Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Muzara’ah adalah kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan
petani penggarap. Dasar hukum muzara’ah yaitu berdasarkan hadits riwayat bukhari dan
muslim. Rukun muzara’ah ada empat, yakni:pemilik tanah, Petani penggarap, Objek al–
muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani serta yang terakhir ijab dan
Kabul.
Dalam operasional bank Syariah, mudharabah merupakan salah satu bentuk akad
pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabahnya. Sistem dari mudharabah ini
merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Musaqah adalah transaksi dan pengairan. Dasar hukum musaqah berbeda-beda


oleh beberapa ulama. Rukun musaqah ada lima, yaitu: dua orang atau pihak yang
melakukan transaksi, tanah yang dijadika obyek musaqah, jenis usaha yang akan
dilakukan petani penggarap, ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah, shighat
(ungkapan) ijab dan kabul.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Saja Tentang Muzara’ah?
2. Apa Saja Tentang Mudharabah?
3. Apa Saja Tentang Musaqah?

1
BAB II
PEMBAHASAN
Muzara'ah, Mudharabah dan Musaqah
A. MUZARA’AH
1. Pengertian Muzara’ah
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian antara pihak
pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi
muzara’ah yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yakni:1
a. Menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan: Perserikatan dalam pertanian.
b. Ulama Hanabilah mendefinisikan: Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani
untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
c. Imam syafi’I mendefinisikan: Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil
pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam mukharabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah,
sedangkan dalam al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik. Jadi,
muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan
perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih
(bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerjasama ini bibit disediakan oleh
pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut al-mukharabah.
Antara muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun
perbedaannya ialah didalam musaqah tanaman telah ada tetapi memerlukan tenaga kerja
untuk memeliharanya. Di dalam musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga
kerja untuk memeliharanya. Di dalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya
masih harus digarap dahulu oleh penggarapnya.2
Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqih hukumnya
mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman
firman Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadist Nabi dari Ibnu
Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan: “Bahwasanya Rasulullah SAW,
memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa

1 Rahmat Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006)


2 Ibid

2
yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Dawud dan Nasa’i).

2. Dasar Hukum Muzara’ah


Dasar hukum Mukhabarah ini sama dengan dasar hukum yang
digunakan dalam Muzara’ah karena memang pada dasarnya keduanya tidak memiliki
perbedaan yang mendasar kecuali asal benihnya. Namun terdapat perbedaan pendapat
antar ulama terkait mukhabarah ini. dalam Fiqih Islami dijelaskan terdapat beberapa
ulama yang membolehkan, tapi ada juga yang melarang. 3 Ulama yang melarang
mukhabarah ini beralasan pada hadits dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim,
diantaranya: “Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak
mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan
sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu
berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. Melarang
paroan dengan cara demikian”. (HR.Riwayat Bukhari).
Sedangkan ulama yang memperbolehkan mukhabarah ini diperkuat pendapatnya
oleh Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi; mereka dikatakan telah mengambil alasan dari
hadis Ibnu Umar sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah
memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka
dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-
buahan maupun dari hasil pertahunan (palawija).” (HR.Riwayat Muslim)
Dalam Fiqhul Islami dijelaskan bahwa hadis yang melarang ini dimaksudkan
apabila penghasilan dari sebagian tanah diharuskan menjadi milik salah seorang diantara
keduanya (pemilik tanah atau penggarap). Karena orang-orang pada masa dahulu
memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang
lebih subur, persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui. Keadaan inilah yang
dilarang oleh Rasulullah lantaran pekerjaan yang demikian bukanlah dengan cara adil
dan insaf. Dalam Fiqih Islami tersebut pun juga menegaskan bahwa pendapat tersebut
dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang
banyak.4

3 Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008)

4 Ibid

3
3. Rukun Muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan
syarat yang harus dipenuhi, sehinggah akad dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut
mereka sebagai berikut:5
a. Pemilik tanah
b. Petani penggarap
c. Obejek al–muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani
d. Ijab dan Kabul

4. Syarat Muzara’ah
Adapun syarat- syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:6
a. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah balig dan berakal.
b. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehinggah benih yang
akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
c. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
1) Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan.
Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehinggah tidak memungkinkan untuk
dijadikan tanah pertania, maka akad muzara’ah tidak sah.
2) Batas – batas tanah itu jelas.
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan
bahwa pemilik tanah ikut mengelolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
d. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
1) Pembagian hasil panen bagi masing – masing pihak harus jelas.
2) Hasil itu benar – benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada
pengkhususan.
3) Pembagian hasil panen itu ditentukan : setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak
daria awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan
penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu
kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen
jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

