Anda di halaman 1dari 27

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

Materi Fiqh Rusdiana, Dra., M.Ag

MAKALAH
Hukum dan Kaifiyat Muamalah

Oleh:
Rabiatul Adawiyah (200101070370)
Ryansyah Firdaus (200101070384)
Desy Andriyani (200101070389)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
2021 M/1443 H
KATA PENGANTAR

‫الرحيــم‬
ّ ‫الرحمن‬
ّ ‫بــسم هللا‬

Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, atas segala limpahan karunia, nikmat,

dan petunjuk-Nya sehingga pada akhirnya makalah ini dapat selesai. Shalawat serta

salam selalu kita haturkan kepada panutan kita, Nabi Besar Muhammad Saw,

keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamduillah atas

izin-Nya dan atas kerja sama yang baik dari teman-teman yang telah memberikan

ide-idenya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah yang

berjudul ”Hukum dan Kaifiyat Muamalah” dengan tepat waktu, sesuai dengan

jadwal yang telah ditentukan.

Kami sampaikan terima kasih banyak kepada Ibu Rusdiana, Dra., M.Ag.

selaku dosen pengampu mata kuliah Materi Fiqh yang telah mempercayakan

kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Juga kepada

kedua orang tua serta teman-teman sekalian yang selalu memberikan dukungan

kepada kami.

Harapan kami, semoga makalah ini mampu memberikan manfaat dalam

meningkatkann pengetahuan sekaligus wawasan kepada kita semua. Penulis

berharap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 28 November 2021

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
A. Latar belakang ............................................................................................................. 1
B. Rumusan masalah ....................................................................................................... 1
C. Tujuan penulisan ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................2
A. Pengertian Muamalah .......................................................................................2
1. Ruang Lingkup Muamalah...................................................................................... 2
2. Prinsip-Prinsip Muamalah....................................................................................... 4
3. Jenis-Jenis Muamalah ............................................................................................. 6
B. Jual Beli.............................................................................................................7
1. Pengertian Jual Beli ................................................................................................ 7
2. Rukun Jual Beli ....................................................................................................... 7
3. Hukum Jual Beli ..................................................................................................... 8
4. Syarat Sahnya Jual Beli........................................................................................... 9
5. Bentuk-Bentuk Jual Beli ......................................................................................... 9
6. Persyaratan Jual Beli ............................................................................................. 10
7. Hikmah Jual Beli................................................................................................... 12
C. Sewa-Menyewa ................................................................................................ 12
1. Pengertian Ijarah ................................................................................................... 12
2. Dasar Hukum Ijarah .............................................................................................. 13
3. Rukun Ijarah.......................................................................................................... 13
4. Hikmah Ijarah ....................................................................................................... 14
D. Gadai ............................................................................................................... 14
1. Pengertian Gadai ................................................................................................... 14
5. Dasar Hukum Gadai .............................................................................................. 15
6. Rukun dan Syarat Sah Gadai ................................................................................ 17
7. Jenis-Jenis Gadai ................................................................................................... 18
8. Bertambahnya Harta Gadai ................................................................................... 19
9. Pemanfaatan Harta Gadai...................................................................................... 19
10. Berakhirnya Akad Gadai ................................................................................... 20

iii
11. Hikmah Gadai ................................................................................................... 21
12. Praktik Gadai di Indonesia ................................................................................ 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 22
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 22
B. Saran ............................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur
hubungan antara dua pihak atau lebih, baik antara seorang pribadi dengan
dengan peribadi lain, maupun antar badan hukum, seperti perseroan, firma,
yayasan, negara, dan sebagainya. Awalnya cakupan muamalah didalam fiqh
meliputi permasalahan keluarga, seperti perkawinan dan perceraian. Akan
tetapi setelah terjadi disintegrasi di dunia Islam, khususnya di zaman
Utsmani (Turki Ottoman), terjadi perkembangan pembagian fiqh.
Cakupan bidang muamalah dipersempit, sehingga masalah yang
berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi dalam pengertian
muamalah. Hukum keluarga dan segala yang terkait dengannya disebut al-
ahwal al-syakhsiyah (masalah pribadi) Muamalah kemudian difahami
sebagai hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan
sesamanya yang menyangkut harta dan hak serta penyelesaian kasus di
antara mereka. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa muamalah
hanya mengatur permasalahan haki dan harta yang muncul dari transaksi
antara seseorang dengan orang lain, atau antara seseorang dengan badan
hukum, atau antara badan hukum dengan badan hukum yang lain.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu muamalah?
2. Apa itu jual-beli?
3. Apa itu sewa-menyewa?
4. Apa itu gadai?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian muamalah
2. Untuk mengetahui pengertian jual beli
3. Untuk mengetahui pengertian sewa-menyewa
4. Untuk mengetahui pengertian gadai

