Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSEP KEPEMILIKAN DAN AKAD

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Mu’amalah

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Umar Yusuf, M.Hum

Dibuat Oleh:
Kelompok 2
Nona Manis (20220213034)

Nabila Lesi Aurelia (20220213008)

Galih Adhitya Putra (20220213002)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMAMMAD AZIM
JAMBI
2023
Kata pengantar

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kepemilikan dan
Akad” Sholawat serta salam marilah kita curahkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW semoga kita mendapat syafaatnya di akhirat kelak.

Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban kami dalam


proses perkuliahan pada mata kuliah Fiqih Mu’amalah. Dan juga diharapkan
makalah ini dapat memberikan pemahaman kepada kita bersama. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan, untuk itu
penulis menerima apabila ada saran dan kritik dari pembaca, guna mengevaluasi
tulisan kami agar lebih baik lagi.

Jambi, 26 September 2023

Penulis,

i
DAFTAR ISI
Kata pengantar .................................................................................................................... i
1. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 2
2. PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3
2.1. Kepemilikan ............................................................................................................ 3
A. Pengertian dan dasar hukum kepemilikan............................................................. 3
B. Macam-macam kepemilikan .................................................................................. 3
C. Sebab-sebab kepemilikan ...................................................................................... 5
D. Hikmah kepimilikan ................................................................................................ 7
E. Pengertian dan contoh ihrazul muhabat ............................................................... 7
2.2. AKAD ...................................................................................................................... 9
1. Pengertian dan dasar hukum aqad ........................................................................ 9
2. Syarat dan hukum aqad ....................................................................................... 10
3. Macam-macam sighat dalam aqad ...................................................................... 11
4. Macam-macam aqad............................................................................................ 12
5. Hikmah aqad ........................................................................................................ 17
3. PENUTUP ..................................................................................................................... 18
3.1. KESIMPULAN ........................................................................................................ 18
4. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20

ii
1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk sosial, dimana satu individu membutuhkan individu


yang lain dalam menghadapi berbagai persoalan hidup untuk memenuhi
kebutuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap manusia
mempunyai kebutuhan, sering terjadi pertentangan-pentertangan kehendak. Oleh
karena itu, untuk menjaga keperluan masing-masing perlu ada aturan-aturan yang
mengatur kebutuhan manusia agar tidak melanggar hak-hak yang lainnya. Maka,
timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia salah satunya adalah hak
milik sebagai salah satu fitrah manusia yang Allah ciptakan bagi mereka. Pemilik
sesungguhnya dari sumber daya yang ada, adalah Allah SWT, manusia dalam hal
ini hanya dititipkan untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu dapat diambil
kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta tidak
diakui dalam Islam. Konsep kepemilikan dan harta dalam Islam tidak mengenal
kepemilikan yang mutlak sebagaimana yang terdapat dalam konsep ekonomi
konvensional. Harta yang dimiliki merupakan suatu ujian bagi manusia, agar
manusia selalu mengingat nikmat Allah SWT atas karunia yang telah diberikan.
Islam telah mengatur dalam syariatnya terhadap pengelolaan harta, baik mulai dari
cara pemerolehannya maupun dalam pemanfaatannya. Harta yang diperoleh
melalui usaha langsung maupun melalui transaksi yang dalam prosesnya
ditentukan oleh keberadaannya akad yang telah disepakati. Hal ini begitu penting,
bagaimana harta seseorang itu diperoleh dan hartanya digunakan untuk apa yang
akan menjadi pertanyaan Allah di hari kiamat.

1
1.2. Rumusan Masalah

A. Bagaimana pengertian kepemilikan dan akad?


B. Sebutkan Macam–macam kepemilikan dan akad?
C. Apa Sebab–sebab kepemilikan?
D. Apa saja Syarat dan hukum akad?
E. Pengertian ihrazul muhabat, khalafiyah, dan ihya mawat al-ardl?
F. Apakah Hikmah kepemilikan dan akad?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam fiqh muamalah.
2. Untuk memperdalam materi kepemilikan dan akad agar bisa menerapkan di
kehidupan sehari-hari.
3. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah.

