bahkan termasuk satu dari lima penyakit tertinggi dalam KLB.7 Terdapat
lima provinsi dengan incidence rate (IR) tertinggi pada 2010, yaitu DKI Jakarta,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Bali, dan Kepulauan Riau. 8 Jumlah kasus
per provinsi ber uktuasi setiap tahunnya. Pada 2014, wilayah dengan IR tinggi
adalah Bali, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kepulauan
Riau, dan DKI Jakarta.9 Sementara itu, case fatality rate (CFR) atau persentase
kematian akibat DBD pada 2014 sebesar 0,9%; pada 2015 sebesar 0,83%; pada
2016 sebesar 0,78%; dan pada 2017 sebesar 0,72%. Selanjutnya, CFR tahun 2018
sebesar 0,65%; pada 2019 sebesar 0,94%.10

Gambar 1 berisi fluktuasi IR setiap provinsi dari tahun 2016 hingga tahun 2017
dibandingkan dengan IR rata-rata nasional. Pada 2016, diketahui terdapat 16
provinsi menduduki IR di atas rata-rata nasional (IR >78,85/100.000 penduduk).
Sebagian provinsi mengalami penurunan drastis kasus DBD pada 2017 dengan
angka IR nasional sebesar 22,5/100.000 penduduk. Jumlah provinsi dengan IR di
atas rata-rata nasional meningkat menjadi 17 provinsi pada tahun 2017. Provinsi
Jawa Barat tergolong ke dalam provinsi yang tidak menyatakan KLB Dengue
pada 2016 dan 2017.
Gambar 2. Incidence Rate Dengue Berdasarkan Provinsi Tahun
2016 dan 2017

PATOGENESIS
DBD terjadi pada sebagian kecil pasien demam dengue. Meskipun DBD dapat
terjadi pada pasien yang mengalami infeksi virus dengue untuk pertama
kalinya, sebagian besar kasus DBD terjadi pada pasien dengan\ infeksi
sekunder. Hubungan antara terjadinya DHF / DSS dan infeksi dengue sekunder
berimplikasi pada sistem kekebalan tubuh dalam patogenesis DBD. Baik
imunitas bawaan seperti sistem komplemen dan sel NK serta imunitas adaptif
termasuk imunitas humoral dan sel yang termediasi terlibat dalam proses ini.
Peningkatan aktivasi kekebalan, terutama selama infeksi sekunder,
menyebabkan respon sitokin yang berlebihan, ini mengakibatkan perubahan
permeabilitas pembuluh darah. Selain itu, produk virus seperti NS1 mungkin
memainkan peran dalam mengatur aktivasi komplemen dan permeabilitas
pembuluh darah. Ciri-ciri DBD adalah permeabilitas pembuluh darah yang
meningkat sehingga terjadi kebocoran plasma, terganggunya volume
intravaskular, dan syok pada kasus yang berat. Kebocoran ini unik karena ada
kebocoran selektif plasma dalam rongga pleura dan peritoneal serta periode
kebocoran yang pendek (24-48 jam).2 Pemulihan yang cepat pada syok tanpa
gejala sisa dan tidak adanya peradangan pada pleura dan peritoneum
menunjukkan perubahan fungsional dalam integritas vaskular daripada
kerusakan struktural endotel sebagai mekanisme yang mendasari. Berbagai
sitokin dengan perubahan permeabilitas, meningkatkan efek yang terlibat
dalam patogenesis DBD. Namun, kepentingan relatif sitokin tersebut pada
DBD masih belum diketahui. Penelitian telah menunjukkan bahwa pola respon
sitokin mungkin berhubungan dengan pola cross-recognition sel-T dengue
tertentu. Sel-T cross-reactive tampaknya mengalami defisit fungsional dalam
aktivitas sitolitik mereka tetapi mengungkapkan peningkatan produksi sitokin
termasuk TNF-a, IFN-g dan kemokin. Dari catatan, TNF-a telah terlibat dalam
beberapa manifestasi parah termasuk perdarahan dalam beberapa model hewan.
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah juga dapat dimediasi oleh
aktivasi sistem komplemen. Peningkatan kadar fragmen komplemen telah
didokumentasikan dalam DHF. Beberapa, melengkapi fragmen seperti C3a dan
C5a diketahui memiliki efek meningkatkan permeabilitas. Dalam studi terbaru,
NS1 antigen virus dengue telah terbukti untuk mengatur komplemen aktivasi
dan mungkin memainkan peran dalam patogenesis DBD. Tingginya tingkat
viral load pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien DD telah dibuktikan
dalam banyak penelitian. Tingkat protein virus, NS1, juga lebih tinggi pada
pasien DBD. Derajat viral load berkorelasi dengan pengukuran keparahan
penyakit seperti jumlah efusi pleura dan trombositopenia, menunjukkan bahwa
beban virus dapat menjadi penentu utama keparahan penyakit.11

