Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

FIQIH MUAMALAH

“AKAD KERJA SAMA LAHAN PERTANIAN”

Dosen Pengampu : HENDRIYANTO, S.H., M.H

Disusun oleh:

1. Tasya Monika Dewi (20001021)


2. Herda Apriyani (19002017)
3. Devi Safitri (20001003)
4. Rio Bagus Adi Pratama (20001009)

STES TUNAS PALAPA

TULANG BAWANG BARAT LAMPUNG

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan alhamdulilah tepat pada
waktunya dengan judul “Muzaro’ah, Mukhabrah dan Musyaqah.” Makalah ini
kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Fiqih
Muamalah yang meliputi tugas kelompok.

Tiada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Surakarta, 27 November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................4


A. Latar Belakang .....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................5
A. Pengertian Al-Muzara’ah / Al-Mukhabarah ..........................................................5
B. Musyaqah........................................................................................................... 12

BAB III KESIMPULAN .............................................................................................. 19


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluksosial yang saling


membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi
ini sebagai sumber ekonomi. Dalam kehidupam sosial Nabi Muhmmad
mengajarkan kepda kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar
umat serta memberikan keuntungan bersama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabarah?
2. Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?
3. Bagaimana rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabrah
2. Mengetahui yang dimaksud dengan Musyaqoh
3. Agar mengerti tentang rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Muzara’ah / Al-Mukhabarah

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara


pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh
terdapat beberapa definisi yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah
mendefinisikan dengan “perserikatan dalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk di garap dan hasilnya di
bagi dua.1

Dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.

‫الشركة فى الزرع‬

Perserikatan dalam pertanian.

Menurut ulama Hanabilah al-muzara’ah adalah.

‫دفع االرض الى من يزرعها اؤ يعمل عليها والزرع بينهما‬

Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya
dibagi berdua.

Kedua definisi ini dalm kebiyasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”
penduduk Irak menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi dalam al-mukhabrah, bibit
yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.

Imam as-Syafi’i mendefinisikan mukahbarah dengan:

‫عمل االرض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل‬

Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan penggarap tanah.

1
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

5
Dalam al-mudhrabah bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap
tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari
pemilik.

1. Hukum Akad Al-Muzara’ah

Terjadi perbedaan pendapat para ulama’ dalam membahas hukum al-


muzara’ah. Imam Abu Hanifah (80-150 H 699-767 M) dan Zulfar Ibnu Huzail
(728-774 M), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak
boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperempat dan
seperdua, hukumnya batal.

Rasulullah saw, melarang al-muzara’ah (HR Muslim)

Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah belum ada dan tidak
jelas kadarnya, karena yang di jadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian
yang belum ada (al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keu
ntungan yang akan di bagi, sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak
menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya.
Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-jahalah inilah yang membuat akad
ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah saw. Dengan penduduk Khaibar dalam
hadits yang di riwayatkan al-jama’ah (mayoritas pakar hadits), menurut mereka,
bukan merupakan akad al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-muqasamah,
yaitu ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali
panen dalam prosentase tertentu.

Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah tidak sah,


kecuali apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah (kerjasama pemilik
kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang
hasilnya nanti di bagi menurut kesepakatan bersama). Misalnya, apabila terjadi
kerjasama dalam pengolahan perkebunan, kemudian ada tanah kosong yang boleh
di manfaatkan untuk al-muzara’ah(pertanian), maka menurut ulama Syafi’iyah,

6
akad al-muzara’ah boleh di lakukan. Akad ini tidak berdiri sendiri, tetapi
mengikut pada akad al-musaqah.

Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf (113-182 H 731-798 M),


Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani(748-804 M), keduanya sahabat Abu
Hanifah, dan ulama azh-Zhahiriyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah
hukumnya boleh, karena akadnya cukup jelas, yaitu menjadikan petani sebagai
serikat dalam penggarapan sawah.

Menurut Mereka, dalam sebuah riwayat di katakana bahwa:

Rasulullah saw. Melakukan akad muzara’ah dengan penduduk Khaibar,


yang hasilnya di bagi antara Rasul dengan para pekerja. (HR al-Bukhari, Muslim,
Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari
Abdullah ibn Umar).

