Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Tentang

“ IJARAH DAN SYIRKAH ”

Diajukan Untuk Tugas Makalah Mata Kuliah Fiqh Muammalah

Dosen Pembimbing : Dr. H. Ma’sum Anshori, MA

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

NISA ANDRIANI (182221369)

IMELLITA SURI AMANADA (182221361)

Kelas : III A

PRODI HUKUM TATA NEGARA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
2022
KATA PENGANTAR

          Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat
dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Selawat serta salam
semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

            Dalam makalah “Ijarah dan Syirkah” penulis bermaksud menjelaskan secara
detail akan Penalaran. Adapun tujuan selanjutnya adalah untuk memenuhi salah satu
syarat tugas mata kuliah Fiqh Muammalah.

            Akhir kata tak ada gading yang tak retak, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

Bengkalis, 03 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan Pembuatan Makalah..........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ijarah .............................................................................................................3
1. Pengertian Ijarah........................................................................................3
2. Dasar Hukum Ijarah..................................................................................4
3. Rukun Ijarah..............................................................................................4
4. Syarat Ijarah..............................................................................................6
5. Macam-Macam Ijarah...............................................................................8
6. Berakhirnya Akad Ijarah...........................................................................9
B. Syirkah ..........................................................................................................9
1. Pengertian Syirkah....................................................................................9
2. Dasar Hukum Syirkah...............................................................................10
3. Rukun Syirkah...........................................................................................10
4. Syarat Syirkah...........................................................................................11
5. Macam-Macam Syirkah............................................................................11
6. Berakhirnya Syirkah..................................................................................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fikih muammalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan
manusia dengan manusia lainnya dalam sebah masyarakat. Segala tindakan manusia
yang bukan merupakan ibadah termasuk kedalam kegiatan perekonomian masyarakat 
salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas dalam fikih muammalah ialah ijarah.
Ijarah merupakan salah bentuk transaksi muammalah yang banyak dilakukan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini yang
banyak menjadi objek transaksi adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat.
Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap
sesama manusia hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah
dengan pihak lain. Disini dipaparkan dan teori-teori tentang syirkah,. Kata syirkah
berasal dari bahasa arab dari kata syarika(fi’il madi), yasyraku(fi’il mudhari),
syarikan, syirkatan/ syarikatan (masdhar / kata dasar) artinya menjadi sekutu atau
serikat. Syirkah menurut bahasa artinya campur atau percampuran.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri, dengan dibutuhkannya orang lain untuk mencukupinya maka dalam dunia
bisnis islam dikenal dengan kegiatan muammalah salah satunya yakni yang
membahas tentang harta. Dalam harta hadir sebagai obyek transaksi, sehingga harta
pun dapat dijadikan sebagai objek transaksi jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya.
Dalam hal ini Syirkah merupakan konsep yang secara tepat dapat memecahkan
permasalahan permodalan. Prinsip Islam menyatakan bahwa segala setuatu yang
dimanfaatkan oleh orang lain berhak memperoleh kompensasi yang menguntungkan,
baik terhadap barang modal, tenaga atau barang sewa.
Berdasarkan dari latar belakang maka yang akan diangkat dalam kajian ini
adalah untuk meengtahui secara umum tentang syirkah dalam pemahaman Islam baik

1
dari segi defenisi, sumber hukum, rukun dan syarat, macam dan jenis serta
berakhirnya suatu ijarah dan syirkah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah maka perumusan masalah yang akan
diangkat dalam kajian ini adalah
1. Bagaimana ijarah dan syirkah dalam pemahaman islam baik dari segi defenisi?
2. Apa dasar hokum ijarah dan syirkah
3. Apa rukun ijarah dan syirkah
4. Apa syarat ijarah dan syirkah
5. Apa macam dan jenis serta berakhirnya suatuijrah dan syirkah

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui definisi ijarah dan syirkah
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijarah dan syirkah
3. Untuk mengetahui Rukun dan syarat ijarah dan syirkah
4. Untuk mengethui macam dan jenis serta berakhirnya suatuijrah dan syirkah

