Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“MUSAQAH, MUZARA’AH, MUKHABARAH”

Dosen Pengampu:

Dr. Novi Indriyani Sitepu, S.HI., MA

Disusun Oleh :

Fahri Zuan Ariga Sinaga (2101104010078)

JURUSAN EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Musaqah, Muzara’ah & Mukhabarah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Dr. Novi Indriyani Sitepu, S.HI., MA. pada mata kuliah Fikih Ekonomi I. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang akad-akad dalam
pertanian bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Novi Indriyani Sitepu, S.HI.,
MA. Selaku dosen fikih Ekonomi I yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis
tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat membantu demi
kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 27 Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................1
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
2.1 Pengertian Harta...................................................................................................3
2.2 Jenis-jenis pembagian harta.................................................................................4
2.3 Penggunaan harta dalam Islam............................................................................5
2.4 Kaidah penggunaan harta milik orang lain..........................................................6
BAB III..........................................................................................................................9
PENUTUP.....................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam sebagai ajaran yang mengajarkan kehidupan yang seimbang


memberikan perhatian yang besar terhadap kegiatan di bidang pertanian dan
cabangnya. Perhatian tersebut terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an, Hadits, dan
kehidupan Rasulullah saw dan para Sahabatnya yang berkaitan dengan pertanian
ataupun pengolahan lahan. Pengolahan lahan tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara sebagaimana yang telah dianjurkan dalam agama Islam seperti halnya
dengan cara diolah sendiri oleh yang mempunyai lahan atau diolah oleh orang lain
untuk dikelola dan dibagi hasil. Hal ini disebabkan karena ada sebagian masyarakat
diantara mereka yang mempunyai lahan akan tetapi tidak mempunyai kemampuan
untuk mengolahnya. Ada juga sebagian yang mampu untuk mengolah lahan akan
tetapi tidak memiliki lahan untuk diolah.

Islam memiliki solusi memanfaatkan lahan pertanian dalam sistem yang lebih
menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara
kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem musaqah, muzara’ah dan
mukhabarah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian. Dalam
musaqah, muzara’ah dan mukhabarah biasanya terjadi dikalangan masyarakat saat
ini, meskipun syarat dan ketentuan sudah ada tetapi masih saja sering terjadi
kesalahpahaman antara pemilik tanah dengan si penggarap terutama dari segi
hasilnya yang harus dibagi tetapi perolehan panen tidak sesuai dengan harapan kita.
Dan juga mengenai benih yang ingin ditanam oleh si penggarap.

Dari permasalahan inilah penulis bertujuan menjelaskan hal-hal yang


berkaitan masalah di atas dan menjadikan ini sebuah makalah supaya memberikan
dan meluruskan pemahaman kita tentang akad-akad dalam pertanian tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud musaqah, muzara’ah dan mukhabarah ?


2. Apa saja Ruang Lingkup dari musaqah, muzara’ah dan mukhabarah ?
3. Bagaimana Pendapat ulama mengenai musaqah, muzara’ah dan
mukhabarah?

1
4. Bagaimana Analisis Persepsi terkait penelitian musaqah, muzara’ah dan
mukhabarah ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu musaqah, muzara’ah dan mukhabarah


2. untuk mengetahui apa saja Ruang Lingkup dari musaqah, muzara’ah dan
mukhabarah
3. Untuk mengetahui bagaimana Pendapat ulama mengenai musaqah,
muzara’ah dan mukhabarah
4. Untuk mengetahui Hasil Analisis Persepsi terkait penelitian musaqah,
muzara’ah dan mukhabarah

1.4 Manfaat Penelitian

Makalah ini diharapkan dapat berguna pada :


1. Bagi akademisi
Digunakan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dan referensi dalam
penulisan makalah sejenis dan dapat menjadi bahan pengembangan materi
mengenai musaqah, muzara’ah dan mukhabarah.

2. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dan pengalaman langsung tentang musaqah,
muzara’ah dan mukhabarah. Dan untuk memenuhi persyaratan akademik
dalam menyelesaikan tugas Fiqih Ekonomi I.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian musaqah, muzara’ah dan mukhabarah

A. Musaqah
Menurut etimologi, musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang
Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih
dikenal adalah musaqah.

