Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Musaqah, Muzara’ah & Mukhabarah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Dr. Novi Indriyani Sitepu, S.HI., MA. pada mata kuliah Fikih Ekonomi I. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang akad-akad dalam
pertanian bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Novi Indriyani Sitepu, S.HI.,
MA. Selaku dosen fikih Ekonomi I yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis
tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat membantu demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................1
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
2.1 Pengertian Harta...................................................................................................3
2.2 Jenis-jenis pembagian harta.................................................................................4
2.3 Penggunaan harta dalam Islam............................................................................5
2.4 Kaidah penggunaan harta milik orang lain..........................................................6
BAB III..........................................................................................................................9
PENUTUP.....................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Islam memiliki solusi memanfaatkan lahan pertanian dalam sistem yang lebih
menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara
kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem musaqah, muzara’ah dan
mukhabarah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian. Dalam
musaqah, muzara’ah dan mukhabarah biasanya terjadi dikalangan masyarakat saat
ini, meskipun syarat dan ketentuan sudah ada tetapi masih saja sering terjadi
kesalahpahaman antara pemilik tanah dengan si penggarap terutama dari segi
hasilnya yang harus dibagi tetapi perolehan panen tidak sesuai dengan harapan kita.
Dan juga mengenai benih yang ingin ditanam oleh si penggarap.
1
4. Bagaimana Analisis Persepsi terkait penelitian musaqah, muzara’ah dan
mukhabarah ?
1.3 Tujuan
2. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dan pengalaman langsung tentang musaqah,
muzara’ah dan mukhabarah. Dan untuk memenuhi persyaratan akademik
dalam menyelesaikan tugas Fiqih Ekonomi I.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Musaqah
Menurut etimologi, musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang
Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih
dikenal adalah musaqah.
B. Muzara’ah
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara
pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh
terdapat beberapa definisi yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah
mendefinisikan dengan “perserikatan dalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk di garap dan hasilnya di
bagi dua.2
C. Mukhabarah
Secara etimologis, mukhabarah adalah tanah yang gembur (khibar).3 Secara
Istilah mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan
penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil
panen yang benihnya berasal dari penggarap.4
1
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm. 212
2
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
3
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 318.
4
Muhammad Sholahudin. Kamus Istilah Ekonomi,Keuangan, dan Bisnis Syari’ah. (Jakarta: IKAPI,
2011), 108.
3
2.2.1 Dalil musaqah, muzara’ah dan mukhabarah
A. Musaqah
Adapun dasar hukum al-musaqah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan ibnu
Majah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: َ
Artinya: “Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separuh dari penghasilan baik
buah-buah maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa
Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi”.5
B. Muzara’ah
Artinya: “Barang
siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia
menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari).7
C. Mukhabarah
وْ نَ َأ َّنggا ِءنَّهُ ْم يَ ْز ُع ُمggَ ابَ َرةَ فg ِذ ِه ْال ُم َخgَت لَهُ يَا َأبَا َع ْب ِد الرَّحْ َمن لَوْ تَ َر ْكتَ ه
ُ قَا َل َع ْمرٌو فَقُ ْل,ُس َأنَّهُ َكانَ يُ َخبِر
ِ ع َْن طَا ُو
نن َّ س َأ
ٍ ك يَ ْعنِى ا ْبنَ َعبَّا َ ِ َذالgِرْ نِى َأ ْعلَ ُمهُ ْم بggِ َأ ْخب: رٌوgا َل َأيْ َع ْمggَ اب ِة فَقgَلم نَهَى َع ِن ْال ُمخgه وسggصلى هّللا عَلي َ ى َّ ِالنَّب
ْأ
اggا َم ْعلُوْ ًمggا خَ رْ ًجggَ ُذ َعلَ ْيهg ُخgَهُ ِم ْن َأ ْن يgي صلى هّللا عليه وسلم لَ ْم يَ ْنهَ َع ْنهَا ِإنَّ َما قَا َل يَ ْمنَ ُح َأ َح ُد ُك ْم َأخَاهُ َخ ْي ٌر َل َّ النَّب
)(رواه مسلم
Artinya: Sesungguhnya Thawus r.a bermuukhabarah, Umar r.a berkata: dan aku
berkata kepadanya : ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini,
5
Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdillah al Quswainy, Sunnan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Juz
2, Hadits no.2468, h.824
6
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal.148
7
Achmad Sunarto dan Syamsudin, Himpunan Hadits Shahih Bukhari, Annur Press, Jln. Raya
Panggilingan, Jakarta Timur, 2008, hlm. 227
4
nanti mereka mengatakan nabi melarangnya . kemudian Thawus berkata : telah
menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal itu, yaitu
Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata,
bila seseorang member manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada
mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi. (HR.Muslim)8
Dalil al-Qur’an atau hadist tersebut diatas merupakan landasan hukum yang
dipakai oleh para ulama’ yang membolehkan akad perjanjian muzara’ah atau
mukhabarah. Menurut para ulama’ akad ini bertujuan untuk saling membantu
antara petani dengan pemilik tanah pertanian.Pemilik tanah tidak mampu
mengerjakan tanahnya, sedang petani tidak mempunya tanah atau lahan pertanian.
