Dosen Pengasuh:
Sulfan Wandi, Dr.M.Ag.
Disusun Oleh:
BANDA ACEH-2023/1444 H
KATA PENGANTAR
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB SATU
PENDAHULUAN
C. Tujuan Penulisan
3. Agar mengetahui perbedaan pendapat ulama mengenai kepemilikan harta dalam islam
1
BAB DUA
PEMBAHASAN
1
Wahbah Al-Zuhayly, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Cet III Jilid 5, Damaskus: Dar Al-Fikr,1989. Hal.
489
2
Zaky Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga,2009,
Hal.141.
3
Faruq Nabhan, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan setelah Kegagalan Sistem Kapitalis danSosialis
(Terjemah), Yogjakarta: UII Press, 2000,Hal. 42
2
menggunakan harta orang yang berada di bawah ampunannya, pengampu punya hak untuk
membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampunannya.
Dengan kata lain dapat dikatakan “tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak
semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki”. 4
Dasar Hukum Kepemilikan Dalam Islam, sebagaimana berikut:
Dalam QS Al-Maidah Ayat 17 :
“... kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya;
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu....”
Dalam QS : Thahaaa Ayat 6 :
“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di
antara keduanya dan semua yang di bawah tanah”
Dalam QS: An- Nisa’ Ayat 29 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu....”. 5
Adapun hadits tentang kepemilikan hartadalam islam adalah :
Dari Aisyah RA. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya hal yang terbaik
yang dimakan oleh seseorang adalah apa yang Ia dapat dari hasil usahanya sendiri, dan
sungguh anaknya adalah hasil usahanya”. (HR. Ibnu Majah).
Dari abu Hurairah, ia berkata : ”Rasulullah SAW bersabda, janganlah kalian saling
dengki, janganlah kalian saling dengki, janganlah kalian saling hasad, janganlah kalian
saling menipu, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membeli
barang yang sudah dibeli orang lain, dan janganlah kalian saling mendahului dalam
tramsaksi” (H.R. Muslim)
4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Raja Grafindo, 2005, Hal. 33-34.
5
Atas dasar ini, Afzalur Rahman dalam bukunya, Economics Doctrine of Islam menginterpretasikan bahwa
kata “amwalakum” seolah-olah menegaskan bahwa semua harta benda akan menjadi milik masyarakat (umat)
dengan tendensi bahwa harta merupakan amanah dan pemiliknya mempunyai tanggungjawab sosial, seperti
shadaqah, infaq, zakat, dan lain sebagainya.Lihat: Afzalur Rahman, Islamics Doktrin of Islam diterjemahkan oleh
Soeroyo, Nastangin Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, Yogjakarta: Dana Bhakti Waqaf. 1995. Hal.105
3
Dari Anas bin malik, is berkata: Rasulullah SAW berkata “ barang siapa yang meminta
minta (harta ) padahal ia mampu bekerja, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan
wajah yang tidak berkulit karena merahnya”. (HR. Abu Daud)
B. Contoh kasus fiqh terhadap kepemilikan harta tanpa izin dalam islam
Sebuah kasus di Desa Pematang Sei Baru tentang masalah sisa kain jahitan sering luput
dari perhatian masyarakat, tanpa disadari ketika seseorang atau sekelompok orang memesan
jahitan yang bahannya atau kainnya di bawa sendiri oleh pemesan atau, tidak ada perjanjian
apapun selain perjanjian waktu penyelesaian dan model baju yang dinginkan oleh pemesan.
Hampir semua penjahit ketika bahan atau kain yang akan di jahit kurang maka penjahit akan
meminta tambahan bahan atau kain kepada pemesan, namun penjahit tidak menyinggung atau
mengembalikan kain sisa jahitan apabila berlebih.
Adapun pendapat Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 6
yang bunyinya: “seandainya ada seseorang yang menghashab (menyerobot) suatu barang milik
orang lain, lalu sipemilik barang itu berkata, “Aku menggugurkan kepemilikanku”, maka
kepemilikannya tidak bisa gugur dan barang itu statusnya tetap menjadi miliknya. Akan tetapi
yang bisa di lakukan hanyalah memindahkan kepemilikan. Karena tidak boleh suatu itu tanpa
ada pemilik. Pemindahan kepemilikan bisa melalui cara akad yang memindahkan suatu
kepemilikan seperti jual beli, pewarisan atau wasiat”.