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muamalah
Kata muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis sama
dan semakna dengan kata mufa'alah (saling berbuat). Kata ini
menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh sese orang dengan
seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi ke butuhan masing-
masing. Atau muamalah yaitu hukum-hukum syara' yang berhubungan
dengan urusan dunia untuk melanjutkan eksistensi kehidupan seseorang
seperti jual beli."
Menurut A. Warson Munawir, muamalah secara etimologis yaitu
perlakuan hubungan kepentingan seperti jual beli, sewa-menyewa, dan
sebagainya. Dalam pengertian yang lain, kata muamalah yaitu peraturan
yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hal tukar-
menukar harta (termasuk jual beli). Dalam redaksi lain fiqh muamalah
didefinisikan sebagai hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum
manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya, dalam persoalan
jual beli, utang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam
penggarapan tanah, dan sewa-menyewa.1

1. Ruang Lingkup Muamalah


Dalam ruang lingkupnya Fiqh Muamalah dibagi menjadi 2 yaitu Al
Muamalah Al-Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah.
a) Al-Muamalah Al-Adabiyah
Yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar menukar benda
yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Ruang lingkup fiqh
muamalah yang bersifat Adabiyah mencangkup beberapa hal berikut ini:
1) Ijab Qabul
2) Saling meridhai
3) Tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak

1
Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH Fiqh Muamalah, 2012. Hal 2

2
4) Hak dan kewajiban
5) Kejujuran pedagang
6) Penipuan
7) Pemalsuan
8) Penimbunan
9) Segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada
kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
b) Al-Muamalah Al-Madiyah
Yaitu muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian para
ulama berpendapat bahwa muamalahal-madiyah adalah muamalah yang
bersifat kebendaan karena objek fiqh muamalah adalah benda yang
halal, haram, dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang
memudharatkan benda-benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi
manusia, dan beberapa segi lainnya. Beberapa hal yang termasuk ke
dalam ruang lingkup muamalah yang bersifat Madiyah adalah sebagai
berikut:
1) Jual beli (al-Bai' al-Tijarah) merupakan tindakan atau transaksi
yang telah disyari'atkan dalam arti telah ada hukumnya yang
jelas dalam islam.
2) Gadai (al-Rahn) yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai
nilai harta dalam pandangan syara' untuk kepercayaan suatu
utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau
sebagaian utang dari benda itu.
3) Jaminan dan tanggungan (Kafalan dan Dhaman) diartikan
menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad
yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya
ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat
bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak
tersebut dalam menghadapi penagih (utang). Sedangkan dhaman
menanggung hutang orang yang berhutang.

3
4) Pemindahan hutang (Hiwalah) berarti pengalihan, pemindahan.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang
(pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut
pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada pihak
ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama.
Baik pemindahan (pengalihan) dimaksudkan sebagai ganti
pembayaran maupun tidak.
5) Jatuh bangkrut (Taflis) adalah seseorang yang mempunyai
hutang, seluruh kekayaannya habis.
6) Perseroan atau perkongsian (al-Syirkah) dibangun atas prinsip
perwakilan dan kepercayaan, karena masing-masing pihak yang
telah menanamkan modalnya dalam bentuk saham kepada
perseroan, berarti telah memberikan kepercayaan kepada
perseroan untuk mengelola saham tersebut.
7) Masalah-masalah seperti bunga bank, asuransi, kredit, dan
masalah masalah baru lainnya.

2. Prinsip-Prinsip Muamalah
Muamalah adalah merupakan bagian dari hukum Islam yang
mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih dalam suatu transaksi.
Dari pengertian ini ada dua hal yang menjadi ruang lingkup dari
muamalah³: Pertama, bagaimana transaksi itu dilakukan. Hal ini
menyangkut dengan etika (adabiyah) suatu transaksi, seperti ijab kabul,
saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, adanya
hak dan kewajiban masing-masing, kejujuran; atau mungkin ada
penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber
dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam
kehidupan masyarakat. Kedua, apa bentuk transaksi itu. Ini menyangkut
materi (madiyah) transaksi yang dilakukan, seperti jual beli, gadai,
jaminan dan tanggungan, pemindahan utang, perseroan harta dan jasa,
sewa menyewa dan lain sebagainya. Berdasarkan ruang lingkup di atas,
maka prinsip-prinsip muamalah berada pada wilayah etika (adabiyah),

4
yaitu bagaimana transaksi itu dilakukan. Prinsip-prinsip itu pada intinya
menghendaki agar pada setiap prosesi transaksi tidak merugikan salah
satu atau kedua belah pihak, atau hanya menguntungkan salah satu pihak
saja.