2
BAB II
PEMBAHASAN

B. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “alajru”yang berarti “al-iwadu”
(ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah).1
Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut syara’
berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain
dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan
syarat-syarat tertentu pula.2
Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa sewa menyewa (ijarah)
adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa
adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).
Seseorang yang menyewa sebuah untuk dijadikan tempat tinggal selama satu
tahun dengan imbalan Rp3.000.000,00 ( tiga juta rupiah), ia berhak menempati rumah
itu untuk waktu satu tahun, tetapi ia tidak memiliki rumah tersebut. Dari segi
imbalannya, ijarah ini mirip dengan jual beli tetapi keduanya tetap berbeda, karena
dalam jual beli objeknya benda, sedangkan dalam ijarah sendiri objeknya adalah
manfaat dari suatu benda.Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk
diambil buahnya karena buan itu benda bukan manfaat. Demikian pula tidak
dibolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan manfaat
melainkan benda.3

1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, H .203
2
Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, Asy-Syifa, Surabaya, 2005, H .377
3
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat ( Jakarta: Amzah, 2010), 317.

3
2. Dasar Hukum Ijarah
Hukum ijarah dapat diketahui dengan mendasarkan pada teks-teks al-Qur‟an,
hadist-hadist Rasulullah, dan Ijma‟ ulama fikih sebagai berikut:
a. Berdasarkan Al-quran
Dalam al-Qur‟an ketentuan tentang upah tidak tercantum secara terperinci. Akan
tetapi pemahaman upah dicantumkan dalam bentuk pemaknaan tersirat, seperti
ditemukan dalam QS al-Baqarah:233, an-Nahl:97, al-Kahfi:30, az-Zukhruf:32, at-
Thalaq:6 dan al-Qasas:26 .
Dalam ayat Al-Quran lainnya disebutkan dalam Q.S. An-Nahl:97 :

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun


perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-
Nahl:(16) :97)
b. Berdasarkan Hadist
Hadist-hadist Rasulullah Saw yang membahas tentang ijarah atau upah
mengupah di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi
bersabda :

Artinya : “Ðari Abdullah bin „Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah


“berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah).

3. Rukun Ijarah
Menurut jumhur ulama, rukun ijarah itu ada empat, yaitu:

4
a. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau
upah mengupah. Mu’jir adalah orang yang menerima upah dan yang
menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir
adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharuf ( mengendalikan harta ), dan
saling meridhai. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu . Bagi orang-orang yang berakad ijarah, disyariatkan juga
mengetahui manfaat barang yang akan diakadkan dengan sempurna, sehingga
dapat mencegah terjadinya perselisihan.”
b. Ijab Qabul ( Shigat ) antara mu’jir dan musta’jir, ijab qabul sewa menyewa dan
upah mengupah, ijab qabul sewa menyewa. Misalnya: mu’jir berkata “Aku
menyewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp500.000,00 maka musta’jir
menjawab “ Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga Rp500.000,00 setiap
hari. Adapun ijab qabul upah mengupah, misalnya mu’jir berkata ,” Aku
serahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp
50.000,00 setiap hari”. Kemudian musta’jir menjawab “ Aku akan kerjakan
pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
c. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam
sewa menyewa maupun dalam upah mengupah.
d. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah,
disyaratkan barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
1) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa menyewa dan upah
mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
2) Hendaklah barang yang menjadi objek sewa menyewa dapat diserahkan
kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya ( khusus dalam sewa
menyewa ).