Adapun menurut terminologi Islam adalah:1

‫معاقدة دفعاالشجار الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما‬

Artinya: Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar di


kelola dan hasilnya di bagi diantara keduanya.

B. Muzara’ah
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara
pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh
terdapat beberapa definisi yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah
mendefinisikan dengan “perserikatan dalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk di garap dan hasilnya di
bagi dua.2

C. Mukhabarah
Secara etimologis, mukhabarah adalah tanah yang gembur (khibar).3 Secara
Istilah mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan
penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil
panen yang benihnya berasal dari penggarap.4

2.2 Ruang Lingkup musaqah, muzara’ah dan mukhabarah

1
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm. 212
2
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
3
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 318.
4
Muhammad Sholahudin. Kamus Istilah Ekonomi,Keuangan, dan Bisnis Syari’ah. (Jakarta: IKAPI,
2011), 108.

3
2.2.1 Dalil musaqah, muzara’ah dan mukhabarah

A. Musaqah

Adapun dasar hukum al-musaqah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan ibnu
Majah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: َ

Artinya: “Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separuh dari penghasilan baik
buah-buah maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa
Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi”.5

Hadis tersebut menjelaskan mengenai kerjasama di bidang pertanian, bahwa


Rasulullah pernah memberikan kebun kepada penduduk Khaibar agar dipelihara
oleh mereka dengan perjanjian mereka akan memberian sebagian dari
penghasilanya, baik dari buahbuahan, pepohonan, pertanian, ataupun hasil
pertahun (palawija).6

B. Muzara’ah

Artinya: “Barang
siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia
menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari).7

C. Mukhabarah

Landasan hukum yang membolehkan muzara’ah, dari sabda Nabi saw:

‫وْ نَ َأ َّن‬gg‫ا ِءنَّهُ ْم يَ ْز ُع ُم‬ggَ‫ ابَ َرةَ ف‬g‫ ِذ ِه ْال ُم َخ‬gَ‫ت لَهُ يَا َأبَا َع ْب ِد الرَّحْ َمن لَوْ تَ َر ْكتَ ه‬
ُ ‫ قَا َل َع ْمرٌو فَقُ ْل‬,ُ‫س َأنَّهُ َكانَ يُ َخبِر‬
ِ ‫ع َْن طَا ُو‬
‫نن‬ َّ ‫س َأ‬
ٍ ‫ك يَ ْعنِى ا ْبنَ َعبَّا‬ َ ِ‫ َذال‬gِ‫رْ نِى َأ ْعلَ ُمهُ ْم ب‬ggِ‫ َأ ْخب‬: ‫ رٌو‬g‫ا َل َأيْ َع ْم‬ggَ‫ اب ِة فَق‬gَ‫لم نَهَى َع ِن ْال ُمخ‬g‫ه وس‬gg‫صلى هّللا عَلي‬ َ ‫ى‬ َّ ِ‫النَّب‬
‫ْأ‬
‫ا‬gg‫ا َم ْعلُوْ ًم‬gg‫ا خَ رْ ًج‬ggَ‫ ُذ َعلَ ْيه‬g‫ ُخ‬gَ‫هُ ِم ْن َأ ْن ي‬g‫ي صلى هّللا عليه وسلم لَ ْم يَ ْنهَ َع ْنهَا ِإنَّ َما قَا َل يَ ْمنَ ُح َأ َح ُد ُك ْم َأخَاهُ َخ ْي ٌر َل‬ َّ ‫النَّب‬
)‫(رواه مسلم‬

Artinya: Sesungguhnya Thawus r.a bermuukhabarah, Umar r.a berkata: dan aku
berkata kepadanya : ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini,

5
Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdillah al Quswainy, Sunnan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Juz
2, Hadits no.2468, h.824
6
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal.148
7
Achmad Sunarto dan Syamsudin, Himpunan Hadits Shahih Bukhari, Annur Press, Jln. Raya
Panggilingan, Jakarta Timur, 2008, hlm. 227

4
nanti mereka mengatakan nabi melarangnya . kemudian Thawus berkata : telah
menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal itu, yaitu
Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata,
bila seseorang member manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada
mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi. (HR.Muslim)8

Dalil al-Qur’an atau hadist tersebut diatas merupakan landasan hukum yang
dipakai oleh para ulama’ yang membolehkan akad perjanjian muzara’ah atau
mukhabarah. Menurut para ulama’ akad ini bertujuan untuk saling membantu
antara petani dengan pemilik tanah pertanian.Pemilik tanah tidak mampu
mengerjakan tanahnya, sedang petani tidak mempunya tanah atau lahan pertanian.