5 Sa’adi Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV, 2009
6 Locit

4
e. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula,
karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa–menyewa atau
upah–mengupah) dengan imbalan sebagai hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan
adat setempat. Untuk obyek akad, jumhur ulama yang memperbolehkan al –
muzara’ah, masyarakat juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehinggah benih yang
akan ditanam datangnya dari pemilik tanah,maupun pemanfaatan tanah, sehingga
benihnya dadri petani.7

5. Muzara’ah Dalam Zakat


Dalam hal ini Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang
yang punya benih, maka dalam muzara’ah yang wajib membayar zakat ialah si pemilik
tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Dan juga dalam mukhabarah yang wajib zakat ialah si penggarap (petani), karena dialah
hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya. Jikalau benih berasal dari keduanya maka zakat diwajibkan kepada keduanya
jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua. Adapun pendapat para ulama dalam
zakat muzaraah ini yaitu, Menurut Yusuf Qaradhawi, jika pemilik itu menyerahkan
penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau
setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian
pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Dan jika bagian salah seorang cukup
senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki bagian
yang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat.

6. Hikmah Muzara’ah
Ada beberapa hikmah muzara’ah diantaranya adalah:8
a. Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan
penggarap.
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan
bertani, tetapi tidak memiliki tanah garapan.

7 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006


8 Ibid

5
B. MUDHARABAH
1. Pengertian Mudharabah
Pengertian Mudharabah adalah suatu akad kerja sama untuk suatu usaha antara
dua belah pihak dimana pihak yang pertama (shahibul maal ) menyediakan seluruh
modalnya dan sedangkan pihak yang lain menjadi pengelolanya. Keuntungan dari
usahanya tersebut secara Mudharabah akan dibagi hasilnya menurut kesepakatan yang
telah disepakati pada perjanjian awal, dan apabila usaha tersebut mengalami kerugian
maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pihak pemodal selama kerugian tersebut
bukan disebabkan kelalaian pengelola modal. Dan jika kerugian tersebut disebabkan
karena kecurangan atau kelalaian pengelola modal, maka pengelola modal yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang telah dialaminya.9
Pengertian mudharabah secara definisi adalah suatu bentuk perniagaan di mana
pemilik modal (shahibul maal) menyetorkan modalnya kepada seorang pengusaha yang
sering disebut dengan ( mudharib ), untuk diniagakan dengan keuntungan yang akan
dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan terdapat
kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal jika disebabkan olehnya, dan jika
disebabkan oleh pengelola modal maka pengelola modal yang harus menanggung
kerugian tersebut. Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan
prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle), dilakukan sekurang-
kurangnyaoleh dua pihak, dimana yang pertama memiliki dan menyediakan modal,
disebut shohibul maal, sedang ke dua memiliki keahlian dan bertanggung jawab atas
pengelolaan dana / menejemen usaha halal tertentu, disebut mudhorib.10

2. Landasan Syari’ah Al-Mudharabah


Landasannya tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu:11
a . Al-Qur’an
‫ر ذ‬
‫ض ِوذٱربت ذغقففواَ ا ِ إ‬
ِ‫مففن‬ ‫شقرواَ ِفإففيِ ِٱلأرر إ‬
‫صل ذووة ق ِفذٱنت ذ إ ا‬ ‫ت ِٱل ص‬ ‫ضي ذ إ‬‫فذإ إذذاَ ِقق إ‬
‫ه ِك ذإثيرراَ ِل صعذل صك ق رم ِت قرفل إ ق‬ ‫ر‬
ِ ١٠ِ ‫ن‬ ‫حو ذ‬ ‫ل ِٱلل صهإ ِوذٱذك ققرواَ ا ِٱلل ص ذ‬
‫ض إ‬ ‫فذ ر‬

9 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006


10 Ibid
11 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006

6
Artinya: apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung. (al-Jumu’ah: 10)
Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang
dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari yang diperbolehkannya mudharabah.
Kandungan ayat-ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah
dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk
mencari keutamaan Allah.
b . Al-Hadits

{ ‫ كضضان سضضيدنا العبضضاس بضضن عبضضد الطملضضب إذا دفضضع الضضال مضضضاربة‬: ‫روى ابضضن عبضضاس رضضضي ال ض عنهمضضا انضضه قضضال‬

‫اشضتطر على صضاحبه أن ليسلك بضه بضرحا ولينضزل بضه واديضا ول يشضتى بضه دابضة ذات كبضد رطبضة فإن فعضل ذلضك‬

‫}ضمن فبلغ شرحطه رسول ال صلى ال عليه و سلم فأجازه ن‬


Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib “jika
memberikam dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya
tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berdahaya, atau membeli ternak.
Jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana
tersebut.
c. Ijma
Imam Zailai telah memyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap
legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.