Adapun prinsip-prinsip muamalah tersebut antara lain, adalah


sebagai berikut:
a) setiap transaksi pada dasarnya mengikat pihak-pihak yang
melakukan transaksi itu sendiri, kecuali transaksi itu ternyata
melanggar syariat. Prinsip ini sesuai dengan maksud ayat surat
al-Maidah : 1 dan surat al-Isra: 34 yang berbunyi:

َ ٰ ‫ٰ ا َٰيُّيه َا َ ِاَّل ْي ََن ٰا َمنُ ْوْٓا َا ْوفُ ْوا ِِبلْ ُع ُق ْو َِد ُا ِحلَتَْ لَ َُْك َبَ ِ ْي َم َُة ْ َاّلنْ َعا َِم ِا ََّل َما يُ ْت‬
َ‫ل عَلَ ْي َُْك غَ ْ َي‬
َُ‫الل َ َْي َُُك َما ُي ِريْد‬ََ ّ ٰ ‫الص ْي َِد َو َان َُْْت ُح ُرمَ ِا ََن‬ َ ‫ل‬ َ ّ ِ ‫ُم ِح‬
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.
Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan
kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (Q.S
Al-Maidah : 1)

َ‫ت ي َ ْبلََُغ َا ُشدَهَ َو َا ْوفُ ْوا ِِبلْ َع ْه َِد ِا َن‬َ ّ ٰ ‫هَ َا ْح َس َُن َح‬ َِ ‫ت‬ َْ ِ َ ‫َو ََّل تَ ْق َربُ ْوا َما ََل الْ َي ِت َِْي ِا ََّل ِِبل‬
َ‫الْ َعهْدََ ََك ََن َم ْسـُٔ ْو ًّل‬
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa,
dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya.” (Q.S Al-Isra : 34)

5
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan orang-orang
mukmin supaya memenuhi akad atau janjinya apabila mereka
melakukan perjanjian dalam suatu transaksi.2
b) Butir-butir perjanjian dalam transaksi itu dirancang dan
dilaksanakan oleh kedua belah pihak secara bebas tetapi penuh
tanggung jawab, selama tidak bertentangan dengan peraturan
syariat dan adab sopan santun.
c) Setiap transaksi dilakukan secara suka rela, tanpa ada paksaan
atau intimidasi dari pihak manapun.
d) Pembuat hukum (syar’i) mewajibkan agar setiap perencanaan
transaksi dan pelaksanaannya didasarkan atas niat baik, sehingga
segala bentuk penipuan, kecurangan dan penyelewengan dapat
dihindari.
e) Penentuan hak yang muncul dari suatu transaksi diberikan oleh
syara pada urf atau adat untuk menentukan kriteria dan
batasannya. Artinya, peranan urf atau adat kebiasaan dalam
bidang transaksi sangat menentukan selama syara tidak
menentukan lain. Oleh sebab itu, ada juga yang mendefinisi-kan
muamalah sebagai hukum syara, yang berkaitan dengan masa
keduniaan, seperti jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa.3

3. Jenis-Jenis Muamalah
Berdasarkan prinsip-prinsip yang disebutkan di atas, para ulama fiqh
membagi jenis muamalah kepada:

a) Jenis muamalah yang jenisnya ditunjuk langsung oleh nash (Al


Qur'an dan As-Sunah) dengan memberikan batasan tertentu. Seperti
keharaman tentang riba. Ketentuan haramnya riba ber sifat
permanen dan tidak dapat diubah dan tidak menerima perubahan.

2
Dudi Badruzaman, ‘Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Implementasinya Dalam Hukum Perbankan
Indonesia’, Jurnal Ekonomi Syariah Dan Bisnis, 1.2 (2018). Hal 110
3
Badruzaman. Hal. 111

6
b) Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh nash, tetapi
diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad para ulama, sesuai
dengan kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat
manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan
situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri.4

B. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Secara terminologi fiqh jual beli disebut dengan al-ba'i yang berarti
menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Lafal al-ba'i dalam terminologi fiqh terkadang dipakai untuk pengertian
lawannya, yaitu lafal al-Syira yang berarti membeli. Dengan demikian,
al-ba'i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli.
Menurut Hanafiah pengertian jual beli (al-ba’i) secara definitif yaitu
tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diingin kan dengan
sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun
menurut Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba'i)
yaitu tukar-menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan
milik dan kepemilikan. Dan menurut Pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, ba'i adalah jual beli antara benda dan benda, atau
pertukaran antara benda dengan uang.5

2. Rukun Jual Beli


Ada tiga rukun jual beli, yaitu:
a) Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli.
b) Objek transaksi, yaitu harga dan barang.
c) Akad (Transaksi), yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh kedua
belah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi,
baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun perbuatan.

Ada dua bentuk akad, yaitu:

4
Mardani. Hal. 43
5
Mardani. Hal. 101

7
a) Akad dengan kata-kata, yang dinamakan dengan ijab kabul, ijab
adalah kata-kata yang diucapkan terlebih dahulu, misalnya penjual
berkata: “Baju ini saya jual dengan harga Rp. 50.000,-. Sedangkan
kabul adalah kata-kata yang diucapkan kemudian. Misalnya,
pembeli berkata: “Barang saya terima”.
b) Akad dengan perbuatan, dinamakan juga ”Mu’athah”. Misalnya
pembeli memberikan uang seharga Rp. 50.000,- kepada penjual,
kemudian mengambil barang yang senilai itu tanpa terucap kata-kata
dari kedua belah pihak.

3. Hukum Jual Beli


Jual beli telah disahkan oleh Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma. Ada pun dalil
Al-Qur'an adalah QS. al-Baqarah/2: 275:
َ‫الل الْ َب ْي ََع َو َح َرََم ّ ِالربٰوا‬
َُ ّ ٰ ‫ َو َا َح ََل‬....”
Artinya:
"..... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ....”

