Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
KELOMPOK 8
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
”Penggunaan harta milik orang lain” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Ibu Nurma Sari, S.HI, M.E.I. Pada mata kuliah Ushul fiqh Ekonomi. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Penggunaan harta
milik orang lain bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nurma Sari, S.HI, M.E.I. Selaku
dosen Ushul fiqh Ekonomi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis
tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat membantu demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................1
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
2.1 Pengertian Harta...................................................................................................3
2.2 Jenis-jenis pembagian harta.................................................................................4
2.3 Penggunaan harta dalam Islam............................................................................5
2.4 Kaidah penggunaan harta milik orang lain..........................................................6
BAB III..........................................................................................................................9
PENUTUP.....................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua unsur;
Pertama, unsur ‘aniyyah dan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyyah berarti harta itu
berwujud atau kenyataan (a’yun). sebagai contoh, manfaat sebuah rumah yang
dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. Sedangkan
unsur ‘urf adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau
oleh sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan
manfaatnya, baik manfaat yang bersifat madiyyah maupun ma’nawiyyah.
Dalam Islam kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan bahwa
terdapat lima maqashid syariah yang salah satu diantaranya adalah al-maal atau harta.
Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia
hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian, Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Untuk itu Islam mensyariatkan peraturan-peraturan
mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan
sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang
merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak
yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya
sekalipun.
1
1.3 Tujuan
2. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dan pengalaman langsung tentang kaidah
penggunaan harta milik orang lain. Dan untuk memenuhi persyaratan
akademik dalam menyelesaikan tugas ushul fiqih II.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
belum tentu harta. Sedangkan menurut jumhur ulama fiqih selain hanafiyah, maka
yang disebut harta adalah sesuatu yang bermanfaat dan berfaedah baik nyata
maupun tidak.
6. Harta Nafi’i
4
harta nafi’i yaitu harta yang tidak berbentuk atau yang berangsur-anggsur
tumbuh menurut perkembangan masa. Contohnya : listrik dan oksigen.
5
fasilitator dan regulator sehinggan kegiatan ekonomi dapat berjalan secara seimbang
dan mengikuti kaidah dan aturan yang telah ditentukan serta tidak menyalahi kaidah
ajaran Islam. keseimbangan antara prilaku konsumsi yang Islami dan kegiatan
produksi yang menekankan aspek-aspek moral akan mendorong pada terciptanya
kehidupan ekonomi yang sejahtera dan adil.
Menjaga dan melindungi harta milik orang lain melalui tata cara Islam sesuai
hukum adalah salah satu tujuan hukum Islam. Islam menganggap harta milik
seseorang sebagai sesuatu yang sakral dan tidak dapat diganggu gugat sebagaimana
hidup dan kehormatannya.
Tidak boleh seorang pun menggunakan harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya
Kaidah ini mencegah pelanggaran terhadap harta benda milik orrang lain.
Kaidah tersebut berisi aturan bahwa tidak seorangpun diperbolehkan untuk
membuat perjanjian atau memberi kewenangan pada orang lain untuk menjual,
memberikan, menggadai, menyewakan, menyimpan, atau meminjamkan harta
benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad
5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih
lighoirihi).
6
Izin di sini boleh jadi: (1) Izin secara langsung, (2) Izin tidak langsung (izin
dalalah) yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi
tanpa ada izin lisan atau sudah diketahui ridhonya si pemilik jika barangnya
dimanfaatkan.
Contoh:
1. Tidak boleh masuk dalam rumah atau kebun seseorang tanpa izinnya.
2. Dalam akad mudhorobah (usaha bagi hasil), jika pengelola telah diberi
syarat oleh pemodal untuk menjalankan usaha di tempat tertentu, atau
menjual barang tertentu, atau ditentukan waktu tertentu, lalu syarat ini
dilanggar, maka itu berarti telah memanfaatkan sesuatu tanpa izin.
3. Jika ada seseorang yang dititipi sejumlah uang, lantas ia memanfaatkannya
tanpa izin orang yang menitipkan, maka jika ada kehilangan, dialah yang
mengganti rugi karena ia telah memanfaatkan barang tanpa izin.
4. Jika suatu jalan khusus terlarang dilewati lalu pintunya sengaja dibuka
tanpa meminta izin pada pemiliknya, itu berarti telah memanfaatkan milik
orang lain tanpa izin.
5. Jika seseorang mengetahui dari keadaan sahabatnya bahwa ia selalu ridho
jika diambil sesuatu miliknya, maka barang milik sahabatnya tadi boleh
diambil tanpa izinnya. Ini termasuk izin jenis kedua yang disebutkan di
atas.
6. Di antara contoh lain dari izin jenis kedua, misalnya ada orang yang
dititipkan uang. Lalu ia meminjam uang tersebut dan ia tahu si pemilik
uang ridho apalagi pada orang yang sifatnya amanah, maka boleh saja ia
manfaatkan. Namun jika ia ragu apakah si pemilik meridhoi ataukah tidak,
maka tidak boleh ia memanfaatkannya.
Tidak boleh seorang pun mengambil harta milik orang lain tanpa sebab syar’i
(yang dibenarkan syariat)
Kaidah ini merujuk pada cara-cara halal dan haram dalam memperoleh harta
benda. Cara-cara yang haram meliputi tindakan mencuri, merampas, riba,
berjudi, menyuap, transaksi-transaksi penipuan, dan lain-lain. Cara-cara yang
halal dalam memperoleh harta benda melputi akad-akad menyewa, hadiah,
sumbangan, penggadaian, pembayaran hutang, dan sebagainya.
Namun seorang yang bukan pemiliknya, dapat menggunakan harta orang lain
dalam keadaan keadaan berikut:
1. Hukum Islam membolehkan pemberi utang untuk mengambil sejumlah
harta atau uang yang setara dengan nilai hutang dari harta milik orang yang
berutang kepadanya apabila ia tidak sanggup membayar utang.
7
2. Dibolehkan bagi seorang wali yang miskin mengambil sejumlah uang atau
harta dari harta milik orang yang ada di bawah perwaliannya, dengan
secukupnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan
bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia,
seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang termasuk
perhiasan dunia.
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.
kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta
tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan ini, hingga pada hal-hal kecil yang luput dari
pandangan kita. Tidak terlewat pula aturan mengenai barang atau segala sesuatu yang
sedang kita gunakan atau manfaatkan fungsinya baik itu barang milik sendiri ataupun
milik orang lain. Terdapat kaidah-kaidah yang harus ditaati dalam penggunaan harta
tersebut yang sering kali diabaikan oleh umat islam pada saat sekarang ini.
Dalam islam, harta dibedakan menjadi sepuluh diantaranya Harta
Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim, Mal Mitsli dan Mal Qimi, Mal
Istihlak dan Mal Isti’mal, Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul, Harta ‘Ain dan
Dayn, Harta Nafi’i, Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur, Harta Dapat Dibagi dan
Tidak Dapat Dibagi, Harta Pokok dan Hasil, Harta Khas dan ‘Am.
Kaidah-kaidah penggunaan harta milik orang lain :
Tidak boleh seorang pun menggunakan harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya.
Tidak boleh seorang pun mengambil harta milik orang lain tanpa sebab syar’i
(yang dibenarkan syariat).
9
Kewenangan mengelola urusan rakyat hendaknya dilaksanakan demi
kemaslahatan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
10