Bagan 1. Patogenesis Dengue Haemorrhagic Fever

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Infeksi virus dengue mungkin asimtomatik atau dapat menyebabkan sindrom
virus, demam berdarah (DD), atau demam berdarah dengue (DBD) termasuk
dengue shock syndrome (DSS). Infeksi dengan satu serotipe dengue
memberikan kekebalan seumur hidup dengan serotipe tertentu, tapi di sini
hanya jangka pendek proteksi- silang untuk serotipe lainnya.11 Manifestasi
klinis tergantung pada strain virus dan tuan faktor seperti usia, status
kekebalan, dan lainnya.
Bagan 2. Manifestasi Dengue Haemorrhagic Fever. WHO 2011.
Sindrom Virus
Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama
untuk pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat mengalami
demam sederhana dan terkadang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus
lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul
selama penurunan suhu badan sampai yg normal. Gejala pernapasan dan
pencernaan bagian atas terjadi pada umumnya.11

Demam Dengue
Demam dengue (DD) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang
dewasa. Hal ini umumnya terjadi penyakit akut yang disertai demam, dan
demam kadang-kadang terjadi bifasik dengan sakit kepala, mialgia, arthralgia,
ruam, leukopenia dan trombositopenia juga dapat diamati. Meskipun
g e j a l a DD t i d a k t e r l a l u b e r a t , namun dapat menjadi penyakit yang
disertai dengan sakit kepala parah, nyeri otot dan sendi dan tulang terutama
pada orang dewasa. Kadang-kadang perdarahan yang tidak biasa seperti
perdarahan gastrointestinal, hypermenorrhea dan epistaksis bisa terjadi. Di
daerah endemis demam berdarah, wabah DD jarang terjadi di kalangan
masyarakat setempat.11
Demam berdarah dengue
Demam berdarah berdarah (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak kurang dari
15 tahun di daerah hiperendemik, berkaitan dengan infeksi dengue berulang.
Namun, kejadian DBD pada orang dewasa meningkat. DBD ditandai dengan
onset akut dari demam tinggi dan berhubungan dengan tanda-tanda dan gejala
yang mirip dengan DD pada fase demam awal. Ada diatesis hemoragik umum
seperti tes positif tourniquet (TT), petechiae, mudah memar dan / atau GI
perdarahan pada kasus yang berat. Pada akhir fase demam, ada kecenderungan
untuk mengembangkan hipovolemik syok (dengue shock syndrome) akibat
kebocoran plasma. Sebelumnya bisa terjadi tanda- tanda peringatan seperti
muntah terus-menerus, sakit perut, lesu atau gelisah, mudah marah dan oliguria,
penting untuk intervensi dalam mencegah syok. Ketidakseimbangan hemostasis
dan kebocoran plasma adalah keunggulan patofisiologi utama DBD.
Trombositopenia dan peningkatan hematokrit / haemoconcentration temuan
konstan sebelum penurunan demam / awal shock. DBD terjadi paling sering
pada anak-anak dengan infeksi dengue sekunder. Ini juga telah didokumentasikan
pada infeksi primer dengan-DENV 1 dan DENV-3, serta pada bayi.11

Sindrom demam berdarah dengue yang meluas


Manifestasi yang tidak biasa pasien dengan keterlibatan organ yang parah
seperti hati, ginjal, otak atau jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue
telah semakin dilaporkan pada kasus DBD dan juga pada pasien demam
berdarah yang tidak memiliki bukti kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak
biasa mungkin berhubungan dengan koinfeksi, komorbiditas atau komplikasi
syok berkepanjanganatau koinfeksi.11
Demam Dengue
Kriteria Klinis
➢ Tersangka dengue : demam akut disertai dua atau lebih manifestasi :
 Sakit kepala
 Nyeri retroorbital
 Myalgia
 Athralgia
 Rash
 Manifestasi pendarahan
 Leukopenia (Leukosit < 5000 sel/mm3)
 Trombositopenia ( Trombosit <150.000 sel/mm3
 Peningkatan hematokrit ( 5-10%)
Dan setidaknya satu dari beberapa dibawah ini :
 Serologis : HI antibodi titer > 1280, IgG dan IgM
pada fase
akut dan konvalesen
 Lokasi Endemik
➢ Pasti dengue : Kriteria lab
 Isolasi virus dengue dari serum atau autopsi
 Peningkatan 4 x IgG atau IgM titer pada antigen virus diserum
 Penemuan antigen virus pada autopsi jaringan, serum, CSF
dengan metode immunohistokima, imunofloresensi atau ELISA
 Deteksi genom virus pada autopsi jaringan, serum atau CSF dengan
PCR