Dan firman Allah QS. an-Nisaa'/4: 29:


َ‫َ ٰ ا َٰيُّيه َا َ ِاَّل ْي ََن ٰا َمنُ ْوا ََّل تَأْ ُ ُُك ْوْٓا َا ْم َوالَ َُْك بَيْنَ َُْك ِِبلْ َبا ِطلَِ ِا ََّل ا َا َْن تَ ُك ْو ََن ِِت ََار ًةَ َع َْن تَ َراضَ ِ ّمنْ ُ ْك‬
ََ ّ ٰ ‫َو ََّل تَ ْقتُلُ ْوْٓا َانْ ُف َس ُ ْكََ ِا ََن‬
‫الل ََك ََن ِب َُْك َر ِح ْي ًمَا‬
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seka lian memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali de ngan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."
Adapun dalil Sunah di antaranya adalah Hadis yang diriwayat kan
dari Rasulullah SAW, Beliau bersabda yang artinya:
"Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha." Ketika ditanya
usaha apa yang paling utama, beliau menjawab: "Usaha seseorang
dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur".

8
Adapun dalil ijma’, yaitu bahwa ulama sepakat tentang halalnya jual
beli dan haramnya riba, dengan berpegang pada ayat dan hadits diatas.6

4. Syarat Sahnya Jual Beli


Ada tujuh syarat sah jual beli, yaitu:
a) Saling rela antara kedua belah pihak.
b) Pelaku akad adalah orang yang sudah baligh, berakal, dan
mengerti.
c) Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya
oleh kedua belah pihak.
d) Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama (halal).
e) Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan.
f) Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad.
g) Harga harus jelas saat transaksi.

5. Bentuk-Bentuk Jual Beli


Dari berbagai tinjauan, jual beli dibagi menjadi beberapa bentuk,
yaitu sebagai berikut:
a) Ditinjau dari sisi objek akad jual beli
1) Tukar-menukar uang dengan barang.
2) Tukar-menukar barang dengan barang (Muqayadhah atau
barter).
3) Tukar-menukar uang dengan uang (sharf) misalnya menukar
rupiah dengan riyal.
b) Ditinjau dari sisi waktu serah terima, jual beli dibagi menjadi empat,
yaitu
1) Barang dan uang serah terima dengan tunai (ba’i).
2) Uang dibayar di muka dan barang menyusul pada waktu yang
telah disepakati (salam).
3) Barang diterima dimuka dan uang menyusul (ba’i ajal).
Misalnya kredit.

6
Mardani. Hal. 103

9
4) Barang dan uang tidak tunai atau utang dengan utang (ba’i dan
bi dain).
c) Ditinjau dari cara menetapkan harga, jual beli dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Ba’i Musawamah, yaitu jual beli dengan cara tawar-menawar,
dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga barang, tetapi
menetapkan harga tertentu untuk membuka peluang untuk
ditawar.
2) Ba’i Amanah, yaitu jual beli dimana penjual menyebutkan harga
pokok barang lalu menyebutkan harga jual barang tersebut. Ba’i
ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
• Ba’i Murabahah, yaitu pihak penjual menyebutkan
harga pokok barang dan laba.
• Ba’i Wahdhi’iyyah, yaitu penjual menyebutkan harga
pokok barang atau menjual barang tersebut dibawah
harga pokok.
• Ba’i Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok
dan menjualnya dengan harga tersebut.

6. Persyaratan Jual Beli


Hukum asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan
mengikat, maka dibolehkan bagi kedua belah pihak menambah kan
persyaratan dari akad awal. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah:
"...Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu..." (QS.
al-Maidah : 1).
Dan Hadis Rasulullah SAW yang artinya:
"Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"orang Islam itu terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi
syarat itu tidak meng haramkan yang halal dan menghalalkan yang
haram." (HR. Tirmidzi)
Melihat Hadis di atas, maka persyaratan dalam jual beli terbagi
kepada dua, yaitu:

10
a) Persyaratan yang dibenarkan agama.
b) Persyaratan yang dilarang agama.
Adapun persyaratan yang dibenarkan agama, yaitu:
a) Persyaratan yang sesuai dengan tuntutan akad.
b) Persyaratan tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli
mengajukan dhamin (penjamin/guanrator) atau barang agunan,
biasanya untuk jual beli kredit.
c) Persyaratan washfiyah, yaitu pembeli mengajukan persyaratan
kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran.
d) Persyaratan manfaat pada barang.
e) Persyaratan taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal
yang bertentangan dengan kewenangan kepemilikan.
f) Persyaratan akad fi akad, yaitu menggabungkan dua akad dalam
satu akad..
g) Syarat jaza'i (persyaratan denda/kausul penalti), yaitu
persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai
pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak terpenuhi.
Persyaratan ini diboleh kan jika objek-objek akadnya adalah
kerja dan bukan harta.
h) Syarat takliqiyyah. Misalnya, penjual berkata: "Saya jual mobil
ini kepadamu dengan harga Rp 50.000.000,- jika orangtuaku
setuju. Lalu pembeli berkata, "Saya terima". Dan jika
orangtuanya setuju maka akad menjadi sah.

