Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian merupakan hal yang lumrah dalam bermuamalah. Sebagai mahluk social,
manusia tidak bias lepas dari kewajiban memenuhi kebutuhannya. Dalam memenuhi
kebutuhan, manusia tidak dapat memenuhinya secara pribadi sehingga menuntut untuk
berhubungan dengan orang lain yang dibatasi oleh hakdan kewajiban masing-masing
sesuai dengan kesepakatan. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal
sehingga diaturlah mengenai akd-akad yang cukup jelas aturannya sehingga dapat
diimplementasikan setiap saat.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang digunakan dalam bertransaksi
sangat beragam sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Seperti
contoh akad kerja sama dalam bidang pertanian yang dalam pelaksanaannya terdiri dari
macam-macam istilah. Dalam akad kerja sama dalam bidang pertanian terdiri atas
Musaqah, Muzaraah dan Mukhabara. Maka dari itu dalam makalah ini kami akan
mencoba menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad kerja sama dalam
bidang pertanian dan hubungan-hubungan antara pemilik tanah dan pengelola.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas, maka penulias akan
memberikan pemaparan rumusan masalah yang akan dibahas dan diteliti serta
dirumuskan dalam pernyataan tersebut.
1.
2.
3.
4.
5.

Apa pengertian dari Musaqah, Muzaraah, dan Mukhabarah?


Jelaskan dasar hukum dari Musaqah, Muzaraah dan Mukhabarah?
Apakah Rukun dan Syarat dari Musaqah, Muzaraah dan Mukhabarah?
Sebutkan macam-macam dari Musaqah, Muzaraah dan Mukhabarah?
Jelaskan ketentuan yang saling terkait antara Musaqah, Muzaraah dan

Mukhabarah?
6. Jelaskan apa saja yang dapat mempengaruhi berakhirnya Akad Musaqah,
Muzaraah dan Mukhabarah?
7. Bagaimana Aplikasi Lembaga Keuangan Syariah pada saat ini dalam Akad
Musaqah, Muzaraah dan Mukhabarah?
1

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan permasalahan yang akan diteliti diatas, tujuan dari penulisan
makalah ini yaitu :
1. Untuk memahamai penerapan, dasar hokum, rukun dan syarat Musaqah,
Muzaraah dan Mukhabarah
2. Untuk mengetahui macam-macam, ketentuan yang terkait dengan musaqah,
muzaraah, dan mukhabarah
3. Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi berakhirnya kerja sama atas lahan
pertanian di akad musaqah, muzaraah, dan mukhabarah
4. Untuk mengetahui pengaplikasiannya di Lembaga keuangan syariah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Akad Musaqah
1. Pengertian Akad Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada
pohon tama, anggur(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya
supaya

mendatangkan

kemaslahatan

dan

mendapatkan

bagian

tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.


Menurut istilah, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama,
sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman al-Jaziri, sebagai berikut:
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, al-musaqah ialah:


Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian) dan
yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu
Menurut Malikiyah, al-musaqah ialah:


Sesuatu yang tumbuh ditanah
Menurut Syafiiyah, yang dimaksud al-musaqah ialah:




Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur
kepada orang lain untuk kesenangan keduanya denagan menyiram,
3

memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu


dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut
Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah, almusaqah ialah:



Memperkerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram
dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk
mereka berdua.
Setelah diketahui definisi-definisi yang dikemukakan oleh para
ahli diatas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan almusaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara
pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.
2. Dasar hukum Musaqah
Menurut kebanyakan Ulama, hukum dari musaqat ini adalah
mubah atau boleh. Dasar hukum mubahnya adalah hadits Nabi yang
memperkerjakan penduduk Khaibar seperti yang disebutkan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibn Amr r.a.,
baha Rasulullah Saw bersabda:




Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan,
baik buah-buahan maupun pertanian(tanaman). Pada riwayat lain
dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada
Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya
untuk Nabi.
4