Menurut mereka akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani
dengan pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan
tanahnya, sedangkan petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebab itu,
wajar apabila antara pemilik tanah persawahan bekerjasama dengan petani
penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka bagi sesuai dengan
kesepakatan bersama. Menurut ulama Malikiyah danHanabilah, akad seperti ini
termasuk dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah, 5:2 ynag berbunyi:
Bertolong-tolonganlah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan bertolong-
tolongan atas dosa dan permusuhan.

2. Rukun al-Muzara’ah

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun


dan syarat yang harus di penuhi, sehingga akad di anggap sah. Rukun al-
muzara’ah menurut mereka adalah:

a) Pemilik tanah
b) Petani penggarap

7
c) Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul
(pernyataan menerima tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab qabul
itu adalah “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada kamu untuk di
garap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Kemudian petani penggarap
menawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk di garap dengan imbalan
hasilnya di bagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad itu telah sah
dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan
(qabul) al-muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga
dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.

3. Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang


menyangkut orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah yang di
kerjakan, hsil yang akan di panen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya
akad.

Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus


orang yang telah balig dan berakal. Karena kedua syarat inilah yang membuat
seseorang di anggap telah cukup bertindak hukum. Pendapat lain kalangan ulama
Hanafiyah menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang
murtad (keluar dari agma islam), karena tindakan hukum orang yang murtad di
anggap mauquf (tidak punya efek hukum, sampai ia masuk islam kembali).

Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak
menyetujui syarat tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah
boleh dilakukan antara muslim dengan non islam, termasuk orang murtad.

8
Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga
sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan
menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:

a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan
menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering,
sehingga tidak memungkinkan di jadikan tanah pertanian, maka akad al-
muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad
al-muzara’ah tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:

1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.


2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang ber-akad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
3) Pembagian hasil panen itu di tentukan setengah, sepertiga, atau
seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di
kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu
secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu karung; karena
kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah jumlah itu atau dapat juga
jauh melampaui jumlah itu.

Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad
sejak semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah
(sewa-menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh
sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini,
biasanya di sesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.

Untuk obyek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah


mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan

9
di tanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, maupun
pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.

Abu yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa


dilihat dari segi sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, ada 4 bentuk yaitu:

1) Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani,
sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka
hukumnya sah.
2) Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani
menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-
muzara’ah adalah manfaat tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
3) Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani,
sehingga yang menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka
akad al-muzara’ah juga sah.
4) Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta
kerja dari petani, maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, menentkan alat pertanian dari
pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak
boleh mengikut pada tanah. Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu
tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah adalah untuk
menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya
untuk menggarap tanah. Alat pertanian, menurut mereka, harus mengikut
kepada petani penggarap, bukan kepada pemilik tanah.

4. Akibat Akad al-muzara’ah


Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah,
apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat
hukumnya adalah sebagai berikut:
a) Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya
pemeliharaan pertanian itu.

10
b) Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan
tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan
prosentase bagian masing-masing.
c) Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
d) Pengairan di laksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan di tempat masing-
masing. Apabila kebiasaan tanah itu diairi dengan air hujan, maka masing-
masing pihak tidak boleh dipaksa untuk mengairi tanah itu dengan melalui
irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya diairi melalui irigasi,
sedangkan dalam akad disepakati menjadi tanggung jawab petani, maka
petani bertanggung jawab mengairi pertanian itu dengan irigasi.
e) Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku
sampai panen, dan yang meninggal di wakili oleh ahli warisnya, karena
jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah-mengupah(al-ijarah) bersifat
mengikat kedua belah pihak dan boleh di wariskan. Oleh sebab itu,
menurut mereka, kematian salah satu pihak yang berakad tidak
membatalkan akad ini.

