Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQIH

MUSYAQAH, MUKHABARAH & MUZARA'AH


Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu mata kuliah Fiqih

Dosen pengampu: Hilman

Disusun oleh:
 Dini Nuraeni
 Lusi Nurjanah
 M. Faiz Abdillah
 Irgi Ihsan Kurnia

KELAS I F (PAI)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang maha kuasa, karena berkat Inayah
dan taufik-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan Salam semoga tetap
dilimpahkan kepada Nabi akhir zaman, Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya dan
seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Makalah ini membahas tentang Musyaqah, Mukhabarah dan Muzara'ah. Isi makalah ini
terdiri atas tiga Bab. Bab I Pendahuluan, berisi uraian latar belakang masalah, identifikasi
masalah, rumusan masalah dan tujuan penulisan makalah. Bab II berisi Pembahasan;
Pengertian Musyaqah, Mukhabarah dan Muzara'ah, Dasar hukum, Rukun dan syarat-syarat
pelaksanaannya. Bab III berisi kesimpulan dan saran.
Upaya yang dilakukan oleh kami dalam penulisan ini rasanya sudah optimal, dengan
demikian sudah pasti masih banyak kekurangan dan kelemahan. Dengan segala kerendahan
hati, kami ajukan makalah sederhana ini kepada Bapak Dosen untuk kiranya memperoleh
masukan penyempurnaan dan penilaian.

Cipasung, November 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A. MUSYAQAH...................................................................................................................2
1. Pengertian Musyaqah...................................................................................................2
2. Asas Legalitas................................................................................................................2
3. Perbedaan antara musyaqah dan mujara’ah............................................................2
4. Syarat-Syarat Musyaqoh...................................................................................................2
5. Rukun Musyaqoh..........................................................................................................3
6. Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)...........................................................3
7. Habis Waktu Musyaqah..............................................................................................4
B. AL-MUZARA’AH / AL-MUKHABARAH...................................................................5
1. Pengertian Muzara'ah..................................................................................................5
2. Pengertian Mukhabarah..............................................................................................6
3. Zakat Muzara'ah dan Mukhabarah...........................................................................6
3. Hukum akad Muzara'ah..............................................................................................6
4. Rukun Muzara'ah dan Mukhabarah..........................................................................7
5. Syarat-syarat Muzara'ah dan Mukhabarah..............................................................7

ii
BAB I PENDAHULUAN
 

A. Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluk sosial yang saling membutuhkan antara
Satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha
mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Dalam
kehidupam sosial Nabi Muhmmad mengajarkan kepda kita semua tentang bermuamalah
agarterjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabarah?
2. Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?
3. Bagaimana rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh?
 
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabrah
2. Mengetahui yang dimaksud dengan Musyaqoh
3. Agar mengerti tentang rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh

1
BAB II PEMBAHASAN

A. MUSYAQAH

1. Pengertian Musyaqah
Menurut etimologi, musyaqoh adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah
Menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah
musyaqoh.
 Adapun menurut terminologi Islam adalah:
‫معاقدة دفعا ال شجار الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما‬
Artinya: Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar di kelola
danhasilnya di bagi diantara keduanya. 

2. Asas Legalitas
Musyaqah menurut ulama Hanafiyah seperti mujara’ah, baik dalam hukum
dan persyaratan yang memungkinkan terjadi musyaqah. Abu hanifah dan Abu jarah tidak
membolehkannya, dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits:
‫من كانت له ارض فاليزرعها وال يكريها بثلث ال يربع وال بطعام‬
Artinya:Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh
menyewakan nyadengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan makanan yang
telah di tentuka.(Muttafaq alaih).
Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur ulama (imam
Malik,imam Syafi’I,dan imam Ahmad) memperbolehkan musyaqah yang didasarkan pada
muamalah rasulullah SAW bersama orang Khaibar.

3. Perbedaan antara musyaqah dan mujara’ah


Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah, sama dengan mujara’ah,kecuali
dalamempat perkara:
a) Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam
musyaqah, iaharus di paksa,tetapi dalam mujara’ah, ia tidak boleh di paksa.
b) jika waktu musyaqah habis,akad di teruskan sampai berbuah tanpa pemberian
upah,sedangkan dalam mujara’ah. Jika waktu habis, pekerjaan di teruskan
dengan pemberian upah.
c) Waktu dalam Musyaqah di tetapkan berdasarkan ihtisan, sebab dapat diketahuidengan
tepat, sedangkan waktu dalam mujara’ah terkadang tertentu.
d) Jika pohon di minta oleh selain pemilik tanah penggarap di beri upah. Sedangkan
dalam Mujara'ah jika di minta sebelum menghasilkan sesuatu penggarap tidak
mendapatkaapa-apa.
 