Sedangkan persyaratan yang dilarang oleh agama misalnya:

a) Persyaratan yang menggabungkan akad qardh dengan ba'i,


misalnya: Pak Ahmad meminjamkan uang kepada Pak Khalid
sebanyak Rp 50.000.000,- dan akan dikembalikan dalam jumlah
yang sama dengan syarat Pak Khalid menjual mobilnya kepada
Pak Ahmad dengan harga Rp 30.000.000,-.

11
b) Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya,
seseorang menjual mobilnya dengan syarat kepemilikannya
tidak berpindah kepada pembeli. Persyaratan ini bertentangan
dengan tujuan akad, karena tujuan akad ba'i adalah perpindahan
kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan dengan
adanya persyaratan ini maka akad ba'i menjadi semu.7

7. Hikmah Jual Beli


Allah SWT Mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan
dan keleluasaan kepada hamba-hambaNya karena semua manusia
secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan
papan. Kebutuhan seperti ini tidak pernah putus selama masih hidup.
Tidak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena
itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam dubungan
ini tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar.
Seseorang akan memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing.
Diantara hikmah yang lain yaitu melapangkan persoalan-persolan
kehidupan. Dapat meredam terjadinya perselisihan, perampokan,
pencurian, pengkhianatan, dan penipuan, karena orang yang
membutuhkan barang akan cenderung kepada barang yang ada di tangan
orang lain.

C. Sewa-Menyewa
1. Pengertian Ijarah
Dalam Islam hukum sewa-menyewa disebut ijarah. Ijarah adalah
perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam wak tu tertentu melalui
pembayaran sewa. Atau Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas
suatu barang dan atau upah-mengupah atas suatu jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Menurut Dr.

7
Mardani. Hal. 108-112

12
Muhammad Syafi'i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan (ownership/mil kiyah) atas barang itu
sendiri.8

2. Dasar Hukum Ijarah


Dasar hukum ijarah adalah firman Allah QS. al-Baqarah/2: 233 sebagai
berikut:
ََ َ‫ َوا َِْن َا َرد هَّْْت َا َْن ت َ ْس َ َْت ِض ُع ْوْٓا َا ْو َّلد ََُْك فَ َ َل ُجن‬....
َ‫اح عَلَ ْي َُْك ِا َذا َسل َ ْم َُْت َمَا ا ٰاتَي َُْْت ِِبلْ َم ْع ُر ْو ِف‬
"Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut....""
Ayat di atas menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam
Hukum Islam, seperti yang diungkapkan dalam ayat bahwa seseorang
itu boleh menyewa orang lain untuk menyusui anaknya, tentu saja ayat
ini akan berlaku umum terhadap segala bentuk sewa-menyewa.
Selain itu, Hadis Nabi Muhammad SAW Riwayat Bukhari Mus lim
sebagai berikut: "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
SAW bersabda: berbekamlah kamu, kemudian berikanlah oleh mu
upahnya kepada tukang bekam itu. Dalam Hadis lain disebutkan dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah upah pekerja
sebelum keringatnya kering." (HR. Ibnu Majah)

3. Rukun Ijarah
Adapun rukun-rukun ijarah yaitu:
a) Pihak yang menyewa.
b) Pihak yang menyewakan.
c) Benda yang diijarahkan.
d) Akad.9

8
Mardani. Hal. 247
9
Mardani. Hal 248

13
4. Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah
mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia. Tujuan
dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan
materil.Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan
atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT.

D. Gadai
1. Pengertian Gadai
Gadai berasal dari bahasa Arab yaitu ‫( ﻦﻫﺮﻟﺍ‬Ar-Rahnu) yang berarti
‫( ﺕﻮﺒﺜﻟﺍ – ﻡﺍﻭﺪﻟﺍ‬Ats-Tsubut – Ad-Dawam) yaitu tetap dan terus menerus1.
Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa rahn (gadai) dengan fathah di
awalnya dan huruf “ha“ disukun menurut bahasa ‫( ﺱﺎﺒﺘﺣﻷﺍ‬Al-Ihtibas)
yang berarti menahan, dalam bentuk maf’ul bih dengan sebutan masdar.
Adapun kata ‫( ﻦﻫﺮﻟﺍ‬Ar-Ruhun) dengan dhomatain adalah jama’nya,
bentuk jama’ lainnya yaitu ‫( ﻥﺎﻫﺮﻟﺍ‬Ar-Rihan) dengan “ra“ dikasrah
seperti dalam kata ‫( ﺐﺘﻛ‬kutubun) dari mufrad kitab yang dapat dibaca
dua- duanya. Seperti firman Allah dalam QS Al- Mudatsir ayat 38 :

َ ‫ُكلٌۙ َن ْفسٌۙ ِب َما َك‬


ٌْۙ ‫س َب‬
ٌۙ‫ت َر ِه ْينَة‬
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya “.
Demikian juga sabda Nabi yang artinya :
"Jiwa seorang mu'min itu tertahan dengan hutangnya sampai
dibayar- kan" makna marhunah dalam sabda nabi ini adalah bahwa
seseorang itu tertahan di kubur dengan hutang- hutang yang ada
padanya.”