A. Musaqah
Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musaqah ada 5, yaitu berikut ini:
1) Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan
berakal.
8
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz: II, diterjemahkan oleh Ahmad
Sunarto, Al-Hidayah, Surabaya, hlm. 989
9
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.
5
jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa
Syarat Musaqah adalah:
B. Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan qabul antara
pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja,
modal dan alat-alat untuk menanam.10 Sementara menurut Hanabilah, rukun
muzara’ah adalah satu yaitu ijab dan qobul, boleh dilakukan dengan lafadz apa
saja yang menunjukkan ijab dan qobul dan bahkan muzara’ah sah dilafadzkan
dengan lafadz ijarah.11 Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah
yaitu:
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Objek al-muzaraah
d. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
Sedangkan syarat-syarat muzara’ah adalah sebagai berikut:12
10
Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer, 163.
11
Sohari Sahrani, Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, 217.
12
Sohari Sahrani, Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah 216-217.
6
1) Bagian masing-masing harus harus disebutkan
jumlahnya ketika akad.
7
2.3 Penggunaan harta dalam Islam
8
Menjaga dan melindungi harta milik orang lain melalui tata cara Islam sesuai
hukum adalah salah satu tujuan hukum Islam. Islam menganggap harta milik
seseorang sebagai sesuatu yang sakral dan tidak dapat diganggu gugat sebagaimana
hidup dan kehormatannya.
Tidak boleh seorang pun menggunakan harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya
Kaidah ini mencegah pelanggaran terhadap harta benda milik orrang lain.
Kaidah tersebut berisi aturan bahwa tidak seorangpun diperbolehkan untuk
membuat perjanjian atau memberi kewenangan pada orang lain untuk menjual,
memberikan, menggadai, menyewakan, menyimpan, atau meminjamkan harta
benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad
5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih
lighoirihi).
Izin di sini boleh jadi: (1) Izin secara langsung, (2) Izin tidak langsung (izin
dalalah) yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi
tanpa ada izin lisan atau sudah diketahui ridhonya si pemilik jika barangnya
dimanfaatkan.
Contoh:
1. Tidak boleh masuk dalam rumah atau kebun seseorang tanpa izinnya.
2. Dalam akad mudhorobah (usaha bagi hasil), jika pengelola telah diberi
syarat oleh pemodal untuk menjalankan usaha di tempat tertentu, atau
9
menjual barang tertentu, atau ditentukan waktu tertentu, lalu syarat ini
dilanggar, maka itu berarti telah memanfaatkan sesuatu tanpa izin.
3. Jika ada seseorang yang dititipi sejumlah uang, lantas ia memanfaatkannya
tanpa izin orang yang menitipkan, maka jika ada kehilangan, dialah yang
mengganti rugi karena ia telah memanfaatkan barang tanpa izin.
4. Jika suatu jalan khusus terlarang dilewati lalu pintunya sengaja dibuka
tanpa meminta izin pada pemiliknya, itu berarti telah memanfaatkan milik
orang lain tanpa izin.