3. Rukun dan Syarat Musaqah


Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi rukun dari Musaqah itu
hanyalah Ijab dari pemilik tanah dan Qabul dari pihak penggarap.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada Ijab Qabul dengan
pekerjaan, akan tetapi harus dengan Lafadz. Sedangkan Ulama
Hanabilah,

berpendapat

bahwa

Qabul

dalam

Musaqah

tidak

memerlukan lafadz, akan tetapi cukup dengan menggarapnya. Namun


Jumhur

Ulama bersepakat , bahwa rukun-rukun Musaqah ada lima,

yakni:
a. Aqidani, yaitu dua pihak yang melakukan akad Musaqah
b. Obyek musaqah, yakni lahan yang akan digarap
c. Jenis tanaman atau buah-buahan
d. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan dan jangka waktu
pekerjaan
e. Shighat, (ungkapan ijab dan qabul baik tertulis maupum lisan)
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a. Kedua pihak yang melakukan akad musaqah harus orang yang
cakap dalam melakukan tindakan hukum , yaitu harus berakal
dan baligh
b. Obyek musaqah harus berupa pepohonan yan berbuah dan
harus pula jelas sifatnya
c. Dapat

diserahkan

sepenuhnya

kepada

pihak

penggarap

setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur


tangan dengan pemiliknya

d. Hasil ( buah yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak


mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka
buat).
4. Macam-macam Musaqah
a. Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada
hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan
kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman)
membawa hasil yang baik.
b. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya (hanya mengairi)
tanpa

ada

tanggung

jawab

untuk

mencari

air

maka

pemiliknyalah yang berkewajiban member fasilitas pengairan.


5. Ketentuan-ketentuan Musaqah1:
a. Pemilik lahan wajib menyerahkan tanaman kepada pihak
pemelihara
b. Pemelihara

wajib

memelihara

tanaman

yang

menjadi

tanggungjawabnya
c. Pemelihara tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk
melakukan pekerjaan
d. Pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan
secara pasti dalam akad.
e. Pemeliharaan tanaman wajib mengganti kerugain yang timbul
dari pelaksanaan tugasnya jika kerugian tersebut disebabkan
oleh kelalaiannya
6. Berakhirnya akad Musaqah
Menurut golongan Hanafiyah berpendapat bahwa, berakhirnya
akad musaqah disebabkan karena tiga hal:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis
b. Salah satu pihak yang akad meninggal dunia
c. Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh
melanjutkan akad
Mengenai udzur, para ulama berbeda pendapat tentang apakah
akad musaqah itu dapat diwarisi atau tidak :
1 Dr.Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta:Kencana,201) hal. 243
6

a. Ulama golongan Malikiyah, berpendapat bahwa akad Musaqah


adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal
dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari
pihak petani.
b. Ulama golongan Syafiiyah, berpendapat bahwa akad Musaqah
tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani
penggarap

mempunyai

halangan,

maka

wajib

petani

penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan


pekerjaan itu.
c. Ulama golongan

Hanabilah,

berpendapat

bahwa

akad

Musaqah sama dengan akad Muzaraah yaitu akad yang tidak


mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masingmasing pihak boleh membatalkan akad itu, jika pembatalan itu
dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua
antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan
yang telah ada.

B. Akad Muzaraah dan Mukhabarah


1. Pengertian Akad Muzaraah dan Mukhabarah
Secara

etimologi,

Muzaraah

merupakan

bentuk

wazan

mufaalatun dari akar kata ajjaru masdar dar jaraa, yang


mempunyai

arti

al

inbatu

(menumbuhkan).