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal
penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodormal seperti nyeri kepala,
nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai
trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya
ruam. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada
hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen,
menyebar ke anggota gerak dan muka. 3 Pada lebih dari separuh pasien, gejala
klinis timbul mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri
dibelakang bola mata, punggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Pada
beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu menyerupai pelana
kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak
ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra
pengecapan. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat
yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Manifestasi
perdarahan tidak sering dijumpai. 11

Demam Berdarah
Kriteria klinis :
 Demam akut 2-7 hari, kadang-kadang bifasik
 Kecenderungan pendarahan berupa :
- Tes tourniquet positif
- Ptekie, ekimosis, purpura
- Pendarahan mukosa, saluran cerna, tempat penyuntikan
- Hematemesis atau melena
 Hepatomegali
 Gejala renjatan
- Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Tekanan darah turun
- Kulit teraba dingin dan lembab, terutama daerah akral (ujung
hidung, jari, kaki)
- Sianosis sekitar mulut
Kriteria Lab :
 Trombositopenia <100.000/ mm3
 Bukti kebocoran plasma dan peningkatan permeabilitas
vaskular dengan manifestasi :
o Peningkatan Ht> 20 % dari baseline sesuai umur dan jenis
kelamin pada populasi tersebut
o Penurunan Ht> 20% setelah terapi cairan
o Tanda kebocoran plasma berupa efusi pleura, asites dan
hipoproteinemia
Diagnosis klinis ditegakkan bila didapatkan >2 gejala klinis dengan
trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan ditandai trombositopenia
mendukung diagnosis DSS. Sebuah ESR rendah (<10 mm / jam pertama)
selama syok membedakan DSS dari syok septik.11
Manifestasi Klinis
Kasus DHF tipikal memiliki 4 ciri gejala utama yaitu : demam tinggi,
fenomena pendarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada
pemeriksaan lab dapat ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Perubahan patofisiologis yang menentukan tingkat keparahan DHF dan
membedakan dengan DD adalah plasma leakage yang terlihat sebagai
peningkatan hematokrit, efusi serosa atau hipoproteinemia. Pada fase awal
terjadi demam mendadak, malaise, muntah, nyeri kepala, anoreksia, dan batuk
yang berlangsung selama 2-5 hari. Demam tinggi berlanjut hingga 2-7 hari.
Suhu dapat mencapai 40-41oC. Pada suhu ini bayi rentan terkena kejang
demam. Beberapa pasien mungkin mengeluh sakit tenggorokan, dan faring
yang merah dapat terlihat pada pemeriksaan, namun gejala pilek dan batuk
sangat jarang. Dapat juga terlihat injeksi konjungtiva. Pada fase kedua, pasien
merasa dingin, ekstrimitas dingin, batang tubuh terasa hangat, muka flushing,
keringat berlebih, gelisah, iritabel, dan nyeri pada ulu hati. Sering, ptekie
tersebar pada dahi dan ekstrimitas. Ekimosis dapat terlihat, kulit mudah lebam
dan pendarahan pada tempat penyuntikan dapat terjadi. Rash makular atau
makulopapular dapat terlihat, juga terdapat sianosis sirkumoral dan periferal.
Hati dapat membesar hingga 4-6 cm di bawah batas costa dan teraba lunak.
Pasien juga mengalami nyeri tekan epigastrik dan di bawah arkus costa
atau nyeri perut menyeluruh. Fase kritis terjadi pada akhir fase demam. Setelah
demam selama 2-7 hari terjadi penurunan suhu yang diikuti oleh tanda-tanda
gangguan sirkulasi yaitu : berkeringat, gelisah, ekstrimitas dingin, respirasi
cepat, nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung redup. Sekitar 20-30%
penyakit DBD mengalami komplikasi shock (dengue shock syndrome). Kurang
dari 10% pasien mengalami ekimosis atau pendarahan saluran cerna, biasanya
setelah periode syok yang tidak terkoreksi. Setelah fase krisis selama 24-36
jam, penyembuhan terjadi dengan cepat terutama pada anak-anak. Suhu dapat
menjadi normal selama fase syok. Pada fase penyembuhan sering terjadi
bradikardi dan ventricular ekstrasistol.11
Bagan 3. Derajat dan Manifestasi Dengue Haemorrhagic Fever WHO
2011
Dengue Shock Syndrome (DSS)
Kriteria :
Seluruh kriteria DBD ditambah tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa :
 Nadi cepat dan lemah
 Tekanan nadi sempit (<20 mmHg)
 Hipotensi
 Ekstremitas dingin dan lembab serta penurunan kesadaran