2
2. PEMBAHASAN

2.1. Kepemilikan

A Pengertian dan dasar hukum kepemilikan

Secara bahasa, kepemilikan (Al-Milk) berasal dari bahasa arab dari akar kata
“malaka” yang artinya penguasaan terhadap sesuatu. Adapun menurut ulama fiqh,
adalah kekhususan seorang pemilik terhadap sesuatu untuk dimanfaatkan, selama
tidak ada penghalang syar’i. Oleh karena itu, jika ada seseorang menguasai dan
mendapatkan harta dengan cara yang legal, maka harta itu terkhusus untuknya,
dan keterkhususan harta itu untuknya membuatnya bisa memanfaatkannya kecuali
jika ada alasan atau sebab yang ditetapkan syara’ yang menghakanginya dari
melakukan hal itu, seperti gila, idiot, masih anak-anak dan lain sebagainya.
Dasar hukum kepemilikan, terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 284
Arab-Latin: Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, wa in tubdụ mā fī
anfusikum au tukhfụhu yuḥāsibkum bihillāh, fa yagfiru limay yasyā`u wa
yu'ażżibu may yasyā`, wallāhu 'alā kulli syai`ing qadīr
Artinya: Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

B Macam-macam kepemilikan

Menurut pandangan Islam bahwa hak milik itu dapat dibedakan menjadi
beberapa macam di antaranya:
1. Hak milik individu/pribadi
Islam membolehkan/membenarkan hak individu terhadap harta benda dan
membenarkan pemilikan semua jenis harta benda yang diperoleh secara halal di
mana seseorang mendapatkan sebanyak harta yang mampu diperolehnya.

3
“Menurut pengetahuan ,kemahiran dan tenaga dengan menggunakan cara-cara
yang bermoral dan tidak anti sosial”. Islam menganggap tidak ada bahaya dalam
hak milik perseorangan bahkan sebaliknya menggalakkan setiap orang supaya
berusaha. Islam membenarkan hak milik pribadi. Tetapi tidak memberikan
kebebasan tanpa batas menggunakan hak tersebut sekehendaknya. Islam
membenarkan hak pribadi di tetapkan menurut ketentuan-ketentuan tertentu
supaya tidak membahayakan. Islam memberi kuasa kepada masyarakat untuk
menyusun undang-undang hak milik pribadi.
Hak milik individu merupakan sesuatu yang mendasar, bersifat permanen.
Melekat pada eksistensi manusia dan bukan merupakan fenomena sementara.
Sedemikian Islam menghargai hak milik individu, sampai-sampai harta mas
kawin dalam pernikahan yang gagal (dengan persyaratan tertentu) harus
dikembalikan kepada yang empunya. Para ulama di masa lalupun (misal al
Ghazali, Satiby, Ibnu Taimiyah) hingga pemikir pada masa kini telah bersepakat
bahwa kriteria pembatasan hak milik individu selain ketentuan syari’at adalah
alasan kemanfaatkan yang riil (maslahah).
Batasan-batasan yang ditentukan oleh syara’ kadang tetap ada yang
melanggar hingga akhirnya hak milik pribadi senantiasa menjadi sebab utama
terjadinya konflik dan ketidak adilan dan keamanannya agar hal ini tidak
diabaikan. Permasalahan seperti ini sering terjadi di negara barat, mencerminkan
adanya kekuasaan politik golongan hartawan dan bukan disebabkan oleh hak
milik pribadi. Ini dikaitkan dengan negara yang menjamin kebebasan masyarakat
untuk memiliki hartanya, dan mempergunakannya setiap usaha yang
dipergunakannya sesuai dengan kepentingannya asal tidak mengganggu
kepentingan negara. Kebebasan dalam memiliki oleh sistem kapitalis merupakan
bentuk pemahaman negara tersebut terhadap makna kepemilikan. Kepemilikan
tidak akan terjadi tanpa usaha untuk mendapatkan harta yang akan dimiliki.
Rakyat tidak mempunyai hal untuk memiliki harta kecuali harta-harta tertentu
yang telah ditetapkan oleh negara. Motivasi masyarakat untuk bekerja itu
didasarkan atas nilai kepemilikan yang ia dapatkan kelak setelah ia bekerja
tetapi lebih dikarenakan adanya aturan yang ketat atas apa yang mereka kerjakan.