Dengan kata

lain,

muzaraah yaitu akad atas tanaman dengan beberapa pihak yang lain.
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi dari
para ulama, yaitu:
a. Ulama golongan Malikiyah mendefinisikan muzaraah dengan:


Kerja sama dalam pertanian.
b. Ulama golongan Hanabilah mendefiniskan muzaraah dengan:


Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk
digarap dan hasilnya dibagi berdua(paroan).
c. Ulama golongan Syafiiyah mendefinisikan muzaraah dengan:


Pengolahan

tanah

oleh

petani

dengan

imbalan

hasil

pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap


tanah
Dalam penyebutannya penduduk Irak biasa menyebut Muzaraah
dengan Mukhabarah, jadi menurut mayoritas ulama keduanya
memiliki pengertian yang sama. Dalam pembahasan ini, muzaraah
dan mukhabarah memiliki pengertian yang sama, yang menjadi
pembeda hanyalah sebatas masalah asal usul bibit pertanian,
dimana pada muzaraah bibit berasal dari pemilik lahan, sedangkan
pada mukhabarah bibit berasal dari pengolahan lahan(petani).
2. Dasar hukum Mukhabarah dan Muzaraah
Dasar

hukum

yang

ditetapkan

oleh

menerapkan mukhabarah dan muzaraah

para

ulama

dalam

ialah melalui sebuah

periwayatan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas r.a :



( )

Sesungguhnya

Nabi

Saw.

Menyatakan

tidak

mengharamkan

bermuzaraah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian


menyayangi yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki
tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya
kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja
tanah itu.
8

Sedangkan menurut Jumhur Ulama ahli fiqih, yang diantaranya


yaitu : Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan ( golongan Hanafiyah ),
Malik,

dan

Dauh

Adh-Dahiri,

berpendapat

bahwa

muzaraah

hukumnya adalah boleh. Mereka menggunakan dalil hadis Nabi Saw.


Dari ibn Umar, bahwa Nabi Saw. Pernah melakukan kerja sama
dengan penduduk Kahibar untuk menggarap tanah dengan imbalan
pembagian hasil dari buah-buahan atau tanaman (HR. Jamaah)
Akad Muzaraah merupakan akad syirkah (kerja sama) antara
modal dan pekerjaan, seperti halnya diperbolehkannya atas akad
mudharabah, karena hal itu merupakan kebutuhan manusia.
3. Rukun dan Syarat Muzaraah / Mukhabarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun muzaraah yaitu ijab dari
pemilik tanah dan qabul dari pengelola tanah. Sedangkan menurut
Jumhur Ulama, yang memperbolehkan muzaraah, ada empat rukun
yang harus dipenuhi, agar muzaraah menjadi sah, yaitu :
a.
b.
c.
d.

Pemilik lahan atau tanah


Petani atau penggarap
Objek muzaraah (antara manfaat lahan dan hasil kerja petani)
Ijab dan qabul, secara sederhana cukup secar lisan akan tetapi
menurut ulama Hanabila, Qabul tidak harus berupa lisan,
namun

dapat

juga

berupa

tindakan

langsung

dari

si

penggarap.
Sedangkan syarat-syarat yang berkaitan dengan muzaraah,
ada yang berkaitan dengan Aqid(orang yang berakad), benih yang
ditanam, tanah pertanian, hasil yang akan dipanen, tanah yang akan
diolah,

tempat

terjadinya

akad,

alat

yang

digunakan

untuk

pengolahan, dan jangka waktu pengolahan.


a. Syarat yang berkaitan dengan Aqid(pihak yang berakad), yaitu
pemilik dan petani haruslah berakal dan baligh.
b. Syarat yang berkaitan dengan benih yang akan ditanam,
disyaratkan harus jelas, jenis buah atau tanaman yang akan
ditanam dan dapat menghasilkan.
9

c. Syarat yang berkaitan dengan hasil yang akan dipanen adalah:


a) Pembagian hasil panen pada masing-masing pihak harus
jelas dan ditentukan pada awal akad.
b) Hasil panen itu harus benar-benar milik bersama orang
yang berakad, tanpa ada pengkhususan.
c) Pembagian hasi panen itu ditentukan