Manifestasi Klinis
Kondisi pasien mengalami perburukan setelah demam 2-7 hari. Gejala gangguan
sirkulasi utama yang muncul adalah : kulit yang menjadi dingin, nadi cepat,
terdapat sianosis sirkumoral. Pasien awalanya letargis namun dengan cepat dapat
menjadi gelisah pada fase kritis syok. Nyeri akut abdomen sering dikeluhkan pada
fase awal syok. DSS memiliki ciri nadi yang cepat dan tekanan nadi yang sempit
(< 20 mmHg) atau hipotensi yang diikuti ekstrimitas yang dingin dan gelisah.
Pasien beresiko meninggal jika terapi tidak tepat. Kebanyakan pasien tetap sadar
hingga fase akhir penyakit. Durasi syok berlangsung sangat singkat, pasien dapat
meninggal dalam 12- 24 jam atau membaik dengan cepat. Efusi pleura dan asites
dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik. Syok yang tidak terkoreksi menyebabkan
komplikasi pendarahan gastrointestinal dan metabolik asidosis. Pasien dengan
pendarahan intrakranial dapat mengalami kejang dan menjadi koma.
Ensefalopati dapat terjadi akibat gangguan elektrolit atau akibat pendarahan
intrakranial.3 Fase pemulihan berlangsung cepat dalam 2-3 hari, meskipun asites
dan efusi pleura dapat tetap ada. Tanda prognosis yang baik adalah membaiknya
output urin dan kembalinya nafsu makan. Pada fase pemulihan sering ditemukan
bradikardia dan aritmia dan rash konfluen yang menyisakan sedikit kulit normal.
Gejala biasanya hanya berlangsung selama 7-10 hari.11

Tabel 1. Tanda dan Gejala Syok2

Expanded Dengue Syndrom


Manifestasi yang tidak biasa jarang terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir dengan
penyebaran geografis DBD penyakit dan dengan lebih banyak keterlibatan orang
dewasa, telah ada peningkatan laporan DF dan DBD dengan manifestasi yang
tidak biasa. Ini termasuk: neurologis, hati, ginjal dan organ terisolasi lainnya
keterlibatan. Ini dapat dijelaskan sebagai komplikasi dari syok yang sangat parah
atau terkait dengan kondisi / penyakit yang mendasari atau infeksi koin.
Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) termasuk kejang, spastisitas, perubahan pada
kesadaran dan paresis sementara telah diamati. Penyebab yang mendasari
bergantung pada waktu terjadinya manifestasi ini dalam kaitannya dengan
viremia, kebocoran plasma, atau pemulihan. Ensefalopati pada kasus fatal telah
dilaporkan di Indonesia, Malaysia, Myanmar, India dan Puerto Rico. Namun,
dalam kebanyakan kasus, tidak ada otopsi untuk menyingkirkan perdarahan atau
oklusi dari pembuluh darah. Meski terbatas, ada beberapa bukti bahwa pada
kejadian langka virus dengue dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan
ensefalitis.11
Gambar 3. Perjalanan penyakit Dengue Haemorrhagic Fever. WHO 2009
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan.
Pada fase febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema
kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa
kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia,
mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti
ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan
pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
Fase kritis
Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya
berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh
lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat
terjadi syok.
Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler
ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan
diuresis membaik.11

DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding dari DD meliputi berbagai macam penyakit umum di wilayah:
Tabel 2. Diagnosis banding Dengue Haemorrhagic Fever. WHO 2011

Diagnosis banding dari Demam berdarah dengue dan dengue shock syndrome
a) Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi
bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti dengue hemorrhagic fever,
campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, daN
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi
dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain. 11
b) Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya
(DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan
penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD,
DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada
DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.11

c) Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa


penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada
sepsis, sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan
ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri
pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan
pada pemeriksaan cairan serebrospinalis. 11
d) Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan
DBD derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di
bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan
dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada
ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada
hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP. 11

e) Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada
leukimia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien
sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan
memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan
pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada
pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau
kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan
plasma.11

Tabel 3. Diagnosis banding Dengue Haemorrhagic Fever. WHO 2011


PEMERIKSAAN PENUNJANG

Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita infeksi dengue


antara lain:

1) Hematologi

a. Leukosit
• Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel
neutrofil.
• Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB)
> 4% di darah tepi yang biasanya dijumpai pada hari sakit ketiga sampai
hari ke tujuh. 1

b. Trombosit
Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:

 Semi kuantitatif (tidak langsung)

 Langsung(Rees-Ecker)

 Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi

Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan diantara hari ke 3-7 sakit.


Pemeriksaan trombosit perlu diulang setiap 4-6 jam sampai terbuktibahwa jumlah
trombosit dalam batas normal atau keadaan klinis penderita sudah membaik.1

c. Hematokrit

Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran pembuluh darah.


Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator yang peka akan terjadinya
perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara
berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan
hematokrit. Hemokonsertrasi dengan peningkatan hematokrit > 20% (misalnya
nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler
dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit
dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Namun perhitungan selisih
nilai hematokrit tertinggi dan terendah baru dapat dihitung setelah mendapatkan
nilai Ht saat akut dan konvalescen (hari ke-7). Pemeriksaan hematrokrit antara
lain dengan mikro-hematokrit centrifuge

Nilai normal hematokrit:

 Anak-anak : 33 - 38 vol%

 Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol%

 Dewasa perempuan : 37 - 43 vol%

Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb. 1

2) Radiologi

Pada foto toraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi adanya efusi
pleura minimal pada paru kanan. Sedangkan asites, penebalan dinding kandung
empedu dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi
(USG). 1

3) Serologis

Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita


terinfeksi virus Dengue.

 Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition Test)

Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas (gold standard).
Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel darah (serum) dimana spesimen
harus diambil pada fase akut dan fase konvalensen (penyembuhan), sehingga tidak
dapat memberikan hasil yang cepat.

 ELISA(IgM/IgG)

Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau sekunder dengan
menentukan rasio limit antibodi dengue IgM terhadap IgG. Dengan cara uji
antibodi dengue IgM dan IgG, uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil
cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test (misalnya Dengue Rapid Strip
Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA.

 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test

Dengue Rapid Test mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui
penentuan cut-off kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat
mendeteksi antibodi IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue
primer dan sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG ditentukan hanya mendeteksi
antibodi kadar tinggi yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue sekunder
(biasanya IgG ini mulai terdeteksi pada hari ke-2 demam) dan disetarakan dengan
titer HI > 1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO. Hanya respons antibodi
IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG infeksi primer atau
infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada infeksi primer IgG muncul pada setelah
hari ke-14, namun pada infeksi sekunder IgG timbul pada hari ke-2.

Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM dan kontrol tanpa
garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer (DD). Sedangkan apabila muncul
tiga garis pada kontrol, IgM, dan IgG dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder
(DBD). Beberapa kasus dengue sekunder tidak muncul garis IgM, jadi hanya
muncul garis kontrol dan IgG saja. Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya
garis kontrol yang terlihat. Ulangi pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala
klinis kearah DBD. Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol tidak
terlihat dan hanya terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja. 1

TATALAKSANA

Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simtomatis dan suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan
pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan
komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini dan memberikan
nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang
penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit
DBD sulit diramalkan. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada
ketrampilan para petugas medis dan paramedis untuk dapat mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan
baik. 1
Bagan 3. Skrining di Triase2

Tatalaksana Demam Dengue (DD)

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat inap. Pada fase demam pasien
dianjurkan:

1) Tirah baring, selama masih demam.

2) Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

3) Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parase-tamol.


Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat
meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.

4) Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.

5) Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesens.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit.
Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak
perlu lagi diobservasi. 1
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue (DBD)

Tatalaksana DBD Tanpa Syok

Perbedaan patofisiologi utama antara DBD dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian
mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence)
yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan
plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada
umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit
sampai ≤100.000/μl atau kurang dari 1-2 trombosit/Ipb (rata-rata dihitung pada 10
Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit ≥20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan
indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai
cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan
penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus
menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/μl. Secara umum pasien DBD
derajat I dan II dapat dirawat di puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada
ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A. 1

Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda
vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.

Cairan intravena diperlukan, apabila:

1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok,

2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah


cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat
asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB intravena bolus
perlahan-lahan.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa 5%
dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis
setiap jam dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24
jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda
vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan
dihentikan setelah 24-48 jam.

Jenis Cairan

- Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA), Larutan
garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa
5% dalam larutan ringer asetat (D5/ RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam
faali (D5/ 1/2LGF)

(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA, tidak boleh
larutan yang mengandung dekstosa)

- Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%, gelafundin

Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen/ sekunder akan muncul pada daerah
esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan,
saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler.
Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra,
edema paru dan distres pernafasan. 1

Tatalaksana DBD dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/ SSD)

Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti (volume replacement)


adalah pengobatan yang utama, berguna untuk memperbaiki kekurangan volume
plasma. Pasien anak cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati
segera dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-
tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri,
dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20mmHg) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat
terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.Pada penderita SRD dengan
tensi tak terukur dan tekanan nadi ≤20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20 ml/kg BB selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10
ml/kgBB/jam. 1

Tatalaksana DBD dengan Syok meliputi:

a) Penggantian Volume Plasma Segera

Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB secara intravena


dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat
BB ideal dan umur, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah
cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan cairan
koloid 10-20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada umumnya pemberian
koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari atau maksimal pemberian koloid
1500ml/hari, dan sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah
pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan
kadar hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan internal. Maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar/ komponen sel darah merah. Apabila
nilai hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil
(10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30ml/kgBB/24jam, Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar
hematokrit. 1

b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10
ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang
terjadi selama 24-48 jam. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit
telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin 1ml/kgBB/ jam atau
lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya,
cairan dapat dihentikan setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap
diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema
paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.
Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi. 1

c) Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka


analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat.
Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan


dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan. 1

d) Pemberian Oksigen

Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen. 1

e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage)
apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50%
menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel
darah merah dan faktor pembeku trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID(Koagulasi Intravascular
Disseminata) dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan
menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. 1

f ) Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah:
(1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

(2) Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan
klinispasien stabil.