4
Namun rakyat mendapatkan hasilnya melalui pembagian yang rata yang dilakukan
negara.
2. Hak milik umum
Konsep hak milik umum mula-mula digunakan dalam Islam dan tidak
terdapat dalam masa sebelumnya. Namun demikian, dapat dicatat istilah “hak
milik umum” yang digunakan oleh Islam mempunyai makna yang berbeda dan
tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud oleh sistem sosial
dan komunis. Maksudnya, bahwa semua harta dan kekayaan milik masyarakat
yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang
berbeda-beda kepada warganya. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik
masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasakan kepentingan
umum.
3. Hak milik negara
Hak milik negara pada dasarnya adalah hak milik umum. Tetapi dalam
pengelolahan hak yang mengelola adalah hak pemerintah. Negara juag memiliki
hak milik terhadap terhadap barang dan jasa, terutama yang terkait untuk
melaksanakan kewajibannya, untuk menyelenggarakan pendidikan, penyediaan
fasilitas publik, memelihara hukum dan keadilan menyantuni fakir miskin, dan
lain-lain. Negara dapat memungutnya dari pajak secara terbatas kepada
masyarakat, di samping mengendalikan pemasukan lain seperti ghanimah, hadiah,
temuan benda tak bertuan, wakaf, hingga zakat. Kekayaan negara secara aktual
merupakan kekayaan publik sehingga harus dikeluarkan untuk kepentingan publik
pula. Kepada negara hanya pemegang amanah. Meskipun begitu, sangatlah
dilarang penggunaan kekayaan negara secara berlebihan. Kekayaan negara harus
digunakan untuk kepentingan ekonomi masyarakat, mengembangkan untuk
kepentingan sosial dan mengurangi disparitas pendapatan.

C Sebab-sebab kepemilikan

Hak milik sesungguhnya menurut Hukum Islam itu, dapat diperoleh melalui
cara:
1. Disebabkan ihrazul mubahat (memiliki benda yang boleh dimiliki)

5
Barang atau benda tidaklah benda yang menjadi hak orang lain dan tida ada
larangan hukum agama untuk diambil sebagai milik.
2. Al Uqud (aqad)
Al-Uqud mengandung dua pengertian yaitu
1. Uqud Jabariyah yaitu akad yang harus dilakukan berdasarkan keputusan
hakim, seperti menjual harta yang berhutang secara terpaksa
2. Istimlak yaitu untuk maslahat/kepentingan umum
3. Disebbabkan khalafiyah
Khalafiyah mengandung dua pengertian yaitu:
1. Khalafiyah syakhsy’an syakhsy artinya pewaris menempati ahli waris
dalam memiliki harta yang ditinggalkannya
2. Khalafiyah syai’an artinya merusak barang orang lain atau hilang, maka
wajib diganti kerugian kerugian pemilik harta
4. Disebabkan tawallud min mamluk (beranak pinak) yaitu:
Tidak bisa diganggu oleh siapapun. Segala yang terjadi dari benda-benda
yang dimilikinya.
5. Keperluan harta mempertahankan hidup
Di antara sebab lain untuk kepemilikan harta adalah adanya kebutuhan untuk
mempertahankan hidup, sebab hidup adalah hak bagi setiap orang.
6. Pemberian negara kepada rakyatnya
Hak milik dapat terjadi ketika negara memberikan sesuatu kepada rakatnya
untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memanfaatkan kepemilikan mereka, maka
rakyat menjadi berhak atas harta tersebut, meskipun hak milik ini dapat diambil
kembali sesuai kebijakan negara.
7. Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Pemberian seseorang secara Cuma-Cuma, tidak mengeluarkan harta atau
tenaga seperti: hubungan pribadi, pemilihan harta sebagai ganti rugi, berasal dari
mahar, terhadap barang temuan, dan santunan.
Islam menerangkan dalam hukum kepemilikan dipandang dalam segi
ekonomi sebab-sebab kepemilikan (milkiyah) didefinisikan:
A. Sebab-sebab milik penuh

6
1) Mengambil harta mubah yaitu harta yang belum ada pemiliknya
2) Hasil dari milik sendiri
3) Dengan jalan pusaka
4) Dengan pemindahan hak dari perjanjian
B. Milik terbatas
1) Milik bendanya misalnya rumah dan barang-barang lainnya
C. Milik manfaat
Seperti sewa dan wasiat
D. Milik atas hak
Apa yang menjadi dasar untuk dapat memiliki sesuatu benda atau manfaat
ada tingkat nilainya mana-mana yang lebih penting kepentingan individu atau
masyarakat/pemerintah.