5
3) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah ( boleh)
menurut syara’, bukan hal yang dilarang ( diharamkan).
4) Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain ( zat )-nya hingga waktu
yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.4

4. Syarat-Syarat Ijarah
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijarah ini juga terdiri atas
empat jenis persyaratan, yaitu :
a. Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)
Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad) berkaitan dengan ‘aqid, akad, dan
objek akad. Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid adalah berakal, dan
mumayyiz menurut Hanafiah, dan baligh menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila pelakunya
(mu’jir dan musta’jir) gila atau masih dibawah umur. Menurut Malikiyah,
tamyiz merupakan syarat dalam sewa menyewa dan jual beli, sedangkan
baligh merupakan syarat untuk kelangsungan (nafadz). Dengan demikian,
apabila anak yang mumayyiz menyewakan dirinya (sebagai tenaga kerja)
atau barang yang dimilikinya, maka hukum akadnya sah, tetapi untuk
kelangsungannya menuggu izin walinya.5
b. Syarat nafadz (berlangsungnya akad)
Untuk kelangsungan (nafadz) akad ijarah di syaratkan terpenuhinya hak
milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku (‘aqid) tidak mempunyai
hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah, seperti akad yang dilakukan
oleh fudhuli, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan, dan menurut
Hanafiah dan Malikiyah statusnya mauquf (ditangguhkan) menuggu

4
Sohari Sahrani Dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),170.
5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), 321.

6
persetujuan si pemilik barang. Akan tetapi, menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah hukumnya batal, seperti halnya jual beli.6
c. Syarat sahnya Ijarah Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat
yang berkaitan dengan ‘aqid (pelaku), ma’qud ‘alaih (objek), sewa atau
upah (ujrah) dan akadnya sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Persetujuan kedua belah pihak, sama seperti dalam jual beli.
2) Objek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan
perselisihan. Apabila objek akad (manfaat) tidak jelas, sehingga
menimbulkan perselisihan, maka akad ijarah tidak sah, karena dengan
demikian, manfaat tersebut tidak bisa diserahkan, dan tujuan akad tidak
tercapai.
3) Objek akad ijarah harus dapat dipenuhi, baik menurut hakiki maupun
syar’i. Dengan demikian, tidak sah menyewakan sesuatu yang sulit
diserahkan secara hakiki, seperti menyewakan kuda yang binal untuk
dikendarai. Jika tidak bisa dipenuhi secara syar’i, seperti menyewa
tenaga wanita yang sedang haid untuk membersihkan masjid, atau
menyewa dokter untuk mencabut gigi yang sehat, atau menyewa tukang
sihir untuk mengajar ilmu sihir.
4) Manfaat yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh
syara’. Misalnya menyewa buku untuk dibaca, dan menyewa rumah
untuk tempat tinggal. Dengan demikian, tidak boleh menyewakan
rumah untuk tempat maksiat, seperti pelacuran atau perjudian karena
dalam hal ini berarti mengambil upah untuk perbuatan maksiat.
5) Pekerjaan yang dilakukan itu bukan fardhu dan bukan kewajiban orang
yang disewa (ajir) sebelum diakukannya ijarah. Hal tersebut karena
seseorang yang melakukan pekerjaan yang wajib dikerjakannya, tidak
berhak menerima upah atas melakukan atas pekerjaannya itu.
6
Ibid, 332

7
6) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya
untuk dirinya sendiri. Apabila ia memanfaatkan pekerjaan untuk dirinya
maka ijarah tidak sah. Dengan demikian, tidak sah ijarah atas perbuatan
taat karena manfaatnya untuk orang yang mengerjakan itu sendiri.
7) Manfaat m’aqud ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad
ijarah, yang biasa berlaku umum. Apabila manfaat tersebut tidak sesuai
dengan tujuan dilakukannya akad ijarah maka ijarah tidak sah.
Misalnya, menyewa pohon untuk menjemur pakaian. Dalam contoh ini
ijarah tidak dibolehkan, karena manfaat yang dimaksud oleh penyewa
yaitu menjemur pakaian, tidak sesuai dengan manfaat pohon itu sendiri.

5. Macam-Macam Ijarah
a. Ijarah atas manfaat (sewa menyewa)
Akad sewa menyewa dibolehkan atas manfaat yang mubah, seperti rumah
untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang, mobil untuk
kendaraan atau angkutan, pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun
manfaat yang diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya
diharamkan. Dengan demikian, tidak boleh mengambil imbalan untuk manfaat
yang yang diharamkan ini, seperti bangkai dan darah.
b. Ijarah Atas Pekerjaan (upah mengupah)
Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah adalah suatu akad ijarah untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit
pakaian, mengangkut barang ke tempat tertentu, memperbaiki mesin cuci,
kulkas dan sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut tenaga kerja
(ajir).