3. Rukun Mudharabah
Menurut ulama syafifiyah, rukun qiradh atau mudharabah ada enam, yaitu:12
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
3. Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan mengelola barang.
4. Mall, yaitu harta pokok atau modal
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6. Keuntungan
Menurut pasal 232 kompilasi hukum ekonomi syariah, rukun mudharabah ada 3 yaitu:

12 Sritua Arief, Pembangunan dan Ekonomi Indonesia; Pemberdayaan Rakyat dalam Arus
Globalisasi, Wacana Mulia, Bandung, 1998

7
1. shahib al-mal/pemilik modal
2. mudharib/ pelaku usaha
3. akad

4. Jenis-Jenis Al-Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:13
1. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara penyedia modal (shahibul
maal) dan pengelola modal (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah yang akan digunakan untuk
usahanya.

2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah atau
specified mydharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, yaitu mudharib
dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usahanya. Dengan adanya
pembatasan tersebut seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal
dalam memasuki jenis dunia usahanya.

5. Syarat Mudharabah
Syarat Mudharabah adalah sebagai berikut:14
1. modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu
berbentuk emas atau perak batangan, maka emas hiasan atau barang dagangan
lainnya, mudharabah tersebut batal.
2. Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasaruf, maka
dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang yang
dibahwah pengampunan.
3. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara mdoal yang
diperdagangkan dan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan
dibagikan kepada kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah
disetujui.

13 Ibid
14 Locit

8
4. Keunungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas
persentasinya, umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.
5. Melaadzkan ijab dari pemilik modal, misalnyaaku serahkan uang ini padamu
untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
6. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk
berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada
waktu tertentu. Sementara diwaku lain tidak terkena persyaratan yang mengikat
sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam
mudharabah ada persyaratan – persyaratan maka mudharabah itu menjadi rusak
menurut pendapat imam syafi’i dan imam malik, adapun menurut abu hanifah dan
ahmad ibnu hambal, mudharabah tersebut sah.

C. MUSAQAH
1. Pengertian Musaqah
Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang
oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. 15 Secara terminologi, musaqah
didefinisikan oleh para ulama fiqih sebagai berikut:16
a. Menurut Abdurrahman al-jaziri,musaqah ialah: Akad untuk pemeliharaan pohon
kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
b. Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, musaqah ialah: Penyerahan
sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa
petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
c. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan,musaqah ialah: Memperkerjakan petani
penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi
dan merawatnya, dan hasilkurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik
dan petani yang menggarap.
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik
kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itiu dipelihara dan dirawat
sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, sesuatu yang dihasilkan pihak
kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat.17
15 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006

16 Ibid

17 Ibid

9
Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun
untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti
ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu. Menurut kebanyakan ulama,
hukum musaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasullullah saw yang
artinya: “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan kebun beliau
kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari pengahasilannya, baik dari buah–buahan maupun hasil tanamannya”.
( HR. Muslim ).18

2. Dasar Hukum Musaqah


Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah
adalah:19
a. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah–buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
b. Dari Ibnu Umar: “Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan
tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari
harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
syara’. Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a. Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d. Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap.
e. Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian.
f. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
g. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h. Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada
penggarap lainnya.20

18 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006


19 Rahmat Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006)
20 Ibid

10
3. Rukun Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah
adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, Kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan
dari pihak penggarap.Adapun Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun musaqah ada lima, yaitu:21
a. Dua orang atau pihak yang melakukan transaksi.
b. Tanah yang dijadika obyek musaqah.
c. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
d. Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah.
e. Shighat (ungkapan) ijab dan Kabul22

4. Syarat Musaqah
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai
berikut:23
a. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap
bertindak hukum, yakni dewasa (akil baliq) dan berakal.
b. Obyek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam
penentuan obyek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut
ulama Hanafiyah, yang boleh menjadi obyek musaqah adalah pepohonan yang
berbuah ( boleh berbuah ), seperti kurma, anggur, dan terong. Akan tetapi, ulama
Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan yang
tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah,
menyatakan bahwa yang menjadi obyek musaqah itu adalah tanaman keras dan
palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur dengan syarat bahwa:
1) Akad musaqah itu dilaksanakan sebelum buah itu layak dipanen.
2) Tenggang waktu yang ditentukan jelas.
3) Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Menurut ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan obyek musaqah adalah terhadap
tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu,musaqah tidak berlaku
terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.