D Hikmah kepimilikan

1. Manusia tidak boleh sembarangan untuk memilki sesuatu tanpa melihat


aturan-aturan yang berlaku.
2. Manusia akan berusaha dengan benar untuk dapat memiliki sesuatu
3. Membentengi manusia untuk dapat memiliki sesuatu dengan jalan yang tidak
benar.
E Pengertian dan contoh ihrazul muhabat

Ihrozul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara’ boleh
dimiliki. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah
barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh
seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya,
rumput di tanah lapang, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai
dan di laut.
a) Pengertian khalafiyah
1). Pengertian Khalafiyah
Khalafiyah adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru ditempat
yang lama yang sudah tidak ada dalam berbagai macam hak.

7
2). Macam-macam Khalafiyah
adalah kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh pewarisnya,
sebatas
a. Khalafiyah Syakhsyi’an syakhsy (seseorang terhadap seseorang) memiliki
harta bukan mewarisi hutang si pewaris.
b. Khalafiyah syai’in ‘an syai’in (sesuatu terhadap sesuatu)
Adalah kewajiban seseorang untuk mengganti harta/barang milik orang lain
yang dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang tersebut.
b) Pengertian ihya mawat al-ardl
Ihya al-mawat merupakan dua lafadz yang menunjukkan satu istilah dalam
Fiqih dan mempunyai maksud tersendiri.
Bila diterjmahkan secara literrer, ihya berarti menghidupkan dan mawat
berasal dari maut yang berarti mati atau wafat. Pengertian al-mawat menurut al-
Rafi’I ialah:
‫االرض التى المالك لها وال ينتفع بها احد‬
“Tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya
seorang pun.”
Menurut Imam al-Mawar didalam kitab Al-Iqna’ al-Khatib, yang
dimaksudkan dengan al-mawat menurut istilah adalah:
‫هو الذى لم يكن عامرا وال حريمالعامر قرب من العامر اوبعد‬
“Tidak ada yang menanami, tidak ada halangan karena yang menanami,
baik dekat dari yang menanami maupun jauh.”
Menurut Syaikh Syihab al-Din Qalyubi wa Umairah dalam kitabnya Qalyubi
wa Umairah bahwa yang dimaksudkan dengan Ihya al-mawat adalah:
‫عمارة االرض التى لم تعمر‬
“Menyuburkan tanah yang tidak subur.”
Dari beberapa pengertian di atas, ada beberapa pendapat dari para ulama’
fiqih tentang pengertian ihya al-mawat. Ulama Hanafiiyah mendefinisikan ihya al-
mawat dengan “Peggararapan lahan yang belum dimiliki dan digarap oleh orang
lain karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman”. Sedangkan ulama

8
syafi’iyah mendefinisikannya dengan “Penggarapan lahan yang belum di garap
orang baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat”.
Perbedaan yang terdapat dalam kedua definisi di atas adalah persoalan letak
lahan. Bagi ulama hanafiyah lahan yang akan digarap dan tidak dimiliki seseorang
itu harus jauh dari pemukiman penduduk. Sedangkan ulama syafi’iyah tidak
membedakan jauh dekatnya, bagi mereka yang nenjadi ukuran adalah lahan
itu belum menjadi milik seseorang dan belum di garap sama sekali.

2.2. AKAD

1. Pengertian dan dasar hukum aqad

Kata akad berasal dari kata al-aqad berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan. Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian. Sebagai
suatu istilah hukum islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada akad:
1. Akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau
pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam
lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.
2. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, malikiyah dan hambaliyah, yaitu:
“segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai
3. Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak
dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.
Akad adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum satu
pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah akad,
karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak, dan
karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai tindakan dua pihak
adalah pandangan ahli-ahli hukum islam modern. Pada zaman pra modern
terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar fukaha memang memisahkan secara
tegas kehendak sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan akad
meliputi juga kehendak sepihak.

9
Dasar hukum dilakukannya akad adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS. Al Maidah :


1).

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian


atau akad itu hukumnya wajib.