setengah,

sepertiga atau seperempat, yang ditentukan pada awal


terjadinya akad.
d) Penentuan hasil panen tidak boleh berdasarkan jumlah
tertentu secara mutlak antara kedua belah pihak.
d. Syarat yang berkaitan dengan tanah, yang akan diolah yaitu:
a) Tanah yang akan diolah sifat tanahnya harus baik untuk
diolah dan dapat menghasilkan.
b) Tanah yang akan diolah jelas sifatnya
c) Tanah yang akan diolah itu diserahkan sepunuhnya
kepada pihak pengolah untuk diolah.
e. Syarat yang berhubungan dengan tempat terjadinya akad.
f. Syarat yang berhubungan dengan alat yang digunakan untuk
pengolahan,

yakni

haruslah

berupa

hewan

yang

bisa

menggarap tanah ataupun dengan menggunakan alat-alat


modern.
g. Syarat yang berhubungan dengan jangka waktu pengolahan,
haruslah jelas waktunya, dan penentuannya terjadi pada
waktu akad dilaksanakan.
4. Bentuk-bentuk Muzaraah/ Mukhabarah
a. Muzaraah yang terlarang
a) Suatu bentuk akad(perjanjian)

yang

menetapkan

sejumlah hasil tertentu yang harus diberikan kepada


pemilik tanah, yaitu suatu syarat yang menentukan
bahwa apapun hasilnya yang diperoleh, pemilik tanah
tetap akan menerima 5 atau 10 maund dari hasil panen.
b) Apabila hanya bagian-bagian tertentu dari lahan itu yang
diproduksi, misalnya bagian utara atau bagian selatan
dan lain sebagainya, maka bagian-bagian tersebut
diperuntukan bagi pemilik tanah.
c) Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil
tanah, tapi 1 pihak menyediakan bibit dan yang lainnya
alat-alat pertanian.
10

d) Perjanjian pengolahan menetapkan tenaga kerja dan


tanah menjadi tanggung jawab pihak pertama dan benih
serta alat-alat pertanian pada pihak lainnya.
e) Bagian seseorang harus ditetapkan dalam

jumlah,

misalnya 10 atau 20 maunds gandum untuk 1 pihak dan


sisanya untuk pihak lain.
f) Ditetapkan jumlah tertentu dari hasil panen yang harus
dibayarkan kepada 1 pihak selain dari bagiannya dari
hasil tersebut.
b. Muzaraah yang dibolehkan
a) Perjanjian kerja sama dalam pengolahan, dimana tanah
milik satu pihak, dan peralatan pertanian, benih dan
tenaga kerja dari pihak lain, keduanya menyetujui bahwa
pemilik tanah akan memperoleh bagian tertentu dari
hasil.
b) Apabila tanah peralatan pertanian dan benih semuanya
dibebankan kepada pemilik tanah sedangkan hanya
buruh yang dibebankan kepada petani, maka harus
ditetapkan pemilik tanah mendapat bagian tertentu dari
hasil.
c) Perjanjian dimana tanah dan benih dari pemilik tanah
sedangkan peralatan pertanian dan buruh adalah dri
petani

dan

pembagian

dari

hasil

tersebut

harus

ditetapkan secara proporsional.


5. Ketentuan Muzaraah2
a. Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap
kepada pihak yang akan menggarap.
b. Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia
menggarap lahan yang diterimanya.
c. Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik
lahan

bila

pengelolaan

yang

dilakukan

menghasilkan

keuntungan.
d. Akad muzaraah dapat dilakukan secara mutlak atau terbatas

2 . Dr.Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta:Kencana,201) hal. 241-242