6. Berakhirnya Akad Ijarah


Akad ijarah dapat berakhir karena hal-hal berikut ini:

8
a. Menurut pendapat Hanafiah ijarah dapat berakhir jika meninggalnya salah satu
pihak yang melakukan akad. Sedangkan menurut jumhur ulama, kematian salah
satu pihak tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijarah. Hal
tersebut dikarenakan ijarah merupakan akad yang lazim, seperti halnya jual
beli, di mana musta’jir memiliki manfaat atas barang yang disewa dengan
sekaligus sebagai hak milik yang tetap, sehingga bisa berpindah kepada ahli
waris.
b. Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak. Hal ini karena ijarah adalah
akad mu’awadhah (tukar menukar), harta dengan harta sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pembatalan (iqalah ) seperti halnya jual beli
c. Rusaknya barang yang disewakan, sehingga ijarah tidak mungkin untuk
diteruskan.
d. Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur. Misalnya sewa tanah untuk
ditanami, tetapi ketika masa sewa sudah habis, tanaman belum bisa dipanen.
Dalam hal ini ijarah dianggap belum selesai.7

C. Syirkah
1. Pengertian Syirkah
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau
percampuran. Maksud percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut defenisi
syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha finanssial dengan tujuan mencari keuntungan.8
2. Dasar Hukum Syirkah

7
R. Zainul Musthofa, Siti Aminah. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa Menyewa ( Ijarah )
Tanah Kas Desa. Al Maqashid : Journal Of Economics And Islamic Business. Volume 1 Nomer 1
April 2021|P. 27-41
8
An-Nabhani, Taqiyyudin. 1996. Membangun Sistim Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
Terjemahan. Surabaya: Risalah Gusti.

9
Hukum syirkah pada dasarnya adalah mubah atau boleh, hal ini ditunjukkan
oleh dibiarkannya praktik syirkah oleh nabi Muhammad SAW. yang dilakukan
masyarakat Islam saat itu.9
Beberapa dalil AlQuran dan hadist yang menerangkan tentang syirkah antara
lain: “Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang ber-syirkah itu, sebahagian
mereka berbuat zalim terhadap sebagahian yang lain, kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal salih.” (QS Shad 38:24)
Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Manhal pernah mengatakan: “Aku
dan syirkah ku pernah membeli sesuatu secara tunai dan hutang. Kemudian kami
didatanggi oleh Barra‟ bin Azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Ia menjawab, “Aku
dan Zaid bin Arqam juga mempraktikkan hal yang demikian. Selanjutnya kami
bertanya kepada Nabi saw tentang tindakan kami tersebut. Beliau menjawab, “Barang
yang diperoleh secara tunai, silahkan kalian ambil, sedangakan yang diperoleh secara

3. Rukun Syirkah
Adapun rukun syirkah menurut para ulama meliputi:
a. Sighat (Ijab dan Qabul) Adapun syarat sah dan tidaknya akad syirkah
tergantung pada sesuatu yang di transaksikan dan juga kalimat akad hendaklah
mengandung arti izin buat membelanjakan barang syirkah dari peseronya.10
b. Al Aqidain (subjek perikatan) Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu; orang
yang berakal, baligh, dan merdeka atau tidak dalam paksaan. Disyaratkan pula
bahwa seorang mitra diharuskan berkompeten dalam memberikan atau
memberikan kekuasaan perwakilan, dikarenakan dalam musyarakah mitra kerja
juga berarti mewakilkan harta untuk diusahakan.

4. Syarat-Syarat Syirkah

9
Majid, Abdul. 1986. Pokok-Pokok Fiqih Muamalah Dan Hukum Kebendaan Dalam Islam.
Bandung: Iain Sunan Gunung Djati.
10
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru.