2. Syarat dan hukum aqad

Syarat dalam akad ada empat yaitu:


1. Syarat terbentuknya akad (syuruth al-In’iqad)
Diantaranya yaitu:
a) Tamyiz
b) Berbilang pihak (at-ta’adud)
c) Persesuaian ijab qabul (kesepakatan)
d) Kesatuan majelis akad
e) Objek akad dapat diserahkan
f) Objek akad tertentu atau dapat ditentukan
g) Objek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki)
h) Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’
2. Syarat sahnya akad ( syuruth ash-shihhah)
Adalah segala sesuatu yang di syaratkan syara’ untuk menjamin dapat
keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak. Ada kekhususan syarat
sah akad pada setiap akad. Ulama hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang
dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan
waktu, perkiraan, ada unsur kemudharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak.
3. Syarat berlakunya akibat hukum (syuruth an-Nadz)
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktifitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan
ketetapan syara’, baik secar asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai
penggantian atau menjadi wakil seseorang dalam hal ini di syaratkan antara lain:

10
1. Barang yang di jadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika di
jadikan, maka sangat bergantung pada ijin pemiliknya yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan oranglain.
3. Syarat mengikatnya akad (syarthul-luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Daiantara syarat luzum dalam jual beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiar jual beli, seperti khiar syarat, khiar aib
dan lain sebagainya. Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.

3. Macam-macam sighat dalam aqad

Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau


kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut
ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan
keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun
menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang
mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama.
Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang
yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua,
sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab
Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi
atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi
pemindahan hak antar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh
menuliskannya sebagai berikut:
a. Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul
c. Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
d. Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila:
a. Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.

11
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya majelis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun
keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.

4. Macam-macam aqad

1. Akad Bernama
Yang dimaksud dengan akad bernama adalah akad yang sudah ditentukan
namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus
yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain,
Ahli hukum klasik menyebutkan beberapa jenis akad, sehingga secara
keseluruhan akad menurut perhitungan az-zarqa’ mencapai 25 jenis akad
bernama, yaitu:
1. Jual beli (al-ba’i)
2. Sewa menyewa ( al-ijarah)
3. Penanggungan ( al-kafalah)
4. Pemindahan uang (al-hiwayah)
5. Gadai( ar-rahm)
6. Jual beli opsi( bai’al-wafa)
7. Penipuan (al-ida’)
8. Pinjam pakai ( al-i’arah)
9. Hibah( al-hibah)
10. Pembagian(al-qismah)’
11. Persekutuan(asy-syirkah)
12. Bagi hasil (al-mudharabah)
13. Penggarapan tanah (al-muzara’ah)
14. Pemeliharaan tanaman ( al-musaqah)
15. Pemberian kuasa (al-wakalah)
16. Perdamaian (ash-shulh)
17. Arbitrase(at-tahkim)

12
18. Pelepasan hak kewarisan (al-mukharajah)
19. Pinjam mengganti ( al-qardh)
20. Pemberian hak pakai rumah ( al-umra)
21. Penetapan ahli waris ( al-muawalah)
22. Pemutusan perjanjian atas kesepakatan (al-iqadah)
23. Perkawinan ( al-zawaj)
24. Wasiat ( al-washiyyah)
25. Pengangkatan pengampu ( al-isha)

2. Akad Tak Bernama


Akad tak bernama ialah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-
kitab fikih dibawah satu nama tertentu. Dengan kata lain, akad tak bernama ialah
akad yang tidak ditempuh oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta ada
pengaturan tersendiri mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan
umum akad. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai
dengan kebutuhan mereka. Kebebasan dalam membuat akad tertentu (tidak
bernama) ini termasuk ke dalam apa yang disebut dengan kebebasan berakad.
Akad tidak bernama ini timbul selaras dengan kepentingan para dan akibat
kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Contoh akad tak bernama adalah
perjanjian penerbitan, periklanan dan sebaginya.

3. Akad Pokok Dan Akad Asesoir


Dilihat dari kedudukannya, akad dibedakan menjadi akad yang pokok (al-
‘aqd al-ashli) dan akad asesoir (‘al-aqd at-tab’i).
Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak
tergantung kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini adalah semua kad
yang keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa-menyewa,
penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya,.
Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri melainkan
tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan
tidak sahnya akad tersebut. Termasuk dalam kategiri ini adalah penanggungan

13
(al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn). Kedua kad ini merupakan perjanjian untuk
menjamin,karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak ada.

