FIQIH MUAMALAH
Disusun oleh:
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan alhamdulilah tepat pada
waktunya dengan judul “Muzaro’ah, Mukhabrah dan Musyaqah.” Makalah ini
kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Fiqih
Muamalah yang meliputi tugas kelompok.
Tiada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabarah?
2. Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?
3. Bagaimana rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabrah
2. Mengetahui yang dimaksud dengan Musyaqoh
3. Agar mengerti tentang rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh
4
BAB II
PEMBAHASAN
الشركة فى الزرع
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya
dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalm kebiyasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”
penduduk Irak menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi dalam al-mukhabrah, bibit
yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan penggarap tanah.
1
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.
5
Dalam al-mudhrabah bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap
tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari
pemilik.
Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah belum ada dan tidak
jelas kadarnya, karena yang di jadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian
yang belum ada (al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keu
ntungan yang akan di bagi, sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak
menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya.
Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-jahalah inilah yang membuat akad
ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah saw. Dengan penduduk Khaibar dalam
hadits yang di riwayatkan al-jama’ah (mayoritas pakar hadits), menurut mereka,
bukan merupakan akad al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-muqasamah,
yaitu ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali
panen dalam prosentase tertentu.
6
akad al-muzara’ah boleh di lakukan. Akad ini tidak berdiri sendiri, tetapi
mengikut pada akad al-musaqah.
Menurut mereka akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani
dengan pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan
tanahnya, sedangkan petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebab itu,
wajar apabila antara pemilik tanah persawahan bekerjasama dengan petani
penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka bagi sesuai dengan
kesepakatan bersama. Menurut ulama Malikiyah danHanabilah, akad seperti ini
termasuk dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah, 5:2 ynag berbunyi:
Bertolong-tolonganlah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan bertolong-
tolongan atas dosa dan permusuhan.
2. Rukun al-Muzara’ah
a) Pemilik tanah
b) Petani penggarap
7
c) Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul
(pernyataan menerima tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab qabul
itu adalah “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada kamu untuk di
garap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Kemudian petani penggarap
menawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk di garap dengan imbalan
hasilnya di bagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad itu telah sah
dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan
(qabul) al-muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga
dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.
3. Syarat-syarat al-Muzara’ah
Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak
menyetujui syarat tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah
boleh dilakukan antara muslim dengan non islam, termasuk orang murtad.
8
Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga
sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan
menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan
menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering,
sehingga tidak memungkinkan di jadikan tanah pertanian, maka akad al-
muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad
al-muzara’ah tidak sah.
Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad
sejak semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah
(sewa-menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh
sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini,
biasanya di sesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
9
di tanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, maupun
pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.
1) Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani,
sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka
hukumnya sah.
2) Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani
menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-
muzara’ah adalah manfaat tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
3) Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani,
sehingga yang menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka
akad al-muzara’ah juga sah.
4) Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta
kerja dari petani, maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, menentkan alat pertanian dari
pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak
boleh mengikut pada tanah. Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu
tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah adalah untuk
menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya
untuk menggarap tanah. Alat pertanian, menurut mereka, harus mengikut
kepada petani penggarap, bukan kepada pemilik tanah.
10
b) Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan
tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan
prosentase bagian masing-masing.
c) Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
d) Pengairan di laksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan di tempat masing-
masing. Apabila kebiasaan tanah itu diairi dengan air hujan, maka masing-
masing pihak tidak boleh dipaksa untuk mengairi tanah itu dengan melalui
irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya diairi melalui irigasi,
sedangkan dalam akad disepakati menjadi tanggung jawab petani, maka
petani bertanggung jawab mengairi pertanian itu dengan irigasi.
e) Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku
sampai panen, dan yang meninggal di wakili oleh ahli warisnya, karena
jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah-mengupah(al-ijarah) bersifat
mengikat kedua belah pihak dan boleh di wariskan. Oleh sebab itu,
menurut mereka, kematian salah satu pihak yang berakad tidak
membatalkan akad ini.
11
bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian
masing-masing.
2) Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang yang
berakad wafat, maka akad ini berakhir, karena mereka berpendapat bahwa
akad al-ijarah tidak boleh di wariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah itu dapat di
wariskan. Oleh sebab itu tidak berakhir dengan wafatnya salah satu pihak
yang berakad.
3) Adanya uzur dari salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun
dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad
al-muzara’ah itu. Uzur dimaksud antara lain adalah:
a. Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual,
karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini
harus dilaksanakan melalui campur tangan haki. Akan tetapi, apabila
tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah, tetapi belum layak panen, maka tanah
itu tidak boleh di jual sampai panen.
b. Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan
ke luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaanya.
B. MUSYAQAH
1. Arti, Landasan, Rukun dan Perbedaan dengan Mujaro’ah
a) Arti Musyaqoh
2
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm. 212
12
Artinya: Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggaran agar di
kelola dan hasilnya di bagi diantara keduanya.
b) Asas Legalitas
)من كانت له ارض فاليزرعها واليكريها بثلث البربع والبطعام (متفاق عليه
Artinya:
Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur ulama
(imam Malik,imam Syafi’I,dan imam Ahmad) memperbolehkan musyaqah yang
didasarkan pada muamalah rasulullah SAW bersama orang Khaibar.
1) Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam
musyaqah, ia harus di paksa,tetapi dalam mujara’ah, ia tidak boleh di
paksa.
2) Jika waktu musyaqah habis,akad di teruskan sampai berbuah tanpa
pemberian upah, sedangkan dalam mujara’ah. Jika waktu habis, pekerjaan
di teruskan dengan pemberian upah.
3) Waktu dalam musyaqah di tetapkan berdasarkan ihtisan, sebab dapat
diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam mujara’ah terkadang
tertentu.
13
4) Jika pohon di minta oleh selain pemilik tanah pengara di beri upah.
Sedangkan dalam mujara’ah jika di minta sebelum menghasilkan sesuatu
penggarap tidak mendapatka apa-apa.
2. Syarat-Syarat Musyaqoh
3. Rukun Musyaqoh
Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5, yaitu berikut ini:
3
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.
14
5) Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata
ijarah (sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad.
15
c. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban
penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.dan lain-lain.
3) Ulama syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam
membatasi pekerjaan penggarap di atas.dan menambahkan bahwa segala
pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan
pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
b) Hukum dan dampak musyaqah fasid.
Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persayaratan yang telah di
tetapkan syara’. Beberapa keadaan yang telah di tetapkan syara’.beberapa keadaan
yang dapat di katgorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah antara lain.
16
2) Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqoh rusak sebelum penggarapan,
upah tidak berikan. Sebaliknya, apabila musyaqoh rusak setelah penggarap
bekerja atau pada pertengahan musyaqoh, penggarap berhak mendapatkan
upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
3) Ulama Hanifiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar
setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad
dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya
sebab dia telah kehilangan manfaat dari jeri payahnya dalam musyaqoh.
17
menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya,
tanggung jawab dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya
diambil dari harta penggarap.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20