(3) Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis


cairan,jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan
sudahmencukupi.

(4) Jumlah dan frekuensi diuresis

Pada pengobatan renjatan/ syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian
volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis
belum cukup 1ml/kgBB/jam, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan
diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika pasien sudah stabil, maka
bisa dirujuk ke RS rujukan. 1

g) Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya
dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di
ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh orang tua/ keluarga pasien
untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara
intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

h) Kriteria Memulangkan Pasien

Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini:

1. Tampak perbaikan secara klinis

2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau


asidosis)

4. Hematokritstabil

5. Jumlah trombosit >50.000/μl dan menunjukan kecenderungan meningkat

6. Tiga hari setelah syok teratasi (hemodinamik stabil)

7. Nafsu makan membaik1


Tatalaksana Expanded Dengue Syndrom
1. Tatalaksana kelebihan cairan (volume overload)

• Pada keadaan kelebihan cairan perlu dinilai keadaan klinis, dihitung


kembali cairan yang telah diberikan, dan cek A-B-C-S (Acidosis-
Bleeding-Calcium-Sugar) apakah telah dikoreksi.

• Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/ jam, bila tersedia cairan


koloid, ganti kristaloid dengan cairan koloid.

• Pada stadium lanjut dengan ditemukannya tanda edema paru, furosemid


1 mg/kgBB/dosis segera diberikan bila tekanan darah stabil serta kadar
ureum dan kreatinin normal. Setelah pemberian furosemid perlu dipantau
setiap 15 menit untuk menilai keberhasilan pengobatan.

• Ukur volume diuresis melalui kateter urin

• Apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian furosemid, periksa status


volume intravaskular (pemantauan CVP). Apabila volume intravascular
baik, pemberian furosemid dapat diulang untuk kedua kalinya dengan
dosis ganda. Namun apabila masih terjadi oliguria maka harus segera
dilakukan dialisis, berarti pasien dalam keadaan gagal ginjal akut, keadaan
ini mempunyai prognosis yang buruk. Apabila volume intravaskular tidak
adekuat maka cek A-B-C-S dan koreksi gangguan keseimbangan
elektrolit.

2. Tatalaksana Gangguan Elektrolit

Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis dan tersering yaitu
hiponatremia dan hipokalsemia. Sedangkan hipokalemia sering pada fase
konvalesens.
Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan hipotonis yang tidak
adekuat. Apabila ada kejang diberikan Natrium 3%, apabila tidak ada kejang
cukup diberikan cairan dekstrose 5%-NaCl 0,9%.

Hipokalsemia disebabkan perembesan kalsium yang mengikuti albumin masuk ke


cairan pleura atau peritoneal. Direkomendasikan diberikan kalsium glukonas 10%
dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis (maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadest,
diberikan setiap 6 jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien dengan
kelebihan cairan. Tidak diperlukan pemberian kalsium untuk kasus dengue tanpa
komplikasi dan tanpa gejala. 1

3. Tatalaksana Ensefalopati

Pada ensefalopati dengue, paling sering berhubungan dengan gangguan fungsi


hati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan serebral sekunder akibat syok,
gangguan elektrolit, atau perdarahan intrakranial. Penyebab ensefalopati harus
dicari dan diberi pengobatan sesuai penyebab. Pada pasien ensefalopati harus
diperiksa kadar amoniak, enzim transaminase (SGOT dan SGPT), PT, APTT dan
albumin untuk memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus diperiksa dan segera
dilakukan koreksi bila ditemukan kelainan. Pemeriksaan radiologi kepala (CT-
scan/MRI) direkomendasikan untuk menyingkirkan perdarahan intrakranial. 1

Tata laksana ensepalopati meliputi:

• Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.

• Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara sebagai berikut.

- Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi (restriksi), tidak lebih dari
80% kebutuhan rumatan

- Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila hematokrit masih tetap tinggi
 Pemberian diuretik segera pada kasus kelebihan cairan dan posisi pasien dalam
keadaan lebih tegak, posisi kepala 30 derajat lebih tinggi dari tubuh
- Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia dan mempertahankan
jalan napas

-Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6–8 jam, untuk


mengurangi tekanan intrakranial (apabila tidak ada perdarahan )

• Mengurangi produksi amoniak berikan laktulosa 5–10 mL setiap 6 jam.

• Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit (hipo/hipernatremia,


hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk
umur <1 tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau
dewasa.

• Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital, dilantin, atau


diazepam intravena.