4. Akad Bertempo Dan Akad Tidak Bertempo


Dilihat dari unsur tempo di dalam akad, akad dapat dibagi menjadi akad
bertempo ( al’aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo ( al’aqd al-fauri).
Akad bertempo adalah akad yang didalamnya ada unsur waktu merupakan
unsur asai, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk
dalam kategori ini, misalnya sewa-menyewa, akad penitipan, akad pinjam
pakai,akad pemberian kuasa, akad berlangganan surat kabar dan lain sebagainya.
Akad tidak bertempo adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan
bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli misalnya, terjadi seketika tanpa perlu
unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
Bahkan apabila jual beli dilakukan dengan hutang, sesungguhnya unsur
waktu tidak merupakan esensial, dan bila telah tiba waktu pelaksanaan, maka
pelaksaaan tersebut bersifat seketika dan pada saat itu hapuslah akad kedua belah
pihak.

5. Akad Konsesnual, Akad Formalistik Dan Akad Rill


Dilihat dari segi formalitasnya, akad dibedakan menjadi akad konsensual
(al’aqd ar-radha’i), akad formalistik (al-‘aqdasy-syakli) dan akad rill (al-‘aqd al-
‘aini). Dengan akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang terciptanya cukup
berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas
tertentu, seperti akad jual beli, sewa menyewa, utang piutang dan seterusnya.
Akad formalistik adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas
yang ditentukan oleh pembuat hukum, dimana apabila syarat-syarat itu tidak
dipenuhi akad tidak sah. Contohnya adalah akad nikah dimana formalitas yang
disyaratkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
Akad rill adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan penyerahan tunai
objek akad, dimana akad belum tersebut terjadi dan belum menimbulkan akibat

14
hukum apabila belum dilaksanakan, kategorinya yaitu hibah, pinjam pakai,
penitipan, kredit (utang) dan akad gadai.

6. Akad Masyru’ Dan Akad Terlarang.


Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’, akad dibedakan
menjadi dua, yaitu akad masyru’ dan akad terlarang.
Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan
tidak ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas,
seperti akad jual beli, sewa menyewa, mudharabah dan sebagainya.
Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti
akad jula beli janin, akad donasi harta anak dibawah umur, akad yang
bertentangan dengan ahlak islam dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa
untuk melakukan kejahatan.

7. Akad Yang Sah Dan Tidak Sah


Akad sah adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-
syarat sebagaimana ditentukan oleh syara’. sedangkan akad tidak sah adalah akad
yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’.
Perbedaan akad terlarang dengan akad tidak sah yaitu penekannanya saja,
dimana akad terlarang terdapat dalil-dalil syariah yang melarang, akad tidak sah
penekanannaya adalah tidak terpenuhinya rukun syarat akad.

8. Akad Mengikat Dan Akad Tidak Mengikat


Akad mengikat (al’aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila sleuruh rukun
dan sayaratnya terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh dan masing-
masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain. Akad
jenis ini dibedakan menjadi dua, pertama contohnya akad mengikat dua pihak,
contohnya akad jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya. Kedua akad mengikat
satu pihak, contohnya akad kafalah (penangungan) dan gadai (ar-rahn).
Akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat
membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad tidak mengikat

15
dibedakan menjadi dua macam, pertama akad terbuka untuk di fasakh, seperti
akad wakalah (pemberian kuasa), syirkah (persekutuan) akad hibah, akad wadiah
(penitipan), adan akad ‘ariah ( pinjam pakai). Dan akad yang tidak mengikat
karena di dalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.

9. Akad Nafiz Dan Akad Mauquf


Akad nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan
tidak dapatnya akad tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah
akad yang tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat
terjadinya.
Akad mauquf adalah akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan
akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, malainkan masih tergantung
(mauquf) kepada adanya ratifikasi (ijazah) dari pihak berkepentingan.

10. Akad Tanggungan Akad Kepercayaan Dan Akad Bersifat Ganda.


Akad tanggungan (n’aqd adh-dhaman) adalah akad yang mengalihkan
tanggungan resiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan
sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut sehingga kerusakan barang
yang diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun
sebgai kedaaan memaksa.
Akad kepercayaan (‘aqd-al-amanh) adalah akad dimana barang yang
diallihkan melalui akad tersebut merupakan amanah di tangan penerima barang
tersebut, sehingga ia tidak berekewajiban menangung resiko atas barang tersebut,
keculai kalau ada unsur kesengajaan dan melawan hukum . termasuk akad jenis isi
adalah akad penitipan, peminaman, perwakilan(pemberian kuasa).
Akad yang bersifat ganda adalah akad yang di satu sisi merupakan akad
tanggungan , tetapi disisi lain merupakan akad amanah (kepercayaan). Misalnya
akad sewa menyewa dimana barang yang disewakan adalah amanah di tangan
penyewa. Akan tetapi, di sisi lain, manfaat barang yang disewakan merupakan
tanggungannya sehingga apabila ia membiarkan barang yang disewanya setelah
diterima tanpa ia manfaatkan, maka manfaat barang tidak dinikmatinya adalah

16
atas tanggungannya, ia wajib membayar utang sewa kepada orang yang
menyewakan.