10
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi
menjadi empat bagian berikut ini :
a. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat yaitu a) yang berkenaan
dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan,
b) yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan harus jelas
dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga dan yang lainnya.
b. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta). Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud) seperti Riyal, dan Rupiah b) yang
dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
c. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah bahwa dalam mufawadhah
disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama b)
bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah c) bagi yang dijadikan objek akad
disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atas
perdagangan.
d. Adapun syarat-syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-
syarat syirkah mufawadhah.11

5. Macam-Macam Syirkah
a. Syirkah Amlak ( milik)
Syirkah Amlak ialah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki
harta bersama tanpa melalui akad syirkah. Syirkah dalam kategori ini terbagi
menjadi dua bentuk yaitu; 1) Syirkah Ikhtiyariyah, adalah syirkah yang terjadi
atas perbuatan dan kehendak pihak-pihak yang berserikat, dan 2) Syirkah

11
Deny Setiawan. Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi Volume 21,
Nomor 3 September 2013

11
Ijbariyah, adalah syirkah yang terjadi tanpa keinginan para pihak yang
bersangkutan, seperti persekutuan ahli waris.
b. Syirkah Uqud ( akad ). Syirkah Uqud ialah persekutuan antara dua orang atau
lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan.12
Ulama Madzhab Hambali membaginya dalam lima bentuk yaitu;
1) Syirkah ‘inan adalah syirkah di antara dua orang atau lebih yang masing-
masing pihak berinvestasi secara barsama-sama mengelola modal yang
terkumpul dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko kerugian
ditanggung bersama. Dengan demikian, setiap pihak yang bersyirkah
member kontribusi modal dan berpartisipasi dalam kerja. Seberapa banyak
kontribusi seluruh pihak dalam modal dan kerja dapat dibeda-bedakan
sesuai kesepakatan bersama.13
2) Syirkah ‘abdan disebut juga dengan Syirkah a’mal atau Syirkah sana’i.
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua orang atau lebih dengan masing-
masing pihak hanya menyerahkan kontribusi berupa tenaga atau keahlian
tanpa investasi modal. Umumnya syirkah seperti ini terdapat pada
pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus seperti dokter dan
konsultan.
3) Syirkah mudharabah disebut juga dengan qiradh. Syirkah ini terbentuk
antara dua belah pihak dimana pihak pertama menyerahkan keseluruhan
modal (shahib almal) dan pihak kedua adalah orang yang mengelola modal
tersebut (mudharib). Dalam syirkah ini keuntuntungan akan dibagi sesuai
proporsi yang telah disepakati oleh dua belah pihak. Sedangankan kerugian
dalam syirkah ini akan di tanggung oleh pemodal selama itu bukan
kelalaian dari pengelola.

12
Udin Saripudin. Syirkah Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah. Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis, Vol. 4 No. 1 April 2016. Issn : 2503-4413, Hal 63 - 79
13
Antonio, Syafi’i. 1999 Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan.Bank Indonesia Dan
Takzi Institute. Jakarta . Hlm. 188-189

12
4) Syirkah wujuh yang diakui dalam Islam ada dalam dua bentuk yaitu berupa
syirkah antara dua orang pengelola (mudharib). Sebenarnya ini masih
dalam bentuk mudharabah hanya saja pengelola lebih dari satu orang.
Kedua, syirkah antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan
kepercayaan yang baik.
5) Syirkah mufawadhah adalah antara dua syirkah atau pengabungan antara
beberapa syirkah sekaligus. Misalnya seseorang memberikan modal untuk
dua orang insiyur dengan tujuan membangun rumah untuk di jual. Kedua
orang insyur akan bekerja sekaligus akan mendapatkan rumah sebagai
keuntungan seperti yang telah disepakati di awal. Dalam hal ini terdapat
pengabungan antara ‘inan, ‘abdan, mudharabah, mufawadhah dan wujuh.