21 Abdul Rahman Ghazaly, ,Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1
22 Ibid
23 Abdul Rahman Ghazaly, ,Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1

11
Adapun ulama Syafi’iya berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek akad
musaqah adalah kurma dan anggur saja, sebagaimana sabda Rasullullah saw:
“Rasulullah saw. menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi
dengan ketentuan sebagian dari hasilnya, baik buah–buahan mmaupun dari biji – bijian
menjadi milik orang Yahudi itu”.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung
untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
d. Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai
dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga, dan sebagainya. Menurut
Imam Syafi’I yang terkuat, sah melakukan perjanjian musaqah pada kebun yang telah
mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat dipastikan akan baik (belum matang).
e. Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa
-menyewa agar terhindar dari ketidakpastian.
Menurut para ulama fiqh, akad musaqah berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b. Salah satu pihak meninggal dunia.
c. Ada unzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.24
Unzur yang mereka maksudkan dalam hal ini diantaranya adalah petani
penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu
sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani yang wafat, maka ahli
warisnya boleh melanjutkan akad itu jiaka tanaman itu boleh dipanen. Adapun jika
penilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua
belah pihak yang berakad meninggal duniia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih
antara meneruskan atau menghentikannya.25

5. Hikmah Musaqah
Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan pohon–
pohon yang lain, tetapi di tidak mampu menyirami (memelihara) pohon ini karena ada
suatu halangan yang menghalanginya. Maka Allah Yang Maha Bijaksana meperbolehkan
orang itu untuk mengadakan suatu perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya,
yang masing-masing mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada
dua hikmah:

24 Abdul Rahman Ghazaly, ,Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1
25 Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008)

12
1. Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang – orang miskin sehingga dapat
mencukupi kebutuhannya.
2. Saling tukar manfaat antar manusia.
Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemelihara telah
berjasa merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau seandainya pohon itu dibiarkan
begitu saja tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari
adanya ikatan cinta, kasih saying, antara sesama manusia, maka jadilah umat ini umat
yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung
faedah yang besar.26

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

26 Abdul Rahman Ghazaly, ,Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1

13
Pengertian Muzara’ah adalah kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik
tanah dan petani penggarap. Dasar hukum muzara’ah yaitu berdasarkan hadits riwayat
bukhari dan muslim. Rukun muzara’ah ada empat, yakni:pemilik tanah, Petani
penggarap, Objek al–muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani serta
yang terakhir ijab dan Kabul. Syarat muzaraa’ah menyangkut empat aspek yakni syarat
orang, syarat benih, syarat tanah, syarat hasil, dan syarat waktu.
Pengertian Mudharabah adalah suatu akad kerja sama untuk suatu usaha antara
dua belah pihak dimana pihak yang pertama (shahibul maal ) menyediakan seluruh
modalnya dan sedangkan pihak yang lain menjadi pengelolanya. Keuntungan dari
usahanya tersebut secara Mudharabah akan dibagi hasilnya menurut kesepakatan yang
telah disepakati pada perjanjian awal, dan apabila usaha tersebut mengalami kerugian
maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pihak pemodal selama kerugian tersebut
bukan disebabkan kelalaian pengelola modal. Dan jika kerugian tersebut disebabkan
karena kecurangan atau kelalaian pengelola modal, maka pengelola modal yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang telah dialaminya
Musaqah adalah transaksi dan pengairan. Dasar hukum musaqah berbeda-beda
oleh beberapa ulama. Rukun musaqah ada lima, yaitu: dua orang atau pihak yang
melakukan transaksi, tanah yang dijadika obyek musaqah, jenis usaha yang akan
dilakukan petani penggarap, ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah, shighat
(ungkapan) ijab dan kabul. Syarat musaqah ada lima aspek yakni: syarat orang, syarat
objek, syarat tanah, syarat hasil, syarat waktu.

B. SARAN
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan, olehnya itu kami memohon kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya.
.

DAFTAR PUSTAKA

Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008)

14
Rahmat Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006)
Sa’adi Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV, 2009
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
Abdul Rahman Ghazaly, ,Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1
Sritua Arief, Pembangunan dan Ekonomi Indonesia; Pemberdayaan Rakyat dalam Arus
Globalisasi, Wacana Mulia, Bandung, 1998

15

Anda mungkin juga menyukai