11

e. Jenis benih yang akan ditanam dalam muzaraah terbatas


harus dinyatakan secara pasti dalam akad, dan diketahui oleh
penggarap
f. Penggarap bebas memilih jenis benih tanaman untuk ditanam
dalam akad muzaraah mutlak
g. Penggarapa wajib memperhatikan dan mempertimbangkan
kondisi lahan, keadaan cuaca, serta cara yang memungkinkan
untuk mengatasinya menjelang musim tanam.
h. Penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada
pemilik lahan dalam akad muzaraah mutlak
i. Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan
mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh
masing-masing pihak.
j. Penyimpangan yang

dilakukan

penggarap

dalam

akad

muzaraah, dapat mengakibatkan batalnya akad itu.


k. Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang
melakukan pelanggaran, menjadi milik pemilik lahan.
l. Dalam hal penggarap melakukan pelanggaran, pemilik lahan
dianjurkan untuk memberikan imbalan atas kerja yang telah
dilakukan penggarap.
m. Penggarap berhak melanjutkan

akad

muzaraah

jika

tanamannya belum layak dipanen, meskipun pemilik lahan


telah meninggal dunia.
n. Ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerja sama
muzaraah yang dilakukan pihak yang meninggal sebelum
tanaman pihak penggarap bisa dipanen.
o. Hak penggarap lahan dapat dipindahkan
diwariskan

bila

penggarap

meninggal

tanamannya bisa dipanen.


p. Ahli waris penggarap berhak

untuk

dengan

dunia,

cara

sampai

meneruskan

atau

membatalkan akad muzaraah yang dilakukan oleh pihak yang


meninggal.
6. Berakhirnya akad muzaraah dan mukhabarah
a. Apabila jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah
berakhir.

Namun,

bila

jangka

waktunya

sudah

habis,

sedangkan belum layak panen, maka akad muzaraah tidaklah


12

batal melainkan tetap dilanjutkan setelah panen dan hasilnya


dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
b. Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad.
Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah bila salah satu dari
dua pihak tadi wafat maka akd muzaraah ini dianggap batal,
baik sebelum atau sesuadah dimulai proses penanaman.
Namun Malikiyah dan Syafiiyah memandangnya tidak batal.
c. Berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan
adanya berbagai halangan atu unsur, seperti :
a) Pemilik tanah terlibat hutang sehingga tanah tersebut
harus dijual
b) Petani uzur,
bepergian

dikarenakan

jauh

yang

sakit

atau

menyebabkan

sedang
dia

tidak

dalam
dapat

melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai petani.


7. Macam-macam muzaraah dan mukhabarah
a. Tanah dan bibit berasal dari satu pihak, sedangkan pihak
lainnya menyediakan alat juga melakukan pekerjaan.
b. Tanah disediakan oleh satu pihak, sedangkan alat, bibit, dan
pekerjaannya disediakan oleh pihak lain.
c. Tanah, alat, dan bibit disediakan oleh pemilik sedangkan
tenaga dari pihak penggarap.
d. Tanah dan alat disediakan oleh pemilik sedangkan benih dan
pekerjaan dari pihak penggarap.
8. Perbedaan musaqah dan muzaraah
a. Dalam musaqah, apabila salah satu pihak tidak berkenan
untuk melaksanakan hal-hal yang telah disetujui dalam aqad,
maka

pihak

yang

bersangkutan

boleh

dipaksa

untuk

melanjutkan kesepakatan tersebut. Sedangkan dalam akad


muzaraah, apabila pemilik benih memutuskan akasd sebelum
benih ditanam, maka ia tidak boleh dipaksa meneruskan,
13

karena akan menimbulkan dharurat bila diteruskan. Lebih dari


itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan akad
muzaraah

adalah

akad

ghairu

lazim

(tidak

mengikat).

Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditaman.


b. Apabila masa musaqah sudah habis, maka akad tetap
berlangsung

tanpa

upah,

dan

penggarap

menunaikan

pekerjaannya kepada pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan


dalam muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya
dengan ujrah mitsl, karena bolehnya menyewakan tanah dan
menggarapya pada muzaraah
c. Dalam musaqah, jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah,
penggarap diberi upah. Sedangkan muzaraah, jika diminta
sebelum

menghasilkan

sesuatu,

penggarap

tidak

mendapatkan apa-apa.
d. Dalam musaqah lebih baik jika tidak disebutkan masa
akadnya, cukup hanya dengan mengetahui waktunya menurut
adat kebiasaan. Berbeda dengan menanam, karena wktu
panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari perkiraan.
Sedangkan muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal
mazhab Hanafi. Ualama lain tidak mensyaratkan hal ini.
C. Aplikasi akad Musaqah, Muzaraah, dan Mukhabarah dalam LKS
Kondisi masyarakat sekarang dapat memungkinkan tidak adanya
keadilan dan distribusi bagi hasil dikarenakan sifat dasar manusia yang
mencari untung yang sebesar-besarnya tanpa diimbangi dengan usaha
yang maksimal pula. Dibutuhkan kepercayaan antar pemillik modal
dan penggarap juga kejujuran, keadilan, agar tidak terjadi diskriminasi
antara pemilik lahan dan penggarap. Kejujuran dalam hal ini adanya
keterbukaan cara pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan
jumlah hasil yang didapat dan tidak saling menyalahkan.

14

Pemaparan mengenai akad kerja sama dalam bidang pertanian


tidak jauh dari prinsip Tijarah (mencari keuntungan) dnegan ketidak
pastian keuntungan yang akan diperoleh. Dalam lembaga keuangan
syariah, pendanaan dan pembiayaan jasa perbankan, akad musaqah,
muzaraah dan mukhabarah termasuk bagian dari prinsip profit
sharing. Pola bagi hasil yang diterapkan dalam Lembaga Keuangan
Syariah seperti akad Mudharabah dan Musyarakah tidaklah jauh dari
akad perjanjain atas lahan pertanian. Perbedaan utama hanyalah pada
objek yang digunakan dalam berakad, rasio bagi hasil yang tergantung
dari distribusi jasa atupun modal.
Menurut pemakalah, akad perjanjian atas lahan pertanian ini
merupakan gabungan dari akad mudharabah dan musyarakah. Dalam
perjanjian mudharabah pada umumnya diasumsikan bahwa pengelola
tidak itkut menanamkan modalnya tetapi hanya bertanggung jawab
dalam menjalankan usaha, sedangkan modal seluruhnya berasal dari
pemodal. Namun demikian, ada kemungkinan bahwa pengelola juga
ingin menginvestasikan dananya dalam usaha mudharabah ini. Pada
kondisi seperti ini musyarakah dan mudharabah digabung dalam satu
akad. Dalam perjanjian ini, pengelola akan mendapatkan bagian
nisbah bagi hasil dari modal yang diinvestasikan sebagai mitra usaha,
dan mendapatkan pula bagian nisbah bagi hasil dari hasil kerjanya
sebagai pengelola.3
Contoh yang daterapkan dalam lembaga keuangan syariah yaitu
seorang nasabah (shahibul maal) yang menginvestasikan hartanya di
lembaga keuangan dan menginginkan agar dananya di kembangkan di
sector pertanian dan agribisnis atau perkebunan. Kemudian lembaga
keuangan syariah (mudahrib) yang diamanatkan, menyalurkan dana
investasi tersebut di pengolah agribisnis. Hasil dari perkembunan atau
pertanian tersebut, hasilnya di bagi dua oleh lembaga keuangan dan
pengolah lahan sesuai dengan rasio nisbah hasil yang ditentukan di
3 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta:Rajawali Pres,2011) hal.74
15

awal akad. Dalam hal ini akad yang diterpkan yaitu akad mudharabah
karena pemodal tidak ikut campur tangan dalam pengelolaan lahan.

BAB III
KESIMPULAN

16

Anda mungkin juga menyukai