4. Syarat-Syarat Musyaqoh
Syarat-Syarat Musyaqoh sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam
mujaro’ah. Hanya saja pada musyaqoh tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih,
 pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa Syarat Musyaqoh adalah:

2
a) Ahli dalam akad 
b) Menjelaskan bagian penggarap
c) Membebaskan pemilik dari pohon
d) Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akade.Sampai batas
akhir, yakni menyeluruh sampai akhir
 
5. Rukun Musyaqoh
Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5, yaitu berikut ini:
a) Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
b) Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon
yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya
dibolehkan musyaqoh atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama
membutuhkan pengurusan dan siraman.
c) Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
d) Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan
bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi
tidak sah.
e) Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah
(sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad.

6. Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)


a. Hukum Musyaqah Shahih
Musyaqah Shahih menurut para ulama memiliki beberapa hukum dan ketetapan.
1. Menurut ulama Hanafiyah, hokum musyaqah shahih adalah berikut ini.
a. Segala perkerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon yang di serahkan
kepada penggarap. Sedangkan biaya yang di perlukan dalam pemeliharaan di bagi
dua. 
b. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad
tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memeriksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada udzur.
f. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah di sepakati.
g. Penggarap tidak mendapatkan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali di
izinkanoleh pemilik,namun demikian,penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari
hasil,sedangkan penggarap kedua berhak mendapatkan upah sesuai
dengan pekerjaannya.
2. Menurut Ulama malikiyah pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang
ditetapkan ulama hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka berpendapat
dalam pengarapan.
a.Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib di kerjakan tidak boleh
disyaratkan. 
b.Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib di
bebenioleh penggarap.
c.Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah
kewajiban penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.dan lain-lain.
3. Ulama syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi

3
pekerjaan penggarap di atas.dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap
tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah
kewajiban pemilik tanah. 
b. Hukum dan dampak musyaqah fasid.
Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persayaratan yang telah di tetapkan
syara’. Beberapa keadaan yang telah di tetapkan syara’.beberapa keadaan yang dapat di
kategorikan musyaqah fasidah  menurut ulama Hanafiyah antara lain:
1. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.
2. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
3. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarap.
4. Mensyaratkan pemetik dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya
berkewajibanmemelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya.Dengan
demikian, pemeriksa dan hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
5. Mensayaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
6. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
7. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
8. Musyaqoh digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi
kepada penggarap lainnya.

Dampak Musyaqoh fasid menurut para ulama:


1. Menurut ulama Hanafiyah:
a) Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja. 
b) Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
c) Jika Musyaqoh rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.
2. Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqoh rusak sebelum penggarapan, upah tidak berikan.
Sebaliknya, apabila musyaqoh rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan
musyaqoh, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baiksedikit maupun
banyak.
3. Menurut Ulama Hanifiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah
penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap 
berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilanganmanfaat dari jeri
payahnya dalam musyaqoh.
 
7. Habis Waktu Musyaqah
a. Menurut Ulama Hanafiyah
1) Habis waktu yang telah disepakati
2) Meninggalnya salah seorang yang akad
3) Membatalkannya, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur 
 
b. Menurut Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat
diwariskan.Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan
tetapi, jikaahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.Musyaqah dianggap tidak
batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuatzalim atau tidak dapat bekerja.
Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jikatidak memilik modal, ia boleh
mengambil bagiannya dari upah yang diperolehnya bilatanaman telah berbuah. Ulama
Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazimyang tidak dapat dibatalkan
karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada
kerelaan diantara keduanya.c.
 
4
c. Menurut Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya
uzur,walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap
harusdiawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya.
Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab dicabut kemudian diberikan
kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.

d. Menurut ulama Syafi’iyah, musayaqah slesai jika habis waktunya. jika buah keluar
setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu
musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan
pekerjaanya. Musyaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap
bataljika pemiliknya meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan 
hasilnya.Akan tetapi, jika seorang ahli warisnya pun meninggal, akad menjadi batal.
 
e. Menurut Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni
termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari
musyaqah dapatmembatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut
dibagikankepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian awal waktu dan dengan 
catatan penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, musyaqah di pandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh
ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat
menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upah diambil dari tirkah (peninggalannya).
Akan tetapi jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas
yang dibutuhkan ssehingga musyaqah sempurna.

B. AL-MUZARA’AH / AL-MUKHABARAH

1. Pengertian Muzara'ah
Secara etimologi, al- muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik
tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi
yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah mendefinisikan dengan
“perserikatandalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah “Penyerahan tanah pertanian
kepada seorang
 petani untuk di garap dan hasilnya di bagi dua.
Dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik
‫الشركة في الزرع‬
"Perserikatan dalam pertanian"
Menurut ulama Hanabilah Muzara'ah yaitu

‫دفع األرض الى من يزرعها او يعمل اليها او الزرع بينها‬


"Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi dua."
Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah” penduduk
Irak menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi dalam al-mukhabrah, bibit yang akan
ditanam berasal dari pemilik tanah.

5
2. Pengertian Mukhabarah
Imam Syafi'i mendefinisikan Mukhabarah dengan
‫عمل األرض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل‬
”Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah."
Dalam al-mudhrabah bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah,sedangkan
dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.