Sedangkan menurut istilah syara' gadai adalah :

“Menjadikan harta sebagai jaminan atas hutang, dan dimutlakan


atasharta benda yang dijadikan jaminan“.

14
M. Ali Hasan menukil definisi yang ada dalam Ensiklopedi
Indonesia mengatakan bahwa yang dinamakan gadai atau hak gadai
adalah “ Hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn)
adalah akad hutang-piutang dengan menjadikan suatu harta sebagai
jaminan hutang tersebut, dalam pengertian sempit, gadai juga bisa berarti
harta yang menjadi jaminan atas hutang tersebut.10

5. Dasar Hukum Gadai


Landasan hukum yang membolehkan adanya praktIk gadai adalah
firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 283 :
‫َوا ِْن ُك ْن ُ ُْت عَ ىٰل َس َف ٍر ذولَ ْم ََتِدُ ْوا ََكتِ ًبا فَ ِره ٌىن ذم ْق ُب ْوضَ ٌة ۗفَ ِا ْن َا ِم َن ب َ ْعضُ ُ ُْك ب َ ْعضً ا فَلْ ُي َؤ ِد ذ ِاَّلى‬
ُ ‫اّلل َرب ذ ٗه ۗ َو ََل تَ ْكتُ ُموا الشذ هَا َد َةۗ َو َم ْن يذ ْكتُ ْمهَا فَ ِان ذ ٗ ٓٗه ىا ِ ٌِث قَلْ ُب ٗه ۗ َو ى‬
‫اّلل ِب َما تَ ْع َملُ ْو َن‬ َ ‫اؤْ تُ ِم َن َا َمانَتَ ٗه َولْ َيتذ ِق ى‬
‫عَ ِل ْ ٌي‬
”Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan

seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.


Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah
dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya,
sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di menyatakan tentang ayat ini
bahwa Apabila kalian dalam perjalanan dan tidak mendapatkan seorang
penulis yang akan menuliskan akad hutang kalian maka dapat
digantikan dengan adanya barang jaminan, sebagai bentuk gadai yang
harta benda tersebut dapat dipegang oleh murtahin. Sementara dalam
Tafsir Jalalain disebutkan bahwa "Sunnah menyatakan diperboleh-

10
Abdurrahman Misno, ‘Gadai Dalam Syariat Islam’, Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam,
2018. Hal 26-27

15
kannya jaminan itu di waktu mukim dan adanya penulis", hal ini
mengindikasikan masyru'nya gadai ketika dalam perjalanan.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang artinya:
"Bahwasanya Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi
dan meminjamkan (menggadaikan) kepadanya baju besinya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kemudian ada hadits riwayat Anas bin Malik yang artinya:
"Rasulullah telah menggadaikan baju besinya kepada seorang
Yahudi dan meminjam kepadanya gandum untuk kebutuhan keluarga-
nya". (HR. Ahmad, Bukhari dan Nasai).
Adapun dalil dari ijma adalah kesepakatan ( ijma' ) para ulama
mengenai diperbolehkannya gadai, seperti yang disebutkan oleh
Wahbah Zuhaili yang mengetengahkan pendapat bahwa semua ulama
sepakat tentang hal ini. Para Ulama di Indonesia melalui Dewan Syari'ah
Nasional juga telah mengeluarkan fatwa mengenai gadai, yaitu fatwa
No: 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan
bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dalam bentuk rahn diperbolehkan.
Dari dalil-dalil yang disebutkan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa gadai adalah sebuah akad yang dibolehkan dalam Islam, adapun
hukumnya adalah Jaiz (boleh) dan bukanlah sesuatu yang wajib.
Adapun hukum dari akad gadai sendiri seperti pendapat Rahmat Syafe'i
yang menukil pendapat dari Ibnu Qudamah yang mengatakan bahwa
hukum gadai tidaklah wajib karena hukum hutang sendiri tidaklah
wajib.
Asal dari akad gadai adalah akad tabaru' (derma), yaitu untuk
membantu orang lain yang membutuhkan uang atau harta benda,

16
sehingga akad ini sebagai alternatif bagi seseorang yang ingin berhutang
dengan menjadikan harta bendanya sebagai jaminan.11

6. Rukun dan Syarat Sah Gadai


Tidak akan sah suatu akad tanpa adanya unsur-unsur yang menjadi
rukun serta syarat sahnya, gadai sebagai sebuah akad perjanjian hutang
piutang harus memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu.
Adapun rukun dari gadai adalah :
a) Orang yang berakad, mereka adalah dua orang yang berakad (rahin)
dan murtahin (pemilik piutang yang menguasai harta gadai sebagai
jaminan hutangnya).
b) Ma'qud alahi, yaitu harta benda yang menjadi barang jaminan serta
hutang sebagai pinjaman rahin.
c) Shighat, yaitu lafadz yang terdiri dari ijab dan qabul dari kedua
pihak yang melakukan transaksi gadai.