5. Berakhirnya Akad al-Muzara’ah

Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-muzara’ah mengatakan


bahwa akad ini akan berakhir apabila:

1) Jangka waktu yang di sepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka


waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen,
maka akad itu tidak di batalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam
menunggu panen itu, menurut jumhur ulama, petani berhak mendapatkan
upah sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi petani setempat.
Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti
pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggung jawab

11
bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian
masing-masing.
2) Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang yang
berakad wafat, maka akad ini berakhir, karena mereka berpendapat bahwa
akad al-ijarah tidak boleh di wariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah itu dapat di
wariskan. Oleh sebab itu tidak berakhir dengan wafatnya salah satu pihak
yang berakad.
3) Adanya uzur dari salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun
dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad
al-muzara’ah itu. Uzur dimaksud antara lain adalah:
a. Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual,
karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini
harus dilaksanakan melalui campur tangan haki. Akan tetapi, apabila
tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah, tetapi belum layak panen, maka tanah
itu tidak boleh di jual sampai panen.
b. Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan
ke luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaanya.

B. MUSYAQAH
1. Arti, Landasan, Rukun dan Perbedaan dengan Mujaro’ah
a) Arti Musyaqoh

Menurut etimologi, musyaqoh adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang


Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih
dikenal adalah musyaqoh.

Adapun menurut terminologi Islam adalah: 2

‫معاقدة دفعاالشجار الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما‬

2
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm. 212

12
Artinya: Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggaran agar di
kelola dan hasilnya di bagi diantara keduanya.

b) Asas Legalitas

Musyaqah menurut ulama Hanafiyah seperti mujara’ah, baik dalam hukum


dan persyaratan yang memungkinkan terjadi musyaqah. Abu hanifah dan Abu
jarah tidak membolehkan nya,dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits:

)‫من كانت له ارض فاليزرعها واليكريها بثلث البربع والبطعام (متفاق عليه‬

Artinya:

Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh


menyewakan nya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan
makanan yang telah di tentuka. (Muttafaq alaih).

Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur ulama
(imam Malik,imam Syafi’I,dan imam Ahmad) memperbolehkan musyaqah yang
didasarkan pada muamalah rasulullah SAW bersama orang Khaibar.

c) Perbedaan antara musyaqah dan mujara’ah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah, sama dengan mujara’ah,


kecuali dalam empat perkara:

1) Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam
musyaqah, ia harus di paksa,tetapi dalam mujara’ah, ia tidak boleh di
paksa.
2) Jika waktu musyaqah habis,akad di teruskan sampai berbuah tanpa
pemberian upah, sedangkan dalam mujara’ah. Jika waktu habis, pekerjaan
di teruskan dengan pemberian upah.
3) Waktu dalam musyaqah di tetapkan berdasarkan ihtisan, sebab dapat
diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam mujara’ah terkadang
tertentu.

13
4) Jika pohon di minta oleh selain pemilik tanah pengara di beri upah.
Sedangkan dalam mujara’ah jika di minta sebelum menghasilkan sesuatu
penggarap tidak mendapatka apa-apa.

2. Syarat-Syarat Musyaqoh

Syarat-Syarat Musyaqoh sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang


ada dalam mujaro’ah. Hanya saja pada musyaqoh tidak disyaratkan untuk
menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
Beberapa Syarat Musyaqoh adalah:

a. Ahli dalam akad


b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

3. Rukun Musyaqoh

Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5, yaitu berikut ini:

1) Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh


dan berakal.
2) Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah 3 adalah
pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian
ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqoh atas pohon yang tidak
berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
3) Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
4) Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan
bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad
menjadi tidak sah.

3
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.

14
5) Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata
ijarah (sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad.

4. Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)


a) Hukum Musyaqah Shahih

Musyaqah Shahih menurut para ulama memiliki beberapa hukum dan


ketetapan.

1) Menurut ulama Hanafiyah, hukum musyaqah shahih adalah berikut ini.


a. Segala perkerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon yang di
serahkan kepada penggarap. Sedangkan biaya yang di perlukan dalam
pemeliharaan di bagu dua.
b. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-
apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang
berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memeriksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada udzur.
f. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah di sepakati.
g. Penggarap tidak mendapatkan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali di
izinkan oleh pemilik,namun demikian,penggarap awal tidak mendapat
apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapatkan upah
sesuai dengan pekerjaannya.
2) Menurut Ulama malikiyah pada umumnya menyepakati hukum-hukum
yang di tetapkan ulama hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka
berpendapat dalam pengarapan.
a. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib di kerjakan tidak
boleh di syaratkan.
b. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib
di bebeni oleh penggarap.