6. Berakhirnya Syirkah
Dalam melakukan kerja sama baik kelompok maupun individu sering kali
adanya permasalahan-permasalahan yang tidak diduga, sehingga perjanjian atau akad
yang telah disepakati berakhir. Menurut Hendi Suhendi dalam bukunya yang berjudul
Fiqh Muamalah syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak lain, sebab
syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar kerelaan pihak-pihak yang
melakukan syirkah.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengalola
harta), baik karena gila maupun faktor lain.
c. Salah stu pihak meninggal dunia, hal ini berlaku untuk syirkah yang hanya
melibatkan dua orang, sedangkan untuk yang lebih dari dua orang maka yang
batal hanyalah yang meninggal saja. Apabila ahli waris menghendaki turut serta
dalam syirkah, maka dibuat perjanjian baru.
d. Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan.

13
e. Salah satu pihak bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang
menjadi saham syirkah.
f. Modal anggota lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah14
g. Dalam hal ini bisa terjadi karena dua kemungkinan.Yaitu modal itu sengaja
dibawa lari oleh salah satu pihak dan kemungkinan yang kedua adalah dibawa
lari (dicuri/dirampok) oleh pihak ketiga.

BAB III
14
Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2008), 133.

14
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sewa menyewa (ijarah) adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan
demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan
barang).. ijarah terdiri dari 2 bagian yaitu Ijarah atas manfaat (sewa menyewa)
dan Ijarah Atas Pekerjaan (upah mengupah)
Akad ijarah dapat berakhir karena hal-hal berikut ini:
a. Menurut pendapat Hanafiah ijarah dapat berakhir jika meninggalnya salah satu
pihak yang melakukan akad. Sedangkan menurut jumhur ulama, kematian salah
satu pihak tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijarah.
b. Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak. Hal ini karena ijarah adalah
akad mu’awadhah (tukar menukar), harta dengan harta sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pembatalan (iqalah ) seperti halnya jual beli
c. Rusaknya barang yang disewakan, sehingga ijarah tidak mungkin untuk
diteruskan.
d. Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur. Misalnya sewa tanah untuk
ditanami, tetapi ketika masa sewa sudah habis, tanaman belum bisa dipanen.
Dalam hal ini ijarah dianggap belum selesai.

2. Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan, Syirkah terdiri dari dua jenis,
yaitu syirkah al-milk dan syirkah al-‘uqud. Syirkah al-milk. Sedangkan Syirkah
al-‘uqud terdiri dari empat akad yaitu syirkah al-inan, syirkah mufawaghah,
syirkah a’maal, syirkah wujuh dan syirkah Mudharabah.
Hukum syirkah adalah mubah atau diperbolehkan. Sedangkan berakhirnya
syirkah terjadi karena disebabkan enam alasan yaitu jika salah satu pihak

15
membatalkan. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf. Salah
satu pihak meninggal dunia. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan.
Salah satu pihak jatuh bangkrut. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum
dibelanjakan.

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami uraikan. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan. Terimaksih dan semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

16
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat ( Jakarta: Amzah, 2010)
An-Nabhani, Taqiyyudin. 1996. Membangun Sistim Ekonomi Alternatif Perspektif
Islam, Terjemahan. Surabaya: Risalah Gusti.
Antonio, Syafi’i. 1999 Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan.Bank
Indonesia Dan Takzi Institute. Jakarta
Deny Setiawan. Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi
Volume 21, Nomor 3 September 2013
Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2008)
Majid, Abdul. 1986. Pokok-Pokok Fiqih Muamalah Dan Hukum Kebendaan Dalam
Islam. Bandung: Iain Sunan Gunung Djati.
R. Zainul Musthofa, Siti Aminah. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa Menyewa (
Ijarah ) Tanah Kas Desa. Al Maqashid : Journal Of Economics And Islamic
Business. Volume 1 Nomer 1 April 2021|P.
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
Sohari Sahrani Dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011)
Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, Asy-Syifa, Surabaya, 2005
Udin Saripudin. Syirkah Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah. Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis, Vol. 4 No. 1 April 2016. ISSN : 2503-4413

17

Anda mungkin juga menyukai