2.2.2 Rukun dan Syarat musaqah, muzara’ah dan mukhabarah

A. Musaqah

Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musaqah ada 5, yaitu berikut ini:

1) Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan
berakal.

2) Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah 9 adalah pohon-


pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama
Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqoh atas pohon yang tidak berbuah sebab
sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.

3) Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.

4) Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan


bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad
menjadi tidak sah.

5) Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah


(sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad.

Syarat-Syarat Musaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada


dalam muzara’ah. Hanya saja pada musaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan

8
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz: II, diterjemahkan oleh Ahmad
Sunarto, Al-Hidayah, Surabaya, hlm. 989
9
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.

5
jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa
Syarat Musaqah adalah:

a. Ahli dalam akad (dewasa dan berakal)


b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon/pengelolaan sepenuhnya oleh petani
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

B. Muzara’ah

Menurut Hanafiah rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan qabul antara
pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja,
modal dan alat-alat untuk menanam.10 Sementara menurut Hanabilah, rukun
muzara’ah adalah satu yaitu ijab dan qobul, boleh dilakukan dengan lafadz apa
saja yang menunjukkan ijab dan qobul dan bahkan muzara’ah sah dilafadzkan
dengan lafadz ijarah.11 Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah
yaitu:

a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Objek al-muzaraah
d. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
Sedangkan syarat-syarat muzara’ah adalah sebagai berikut:12

a. Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain yang harus berakal.

b. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan


adanya penentuan macam apa saja yang harus ditanam.

c. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman


sebagai berikut:

10
Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer, 163.
11
Sohari Sahrani, Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, 217.
12
Sohari Sahrani, Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah 216-217.

6
1) Bagian masing-masing harus harus disebutkan
jumlahnya ketika akad.

2) Hasil adalah milik bersama.

3) Bagian antara amil (pemilik tanah) dan malik


(pekerja) adalah satu jenis barang yang sama. Jika
bagian antara amil dan malik tidak sama maka tidak
sah.

4) Bagian kedua belah pihak sudah dapat dikrtahui.

5) Tidak disyaratkan bagi salah satunya ada


penambahan yang telah diketahui.

d. Hal yang berhubungan dengan tanah akan ditanami sebagai


berikut:

1) Tanah tersebut dapat ditanami.

2) Tanah tersebut dapat dikrtahui batas batasnya.

e. Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah


sebagai berikut:

1) Waktunya sudah ditetapkan.

2) Waktunya itu memungkinkan untuk menanam


tanaman yang dimaksud, seperti menanam padi
waktunya kurang lebih 4 bulan (bergantung pada
teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan
tempat).

3) Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak


hidup menurut kebiasaan.

f. Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah alat tersebut


disyariatkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan
kepada pemilik tanah.

7
2.3 Penggunaan harta dalam Islam

Penggunaan harta (infaqual-mal) yaitu pemanfaatan harta dengan atau tanpa


manfaat materiil yang diperoleh. Islam mendorong umat manusia untuk
menggunakan hartanya tidak hanya kepentingan pribadi tapi juga untuk kepentingan
sosial. Tidak hanya memenuhi kebutuhan materiil saja tetapi juga kepentingan non
materiil seperti nafkah keluarga dan orang tua, anak yatim, zakat, infak, sedekah,
hadiah, hibah, jihad fi sabilillah, dan sebagainya. Pada sisi lain, Islam mengharamkan
beberapa praktik penggunaan harta seperti riswah,israf,tabdzir dan taraf (membeli
barang atau jasa haram) dan juga mencela perilaku bakhil. Impilkasi dari penggunaan
harta dengan selalu melihat kaidahagama akan menghindari masyarakat dari resiko
timbulnya kerusakan kerusakan. kegiatan sektor produksi ditekankan melalui
pengembangan berbagai sektor ekonomi sedangkan negara adalah merupakan
fasilitator dan regulator sehinggan kegiatan ekonomi dapat berjalan secara seimbang
dan mengikuti kaidah dan aturan yang telah ditentukan serta tidak menyalahi kaidah
ajaran Islam. keseimbangan antara prilaku konsumsi yang Islami dan kegiatan
produksi yang menekankan aspek-aspek moral akan mendorong pada terciptanya
kehidupan ekonomi yang sejahtera dan adil.