Adapun syarat-syarat bagi sahihnya suatu akad gadai adalah sebagai


berikut :

a) Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh dua orang yang berakad


adalah faham dengan akad yang dilaksanakan, yang berarti
sudah baligh, berakal dan tidak gila.
b) Syarat bagi barang jaminan adalah hendaknya barang tersebut
ada ketika akad berlangsung, namun boleh juga dengan
menunjukan bukti kepemilikannya seperti surat-surat tanah,
kendaraan dll. Demikian juga hendaknya barang tersebut harus
utuh, bukan hutang, barang tersebut adalah barang yang
didagangkan atau dipinjamkan, barang warisan dan barang
tersebut hendaknya bukan barang yang cepat rusak.
c) Syarat pada sighat (lafadz), hendaknya lafadz dalam ijab qabul
itu jelas dan dapat dipahami oleh pihak yang berakad, Ulama

11
Misno. Hal. 29

17
Hanafiyah mensyaratkan bahwa sighat gadai hendaknya tidak
terkait dengan sesuatu syarat dan tidak dilakukan di waktu yang
akan datang. Hal ini karena akad gadai mirip dengan akad jual
beli. Adapun lafadz gadai dapat berupa ucapan "aku gadaikan
harta bendaku" dll. Boleh juga tanpa lafadz tertentu namun tetap
mengindikasi- kan akad gadai.
d) Syarat Marhun Bih, marhun bih adalah hak yang diberikan oleh
murtahin kepada rahin ketika terjadi akad gadai, para ulama
selain Hanafiyah mensyaratkan bahwa marhun bih hendaknya
adalah berupa hutang baik hutang ataupun barang, dan dapat
dibayarkan (dikembalikan) serta benda tersebut milik
murtahin.12

7. Jenis-Jenis Gadai
Gadai jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi menjadi dua yaitu
gadai shahih dan gadai fasid adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
a) Rahn Shahih / lazim, yaitu rahn yang benar karena terpenuhi syarat
dan rukunnya.
b) Rahn Fasid, yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan
syaratnya.

Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan syaratnya maka
membawa dampak yang harus dilakukan oleh murtahin dan juga rahin,
diantara dampak tersebut adalah:

a) Adanya hutang bagi rahin (penggadai).


b) Penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin kepada
murtahin.
c) Kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin.
d) Biaya-biaya pemeliharaan harta gadai menjadi tanggung jawab
rahin, karena itu murtahin berhak untuk memintanya kepada rahin.

12
Misno. Hal. 29-30

18
Sedangkan pada rahn yang fasid maka tidak ada hak ataupun
kewajiban yang terjadi, karena akad tersebut telah rusak / batal. Para
imam madzhab fiqh telah sepakat mengenai ha ini. Karena itu tidak ada
dampak hukum pada barang gadaian, dan murtahin tidak boleh
menahannya, serta rahin hendaknya meminta kembali barang gadai
tersebut, jika murtahin menolak mengembalikannya hingga barang
tersebut rusak maka murtahin dianggap sebagai perampas, karena itu
dia berhak mengembalikannya. Jika rahin meninggal dunia sedangkan
dia masing berhutang, maka barang gadaian tersebut menjadi hak milik
murtahin dengan nilai yang seimbang dengan hutangnya.13

8. Bertambahnya Harta Gadai


Harta gadai yang dapat bertambah karena suatu sebab seperti hewan
peliharaan yang bertelur atau melahirkan anaknya, pohon yang berbuah
ataupun hasil dari sewa rumah dari gadai maka para ulama menyatakan
tetap menjadi milik Rahin.
Shaleh Al-Fauzan menyebutkan bahwa jika orang yang berpiutang
mengambil manfaat dari hutangnya maka hal ini termasuk riba.
Dikatakan riba karena dia mengambil keuntungan dari piutangnya
sehingga seakan-akan keuntungan tersebut adalah bunga.
Harta benda gadai tetap menjadi milik mutlak bagi rahin
(penggadai), murtahin hanya berhak atas jasa dari pemeliharaannya.
maka hendaknya murtahin tidak menggunakannya kecuali dengan izin
rahin.14

9. Pemanfaatan Harta Gadai


Sebagian ahli fiqh membagi harta gadai menjadi dua macam yaitu :
1) Harta benda gadai yang memerlukan pemeliharaan (makanan), jenis
ini terbagi menjadi dua yaitu hewan peliharaan yang dapat tunggangi
dan diperah susunya serta gadai pada zaman jahiliah seperti 'Abd
(budak lak-laki) dan 'Amah (budak perempuan).