11. Akad Muwadah, Akad Tabaru, Dan Akad Wuawadah Dan Tabaru
Sekalaigus.
Akad muwadah (‘aqd al-mu’awadah) adalah akad dimana terdapat prestasi
yang timbal balik sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu sebagai
imbalan prestasi yang diberikannya. Misalnya, jual beli, sewa menyewa,
pendamaian atas benda dan sebagainya.
Akad cuma-Cuma ( akad tabaru) (akad donasi) adalah akad dimana prestasi
hanya dari salah satu pihak , seperti akad hibah dan pinjam pakai.
Akad atas beban dan Cuma-Cuma adalah akad yang pada mulanya
merupakan akad Cuma-Cuma, namun pada ahirnya menjadi akad atas beban.
Misalnya, akad peminjaman dimana pemberi pinjaman pada mulanya membantu
orang yang diberi pinjaman, dan akad penangguhan dimana penangguhan dimana
pada awalnya membantu orang yang di tanggung secara Cuma-Cuma, akan tetapi
pada saat pemberi pinjaman menagih kembali pinjamannya maka akadnya
menjadi akad atas beban.

5. Hikmah Aqad

Ada beberapa hikmah dengan disyariatkannya akad dalam muamalah, antara lain:
a. Munculnya pertanggung jawaban moral dan material.
b. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
c. Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.
d. Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
e. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.

17
3. PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Hukum Islam telah mengatur dalam fiqh muamalah berkaitan hak milik dan
akad yang sifatnya sangat urgen sekali untuk diterapkan dalam membimbing
kemasyarakatan umat manusia sebagai kalifah di bumi. Hak milik adalah
pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk
bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada
penghalang yang bersifat syara’. Cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam
yaitu:
1. melalui penguasaan harta yang belum dimiliki orang;
2. melalui transaksi;
3. melalui peninggalan seseorang;
4. hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang.
Sedangkan akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan
qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objek perikatan. Rukun akad terdari dari ‘aqid (orang yang
berakad); ma’qud ‘alaih (benda-benda yang diakadkan); maudhu‘ al-‘aqd (tujuan
atau maksud pokok mengadakan akad); dan shighat al-`aqd (ijab kabul).
Syarat-syarat umum suatu akad adalah:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum (mukallaf)
atau jika objek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap
bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya;
2. Objek akad itu diakui oleh syara’;
3. Akad itu tidak dilarang oleh syara’;
4. Akad itu berfaedah;
5. Ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya kabul;
6. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’.
Adapun syarat khusus suatu akad, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib
ada dalam sebagian akad. Macam-macam akad dilihat dari segi keafsahannya
menurut syara`, akad terbagi menjadi dua yaitu:

18
1) Akad sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya.
a) Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan);
b) Akad mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak
hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan
melaksanakan akad;
2) Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan ada rukun
atau syarat-syaratnya sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan
tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
a) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada
larangan langsung dari syara’.
b) Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan akan tetapi sifat
yang diakadkan itu tidak jelas.
Akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal sebagi berikut:
1) Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang
waktu; Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat.
2) Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir
jika akad itu fasid, berlaku khiyar syarat, khiyar aib atau khiyar ruqyah, akad itu
tidak dilaksanakan oleh satu pihak, tercapainya tujuan akad tersebut secara
sempurna.
3) Wafatnya salah satu pihak yang berakad.

19
4. DAFTAR PUSTAKA

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 68

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjajian Hukum Islam di


Indonesia, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), Cet. Ke-1, h.22

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam


Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. Ke-1
https://www.academia.edu/10534616/TUGAS_FIQIH_MAKALAH_TENTANG_
KEPEMILIKAN_DAN_AKAD

20

Anda mungkin juga menyukai