5. Jika seseorang mengetahui dari keadaan sahabatnya bahwa ia selalu ridho
jika diambil sesuatu miliknya, maka barang milik sahabatnya tadi boleh
diambil tanpa izinnya. Ini termasuk izin jenis kedua yang disebutkan di
atas.
6. Di antara contoh lain dari izin jenis kedua, misalnya ada orang yang
dititipkan uang. Lalu ia meminjam uang tersebut dan ia tahu si pemilik
uang ridho apalagi pada orang yang sifatnya amanah, maka boleh saja ia
manfaatkan. Namun jika ia ragu apakah si pemilik meridhoi ataukah tidak,
maka tidak boleh ia memanfaatkannya.
Tidak boleh seorang pun mengambil harta milik orang lain tanpa sebab syar’i
(yang dibenarkan syariat)
Kaidah ini merujuk pada cara-cara halal dan haram dalam memperoleh harta
benda. Cara-cara yang haram meliputi tindakan mencuri, merampas, riba,
berjudi, menyuap, transaksi-transaksi penipuan, dan lain-lain. Cara-cara yang
halal dalam memperoleh harta benda melputi akad-akad menyewa, hadiah,
sumbangan, penggadaian, pembayaran hutang, dan sebagainya.
Namun seorang yang bukan pemiliknya, dapat menggunakan harta orang lain
dalam keadaan keadaan berikut:
1. Hukum Islam membolehkan pemberi utang untuk mengambil sejumlah
harta atau uang yang setara dengan nilai hutang dari harta milik orang yang
berutang kepadanya apabila ia tidak sanggup membayar utang.
2. Dibolehkan bagi seorang wali yang miskin mengambil sejumlah uang atau
harta dari harta milik orang yang ada di bawah perwaliannya, dengan
secukupnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
10
kemaslahatan rakyat harus menjadi pertimbangan utama yang mendasari
pelaksanaan kewenangan tersebut.”
Tindakan yang diambil oleh negara terhadap urusan rakyatnya, atau wali
terhadap persoalan yang di bawah perwaliannya, dianggap sah hanya apabila
tindakan tersebut menunjang kepentingan rakyat dan orang yang berada dalam
perwaliannya tadi.
Berikut beberapa aturan berdasarkan kaidah di atas:
1. Penggunaan harta anak yatim oleh qadhi (hakim) adalah sah ketika
penggunaannya tersebut sesuai dengan kepentingan anak yatim tadi.
2. Seorang wali tidak boleh menggunakan harta milik orang yang berada
dalam perwaliannya dengan tujuan memberikannya sebagai pinjaman dan
menghadiahkannya pada orang lain.
3. Seorrang wali boleh menjual harta milik orang yang berada di dalam
perwaliannya, apabila harta itu diserobot orang lain.
BAB III
PENUTUP
11
3.1 Kesimpulan
Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan
bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia,
seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang termasuk
perhiasan dunia.
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.
kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta
tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan ini, hingga pada hal-hal kecil yang luput dari
pandangan kita. Tidak terlewat pula aturan mengenai barang atau segala sesuatu yang
sedang kita gunakan atau manfaatkan fungsinya baik itu barang milik sendiri ataupun
milik orang lain. Terdapat kaidah-kaidah yang harus ditaati dalam penggunaan harta
tersebut yang sering kali diabaikan oleh umat islam pada saat sekarang ini.
Dalam islam, harta dibedakan menjadi sepuluh diantaranya Harta
Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim, Mal Mitsli dan Mal Qimi, Mal
Istihlak dan Mal Isti’mal, Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul, Harta ‘Ain dan
Dayn, Harta Nafi’i, Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur, Harta Dapat Dibagi dan
Tidak Dapat Dibagi, Harta Pokok dan Hasil, Harta Khas dan ‘Am.
Kaidah-kaidah penggunaan harta milik orang lain :
Tidak boleh seorang pun menggunakan harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya.
Tidak boleh seorang pun mengambil harta milik orang lain tanpa sebab syar’i
(yang dibenarkan syariat).
Kewenangan mengelola urusan rakyat hendaknya dilaksanakan demi
kemaslahatan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
12
Juhaili, W. (1989). Al-fiqih Al-islami Wa-adillatuh. Damsyik: Dar Al-Fikr.
13