Berdasarkan pendapat Wahbah Zuhaili diatas dapat dipahami bahwa penjahit tidak bisa
menggunakan atau mengambil sisa kain jahitan tersebut tanpa ada izin atau akad kepemindahan
barang terelebih dahulu dengan pemilik kain atau pemesan. Allah SWT juga telah melarangnya
dalam QS. An-Nisa’ ayat 29 dan QS. Al-Baqarah ayat 188.
C. Perbedaan pendapat ulama tentang kepemilikan harta dalam islam
Dalam islam, mengambil harta orang lain tanpa izin atau hak yang sah dianggap sebagai
perbuatan yang sangat dilarang. Sebagian ulama sepakat tentang hal ini, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka tentang beberapa aspek tertentu. Diantaranya:
Mengenai hukuman: beberapa ulama berpendapat bahwa seseorang yang mengambil
harta orang lain tanpa izin atau hak yang sah akan dikenakan hukuman yang berupa
denda atau penjara, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa harus disesuaikan
dengan nilai harta yang diambil.
4
Mengenai Restitusi : beberapa ulama berpendapat bahwa pengembalian harta harus
dikembalikan kepada pemiliknya tanpa tambahan apapun, sedangkan ulama yang lain
berpendapat bahwa harta harus dikembalikan dengan tambahan tertentu sebagai
pengganti kerugian atau kehilangan yang dialami oleh pemilik harta tersebut.
Mengenai kepemilikan yang sah: beberapa ulama berpendapat bahwa kepemilikan hanya
sah jika didasarkan pada perjanjian tertulis atau kesepakatan lisan, sedangkan pendapat
ulama lain berpendapat bahwa kepemilikan juga dapat dianggap sah jika didasarkan pada
tradisi atau kebiasaan.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang aspek aspek dari
kepemilikan harta orang lain tanpa izin dalam islam, kesepakatan umum adalah bahwa tindakan
tersebut adalah sangat dilarang dan dapat dikenakan hukuman yang keras. Islam menekankan
pentingnya menghormati hak hak orang lain dan tidak merugikan orang lain dalam hal apapun,
termasuk dalam hal kepemilikan harta. Oleh karena itu, setiap orang harus memastikan bahwa
kepemilikan harta yang dimilikinya didasarkan pada hak yang sah dan tidak merugikan orang
lain.
5
BAB TIGA
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam menekankan pentingnya menghormati hak-hak orang lain dan tidak merugikan
orang lain dalam hal apapun, termasuk dalam hal kepemilikan harta. Jika seseorang melakukan
kesalahan atau telah mengambil harta orang lain tanpa izin, maka dia harus meminta maaf dan
mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.
Dalam Islam, keadilan dan kesetaraan sangat ditekankan, dan mematuhi hak-hak orang
lain adalah bagian penting dari keadilan sosial. Oleh karena itu, semua orang harus berusaha
untuk hidup dengan penuh rasa hormat dan kepercayaan terhadap hak-hak orang lain, dan
menghindari melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain.
B. Saran
Orang yang mengambil harta orang lain tanpa izin diperintahkan untuk meminta maaf
dan mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Selain itu, mereka harus bertobat dan
berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama di masa depan.
Namun, penting juga untuk memahami bahwa setiap tindakan yang merugikan orang lain
memiliki konsekuensi yang harus dihadapi, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu,
untuk menghindari kesalahan seperti itu di masa depan, disarankan untuk memahami dan
menghormati hak-hak orang lain, serta memperkuat nilai-nilai moral dan etika yang dianut dalam
Islam
6
DAFTAR PUSTAKA
Wahbah Al-Zuhayly, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Cet III Jilid 5, Damaskus: Dar Al-
Fikr,1989. Hal. 489
Zaky Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam, Jakarta:
Erlangga,2009, Hal.141.
Faruq Nabhan, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan setelah Kegagalan Sistem Kapitalis
danSosialis (Terjemah), Yogjakarta: UII Press, 2000,Hal. 42
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Raja Grafindo, 2005, Hal. 33-34.
Atas dasar ini, Afzalur Rahman dalam bukunya, Economics Doctrine of Islam
menginterpretasikan bahwa kata “amwalakum” seolah-olah menegaskan bahwa semua harta
benda akan menjadi milik masyarakat (umat) dengan tendensi bahwa harta merupakan amanah
dan pemiliknya mempunyai tanggungjawab sosial, seperti shadaqah, infaq, zakat, dan lain
sebagainya.Lihat: Afzalur Rahman, Islamics Doktrin of Islam diterjemahkan oleh Soeroyo,
Nastangin Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, Yogjakarta: Dana Bhakti Waqaf. 1995. Hal.105