• Transfusi darah, bila diperlukan, sebaiknya fresh red packed cell. Komponen
darah yang lain seperti suspensi trombosit dan FFP tidak dianjurkan karena
menyebabkan kelebihan cairan dan meningkatkan tekanan intrakranial.

• Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi infeksi bakteri


sekunder.

• Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh karena pada


umumnya obat dimetabolisme di dalam hati.

• Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy diberikan pada


pasien dengan gangguan ginjal. 1

4. Tatalaksana Perdarahan Masif


• Apabila sumber perdarahan tampak secara klinis, segera lakukan tindakan untuk
menghentikannya, misalnya mimisan berat dapat dihentikan dengan tampon nasal.
Tranfusi darah harus segera diberikan, apabila kadar hematokrit menurun. Apabila
volume darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume yang sama.
Namun, apabila sulit diukur berikan darah segar 10 mL/kgBB atau 5 mL/kgBB
fresh packed red cell, kemudian diperiksa ulang 3 jam pasca transfusi untuk
menentukan apakah diperlukan transfusi lagi atau tidak.

• Pada perdarahan gastrointestinal, pemberian H2 antagonis dan proton pump


inhibitor, kurang efektif.

• Tidak ada bukti nyata khasiat pemberian komponen darah seperti suspensi
trombosit, fresh frozen plasma, atau cryoprecipitate, malah dapat menyebabkan
sindrom kelebihan cairan.

• Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus dengan perdarahan masif
tanpa gagal organ memberi hasil baik, namun selain harganya sangat mahal juga
sulit didapat. 1

5. Tatalaksana Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut dapat terjadi oleh karena hipoperfusi dalam SSD. Plasmaferesis
atau hemodialisis atau renal replacement therapy dapat dilakukan pada pasien
dengan keadaan gagal ginjal yang semakin memburuk. 1

6. Tatalaksana Sindrom Gangguan Pernapasan Akut

Kerusakan pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan sindrom gangguan


pernapasan akut (ARDS) yang memerlukan ventilator. Kelebihan cairan harus
dihindari untuk mencegah terjadinya edema paru. 1

7. Tatalaksana Ensefalitis Dengue


Tata laksana umum ensefalitis virus meliputi pemantauan dan pemeliharaan jalan
napas dan oksigenasi yang memadai, hidrasi, dan nutrisi. Pungsi lumbal
dikerjakan bila syok telah teratasi, fase kritis telah dilewati dan kesadaran tetap
menurun (hati-hati bila trombosit <50.000/uL). Kejang dapat dikontrol dengan
obat antikonvulsi, dan peningkatan tekanan intrakranial dengan manitol, dan
steroid. Jika dicurigai kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka
antibiotik empiris sesuai dengan antibiogram lokal harus diberikan. Di daerah
endemis, kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan infeksi susunan syaraf
pusat seperti malaria serebral, toksoplasmosis, human immunodeficiency virus
(HIV), tuberkulosis, dan Japanese- ensefalitis, sudah harus disingkirkan. 1

8. Tatalaksana Miokarditis

Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien DBD yang


mengalami syok berkepanjangan. Pada umumnya disebabkan oleh asidosis
metabolik dan hipokalsemia. Sehingga tata laksana miokarditis dengue selain
memberikan obat-obatan untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan
hipokalsemia. Miokarditis jarang didapatkan pada pasien anak di bawah 10 tahun
dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien DBD. Namun
beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan dapat mengalami
miokarditis. Sehingga jika kecurigaan terhadap miokarditis terjadi pada pasien,
pemberian cairan harus berhati-hati. 1

9. Tatalaksana Pasien dengan Risiko Tinggi

Obesitas, bayi, diabetes melitus, ibu hamil, hipertensi, dalam terapi antikoagulan,
penyakit hemolitik dan hemoglobinopati, penyakit jantung bawaan dan kelainan
jantung sistemik, serta pasien dalam pengobatan steroid memperburuk prognosis
demam berdarah dengue.

• Obesitas. Pasien obese mempunyai cadangan respirasi yang kurang


dibandingkan anak dengan berat badan ideal, pemberian cairan harus hati-hati
karena lebih mudah terjadi kelebihan cairan. Volume cairan resusitasi dihitung
berdasarkan kebutuhan sesuai berat badan ideal.

• Bayi. Bayi juga mempunyai cadangan respirasi yang kurang dan lebih rentan
terhadap gangguan hati serta keseimbangan elektrolit. Pada bayi perembesan
plasma berlangsung relatif

lebih pendek dan pada umumnya memberikan respons yang cepat terhadap
resusitasi cairan. Oleh karena itu pada bayi harus dilakukan pemantauan yang
lebih sering terhadap kemampuan minum dan jumlah diuresis, bila minum sudah
baik dan diuresis baik jumlah intravena harus segera dikurangi.