13
Misno. Hal. 30-31
14
Misno. Hal. 31-32

19
2) Gadaian yang tidak memerlukan pemeliharaan semisal pemberian
makanan seperti rumah, perhiasan dan lain-lain, maka dalam hal ini
murtahin tidak berhak mengambil manfaat darinya kecuali dengan
izin dari rahin (pengadai).15

10. Berakhirnya Akad Gadai


Ada beberapa sebab yang menjadikan akad gadai akan berakhir di
antaranya adalah :
a) Rahn diserahkan kepada pemiliknya. Ketika barang gadaian
dikembalikan kepada pemiliknya maka berakhirlah akad gadai
tersebut.
b) Hutang dibayarkan semuanya. Dengan dibayarkannya hutang maka
rahin berhak mengambil kembali barang gadaiannya.
c) Penjualan rahn secara paksa oleh hakim. Hakim berhak mengambil
harta rahn dari murtahin untuk pembayaran hutang rahin, walaupun
rahin menolak hal itu.
d) Pembebasan hutang oleh murtahin. Ketika murtahin membebaskan
hutang rahin maka berakhirlah akad gadai tersebut.
e) Pembatalan hutang dari pihak murtahin. Murtahin berhak untuk
membatalkan hutang kepada pihak rahin, ketika hal ini terjadi maka
batalah akad gadai.
f) Rahin meninggal dunia. Menurut pendapat ulama Malikiyah bahwa
rahn itu batal jika rahin meninggal dunia sebelum menyerahkan
harta gadai kepada murtahin, bangkrut, tidak mampu untuk
membayar hutangnya, sakit atau gila yang membawa pada kematian.
g) Rahn rusak atau sirna. Dengan rusak atau sirnanya harta gadai maka
berakhirlah akad gadai tersebut.
h) Pemindahan rahn kepada pihak lain baik berupa hadiah, hibah atau
shadaqah.16

15
Misno. Hal. 32
16
Misno. Hal. 34

20
11. Hikmah Gadai
Hikmah disyariatkannya gadai dapat memberikan pemanfaatan atas
barang yang digadaikan juga disisi lain dapat memberikan keamanan
bagi rahin dan murtahin, bahwa dananya tidak akan hilang jika dari
pihak rahin ingkar janji untuk membayar utangnya karena ada suatu aset
atau barang yang dipegang oleh pihak murtahin. Dari sisi peminjam atau
rahin dapat memanfaatkan dana pinjamanya untuk usaha secara
maksimal sehingga membantu menggerakkan roda perekonomian
menuju kesejahteraan lebih baik, lebih maju, dan lebih makmur.

12. Praktik Gadai di Indonesia


Di Indonesia ada beberapa praktik gadai, diantaranya adalah yang
terjadi di daerah pedesaan, dimana sebagian mereka menggadaikan
sawah, ladang atau pohon kelapa, dan hasil dari barang gadaian
tersebut menjadi hak penuh bagi murtahin, hal ini tentu bertentangan
dengan sabda Nabi yang artinya:
“Setiap pinjaman yang mengambil manfaat maka itu adalah riba".
(HR. Al-Harist bin Abi Usamah).
Hal di atas terjadi karena ketidakpahaman mengenai akad gadai,
yang dipahami menjadi milik mutlak bagi murtahin. Karena tujuan dari
rahn adalah sebagai penguat kepercayaan orang yang berhutang kepada
pemilik piutang, bukan untuk mencari keuntungan. Mengenai biaya
perawatan barang gadaian maka hal ini menjadi kewajiban rahin, dan
murtahin berhak untuk meminta biaya perawatan tersebut.
Karena itu buah dari pohon dan penghasilan dari sawah atau ladang
adalah menjadi milik dari rahin, dan jika murtahin yang menggarap
sawahnya maka harus dengan izin dari rahin. 17

17
Misno. Hal. 35

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur
hubungan antara dua pihak atau lebih, baik antara seorang pribadi
dengan dengan peribadi lain, maupun antar badan hukum, seperti
perseroan, firma, yayasan, negara, dan sebagainya. Menurut Hanafiah
pengertian jual beli (al-ba’i) secara definitif yaitu tukar-menukar harta
benda atau sesuatu yang diingin kan dengan sesuatu yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat. Ijarah adalah transaksi sewa-
menyewa atas suatu barang dan atau upah-mengupah atas suatu jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.
Gadai (rahn) adalah akad hutang-piutang dengan menjadikan suatu
harta sebagai jaminan hutang tersebut, dalam pengertian sempit, gadai
juga bisa berarti harta yang menjadi jaminan atas hutang tersebut.

B. Saran
Penulis menyadari ketidaksempurnaan dari makalah ini. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun penulis untuk
lebih baik kedepannya. Penulis juga berharap kepada pembaca untuk
mencari sumber bacaan lain untuk memperluas pengetahuan mengenai
logika matematika untuk pemecahan masalah sehari-hari.

22
DAFTAR PUSTAKA

Badruzaman, Dudi, ‘Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Implementasinya Dalam


Hukum Perbankan Indonesia’, Jurnal Ekonomi Syariah Dan Bisnis, 1.2
(2018)
Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH Fiqh Muamalah, 2012
Misno, Abdurrahman, ‘Gadai Dalam Syariat Islam’, Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi
Dan Bisnis Islam, 2018

23

Anda mungkin juga menyukai