2.4 Kaidah penggunaan harta milik orang lain

8
Menjaga dan melindungi harta milik orang lain melalui tata cara Islam sesuai
hukum adalah salah satu tujuan hukum Islam. Islam menganggap harta milik
seseorang sebagai sesuatu yang sakral dan tidak dapat diganggu gugat sebagaimana
hidup dan kehormatannya.

Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,” (QS. An-Nisa: 29).

Berdasarkan peraturan di atas, maka menggunakan harta benda milik orang


lain tanpa izin adalah tidak diperbolehkan dalam Islam. Seseorang yang
menggunakan harta orang lain tanpa izin atau merusaknya akan dinyatakan
bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang di alami pemilik harta tersebut

Para ulama telah merumuskan beberapa aturan yang menekankan


penghormatan hukum Islam atas hak kepemilikan harta benda dan melindungi
pemiliknya dari pelanggaran haknya. Mereka juga menggariskan ketentuan-ketentuan
yang harus di perhatikan dalam menggunakan harta benda milik orang lain.
Peraturan-peraturan tersebut adalah:

 Tidak boleh seorang pun menggunakan harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya
Kaidah ini mencegah pelanggaran terhadap harta benda milik orrang lain.
Kaidah tersebut berisi aturan bahwa tidak seorangpun diperbolehkan untuk
membuat perjanjian atau memberi kewenangan pada orang lain untuk menjual,
memberikan, menggadai, menyewakan, menyimpan, atau meminjamkan harta
benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.

“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad
5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih
lighoirihi).

Izin di sini boleh jadi: (1) Izin secara langsung, (2) Izin tidak langsung (izin
dalalah) yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi
tanpa ada izin lisan atau sudah diketahui ridhonya si pemilik jika barangnya
dimanfaatkan.

Contoh:
1. Tidak boleh masuk dalam rumah atau kebun seseorang tanpa izinnya.
2. Dalam akad mudhorobah (usaha bagi hasil), jika pengelola telah diberi
syarat oleh pemodal untuk menjalankan usaha di tempat tertentu, atau

9
menjual barang tertentu, atau ditentukan waktu tertentu, lalu syarat ini
dilanggar, maka itu berarti telah memanfaatkan sesuatu tanpa izin.
3. Jika ada seseorang yang dititipi sejumlah uang, lantas ia memanfaatkannya
tanpa izin orang yang menitipkan, maka jika ada kehilangan, dialah yang
mengganti rugi karena ia telah memanfaatkan barang tanpa izin.
4. Jika suatu jalan khusus terlarang dilewati lalu pintunya sengaja dibuka
tanpa meminta izin pada pemiliknya, itu berarti telah memanfaatkan milik
orang lain tanpa izin.
5. Jika seseorang mengetahui dari keadaan sahabatnya bahwa ia selalu ridho
jika diambil sesuatu miliknya, maka barang milik sahabatnya tadi boleh
diambil tanpa izinnya. Ini termasuk izin jenis kedua yang disebutkan di
atas.
6. Di antara contoh lain dari izin jenis kedua, misalnya ada orang yang
dititipkan uang. Lalu ia meminjam uang tersebut dan ia tahu si pemilik
uang ridho apalagi pada orang yang sifatnya amanah, maka boleh saja ia
manfaatkan. Namun jika ia ragu apakah si pemilik meridhoi ataukah tidak,
maka tidak boleh ia memanfaatkannya.