3. Zakat Muzara'ah dan Mukhabarah


Zakat hasil paroan ini diwajibkan atas orang yang punya benih. jadi pada muzara'ah, zakat
wajib atas petani yang bekerja. Pada hakikatnya dialah yang bertanam, pemilik tanah seolah-
olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan dari sewaan tidak wajib dikeluarkan
zakatnya.
Adapun pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas pemilik tanah karena hakikatnya dialah
yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang diambil dari upah
tidak wajib dibyar zakatnya. Jika benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya,
diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.

4. Hukum akad Muzara'ah


Terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam membahas hukum Muzara'ah .Imam Abu
Hanifah & Zulfar Ibn Huzail berpendapat bahwa akad Muzara'ah tidak boleh. Menurut
mereka, akad muzara'ah dengan bagi hasil, seperempat dan seperdua, hukumnya batal.
Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya,
karena yang di jadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada(al-
ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan di
bagi,sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani
tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan
al- jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah saw.
Dengan penduduk Khaibar dalam hadits yang di riwayatkan al-jama’ah (mayoritas pakar
hadits),menurut mereka, bukan merupakan akad al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-
muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah
setiapkali panen dalam prosentase tertentu.
Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah tidak sah, kecuali apabila
  al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah (kerjasama pemilik kebun dengan petani
dalam mengelola pepohonan yang ada dikebun itu, yang hasilnya nanti di bagi menurut
kesepakatan bersama). Misalnya, apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan perkebunan,
kemudianada tanah kosong yang boleh di manfaatkan untuk al-muzara'ah (pertanian), maka
menurut ulama Syafi’iyah, akad al-muzara’ah boleh di lakukan. Akad ini tidak berdiri
sendiri, tetapi mengikut pada akad al-musaqah.
Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad ibnal-Hasan asy-Syaibani,
keduanya berpendapat bahwa akad al-muzara’ah hukumnya boleh, karena akadnya cukup
 jelas, yaitu menjadikan petani sebagai serikat dalam penggarapan sawah.
Menurut mereka, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa:
Rasulullah saw. Melakukan akad muzara’ah dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya
di bagi antara Rasul dengan para pekerja. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-
 Nasa’i,Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar).
Menurut mereka akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik
tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani

6
tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebab itu, wajar apabila antara pemilik tanah persawa
han bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka bagi
sesuai dengan kesepakatan bersama. 
Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, akad seperti ini termasuk dalam firman Allah
dalam surah al-Ma’idah, 5:2 ynag berbunyi:Bertolong-tolonganlah kamu atas kebajikan dan
ketaqwaan dan jangan bertolong-tolonganatas dosa dan permusuhan.

5. Rukun Muzara'ah dan Mukhabarah


a) Pemilik tanah
b) Petani penggarap
c) Objek muzara'ah & musaqah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani
d) Akad. Ijab (ungkapan penyerahan dari prmilik tanah) & Qabul (pernyataan menerima
tanah untuk digarap petani). Contoh ijab qabul itu adalah “ Saya serahkan tanah
pertanian saya ini kepada kamu untuk di garap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”.
Kemudian petani penggarap menawab: “Saya terima tanah pertanian iniuntuk di garap
dengan imbalan hasilnya di bagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana,maka akad itu telah
sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mangatakan
bahwa penerimaan (qabul)al-muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh
juga dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.

6.Syarat-syarat Muzara'ah dan Mukharabah


Berkut syarat-syarat Muzara’ah dan Mukhabarah menurut jumhur ulama ;
1.Adanya orang yang berakad
Orang yang melalukan akad harus baligh dan berakal,agar mereka dapat bertndak atas nama
hukum.
2.Benih yang ditanam
Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
3.Lahan yang akan dikerjakan,dengan ketentuan ;
 Lahan itu bisa diolah dan menghasilkan
 Batas-batas lahan itu jelas
 Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah dan pemilik lahan tidak
boleh ikut campur tangan untuk mengelolanya
4.Hasil yang akan dipanen
 Pembagian hasil panen harus jelas
 Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa ada
penghususan
 Bagian antara amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama
 Bagian dua belah pihak sudah dapat diketahui
 Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum
5.Jangka waktu berlaku akad
Syarat yang berkaitan dengan waktu pun harus jelas dalam akad,sehingga pengelola tidak
dirugikan seperti membatalkan akad sewaktu waktu.

7
8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas mengenai musaqqah,muzara’ah,mukhabarah
ialah dimana suatu akad kerja sama yang dilakukan antara dua orang atau lebih dalam
pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan si penggarap.
Demikian pula hukum musaqah,muzaraah dan mukhabarah ini diperbolehkan diikarenakan
bentuk kerjasama ini sama sama memberi manfaat berupa keuntungan hasil perolehannya
dapat dibagi bersama sesuai kesepakatan diawal.

Anda mungkin juga menyukai