15
c. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban
penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.dan lain-lain.
3) Ulama syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam
membatasi pekerjaan penggarap di atas.dan menambahkan bahwa segala
pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan
pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
b) Hukum dan dampak musyaqah fasid.

Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persayaratan yang telah di
tetapkan syara’. Beberapa keadaan yang telah di tetapkan syara’.beberapa keadaan
yang dapat di katgorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah antara lain.

1. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.


2. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
3. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarap.
4. Mensyaratka pemetik dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap
hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya.
Dengan demikian, pemeriksa dan hal tambahan merupakan kewajiban dua
orang yang akad.
5. Mensayaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
6. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu
akad.
7. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
8. Musyaqoh digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi
kepada penggarap lainnya.

Dampak Musyaqoh fasid menurut para ulama:

1) Menurut ulama Hanafiyah:


a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
c. Jika Musyaqoh rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.

16
2) Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqoh rusak sebelum penggarapan,
upah tidak berikan. Sebaliknya, apabila musyaqoh rusak setelah penggarap
bekerja atau pada pertengahan musyaqoh, penggarap berhak mendapatkan
upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
3) Ulama Hanifiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar
setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad
dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya
sebab dia telah kehilangan manfaat dari jeri payahnya dalam musyaqoh.

5. Habis Waktu Musyaqah


a. Menurut Ulama Hanafiyah
1. Habis waktu yang telah disepakati
2. Meninggalnya salah seorang yang akad
3. Membatalkannya, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
b. Menurut Ulama Malikiyah

Ulama malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat


diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan
garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.

Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri,


tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan
orang lain untuk bekerja. Jika tidak memilik modal, ia boleh mengambil
bagiannya dari upah yang diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama
Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat
dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan
sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.

c. Menurut Ulama Syafi’iyah

Ulam syafi’iayah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya


uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan
penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap

17
menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya,
tanggung jawab dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya
diambil dari harta penggarap.

Menurut ulama Syafi’iyah, musayaqah slesai jika habis waktunya.jika buah


kluar setelah habis waktu, penggarap tudak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika
akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan
meneruskan pekerjaanya.

Musyaqah dipandang btala jika penggarap meninggal, tetapitidak dianggap


batal jika pemiliknya meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai
mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli warisnya pun meninggal,
akad menjadi batal.

d. Menurut Ulama Hanabilah

Ulama hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah,


yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap
sisi dari musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak
buah , buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan
perjanjian awal waktu dan dengan catatan penggarap berkewajiban
menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.

Jika penggarap meninggal, musyaqah di pandang tidak rusak, tetapi dapt


diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh
dipaksa, tetappi hakim dapat menyuruh orang lainuntuk mengelolanya dan upah
diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi jika tidak memilki tirkah, upah
tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan ssehingga
musyaqah sempurna.

18
BAB III
KESIMPULAN

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian


antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh
terdapat beberapa definisi yang di kemukakan ulama’ fiqh. Kedua definisi ini
dalm kebiyasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah” penduduk Irak
menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi dalam al-mukhabrah, bibit yang akan
ditanam berasal dari pemilik tanah. Terjadi perbedaan pendapat para ulama’
dalam membahas hukum al-muzara’ah. Imam Abu Hanifah (80-150 H 699-767
M) dan Zulfar Ibnu Huzail (728-774 M), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa
akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah
belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang di jadikan imbalan untuk petani
adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah)
ukurannya, sehingga keu ntungan yang akan di bagi, sejak semula tidak jelas.
Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-jahalah inilah yang membuat akad ini
tidak sah. Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah tidak sah,
kecuali apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah (kerjasama pemilik
kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang
hasilnya nanti di bagi menurut kesepakatan bersama).

Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah adalah


pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Disyaratkan menentukan buah ketika
akad untuk kedua pihak. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika
disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama,
akad menjadi tidak sah. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan
menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad.

19
DAFTAR PUSTAKA

Nasrun, Haroen. 2007. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama.

Rachmad, Syafe’I. 2001. Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung.

20

Anda mungkin juga menyukai