 Tidak boleh seorang pun mengambil harta milik orang lain tanpa sebab syar’i
(yang dibenarkan syariat)
Kaidah ini merujuk pada cara-cara halal dan haram dalam memperoleh harta
benda. Cara-cara yang haram meliputi tindakan mencuri, merampas, riba,
berjudi, menyuap, transaksi-transaksi penipuan, dan lain-lain. Cara-cara yang
halal dalam memperoleh harta benda melputi akad-akad menyewa, hadiah,
sumbangan, penggadaian, pembayaran hutang, dan sebagainya.
Namun seorang yang bukan pemiliknya, dapat menggunakan harta orang lain
dalam keadaan keadaan berikut:
1. Hukum Islam membolehkan pemberi utang untuk mengambil sejumlah
harta atau uang yang setara dengan nilai hutang dari harta milik orang yang
berutang kepadanya apabila ia tidak sanggup membayar utang.
2. Dibolehkan bagi seorang wali yang miskin mengambil sejumlah uang atau
harta dari harta milik orang yang ada di bawah perwaliannya, dengan
secukupnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

 Kewenangan mengelola urusan rakyat hendaknya dilaksanakan demi


kemaslahatan mereka
Kewenangan dalam kaidah ini meliputi kekuasaan yang diberikan pada badan-
badan fungsional pemerintah, para wakil/pengawas yang diberi kepercayaan dan
wali. Maka dari kaidah di atas adalah “Saat menjalankan wewenang,

10
kemaslahatan rakyat harus menjadi pertimbangan utama yang mendasari
pelaksanaan kewenangan tersebut.”
Tindakan yang diambil oleh negara terhadap urusan rakyatnya, atau wali
terhadap persoalan yang di bawah perwaliannya, dianggap sah hanya apabila
tindakan tersebut menunjang kepentingan rakyat dan orang yang berada dalam
perwaliannya tadi.
Berikut beberapa aturan berdasarkan kaidah di atas:
1. Penggunaan harta anak yatim oleh qadhi (hakim) adalah sah ketika
penggunaannya tersebut sesuai dengan kepentingan anak yatim tadi.
2. Seorang wali tidak boleh menggunakan harta milik orang yang berada
dalam perwaliannya dengan tujuan memberikannya sebagai pinjaman dan
menghadiahkannya pada orang lain.
3. Seorrang wali boleh menjual harta milik orang yang berada di dalam
perwaliannya, apabila harta itu diserobot orang lain.

BAB III

PENUTUP

11
3.1 Kesimpulan

Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan
bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia,
seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang termasuk
perhiasan dunia.
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.
kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta
tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan ini, hingga pada hal-hal kecil yang luput dari
pandangan kita. Tidak terlewat pula aturan mengenai barang atau segala sesuatu yang
sedang kita gunakan atau manfaatkan fungsinya baik itu barang milik sendiri ataupun
milik orang lain. Terdapat kaidah-kaidah yang harus ditaati dalam penggunaan harta
tersebut yang sering kali diabaikan oleh umat islam pada saat sekarang ini.
Dalam islam, harta dibedakan menjadi sepuluh diantaranya Harta
Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim, Mal Mitsli dan Mal Qimi, Mal
Istihlak dan Mal Isti’mal, Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul, Harta ‘Ain dan
Dayn, Harta Nafi’i, Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur, Harta Dapat Dibagi dan
Tidak Dapat Dibagi, Harta Pokok dan Hasil, Harta Khas dan ‘Am.
Kaidah-kaidah penggunaan harta milik orang lain :
 Tidak boleh seorang pun menggunakan harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya.
 Tidak boleh seorang pun mengambil harta milik orang lain tanpa sebab syar’i
(yang dibenarkan syariat).
 Kewenangan mengelola urusan rakyat hendaknya dilaksanakan demi
kemaslahatan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

12
Juhaili, W. (1989). Al-fiqih Al-islami Wa-adillatuh. Damsyik: Dar Al-Fikr.

Majid, A. (1986). Pokok-Pokok Fikih Muammalah dan Hukum Kebendaan Islam.


Bandung: IAIN SGD.

Masduki, N. (1987). Fikih Muamalah. Bandung: IAIN Sunan Gunung Ampel.

Pustaka, H. (1997). Fikih Muammalah. Bandung: Gunung Jati Press.

Sabiq, S. (1973). Fighus Sunnah. Beirut: Dar Al-kitab Al-Arabiah.

Shiddieqie, M. H. (1997). Pengamat Fikih Muammalah. Semarang: Pustaka Riski


Putra.

Syafe'i, H. R. (2001). Fikih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

Hamdani, L. (2018). Prinsip-Prinsip Kepemilikan Harta Dalam Islam. Jurnal Kajian


Ekonomi & Bisnis Islam, 1(1), 115-129.

13

Anda mungkin juga menyukai