• Diabetes melitus. Pada pasien DM yang mengalami infeksi dengue, pada


umumnya diperlukan pemberian insulin intravena. Cairan kristaloid yang
diberikan harus tidak mengandung glukosa.

• Ibu hamil. Ibu hamil yang menderita infeksi dengue harus dirawat untuk
dilakukan pemantauan lebih ketat. Kerja sama antara dokter spesialis
kebidanan,spesialis anak, spesialis penyakit dalam dan dokter umum sangat
diperlukan. Jumlah cairan yang diberikan pada ibu hamil sama dengan ibu tidak
hamil, dengan pedoman berat badan sebelum hamil.

Konseling terhadap keluarga harus diberikan terutama bila keadaan umum


memburuk.

• Hipertensi. Penderita hipertensi umumnya sedang minum obat anti hipertensi,


hal ini menyamarkan respon kardiovaskuler dalam keadaan syok. Oleh karena itu
diperlukan data dasar tekanan darah sehari-hari dalam pengobatan.

• Terapi antikoagulan. Pada keadaan kritis, obat antikoagulan harus dihentikan.

• Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati.


Pasien hemolitik dan hemoglobinopati mempunyai risiko untuk memperberat
terjadinya hemolisis, maka sering kali memerlukan transfusi darah. Perhatikan
jangan sampai terjadi kelebihan cairan dan hipokalsemia.

• Penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung iskemik.

Pemberian cairan harus berhati-hati karena dapat menyebabkan gagal jantung


akibat kelebihan cairan. 1

KOMPLIKASI
a) Ensefalopati dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,
cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan
diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan
NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan
kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan
vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60
mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan
mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan
elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat.
Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa.
Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa untuk
mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin
100mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah)
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. 1
b) Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis
belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah
sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan.
Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin.
Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga
belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous
pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.

c) Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima
sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru
oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi
reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih
(kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit
tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edema
paru pada foto rontgen dada. Gambaran edema paru harus dibedakan dengan
perdarahan paru.1
Tabel 4. Komplikasi Dengue haemorrhagic fever. WHO 2011
KESIMPULAN

Demam Dengue adalah demam akut yang diikuti oleh dua atau lebih dari gejala
berikut : nyeri retro-orbital, nyeri kepala, rash, mialgia, atralgia, leukopenia
atau manifestasi perdarahan (tes toniquet positif, petekie, purpura atau
ekimosis, epistaksis, gusi berdarah, darah dalam muntah, urine atau feses, serta
perdarahan vagina yang tidak termasuk dalam kriteria DBD. Anoreksia, mual,
muntah yang terus- menerus, nyeri perut bisa ditemukan tetapi bukan
merupakan kriteria DD.
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini
mengandung RNA untai tunggal sebagai genom. Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes. 2017. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI Jakarta
2. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014.
Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak.
3. IDAI. 2018. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi keempat.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Available at
http://www.cdc.gov/dengue/clinicalLab/caseDef.html (last update
September 26, 2019 )
5. World Health Organization. 2016. Weekly epidemiological record.
Available at: https://www.who.int/wer/2016/wer9130.pdf?ua=1
6. World Health Organization. 2008. Guidelines for Clinical Management of
Dengue Fever,Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome. Available at
http://www.wpro.who.int/mvp/documents/handbook_for_clinical_manage
men t_of_de ngue.pdf ( last update 2014 , December 24)

7. WHO. (2012). Global strategy for dengue prevention and control 2012–
2020. Geneva Switzerland.

8. Departemen Kesehatan. (2010). Topik utama: DBD di Indonesia tahun


1968–2009. Jakarta. Bulletin Jendela Epidemiologi, 2(Agustus 2010), 1–
14. Diakses pada 1 Juli 2018 dari http://www.depkes.go.id/
download.php?le=download/pusdatin/buletin/buletin-dbd.pdf

9. Kementerian Kesehatan RI. (2015). Program pengendalian DBD dan


resistensi insektisida. Presentasi di MOT Penelitian Resistensi oleh
Kasubdit Pengendalian Vektor P2B2. Jakarta.

10. Ditjen P2PTVZ. (2019). Situasi DBD dan Pelaksanaan Program 1R1J.
Dalam Workshop seluruh Tim dari Balai/Loka, Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten Riset Implementasi Jurbastik dalam Penanggulangan DBD
(Multicenter 2019), 15 Februari 2019.
11. World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
India. Available at
file:///Users/febiolasihite/Downloads/B4751.pd
f ( last update 2014 , December 24 )
12. World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines for
Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Available at
https://www.who.int/tdr/publications/documents/dengue-diagnosis.pdf
(last update 2014 , December 24 )
13. World Health Organization. 2012. Handbook for Clinical Management of
Dengue. Available at
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/76887/9789241504713_e
ng.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai